2
jump 1 logbook
jump 2
1. Bagaimana aktifitas sesar Palu Koro dapat menyebabkan gempa dan tsunami di Palu
dan Donggala?
Jawab:
Palu (kota) Ibukota Sulawesi Tengah
Donggala (kabupaten) disebelah barat dan utara SulTeng.
Sesar Palu-Koro atau sistem sesar Palu-Koro merupakan suatu sistem zona patahan
sesar mendatar mengkiri besar aktif yang memanjang dari utara-barat laut ke selatan-
tenggara di pulau Sulawesi di Indonesia. Sesar tersebut memanjang dari dekat
Dondowa, Kabupaten Luwu Utara, di selatan, di mana itu bertemu Sesar Matano.
Sesar tersebut memanjang terus ke utara, lepas pantai melewati Teluk Palu dan
melintas di sisi barat Semenanjung Minahasa, sebelum akhirnya bertemu dengan
Zona Subduksi Sulawesi Utara. Meskipun ini adalah sesar mendatar, ada beberapa titik
di mana sesar tersebut bergerak tegak lurus. Dekat kota Palu, sesar ini membentuk
sisi barat Cekungan Palu, suatu cekungan tarik terpisah kecil yang berkembang sejalan
sistem sesar. Sesar ini membatasi dua mikroblok besar yang membentuk Pulau
Sulawesi - blok Sula Utara dan Blok Makassar. Saat ini laju pergerakan di sepanjang
Sesar Palu-Koro diperkirakan berada di kisaran 30-40 mm per tahun, dibandingkan
dengan laju rata-rata 40-50 mm per tahun selama kurun waktu 5 juta tahun terakhir.
Sesar Palu Koro adalah patahan yang membelah Sulawesi menjadi dua, dimulai dari
batas perairan Laut Sulawesi dengan Selat Makassar hingga ke Teluk Bone.
Kota Palu berkembang di atas sesar Palu Koro. Sesar Palu Koro merupakan patahan
dengan pergerakan terbesar kedua di indonesia, setelah patahan Yapen, Kepulauan
Yapen, Papua Barat, dengan pergerakan mencapai 46 milimeter per tahun.
Sulawesi merupakan wilayah pertemuan tiga lempeng, yaitu Ind-Australia, Eurasia,
dan Filipina. Kondisi tersebut menyebabkannya sangat rawan terhadap bencana
gempa bumi tektonik. Lempeng Lautan Indo-Australia bergerak ke utara dengan
kecepatan sekitar 50 – 70 mm/tahun dan menunjam di bawah palung laut dalam
Sumatra – Jawa sampai ke barat Pulau Timor di NTT (Bock drr., 2003). Sementara itu,
Lempeng Pasifik menabrak sisi utara Pulau Irian dan pulau-pulau di utara Maluku
dengan kecepatan 120 mm/tahun, dua kali lipat lebih cepat dari kecepatan
penunjaman lempeng di bagian sisi barat dan selatan Indonesia (Bock drr., 2003).
Tekanan akibat pergerakan lempeng-lempeng ini menyebabkan banyak sesar lokal
aktif di wilayah Sulawesi. Dari aspek tenaga tektonik jelas bahwa bagian Indonesia
Timur memiliki potensi ancaman bencana gempa bumi dua kali lipat dibandingkan
dengan Indonesia bagian barat.
Salah satu sesar aktif di Sulawesi adalah sesar Palu Koro yang memanjang kurang lebih
240 km dari utara (Kota Palu) ke selatan (Malili) hingga Teluk Bone. Sesar ini
merupakan sesar sinistral aktif dengan kecepatan pergeseran sekitar 25 - 30
mm/tahun (Kaharuddin drr., 2011). Sesar Palu Koro berhubungan dengan Sesar
Matano-Sorong dan Lawanoppo-Kendari, sedangkan di ujung utara melalui selat
Makasar berpotongan dengan zona subduksi lempeng Laut Sulawesi (Kaharuddin drr.,
2011).
Pasal 21
Badan Penanggulangan Bencana Daerah mempunyai tugas:
a. menetapkan pedoman dan pengarahan sesuai dengan kebijakan pemerintah daerah dan
Badan Nasional Penanggulangan Bencana terhadap usaha penanggulangan bencana yang
mencakup pencegahan bencana, penanganan darurat, rehabilitasi, serta rekonstruksi secara
adil dan setara;
b. menetapkan standardisasi serta kebutuhan penyelenggaraan penanggulangan bencana
berdasarkan Peraturan Perundang-undangan;
c. menyusun, menetapkan, dan menginformasikan peta rawan bencana;
d. menyusun dan menetapkan prosedur tetap penanganan bencana;
e. melaksanakan penyelenggaraan penanggulangan bencana pada wilayahnya;
f. melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada kepala daerah setiap
sebulan sekali dalam kondisi normal dan setiap saat dalam kondisi darurat bencana;
g. mengendalikan pengumpulan dan penyaluran uang dan barang;
h. mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah; dan
i. melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 23
(1) Pembentukan unsur pelaksana penanggulangan bencana daerah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 ayat (1) huruf b merupakan kewenangan pemerintah daerah.
(2) Unsur pelaksana penanggulangan bencana daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mempunyai fungsi:
a. koordinasi;
b. komando; dan
c. pelaksana dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana pada wilayahnya.
(3) Keanggotaan unsur pelaksana penanggulangan bencana daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri atas tenaga profesional dan ahli.
Pasal 24
Untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2), unsur pelaksana
penanggulangan bencana daerah mempunyai tugas secara terintegrasi yang meliputi:
a. prabencana;
b. saat tanggap darurat;dan
c. pascabencana.
Pasal 48
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 huruf b meliputi:
a. pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan sumber daya;
pasal 49: mengidentifikasi:
a. cakupan lokasi bencana;
b. jumlah korban;
c. kerusakan prasarana dan sarana;
d. gangguan terhadap fungsi pelayanan umum serta pemerintahan; dan
e. kemampuan sumber daya alam maupun buatan.
b. penentuan status keadaan darurat bencana;
pasal 51
(1) Penetapan status darurat bencana dilaksanakan oleh pemerintah sesuai dengan skala
bencana.
(2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk skala nasional dilakukan oleh
Presiden, skala provinsi dilakukan oleh gubernur, dan skala kabupaten/kota dilakukan
oleh bupati/walikota.
c. penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana;
pasal 52
melalui upaya:
a. pencarian dan penyelamatan korban;
b. pertolongan darurat; dan/atau
c. evakuasi korban.
d. pemenuhan kebutuhan dasar;
pasal 53
meliputi bantuan penyediaan:
a. kebutuhan air bersih dan sanitasi;
b. pangan;
c. sandang;
d. pelayanan kesehatan;
e. pelayanan psikososial; dan
f. penampungan dan tempat hunian.
e. perlindungan terhadap kelompok rentan; dan
pasal 55 ayat (2)
kelompok rentan terdiri atas:
a. bayi, balita, dan anak-anak;
b. ibu yang sedang mengandung atau menyusui;
c. penyandang cacat; dan
d. orang lanjut usia
Pasal 55 ayat (1)
Maksud perlindungan penyelamatan, evakuasi, pengamanan, pelayanan kesehatan, dan
psikososial.
f. pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.
Pasal 56
dilakukan dengan memperbaiki dan/atau mengganti kerusakan akibat bencana.
BASARNAS
Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun
2006 tentang Pencarian dan Pertolongan perlu menetapkan Pedoman Penyelenggaraan Operasi SAR
dengan Peraturan Kepala Badan SAR Nasional;
Pasal 4
(1) Penyelenggaraan operasi SAR (Search and Rescue) menurut bentuknya terdiri dari:
a. pelaksanaan pencarian dengan pertolongan;
(2) pelaksanaan kegiatan pencarian yang dilanjutkan dengan kegiatan pertolongan terhadap
korban dalam suatu penanganan musibah atau bencana.
b. pelaksanaan pencarian tanpa pertolongan;
(3) pelaksanaan kegiatan pencarian tanpa kegiatan pertolongan terhadap korban yang sudah tidak
lagi berada dalam kondisi bahaya atau korban tidak diketemukan.
c. pelaksanaan pertolongan tanpa pencarian.
(4) kegiatan pertolongan secara langsung karena lokasi korban telah diketahui.
Pasal 50
(1) SMC dapat secara langsung atau melalui Kepala Badan meminta bantuan SRU (tim SAR) antara lain
kepada:
a. Tentara Nasional Indonesia (TNI);
b. Kepolisian RI;
c. Badan Nasional Penanggulangan Bencana/Badan Penanggulangan Bencana Daerah;
d. Kementerian/Lembaga;
e. Pemerintah Daerah;
f. Palang Merah Indonesia;
g. Badan Usaha Milik Negara;
h. Badan Usaha Milik Daerah;
i. Badan Usaha Lainnya;
j. Organisasi Profesi;
k. Organisasi Hobi;
l. Organisasi Kemasyarakatan; dan
m. Masyarakat
SAR Mission Coordinator (SMC) adalah pejabat yang ditunjuk oleh Kabasarnas dan bertanggung jawab
untuk melaksanakan pengkoordinasian dan pengendalian pelaksanaan operasi SAR.
Unsur SAR (Search and Rescue Unit) (SRU) adalah potensi SAR yang sudah terbina dan/atau siap untuk
digunakan dalam kegiatan penyelenggaraan operasi SAR.
Pasal 52
(1) Penutupan penyelenggaraan operasi SAR dinyatakan oleh Kepala Badan atas usulan SMC.
(2) Penutupan penyelenggaraan operasi SAR dilakukan apabila:
a. korban telah ditemukan dan/atau diselamatkan;
b. keadaan darurat tidak terjadi;
c. pencarian dan pertolongan dinilai tidak efektif berdasarkan pertimbangan teknis SAR;
d. hasil evaluasi SMC secara komprehensif tentang efektifitas penyelenggaraan operasi SAR
telah maksimal dan rasional untuk ditutup.
(3) Setelah Operasi SAR dinyatakan ditutup selanjutnya dilaksanakan:
a. evaluasi atau debriefing kepada SRU (tim SAR);
b. pengembalian SRU (tim SAR) kepada Instansi atau Organisasi masing-masing;
c. pemeriksaan dan pengembalian semua peralatan dan perlengkapan;
d. SMC membuat laporan hasil penyelenggaraan operasi SAR;
e. penyelesaian administrasi ke Kantor Pusat Basarnas dalam rangka penggantian biaya
penyelenggaraan operasi SAR.
(4) Penutupan penyelenggaraan operasi pada musibah lainnya dinyatakan oleh Kepala Kantor SAR
TNI (Peraturan Menteri Pertahanan RI No. 35 Tahun 2011 Tentang Tugas Bantuan Tentara Nasional
Indonesia Kepada Pemerintahan di Daerah)
1) Tugas Bantuan TNI dalam mengatasi akibat bencana alam.
a) Dalam keadaan darurat Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan Kepala Badan
Penanggulangan Bencana Daerah berwenang mengkoordinasikan bantuan TNI berupa
sarana, alat dan kemampuan TNI untuk digunakan dalam penanggulangan bencana.
c) Satuan TNI yang berada di wilayah berkewajiban merespon setiap kejadian bencana dengan
melakukan langkah awal guna menyiapkan tindakan penanganan sesuai prioritas yang diminta
oleh pemerintahan di daerah. Pimpinan satuan TNI di wilayah wajib berkoordinasi dengan
pemerintahan di daerah dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana serta Badan
Penanggulangan Bencana Daerah tentang rencana tindakan yang sesuai, dan terkoordinir,
sehingga tercipta keterpaduan dan keselarasan penanganan di lapangan.
3. pasca bencana.
a. Pemulihan (recovery)
mengembalikan kondisi masyarakat dan lingkungan hidup yang terkena bencana
dengan memfungsikan kembali kelembagaan, prasarana, dan sarana dengan
melakukan upaya rehabilitasi. Beberapa kegiatan yang terkait dengan pemulihan
adalah
a) perbaikan lingkungan daerah bencana;
b) perbaikan prasarana dan sarana umum;
c) pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat;
d) pemulihan sosial psikologis;
e) pelayanan kesehatan;
f) rekonsiliasi dan resolusi konflik;
g) pemulihan sosial ekonomi budaya, dan
h) pemulihan fungsi pelayanan publik.
b. Rehabilitasi
perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai
tingkat yang memadai pada wilayah pasca bencana dengan sasaran utama untuk
normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan
kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana.
Rehabilitasi dilakukan melalui kegiatan : perbaikan lingkungan daerah bencana,
perbaikan prasarana dan sarana umum, pemberian bantuan perbaikan rumah
masyarakat, pemulihan sosial psikologis, pelayanan kesehatan, rekonsiliasi dan
resolusi konflik, pemulihan sosial ekonomi budaya, pemulihan keamanan dan
ketertiban, pemulihan fungsi pemerintahan, dan pemulihan fungsi pelayanan
publik.
c. Rekonstruksi
perumusan kebijakan dan usaha serta langkah-langkah nyata yang terencana
baik, konsisten dan berkelanjutan untuk membangun kembali secara permanen
semua prasarana, sarana dan sistem kelembagaan, baik di tingkat pemerintahan
maupun masyarakat
Saat Bencana:
1. Segera evakuasi untuk menjauhi suara gemuruh atau arah datangnya longsoran.
2. Apabila mendengar suara sirine peringatan longsor, segera evakuasi ke arah zona
evakuasi yang telah ditentukan. (Beberapa wilayah di Indonesia telah terpasang
Sistem Peringatan Dini Longsor).
Pasca Bencana:
1. Hindari wilayah longsor karena kondisi tanah yang labil
2. Apabila hujan turun setelah longsor terjadi, antisipasi longsor susulan.
BANJIR
Prabencana:
1. Mengetahui istilah-istilah peringatan yang berhubungan dengan bahaya banjir,
seperti Siaga I sampai dengan Siaga IV dan langkah-langkah apa yang harus dilakukan.
2. Mengetahui tingkat kerentanan tempat tinggal kita, apakah berada di zona rawan
banjir.
3. Mengetahui saluran dan jalur yang sering dilalui air banjir dan apa dampaknya untuk
rumah kita
4. Membuat persiapan untuk hidup mandiri selama sekurangnya tiga hari, misalnya
persiapan tas siaga bencana, penyediaan makanan dan air minum.
5. Hindari membangun di tempat ra
Saat bencana:
1. Apabila banjir akan terjadi di wilayah Anda, maka simaklah informasi dari berbagai
media mengenai informasi banjir untuk meningkatkan kesiapsiagaan.
2. Apabila terjadi banjir, segeralah evakuasi ke tempat yang lebih tinggi.
3. Ketahui risiko banjir dan banjir bandang di tempat Anda, misalnya banjir bandang
dapat terjadi di tempat Anda dengan atau tanpa peringatan pada saat hujan biasa
atau deras.
4. Matikan semua jaringan listrik apabila ada instruksi dari pihak berwenang. Cabut alat-
alat yang masih tersambung dengan listrik. Jangan menyentuh peralatan yang
bermuatan listrik apabila Anda berdiri di atas/dalam air.
Pasca bencana:
1. Hindari air banjir karena kemungkinan kontaminasi zat-zat berbahaya dan ancaman
kesetrum.
2. Waspada dengan instalasi listrik.
3. Kembali ke rumah sesuai dengan perintah dari pihak yang berwenang.
4. Lakukan pemberantasan sarang nyamuk Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN).
Kebakaran hutan
Indicator kualitas udara
1. Baik: 0-50
2. Sedang: 50-150
3. Tidak sehat: 150-250
4. Sangat tidak sehat: 250-350
5. Berbahaya: >350