Anda di halaman 1dari 25

]MAKALAH TEKNOLOGI PANGAN DAN GIZI

FORTIFIKASI PADA PANGAN

Dosen Pengampu :

Rusman Effendi, SKM, M.Si

Kelompok I :

Aura Karenina Zamri 2017710037


Diah Kusumawidiastani 2017710031
Intan Rosenanda Sofiany 2017710051

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2019
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI 1

DAFTAR TABEL 2

DAFTAR GAMBAR 3

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 4

1.2 Rumusan Masalah 5

1.3 Tujuan

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Fortifikasi

2.2 Tujuan Fortifikasi 6

2.3 Sejarah Fortifikasi Pangan di Indonesia

2.4 Klasifikasi Fortifikasi Pangan 7

2.5 Jenis-jenis Fortifikasi Pangan 1

2.6 Teknik dan Syarat Fortifikasi Pangan

2.6.1 Teknik-teknik Fortifikasi Pangan

2.6.2 Syarat-syarat Fortifikasi Pangan

2.7 Peran Fortifikasi Pangan dalam Permasalahan Gizi di Indonesia

2.8 Contoh Makanan Yang Difortifikasi

2.9 Kelebihan dan Keterbatasan Fortifikasi Pangan

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan 26

DAFTAR PUSTAKA 27
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Makanan Yang Difortifikasi di Beberapa Negara Asia 10


DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Dampak Fortifikasi Besi di Beberapa Negara 12


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia memiliki beban masalah gizi ganda, yaitu masalah gizi kkurang dan gizi lebih.
Masalah gizi kurang yang sedang kita hadapi diantaranya Anemia Defisiensi Besi (ADB),
Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY), Kurang Vitamin A (KVA), dan Kurang Energi
Protein (KEP). Sementara itu, masalah gizi lebih yang mulai mengalami peningkatan prevalensi
yaitu obesitas. Melihat permasalahan tersebut, pemerintah, industry dan masyarakat harus
bersama-sama bahu membahu untuk mengatasi masalah ini. Salah satu usaha untuk
mengatasinya ialah dengan jalan fortifikasi mikronutrien pada produk pangan.
Perbaikan pangan berupa modifikasi dan diversifikasi pangan merupakan metoda yang
paling ideal. Namun, seringkali dalam prakteknya memiliki berbagai keterbatasan, antara lain
sulitnya merubah kebiasaan kesukaan seseorang akan jenis makanan serta mahalnya bahan
pangan yang kaya akan zat gizi mikro, contohnya zat besi dengan bioavailabilitas tinggi seperti
daging-dagingan.
Atas dasar itulah maka perlu dilakukan terobosan teknologi yang murah, memberikan
dampak yang nyata, diterima oleh masyarakat dan berkelanjutan. Diantara berbagai solusi
perbaikan gizi, fortifikasi merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan.
Fortifikasi sendiri merupakan penambahan satu atau lebih zat gizi ke dalam pangan.
Dengan demikian dengan fortifikasi ini akan mencegah defisiensi zat gizi tertentu, memperbaiki
kekurangan zat gizi, mengembalikan zat yang pada awalnya terdapat dalam jumlah yang
signifikan akan tetapi mengalami kehilangan dalam pengolahan, meningkatkan kualitas gizi
produk pangan olahan yang digunakan sebagai sumber pangan, menajamin ekuifalensi gizi dari
produk pangan olahan yang menggantikan pangan lain seperti margarin menggantikan mentega.
Makalah ini akan membahas lebih lanjut mengenai fortifikasi, diantaranya pengertian
fortifikasi, tujuan fortifikasi, sejarah fortifikasi pangan di Indonesia, klasifikasi fortifikasi, jenis-
jenis fortifikasi, peran fortifikasi pangan dalam mengatasi masalah defisiensi zat gizi mikro di
Indonesia, syarat-syarat fortifikasi pangan, contoh makanan yang difortifikasi, serta kelebihan
dan keterbatasan fortifikasi.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa itu fortifikasi dan apa tujuan dari fortifikasi ?
2. Bagaimana sejarah fortifikasi pangan di Indonesia ?
3. Apa saja klasifikasi fortifikasi pangan ?
4. Apa saja jenis-jenis fortifikasi pangan ?
5. Bagaimana syarat-syarat pangan agar dapat dilakukan fortifikasi ?
6. Bagaimana teknik fortifikasi pangan ?
7. Bagaimana peran fortifikasi pangan dalam mengatasi permasalahan gizi di Indonesia ?
8. Apa saja contoh-contoh makanan yang dapat di fortifikasi ?
9. Apa saja kelebihan dan keterbatasan dalam fortifikasi pangan ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian fortifikasi dan tujuan dari fortifikasi
2. Untuk mengetahui bagaimana sejarah fortifikasi pangan di Indonesia
3. Untuk mengetahui klasifikasi dari fortifikasi pangan
4. Untuk mengetahui jenis-jenis fortifikasi pangan
5. Untuk mengetahui bagaimana syarat-syarat pangan agar dapat dilakukan fortifikasi
6. Untuk mengetahui teknik-teknik fortifikasi pangan
7. Untuk mengetahui bagaimana peran fortifikasi pangan dalam mengatasi permasalahan
gizi di Indonesia
8. Untuk mengetahui contoh-contoh makanan yang dapat di fortifikasi
9. Untuk mengetahui kelebihan dan keterbatasan dalam fortifikasi pangan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Fortifikasi

Fortifikasi adalah sebuah upaya yang sengaja dilakukan untuk menambahkan


mikronutrien yang penting, yaitu vitamin dan mineral ke dalam makanan, sehingga dapat
meningkatkan kualitas nutrisi dari pasokan makanan dan bermanfaat bagi kesehatan masyarakat
dengan risiko yang minimal untuk kesehatan (WHO, 2006). Menurut Codex Alimentarius (1983)
fortifikasi atau enrichment adalah penambahan sejumlah zat-zat gizi tertentu ke dalam bahan
pangan, baik dalam kondisi normal terdapat di dalam bahan pangan dengan tujuan mencegah
atau mengatasi defisiensi sejumlah zat gizi di dalam suatu populasi atau kelompok masyarakat
tertentu.

The Joint Food and Agricultural Organization World Health Organization (FAO/WHO)
Expert Commitee on Nutrition menganggap istilah fortification paling tepat menggambarkan
proses dimana zat gizi makro dan zat gizi mikro ditambahkan pada pangan yang dikonsumsi
secara umum. Istilah double fortification dan multiple fortification digunakan apabila dua atau
lebih zat gizi, masing-masing ditambahkan kepada pangan atau campuran pangan. Pangan
pembawa zat gizi yang ditambahkan disebut ‘Vehicle', sementara zat gizi yang ditambahkan
disebut 'Fortificant' (FAO/WHO 1971).

Diperkirakan 70 persen penduduk Indonesia masih kekurangan zat gizi makro maupun
mikro. Kekurangan energi protein berat menyebabkan marasmus dan kwashiorkor, sedangkan
kekurangan zat gizi mikro secara umum menyebabkan gangguan tumbuh kembang dan
kecerdasan, daya tahan tubuh rendah, anemia, serta meningkatkan risiko kebutaan. Fortifikasi
bahan pangan dinilai mampu mengurangi defisiensi zat gizi mikro. Dari analisa hasil survei
konsumsi pangan nasional, diidentifikasi bahan pangan yang banyak digunakan sehingga sesuai
untuk difortifikasi, yaitu minyak goreng, gula, dan tepung terigu.

2.2 Tujuan Fortifikasi

Fortifikasi pangan diterapkan dengan tujuan:


1) Memperbaiki kekurangan zat-zat dari pangan (untuk memperbaiki defisiensi akan zat gizi
yang ditambahkan);
2) Mengembalikan zat-zat yang awalnya terdapat dalam jumlah yang signifikan dalam
pangan akan tetapi mengalami kehilangan selama pengolahan;
3) Meningkatkan kualitas gizi dari produk pangan olahan (pabrik) yang digunakan sebagai
sumber pangan, bergizi misal: susu formula bayi;
4) Menjamin ekuivalensi gizi dari produk pangan olahan yang menggantikan pangan lain,
misalnya margarin yang difortifikasi sebagai pengganti mentega (Siagian A, 2003).

2.3 Sejarah Fortifikasi Pangan di Indonesia


Negara pertama yang melakukan fortifikasi adalah Amerika Serikat dan Switzerland
pada tahun 1920 dengan dikeluarkannya peraturan mengenai fortifikasi garam dengan zat
iodium. Fortifikasi pangan terbukti sebagai strategi yang paling efektif untuk mengatasi
masalah kekurangan zat gizi mikro di Eropa, Amerika Utara dan Amerika Latin serta
beberapa negara maju lainnya. Sebagai contoh, program fortifikasi margarin dengan vitamin
A berhasil menghilangkan riketsia di Inggris, Kanada, dan Eropa Utara.
Pada tahun 1924 tidak lama setelah program tersebut dilaksanakan di luar negeri,
pemerintah Belanda di Indonesia mengeluarkan peraturan mengenai yodisasi gram. Satu-
satunya penghasil garam adalah PN Garam di Madura sehingga memudahkan proses kontrol
kualitas. Akan tetapi setelah masa kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, produsen garam
tidak lagi hanya PN Garam, tetapi ada produsen lainnya dan peraturan tersebut tidak lagi
dilaksanakan. Sejak dikeluarkannya inpres wajib yodiumisasi garam pada tahun 1994,
kemudian dilanjutkan dengan penelitian fortifikasi zat besi pada tepung terigu di tahun 1997.
Pada tahun 2001/2002 terbitlah SNI wajib fortifikasi tepung terigu, Komisi fortifikasi
Indonesia (KFI), UNICEF, Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi IPB dan Forum
Komunikasi Pangan di Indonesia bekerjasama melakukan studi fortifikasi di beberapa
wilayah Indonesia. Hasil yang didapat dalam studi tersebut yakni fortifikasi pada beberapa
jenis bahan pangan dapat berperan untuk mengatasi masalah kekurangan zat gizi mikro di
Indonesia.

2.4 Klasifikasi Fortifikasi Pangan


Fortifikasi terbagi menjadi dua:
1) Fortifikasi sukarela (voluntary)
Fortifikasi sukarela merupakan program fortifikasi yang dilakukan atas inisiatif
pengusaha atau produsen pangan tanpa diwajibkan oleh undang-undang atau peraturan
pemerintah. Tujuannya adalah untuk meningkatkan nilai jual serta menarik konsumen
lebih banyak dan bukan untuk memperbaiki gizi masyarakat.
2) Fortifikasi wajib (mandatory)
Fortifikasi yang diatur oleh undang-undang dan peraturan pemerintah dengan tujuan
utama mengatasi masalah KGM (Kekurangan Zat Gizi Mikro). Sasaran utama program
ini adalah masyarakat miskin serta masyarakat secara umum. Program ini merupakan
tanggung jawab pemerintah bekerja sama dengan beberapa industri pangan yang terkait
dengan jenis pangan yang difortifikasi.

2.5 Jenis-jenis Fortifikasi Pangan


2.5.1 Berdasarkan Target Sasaran
a. Fortifikasi Massal (Mass Fortification)
Fortifikasi massal merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut
penambahan satu atau lebih zat gizi mikro pada pangan yang biasa dikonsumsi oleh
masyarakat umum, seperti sereal, bumbu, dan susu. Biasanya, fortifikasi jenis ini
dilakukan jika mayoritas masyarakat memiliki risiko terkena defisiensi zat gizi
tertentu, sedangkan masyarakat yang tidak memiliki tanda-tanda kekurangan zat
gizi tertentu dapat memperoleh manfaat dari fortifikasi yang dilakukan.
Contoh dari fortifikasi jenis ini adalah penambahan asam folat pada tepung
terigu. Fortifikasi ini pertama kali dilakukan di Kanada, Amerika Serikat, dan
beberapa negara di Amerika Latin untuk menurunkan risiko bayi lahir cacat.

b. Fortifikasi untuk Populasi tertentu (Targeted Fortification)


Fortifikasi ini ditujukan untuk kelompok tertentu sehingga asupan zat
gizinya meningkat. Misalnya, fortifikasi pada makanan tambahan untuk bayi dan
balita, makanan yang dikembangkan untuk program makanan tambahan pada
anak sekolah, biscuit khusus untuk anak-anak dan wanita hamil, dan makanan
untuk kondisi darurat seperti pengungsi.
Makanan untuk pengungsi telah diatur oleh World Food Programme
(WFP) yang pedomannya meliputi fortifikasi (termasuk campuran gandum dan
kedelai serta jagung dan kedelai) dan telah memenuhi semua atau hampir
keseluruhan kebutuhan energi dan protein pengungsi. Namun, pada kenyataannya,
beberapa makanan tidak mampu memenuhi kebutuhan zat gizi mikro. Oleh
karena itu, pemberian zat gizi mikro tertentu pun perlu dilakukan. Misalnya,
tambahan kebutuhan garam beryodium, tablet tambah darah untuk ibu hamil, dan
vitamin A dosis tinggi untuk anak-anak dan wanita pasca melahirkan. Selain itu,
jika memungkinkan, tambahkan buah dan sayuran segar pada makanan para
pengungsi. Makanan fortifikasi untuk pengungsi lebih sering diprioritaskan untuk
anak-anak dan wanita hamil/menyusui.

2.5.2 Berdasarkan Pertimbangan Hukum


a. Mandatory Fortification
Mandatory fortification terjadi ketika pemerintah mewajibkan secara legal
produsen makanan untuk menambahkan zat gizi mikro pada makanan dalam
kategori tertentu. Penentuan dan pengaturan fortifikasi jenis ini diatur dan
sepenuhnya dipertanggungjawabkan oleh pemerintah. Pemerintah bertanggung
jawab untuk memastikan bahwa kombinasi makanan pembawa dan zat fortifikan
berkhasiat dan efektif untuk kelompok sasaran, serta aman dan baik untuk
kelompok sasaran maupun kelompok bukan sasaran. Makanan pembawa berasal
dari komoditas daerah tersebut (lokal), seperti beberapa jenis tepung, gula, dan
garam yang tersedia di took atau pasar yang bisa langsung diperoleh konsumen
sebagai bahan dari bahan makanan olahan atau makanan olahan yang
ditambahkan fortifikan pada titik tertentu proses pembuatannya. Dengan alasan
bahwa komoditas lokal dikonsumsi secara luas dan rutin, maka komoditas ini
lebih cocok untuk fortifikasi massal (mass fortification), yakni mencapai seluruh
populasi, sedangkan makanan yang dibuat atau diformulasikan secara khusus
biasanya merupakan pembawa yang lebih baik untuk fortifikasi pada kelompok
tertentu (targeted fortification).
Secara umum, mandatory fortification lebih sering dilakukan untuk
fortifikasi makanan dengan zat gizi mikro seperti yodium, zat besi, vitamin A, dan
asam folat. Dari semua itu, program garam beryodium merupakan program paling
banyak dilakukan sebagai fortifikasi massal yang diatur oleh pemerintah. Contoh
lain adalah penambahan vitamin A pada gula dan margarin serta penambahan zat
besi pada tepung (biasanya bersama vitamin B12, B2, dan niasin).
Sementara itu, karakteristik makanan pembawa yang dipilih untuk
fortifikasi jenis ini biasanya harus bisa dijelaskan, baik secara fisik, sifat intrinsik,
maupun tujuan spesifiknya. Sebagai contoh adalah tepung, dapat dijelaskan
sebagai tepung yang warnanya putih atau tepung yang berasal dari biji-bijian
tertentu, atau tepung khusus sebagai bahan roti. Penentuan syarat fortifikasi
mungkin hanya berlaku untuk bahan makanan yang telah diidentifikasi dengan
cara tertentu. Sebagai contoh, di Amerika Serikat hanya tepung terigu dan produk
lain dari biji-bijian yang diidentifikasi dan diberi label ‘diperkaya’ dan diwajibkan
oleh hukum untuk diberi tambahan asam folat (dan beberapa zat gizi mikro
esensial). Hal yang sama juga dilakukan di Australia dan New Zealand yang
mewajibkan penambahan yodium hanya pada garam.
Meskipun masalah kesehatan bervariasi, tetapi fortifikasi massal dapat
dilakukan pada kondisi ini, terutama jika makanan fortifikasi berlabel merupakan
sebagian besar makanan yang berada di pasaran dan ketersediaannya stabil untuk
semua kelas makanan.
Mandatory fortification biasanya didukung oleh sejumlah bukti bahwa
populasi sasaran mengalami kekurangan atau asupan yang tidak adekuat. Hal ini
ditunjukkan oleh tanda klinis atau biokimia dari kekurangan tersebut dan/atau
asupan yang terlalu rendah dari zat gizi mikro yang dimaksud.

b. Voluntary Fortification
Fortifikasi disebut sebagai voluntary fortification ketika pembuat makanan
dengan bebas memilih makanan khusus sebagai tanggapan atas izin yang
diberikan pada hukum makanan atau keadaan khusus yang mendorong
pemerintah mengizinkan fortifikasi dilakukan. Dorongan untuk melakukan
voluntary fortification biasanya muncul dari industri dan konsumen yang mencari
keuntungan kesehatan yang mungkin diperoleh melalui peningkatan asupan zat
gizi mikro.
Ketika membuat peraturan mengenai voluntary fortification, pemerintah
wajib memastikan bahwa konsumen tidak disesatkan atau ditipu oleh praktik
fortifikasi. Selain itu, pemerintah juga harus yakin bahwa promosi makanan
terfortifikasi tidak bertentangan dengan kebijakan yang menyangkut pangan
nasional dan makanan sehat. Hal ini dapat dicapai melalui peraturan tentang
berbagai makanan yang memenuhi syarat untuk voluntary fortification dan
kombinasi yang diizinkan dari zat gizi mikro tertentu dan makanan.
Saat ini banyak negara telah mengizinkan voluntary fortification dengan
keragaman makanan yang difortifikasi di tiap negara. Beberapa negara di
Skandinavia hanya mengizinkan sedikit makanan yang bisa difortifikasi,
sedangkan di Amerika Serikat produk yang dapat difortifikasi jauh lebih banyak.
Begitu juga untuk zat fortifikan yang diizinkan adalah beberapa zat gizi mikro
yang terpilih dan dianggap penting.

2.6 Teknik dan Syarat Fortifikasi Pangan


2.6.1 Teknik-teknik Fortifikasi Pangan
a. Dry Mixing
Teknik dry mixing atau pencampuran kering adalah salah satu teknik
fortifikasi seluruh bahan, baik fortifikan maupun bahan makanan yang
difortifikasi dicampur seluruhnya dalam keadaan kering. Teknik ini digunakan
untuk fortifikasi bahan makanan berbentuk bubuk seperti tepung-tepungan,
serealia, susu bubuk, dan minuman bubuk.

b. Hot Extrusion
Prinsip kerja metode hot extrusion adalah menggunakan suhu dan tekanan
tinggi pada bahan makanan yang difortifikasi. Suhu yang digunakan berkisar
antara 70-100 derajat celcius dengan tekanan <110 Psi. penelitian yang dilakukan
dengan metode ini adalah fortifikasi mineral pada beras, gandum, atau produk
serealia lainnya. Tepung beras mula-mula dicampur dengan fortifikan, air, bahan
pengikat, dan bahan penstabil hingga membentuk suatu adonan. Adonan
kemudian dilewatkan di mesin press (mesin penekan, ed.) bersuhu tinggi yang
juga akan memotong adonan menjadi butiran-butiran kecil berbentuk nasi atau
serealia.
Penggunaan suhu tinggi menyebabkan butiran-butiran yang dihasilkan
memiliki hasil yang hampir sama dengan beras pada umumnya, yaitu mengilap,
transparan, serta memiliki konsistensi dan rasa yang hampir sama dengan butir
beras asli. Metode ini lebih cocok untuk program fortifikasi berskala besar karena
biaya yang dikeluarkan cenderung lebih besar dibandingkan dengan metode
fortifikasi lainnya.
Contoh-contoh produk hot extrusion adalah sebagai berikut :
1. Mikroenkapsulasi
Enkapsulasi adalah suatu jenis teknik pelapisan atau
pembungkusan suatu material (inti) menggunakan substansi yang lain
(lapisan pembungkus) berupa material polimer untuk melindungi material
yang ada di bagian dalamnya. Teknik ini disebut mikroenkapsulasi apabila
ukuran partikel yang dienkapsulasi kurang dari 500 mikron. Material inti
yang dienkapsulasi dapat berupa material padat, cair, maupun gas. Material
inti tersebut umumnya merupakan suatu senyawa aktif yang perlu dilindungi
dari reaksi langsung dengan lingkungan luarnya atau perlu diisolasi hingga
kondisi material inti siap untu dilepaskan dari lapisan pembungkusnya.
Teknik enkapsulasi memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut :
 Memudahkan pencampuran molekul-molekul mudah rusak seperti
antioksidan, mineral, vitamin, asam-asam lemak, dan probiotik ke
dalam makanan
 Mencegah degradasi material inti dengan cara mengurangi adanya
reaksi langsung dengan lingkungan di luarnya
 Memudahkan dalam mengendalikan sifat fisik material inti
 Material inti yang telah dienkapsulasi dapat dikendalikan waktu
rilisnya dari lapisan pembungkusnya
 Memungkinkan adanya penambahan beberapa senyawa aktif pada
suatu makanan tanpa adanya reaksi satu sama lain dari senyawa-
senyawa tersebut

Kaitannya dengan fortifikasi bahan makanan, teknik


mikroenkapsulasi juga dianggap sebagai salah satu metode yang efektif,
khususnya pada fortifikasi ganda. Beberapa fortifikan seperti mineral,
vitamin, atau bahan-bahan lainnya yang difortifikasi bersama-sama dalam
satu makanan dapat saling berinteraksi dan memunculkan efek, baik yang
menguntungkan maupun yang tidak. Dengan mengenkapsulasi masing-
masing fortifikan maka efek samping dari reaksi antarfortifikan tersebut
sintesis maupun alami, bergantung material inti dan karakteristik hasil
mikrokapsul yang diinginkan.dapat diminimalisasi.

2. Bahan Dasar Lapisan Pembungkus


Bahan dasar pembungkus material inti dalam teknik
mikroenkapsulasi pada dasarnya dapat dibuat dari berbagai jenis polimer

3. Teknik-teknik dalam Proses Mikroenkapsulasi


 Spray-drying
 Spray-cooling atau spray-chilling
 Freeze-drying
 Fluidized bed coating

c. Cold Extrusion
Proses cold-extrusion hampir sama dengan hot extrusion. Perbedaannya
terletak pada suhu yang digunakan, yakni dibawah 70 derajat celcius. Teknik ini
juga lebih banyak digunakan untuk fortifikasi beras. Adonan yang terdiri atas
tepung beras, fortifikan, dan air dilewatkan pada alat penggiling yang juga akan
memotong adonan menjadi partikel-partikel berukuran kecil menyerupai beras.
Karena tidak menggunakan suhu yang tinggi, maka beras yang dihasilkan belum
matang, tidak mengilap, dan penampakannya tidak terlalu mirip dengan butiran
beras asli. Negara yang menggunakan teknik ini untuk memfortifikasi beras
diantaranya adalah Amerika Serikat, Filipina, dan Costa Rica.

d. Dusting
Teknik fortifikasi ini juga biasa digunakan untuk fortifikasi beras. Serbuk
fortifikan akan ditaburkan pada butiran-butiran beras. Serbuk tersebut kemudian
akan melekat pada permukaan beras karena adanya gaya elektrostatik antara beras
dan partikel fortifikan. Negara yang telah menggunakan teknik ini adalah
Amerika Serikat. Beras yang difortifikasi dengan teknik ini sebaiknya tidak dicuci
sebelum dimasak atau tidak dimasak dengan air yang terlalu banyak karena
dikhawatirkan mineral yang ada di permukaan beras akan hilang. Hal inilah yang
membuat teknik fortifikasi tidak cocok digunakan di negara-negara berkembang
termasuk Indonesia yang sebagian besar masyarakatnya selalu mencuci beras
terlebih dahulu sebelum dimasak.

e. Teknik yang Melibatkan Proses Kimiawi


 Coacervation
Coacervation adalah proses pemisahan dua fase cair dalam sebuah koloid.
 Cocrystallization
Teknik ini merupakan teknik popular untuk menggabungkan
komponen aroma dengan sirop sukrosa melalui kristalisasi spontan di
bawah suhu >120 derajat celcius dan kelembapan rendah (95 – 97 derajat
Brix). Karena kemudahan dalam prosesnya, teknik ini memiliki peluang
untuk digunakan secara lebih luas di masa mendatang.

2.6.2 Syarat-syarat Fortifikasi Pangan


Menurut (Prihananto, 2004 dalam Darlan, 2012) pangan yang akan difortifikasi
memiliki syarat-syarat tertentu, yaitu sebagai berikut:
1. Pangan merupakan makanan yang sering dan banyak dikonsumsi penduduk
termasuk penduduk miskin
2. Pangan hasil fortifikasi, sifat organoleptiknya tidak berubah dari sifat aslinya
3. Pangan yang difortifikasi aman untuk dikonsumsi dan ada jaminan terhadap
kemungjinan efek samping negatif
4. Pangan yang difortifikasi, diproduksi dan diolah oleh produsen yang terbatas
jumlahnya
5. Tersedia teknologi fortifikasi sesuai dengan pangan pembawa dan fortifikan yang
digunakan
6. Harus ada sistem monitoring yang tegas terhadap pabrik-pabrik fortifikasi
7. Ada kerjasama yang nyata antara pihak pemerintah, non pemerintah, dan swasta
8. Perlu mekanisme untuk melakukan evaluasi perkembangan fortifikasi
9. Pangan hasil fortifikasi, harganya tetap terjangkau oleh kelompok target
10. Dari sisi konsumen diyakini tidak akan terjadi konsumsi berlebihan

Sedangkan menurut (Soekirman, 2008 dalam Gustian, 2013) terdapat dua macam
fortifikasi yaitu fortifikasi sukarela oleh industri pangan kemasaan untuk
meningkatkan nilai tambah dan fortifikasi wajib yang bertujuan untuk mengatasi
masalah kekurangan gizi masyarakat, khususnya masyarakat miskin.
Syarat untuk fortifikasi wajib:
1. Makanan yang umumnya selalu ada disetiap rumah tangga dan dimakan secara
teratur dan terus menerus oleh masyarakat termasuk masyarakat miskin
2. Makanan diproduksi dan diolah oleh produsen yang terbatas jumlahnya, agar mudah
diawasi proses fortifikasinya
3. Tersedianya teknologi fortifikasi untuk makanan yang dipilih
4. Makanan tidak berubah rasa, warna dan konsistensi setelah difortifikasi
5. Tetap aman dalam arti tidak membahayakan kesehatan. Oleh karena itu, program
fortifikasi harus diatur oleh undang-undang atau peraturan pemerintah, diawasi dan
dimonitor, serta dievaluasi secara teratur dan terus menerus.
6. Harga makanan setelah difortifikasi tetap terjangkau daya beli konsumen yang
menjadi sasaran
Berdasarkan persyaratan tersebut, makanan yang umumnya dapat difortifikasi
wajib terbatas hanya pada jenis makanan pokok yaitu terigu, jagung, beras serta
makanan penyedap atau bumbu seperti garam, minyak goreng, gula, kecap kedelai,
kecap ikan, dan Mono Sodium Glutamat (MSG). Pilihan zat gizi yang ditambahkan ke
dalam makanan untuk difortifikasi (fortifikan) ditentukan oleh masalah kekurangan
gizi yang ada dengan pertimbangan teknis kimiawi, daya serap dalam sistem
pencernaan, manfaat biologis (bioavailability), dan pengaruhnya terhadap rasa,
penampilan, keamanan makanan, dan harga. Setiap negara menentukan jenis makanan
yang akan difortifikasi yang disebut sebagai makanan pembawa (vehicles), sesuai
dengan pola makan setempat serta memenuhi syarat untuk fortifikasi wajib. Penentuan
jenis dan dosis fortifikan yang dipakai disesuaikan dengan makanan pembawa,
peraturan pemerintah dan internasional (WHO/FAO), kebutuhan tubuh, serta masalah
kekurangan gizi setempat.

2.7 Peran Fortifikasi Pangan dalam Permasalahan Gizi di Indonesia


1. Anemia Defisiensi Besi
Salah satu upaya yang sudah dilakukan untuk mengatasi anemia adalah dengan
meningkatkan asupan besi melalui suplementasi besi, teutama pada wanita hamil dan
anak-anak. Selain itu, solusi berbasis makanan untuk meningkatkan asupan besi
melalui fortifikasi makanan dan diversifikasi pangan juga merupakan langkah yang
potensial dan diharapkan dapat berlangsung secara berkesinambungan di dalam
masyarakat
Fortifikasi besi lebih sulit dibandingkan fortifikasi dengan mikronutrien lain
seperti yodium atau vitamin A di dalam minyak. Sebagian besar besi larut dalam air
atau asam, dan sering kali bereaksi dengan komponen pangan lain sehingga
menyebabkan rasa yang tidak enak (off-flavour), perubahan warna dan oksidasi
lemak. Besi yang kurang larut meskipun sedikit diabsorpsi sering dipilih untuk
fortifikasi dan untuk mengurangi perubahan sensoris yang tidak diinginkan.
Fortifikasi dengan besi dosis rendah dimungkinkan merupakan jenis intervensi yang
paling aman.
Gambar 1. Dampak Fortifikasi Besi di Beberapa Negara

Sumber: Prihananto, 2004.

2. Stunted Akibat Defisiensi Zink


Beberapa pilihan program yang dapat dilakukan untuk memerangi masalah
defisiensi zink, yakni suplementasi dan fortifikasi zink, serta modifikasi pola makan.
Cara fortifikasi dianggap sebagai pilihan yang paling efektif di samping biayanya lebih
rendah dibandingkan dengan suplementasi.
Salah satu fortifikasi zink yang pernah dilakukan adalah pada susu fermentasi.
Susu dapat menjadi pangan potensial untuk fortifikasi mineral karena saat ini hampir
semua siswa mengonsumsi susu.
Suatu penelitian menyatakan bahwa kelompok yang diberikan susu fortifikasi
menunjukkan peningkatan berat dan tinggi badan yang lebih dibandingkan kelompok
yang menerima susu biasa. Pemberian susu fortifikasi zat besi dan zink pada anak
sekolah usia 7-9 tahun yang underweight juga dapat mendukung pertumbuhan dan
kecepatan berfikir. Zink terlibat dalam proses metabolism, dan dari beberapa
penelitian terlihat bahwa zink sangat mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan, dan
imunitas tubuh.
Pada kelompok anak yang diberikan susu fortifikasi zink dan zat besi, terdapat
peningkatan berat badan yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok yang
diberikan susu tanpa fortifikasi. Terdapat penurunan prevalensi anemia 3,3% lebih
tinggi pada kelompok susu fortifikasi dibandingkan yang tidak difortifikasi setelah 6
bulan intervensi. Demikian juga dengan peningkatan berat dan tinggi badan serta
penurunan underweight, stunted, dan wasted lebih tinggi pada kelompok yang
diberikan susu fortifikasi.

3. Gangguan Akibat Kekurangan Yodium


Fortifikasi yodium sudah menunjukkan kemampuannya dalam mengatasi masalah
kekurangan yodium sehingga strategi ini diadopsi oleh banyak negara. WHO
merekomendasikan fortifikasi yodium pada garam dengan dosis sekitar 150 µg/hari
atau dengan menambahkan 20-40 mg yodium/kg garam.
Garam merupakan bahan makanan yang potensial untuk difortifikasi karena
murah, mudah didapat, dan dikonsumsi setiap hari oleh seluruh lapisan masyarakat di
segala tingkat ekonomi. Garam merupakan pangan pembawa yang baik untuk yodium,
besi, ataupun keduanya. Namun, terkait dengan kestabilan dan warnanya, diperlukan
penambahan stabilitator seperti SHMP (Sodium hexametaphosphate) atau enkapsulasi.
Penggunaan garam yang difortifikasi besi mampu menurunkan prevalensi anemia dan
meningkatkan kadar hemoglobinnya. Namun pengaruh fortifikasi ganda yodium dan
besi pada hemoglobin pada berbagai penelitian menunjukkan hasil yang inkonsisten.
Pemberian garam yang telah difortifikasi dengan yodium, vitamin A, dan zat besi
selama 10 bulan mampu meningkatkan kadar hemoglobin sebesar 15 g/l. Selain itu,
prevalensi kekurangan vitamin A dan anemia defisiensi besi juga secara signifikan
lebih rendah dibandingkan dengan kelompok yang mendapatkan garam beryodium
saja.

4. Kekurangan Vitamin A
Fortifikasi pangan pada margarin dan susu dengan vitamin A sudah banyak
dilakukan di negara barat. Di negara berkembang, biasanya menggunakan gula, tepung
terigu, beras, dan produk serealia lain, teh, produk susu, margarin dan sebagainya.
Teknologi fortifikasi juga sudah berkembang pesat, seperti yang dilakukan pada
tepung terigu dengan vitamin A kering, dengan retensi lebih dari 95% sampai 1 tahun
pada suhu ≥40 derajat celcius. Sekitar 70% aktivitas vitamin A masih bertahan setelah
pemanggangan.

2.8 Contoh Makanan Yang Difortifikasi

Tabel 1. Makanan Yang Difortifikasi di Beberapa Negara Asia


Negara Makanan yang difortifikasi Fortifikan
Cina - Kecap kedelai dan ikan - Zat besi
- Tepung terigu - Zat besi, asam folat dan
vitamin A
India - Tepung terigu - Zat besi, asam folat dan
- Gula vitamin B
- Minyak - Vitamin A
- Teh - Vitamin A
- Susu - Vitamin A
Philipina - Tepung terigu - Zat besi, asam folat dan
vitamin A
Thailand - Mie - Zat besi, iodium dan
- Beras vitamin A
- Zat besi, vitamin B1, B3,
B6 dan niacin
Vietnam - Kecap ikan - Zat besi
- Gula - Vitamin A
Indonesia - Garam - Iodium
- Tepung terigu - Zat besi, seng, asam folat,
vitamin B1 dan B2
Sumber: Soekirman 2008 dalam Gustian (2013).

 Fortifikasi Pada Produk Pengolahan Hasil Ternak (Maria et al, 2016):


1) Fortifikasi Pada Susu
Penambahan fortifikan protein pada susu bubuk biasanya menggunakan kasein dan whei, namun
keduanya sangat mahal dan belum diproduksi di dalam negeri maka diperlukan sumber protein yang lebih
murah. Hasil penelitan Hera (2012) ini mengindikasikan bahwa IPPUS berpotensi untuk dikembangkan
sebagai fortifikan untuk menghasilkan susu bubuk tinggi protein. Prosedur yang dilakukan melalui enam
tahap yakni pembuatan tepung pupa, penghilangan lemak (delipidasi), isolasi protein, pengeringan isolate,
fortifikasi isolate ke dalam susu bubuk dan analisis kualitas susu bubuk yang telah difortifikasi. Delipidasi
menjadi tahapan yang sangat penting karena lemak merupakan komponen terbesar kedua setelah protein
dalam bahan kering tepung pupa. Fortifikasi IPPUS pada taraf 20% menghasilkan susu bubuk dengan kadar
protein yang berbeda nyata yakni 40,44% dan kecernaan protein secara in vitro sebesar 95,15%. Kadar
protein ini mencukupi 32,15%-40,44% kebutuhan protein harian manusia.
2) Fortifikasi Pada Keju
Keju cottage yang beredar di pasaran hampir memiliki semua kebaikan susu, namun kandungan vitamin
C nya sangat rendah. Selama proses pengolahan, akibat adanya panas dan sinar maka kandungan vitamin C
dalam susu hampir sebagian besar telah teroksidasi. Padahal vitamin C yang secara kimia berguna sebagai
antioksidan bagi beberapa jenis makanan termasuk produk olahan susu (deMan, 1997).
Sweeney dan Ashoor (1998) telah melakukan fortifikasi vitamin A dan C sintetik pada keju cottage,
diperoleh hasil bahwa fortifikasi tidak mempengaruhi pH dan sifat sensori keju secara signifikan. Beberapa
penelitian lebih lanjut menjelaskan tentang pembuatan keju cottage terfortifikasi vitamin C. Penelitian yang
dilakukan yaitu pembuatan keju cottage berbahan dasar susu skim dengan bakteri starter Streptococcus
thermophilus, Lactococcus lactis, dan Leuconostoc mesenteroides dan papain sebagai koagulan serta
fortifikasi sari buah lemon sebagai sumber vitamin C alami dalam berbagai perbandingan untuk
meningkatkan vitamin C keju yang dihasilkan.

2.9 Kelebihan dan Kekurangan Fortifikasi Pangan


Dalam program fortifikasi pangan tentu terdapat kelebihan dan kekurangan seperti yang
disebutkan dalam Hadianti (2015), yaitu sebagai berikut:
1. Kelebihan
a) Makanan fortifikasi yang dikonsumsi secara teratur dan sering, dapat menjaga gizi
pada tubuh lebih efisien dan efektif dari pada suplemen dan dapat menurunkan risiko
beberapa kekurangan yang mungkin timbul dari defisit musiman dalam penyediaan
makanan atau diet berkualitas rendah.
b) Makanan yang difortifikasi mungkin mengandung zat gizi mikro yang dapat
mencapai diet seimbang dengan baik.
c) Fortifikasi didistribusikan secara luas pada makanan yang banyak dikonsumsi,
sehingga memiliki potensi untuk meningkatkan status gizi sebagian besar populasi
umum.
d) Fortifikasi tidak memerlukan perubahan dalam pola makanan yang ada atau
kepatuhan individu.
e) Sistem pembawa untuk makanan yang difortifikasi biasanya sudah ada, umumnya
melalui sektor swasta.
f) Dimungkinkan untuk memfortifikasikan makanan dengan beberapa mikronutrien
secara bersamaan. Total biaya makanan tidak sebagian besar dipengaruhi oleh
penambahan lebih mikronutrien.
g) Dengan peraturan yang tepat di tempat tinggal, maka fortifikasi dapat meminimalkan
risiko toksisitas kronis dengan fortifikasi.
h) Dengan sistem pangan yang tepat dan teknologi yang ada, fortifikasi makanan lebih
hemat biayanya daripada strategi lain (Allen et al., 2006).

2. Kelemahan
Fortifikasi merupakan pendekatan yang lebih disukai daripada strategi lain
berdasarkan kelebihan di atas. Namun, ada kelemahan atau lebih tepatnya keterbatasan
fortifikasi makanan yang meliputi (Allen et al., 2006):
a) Mengkonsumsi makanan yang difortifikasi bukanlah pengganti yang baik untuk
kualitas diet seimbang dalam menghasilkan energi, protein, lemak esensial-yang
diperlukan untuk kesehatan yang optimal.
b) Mengoreksi masalah kekurangan mikronutrien melalui fortifikasi pangan bisa
menjadi sulit karena mikronutrien yang lengkap bahkan beranekaragam pada
makanan yang tersedia, tidak mungkin dapat dikonsumsi dalam jumlah yang cukup.
Semua kelompok sasaran dalam populasi umum mungkin tidak mengkonsumsi
makanan yang difortifikasi, seperti:
1) Bayi dan anak kecil mengkonsumsi sejumlah kecil makanan dan karena itu
cenderung untuk dapat memperoleh asupan yang direkomendasikan dari semua
mikronutrien dari makanan yang dfortifikasi saja; makanan pembawa zat gizi
mungkin tidak mudah diakses atau tidak tersedia untuk kelompok-kelompok
penduduk yang tinggal di daerah terpencil.
2) Kelompok berpenghasilan-rendah, khususnya di negara berkembang sering
mengandalkan makanan pembawa zat gizi dari sistem yang diproduksi secara
lokal. Oleh karena itu lebih berisiko kekurangan zat gizi mikro, dibandingkan
dengan kelompok masyarakat lainnya yang mengkonsumsi makanan olahan.
3) Kelompok miskin atau penduduk berpenghasilan rendah sering menderita karena
kekurangan beberapa mikronutrien sebagai akibat dari kurangnya asupan dalam
diet secara keseluruhan. kelompok-kelompok ini tidak mungkin untuk
mendapatkan asupan yang disarankan dari semua mikronutrien pada makanan
yang difortifikasi.
c) Masalah teknologi yang berkaitan dengan fortifikasi makanan pembawa, terutama
kadar gizi yang ditambahkan, stabilitas penambah, interaksi hara, karakteristik sifat
fisik, dan kemampuan konsumen dalam menerima, termasuk sifat memasak dan rasa.
d) Sifat alami makanan pembawa, penambah, atau keduanya, mungkin membatasi
jumlah fortifikan agar dapat berhasil ditambahkan. Kualitas sensorik makanan seperti
warna dan rasa, dan stabilitas micronutrient mungkin akan terpengaruh. Dan juga,
interaksi antara gizi dalam makanan dapat terjadi (misalnya, kehadiran sejumlah
besar kalsium dapat menghambat penyerapan zat besi dari makanan yang
difortifikasi, kehadiran vitamin memiliki efek berlawanan pada besi, dan dengan
demikian meningkatkan penyerapan zat besi).
e) Seluruh makanan fortifikasi ini terbukti lebih hemat biaya dari strategi lain, tetapi
ada biaya lebih yang mendasari terkait dengan proses fortifikasi yang dapat
membatasi pelaksanaan dan efektivitas program fortifikasi makanan (misalnya, biaya
permulaan, percobaan, percontohan dan pengujian, biaya pengawasan yang efektif,
dan sistem evaluasi untuk memastikan makanan yang difortifikasi efektif dan aman).
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Fortifikasi adalah sebuah upaya yang sengaja dilakukan untuk menambahkan
mikronutrien yang penting, yaitu vitamin dan mineral ke dalam makanan, sehingga dapat
meningkatkan kualitas nutrisi dari pasokan makanan dan bermanfaat bagi kesehatan
masyarakat dengan risiko yang minimal untuk kesehatan (WHO, 2006). Fortifikasi
diklasifikasikan menjadi dua yaitu fortifikasi sukarela (voluntary) dan fortifikasi wajib
(mandatory). Fortifikasi dibagi menjadi beberapa jenis: fortifikasi massal, fortifikasi untuk
populasi tertentu, mandatory fortification, voluntary fortification. Teknik fortifikasi yaitu
dry mixing, hot extrusion, cold extrusion, dusting, teknik yang melibatkan proses kimiawi.
Fortifikasi dapat berperan dalam mengatasi beberapa permasalahan gizi di Indonesia
seperti Anemia Defisiensi Besi, Stunted Akibat Defisiensi Zink, GAKY, dan KVA.
Makanan yang umumnya dapat difortifikasi wajib terbatas hanya pada jenis makanan pokok
yaitu terigu, jagung, beras serta makanan penyedap atau bumbu seperti garam, minyak
goreng, gula, kecap kedelai, kecap ikan, dan Mono Sodium Glutamat (MSG).
DAFTAR PUSTAKA

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Fortifikasi Pangan untuk Atasi Masalah Gizi.
http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/blob/F6029/Fortifikasi%20Pang
an%20untuk%20Atasi%20Masalah%20Gizi.htm

Gustian, A. (2013). Perkembangan Program Fortifikasi Pangan dan Identifikasi Pangan yang
Difortifikasi. https://repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/63945/1/I13agu.pdf

Darlan, A. (2012). Fortifikasi dan Ketersediaan Zat Besi pada Bahan Pangan Berbasis Kedelai
dengan Mengunakan Fortifikan FeSO4.7H2O Campuran FeSO4.7 H2O + Na2H2EDTA
.2H2O dan NaFeEDTA. Universitas Indonesia.

Helmyati, S. et al. (2014). Fortifikasi Pangan Berbasis Sumber Daya Nusantara: Upaya
Mengatasi Masalah Defisiensi Zat Gizi Mikro di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.

Prihananto. (2004). Fortifikasi Pangan Sebagai Upaya Penanggulangan Anemia Gizi Besi.
Institut Pertanian Bogor.

Gustian, A.E. (2013). Perkembangan Program Fortifikasi Pangan dan Identifikasi Pangan yang
Difortifikasi. Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian
Bogor.

Maria Trisna Ayu T.K, et al. (2016). Fortifikasi Pangan. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Respati Indonesia. Jakarta.

Hadianti, A.D. (2015). Program Fortifikasi Untuk Perbaikan di USA dan Indonesia. Ilmu
Kesehatan Masyarakat Universitas Sebelas Maret. Solo.

Anda mungkin juga menyukai