DI SUSUN OLEH:
KELOMPOK 1
Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat,
karunia dan hidayah-Nyalah kami dapat menyelesikan pembuatan makalah
yang berjudul “Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Perilaku Kekerasan
” ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini selain untuk memenuhi
tugas mata kuliah Keperawatan Jiwa II, juga sebagai informasi tambahan bagi
mahasiswa mengenai asuhan keperawatan pada apasien dengan perilaku
kekerasan.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada dosen pembimbing,
yang telah membimbing dan memberi saran serta masukan kepada kami
dalam menyusun makalah ini. Selain itu, juga kepada teman-teman yang
selalu memberikan dukungannya, sehingga kami dapat menyelesaikan
pembuatan makalah ini.
Akhir kata, tiada gading yang tak retak, demikian pula dengan
makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun tetap
kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini di masa mendatang. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, amin
Penulis
DAFTAR ISI
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui Definisi dari perilaku kekerasan
2. Untuk mengetahui etiologi dari perilaku kekerasan
3. Untuk mengetahui patofisiologi dari perilaku kekerasan
4. Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan pada perilaku kekerasan
1.4 Manfaat
Bagi Mahasiswa Keperawatan : sebagai bahan referensi dalam
memberikan Asuhan Keperawatan Jiwa dengan Perilaku Kekerasan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri
sendiri, orang lain maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk
mengungkapkan perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif. (Stuart
dan Sundeen : 1995).
Marah adalah perasaan jengkel yang timbul sebagai respon terhadap
kecemasan atau kebutuhan yang tidak terpenuhi yang dirasakan sebagai
ancaman (Stuart dan Sundeen : 2005).
Perilaku kekerasan sukar diprediksi. Setiap orang dapat bertindak
keras tetapi ada kelompok tertentu yang memiliki resiko tinggi yaitu pria
berusia 15-25 tahun, orang kota, kulit hitam, atau subgroup dengan budaya
kekerasan, peminum alkohol (Tomb, 2003 dalam Purba, dkk : 2008). Perilaku
kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau
mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku
tersebut (Purba dkk : 2008).
Perilaku kekerasan dilakukan karena ketidakmampuan dalam
melakukan koping terhadap stress, ketidakpahaman terhadap situasi social,
tidak mampu untuk mengidentifikasi stimulus yang dihadapi dan tidak
mampu untuk mengontrol dorongan untuk mampu melakukan kekerasan
(Setiawan, Heri etc : 2015)
Sedangkan menurut Carpenito 2000, perilaku kekerasan adalah
keadaan dimana individu-individu beresiko menimbulkan bahaya langsung
pada dirinya sendiri ataupun orang lain.
Jadi, perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan individu yang
melakukan tindakan yang dapat membahayakan/mencederai diri sendiri,
orang lain bahkan dapat merusak lingkungan.
2.2 Etiologi
Perilaku kekerasan bisa disebabkan adanya gangguan harga diri,
misalnya harga diri rendah, dimana gangguan harga diri dapat digambarkan
sebagai perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri, merasa
gagal mencapai keinginan.
Seseorang yang mengalami hambatan dalam mencapai tujuan/keingin
an yang diharapkannya menyebabkan ia menjadi frustasi. Ia merasa terancam
dan cemas. Jika ia tidak mampu menghadapi rasa frustasi itu dengan cara lain
tanpa mengendalikan orang lain dan keadaan sekitarnya misalnya dengan
kekerasan.
Berikut ini ada beberapa faktor resiko yang dapat menyebabkan
terjadinya perilaku kekerasan:
1) Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku
kekerasan menurut teori biologik, teori psikologi, dan teori sosiokultural
yang dijelaskan oleh Towsend (1996 dalam Purba dkk, 2008) yaitu:
a. Teori Biologik
Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang
berpengaruh terhadap perilaku:
a) Neurobiologik
Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses
impuls agresif: sistem limbik, lobus frontal dan hypothalamus.
Neurotransmitter juga mempunyai peranan dalam memfasilitasi atau
menghambat proses impuls agresif. Sistem limbik merupakan sistem
informasi, ekspresi, perilaku, dan memori. Apabila ada gangguan
pada sistem ini maka akan meningkatkan atau menurunkan potensial
perilaku kekerasan. Adanya gangguan pada lobus frontal maka
individu tidak mampu membuat keputusan, kerusakan pada
penilaian, perilaku tidak sesuai, dan agresif. Beragam komponen dari
sistem neurologis mempunyai implikasi memfasilitasi dan
menghambat impuls agresif. Sistem limbik terlambat dalam
menstimulasi timbulnya perilaku agresif. Pusat otak atas secara
konstan berinteraksi dengan pusat agresif.
b) Biokimia
Berbagai neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine, dopami
ne, asetikolin, dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi atau
menghambat impuls agresif. Teori ini sangat konsisten dengan fight
atau flight yang dikenalkan oleh Selye dalam teorinya tentang respons
terhadap stress.
c) Genetik
Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara
perilaku agresif dengan genetik karyotype XYY.
d) Gangguan Otak
Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi
perilaku agresif dan tindak kekerasan. Tumor otak, khususnya yang
menyerang sistem limbik dan lobus temporal; trauma otak, yang
menimbulkan perubahan serebral; dan penyakit seperti ensefalitis, dan
epilepsy, khususnya lobus temporal, terbukti berpengaruh terhadap
perilaku agresif dan tindak kekerasan.
b. Teori Psikologik
a) Teori Psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk
mendapatkan kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak
berkembangnya ego dan membuat konsep diri rendah. Agresif dan
tindak kekerasan memberikan kekuatan dan prestise yang dapat
meningkatkan citra diri dan memberikan arti dalam kehidupannya.
Perilaku agresif dan perilaku kekerasan merupakan pengungkapan
secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya harga
diri.
b) Teori Pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran
mereka, biasanya orang tua mereka sendiri. Contoh peran tersebut
ditiru karena dipersepsikan sebagai prestise atau berpengaruh, atau
jika perilaku tersebut diikuti dengan pujian yang positif. Anak
memiliki persepsi ideal tentang orang tua mereka selama tahap
perkembangan awal. Namun, dengan perkembangan yang dialaminya,
mereka mulai meniru pola perilaku guru, teman, dan orang lain.
Individu yang dianiaya ketika masih kanak-kanak atau mempunyai
orang tua yang mendisiplinkan anak mereka dengan hukuman fisik
akan cenderung untuk berperilaku kekerasan setelah dewasa.
c) Teori Sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan
struktur sosial terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang
secara umum menerima perilaku kekerasan sebagai cara untuk
menyelesaikan masalahnya. Masyarakat juga berpengaruh pada
perilaku tindak kekerasan, apabila individu menyadari bahwa
kebutuhan dan keinginan mereka tidak dapat terpenuhi secara
konstruktif. Penduduk yang ramai /padat dan lingkungan yang ribut
dapat berisiko untuk perilaku kekerasan. Adanya keterbatasan sosial
dapat menimbulkan kekerasan dalam hidup individu.
2) Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering
kali berkaitan dengan:
a. Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol
solidaritas seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng
sekolah, perkelahian masal dan sebagainya.
b. Ekspresi dari, tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial
ekonomi.
c. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta
tidak membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung
melakukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
d. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan
ketidakmampuan dirinya sebagai seorang yang dewasa.
e. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat
dan alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat
menghadapi rasa frustasi.
f. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,
perubahan tahap perkembangan, atau perubahan tahap
perkembangan keluarga.
3.3 Patofisiologi
Depkes (2000) mengemukakan bahwa stress, cemas dan marah
merupakan bagian kehidupan sehari -hari yang harus dihadapi oleh setiap
individu. Stress dapat menyebabkan kecemasan yang menimbulkan perasaan
tidak menyenangkan dan terancam. Kecemasan dapat menimbulkan
kemarahan yang mengarah pada perilaku kekerasan.
Respon terhadap marah dapat diekspresikan secara eksternal maupun
internal. Secara eksternal dapat berupa perilaku kekerasan sedangkan secara
internal dapat berupa perilaku depresi dan penyakit fisik. Mengekspresikan
marah dengan perilaku konstruktif dengan menggunakan kata-kata yang
dapat dimengerti dan diterima tanpa menyakiti orang lain, akan memberikan
perasaan lega, menurunkan ketegangan, sehingga perasaan marah dapat
diatasi.
Apabila perasaan marah diekspresikan dengan perilaku kekerasan,
biasanya dilakukan individu karena ia merasa kuat. Cara demikian tentunya
tidak akan menyelesaikan masalah bahkan dapat menimbulkan kemarahan
yang berkepanjangan dan dapat menimbulkan tingkah laku destruktif, seperti
tindakan kekerasan yang ditujukan kepada orang lain maupun lingkungan.
Perilaku yang tidak asertif seperti perasaan marah dilakukan individu karena
merasa tidak kuat. Individu akan pura-pura tidak marah atau melarikan diri
dari rasa marahnya sehingga rasa marah tidak terungkap. Kemarahan
demikian akan menimbulkan rasa bermusuhan yang lama dan pada suatu saat
dapat menimbulkan kemarahan destruktif yang ditujukan kepada diri sendiri.
4.1 Pengkajian
a. Aspek biologis
Respons fisiologis timbul karena kegiatan system saraf otonom
bereaksi terhadap sekresi epineprin sehingga tekanan darah meningkat,
tachikardi, muka merah, pupil melebar, pengeluaran urine meningkat. Ada
gejala yang sama dengan kecemasan seperti meningkatnya kewaspadaan,
ketegangan otot seperti rahang terkatup, tangan dikepal, tubuh kaku, dan
refleks cepat. Hal ini disebabkan oleh energi yang dikeluarkan saat marah
bertambah.
b. Aspek emosional
Individu yang marah merasa tidak nyaman, merasa tidak berdaya,
jengkel, frustasi, dendam, ingin memukul orang lain, mengamuk,
bermusuhan dan sakit hati, menyalahkan dan menuntut.
c. Aspek intelektual
Sebagian besar pengalaman hidup individu didapatkan melalui
proses intelektual, peran panca indra sangat penting untuk beradaptasi
dengan lingkungan yang selanjutnya diolah dalam proses intelektual sebagai
suatu pengalaman. Perawat perlu mengkaji cara klien marah,
mengidentifikasi penyebab kemarahan, bagaimana informasi diproses,
diklarifikasi, dan diintegrasikan.
d. Aspek sosial
Meliputi interaksi sosial, budaya, konsep rasa percaya dan
ketergantungan. Emosi marah sering merangsang kemarahan orang lain.
Klien seringkali menyalurkan kemarahan dengan mengkritik tingkah laku
yang lain sehingga orang lain merasa sakit hati dengan mengucapkan kata-
kata kasar yang berlebihan disertai suara keras. Proses tersebut dapat
mengasingkan individu sendiri, menjauhkan diri dari orang lain, menolak
mengikuti aturan.
e. Aspek spiritual
Kepercayaan, nilai dan moral mempengaruhi hubungan individu
dengan lingkungan. Hal yang bertentangan dengan norma yang dimiliki
dapat menimbulkan kemarahan yang dimanifestasikan dengan amoral dan
rasa tidak berdosa.
Intervensi Rasional
Bina hubungan saling percaya : Hubungan saling percaya
salam terapeutik, empati, sebut memungkinkan terbuka pada
nama perawat dan jelaskan tujuan perawat dan sebagai dasar untuk
interaksi. intervensi selanjutnya.
Kriteria hasil:
Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat
Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki.
Klien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan.
Klien dapat menetapkan/ merencanakan kegiatan sesuai kemampuan yang
dimiliki.
Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi dan kemampuannya
Intervensi Rasional
Bina hubungan saling percaya, Hubungan saling percaya
memungkinkan klien terbuka pada
perawat dan sebagai dasar untuk
intervensi selanjutnya.