Anda di halaman 1dari 15

Asmarandana

Oleh Teddy Efendy

Cukup. Jangan selalu salahkan keadaan. Mungkin memang ini yang diinginkan Tuhan untuk kita.
Tak bisakah berikan kesempatan sebentar saja untuk ku menyelesaikan berkabung ini. Aku sadar
bagaimana kau sekarang dipandang keluargamu. Tapi bukan aku tak mau menemanimu secepatnya,
tolong mengerti. Aku tak mau keadaanku saat ini hanya akan memperparah jika aku memaksakan untuk
bertemu kedua orang tuamu.

Jumat sore, baru saja aku selesaikan shift ku di rumah pemotongan ini. Tak ada yang janggal,
masih seperti kemarin, dan kemarinnya lagi, masih ada bau amis darah yang mengering dan juga bulu
basah yang rebah terinjak sepatu boot yang hilir mudik tak henti. Sesekali aliran air di berikan untuk
membasuh darah-darah kering, tapi nyaris tak ada bedanya. Bagiku, darah yang dihasilkan jauh lebih
banyak daripada air yang disiramkan. Apalagi untuk saat ini, kebutuhan meningkat menjelang tutup
tahun. Aku basuh sedikit kakiku, tak cukup bersih, setidaknya cukup untuk menghilangkan rasa jijik dari
para tetangga rumah potong ini.

Kali ini kupilih rumah Parjo untuk bersinggah membersihkan badanku, wajar saja, aroma tubuhku
tak hanya amis tapi sudah campur keringat yang entah telah berapa banyak kuhasilkan hari ini. Bukan
tanpa alasan aku memilih Parjo, tapi karena hari esok aku libur, tak bekerja, dan aku sudah janji dengan
kekasihku untuk mengunjungi orang tuanya. Untuk itu aku harus memberikan kepastian kedatanganku
dan aku membutuhkan ponsel miliknya.

Parjo adalah teman kerjaku, sekaligus sahabatku. Sekalipun aku sebaya dengannya, tapi ia jauh
lebih dewasa. Mungkin karena ia telah berkeluarga, sehingga banyak sekali permasalahan yang telah ia
lalui. Ia yang meyakinkan pemilik rumah potong untuk mempekerjakanku, dan dia juga yang sering
menyelesaikan kelalaianku selama bekerja. Entahlah apa yang ada dalam benak Parjo, mau-maunya ia
begitu baik padaku. Sementara aku,.ha..ha.. Bujangan yang tertimpa durian runtuh.

Tak lama setelah aku berhasil mendapatkan pekerjaan, tentunya dengan bantuan Parjo, aku
mendapatkan seorang kekasih. Kekasihku bukan orang sembarangan, setidaknya jauh berbeda dengan
keadaanku. Dia seorang mahasiswi, tinggi langsing dan tentunya menarik. Orang tuanya pun bukan
sembarangan, salah satu calon legislatif dari salah satu partai populer negeri ini. Jangan heran, jika tak
sedikit teman sepekerjaanku sering menjuluki pangeran kodok, buruk rupa, tapi mendapatkan seorang
putri. Hanya bedanya aku bukanlah pangeran dengan segerobak uang.

Tak banyak yang bisa diceritakan bagaimana kisahnya hati kami bisa berpaut. Singkatnya, ia
mengagumi cara ku bertahan hidup. Menurutnya orang sepertiku akan berhasil jika selalu berusaha
sekalipun modal pendidikan dan keterampilanku tak bisa dibandingkan dengannya. Ia iri dan ingin
belajar berjuang hidup bersamaku. Aku pun berpikiran pendek, dengan kegigihanku dan ilmu dan
keterampilannya aku pasti bisa menjalani hidup ini dengan bahagia.
Kekagumannya aku manfaatkan untuk mendapatkan hatinya. Tak sulit juga meluluhkan hatinya.
Aku hanya banyak cerita tentang perjuangan hidup keluargaku di kampung hingga aku tinggal di kota ini.
Gambaran hidup keluargaku yang kubeberkan padanya ternyata melahirkan kasih sayang darinya,
setidaknya itu yang ada dipikiranku. Jauh-jauh aku hindari prasangka bahwa ia hanya kasihan padaku.
Perasaanku ini diperkuat setelah aku memberanikan diri untuk menyatakan cintaku dan ia dengan
sumringah menerima cintaku dan juga menyatakan perasaan cintanya padaku.

Kami tak memiliki waktu bertemu yang cukup, tapi Parjo selalu menasehatiku agar komunikasi
harus tetap berjalan. Dari sanalah awalnya aku sering meminjam ponselnya Parjo, dan tidak jarang aku
meminta saran Parjo bagaimana membaca suasana hati seorang wanita melalui bahasa smsnya.
Kemahiran Parjo membaca hati wanitalah yang sebenarnya membuat hubunganku bertahan dengannya.
Banyak sekali saran Parjo yang aku kerjakan, dan dari saran Parjo itu, dia merasa selalu diperhatikanku
bahkan mengijinkan diriku memilikinya.

Namun, perasaannya yang mendalam padaku aku selewengkan. Dengan sadar telah merebut
kegadisannya. Ketika itu aku baru saja selesai kerja, sekitar pukul sebelas malam. Aku diberitahu Parjo
agar aku segera menemuinya. Kata Parjo, "Cepatlah kau ke kost-an nya. Ia amat membutuhkanmu".
Setelah aku membersihkan diriku, aku pamitan kepada Parjo, dan tentunya meminjam uang untuk
ongkos ku ke kost-annya. Sekitar satu jam, aku sampai. Pintunya terbuka, dan sepertinya ia sengaja
menungguku. Segera aku tuju pintunya, dan amat terkejut ketika melihat keadaanya yang amat payah.
Matanya sayu dan lebam, pakaian yang digunakan sangat kusut,begitu pula keadaan kamarnya, sangat
berantakan. Dan lebih terkejut lagi ketika kulihat tangan kanannya memegang semacam pisau lipat. Aku
ketuk pintunya, dan ia pun menatapku. "Sebelum masuk, mana yang mas pilih. Aku hidup atau aku
mati?" ia tanyakan aku sebuah pertanyaan dengan sisa suara serak yang bercampur isak tangis. Ia
arahkan pisah itu ke nadi di tangan kirinya. "Ada apa neng, cerita sama Mas. Kamu jangan gegabah.
Dosa besar ini." Segera saja aku dekati, kuambil pisaunya, kuamankan dalam saku celanaku.

Aku duduk di sampingnya sambil memegang kedua tangannya untuk memastikan dia takkan
menyakiti dirinya. Sambil menangis ia sandarkan kepalanya pada bahu ku. Ia pun memulai ceritakan
keadaan keluarganya. Cerita yang menurutku bukan suatu hal yang mengharuskan ia bertindak sejauh
itu, setidaknya aku tidak akan melakukanya.

Ia ceritakan bahwa perselingkuhan ayahnya membuat ibunya kini di ruang ICU karena memicu
penyakit jantung dan darah tinggi yang diidapnya. Ia sendiri sudah tahu kelakuan ayahnya, tapi ia
berusaha untuk menjaga berita itu didengar ibunya. Kali ini merasa kecolongan dan merasa tidak
berguna karena tidak bisa menjaga ibunya.

Selesai menyampaikan kegundahan dan kekecewaan akan dirinya, ia melarangku pulang, ia minta
aku menemaninya malam itu juga. Dasar manusia lemah. Aku pun tak bisa menjaga birahiku ketika itu,
ditambah penyerahan total darinya yang membuatku melakukan perbuatan durhaka itu.

Pagi hari aku terbangun dengan setumpuk sesal, tapi sebaliknya, ia bahagia karena telah merasa
utuh dimiliki oleh ku. Melihat dirinya yang begitu rapuh, aku berikan pernyataan yang sebenarnya tak
sanggup aku sampaikan waktu itu, "Mas janji, akan jadi suami kamu". Ia membalas dengan pelukan erat
ucapanku.

Aku langsung kembali ke tempat kerjaku. Ketika bertemu Parjo, ia hanya melihatku. Aku sendiri
kelihatan gugup jika menanyakan kenapa aku tak pulang. Tapi ia hanya melihatku saja, tak ada satupun
yang ia tanyakan tentang semalam. Ia menyuruhku agar segera siap-siap bekerja. Ia malah telah
membawakan kaos oblong untuk ku. Katanya, "Sayang kalo baju apel dipake kerja". Aku ketawa. Bisa-
bisanya ia membuatku melupakan sejenak akan apa yang aku perbuat malam tadi.

Akan ternyata peristiwa kelabu itu tidak hanya sekali terjadi. Setiap kekasihku dapat masalah ia
ingin bertemu denganku, dan salahnya aku selalu mengiyakan permintaanya untuk menginap di kost-
annya. Dan lebih salah lagi jika kami berdua kembali terjebak dalam asmara terlarang. Bahkan kini lebih
gawat, karena kini, berhubungan bukan sekedar pelepas kesedihan bahkan seolah-olah menjadi
kebutuhan untuk kami. Terkadang ia memintanya, tapi tak jarang aku yang memintanya.

Lima bulan kami berjalan, sampai juga hal yang membuatku ketakutan. Ia hamil. Berita
kehamilannya malah ia sampaikan ketika usia janin sudah hampir satu bulan, dan hebatnya ia sampaikan
padaku setelah berhubungan. Kupikir hal ini akan membuatnya merasa semakin utuh, bahkan semakin
sempurna pengorbanan cintanya. Tapi ternya tidak, kehamilannya membuatnya tertekan, karena
kehamilannya kini diincar media. Wajar saja media mengincarnya karena ia adalah anak dari seorang
caleg, apalagi kini menjelang pemilu, media pun seolah mendapat bantuan untuk mendapatkan
informasi dari para lawan politik ayahnya.

Akupun tak jarang menerima teror lewat ponselnya Parjo, dari ancaman penculikan hingga
pembunuhan pernah Parjo tunjukkan SMS di ponselnya. Parjo sendiri menyikapi itu dengan wajar,
sekalipun ancaman itu telah membuat keluarganya menjadi tidak tenang, tapi Parjo tak pernah
menyalahkanku. Ia malah mengingatkanku, bahwa akan ada hikmah dalam setiap cobaan yang kita
terima.

Belum juga aku sampai rumah Parjo, aku sudah bertemu dengannya tepat satu belokan sekitar
tiga puluh meter dari rumahnya. Ia menggunakan motor, satu tangan ia memegan helm dan seolah-olah
siap memberikannya kepadaku. "Kamu ga usah ke rumahku" katanya. Aku pikir sikap Parjo mulai
berubah. Kemudian ia lanjutkan ucapannya, "Lebih baik kamu langsung saja pulang kampung,kejar
kereta. Setidaknya kamu dapat pastiin kamu kebagian tiket". "Maksudnya?" aku bertanya penuh
keheranan. "Sudahlah, kamu ikut saja dulu, kamu baca smsnya dijalan".

Kebingunganku semakin menjadi, ada apa ini. Apa Parjo kini menganggap serius ancaman
mengenai pembunuhanku. Ah jawabannya pasti ada di ponselnya. Aku ambil dan aku coba segera lihat
pesan di dalamnya. "Mas,pulang. 'Mak baru saja wafat. Ditunggu." badanku lemas, lututku tak
bertenaga sekaliun tak menopang berat tubuhku. Fikiranku benar-benar menghilang saat itu. Entahlah,
dunia seakan berakhir saat itu juga.

"Ini bekal untuk kamu. Setengahnya buat beli tiket, sisanya untuk jajan kamu. Ini juga baju kamu,
sudah aku siapkan". Parjo memberikan sebuah amplop yang nampak tebal isinya. Kesadaranku hanya
setengah, aku masih belum bisa ingat betul aku ada dimana dan kapan. Satu hal yang mengisi hampir
seluruh isi kepalaku adalah ibu meninggal.

Parjo memintaku jika sempat ada waktu, agar aku membersihkan diri di WC umum stasiun saja,
sekalian menggunakan pakaian rapi, agar jika aku sampai di kampung bisa langsung siap bantu-bantu.
Fikiranku pun melayang tak karuan, mulai dari penyesalanku karena aku baru bisa pulang kali ini dengan
sebelumnya belum pernah memberikan apapun untuk keluargaku.

Atau jangan-jangan inilah cara Tuhan mengingatkanku akan kesalahanku selama ini. Bagaimana
nasib kekasihku nantinya. Malan ini aku akan janji bertemu dengan orang tuanya untuk
mempertanggungjawabkan jabang bayi kami. Kereta berjalan tak terasa. Warna hitam karena tak
terkena cahaya sepertinya menyatu dengan fikiranku, kosong. Tak ada lagi keluarga, tak ada Parjo, juga
kekasihku. Yang ada adalah beban malu karena aku baru pulang ketika ibu ku telah meninggal, malu juga
karena aku sampai saat ini masih saja jadi benalu pada Parjo, malu karena aku bukanlah laki-laki yang
sudah bisa bertanggung jawab untuk apa yang telah kulakukan dengan kekasihku. Hidup kini memusuhi
aku, dan kini aku berperan menjadi tahanan, menunggu eksekusi hidup yang terkahir.

Sampai juga aku di stasiun Tugu. Aku sudah ditunggu oleh paman dari bapa. "Ayo mas segera
berangkat, biar tasnya pa'le yang bawa" aku dibonceng oleh paman. Sepertinya keluarga di sini sudah
terima pesan dari Parjo jika aku akan sampai pagi ini. Jalanan menuju rumah hanya mengingatkanku,
seberapa besar kesalahanku pada keluarga ini. Aku sebagai anak sulung malah pergi meninggalkan tanpa
alasan yang jelas.

Waktu itu aku hanya tahu aku malu jadi petani, karena setidaknya aku adalah lulusan SMA. Aku
berfikir petani hanya untuk mereka yang tidak bisa sekolah. Lebih memalukan lagi adalah, aku
mendapatkan uang untuk ongkos pergi ke Jakarta dengan meminjam uang mengatasnamakan bapak.
Saat ini aku merasa kesalahanku yang dulu seolah-olah ditimpakan hukumannya bersamaan. Aku benar-
benar dibanting dengan keadaanku hidupku saat ini, tak memiliki apapun dibalik harapan orang-orang
yang membutuhkanku. Bahkan jauh disana, ada jabang bayi yang suatu saat akan memanggilku bapa.

Sesampainya di rumah, aku belum sempat mengistirahatkan tubuhku. Aku langsung diminta
menjadi pengangkat keranda. Aku diminta mengangkat keranda sebagai perwakilan dari keluarga. Di
belakang sana, bapa dan beberapa adikku hanya bisa tersedu sambil di papah oleh para tetangga.
Sempat aku berfikir keluarga tak menganggapku lagi, karena hanya aku saja yang berada di barisan
depan, namun sambil mengantar jenazah ibu, aku berfikir yang lain, mungkin inilah bukti bahwa
keluargaku masih menganggapku. Ketika bapa sudah renta, maka akulah penggantinya untuk mewakili
keluarga. Tak ada setetespun air mata yang merembas di ujung mataku. Aku rasa itu tak boleh terjadi.
Bapa dan adik-adikku membutuhkan sosok tegar dalam diriku.

Aku dan paman disambut penggali kubur, namun paman langsung memberiku isyarat agar
keranda langsung saja dibawa ke liang lahat. Sementara dirinya mengurus segala sesuatu yang
berhubungan dengan administrasi pemakaman. Aku berada di dalam lingkaran dalam kerumunan orang,
sementara bapa dan adik-adikku tak ada satupun yang mau melihat jenazah ibu dimasukkan dalam liang
lahat. Seorang pa tua berpeci memberikan sebongkah tanah padaku untuk dimasukkan dalam lubang
tempat ibuku berada. Aku tak tahan lagi menahan air mataku. Seorang anak pendusta yang tak sempat
mengatakan maaf sebelum ajal ibunya, aku bertanya, apa nantinya layak bumi menerima jenazah
seorang anak durhaka sepertiku? Namun dalam perjalanan pulang kini berbeda, aku memang masih
tertekan, tapi penerimaan keluarga membuatku memaafkan kesalahan-kesalahan, setidaknya untuk
sementara.

Aku berfikir bagaimana jika aku berpindah lagi kesini. Pekerjaan di Jakarta lebih baik
kutinggalkan, di sini ada keluarga yang membutuhkanku, dan aku pun membutuhkan meraka. Biar aku
gantikan bapa untuk mengelola tanah pa Hasan. Jika aku kerja disini aku akan menjadi orang pertama
yang ada untuk keluarga. Iya kubayangkan setiap hari aku bangun pertama kali, dengan cangkul dan
caping aku menuju tanah pa Hasan.

Aku bajak dan aku jaga padi yang kutanam, siang hari aku tunggu antaran nasi dan ikan asin dari
adikku. Sepulangnya kami bercerita apa yang kami temukan di hari yang sama. Dan saling berbagi cerita
tentang harapan tentang cita-cita kami. Ketika aku dan adik-adiku bertengkar maka bapa akan
mendamaikan kami, indahnya keluarga ini jika aku ada disini.

"Mas, lagi sibuk ga. Maaf Pa'le ganggu, ini ada sms dari Parjo, katanya kalo sempat hubungi dia."
pamanku membangunkanku dari khayal. Ia mengasongkan ponsel miliknya untuk aku gunakan. Aku
merasa tak enak, terlalu banyak kebaikan paman yang aku terima. Dengan raut tersipu, aku terima
tawaran paman untuk menggunakan ponselnya. Baru saja aku akan menghubungi Parjo, ada panggilan
di ponsel paman, beruntung sekali karena yang memanggilnya atas nama Parjo. Langsung saja aku
angkat. Parjo menyampaikan belasungkawanya kepadaku dan keluarga, dan tentunya dia memberiku
nasihat yang selalu bijak. Katanya, "Apapun yang kamu rasakan, kamu harus bangga.kamu bertambah
dewasa" kata-kata pertamanya benar-benar membuatku menemukan kasih seorang kaka.

Parjo, sekalipun sebaya, tapi aku selalu bisa merasakan ke-kaka-annya. Kesana kemari kami
mengobrol, Parjo berhasil mengalihkan perhatianku akan hari berkabung ini. Namun setelahnya ia
merubah intonasi suaranya. Kini ia lebih bernada serius, ia menyampaikan jika pagi tadi ia didatangi
Martha, kekasihku. Parjo memberikan alamat rumah ku di kampung, dan sore ini juga Martha
menyusulku. Mungkin itulah Parjo, menyiapkanku terlebih dahulu. Aku memang terjatuh lagi, dan lagi-
lagi tersandung dengan kekecewaan yang kubuat sendiri.

Tapi pendekatan Parjo membuatku lebih siap menerima berita ini. "Baiklah nanti ku jemput"
kataku. Entah apa penerimaan keluarga disini, jangankan menerima aku menhamili anak orang,
sekalipun aku berbohong telah menikah pun mereka tak akan percaya. Aku tak boleh kembali
mengecewakan keluarga, tapi aku pun tak tahu harus berbuat apa, mereka keluargaku, dan Martha
adalah kekasihku sekaligus ibu dari calon anakku.

Aku pasti menemukan jawabannya, asalkan aku berusaha. Yang harus kulakukan saat ini adalah
bersikap normal, wajar dan berfikir jernih. Karena lelah, aku tertidur lelap. Dan terbangun di pagi yang
hangat dengan sebuah sarung batik sebagai selimut. Aku ingat ini adalah sarung almarhum ibu. Siapa
yang mengenakkannya pikirku, tak apalah, mengapa juga harus aku pikirkan. Inilah bentuk lain
penerimaan keluarga padaku. Tapi apakah penerimaan itu akan terhenti siang ini ketika aku kenalkan
Martha dan calon anakku. Entahlah. Aku jalani saja apa yang sanggup aku jalani saat ini. Aku tahu Tuhan
tidak tidur dan menyimak dengan seksama kisahku.

Sengaja sepagi mungkin aku keluar rumah, tujuannya adalah rumah paman. Sekitar dua puluh
menit berjalan kaki aku tiba dirumahnya. Paman menawarkan sarapan, sekalipun memang terasa lapar
tapi aku tolak dengan halus. Wajar saja, pagi itu aku mengincar motornya. Aku ingin meminjamnya
untuk menjemput Martha. Hari ini kereta terlambat seperti biasa, tapi dari informasi yang ku korek dari
petugas disana, kereta hanya akan terlambat tidak lebih dari satu jam.

Mana yang benar penantian bahagia atau bahkan satu jam menuju masalahku yang lebih pelik.
Yang pasti kedatangan Martha aku nantikan sekaligus aku hindari. Dihatiku entah siapa yang menang,
harapan atau ketakutan. Tapi yang pasti aku hadapi hari ini.

Bertemu juga aku dengan Martha. Dugaanku salah, tak ada tanda-tanda ia menangis semalam.
Bahkan sebaliknya, ia begitu ceria bertemu denganku. Keceriannya menjalar dalam hati dan perasaanku.
Aku dibawa ceria olehnya. Hari berkabungku aku lupakan ketika menemui kekasihku.

Sambil bergandengan tangan, aku bawa Martha menuju tempatku memarkir motor paman. Di
jalan Martha mengatakan ia ikut berduka dengan yang aku alami. Namun setelah itu ia menyayangkan
ketidakhadiranku di malam itu. Martha mengeri keadaanku, tapi justru aku yang sulit untuk menerima
keadaanku sendiri.

Martha sendiri tak ingin membicarakannya terlebih dahulu, untuk kali ini ia memintaku untuk
segera dikenalkan ke keluarganya. Ajakan Martha aku sambut baik. Aku heran, dalam posisinya yang
begitu tertekan dia malah memberiku ruang untuk bernafas dan berfikir lebih. Martha, sepertinya kau
adalah anugerah dari Tuhan untukku. Aku pacu laju motor paman, ketika itu aku menemui jalan
melengkung, hingga kecepatan hampir menyentuh enam puluh, tiba-tiba terdengar suara ledakan kecil
dekat dengan diriku, seperti letusan ban. Aku kehilangan keseimbangan.

____________________________________________

Aku terbangun, tentunya dalam ingatan yang tak lagi penuh. Apa yang telah terjadi. Hari apa ini,
dan dimana aku berada. Aku tertidur di satu bangsal, tak cukup besar tapi cukup untuk menjaga seluruh
tubuhku. Mereka mengelilingi, ada yang duduk dan ada juga yang berdiri menatap takjub setengah
kasihan. Beberapa diantaranya aku hafal betul wajahnya, yang lainnya masih buram untukku, tampak
kenal tapi aku tak yakin siapa.

Pandanganku berkeliling mencari sosok yang aku pikir bisa menbuatku hatiku hilang dari
kegundahan. Di mana Martha. Wajahnyalah yang aku ingat terakhir sebelum aku berada di ruangan ini.
"Ndok, mba Martha mana?" kata ku pada si bungsu. Ada di kamar bawah. Mbanya lagi ditemenin ama
bu'le. Aku mencoba membangunkan diriku sendiri, tapi nyata benar sakit yang kurasakan di sekitar otot
perutku. Aku tak sanggup sekalipun untuk duduk. Semaputku pun kumat. Pandangan tak lagi terang,
setengah gelap atau lebih tepatnya buram tak jelas apa yang kulihat. Aku kembali meletakkan leherku
ke bantal, namun kali ini bantalnya dilipat sehigga lebih tinggi menopang kepalaku. "pa'le dimana
Martha? Aku harus menemuinya." aku memelas pada paman. "sabarlah. Dia tidak apa-apa. Seharusnya
kau pikirkan dirimu dulu!" Paman meyakinkanku, jika Martha jauh lebih beruntung dibandingkan aku, ia
hanya luka memar saja, itu pun tidak seberapa. Paman menambahkan alasan kenapa aku harus
mengkhawatirkan diriku, karena aku sudah tak sadarkan diri kurang lebih 2 hari, bahkan sempat koma
katanya.

Benarkah dua hari, bagaimana mungkin jika sekedar memar Martha harus dirawat selama itu.
Aku harus benar-benar memastikan keadaannya. Aku khawatir ini cuma akal-akalan mereka agar
menjaga kondis psikologisiku. Bagiku tak ada yang harus dikhawatirkan, aku merasa baik-baik saja. Tak
ada yang dirasa selain otot-ototku yang kaku. Aku harus cari cara mengetahui keadaan Martha. Bukan
hanya Martha yang ku cemaskan, tapi si jabang bayi juga. Apapun perbuatan kami, dia adalah anak ku
dan Martha. Anak yang lahir dari kisah cinta kami, cinta yang melahirkan rasa saling membutuhkan dan
saling memiliki.

Aku memang kecewa dengan kehamilan Martha, tapi baru kusadari aku makin menyayanginya.
Mungkin inilah pengaruh si jabang bayi. Ia telah membuat aku meluluhkan ego dan keangkuhanku.
Malahan, bisa jadi, ia telah merebut hati keluarga ini. Semakin difikir semakin besar saja kecintaanku
pada mereka berdua.

"Pa kabar semuanya, nih yang dicariin datang" bibi dan Martha datang mengunjungiku. Tak
tampak sedikit pun bekas luka pada Martha. Ini benar-benar mukjizat. Bagaimana mungkin Martha bisa
selamat dalam kecelekaan itu. Apa itu adalah isyarat dari Tuhan untuk kami mengurus bayi dalam perut
Martha? Entahlah, jika aku berfikir ke arah sana, aku selalu kembali pada kekhawatiranku. Aku khawatir
bagaimana dengan penerimaan keluarga dengan para pezina, atau bagaimana perkataan tetangga
tentang keluarga kami. Sekalipun keluarga ini bisa menerima Martha dan apa yang telah kami perbuat,
apa mungkin keluarga Martha bisa menerima keadaan keluarga kami. Apa harus Martha terusir dari
keluarganya hanya karena memilih bapa dari anaknya. Atau, jika memang keluargaku dan keluarganya
menerima kami bersama, bisakah aku menghidupi mereka berdua.

Tidak. Aku hanya akan semakin ketakutan. Dan yang membuatku semakin bodoh adalah hingga
saat ini aku hanya ketakutan, tanpa ada keinginan dan usaha untuk berfikir dan kemauan untuk
menyelesaikan semua ini. "Mas, gimana sekarang?", pertanyaan Martha aku balas dengan senyuman.
Itu cukup bagiku menyampaikan keadaanku. Martha paham betul akan perangaiku. Ia duduk di bangsal,
dekat paha kananku. Ia memegang jemariku dan menyentuhkannya ke pipi. Melihat kemesraan kami,
paman meminta bapa, adik-adikku meninggalkan kami terlebih dahulu. Paman mengerti betul apa
keinginanku. Kini hanya aku dan marta di bangsal ini. Aku mulai berbisik, "Bagaimana keadaan anak
kita?" tanyaku padanya penuh harap. "Baik-baik aja mas" jawabnya singkat. Ia makin mengeratkan
genggamannya. Ia bahkan mencium tanganku. Dengan sedikit usaha akupun arahkan tangan kiriku yang
masih tertancap jarum infus membelai rambutnya. Tak lama, aku merasakan basah di tanganku. Martha
menangis. "Kenapa?" tanyaku. Martha hanya menggelengkan kepalanya. Aku lanjutkan mengusap
kepalanya, aku selingi dengan megelus pipinya. "Jangan tinggalakan aku sendiri, aku mohon" Martha
akhirnya menyampaikan kegundahannya.
Bagiku, seharusnya bukan ia yang mengatakan itu, tapi aku. Aku lebih takut kehilangan dirinya.
Bukan hanya kehilangan, aku harus mempertanggungjawabkan semua ini. Akulah yang membawanya
dalam situasi ini. Iya aku lelaki, tanggung jawab terbesar di tanganku. Aku harus mulai berusaha untuk
mengebelakangkan rasa khawatir, dan harus mulai mendahulukan harapan. Tidak hanya untuk
kehidupan Martha dan anakku tapi juga untuk keluarga bapa.

Aku harus segera sembuh, dan sambil menunggu kesembuhan aku harus mulai membicarakan
masalahku. Siapa yang harus kupilih, bapa atau bahkan adik-adikku. Tidak mereka masih dalam keadaan
berkabung. Aku pilih paman saja. Paman lebih sering ke kota, kuharap dia bisa lebih memahami
kehidupanku. Dan kuharap paman nantinya menemaniku ketika aku harus memberitahu bapa.

Lima hari setelah dirawat aku bisa keluar rumah sakit, itupun karena Martha diam-diam melunasi
biaya perawatanku. Bahkan ia tak mau memberitahuku berapa banyak uang yang kuhabiskan selama
dirawat. Menurutnya tidak penting berapa banyak uang yang dikeluarkan, tapi seberapa banyak
kemajuan kondisiku.

Ia membantuku untuk belajar jalan, ia memapahku seolah aku bayi yang sedang menguatkan
otot kakinya. Kedua tangannya menjadi tempatku menggantungkan beban badanku. Ia memegangiku
dari belakang, dan membisikkan ke telingaku penyemangat agar aku segera sembuh. Terkadang ketika
aku terjatuh, Martha ikut terjatuh, bahkan tak jarang kami terjatuh dengan Martha memeluk tubuhku,
saat itu aku membalas pelukannuya, kemudian pelukan tanganku sedikit kurenggangkan. Satu tangan
aku menyentuh perutnya, aku tatap matanya, ia menatap kembali. Kami berbicara dengan bahasa diam,
bahasa yang hanya kami sendiri yang mengerti.

Setiap hari aku jalani bersama Martha, ia tidur di rumah paman menemani bibi. Paman sendiri
sering berada di kota untuk bekerja, dan pulang di akhir pekan. Namun sekalipun bersama bibi, setiap
pagi ia datang menjengukku dan hingga siang hari mengajariku berjalan. Ia kembali ke rumah bapa sore
menjelang matahari terbenam. Ia selalu membawa makanan untukku dan keluarga di sini. Ia ternyata
belajar memasak ke bibi, dan makanan yang ia bawa adalah makanan hasil belajarnya dari bibi.

Apa yang dilakukan Martha ternyata membuat keluargaku semakin dekat dengannya, apalagi
bibi, mereka berdua seperti kaka beradik. Setiap Martha berkunjung di sore hari, maka satu cerita
tentang kami diberitahukan padanya. Semakin banyak yang Martha tahu tentang keluarga ku, ia seperti
makin betah tinggal di sini.

Aku pernah menyinggung tentang kuliahnya, ia jawab dengan nada sepele. "Tenang saja, aku bisa
cuti, sekalian nunggu anak kita lahiran" enteng sekali dia mengatakannya. Ia menambahkan, "Sekarang
fokus saja dengan kesembuhanmu Mas, aku ingin ketika anak ini lahir, bapanya dalam kondisi terbaik".
Masuk akal juga. Ia pasti kelelahan setelah melahirkan, anak itu membutuhkan bapanya dalam keadaan
terbaik.

Minggu pagi, Martha datang ke rumahku, seperti biasa menemaniku berlatih berjalan. Aku sudah
merasa jauh lebih baik. Waktu itu aku minta ia mengantarku ke rumah paman. Sekalian saja aku latih
sejauh mana kekuatan kakiku. Dan yang penting aku ingin membicarakan keadaanku dengannya pada
paman. Aku berdalih jika cuma berjalan keliling halaman rumah membosankan, aku membutuhkan
suasana baru. Ia mengamini keinginanku. Kami berdua berjalan menuju rumah paman dengan
bergandengan, ia masih memapahku, tapi terkadang ia melepasku hingga terjatuh. Setiap terjatuh,
selalu pula ada uluran tangan darinya. Setiap aku berdiri, tak lupa ia melepaskanku lagi. Ia ingin
membuatku menjadi lebih kuat, tapi ketika terjatuh, ia menjadi orang pertama yang memberikan
bantuan.

Sudah berapa banyak aku terjatuh, aku tak ingat. Tapi aku sadar, Martha banyak sekali
mengulurkan tangannya hari ini untuk memintaku bangun kembali. Ada beberapa luka di lututku, tapi
tangan Marta lebih banyak lagi lukanya karena tak jarang ia menopang tubuhku. Ia tak pernah
membiarkanku berjalan tanpa dirinya di sisiku, tapi ia tak ingin menjadikan ku orang yang lemah.

Kami sampai di rumah Paman. Mereka sudah menyiapkan beberapa makanan ringan di meja
depan. Aku tak tahu, apa kedatanganku sudah tercium mereka. Tak ada mimik kaget, suara mereka juga
tak sedikitpun terkesan terhenyak ketika melihatku datang masih dengan keadaan yang payah. "Silakan
duduk Mas, mau minum apa?" bibi bertanya padaku. Baru saja aku akan menjawab, tapi Martha
memotongku. Ia minta ijin kepada mereka agar dia saja yang menyiapkan minuman untukku. Aku pun
duduk di depan mereka.

Pembicaraan dimulai dari paman, ia menanyakan bagaimana kemajuanku. Aku bilang, "sudah
jauh lebih baik" jawabku. Sengaja aku sembunyikan keluhanku yang lain, padalah aku masih merasa
nyeri kepala bagian depan yang kadang muncul tiba-tiba dan hilang saat itu juga. Tapi itu tak kuhiraukan,
aku pikir hanya karena aku jarang bergerak saja.

Obrolan kami lanjutkan, mulai dari apa saja yang telah berubah di desa ini hingga kami
membicarakan mengenai bagaimana aku bertahan di Jakarta, aku cerita panjang lebar, dan mereka
hanya manggut-manggut saja, mengerti apa yang kuucapkan. Tapi terkadang mereka pun mengeleng-
gelengkan kepalanya menunjukkan ketakjuban dengan kenekatanku. Banyak tawa ketika aku ceritakan
pengalamanku selama masa perantauanku.

Setelah hingga akhirnya kami mulai membicarakan tentang hubunganku dengan Martha. Martha
bersikap biasa saja, sementara aku berusaha menutupi paras ku yang tersipu. Aku terdiam sejenak, dan
Martha pun mulai membuka kisah kami. Dari cerita Martha ia menggambarkan bahwa aku seolah-olah
menjadi dewa penyelamat baginya, entah apa yang dimau Martha, padahal menurutku kisah
sebenarnya dia lah Dewi Sri, karena selalu memberiku semangat untuk kehidupanku.

Ketika perbincangan kami sudah semakin hangat, aku beranikan diri untuk menceritakan keadaan
kami sebenarnya. Aku sampaikan hal itu dengan kalimat yang terbata-bata, dan juga diiringan rasa malu
dan takut. Selesai aku cerita, mereka semua tersenyum. Dan tidak ada sedikitpun gerakan menghela
nafas tanda kecewa. "Kami sudah tahu, Mas. Martha sudah cerita semuanya. Kami janji akan bantu
kalian sebisanya." Pandanganku aku alihkan pada Martha, tapi ia malah balas dengan genggaman di
lenganku.
Aku masih tak percaya, dibalik pesakitanku, Martha sudah berbuat banyak untuk menyelesaikan
permasahan ini. Ia tak segan membicarakan masalah yang sangat pribadi kepada orang yang baru ia
kenal. Bebanku mulai berkurang, setidaknya aku mendapatkan janji paman dan bibi untuk menemaniku
ketika menjelaskan pada bapa. Aku minta ijin pulang pada paman dan bibi, dan Martha mengantarku,
sekalian juga, ia ingin bermain dengan adik-adikku. Aku dan Martha sepanjang jalan sering saling melirik,
aku ingin ucapkan terima kasih dan kekagumanku, tapi cukup dengan diam. Aku kembali berbicara
dengan bahasa diam sepanjang perjalanan dengannya. Bahasa yang hanya kami yang mengerti..

_______________________________

Tak begitu lama rasanya, aku sudah sampai di rumah bapa. Kembali bersama keluarga dan
kembali merintih hatiku melihat bapa dan adik-adikku banting tulang untuk biaya penyembuhanku. Tak
banyak yang bisa aku lakukan untuk membantu mereka selain bersemangat untuk menyembuhkan
beberapa luka pada tubuhku. Dengan itulah aku bisa membalas apa yang telah mereka semua berikan,
syaratnya aku harus menemukan pencaharian yang sangat layak nantinya. Tapi untuk saat ini cukuplah
aku mencari pemaafan dan pembenaran diri.pemaafan akan apa yang telah kulalkukan pada mereka
dan pembenaran untuk keadaan yang hanya bisa hidup dari pengasihan orang lain, sekalipun itu
keluargaku.

Apa kata orang, aku sebagai anak durhaka, bukannya membalas semua keangkuhanku di masa
lampau, malah aku menyuiltkan mereka. Tak cukupkan aku mengobankan masa depan adik-adikku,
Lastri, Sulis, dan Marni. Gara-gara keangkuhanku, mereka tak sekolah. Aku meminta bapa memilihku
untuk disekolahkan, selain aku laki-laki, aku juga anak sulung. Tapi apa yang mereka dapatkan, setelah
lulus SMA aku tak lagi memperhatikan mereka bahkan hilang entah kemana. Padahal dengan alasan
sekolah lah aku bisa menghindar untuk membantu bapa di sawah, ataupun menemani ibu untuk
menjual hasil bumi. Adik-adikku lah yang menggantikan tugasku. Mereka tak pernah mengenakan baju
sekolah, sekalipun pernah, itupun pemberian, tapi tetap saja, tak pernah digunakan untuk sekolah. Jika
keluarga ada masalah, aku selalu ingin ikut campur, aku merasa berhak, karena akulah yang sekolahnya
paling tinggi di keluarga ini. Aku paling pintar. Tapi malah ketika aku ikut campur itulah, masalah kami
makin ruwet.

Aku hanya merasa tahu, tapi merasa tahu telah membuatku berani untuk mendikte bapa untuk
mengambil keputusan. Pernah hutang kami jatuh tempo, kami tak sanggup membayar hutang pada tuan
Hendra. Waktu itu aku malah mengusulkan agar Lastri mau menjadi istri mudanya sebagai cara untuk
melunasi. Untunglah waktu itu pa Hasan mau membantu kami untuk menalangi semua hutang kami
terlebih dahulu. Seandainya tak ada pa Hasan, aku sepertinya bukan hanya anak durhaka, tapi juga kaka
durhaka. Kaka waras mana yang mau menjual adiknya sendiri untuk melunasi hutang keluarga, padahal
hutang itu digunakan untuk biaya sekolah dirinya.

Ada kesalahan yang sangat sulit kulupakan, dan itu sepertinya inilah yang paling membuatku
bersalah. Ketika itu di sekolah akan diadakan acara karyawisata, aku merasa gengsi jika sampai tidak
ikut. Aku tahu keadaan keluarga tak memungkinkan aku bisa ikut. Jangankan untuk karyawisata, untuk
iuran bulananpun bapa sering meminjam uang. Demi gengsi aku tak lagi berfikir jernih, aku ambil mas
kawin pernikahan orang tuaku untuk aku gadaikan, hasilnya aku gunakan untuk ongkos karya wisata.
Sepulangnya memang sudah ditebus, tapi orang tua harus mengeluarkan uang lebih banyak lagi sebagai
kompensasi gadai. Namun kekurangajaranku makin menjadi, aku malah menyalahkan orang tua,
sekiranya mereka menyediakan biaya karya wisata lebih awal, tentunya tidak perlu keluar uang lebih
banyak.

Sungguh jika aku ingat satu-persatu rasanya tak mungkin aku memaafkan diriku sendiri. Tapi apa
mau dikata, kondisiku saat ini tak mungkin untuk memperbaiki itu semua. Aku harus mampu
memaafkan diriku sebelum aku berani untuk meminta maaf pada keluargaku. Jika malin kundang harus
jadi batu, aku tak tahu apakah bangsa batu mau jika manusia sekotor aku menjadi seperti mereka.

Apa yang bisa kujual pada keluargaku, sekembalinya aku pada mereka aku belum bisa
memberikan apa-apa. Bahkan malah merepotkan. Ketika baru saja kami kehilangan ibu, malah kini
disibukkan dengan kondisiku. Bapa setiap hari harus ke ladang untuk mengolah sawah pa Hasan,
sementara Lastri dan Sulis, ke pasar mereka menjual hasil ladang, itu pun bukan di dalam kios, tapi di
emperan pasar. Sementara Marni mengurusi rumah, mulai dari menyapu, mencuci hingga memasak.
Tapi antara mereka bertiga terkadang bertukat tugas, karang Marnilah yang menemani Lastri,
sementara Sulis yang mengurus rumah. Tapi yang pasti hanya mereka yang beraktivitas, sementara aku
tak satupun yang bisa aku lakukan untuk kepentingan bersama keluarga ini.

_________________________________

Setiap hari aku menjadi raja, semua dilayani keluarga ini, tentu saja Martha juga. Kehadiran
Martha di keluarga ini juga membawa angin baru, tradisi dan cara berpikir yang baru. Keluraga ini
seperti bermetamorfosis, memang tidak menjadi sempurna, tapi menjadi lebih baik. Mulai dari bapa,
Lastri, Sulis, dan Marni, semuanya berubah. Kini kami tak selalu berfikir untuk harus bisa menyimpan
uang. Bapa kini mulai sering mengkonsumsi obat ketika mulai ada keluhan tanpa harus menunggu parah
terlebih dahulu. Begitu juga, mereka sudah mulai memperhatikan penampilan mereka. Kami tak lagi
memperlakukan diri kami sendiri untuk menumpuk harta, tapi kehadiran Martha mengajari kami
bagaimana menggunakan harta untuk kebutuhan kami.

Ini bulan ke dua Martha ada di desa, beberapa tulang yang retak dan luka robek di beberapa
bagian tubuhku hampir kembali sempurna. Bahkan aku tak lagi mengeluhkan sakit kecuali dikepalaku.
Namun itu pun sudah jauh berkurang intensitasnya. Awal keluar dari rumah sakit, dalam satu hari aku
bisa merasakan pusing yang hebat dua hingga tiga kali dalam sehari, tapi kali ini, terkadang hanya dua
hingga tiga hari baru aku merasakannya.

Aku rasa, aku sudah mulai sembuh. Aku ingin memulai untuk mencari pekerjaan. Orang pertama
yang aku minta tolong, tentu saja pada paman. Aku menanyakan padanya apakah di tempat kerjanya
ada lowongan atau tidak. Paman berjanji akan membantuku, tapi ia baru kembali minggu depan, jadi
aku harus menunggunya. Sambil menunggu aku sudah mulai menemani bapa di ladang, walau aku
belum bisa melakukan semua yang dicontohkan bapa, bahkan terkadang aku lebih dulu istirahat jika
dibandingkan bapa.

Ketika istirahat, Marni sudah siap dengan bakul berisi nasi, dengan lauk cukup ikan asin,
beberapa buah terong sayur dan juga sambal terasi yang amat menggoda aromanya. Sekalipun bapa
meminta kami makan duluan, tapi aku dan Marni tetap saja menunggunya terlebih dahulu. Menu makan
siang kami tak selalu dibuatkan Marni, terkadang Martha lah yang membuatnya. Jika Martha yang
membuatnya baru kami bisa merasakan rasanya ayam goreng.

Satu minggu berlalu aku sudah terbiasa dengan terik di ladang, begitu juga dengan lelah
sepulangnya. Aku menikmati benar menjadi anggota keluarga. Aku sudah bisa menyumbangkan tenaga
untuk keperluan keluarga ini.

Hari ini aku sengaja mendahului bapa pergi ke ladang, aku bangun lebih awal dari kemarin,
tentunya tidak sepagi Lastri dan Sulis, mereka bahkan sudah pergi membawa dagangan. Aku segera
menyiapkan dan membawa perlengakapan milik bapa, beberapa cangkul dan sabit, tapi aku hanya
membawa satu caping, sisanya aku tinggal, untuk bapa dan Marni.

Kuawali dengan membuka pintu, semburat senja pagi membuka mataku lebih lebar, tidak silau
malah memberiku semangat pagi, cerah dan bersahabat. Langkah awal yang ringan, awal hari yang
mendukung untukku bekerja. Beberapa orang menyapaku dan menanyakan keadaanku. Beberapa lagi
memintaku untuk berkunjung sebentar untuk menikmati singkong rebus. Aku tolak halus tawaran
mereka, hari ini aku ingin segera ke ladang, dan sedikit meringankan tugas bapa.

Langkah tegasku diberhentikan satu suara manja dari arah belakan. "Mas tunggu, aku ikut".
Segera aku menoleh dan mencari asal suara itu. Ternyata Martha memanggilku. Ia berlari kecil ke
arahku, di tangganya membawa kantong plastik putih. "Aku temenin ya". Kami segera melanjutkan
langkah kami. Memasuki pesawahan, terkadang tangan Martha memegang tanganku. Aku hanya
membalas dengan tatapan sayang padanya.

Dipematang kami hanya bisa jalan satu-persatu. Aku menyisakan satu tangan dibelakang untuk
dipegang Martha dan satu tangan yang lain untuk membawa peralatan. Kami saling menjaga
keseimbangan satu sama lainnya. Pagi yang luar biasa, aku ditemani oleh orang terkasihku melalui pagi
ini.

Ponsel martha berbunyi, Martha melepaskan tanganku, ia mengeluarkan ponselnya dan


melihatnya. Ada satu pesan, dari paman untukku. Paman memintaku bertemu hari ini. Katanya ada
berita bagus untukku. Kuharap ia menemukan pekerjaan untukku. Aku dan Martha saling melihat, Ia
menunjukkan wajah sumringah pada ku. "Wah, mas sepertinya dapat pekerjaan tuh" Martha mencoba
menerka. Aku mengangkat kedua bahuku. Mana aku tahu, aku belum bertemu dengannya.

dak banyak yang telah kulakukan hari ini, aku masih tidak mengerti tentang berladang. Yang
kulakukan baru membenarkan dan memadatkan pematang sawah yang kulihta mulai 'ambrol', aku
tambahkan lempung sawah dan kuinjak-injak agar padat. Beberapa lagi aku hanya menyiangi beberapa
gulma yang aku tahu persis itulah gulma. Sisanya aku biarkan menunggu perintah dari bapa. Sementara
Martha ia hanya berjalan mondar mandir di pematang sawah yang telah kupadatkan, sekalian juga
katanya agar lebih padat.

Aku melihat Martha begitu cerianya hari ini, ia terkadang melebarkan kedua tangannya dan
berjalan zig-zag, ia seperti menerbangkan sebuah pesawat, ia menjadi pesawatnya sekaligus menjadi
pilotnya. Ia berhasil melalui beberapa awan padat dan gelap, ia keluar dari awan dengan senyum lebar
diwajahnya. Entah apa yang didalam hatinya. Ia begitu bahagia hari ini.

Dari kejauhan aku melihat seorang sosok laki-laki berjalan, tanpa membawa peralatan sawah dan
hanya menggunakan caping saja. Aku yakin itu bapa. Tampak aneh juga melihat bapa tanpa cangkul dan
sabitnya. Sepertinya cangkul dan sabit sudah menjadi pelengkap busana bagi bapa. Martha langsung
menyambut bapa, ia bahkan membawakan cangkul ke arah bapa.

Kini kami berdua bekerja dalam satu ladang, dan Martha di atas. Ia terkadang bergumam
menyanyikan beberapa lagu yang memang sering ku dengar di radio. Terkadang bapa mengikuti
gumaman Martha dengan melafalkan liriknya, sekalipun liriknya berantakan, tapi Martha berhasil
membuat bapa bernyanyi. Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku melihat keakraban mereka berdua.

Marni datang lebih awal, kali ini ia tidak membawa bakul berisi nasi seperti biasa, ia hanya
membawa wajan,panci,teko dan beberapa kayu bakar. Sepertinya akan ada acara memasak bersama
antara Martha dan Marni, dan pertanyaanku tentang apa isi dari kantong plastik yang dibawanya sedikit
terbuka, sekalipun aku masih belum tahu pastinya apa. Marta langsung menunggu Marni di sebuah
saung, tak jauh dari tempat kami mengolah ladang. Martha mulai mengeluarkan isi kantong plastik itu,
tapi kini tak lagi aku bisa melihatnya berupa apa.

Sementara marni mencari bebatuan untuk dijadikan semacam tungku untuk memasak. Sudah
cukup batunya, marni kemudian menyiapkan kayu bakarnya, ia tata sebentar dan mulai menyalakannya.
Sekejap Marni memindahkan wajan ke atas tungku, dan menuangkan air yang sudah berada dalam teko.
Marni sepertinya akan menanak nasi. Martha juga tidak mau kalah, ia mengambil potongan bambu yang
memang berserakan, ia belah dan mulai mengecilkan ukurannya hingga seukuran lidi, sudah ada
beberapa yang sudah selesai tapi ia masih saja membuatnya, entah untuk berapa banyak ia
membutuhkannya.

Sementara Marni beralih mencari batu bata, ia susu memanjang. Kemudia keluarlah satu
bungkusan arang, dikeluarkan semuanya. Kemudian mulai dibakar untuk menghasilkan bara. Lastri dan
Sulis kemudian menyusul, melihat bawaan mereka, sepertinya mereka tak pulang ke rumah dulu tapi
langsung kemari. Mereka turunkan bawaan mereka dan mulai membantu Marni. Martha berpindah
tempat, sekarang di diatas panggung didalam saung, dia mengambil beberapa helai daun pisang yang
baru saja dibawa Lastri. Entah bagaimana caranya, sepertinya kini daun pisang itu berbentuk semacam
mangkuk.

Aroma daging bakar mulai tercium oleh ku, rupanya Lastri dan Sulis sudah mulai membakar,
entah apa yang dibakar, dari aromanya aku menebak mereka membuat ayam bakar. Tiba-tiba bapa
memintaku berhenti bekerja, ia menyuruhku membersihkan diri di elon dan kemudian segera
membantu mereka. Aku ikut saja perintah bapa. Aku pamit padanya dan aku segera menuju elon untuk
membersihkan lumpur di kedua kaki dan lenganku.

Tak begitu lama aku selesai membersihkan diri aku memutuskan melambatkan langkah kakiku.
Aku merasa curiga dengan hari ini, kenapa Martha menemaniku dari pagi, kemudian kenapa Lastri dan
Sulis langsung menuju ke sini. Kecurigaanku semakin tampak setelah aku melihat bapa tak lagi di ladang,
bapa telah menunggu di saung bersama yang lainnya. Mereka berkumpul menungguku. Semakin dekat
aku dengan mereka semakin terlihat jelas senyum mereka. Ketika jarakku sekitar lima langkah dari
mereka, mulailah mereka bernyanyi selamat ulang tahun.

Untuk siapa ini. Untukku? Aku sendiri lupa ini hari apa, tapi siapa yang merencanakan semua ini.
Pasti Martha, karena dari keluarga ku tak ada tradisi seperti ini. Tapi bagaimana mungkin bapa dan adik-
adikku mau mengikuti ajakan Martha. Selesai menyanyi bapa menghampiriku, kemudian memelukku,
dan mengucapkan ulan tahun kepadaku. Menyusul adik-adikku, Lastri, Sulis dan Marni, sementara
Martha terakhir. Ia hanya memberiku salam dan senyuman.

"Silakan yang punya acara potong tumpengnya" bapa mempersilakan aku mendekat ke arah
makanan yang sudah disiapkan. Kami duduk berkumpul melingkari makanan. Sebelah kiriku ada Martha,
sebelah kanan ada bapa, dan ketiga adikku di hadapanku, dan potongan pertama ingin aku berikan pada
bapa. Namun belum sampai di hadapan bapa, bapa memintaku untuk memberikan potongan pertama
itu pada Martha, menurutnya acara ini Martha yang susun, khusus untukku, baik untuk ulang tahun dan
juga untuk kesembuhanku. Tapi ketika aku arahkan pada Martha, Martha malah memintaku
menyerahkan untuk bapa. Menurutnya Bapa lah yang paling banyak berkorban untuk diriku.

Puncak nasi tumpeng aku berikan pada Bapa. Aku lihat mata bapa mulai berkaca-kaca. Aku tak
tahu apa yang membuatnya seperti itu. Kebahagiaankah atau kesedihan. Mungkinkah bapa bahagia
karena aku kini berkumpul kembali di keluarga ini atau mungkin bahagia karena kesembuhanku. Atau
juga apakah bapa sedih karena hari ini harus dilalui tanpa keberadaan ibu.

Piring kedua aku arahkan pada Martha, tapi kembali martha memintaku untuk memberikan pada
adikku, aku mengikutinya, aku mencoba berikan pada Lastri, namun Lastri pun menolaknya. Ia
memintaku memberikannya pada Martha, dan kali ini Lastri didukung bapa, Sulis dan juga Marni.
Martha mengangkat bahunnya kemudian menerima piring berisi nasi tumpeng dariku.

Kami makan bersama untuk pertama kalinya sejak aku kembali ke desa ini. Wajar saja, masing-
masing keluargaku memiliki kegiatan yang berbeda, sehingga waktu makannya pun berbeda. Tapi kali
ini, benar-benar lain. Entah apa yang telah diperbuat Martha sehingga keluargaku mau mengadakan
acara seperti ini. Tapi itu tak masalah. Keberadaan Martha membuat kekakuan hubunganku dengan
anggota keluarga lainnya perlahan mencair. Bahkan hari ini aku merasa telah menjadi satu larutan
dengan anggota keluarga lainnya. Dimana kami larut dengan pelarut semesta, kasih sayang.

Tak jarang aku diambilkan tambahan lauk oleh Lastri, begitu juga Marni mengambilkan lauk
tambahan untuk Martha. Aku tak mau kalah, aku juga ambilkan lauk untuk bapa. Selesai menghabiskan
makanan kami semua larut dalam obrolah hangat, perbincangan kami begitu mengalir waktu itu, tidak
ada pendapat yang ditentang, dan juga tidak ada nada sinis menanggapi suatu pendapat. Mulai dari
membicarakan sembako, kampanye di masa pemilu sebelumnya, bahkan hingga peristiwa-peristiwa
yang memalukan yang pernah dialami.

Pembicaraan kami sempat terhenti, ketika si bungsu Marni meminta kami semua menyampaikan
mimpi atau harapan yang ingin dicapai. Mungkin karena bungsu, kami semua mengikuti kemauan Marni.
Pertama, Marni menunjuk bapa untuk menyampaikan harapannya. Bapa tersipu, ia tidak mengira akan
ditunjuk pertama. Bapa menjawab sambil memijat telapak kakinya sendiri, "Bapa hanya ingin agar kalian
ini selalu bahagia, keinginannya semua tercapai". Amien. Kami semua menjawab serentak harapan
bapa.

Marni lanjutkan padaku, "Mas apa harapan mas?" aku bingung menjawabnya. Harapanku terlalu
banyak, apa yang harus kusampaikan saat ini. Aku tahu, "Mas pengen kembali normal, sehat dan bisa
bekerja. Itu saja dulu". Amien. Kini giliran mereka menjawab harapanku. Kemudian Marni meminta
sekarang giliran dirinya, "Aku minta, sekali-sekali aku yang dimasakin". Kami terdiam sejenak mendengar
harapan Marni, kemudian tertawa terbahak bersama. "Udah-udah,.stop, sekarang giliran Mba Lastri,
harapannya apa". Lastri berfikir, matanya melihat ke atap, "Ya kalo mba, berharap punya kios di pasar,
biar lebih enak dangannya". "aku juga" Sulis menambahkan. "amien" kata kami semuanya.

Dan orang terakhir yang ditunjuk Marni adalah Martha. "Mba Martha apa harapannya, hayo
harus disampein ga boleh curang". Mata kami kini semua melihat Martha, sementara Martha juga
membalasnya, ia melihat kami satu persatu, "Harapannya apa ya, sederhana aja. Saya pengen punya
kelurga seperti keluarga ini". Kami semua terdiam. Tak ada yang bilang amien. Masing-masing kami
berfikir, jika kami saja ingin berubah dari keadaan saat ini, tapi kenapa ada orang lain yang ingin menjadi
seperti kami. Fikiranku mencoba untuk menafsirkan lain ucapan Martha. Apa sebenarnya ia ingin
menjadi keluarga ini, artinya ingin aku nikahi dengan segera. Ataukah ia ingin ketika aku dan dia sudah
berkeluarga ada bagian dari keluarga ini yang menurun kepada kami. Yang jelas is bahagia di sini,
bersamaku, bersama keluargaku.

Gedung CCSL Lantai 12

Bandung, Januari 2009

Anda mungkin juga menyukai