Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan merupakan suatu inntervensi untuk

meningkatkan kualitas sumberdaya manusia (SDM) dalam mendukung

percepatan nasional. Tahun 2015 merupakan tahun transisi dari

berakhirnya Millenium Developmen Goals (MDGs) yang berhasil sebagai

pendorong tindakan-tindakan dalam mengurangi kemiskinan dan

meningkatkan pembangunan masyarakat. Keberhasilan MDGs akan

dilanjutkan dengan program yang di sebut Sustainable Development

Goals (SDGs) tahun 2016. Berdasarkan pada hasil Open Working Group

on Sustainable Development Goals (SDGs) yang akan menjadi target dan

tujuan pembangunan dunia sampai tahun 2030, salah satu tujuannya

adalah menjamin kehidupan yang sehat dan mendorong kesejahteraan

bagi setiap orang dalam segala usia (Kemenkes RI, 2015).


Tujuan pembangunan kesehatan yaitu untuk meningkatkan

kesadaran, kemampuan dan kemauan untuk hidup sehat bagi setiap orang

agar terwujud kesehatan masyarakat yang optimal, salah satu indikator

pembangunan kesehatan adalah angka kematian bayi dan anak balita yang

masih sangat tinggi (Kemenkes RI, 2016).


Menurut WHO (World Health Organization) angka kematian bayi

dan anak balita pada tahun 2013 masih tinggi mencapai 6,3 juta jiwa.

Kematian balita tertinggi terjadi di negara berkembang sebanyak 92%

1
2

atau 29.000 balita/hari (Rahman dkk, 2014). Sedangkan di Indonesia

kasus pneumonia (termasuk ISPA) mencapai 22.000 jiwa menduduki

peringkat ke delapan sedunia (WHO, 2014). Hasil survey Angka kematian

bayi (AKB) dari 32 menjadi 24 per 1.000 kelahiran hidup. Berdasarkan

hasil survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012,

angka Kematian Neonatus (AKN) sebesar 19 per 1.000 kelahiran hidup.

Indikator angka kematian sangat berhubungan dengan angka Kematian

Bayi (AKB), angka Kematian Balita (AKBA), dan angka Kematian

Neonatus (AKN) (Kemenkes RI, 2016).


Penyebab utama morbiditas (kesakitan) dan mortalitas (kematian)

penyakit menular di dunia adalah ISPA, kematian bayi dan anak balita

yangdisebabkan oleh penyakit menular seperti pneumonia (termasuk

ISPA) sebesar 935.000 (15%), diare (9%), dan malaria (7%) (WHO,

2013). Faktor penyebab dari penyakit infeksi saluran pernapasan akut

(ISPA) berkaitan dengan kondisi rumah, karakteristik balita (umur, jenis

kelamin, status gizi, berat badan lahir, ASI Eksklusif, status imunisasi),

faktor keluarga (kebiaaan merokok, pemakaian kayu bakar, pemakaian

anti nyamuk bakar), faktor lingkungan (kepadatan hunian, jenis lantai,

venilasi, pencahayaan, kelembaban, suhu, jenis dinding dan jenis atap),

dan tingkat pendidikan, pengetahuan dan keterampilan keluarga. Semakin

tinggi pendidikan, pengetahuan dan keterampilan, berarti semakin baik

pola pengasuh anak, dan semakin baik tingkat ketahanan pangan

keluarga, semakin baik pola pengasuhan anak, dan semakin banyak

keluarga mempertahankan pelayanan kesehatan. Hampir 4 juta orang


3

meninggal akibat ISPA setiap tahun, 98%- nya disebabkan oleh infeksi

saluran pernapasan bawah. Infeksi saluran pernapasan bawah menjadi

angka kematian sangat tinggi pada bayi, dan anak balita, terutama di

negara-negara dengan pendapatan perkapita rendah dan menengah. Bayi

dan anak balita merupakan kelompok masyarakat yang rentan untuk

terserang berbagai penyakit khususnya penyakit infeksi (Maramis, dkk:

2013). Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit saluran

pernafasan atas atau bawah, biasanya menular, yang dapat menimbulkan

berbagai spektrum penyakit yang berkisar dari penyakit tanpa gejala atau

infeksi ringan sampai penyakit yang parah dan mematikan, tergantung

pada patogen penyebabnya, faktor lingkungan dan faktor pejamu

(Namira, 2013). Kejadian ISPA dapat dicegah dan dikendalikan jika

mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi derajat kesehatan

seseorang. ISPA dapat mudah sekali terjadi pada anak yang mengalami

gizi buruk dan gizi kurang, dengan gizi buruk anak akan lebih sering

mengalami ISPA berat (Depkes, 2004).


Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Bambang Sutrisnadi

Indramayu dalam Agussalim (2011) didapatkan bahwa salah satu faktor

pengetahuan ibu sangat berhubungan dengan keberhasilan penanganan

penyakit ISPA pada balita, hal ini terlihat dari 139 balita yang meninggal

akibat penyakit ISPA 30 balita (22,0 %) tidak dibawa ke rumah sakit

untuk berobat, hal ini disebabkan karena masih rendahnya pengetahuan

ibu tentang penyakit ISPA. Hasil dari penelitian Tri Andrianto (2011) juga

menunjukkan bahwa kejadian ISPA terkait erat dengan pengetahuan


4

tentang ISPA yang dimiliki oleh masyarakat khususnya ibu, karena ibu

sebagai penanggung jawab utama dalam pemeliharaan kesejahteraan

keluarga pada masa baita dimana balita masih sangat tergantung kepada

ibunya, sangatlah jelas peranan ibu dalam menentukan kualitas

kesejahteraan anaknya, karena itu sangatlah diperlukan adanya informasi

kepada masyarakat mengenai ISPA agar masyarakat khuusnya ibu dapat

menyikapi lebih dini segala hal-hal yang berkaitan dengan ISPA itu

sendiri.
Menurut hasil penelitian Widarini (2009) Air Susu Ibu (ASI)

berhubungan sangat kuat dengan kejadian ISPA pada balita. ASI sangat

dianjurkan untuk balita karena ASI mengandung kolostrum yang banyak

mengandung antibodi yang salah satunya adalah BALT yang

menghasilkan antibodi terhadap infeksi pernapasan dan seldarah putih,

serta vitamin A yang dapat memberikan perlindungan terhadap infeksi

dan alergi apabila dibandingkan dengan bayi yang tidak diberikan ASI

eksklusif, bayi yang diberi ASI eksklusif jarang mengalami infeksi

saluran pernafasan bagian atas. Efek protektif dari ASI cenderung

menurunkan angka kesakitan pada balita yang diberi ASI khususnya pada

bulan-bulan awal kelahiran.Kejadian ISPA 4 kali lebih besar pada balita

yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif dibandingkan dengan balita yang

mendapatkan ASI Eksklusif.


Menurut hasil penelitian Astuti (2012) menunjukkan hubungan

berat badan lahir rendah terhadap gejala ISPA pada balita yaitu sebanyak

12 dari 21 (57,1%) balita lahir dengan berat badan lahir rendah atau
5

kurang dari 2500 gram dan mengalami ISPA. Sedangkan, sebanyak 12

dari 71 (16,9%) balita lahir dengan berat badan normal dan tidak

mengalami ISPA. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Wiwoho

(2005) yang mengatakan bahwa terdapat hubungan antara berat badan

lahir rendah dengan kejadian ISPA. Menurut Wiwoho (2005) bayi yang

lahir dengan berat badan lahir rendah memiliki resiko ISPA 3 kali lebih

besar daripada bayi yang lahir dengan berat badan normal.Berat badan

lahir menentukan pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental pada

masa balita. Bayi yang lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR)

mempunyai pusat pengaturan pernapasan yang belum sempurnadan resiko

kematian yang lebih besar dibandingkan dengan berat badan lahir normal,

terutama pada bulan pertama kelahiran karena pembentukan zat anti

kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit

infeksi, terutama pneumonia dan gangguan saluran pernafasan lainnya.


Menurut hasil penelitian dari Basit, et. Al (2016) menunjukkan

analisis hubungan antara kebiasaan merokok anggota keluarga

memperlihatkan bahwa balita yang mempunyai anggota keluarga dengan

kebiasaan merokok didalam rumah lebih banyak yaitu sebesar 205

(63,1%) di bandingkan dengan balita yang tidak mempunyai anggota

keluarga dengan kebiasaan merokok didalam rumah. Penelitian ini juga

sejalan dengan penelitian trisnawati dan khasanah (2013) dimana hasil

penelitiannya didapatkan nilai p value = 0,043, maka dapat disimpulkan

adanya hubungan kebiasaan merokok anggota keluarga dengan kejadian

ISPA pada balita dan dari hasil analisis di temukan OR: 2,917 artinya
6

balita yang memiliki anggota keluarga merokok di rumah mempunyai

peluang 2,917 akan terkena ISPA dibandingkan dengan balita yang tidak

mempunyai keluarga merokok dirumah.


World Health Organization (WHO) memperkirakan insidensi ISPA

di Negara maju berkisar 5 juta jiwa (0,05%), sedangkan di Negara

berkembang mencapai 151 juta jiwa (0,29%) (WHO, 2013). Di Indonesia

sendiri, ISPA mencapai 13,8% kasus (Kemenkes RI, 2013). Menurut

Riskesdas (2013) prevalensi kasus ISPA di Indonesia pada tahun 2013

adalah 25,0% tidak jauh berbeda dengan prevalensi pada tahun 2007

sebesar 25,5%. Prevalensi ISPA tertinggi terjadi pada kelompok umur 1-4

tahun sebesar 25,8% dan <1 tahun sebesar 22,0% (Mutiara dkk, 2016).
Prevalensi kejadian ISPA di Kalimantan Selatan menurut data

Riskesdas 2013, tidak banyak mengalami perubahan dibandingkan

Riskesdas 2007, yaitu sekitar 29-30%. Dari hasil Riskesdes 2013

prevalensi Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) berdasarkan diagnosis

tenaga kesehatan dan keluhan penduduk adalah 25%. Berdasarkan data

Riskesdas tahun 2013 terdapat lima provinsi di Indonesia dengan ISPA

tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur (41,7%), Papua (31,1%), Aceh

(30,0%), Nusa Tenggara Barat (28,3%), dan Jawa Timur (28,3%).

Sedangkan Kalimantan Selatan ke 6 dengan insiden ISPA sebesar 26,0%,

dan termasuk dalam 16 provinsi yang mempunyai penyakit infeksi

saluran pernapasan akut diatas prevalensi nasional (Shifa dkk, 2016).


Banjarbaru merupakan salah satu wilayah di Kalimantan Selatan.

Kota Banjarbaru menjadi peringkat ke 2 setelah Banjarmasin yang

memiliki kasus ISPA pada bayi dan balita yang masih tinggi pada tahun
7

2016 yaitu sebanyak 517 kasus (Dinkes Provinsi Kalimantan Selatan,

2016). Persentasi kejadian ISPA di Puskesmas Cempaka menduduki

peringkat pertama dari 8 Puskesmas yang berada di wilayah Banjarbaru

yaitu sebesar 92,6% (Dinkes Kota Banjarbaru, 2014). Sampai saat ini dari

total 9 puskesmas yang terdata di Dinas Kesehatan Banjarbaru,

Puskesmas Cempaka masih berada di peringkat tertinggi yang memiliki

kasus ISPA pada bayi dan balita dengan total 2.103 kasus pada tahun

2016, dan 1.138 kasus pada bulan Januari – Agustus tahun 2017 (Dinkes

Kota Banjarbaru, 2017).


Berdasarkan survei pendahuluan pada Puskesmas Cempaka

diperoleh balita yang menderita penyakit ISPA pada bulan Agustus 2017

sebanyak 243 orang dan yang mendapatkan ASI Eksklusif dari 4

kelurahan yang ada dicempaka hanya 35,4 % dari 435 sasaran.


Berdasarkan uraian data di atas penulis tertarik untuk melakukan

penelitian berjudul “Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian

ISPA pada Anak usia 13 – 24 Bulan (Studi di Wilayah Kerja Puskesmas

Cempaka Kota Banjarbaru)”.


B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan permasalahan

penelitianyaitu : “Apa Sajakah Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan

Kejadian ISPA pada Anak usia 13 – 24 Bulan (Studi di Wilayah Kerja

Puskesmas Cempaka Kota Banjarbaru) ?”.


C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan

kejadian ISPA pada anak usia 13 – 24 bulan (studi di wilayah kerja

puskesmas cempaka Kota Banjarbaru).


8

2. Tujuan Khusus
a) Mengidentifikasi karakteristik ibu pada anak balita (usia,

pendidikan, dan pekerjaan) pada kelompok kasus dan kelompok

control.
b) Mengidentifikasi karakteristik anak balita (usia dan jenis

kelamin) pada kelompok kasus dan kelompok control.


c) Mengidentifikasi pengetahuan ibu tentang gizi dan pemberian

diet ISPA.
d) Mengidentifikasi pemberian ASI Eksklusif pada balita
e) Mengidentifikasi berat badan lahir pada balita
f) Mengidentifikasi perilaku merokok keluarga pada balita
g) Menganalisis hubungan tingkat pengetahuan giziibu dan

pemberian diet ISPA dengan kejadian ISPA pada balita


h) Menganalisis hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian

ISPA pada balita.


i) Menganalisis hubungan berat badan lahir balita dengan kejadian

ISPA pada balita


j) Menganalisis hubungan perilaku merokok keluarga dengan

kejadian ISPA pada balita.


D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Masyarakat
Untuk memberikan informasi kepada masyarakat tentang pentingnya

menjaga kesehatan dalam rangka penurunan angka kejadian ISPA.


2. Bagi Puskesmas dan Petugas Kesehatan
Penelitian ini diharapkan mampu menjadi bahan masukan bagi

Puskesmas dan petugas kesehatan agar dapat meningkatkan mutu

pelayanan dan pencegahan ISPA serta penanganan ISPA dengan

sigap.
3. Bagi Peneliti lain
Diharapkan dapat dijadikan pedoman dan referensi dalam melakukan

penelitian selanjutnya.
9

Anda mungkin juga menyukai