Dosen Pengampu :
Kelompok I :
DAFTAR ISI 1
DAFTAR TABEL 2
DAFTAR GAMBAR 3
BAB I PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
3.1 Kesimpulan 26
DAFTAR PUSTAKA 27
DAFTAR TABEL
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian fortifikasi dan tujuan dari fortifikasi
2. Untuk mengetahui bagaimana sejarah fortifikasi pangan di Indonesia
3. Untuk mengetahui klasifikasi dari fortifikasi pangan
4. Untuk mengetahui jenis-jenis fortifikasi pangan
5. Untuk mengetahui bagaimana syarat-syarat pangan agar dapat dilakukan fortifikasi
6. Untuk mengetahui teknik-teknik fortifikasi pangan
7. Untuk mengetahui bagaimana peran fortifikasi pangan dalam mengatasi permasalahan
gizi di Indonesia
8. Untuk mengetahui contoh-contoh makanan yang dapat di fortifikasi
9. Untuk mengetahui kelebihan dan keterbatasan dalam fortifikasi pangan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
The Joint Food and Agricultural Organization World Health Organization (FAO/WHO)
Expert Commitee on Nutrition menganggap istilah fortification paling tepat menggambarkan
proses dimana zat gizi makro dan zat gizi mikro ditambahkan pada pangan yang dikonsumsi
secara umum. Istilah double fortification dan multiple fortification digunakan apabila dua atau
lebih zat gizi, masing-masing ditambahkan kepada pangan atau campuran pangan. Pangan
pembawa zat gizi yang ditambahkan disebut ‘Vehicle', sementara zat gizi yang ditambahkan
disebut 'Fortificant' (FAO/WHO 1971).
Diperkirakan 70 persen penduduk Indonesia masih kekurangan zat gizi makro maupun
mikro. Kekurangan energi protein berat menyebabkan marasmus dan kwashiorkor, sedangkan
kekurangan zat gizi mikro secara umum menyebabkan gangguan tumbuh kembang dan
kecerdasan, daya tahan tubuh rendah, anemia, serta meningkatkan risiko kebutaan. Fortifikasi
bahan pangan dinilai mampu mengurangi defisiensi zat gizi mikro. Dari analisa hasil survei
konsumsi pangan nasional, diidentifikasi bahan pangan yang banyak digunakan sehingga sesuai
untuk difortifikasi, yaitu minyak goreng, gula, dan tepung terigu.
b. Voluntary Fortification
Fortifikasi disebut sebagai voluntary fortification ketika pembuat makanan
dengan bebas memilih makanan khusus sebagai tanggapan atas izin yang
diberikan pada hukum makanan atau keadaan khusus yang mendorong
pemerintah mengizinkan fortifikasi dilakukan. Dorongan untuk melakukan
voluntary fortification biasanya muncul dari industri dan konsumen yang mencari
keuntungan kesehatan yang mungkin diperoleh melalui peningkatan asupan zat
gizi mikro.
Ketika membuat peraturan mengenai voluntary fortification, pemerintah
wajib memastikan bahwa konsumen tidak disesatkan atau ditipu oleh praktik
fortifikasi. Selain itu, pemerintah juga harus yakin bahwa promosi makanan
terfortifikasi tidak bertentangan dengan kebijakan yang menyangkut pangan
nasional dan makanan sehat. Hal ini dapat dicapai melalui peraturan tentang
berbagai makanan yang memenuhi syarat untuk voluntary fortification dan
kombinasi yang diizinkan dari zat gizi mikro tertentu dan makanan.
Saat ini banyak negara telah mengizinkan voluntary fortification dengan
keragaman makanan yang difortifikasi di tiap negara. Beberapa negara di
Skandinavia hanya mengizinkan sedikit makanan yang bisa difortifikasi,
sedangkan di Amerika Serikat produk yang dapat difortifikasi jauh lebih banyak.
Begitu juga untuk zat fortifikan yang diizinkan adalah beberapa zat gizi mikro
yang terpilih dan dianggap penting.
b. Hot Extrusion
Prinsip kerja metode hot extrusion adalah menggunakan suhu dan tekanan
tinggi pada bahan makanan yang difortifikasi. Suhu yang digunakan berkisar
antara 70-100 derajat celcius dengan tekanan <110 Psi. penelitian yang dilakukan
dengan metode ini adalah fortifikasi mineral pada beras, gandum, atau produk
serealia lainnya. Tepung beras mula-mula dicampur dengan fortifikan, air, bahan
pengikat, dan bahan penstabil hingga membentuk suatu adonan. Adonan
kemudian dilewatkan di mesin press (mesin penekan, ed.) bersuhu tinggi yang
juga akan memotong adonan menjadi butiran-butiran kecil berbentuk nasi atau
serealia.
Penggunaan suhu tinggi menyebabkan butiran-butiran yang dihasilkan
memiliki hasil yang hampir sama dengan beras pada umumnya, yaitu mengilap,
transparan, serta memiliki konsistensi dan rasa yang hampir sama dengan butir
beras asli. Metode ini lebih cocok untuk program fortifikasi berskala besar karena
biaya yang dikeluarkan cenderung lebih besar dibandingkan dengan metode
fortifikasi lainnya.
Contoh-contoh produk hot extrusion adalah sebagai berikut :
1. Mikroenkapsulasi
Enkapsulasi adalah suatu jenis teknik pelapisan atau
pembungkusan suatu material (inti) menggunakan substansi yang lain
(lapisan pembungkus) berupa material polimer untuk melindungi material
yang ada di bagian dalamnya. Teknik ini disebut mikroenkapsulasi apabila
ukuran partikel yang dienkapsulasi kurang dari 500 mikron. Material inti
yang dienkapsulasi dapat berupa material padat, cair, maupun gas. Material
inti tersebut umumnya merupakan suatu senyawa aktif yang perlu dilindungi
dari reaksi langsung dengan lingkungan luarnya atau perlu diisolasi hingga
kondisi material inti siap untu dilepaskan dari lapisan pembungkusnya.
Teknik enkapsulasi memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut :
Memudahkan pencampuran molekul-molekul mudah rusak seperti
antioksidan, mineral, vitamin, asam-asam lemak, dan probiotik ke
dalam makanan
Mencegah degradasi material inti dengan cara mengurangi adanya
reaksi langsung dengan lingkungan di luarnya
Memudahkan dalam mengendalikan sifat fisik material inti
Material inti yang telah dienkapsulasi dapat dikendalikan waktu
rilisnya dari lapisan pembungkusnya
Memungkinkan adanya penambahan beberapa senyawa aktif pada
suatu makanan tanpa adanya reaksi satu sama lain dari senyawa-
senyawa tersebut
c. Cold Extrusion
Proses cold-extrusion hampir sama dengan hot extrusion. Perbedaannya
terletak pada suhu yang digunakan, yakni dibawah 70 derajat celcius. Teknik ini
juga lebih banyak digunakan untuk fortifikasi beras. Adonan yang terdiri atas
tepung beras, fortifikan, dan air dilewatkan pada alat penggiling yang juga akan
memotong adonan menjadi partikel-partikel berukuran kecil menyerupai beras.
Karena tidak menggunakan suhu yang tinggi, maka beras yang dihasilkan belum
matang, tidak mengilap, dan penampakannya tidak terlalu mirip dengan butiran
beras asli. Negara yang menggunakan teknik ini untuk memfortifikasi beras
diantaranya adalah Amerika Serikat, Filipina, dan Costa Rica.
d. Dusting
Teknik fortifikasi ini juga biasa digunakan untuk fortifikasi beras. Serbuk
fortifikan akan ditaburkan pada butiran-butiran beras. Serbuk tersebut kemudian
akan melekat pada permukaan beras karena adanya gaya elektrostatik antara beras
dan partikel fortifikan. Negara yang telah menggunakan teknik ini adalah
Amerika Serikat. Beras yang difortifikasi dengan teknik ini sebaiknya tidak dicuci
sebelum dimasak atau tidak dimasak dengan air yang terlalu banyak karena
dikhawatirkan mineral yang ada di permukaan beras akan hilang. Hal inilah yang
membuat teknik fortifikasi tidak cocok digunakan di negara-negara berkembang
termasuk Indonesia yang sebagian besar masyarakatnya selalu mencuci beras
terlebih dahulu sebelum dimasak.
Sedangkan menurut (Soekirman, 2008 dalam Gustian, 2013) terdapat dua macam
fortifikasi yaitu fortifikasi sukarela oleh industri pangan kemasaan untuk
meningkatkan nilai tambah dan fortifikasi wajib yang bertujuan untuk mengatasi
masalah kekurangan gizi masyarakat, khususnya masyarakat miskin.
Syarat untuk fortifikasi wajib:
1. Makanan yang umumnya selalu ada disetiap rumah tangga dan dimakan secara
teratur dan terus menerus oleh masyarakat termasuk masyarakat miskin
2. Makanan diproduksi dan diolah oleh produsen yang terbatas jumlahnya, agar mudah
diawasi proses fortifikasinya
3. Tersedianya teknologi fortifikasi untuk makanan yang dipilih
4. Makanan tidak berubah rasa, warna dan konsistensi setelah difortifikasi
5. Tetap aman dalam arti tidak membahayakan kesehatan. Oleh karena itu, program
fortifikasi harus diatur oleh undang-undang atau peraturan pemerintah, diawasi dan
dimonitor, serta dievaluasi secara teratur dan terus menerus.
6. Harga makanan setelah difortifikasi tetap terjangkau daya beli konsumen yang
menjadi sasaran
Berdasarkan persyaratan tersebut, makanan yang umumnya dapat difortifikasi
wajib terbatas hanya pada jenis makanan pokok yaitu terigu, jagung, beras serta
makanan penyedap atau bumbu seperti garam, minyak goreng, gula, kecap kedelai,
kecap ikan, dan Mono Sodium Glutamat (MSG). Pilihan zat gizi yang ditambahkan ke
dalam makanan untuk difortifikasi (fortifikan) ditentukan oleh masalah kekurangan
gizi yang ada dengan pertimbangan teknis kimiawi, daya serap dalam sistem
pencernaan, manfaat biologis (bioavailability), dan pengaruhnya terhadap rasa,
penampilan, keamanan makanan, dan harga. Setiap negara menentukan jenis makanan
yang akan difortifikasi yang disebut sebagai makanan pembawa (vehicles), sesuai
dengan pola makan setempat serta memenuhi syarat untuk fortifikasi wajib. Penentuan
jenis dan dosis fortifikan yang dipakai disesuaikan dengan makanan pembawa,
peraturan pemerintah dan internasional (WHO/FAO), kebutuhan tubuh, serta masalah
kekurangan gizi setempat.
4. Kekurangan Vitamin A
Fortifikasi pangan pada margarin dan susu dengan vitamin A sudah banyak
dilakukan di negara barat. Di negara berkembang, biasanya menggunakan gula, tepung
terigu, beras, dan produk serealia lain, teh, produk susu, margarin dan sebagainya.
Teknologi fortifikasi juga sudah berkembang pesat, seperti yang dilakukan pada
tepung terigu dengan vitamin A kering, dengan retensi lebih dari 95% sampai 1 tahun
pada suhu ≥40 derajat celcius. Sekitar 70% aktivitas vitamin A masih bertahan setelah
pemanggangan.
2. Kelemahan
Fortifikasi merupakan pendekatan yang lebih disukai daripada strategi lain
berdasarkan kelebihan di atas. Namun, ada kelemahan atau lebih tepatnya keterbatasan
fortifikasi makanan yang meliputi (Allen et al., 2006):
a) Mengkonsumsi makanan yang difortifikasi bukanlah pengganti yang baik untuk
kualitas diet seimbang dalam menghasilkan energi, protein, lemak esensial-yang
diperlukan untuk kesehatan yang optimal.
b) Mengoreksi masalah kekurangan mikronutrien melalui fortifikasi pangan bisa
menjadi sulit karena mikronutrien yang lengkap bahkan beranekaragam pada
makanan yang tersedia, tidak mungkin dapat dikonsumsi dalam jumlah yang cukup.
Semua kelompok sasaran dalam populasi umum mungkin tidak mengkonsumsi
makanan yang difortifikasi, seperti:
1) Bayi dan anak kecil mengkonsumsi sejumlah kecil makanan dan karena itu
cenderung untuk dapat memperoleh asupan yang direkomendasikan dari semua
mikronutrien dari makanan yang dfortifikasi saja; makanan pembawa zat gizi
mungkin tidak mudah diakses atau tidak tersedia untuk kelompok-kelompok
penduduk yang tinggal di daerah terpencil.
2) Kelompok berpenghasilan-rendah, khususnya di negara berkembang sering
mengandalkan makanan pembawa zat gizi dari sistem yang diproduksi secara
lokal. Oleh karena itu lebih berisiko kekurangan zat gizi mikro, dibandingkan
dengan kelompok masyarakat lainnya yang mengkonsumsi makanan olahan.
3) Kelompok miskin atau penduduk berpenghasilan rendah sering menderita karena
kekurangan beberapa mikronutrien sebagai akibat dari kurangnya asupan dalam
diet secara keseluruhan. kelompok-kelompok ini tidak mungkin untuk
mendapatkan asupan yang disarankan dari semua mikronutrien pada makanan
yang difortifikasi.
c) Masalah teknologi yang berkaitan dengan fortifikasi makanan pembawa, terutama
kadar gizi yang ditambahkan, stabilitas penambah, interaksi hara, karakteristik sifat
fisik, dan kemampuan konsumen dalam menerima, termasuk sifat memasak dan rasa.
d) Sifat alami makanan pembawa, penambah, atau keduanya, mungkin membatasi
jumlah fortifikan agar dapat berhasil ditambahkan. Kualitas sensorik makanan seperti
warna dan rasa, dan stabilitas micronutrient mungkin akan terpengaruh. Dan juga,
interaksi antara gizi dalam makanan dapat terjadi (misalnya, kehadiran sejumlah
besar kalsium dapat menghambat penyerapan zat besi dari makanan yang
difortifikasi, kehadiran vitamin memiliki efek berlawanan pada besi, dan dengan
demikian meningkatkan penyerapan zat besi).
e) Seluruh makanan fortifikasi ini terbukti lebih hemat biaya dari strategi lain, tetapi
ada biaya lebih yang mendasari terkait dengan proses fortifikasi yang dapat
membatasi pelaksanaan dan efektivitas program fortifikasi makanan (misalnya, biaya
permulaan, percobaan, percontohan dan pengujian, biaya pengawasan yang efektif,
dan sistem evaluasi untuk memastikan makanan yang difortifikasi efektif dan aman).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Fortifikasi adalah sebuah upaya yang sengaja dilakukan untuk menambahkan
mikronutrien yang penting, yaitu vitamin dan mineral ke dalam makanan, sehingga dapat
meningkatkan kualitas nutrisi dari pasokan makanan dan bermanfaat bagi kesehatan
masyarakat dengan risiko yang minimal untuk kesehatan (WHO, 2006). Fortifikasi
diklasifikasikan menjadi dua yaitu fortifikasi sukarela (voluntary) dan fortifikasi wajib
(mandatory). Fortifikasi dibagi menjadi beberapa jenis: fortifikasi massal, fortifikasi untuk
populasi tertentu, mandatory fortification, voluntary fortification. Teknik fortifikasi yaitu
dry mixing, hot extrusion, cold extrusion, dusting, teknik yang melibatkan proses kimiawi.
Fortifikasi dapat berperan dalam mengatasi beberapa permasalahan gizi di Indonesia
seperti Anemia Defisiensi Besi, Stunted Akibat Defisiensi Zink, GAKY, dan KVA.
Makanan yang umumnya dapat difortifikasi wajib terbatas hanya pada jenis makanan pokok
yaitu terigu, jagung, beras serta makanan penyedap atau bumbu seperti garam, minyak
goreng, gula, kecap kedelai, kecap ikan, dan Mono Sodium Glutamat (MSG).
DAFTAR PUSTAKA
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Fortifikasi Pangan untuk Atasi Masalah Gizi.
http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/blob/F6029/Fortifikasi%20Pang
an%20untuk%20Atasi%20Masalah%20Gizi.htm
Gustian, A. (2013). Perkembangan Program Fortifikasi Pangan dan Identifikasi Pangan yang
Difortifikasi. https://repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/63945/1/I13agu.pdf
Darlan, A. (2012). Fortifikasi dan Ketersediaan Zat Besi pada Bahan Pangan Berbasis Kedelai
dengan Mengunakan Fortifikan FeSO4.7H2O Campuran FeSO4.7 H2O + Na2H2EDTA
.2H2O dan NaFeEDTA. Universitas Indonesia.
Helmyati, S. et al. (2014). Fortifikasi Pangan Berbasis Sumber Daya Nusantara: Upaya
Mengatasi Masalah Defisiensi Zat Gizi Mikro di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Prihananto. (2004). Fortifikasi Pangan Sebagai Upaya Penanggulangan Anemia Gizi Besi.
Institut Pertanian Bogor.
Gustian, A.E. (2013). Perkembangan Program Fortifikasi Pangan dan Identifikasi Pangan yang
Difortifikasi. Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian
Bogor.
Maria Trisna Ayu T.K, et al. (2016). Fortifikasi Pangan. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Respati Indonesia. Jakarta.
Hadianti, A.D. (2015). Program Fortifikasi Untuk Perbaikan di USA dan Indonesia. Ilmu
Kesehatan Masyarakat Universitas Sebelas Maret. Solo.