Anda di halaman 1dari 163

BUKU AJAR

REFRAKSI DAN LENSA KONTAK

dr. Fatimah Dyah NA, MARS,SpM(K)

Departemen Ilmu Kesehatan Mata


Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
2017
KATA PENGANTAR

Pengetahuan dasar dan pemahaman mengenai prinsip-prinsip ilmu refraksi sangat penting
dalam Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Mata (PPDS IK
Mata),sehingga tidak hanya mengutamakan ketrampilan dalam tindakan operatif saja. Mahasiswa
PPDS I IK Mata pada stase subdivisi Refraksi dan Lensa Kontak akan mendapatkan pengetahuan
teori dalam sistem modul, selain pembelajaran melalui sistem praktek dan dalam upaya
peningkatan ketrampilan melakukan anamnesis, pemeriksaan, serta tata cara memberikan
penatalaksanaan termasuk penatalaksanaan operatif.
Buku ini dibuat bagi mahasiswa PPDS IK Mata Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro. Buku ini akan membahas tentang prinsip optik geometri, pemeriksaan topografi
kornea dan autorefraktokeratometri, serta materi mengenai kacamata dan lensa kontak.
Terima kasih kami ucapkan kepada Tim dari Lembaga Pengembangan dan Penjaminan
Mutu Pendidikan Universitas Diponegoro yang telah membimbing dan memfasilitasi dalam
proses pembuatan buku ini dan juga kepada Fakultas Kedokteran yang telah membantu sampai
terbitnya buku ini.

Semarang, Januari 2017

Penulis
DAFTAR ISI

OPTIK GEOMETRI ………………………………………………………………… 4

AUTOREFRAKTOMETRI ………………………………………………………… 36

LARUTAN DAN BAHAN PERAWATAN LENSA KONTAK ………………....... 65

TOPOGRAFI KORNEA ……………………………………………………………. 101

PEMILIHAN LENSA KACAMATA ………………………………………………. 124


OPTIK GEOMETRI
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………….. ii


DAFTAR TABEL …………………………………………………………………... iii
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………………….. iv
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………. 1
BAB II OPTIKAL GEOMETRIK
2.1 CAHAYA …………………………………………………………………….. 2
2.1.1 Berkas Cahaya ………………………………………………………….. 2
2.1.2 Pemantulan Cahaya …………………………………………………….. 3
2.1.3 Pembiasan Cahaya ……………………………………………………… 3
2.2 KARAKTERISTIK BAYANGAN
2.2.1 Perbesaran ………………………………………………………………. 5
2.2.2 Lokasi Bayangan ………………………………………………………... 8
2.2.3 Kedalaman Fokus ……………………………………………………….. 9
2.2.4 Kualitas Bayangan ……………………………………………………… 10
BAB III OPTIK PADA MATA MANUSIA
3.1 Schematic Eyes ……………………………………………………………… 12
3.2 Aksis pada Mata …………………………………………………………….. 13
3.3 Ukuran Pupil …………………………………………………………………. 14
3.4 Visus Mata …………………………………………………………………… 15
3.4.1 Minimum visible ………………………………………………………… 16
3.4.2 Minimum perceptible …………………………………………………… 16
3.4.3 Minimum separable ……………………………………………………. 16
3.4.4 Minimum legible ………………………………………………………… 16
3.5 Status Refraksi ……………………………………………………………….. 16
3.6 Prinsip Optik pada Kelainan Refraksi
3.6.1 Emetropia ……………………………………………………………… 19
3.6.2 Miopia …………………………………………………………………. 20
3.6.3 Hiperopia ………………………………………………………………. 22
3.6.4 Lensa Sferis dan Sferosilindris …….…………………………………… 25
BAB V RINGKASAN ....................................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………… 28
DAFTAR TABEL
3.1 Konversi Visus pada berbagai chart periksa tajam penglihatan ………………. 15
DAFTAR GAMBAR
2.1. Berkas cahaya ………………………………………………………............... 2
2.2 Refleksi pada permukaan datar ……………………………………………….. 3
2.3 Refleksi cahaya pada permukaan yang tidak rata …………………………….. 3
2.4 Hukum Snellius I ………………………………………………………........... 4
2.5 Hukum Snellius II ……………………………………………………….......... 4
2.6 Gambaran tinggi obyek dan bayangan ……………………………………….. 5
2.7 Bayangan yang dibentuk oleh sistem optik …………………………………… 6
2.8 Anterior dan Posterior Titik Nodal ……………………………………………. 7
2.9 Formasi objek dan gambaran nyata …………………………………………… 8
2.10 Bayangan yang dibentuk oleh objek virtual …………………………………. 9
2.11 Bayangan yang terbentuk dalam lubang pinhole ……………………………. 10
2.12 Ilustrasi bayangan yang terbentuk ………………………………………….... 10
3.1 Konstanta Gullstrand’s pada skema mata …………………………………….. 12
3.2 Dimensi pada reduksi skema mata ……………………………………………. 12
3.3 Sudut Alpha dan Kappa pada Aksis Visual …………………………………… 14
3.4 Sinar cahaya dari setiap titik objek membentuk lingkaran buram pada retina
mata myopia ………………………………………………………………………. 13
3.5 Emetropia dalam keadaan tidak berakomodasi ……………………………….. 17
3.6 Gambaran mata myopia saat tidak berakomodasi …………………………….. 17
3.7 Gambaran mata hiperopia saat tidak berakomodasi …………………………... 18
3.8 Tipe astigmatisma …………………………………………………………....... 18
3.9 Reduced Schematic Eye ………………………………………………………... 19
3.10 Objek jauh tak terhingga dicitrakan pada reduced schematic eye …………….... 20
3.11 Keadaan mata myopia ………………………………………………………... 20
3.12 Koreksi pada mata myopia …………………………………………………… 21
3.13. Koreksi mata myopia dengan lensa kontak dan lensa kacamata …………….. 22
3.14 Mata Hipermetropia ………………………………………………………...... 23
3.15 Cahaya yang datang fokus pada retina pada mata hypermetropia ……………... 24
3.16 Koreksi lensa pada mata hypermetropia ……………………………………… 25
3.17 Lensa Silindris ………………………………………………………............... 25
3.18 Conoid of Sturm ………………………………………………………............ 26
BAB I
PENDAHULUAN

Optika merupakan cabang ilmu fisika yang mempelajari tentang konsep cahaya, terutama
mengkaji sifat-sifat cahaya, hakikat, dan pemanfaatannya. Optika terbagi ke dalam dua bagian
yaitu optik geometris dan optik fisis. Optik geometri membahas fenomena pemantulan dan
pembiasan sedangkan optik fisis membahas mengenai fenomena polarisasi, difraksi dan
interferensi.
Optik geometrik adalah cabang ilmu yang mempelajari tentang cahaya yang berkaitan
dengan bayangan. Interpretasi yang tepat mengenai informasi visual bergantung pada
kemampuan mata memfokuskan cahaya ke retina. Pemahaman mengenai konsep geometrik
diperlukan dalam mendefinisikan berkas cahaya yang datang sewaktu melalui berbagai
permukaan dan media.
Optik geometrik memperlakukan cahaya sebagai sinar-sinar cahaya, sehingga
pembahasan dengan perumusan sifat pemantulan dan pembiasan cahaya dapat dijelaskan
berdasarkan hukum-hukum geometris. Cahaya tersusun dari sinar yang terlihat sebagai garis
lurus pada diagram optik. Sinar tersebut dapat pararel, divergen atau konvergen. Cahaya dari
sumbernya akan memancar secara divergen, tapi bila dilihat dari jauh akan terlihat seperti
pararel.
Pembelajaran mengenai optik dapat membantu menginterpretasikan berbagai fenomena
cahaya pada kehidupan sehari-hari. Pemahaman optik geometrik memudahkan klinisi dalam
memahami dan menangani kelainan-kelainan refraksi. Pembahasan pada tinjauan pustaka kali
ini ditekankan pada sifat-sifat cahaya, bayangan yang terbentuk dan penerapannya pada optik
manusia. Tinjauan pustaka ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan menambah
pengetahuan mengenai optik geometrik dan penerapannya dalam pemilihan lensa bagi
penanganan kelainan refraksi.
BAB II
OPTIKAL GEOMETRIK

2. 1 Cahaya
Cahaya adalah energi berbentuk gelombang elektromagnetik yang kasat mata dengan
panjang gelombang sekitar 380-750 nm. Cahaya dapat bersifat sebagai suatu partikel.
Gelombang elektromagnetik merupakan gelombang yang tidak memerlukan medium untuk
merambat, sehingga cahaya dapat merambat tanpa memerlukan medium. Cahaya merambat
dengan sangat cepat, yaitu dengan kecepatan 3 × 108 m/s, artinya dalam waktu satu sekon
cahaya dapat menempuh jarak 300.000.000 m atau 300.000 km.1

2.1.1   Berkas Cahaya


Cahaya merupakan energi yang bersinar dan sensitif pada mata manusia. Cahaya
termasuk gelombang elektromagnetik, maka cahaya dapat merambat baik melalui media
ataupun tanpa media.2
Berkas cahaya dapat digolongkan menjadi 3 macam:
1.   Berkas cahaya yang menyebar (divergen) merupakan berkas cahaya yang berasal dari
satu titik kemudian menyebar ke segala arah.
2.   Berkas cahaya sejajar merupakan berkas cahaya yang sejajar satu sama lain.
3.   Berkas cahaya mengumpul merupakan berkas cahaya yang menuju satu titik tertentu
(konvergen).2,3

Gambar 2.1. Berkas cahaya


2.1.2   Pemantulan Cahaya
Sifat cahaya saat mengenai media tergantung pada sifat media tersebut. Cahaya dapat
diserap oleh media baru, cahaya dapat ditransmisikan seterusnya melalui media tersebut, atau
cahaya akan dipantulkan kembali melalui media tersebut. Pemantulan cahaya pada permukaan
media disebut dengan refleksi cahaya.1
Hukum refleksi mengatur refleksi cahaya pada setiap permukaan media . Refleksi
cahaya terbagi menjadi dua, yaitu refleksi teratur dan refleksi difus. Refleksi teratur ialah ketika
sinar yang datang, garis normal dan sinar yang dibiaskan berada pada satu bidang datar yang
sama (Gambar 2.2). Refleksi difus ialah ketika cahaya pararel yang datang mengenai
permukaan yang tidak beraturan, maka cahaya akan tersebar ke banyak arah (Gambar 2.3).2,3
Refleksi difus dapat terjadi pada astigmatisma irregular. Cahaya yang direfleksikan pada
astigmatisme irregular pada kornea mata tidak direfleksikan secara merata hanya di satu sisi,
tetapi di seluruh permukaan kornea. Bekas luka pada kornea dapat memicu terjadinya kondisi
astigmatisme irregular.4

Gambar 2.2 Refleksi pada permukaan datar

Gambar 2.3 Refleksi cahaya pada permukaan yang tidak rata

2.1.3   Pembiasan Cahaya


Pembiasan cahaya didefinisikan sebagai perubahan arah cahaya ketika berkas cahaya
melewati bidang batas dua media yang memiliki perbedaan indeks bias. Sinar datang, sinar bias
dan normal semuanya terletak di dalam satu permukaan yang sama. Kecepatan cahaya
bervariasi sesuai dengan kepadatan media yang dilalui, lebih padat suatu media maka semakin
lambat cahaya yang melewatinya. Konsep dasar pembiasan cahaya terbagi dalam Hukum
Snellius tentang pembiasan.2,3
Hukum Snellius I : Sinar datang, sinar bias, dan garis normal terletak pada satu bidang datar.5

Gambar 2.4 Hukum Snellius I

Hukum Snellius II yaitu jika sinar datang dari media kurang rapat ke media yang lebih rapat
(misalnya dari media udara ke media air atau dari media udara ke media kaca), maka sinar
dibelokkan mendekati garis normal (gambar a), sebaliknya jika sinar datang dari media lebih
rapat ke media kurang rapat (misalnya dari media air ke media udara), maka sinar dibelokkan
menjauhi garis normal (gambar b).5

Gambar 2.5 Hukum Snellius II


Ukuran kerapatan media dihasilkan dari perbandingan densitas kecepatan cahaya satu
media dengan media yang lain. Pengukuran ini disebut indeks bias absolut, dengan n, dari
media. Densitas optik udara sebagai media dapat diabaikan pada kondisi normal, maka
perhitungannya sebagai berikut :3
Indeks refraksi = Kecepatan cahaya pada udara
Kecepatan cahaya pada media

Struktur penting yang berperan pada proses refraksi cahaya adalah kornea dan lensa
mata. Dua pertiga dari daya bias mata yang kekuatannya sekitar 60 dioptri dihasilkan oleh
permukaan anterior kornea. Hal tersebut disebabkan karena indeks bias kornea sangat berbeda
dengan udara sementara indeks bias lensa tidak jauh berbeda dengan humor aqueous dan humor
vitreous. Lensa internal mata memiliki daya 20 dioptri (sepertiga dari daya bias mata).6,7

2.2  Karakteristik Bayangan


2.2.1  Magnifikasi
Terdapat tiga tipe magnifikasi dalam optikal geometrik, yaitu : magnifikasi transversal,
angular dan aksial. Magnifikasi transversal ialah rasio tinggi dari suatu bayangan terhadap
ketinggian suatu obyek yang dituju.8
Magnifikasi Transversal = Tinggi Bayangan
Tinggi Obyek

Gambar 2.6. Gambaran tinggi obyek dan bayangan

Perhitungan magnifikasi transversal dapat dilakukan dengan membandingkan


ketinggian suatu objek dengan ketinggian bayangan yang terbentuk. Perhitungan magnifikasi
transversal dilakukan dengan membandingkan jarak suatu objek memanjang di atas atau di
bawah sumbu aksis optik ke bayangan konjugasinya, yaitu jarak bayangannya memanjang di
atas atau di bawah sumbu aksis. Tinggi objek dan bayangan diukur tegak lurus terhadap sumbu
aksis optik dan dianggap positif ketika objek atau bayangan memanjang di atas sumbu aksis
optik dan negatif ketika di bawah sumbu aksis. 8
Pemukaan refraksi membentuk hubungan dari bidang objek dengan bidang bayangan
pada saat bayangan terbentuk (Gambar 2.7). Fungsi sistem pembentuk bayangan adalah untuk
membiaskan (atau memantulkan) cahaya yang datang dari suatu titik di objek dan
mengirimkannya ke titik tunggal dalam bayangan, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.9

Gambar 2.7. Bayangan yang dibentuk oleh sistem optik

Magnifikasi transversal menggambarkan ukuran bayangan yang terbentuk dari suatu


objek. Jika objek atau bayangan tegak lurus (membentang di atas sumbu optik), tanda positif
(+) digunakan, namun bila objek atau bayangan yang terbalik (membentang di bawah sumbu
optik) ditunjukkan dengan tanda minus (-). Pada Gambar 2.6. tinggi objek +4 cm dan tinggi
bayangan –2 cm; dengan demikian, pembesaran transversal adalah - 0,5, artinya bahwa gambar
dibalik dan setengah sebesar objek. Pembesaran +3 berarti gambar tegak dan 3 kali lebih besar
dari objek.8
Magnifikasi Transversal = Tinggi Bayangan = Jarak Bayangan (i)
Tinggi Objek Jarak Objek (o)
Magnifikasi linear adalah perhitungan pembesaran luas suatu bayangan terhadap
suatu objek yang terletak tegak lurus terhadap sumbu aksis optik. Suatu objek 4 cm x 6 cm
yang dicitrakan dengan pembesaran 2 menghasilkan gambar 8 cm x 12 cm. 8
Sistem optik sebagian besar memiliki sepasang titik nodal (Gambar 2.8). Titik nodal
ialah titik yang menghubungkan aksis optik pada mata dengan gambaran objek pada medan
visual yang diproyeksikan di retina.10 Titik nodal berada pada sumbu aksis optik. Sinar datang
dari objek selalu melewati titik nodal anterior. Sinar ini muncul pada sistem optik sepanjang
garis yang menghubungkan titik nodal posterior ke titik bayangan konjugasi. Sinar ini
membentuk 2 sudut dengan sumbu aksis optik. Sifat penting dari titik-titik nodal adalah bahwa
2 sudut ini sama untuk setiap titik dari objek yang dipilih. Berdasarkan lokasi dari objek, objek
dan bayangan mewakili sudut yang sama dengan titik-titik nodalnya.9

Gambar 2.8. Anterior dan Posterior Titik Nodal

Magnifikasi sudut adalah rasio perbandingan tinggi sudut yang dihitung berdasarkan
tinggi objek yang dilihat oleh mata melalui lensa pembesar dan tanpa lensa pembesar.
Berdasarkan konversi, jarak pandang standar untuk perbandingan adalah 25 cm. Untuk sudut
kecil, pembesaran sudut (M) yang disediakan oleh kaca pembesar sederhana sedangkan (P)
adalah ukuran objek sebenarnya:4

M = ¼ P atau M =P/4

Magnifikasi aksial dikenal sebagai magnifikasi longitudinal. Magnifikasi aksial


diukur sepanjang sumbu aksis optik. Untuk jarak kecil di sekitar bidang bayangan, pembesaran
aksial adalah kuadrat pembesaran transversal. Jika sebuah benda setinggi 4 cm (tegak lurus
dengan sumbu aksis optik) dan memiliki jarak 0,5 cm sepanjang sumbu aksis optik yang
digambarkan dengan 2x magnifikasi transversal, maka magnifikasi aksialnya adalah 4x.
Bayangan yang terbentuk sebesar 8 cm × 2 cm (4 × 2 = 8 cm tinggi tegak lurus terhadap sumbu
aksis optik dan 0,5 × 4 = 2 cm sepanjang sumbu aksis optik).8

2.2.2  Lokasi Bayangan


Karakteristik penting lain dari sebuah bayangan adalah lokasi. Kesalahan refaksi terjadi
ketika bayangan yang dibentuk oleh sistem optik mata berada di depan atau di belakang retina.
Lokasi bayangan diukur sepanjang sumbu aksis optik antara titik-titik yang dihubungkan antara
sistem optik dan bayangan. Permukaan lensa posterior biasanya tidak di lokasi yang sama
dengan titik nodal posterior. Jarak bayangan diukur dari titik posterior diarahkan ke bayangan.8
Terdapat dua jenis lokasi bayangan dengan sistem pencitraan bayangan yang terbentuk.9
1.   Bayangan nyata, yaitu bayangan yang terbentuk dari sinar-sinar utama yang nyata.
Objek yang jarak L didapatkan dari permukaan optik negatif atau ketika objek
berada di sebelah kiri permukaan optik. Dikatakan L positif jika perjalanan cahaya
berjalan dari kanan ke kiri .12

Gambar 2.9. Formasi objek dan gambaran nyata

2.   Bayangan maya ialah bayangan terbentuk dari pertemuan sinar-sinar utama yang
dipantulkan. Jarak L dari permukaan optik positif atau saat objek berada di kanan
permukaan optik. Cahaya berjalan dari kanan ke kiri,maka objek adalah objek
virtual dan L negatif. Sistem optik kedua ini akan mengubah posisi gambar, ukuran,
dan orientasi. Bayangan yang terbentuk dari sistem optik pertama ialah virtual bagi
sistem optik yang kedua.12
Gambar 2.10. Bayangan yang dibentuk oleh objek virtual

2.2.3  Kedalaman Fokus


Kedalaman fokus mata manusia ditentukan oleh daya ketajaman visus yang hilang pada
saat meningkatkan tingkat keburaman bayangan yang terbentuk di retina.11 Pencitraan dasar
dapat dilakukan dengan menggunakan lensa dan memfokuskan bayangan dari sumber cahaya
di atas kertas, perhatikan bila kertas dipindahkan ke depan atau mundur dalam jarak beberapa
milimeter, bayangan tetap relatif terfokus. Bayangan yang muncul akan kabur apabila kertas
diposisikan di luar wilayah sumber cahaya. Ukuran wilayah ini mewakili kedalaman fokus.8
Kedalaman fokus relatif besar (setidaknya ± 1,00 D) dalam l bulan usia kehidupan dan
berkurang dengan cepat selama 2 bulan usia kehidupan.15
Variasi dari jarak bayangan yang terbentuk dari lensa atau sistem optik yang dapat
ditoleransi tanpa menimbulkan kurangnya fokus ketajaman penglihatan. Secara teoritis
dijelaskan bahwa bayangan yang terbentuk akan secara tepat berada pada retina sesuai dengan
gambaran objek yang dilihat. Gambaran yang sedikit tidak fokus juga akan ditafsirkan oleh
otak berdasarkan objek yang terlihat selama objek tersebut diposisikan pada tingkat kedalaman
fokus yang sesuai. Kedalaman fokus dapat memberikan toleransi perseptual bagi kesalahan
fokus yang relative kecil.16
2.2.4  Kualitas Bayangan
Suatu objek tidak direfleksikan dengan detail pada bayangan. Pemeriksaan dilakukan
dengan menempatkan sebuah objek diletakkan 50 cm di depan lubang pinhole 1 mm. Kertas
ditempatkan 50 cm di belakang lubang pinhole, sehingga perbesaran –1 ×. Sinar dari objek
akan terfokus melintasi lubang pinhole.8

Gambar 2.11. Bayangan yang terbentuk dalam lubang pinhole

Setiap titik objek menghasilkan titik 2mm diameter pada bayangan. Titik-titik
tersebut dinamakan lingkaran buram. Setiap titik objek diwakili oleh lingkaran buram dalam
bayangan. Semakin jauh gambar dari lubang pinhole, semakin besar lingkaran buram dalam
bayangan. Lubang pinhole yang lebih kecil menjadikan objek lebih suram, tetapi lebih detail
memberikan hasil bayangan. 8

Gambar 2.12. Ilustrasi bayangan yang terbentuk


Detail bayangan yang hilang terjadi pada lensa dan cermin dikarenakan cahaya dari
titik objek didistribusikan lebih dari satu wilayah bayangan (Gambar 2.7). Umumnya, fokus
lensa cahaya dari titik objek tunggal ke titik 10-100 µm. Bayangan stigmatik adalah bayangan
titik sempurna dari suatu titik objek. Bayangan tidak bersifat stigma dalam beberapa kasus.8
BAB III
OPTIK PADA MATA MANUSIA

3.1  Schematic Eyes


Sistem optik pada mata manusia begitu kompleks dan terdapat beberapa elemen yang
tidak sempurna. Permukaan anterior kornea diasumsikan sebagai permukaan yang sferis namun
sebenarnya cenderung mendatar ke arah limbus. Pusat lensa kristalina biasanya terpusat pada
sentral.8

Gambar 3.1 Konstanta Gullstrand’s pada skema mata

Titik-titik utama dari kornea dan lensa cukup dekat satu sama lain, maka satu titik yang
ditengah dapat menggantikan titik-titik lain. Titik-titik nodal kornea dan lensa dapat
dikombinasikan menjadi titik nodal tunggal terletak 17,0 mm di depan retina. Permukaan
ideal sferis memisahkan 2 media dari indeks bias yang berbeda: 1.000 untuk udara dan 1,333
untuk mata. Konsep ini dikenal sebagai reduced schematic eye.Reduced schematic eye
merupakan cara mudah dalam memahami kompleksitas mata.8

Gambar 3.2 Dimensi pada reduksi skema mata


Skema reduksi mata dapat digunakan dalam menghitung citra retina ukuran objek
dalam ruang (seperti huruf pada Snellen). Perhitungan ini memanfaatkan titik nodal yang
disederhanakan, di mana sinar cahaya masuk atau keluar melewati mata tanpa gangguan.
Prinsip reduced schematic eye dapat digunakan untuk perhitungan ukuran retina jika terdapat
data : (1) ketinggian sebenarnya dari huruf pada Snellen, (2) jarak dari bagan ke mata, dan
(3) jarak dari titik nodal arahkan ke retina. Rumus untuk perhitungan ini adalah sebagai
berikut:8
Tinggi Bayangan Pada Retina = Jarak Titik Nodal ke Retina
Tinggi Huruf Pada Snellen Jarak Chart ke Mata

Pengukuran jarak dari chart ke titik nodal dan jarak ke permukaan kornea harus
dilakukan. Perbedaan antara pengukuran ini sebesar 5,6 mm. Jika jarak antara titik nodal dan
retina adalah 17,0 mm, jarak antara chart dan mata 20 kaki (6000 mm), dan tinggi dari
optotipe Snellen adalah 60 mm, maka ukuran gambar yang dihasilkan pada retina adalah
0,17 mm.8

3.2  Aksis pada Mata


Cahaya yang berasal dari objek yang dilihat akan menuju fovea dan melalui jalur
imajiner yang disebut dengan aksis visual. Aksis visual adalah garis yang menghubungkan
target fiksasi dan fovea. Garis penglihatan utama adalah garis yang melewati fiksasi target
tegak lurus dengan bidang kornea. Aksis pupil adalah garis imajiner tegak lurus ke permukaan
kornea dan melewati titik tengah pupil. Aksis optik adalah garis melalui pusat optik kornea,
lensa, dan pusat fovea. Lensa biasanya terpusat terhadap kornea dan sumbu aksis visual, tidak
ada satu garis pun yang bisa menembus secara tepat masing-masing poin ini. Semua jaringan
dan struktur mata yang berada pada aksis visual berpengaruh terhadap kualitas dari bayangan
yang terbentuk.8
Sumbu aksis optik dianggap sebagai pendekatan terbaik dikarenakan jumlah
desentrasinya kecil. Sudut Alpha (α) adalah sudut antara sumbu visual dan aksis optik. Sudut
ini dianggap positif ketika sumbu aksis visual dalam ruang objek terletak di sisi nasal dari
sumbu aksis optik. Sudut kappa (κ) adalah sudutnya antara sumbu pupil dan sumbu visual
(Gambar 3.3).8
Gambar 3.3 Sudut Alpha dan Kappa pada Aksis Visual

3.3  Ukuran Pupil


Ukuran blur circle pada retina umumnya meningkat sesuai ukuran pupil. Lubang jarum
pinhole jika ditempatkan tepat di depan mata maka ukuran blur circle berkurang secara
bersamaan.8

Gambar 3.4 Sinar cahaya dari setiap titik objek membentuk lingkaran buram pada retina mata
miopia.

Pupil melakukan tiga fungsi utama, dan masing-masing mempengaruhi pembentukan


bayangan. Fungsi pupil antara lain : 15
1.  Mengontrol perubahan cahaya yang masuk
2.  Memodifikasi kedalaman fokus
3.  Bervariasi sejauh mana aberasi optik yang hadir

Pinhole digunakan secara klinis untuk mengukur ketajaman visual lubang pinhole.
Ketajaman visual jika meningkat ketika diukur melalui lubang jarum pinhole, maka dapat
disimpulkan bahwa terdapat kesalahan pada refraksi. Diameter lubang pinhole ialah 1,2 mm.
Penghamburan sinar kornea dan lenticular atau silindris cenderung hadir setelah koreksi
refraktif terbaik ditentukan dan ketajaman penglihatan meningkat, mengingat bahwa lubang
pinhole berfungsi untuk membatasi cahaya ke area optik mata. 9
3.4  Visus Mata
Pengukuran fungsi visual ialah ambang batas minimum yang dapat dibaca mengacu
pada titik di mana kemampuan visual pasien tidak dapat membedakan lebih lanjut secara
progresif huruf atau bentuk pada optotipe Snellen. Penggunaan Snellen chart merupakan
metode yang paling umum untuk menentukan ambang ini. Ambang batas minimum yang
terlihat adalah kecerahan minimum dimana pasien dapat membedakan target dimana ambang
batas minimum yang minimum mengacu pada visual terkecil sudut yang dibentuk oleh mata
dan dua objek terpisah.8
Chart Snellen diukur sedemikian rupa sehingga setiap huruf secara keseluruhan
memiliki sudut 5 menit of arc (arcmin), sedangkan setiap huruf terdiri dari 1 arcmin. Chart
Snellen dirancang untuk mengukur ketajaman visual dalam istilah sudut, namun konversi
yang diterima tidak tentukan ketajaman visual dalam ukuran sudut; sebagai gantinya, ia
menggunakan notasi di mana pembilang adalah jarak pengujian (dalam satuan kaki atau
meter) dan penyebut. Pada garis 20/20 (6/6 dalam meter), huruf-huruf itu melubangi sudut
5 arcmin bila dilihat pada 20 kaki. Cermin dapat digunakan untuk meningkatkan jarak
pandang bila ruang emeriksaan dengan lebih kecil jarak dari 20 kaki (6 m). Tabel berikut
merupakan daftar konversi pengukuran ketajaman visual untuk berbagai metode dalam
gunakan, yaitu menggunakan fraksi Snellen, notasi desimal (Visus), sudut visus arc, dan
basis logaritma dari sudut minimum resolusi (logMAR). LogMAR berguna untuk
menentukan rerata ketajaman penglihatan Snellen dalam serial.8

Tabel 3.1 Konversi Visus pada berbagai chart periksa tajam penglihatan
3.4.1  Minimum visible
Minimum visible adalah kemampuan dalam mendeteksi perbedaan antara dua cahaya
berpendar yang berada di depan latar belakang yang homogen. Minimum visible tidak
bergantung dari besar sudut penglihatan objek.13
3.4.2  Minimum perceptible
Minimum perceptible adalah kemampuan dalam mendeteksi titik titik yang halus
dengan latar belakang yang homogen.13
3.4.3  Minimum separable
Minimum separable adalah sudut terkecil yang membedakan dua objek yang terpisah.
Minimum separable dipengaruhi oleh kontras objek dan densitas fotoreseptor di fovea. 13
3.4.4  Minimum legible
Minimum legible adalah kemempuan dalam mengenali huruf atau bentuk. Alat
pemeriksaannya dapat dilakukan dengan optotip.13

3.5  Status Refraksi


Konsep yang dapat diterapkan apabila membahas keadaan status refraksi mata ialah sebagai
berikut:
1.   Konsep titik fokus: Lokasi gambar yang dibentuk oleh objek di titik tak terhingga
melalui mata tanpa akomodasi menentukan status refraksi mata. Objek yang berfokus
pada titik anterior atau posterior ke retina membentuk gambar buram pada retina,
sedangkan objek yang fokus pada retina membentuk gambar yang tajam.
2.   Konsep titik jauh: Titik jauh merupakan titik dalam ruang yang ada berkonjugasi ke
fovea pada keadaan mata tidak berakomodasi; jauh titik adalah keadaan di mana
fovea akan membentuk bayangan jika optik dibalik dan fovea menjadi objek.
Emmetropia adalah status refraksi dimana sinar cahaya paralel dari objek yang jauh
dibawa untuk fokus pada retina saat mata tidak berakomodasi. 8

Titik jauh dari mata emmetropic adalah pada titik tak terhingga dan berkonjugasi dengan
retina. Ametropia mengacu pada tidak adanya emmetropia dan dapat diklasifikasikan
sebagai etiologi aksial atau refraksi. Dalam ametropia aksial, bola mata luar biasa panjang
(miopia) atau pendek (hiperopia). Keadaan refraksi ametropia, axial length secara statistik
normal, tetapi kekuatan refraksi mata (kornea dan / atau lensa) tidak normal, baik berlebihan
(miopia) atau kurang (hiperopia). Aphakia adalah contoh dari keadaan refraksi hyperopia
ekstrim sebelum pengangkatan lensa. Mata ametropic membutuhkan lensa yang dapat
diverging atau lensa konvergen untuk gambar objek yang jauh di retina.8

Gambar 3.5 Emetropia dalam keadaan tidak berakomodasi

Ametropia dapat diklasifikasikan berdasarkan sifat ketidakcocokan antara daya optik


dan panjang mata. Mata miopia memiliki terlalu banyak daya optik untuk panjang aksialnya,
dan saat keadaan relaksasi, sinar cahaya dari objek di tak terhingga berkonvergen dan fokus di
depan retina, dan menghasilkan bayangan tidak fokus pada retina; titik jauh mata terletak di
depan mata, antara kornea dan titik tak terhingga objek. Mata hiperopia, keadaan mata tidak
memiliki kekuatan optik yang cukup untuk panjang aksialnya, dan pada keadaan akomodasi,
objek di tak terhingga mencoba untuk memfokuskan cahaya di belakang retina, namun
menghasilkan gambar tidak fokus pada retina. Titik mata yang jauh terletak di belakang retina.8

Gambar 3.6 Gambaran mata miopia saat tidak berakomodasi


Gambar 3.7 Gambaran mata hiperopia saat tidak berakomodasi

Astigmatisma adalah kondisi dari mata di mana sinar cahaya dari suatu objek tidak
difokuskan ke satu titik. Kondisi mata astigmatisma dapat disebabkan adanya variasi
kelengkungan kornea atau lensa pada meridian yang berbeda. Setiap mata astigmat dapat
diklasifikasikan serta berorientasi dan posisi relatif dari garis fokus. Klasifikasi astigmatisma
dapat dibagi menjadi astigmat miop simpleks, astigmat miop kompositus, astigmat hipermetrop
simpleks, astigmat hipermetrop kompositus dan astigmat miktus. Astigmat miop simplek ialah
kondisi dimana salah satu garis fokus terletak di depan retina dan yang lainnya ada di retina.
Astigmat miop kompositus terjadi jika kedua garis fokus jatuh di depan retina. Astigmatisma
hipermetrop simpleks ialah keadaan satu garis fokus berada di belakang retina dan yang lainnya
ada pada retina. Astigmatisma hipermetrop kompositus terjadi saat kedua titik fokal berada di
belakang retina. Astigmatisma miktus terjadi saat satu garis fokus terletak di depan retina dan
yang lainnya di belakang retina. 8

Gambar 3.8 Tipe astigmatisma


Kornea astigmatisma atau astigma lenticular (dengan aksis 90 ° ke meridian)
memiliki orientasi konstan di setiap titik di seluruh pupil, dan jika jumlah astigmatisme sama
di setiap titik, kondisi refraktif dikenal sebagai astigmatisme regular. Kondisi ini dapat
dikoreksi oleh lensa kacamata silindris. Astigmatisme regular dapat diklasifikasikan menjadi
astigmatisma with the rule atau astigmatisma against the rule. Astigmatisma with the rule (tipe
yang lebih umum pada anak-anak), meridian vertikal kornea berada pada kondisi paling curam
dan sumbu silinder plus yang mengoreksi harus digunakan pada atau mendekati 90 °.
Astigmatisma against the rule (tipe yang lebih umum pada orang dewasa yang lebih tua), yang
meridian horizontal paling curam dan sumbu silinder plus yang mengoreksi harus digunakan
pada atau mendekati 180 °.8
Astigmatisme obliq digunakan untuk menggambarkan astigmatisme regular di mana
meridian utama tidak terletak pada, atau mendekati, 90 ° atau 180 ° tetapi malah mendekati 45°
atau 135°. Pada astigmatisme yang tidak beraturan, orientasi meridian utama atau jumlah
astigmatisme berubah dari titik ke titik di seluruh pupil. Semua mata memiliki setidaknya
sedikit astigmatisme irreguler, dan instrumen seperti topografi kornea dan aberrometer
wavefront bisa digunakan untuk mendeteksi secara klinis kondisi ini.8

3.6  Prinsip Optik pada Kelainan Refraksi


3.6.1  Emetropia
Keadaan mata emetrop artinya sinar cahaya yang berasal dari tak terhingga dapat
terfokus pada retina. Dengan mengetahui radius kelengkungan dan indeks bias, daya refraksi
permukaan dapat dihitung sebagai berikut :15
F = n’-n
r
F = 1.333 – 1.000
0.00555
F = +60.00 D

Gambar 3.9 Reduced Schematic Eye


Menghitung lokasi bayangan saat mata melihat objek dari tak terhingga, vergensi
suatu objek adalah nol. Mata memiliki kekuatan refraksi +60.00 D dan panjang aksial +22.22
mm.15
L’ = L +F
L’ = 0.00 d + 60.00 D
L’ = +60.00 D

Gambar 3.10 Objek jauh tak terhingga dicitrakan pada reduced schematic eye

3.6.2  Miopia
Objek jauh pada mata myopia difokuskan ke anterior dari retina. Keadaan panjang
aksial mata lebih besar dari 22,22 m atau daya refraksi nya terlalu kuat yakni lebih besar dari
+60.00 dioptri, atau kombinasi dari keduanya. 15

Gambar 3.11 Keadaan mata myopia


Panjang aksial mata 23,22 mm maka cahaya yang membentuk bayangan di aquous, bayangan
vergensi dapat dihitung dengan :

L = n’
l’
= (1000)(1.333)
23,33 mm
= +57,41 D
L’ = L + F
+ 57.41 D = L + 60.00 D
L = - 2.59 D

Gambar 3.12 Koreksi pada mata myopia

Sinar cahaya dari objek dengan vergensi -2.59 D akan difokuskan pada retina. Ini disebut
sebagai titik jauh vergensi, yang artinya mata dikatakan miopia 2,59 D. 15
Asumsi yang digunakan saat ini ialah lensa yang digunakan untuk mengkoreksi mata
ametropia diposisikan di anterior mata, hal ini dapat dilakukan oleh lensa kontak ataupun bedah
refraktif namun tidak pada lensa kacamata yang diposisikan dengan jarak tertentu didepan
mata. Jarak antara kornea dan permukaan lensa kacamata disebut dengan vertex distance.
Dalam memperbaiki kelainan refraksi, titik fokus dari mata myopia harus sesuai dengan jarak
fiksasi ke mata.15
Mata myopia dapat dievaluasi dengan lensa cembung. Lensa cembung berfungsi
memfokuskan cahaya yang datang. Lensa cembung (konveks) biasa disebut lensa positif. Mata
miopia sebagai contoh dikoreksi dengan lensa -6,68 D yang diletakkan pada permukaan kornea
dan lensa tersebut diletakkan 15,00 mm di depan mata, seberapa besar daya yang diperlukan
lensa kacamata yang diperlukan. Titik jauh adalah 14,97 cm anterior kornea, jika jarak
permukaan lensa kacamata 15,00 mm, maka panjang fokusnya harus (−14.97 cm) - (−1.50 cm)
= −13.47 cm.
F=n
f
F = (100)(1.00)
-13.47 cm
F = -7.42 D

Gambar 3.13. Koreksi mata myopia dengan lensa kontak dan lensa kacamata
Mata myopia dapat dikoreksi dengan lensa kontak -6.68 D atau lensa kacamata -7.42 D
dengan jarak vertex sebesar 15.00 mm, keduanya memiliki efektivitas yang sama. Pergerakan
lensa koreksi menjadi lebih dekat ke titik jauh, memiliki panjang fokus yang lebih pendek.15

3.6.3  Hipermetropia
Mata hipermetropia memfokuskan objek dari jarak tak terhingga ke posterior dari
retina.penyebabnya bias dikarenakan panjang aksial yang terlalu pendek yaitu panjang aksial
kurang dari 22.22 mm atau terlalu lemah yakni kekuatan daya refraksi kurang dari + 60.00 D
atau kombinasi dari dua faktor ini. Sebagaimana pada gambar 4.13, mata memiliki panjang
aksial 21,22 mm dan kekuatan +60,00 D, objek jauh jauh terfokus 22,22 mm di belakang
permukaan pembiasan, atau 1,00 mm posterior ke retina mata.Bila panjang aksial mata 21,22
mm maka cahaya agar terfokus di retina, perhitungan bayangan vergensi sebagai berikut:15
L = n’
l’
= (1000)(1.333)
21.33 mm
= +62.82 D

Gambar 3.14 Mata Hipermetropia

Hubungan vergensi dapat digunakan dalam menentukan vergensi objek dan vergensi
bayangan, dengan perhitungan sebagai berikut :
L’ = L + F
+ 62.82 D = L + 60.00 D
L = +2.82 D

Titik terjauh dikatakan positif artinya objek harus berada di belakang permukaan anterior
reduced schematic eye. Sinar cahaya yang datang membentuk objek virtual berada di udara,
dan perhitungan jarak ke kornea terhadap objek virtual dapat dihitung sebagai berikut :15
L=n
l
= (100)(1.00)
2.82 mm
= +35.46 D
Gambar 3.15 A. Cahaya yang datang fokus pada retina pada mata hipermetropia
B. Bayangan yang terbentuk bila diberikan koreksi lensa pada mata hipermetropia

Gambar 3.15 membutuhkan koreksi lensa sebesar +2.82 dioptri yang ditempatkan di
permukaan kornea. Apabila dikoreksi dengan lensa kacamata dengan jarak vertex 15.00 mm
maka perhitungan titik jauh mata (35.46 cm di kanan dari kornea) dapat menghitung panjang
secondary focal length yang dibutuhkan kacamata, yaitu 36.96 cm (35.46 + 1.50 cm = 36.96
cm). Kekuatan lensa kacamata dapat dihitung dengan :15
F = n’
f’
F = (100)(1.00)
36.96 cm
F = +2.71 D
Gambar 3.16 Koreksi lensa pada mata hipermetropia
Mata hipermetropia dapat dikoreksi dengan lensa kontak +2.82 D atau lensa kacamata
+2.71 D.Lensa kontak memiliki kekuatan yang lebih tinggi dikarenakan jarak yang lebih
pendek dari titik fokus ke titik fokus sekunder dari mata. Pada kekuatan tinggi, sebagai contoh
pasien yang dikoreksi dengan lensa kontak membutuhkan kekuatan +10.00 dioptri, dapat
menggunakan lensa kacamata dengan kekuatan +8.70 dioptri.15

3.7.4  Lensa silindris dan sferosilindris


Semua meridian dari setiap permukaan lensa sferis memiliki kelengkungan yang sama
(sebagai bagian dari sferis), dan terjadi pembiasan simetris terhadap sumbu utama. Dalam lensa
astigmatik, semua meridian tidak memiliki kelengkungan yang sama, dan gambar titik objek
titik tidak bisa dibentuk. Ada dua jenis lensa astigmatik, yaitu lensa silinder dan toric. Lensa
silinder memiliki satu bidang datar dan bagian lain membentuk bagian dari silinder (Gambar
4.15). Jadi, dalam satu meridian lensa tidak memiliki kekuatan vergence dan ini disebut sumbu
silinder. Di meridian di sudut yang tepat dari aksis, silinder bertindak sebagai lensa sferis.2

Gambar 3.17 Lensa Silindris


Lensa Toric biasa disebut dengan lensa sphero-silindris, yaitu lensa yang tidak
menghasilkan gambar menjadi gambaran tunggal. Gambaran tunggal tidak dapat terbentuk
dikarenakan meridian utama membentuk conoid of Sturm. Conoid of Sturm adalah kondisi
kekuatan refraksi dari kornea dan lensa tidak sama pada semua meridian. Pada kondisi ini
terdapat dua titik fokus yang terpisah. Jarak antara dua titik fokus disebut Interval of Sturm.2,13
Cahaya berjalan sepanjang Conoid of Sturm dari lensa sferosilindris. Cahaya membentuk dua
garis fokus. Garis fokus pertama tegak garis fokus kedua. Kedua garis fokus memiliki
kekuatan positif. Rerata kekuatan dua lensa diopter dinamakan spherical equivalent,
dan tempat dimana terdapat penampang yang melingkar disebut circle of least confusion.8
Perhitungan spherical equivalent diperlukan untuk mengetahui rerata kombinasi dari
lensa spherocylindrical. Perhitungan aljabar diterapkan dengan menambahkan 50% dari
silinder ke sferis, dan mengabaikan nilai silindrisnya. Contoh spherical equivalent dari S+3.50
C-1.50 x 95 is +2.75. Kalkulasi ini didapatkan dengan menambahkan -0.75 (-1.50x0.5) ke
+3.50. Spherical equivalent kerap digunakan pada fitting lensa kontak.17

Gambar 3.18 Conoid of Sturm


BAB IV
RINGKASAN

Cahaya adalah energi berbentuk gelombang elekromagnetik yang kasat mata dengan
panjang gelombang sekitar 380–750 nm. Cahaya adalah radiasi elektromagnetik, baik dengan
panjang gelombang kasat mata maupun yang tidak. Cahaya yang mengenai benda akan
dipantulkan sehingga kita bisa melihat benda tersebut. Benda-benda yang ada di sekitar kita
dapat kita lihat apabila ada cahaya yang mengenai benda tersebut, dan cahaya yang mengenai
benda tersebut dipantulkan oleh benda ke mata.
Optik geometrik adalah cabang ilmu yang mempelajari tentang cahaya yang berkaitan
dengan bayangan. Interpretasi yang tepat mengenai informasi visual bergantung pada
kemampuan mata memfokuskan cahaya ke retina. Pemahaman mengenai konsep geometrik
diperlukan dalam mendefinisikan berkas cahaya yang datang sewaktu melalui berbagai
permukaan dan media. Optik geometrik memperlakukan cahaya sebagai sinar-sinar cahaya,
sehingga pembahasan dengan perumusan sifat pemantulan dan pembiasan cahaya dapat
dijelaskan berdasarkan hukum-hukum geometris.
Memahami ilmu optik geometrik berfungsi dalam menentukan efektivitas lensa.
Efektivitas lensa sangat dibutuhkan dalam memecahkan masalah kelainan-kelainan refraksi.
Pemilihan lensa yang tepat dapat menjadi pilihan dalam penanganan kelainan refraksi pada
mata. Kelainan refraksi tidak dapat dicegah. Kondisi ini dapat dideteksi melalui pemeriksaan
mata secara menyeluruh dan diberikan kacamata dengan lensa koreksi yang sesuai sebagai alat
bantu penglihatan. Alternatif koreksi kelainan refraksi selain kacamata adalah lensa kontak,
atau prosedur bedah refraktif.
DAFTAR PUSTAKA

1.   Sunardi, dkk. 2012. Fisika Pendidikan Karakter Bangsa. Bandung : PT. Srikandi
Empat Widya Utama.
2.   Elkington, A.R., Frank. H.H. 1999. Clinical Optics Third Edition. Blackwell Science
Ltd.
3.   Kierl A. and Christie C. 2007. Clinical Optics and Refraction : A Guide For
Optometrists, Contact Lens Opticians and Dispensing Opticians. Edinburg : Elsevier.
4.   Kolozsvári, B.L et al. 2017. Correction of irregular and induced regular corneal
astigmatism with toric IOL after posterior segment surgery: a case series. Journal of
BMC Ophthalmology. Diakses tanggal 11 April 2018.
5.   Knight, J. and N. Schlager. (2002) Science Of Everyday Vol. 2. Michigan: Gale Group
6.   Guyton AC, Hall JE. Guyton & Hall’s Textbook of Medical Physiology. Mata: I. Sifat
Optik Mata. 11th ed. Jakarta: Penerbit EGC; 2007.P. 641-6.
7.   Barret E, dkk. Ganong’s Review of Medical Physiology: Vision. 23rded. Singapore:
McGraw Hill; 2010. f Medical Physiology: Vision. 23rded. Singapore: McGraw Hill;
2010. P. 186-9.
8.   AAO, 2017. Basic and clinical science section 3 : Clinical Optic, San Fransisco:
American Academy of Ophthalmology.
9.   Malacara D., Malacara Z. 2004. Handbook of Optical Design Second Edition. New
York : Marcel Dekker, Inc.
10.   Haris, W.F. 2010. Nodes and nodal points and lines in eyes and other optical systems.
Journal of Ophthalmic Physiol Opt. Diakses tanggal 12 April 2018.
11.   Sherwood L. 2012. Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem. 6th ed. Jakarta: EGC.
12.   Meister, D., Sheedy, J.E. 2008. Introduction to Opthalmic Optics. San Diego : Carl
Zeiss Vision.
13.   Benjamin, W.J. 2006. Borish’s Clinical Refraction. Missouri Elsevier Inc.
14.   Despopoulos A. and Silbernagi S. 2008 Color Atlas of Physiology 6th. London: Thieme.
15.   Scwartz, S.H. 2002. Geometrical and Visual Optics A Clinical Introduction Second
Edition. New York : McGraw Hill.
16.   Wang, B. and Ciuffreda, K.J. 2006. Depth-of-Fokus of the Human Eye: Theory and
Clinical Implications. Journal of Elsevier. Diakses tanggal 12 April 2018.
17.   Ledford, J.K., Daniels K., Campbell R. 2006. Optics, Retinoscopy, and Refractometry
Second Edition. USA : SLACK Incorporated.
AUTOREFRAKTOMETRI
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.............................................................................................................. ii

DAFTAR GAMBAR.................................................................................................. iii

DAFTAR TABEL...................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................... 1

BAB II PEMERIKSAAN REFRAKSI OBYEKTIF.................................................. 3

2.1 Retinoskopi..................................................................................................... 2
2.2 Keratometri..................................................................................................... 5
2.3 Refraksi Fotografi dan Videografi................................................................... 7

BAB III AUTOREFRAKTOMETRI.......................................................................... 11

3.1 Radiasi Inframerah........................................................................................ 12


3.2 Null Point versus Open Loop........................................................................ 13
3.3 Jarak Vertex................................................................................................... 14
3.4 Kontrol Akomodasi dan Fiksasi.................................................................... 14
3.5 Prinsip-Prinsip Optik yang Digunakan dalam Autorefraktometer................ 14
3.6 Cara Pemeriksaan Autorefraktometri............................................................ 19
3.7 Kelebihan Autorefraktometri......................................................................... 20
3.8 Keterbatasan Autorefraktometri..................................................................... 20
3.9 Spesifikasi Autorefraktometer........................................................................ 21

BAB IV RINGKASAN................................................................................................ 23

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................... 25
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Refleks netral ....................................................................................................... 3


Gambar 2. Gerakan refleks retina .......................................................................................... 3
Gambar 3. Break. ................................................................................................................... 4
Gambar 4. Lebar refleks ........................................................................................................ 4
Gambar 5. Skew .................................................................................................................... 5
Gambar 6. Keratometri .......................................................................................................... 6
Gambar 7. Prinsip keratometri............................................................................................... 6
Gambar 8. Pengukuran kornea sentral dengan keratometri ................................................... 7
Gambar 9. Fotografi dari pasien diambil dengan fotorefraktor flash, menunjukkan refleks
fundus merah pada kedua pupil. Pada kasus ini refleks yang terbentuk tidak
menunjukkan kelainan refraksi ............................................................................. 7
Gambar 10. Fotorefraktor Orthogonal ................................................................................... 8
Gambar 11. Fotorefraktor Isotropic ....................................................................................... 8
Gambar 12. Hasil fotorefraktor isotropic pada miopia .......................................................... 9
Gambar 13. Hasil fotorefraktor isotropic pada hipermetropia ............................................... 9
Gambar 14. Fotografi (A) Anak dengan Miopia (B) Anak dengan Hipermetropia .............. 10
Gambar 15. Prinsip Scheiner Disk......................................................................................... 15
Gambar 16. Komponen Optik Autorefraktor Prinsip Scheiner. ............................................ 15
Gambar 17. Komponen Optik Autoretinoscope Berbasis Arah Gerak Refleks Fundus ........ 16
Gambar 18. Komponen Optik Autoretinoscope Berbasis Kecepatan Gerak Refleks Fundus 17
Gambar 19. Komponen optik pada autorefraktometer knife-edge......................................... 18
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Autorefraktor dan Desain Prinsip...................................................................... 11


BAB I

PENDAHULUAN

. Refraksi obyektif otomatis ditemukan pada akhir 1930 dan telah berkembang di seluruh
dunia sampai saat ini. Refraksi obyektif otomatis yang ada saat ini jauh lebih efisien dengan
disertai teknologi yang lebih canggih. Tahun 1980 refraktor obyektif dipasarkan secara lebih
luas dan sering disebut sebagai autorefraktor. Kemajuan mikroprosesor pada komputer pribadi
digunakan pada refraktor otomatis untuk memperkecil ukuran dan meningkatkan kemampuan.
Keratometer otomatis ditambahkan ke refraktor otomatis pada tahun 1985 sehingga tercipta
kombinasi instrumen. Pada akhir dekade, kamera CCD yang cukup canggih dan cukup murah
digunakan dalam refraktor otomatis dan keratometer otomatis sebagai perangkat deteksi.
Topcon menciptakan instrumen yang menggabungkan autorefraktor, topografer kornea, dan
wavefront refraktor. Ide ini kini telah menjadi tren.1

Refraksi obyektif, termasuk retinoskopi dan autorefraktor, dapat digunakan untuk


menentukan kelainan refraksi pada pasien yang tidak bisa untuk dilakukan pemeriksaan
refraksi subyektif seperti pada bayi, anak kecil, atau orang tua dengan Alzheimer. Akan tetapi
secara umum refraksi obyektif tidak digunakan sebagai pemeriksaan akhir untuk menentukan
kelainan refraksi. Dibutuhkan pemeriksaan subyektif sebagai koreksi akhir pada penentuan
kelainan refraksi sebelum dilakukan peresepan.10
BAB II

PEMERIKSAAN REFRAKSI OBYEKTIF

Refraksi obyektif adalah istilah yang digunakan ketika kelainan refraksi mata
ditentukan tanpa membutuhkan respon dari pasien. Kerja sama pasien terkadang diperlukam,
seperti misalnya untuk penempatan kepala pada alat dan untuk fiksasi pada target dalam waktu
yang singkat. Akan tetapi informasi subyektif tentang kualitas penglihatan pasien tidak
dibutuhkan selama pemeriksaan. 1

Kelainan refraksi ditentukan berdasarkan kriteria yang diidentifikasi terlebih dahulu


oleh operator atau dengan alat yang terprogram. Refraksi obyektif menjadi otomatis karena
penilaian dari operator diganti oleh logika instrumen, komputer, atau keduanya. Titik akhir
penilaian dicapai oleh tindakan instrumen atau komputer, sehingga refraksi obyektif otomatis
tidak memerlukan evaluasi dari pasien atau operator pada pengukuran kelainan refraksi.
Selama proses pengukuran pasien harus kooperatif dan operator harus memastikan bahwa
kondisi tersebut terpenuhi agar alat dan komputer dapat berfungsi dengan baik. 1

Ada beberapa macam jenis refraktor obyektif selain autorefraktometer, yaitu :1,9

2.1  Retinoskopi 1,2,9,10


Retinoskopi merupakan pemeriksaan objektif yang dapat menilai kelainan refraksi
menggunakan alat yang disebut retinoskop. Pemeriksaan retinoskopi menjadi sebuah
keterampilan dan alat penting untuk dokter mata dalam menentukan kelainan refraksi
sferosilindrikal secara obyektif meskipun autorefraktometri mudah dilakukan. Pemeriksaan ini
dilakukan untuk pasien yang tidak kooperatif dan yang tidak bisa diukur dengan pemeriksaan
subyektif.
Prinsip pengukuran retinoskopi menggunakan mekanisme konvergensi. Pada
pemeriksaan retinoskopi cahaya disinarkan pada mata, sebagian melewati pupil kemudian
direfleksikan pada retina pasien. Cahaya yang direfleksikan ini disebut refleks. Sebagian
cahaya jatuh pada adneksa mata membentuk potongan cahaya pada wajah. Pada pemeriksan
retinoskopi gerakan dari refleks retina dibandingkan dengan gerakan dari potongan cahaya di
wajah.
Pemeriksaan retinoskopi dilakukan pada pasien dengan posisi duduk dalam keadaan
mata relaksasi tanpa akomodasi. Dilakukan pada ruangan yang gelap. Proyeksi sinar
retinoskop yang berada di area retina pasien dan cahaya diteruskan kembali ke mata pemeriksa.
Status refraksi pasien dapat dinilai dengan mengamati karakteristik refleks ini. Terdapat tiga
macam gerakan refleks retina :
1.   Seluruh pupil tersinari oleh cahaya, tidak ada gerakan refleks retina (refleks netral),
ditemukan pada emetropia.
2.   Gerak berlawanan (against) dari refleks retina ketka dibandingkan dengan gerakan
potongan cahaya pada wajah, ditemukan pada miopia.
3.   Gerak searah (with) dari refleks retina ketika dibandingkan dengan gerakan
potongan cahaya pada wajah, ditemukan pada hipermetropia.

Gambar 1. Refleks Netral 9

Gambar 2. Gerakan refleks retina 9

Ø   Karakteristik Refleks :
1.   Speed
Gerakan refleks yang terlihat lebih lambat kemungkinan kelainan refraksinya
besar, sebaliknya jika gerakannya lebih cepat maka kelainan refraksinya kecil.
2.   Brilliance
Terlihat lebih terang pada saat netral,terlihat lebih redup jika belum netral.
3.   Width
Sinar akan rata mengisi seluruh pupil pasien saat netral.
Pemeriksa harus menggunakan lensa koreksi yang tepat untuk mendapatkan refleks
netral. Saat pemeriksa membawa pada titik jauh pasien melalui peephole, refleks mengisi
seluruh pupil. Kekuatan lensa koreksi dalam menetralisir refleks membantu penentuan kelainan
refraksi pasien. Jika gerakan refleks berlawanan, tambahakan lensa negatif pada trial frame.
Jika gerakan refleks searah, tambahkan lensa positif pada trial frame.
Pemeriksa menentukan kelainan refraksi pada jarak kerja (working distance). Dioptri
setara dengan jarak kerja. Perhitungan kelainan refraksi yang sebenarnya pada pasien harus
dikurangi dengan kekuatan lensa koreksi dalam jarak kerja. Jarak kerja umum adalah 67 mm
sehingga banyak foropter memiliki lensa dengan jarak kerja 1.50 D (1.00/0.67 mm) untuk
retinoskopi.
Jarak kerja berapapun dapat digunakan sesuai dengan kenyamanan pemeriksa.
Sebagai contoh, pemeriksa mendapatkan netralisasi dengan total +4.00 pada mata (gross
retinoscopy) dengan jarak kerja 67 mm. Dikurangi 1.50 D untuk jarak kerja maka akan
menghasilkan koreksi refraksi +2.50 D.
Pada astigmatisme, terdapat beberapa karakteristik streak refleks yang harus dinilai
untuk menemukan aksis silindris :
1.   Break
Tampak jika streak tidak pararel terhadap salah satu meridian.

Gambar 3. Break 9
2.   Lebar Refleks (Width)
Lebar dari refleks bervariasi. Refleks semakin sempit jika streak segaris dengan
aksis.

Gambar 4. Lebar refleks 9


3.   Intensitas
Intensitas semakin terang bila streak pada aksis yang sesuai.
4.   Gerakan oblik pada refleks streak (Skew)
Digunakan pada silinder kecil. Apabila streak tidak pada aksis, refleks streak
akan sedikit bergerak ke arah yang berbeda dengan refleks pupil. Refleks dan
streak akan bergerak ke arah yang sama ketika streak segaris dengan 1 dari
bidang meridian.

Gambar 5. Skew. Panah menunjukkan refleks (panah tunggal) dan streak (panah ganda) tidak
paralel. 9

2.2   Keratometri

Keratometri merupakan pemeriksaan untuk menghitung radius kurvatura kornea sentral


secara kuantitatif (diameter dalam mm). Alat yang digunakan adalah keratometer. Keratometer
yang ada saat ini dapat dengan tepat menghitung ukuran bayangan yang terbentuk di permukaan
kornea dan mengkonversinya menjadi kekuatan refraksi kornea. Alat tersebut mengukur
kurvatura kornea hanya pada titik 3 mm sampai 4 mm dari sentral kornea, dengan asumsi
bagian kornea yang lain berbentuk sfero-silindris murni. Jika kornea yang diperiksa berbentuk
irregular atau asferis, maka pemeriksaan standar ini menjadi tidak cukup untuk
menggambarkan kondisi yang sesungguhnya.19
Gambar 6. Keratometer

Gambar 7. Prinsip keratometri. AB adalah obyek dan A’B’ adalah bayangan. Dengan
mengukur ukuran dari obyek dan bayangan, radius kurvatura dapat dikalkulasikan 10

Keratometer modern, baik yang otomatis atau tidak, dikenal sebagai oftalmometer,
dapat mengkonversi dari ukuran radius ke dioptri. Perhitungan ini banyak digunakan pada
pengukuran kekuatan lensa tanam. Setiap keratometer memiliki rentang nilai berbeda dalam
pengukuran. Secara teori pengukuran refleks kornea tampak mudah, namun kesalahan
perhitungan dapat terjadi karena adanya gerak bola mata, desentrasi, atau gangguan pada
lapisan air mata.
Gambar 8. Pengukuran kornea sentral dengan keratometri 19

2.3   Refraksi Fotografi dan Videografi

Kelainan refraksi dapat diperkirakan secara obyektif oleh proses yang disebut
photorefraction. Alat yang digunakan disebut dengan photorefractor. Pemeriksaan ini
dilakukan pada jarak 0,5-2 meter dari pasien. Photorefractor merekam gambar refleks fundus
dari kedua mata pasien. Gambar diproduksi oleh cahaya flash putih atau radiasi inframerah
yang sumbernya terletak di tengah lensa kamera. Foto atau videografi dari pupil ini
diinterpretasikan oleh operator atau dokter terlatih. Photorefraction berguna terutama ketika
pasien tidak kooperatif.1

Gambar 9. Fotografi dari pasien diambil dengan fotorefraktor flash, menunjukkan refleks
fundus merah pada kedua pupil. Pada kasus ini refleks yang terbentuk tidak menunjukkan
kelainan refraksi.1
Secara umum pemeriksaan fotorefraksi memiliki dua prinsip :

1.   Fotorefraktor berbasis metode “pointspread”


Pada prinsip ini terjadi penyebaran dari ujung cahaya yang telah digambarkan
oleh media refrakta pada retina. Ada 2 metode yang menggunakan prinsip ini, yaitu:
a.   Fotografi Orthogonal1
Metode ini lensa kamera difokuskan pada mata pasien. Sumber flash
yang kecil berada di tengah depan dari lensa kamera. Cahaya yang kembali dari
fundus ke kamera jatuh pada empat lensa silindris yang tersusun memutari
sumber dengan interval 90o.

Gambar 10. Fotorefraktor Orthogonal 1

b.   Fotografi Isotropic 1
Metode ini menilai tanda dari defokus. Sumber flash terletak pada
tengah lensa kamera. Pemeriksaan dilakukan dengan mengambil 3 gambar
secara terpisah. Gambar pertama diambil dengan memfokuskan kamera pada
mata pasien, ini digunakan untuk mengukur diameter pupil. Gambar ke dua
diambil dengan kamera yang difokuskan 0.5 D di depan pasien. Gambar ke tiga
difokuskan di belakang pasien.

Gambar 11. Fotorefraktor isotropic 1


Mata dengan miopia akan menghasilkan gambar nyata dari refleks
fundus yang berada di antara lensa kamera dan mata pasien. Apabila kamera
difokuskan di depan mata, gambar nyata memiliki fokus yang lebih baik dan
terbentuk titik cahaya kecil. Apabila kamera difokuskan pada belakang mata,
cahaya menjadi defokus dan terbentuk titik cahaya yang besar.

B
Gambar 12. Hasil fotorefraktor isotropic pada miopia (A) Fokus di depan mata pasien (B)
Fokus di belakang mata pasien 1

Mata dengan hipermetropia menghasilkan gambar nyata dari refleks


fundus yang berada di belakang mata pasien. Apabila kamera difokuskan di
belakang pasien, gambar nyata akan fokus dan titik cahaya kecil akan terekam.
Ketika kamera difokuskan di depan pasien, gambar nyata menjadi defokus dan
terbentuk titik cahaya yang besar.

B
Gambar 13. Hasil fotorefraktor isotropic pada hipermetropia (A) Fokus di depan mata pasien
(B) Fokus di belakang mata pasien 1
2.   Fotorefraktor berbasis metode retinoskopi (Fotoretinoskopi)
Prinsip ini sama seperti pada retinoskopi. Sumber cahaya dari celah kamera
secara langsung disebar ke mata subyek. Kamera yang difokuskan pada pupil
merekam iluminasi pupil melalui refleks fundus. Gerakan berlawanan arah pada
fokus kamera terjadi terjadi pada keadaan miopia, didapatkan iluminasi pupil yang
searah dengan sumber cahaya yaitu pada inferior pupil. Sedangkan pada
hipermetropia ditemukan gerakan yang searah dengan fokus pada kamera, pupil
teriluminasi pada arah yang berlawanan dengan sumber cahaya yaitu pada superior
pupil (Gambar 14).1

A B

Gambar 14. Fotografi (A) Anak dengan Miopia (B) Anak dengan
Hipermetropia, yang diambil dengan fotoretinoskop yang memiliki sumber
cahaya di bawah lensa kamera1
BAB III

AUTOREFRAKTOMETRI

Autorefraktometri merupakan salah satu pemeriksaan refraksi obyektif. Alat yang


digunakan untuk pemeriksaan ini disebut dengan autorefraktometer / autorefraktor. Terdapat
berbagai macam jenis dari autorefraktometer ini. Desain autorefroktemeter berdasarkan enam
prinsip-prinsip umum yaitu : 1,10

1.   Prinsip Scheiner
2.   Prinsip Retinoskopik
3.   Prinsip Best-Focus
4.   Prinsip Knife-Edge
5.   Prinsip Ray-Deflection
6.   Prinsip Image-Size

Autorefraktor dirancang dengan mengambil keuntungan dari prinsip-prinsip ini yang


tercantum di tabel 1, dan akan dibicarkan dalam bagian berikut.

Tabel 1. Autorefraktor dan Desain Prinsip1

Desain Prinsip Autorefraktor


Prinsip Scheiner Acuity System 6600 (Tidak Tersedia)
Grand Seiko (RH Burton’s BAR 7 di USA, BAR 8 dengan
AutoK)
Nidek (Marco’s AR-800 dan 820 di USA, ARK-900 dengan
AutoK)
Takagi (Tidak Tersedia di USA)
Topcon (Tidak Tersedia)
Prinsip Retinoscopic Arah Gerakan
Bausch & Lomb Ophthalmetron (Tidak Tersedia)
Kecepatan Gerakan
Nikon NR-5500 dan model sebelumnya )NRK-8000 dengan
AutoK)
Nikon Retinomax (handheld, juga tersedia dengan AutoK)
Tomey TR-1000 (Tidak Terseda lagi di USA)
Carl Zeiss Meditec “Acuitus” (Tidak Tersedia)
Nidek OPD-Scan (sistem wavefront refraksi dengan sistem
topografi kornea)
Prinsip Best-focus Coherent Radiation Dioptron (Tidak Tersedia)
Canon R-1 (Tidak Tersedia)
Prinsip Knife-edge Humphrey Instrumen HARK 599 dan model sebelumnya
(AutoK)
Prinsip Ray-deflection Canon r-30 dan model sebelumnya (RK-3 dengan AutoK)
Hoya (disediakan oleh Canon)
Welch-Allyn Sure-Sight (Refraktor Hartmann-Shack
wavefront)
VISX WaveScan (Refraktor Hartman-Shack wavefront)
Wavefront Sciences COAS (Refraktor Hartman-Shack
wavefront)
Bausch & Lomb Zywave (Refraktor Hartman-Shack
wavefront)
Alcon Ladar Wave (Refraktor Hartman-Shack wavefront)
Topcon KR-9000PW (Refraktor Hartman-Shack wavefront
dengan Refraktor Prinsip Image-size dan Topografi Kornea)
Prinsip Image-size Grand Seiko (RH Burton’s handled BAR 600 di USA)
Grand Seiko WR 5100K (instrumen “see through”)
Topcon RM-A7000 dan model sebelumnya (KR-70005
dengan AutoK dan KR-7000P dengan Topografi Kornea)

Seperti yang dibahas selanjutnya, terdapat beberapa metode yang digunakan oleh
desainer instrumen autorefraktor untuk mengukur kelainan refraksi. Akan tetapi terdapat
beberapa fitur yang umum digunakan oleh semua instrumen.

3.1  Radiasi inframerah 1, 10

Autorefraktometer mengunakan radiasi inframerah sebagai sumber primer


elektromagnetikradiasi. Rradiasi inframerah yang digunakan pada gelombang di antara 780
nm dan 950 nm (Near Infrared atau NIR). Terdapat dua alasan pemilihan radiasi inframerah
ini:
1.   Pigmen dalam retina buruk dalam menyerap NIR sehingga tercermin lebih efisien.
Misalnya retina mencerminkan hanya 1% cahaya hijau (500 nm) tetapi hingga 9% dari
NIR (880 nm). Hal ini menunjukkan pengiriman yang sangat baik (sekitar 90%) melalui
media yang bersih.
2.   NIR invisibel untuk mata manusia, sehingga tidak ada efek pada kenyamanan pasien,
diameter pupil, atau respon akomodasi.

Semua autorefraktometer menggunakan sumber NIR utama yang sangat intens.


Penggunakan cahaya tampak (melanin, hemoglobin, dan xanthophil) tidak terlalu nyaman pada
pasien. Akurasi pengukuran dapat berkurang dengan refleks kornea, sehingga
autorefraktometer menggunakan teknik untuk meminimalkan efek refleks kornea, seperti celah
stop dan polariser.

3.2  Null Point dan Open Loop 1, 10

Pengukuran kelainan refraksi mata pada autorefraktometer digunakan prinsip nulling


atau prinsip pengukuran loop terbuka. Alat yang menggunakan prinsip nulling merubah sistem
optik sampai kelainan refraksi mata dinetralisir (dengan kata lain, sampai "null point" tercapai).
Kekuatan yang diperlukan alat dalam menetralkan kelainan refraksi mata diambil sebagai nilai
koreksi refraksi. "Non-nulling" instrumen membuat pengukuran dengan menganalisis
karakteristik dari radiasi yang keluar mata, tetapi tidak benar-benar mengkoreksi kelainan
refraksi. Instrumen tidak menggunakan sinyal untuk bergerak ke arah optik null, sehinga sinyal
ini disebut sinyal loop terbuka. Prinsip ini disebut dengan prinsip loop terbuka.
Prinsip nulling dan loop terbuka memiliki kelebihan. Instrumen nulling secara umum
dirancang dapat berfungsi dengan rasio sinyal/noise lebih tinggi karena kondisi dapat
dioptimalkan dekat titik nol. Instrumen loop terbuka umumnya mampu lebih cepat menilai
status refraksi mata, karena tidak perlu untuk mengubah sistem optik untuk pindah ke titik nol.
Komponen optik instrumen loop terbuka biasanya lebih tidak rumit dan memerlukan lebih
sedikit bagian yang bergerak. Hal ini secara teoritis meningkatkan keandalan fungsional dan
umur yang panjang pada instrumen ini. Beberapa desain autorefraktor menggunakan presentasi
target visual untuk untuk membantu menstabilkan fiksasi dan akomodasi mata yang sedang
diuji. Fungsi ganda ini menghasilkan penghematan biaya, penyederhanaan dan efisiensi ukuran.
3.3   Jarak Vertex 1,10
Jarak dari permukaan belakang lensa dengan bagian depan mata (kornea) disebut
dengan jarak vertex. Autorefraktor disusun sedemikian rupa sehingga kelainan refraksi secara
penuh ditentukan pada bidang kornea. Refraksi bidang kornea ini mudah dikonversi menjadi
"refraksi bidang kacamata” pada jarak vertex berapapun. Jarak vertex pada autorefraktor pada
umumnya telah diatur pada jarak tertentu.

3.4   Kontrol Akomodasi dan Fiksasi 1, 10

Seperti telah disebutkan perubahan akomodasi atau hilangnya fiksasi oleh pasien
merupakan hal yang bisa mengurangi akurasi autorefraktometri. Beberapa instrumen modern
menggunakan penilaian binokuler, yang meminimalkan refleks akomodasi. Namun
menggunakan target fiksasi cahaya monokuler yang dibawa ke dalam fokus oleh sistem fokus
sferikal dan disajikan sepanjang aksis sebagai sumber utama NIR.

Keadaan akomodasi dari setiap mata sering berbeda ketika bergerak dari satu mata ke
mata yang lain. Potensi kesalahan ini dihasilkan dari akomodasi proksimal yang diatasi dengan
penggunaan target fotografi. Meskipun upaya tersebut telah dilakukan, kesalahan akomodasi
tetap menjadi masalah signifikan bagi autorefraktor monokuler modern yang digunakan pada
orang muda dan pasien dengan akomodasi aktif.

3.5   Prinsip-Prinsip Optik Yang Digunakan dalam Autorefraktometer 1,10


1.   Prinsip Disk Scheiner
Prinsip Scheiner pertama kali ditemukan oleh Thomas Scheiner tahun 1619.
Prinsip didasarkan ada tidaknya penyilangan pada sebuah disk dengan dua lubang
di dalamnya. Pada hipermetropia, cahaya dari dua lubang menyilang di belakang
bidang retina, jadi dua lubang tampak tidak menyilang (uncrossed). Sedangkan
pada miopia, cahaya melewati anterior bidang retina sehingga lubang tampak
menyilang (crossed). Seseorang dengan emetropia melihat lubang sebagai satu dan
tidak ada diplopia yang dirasakan (gambar 10).
Gambar 15. Prinsip Scheiner Disk 11

Prinsip ini menjadi dasar dari pengoperasian autorefraktor modern


seperti merk Nidek, Takagi atau Topcon. Lubang pada efek digantikan oleh dua
sumber cahaya LED yang tergambar di bidang pupillary. Gambar 16
menunjukkan rincian skematis dari prinsip dalam Nidek autorefraktor.

Gambar 16. Komponen Optik Autorefraktor Prinsip Scheiner 1


NIR dari dua sumber melewati sebuah halte yang dapat dipindah-pindahkan
dan difokuskan pada retina untuk menyediakan sumber NIR utama. Dua LED bisa
dirotasikan 180o untuk memungkinkan pengukuran kesalahan astigmatisme
sepanjang aksis tertentu. Penyimpangan dapat diukur dengan LED yang berkedip
dengan cepat secara bergantian. Untuk akurasi pengukuran, target fiksasi harus
coaxial dengan NIR. Untuk memastikan hal ini banyak instrumen modern
memasukkan fitur penyelarasan otomatis yang menunjukkan pengukuran hanya
ketika keselarasan tercapai.

2.   Prinsip Retinoskopik

Prinsip yang digunakan sama seperti pada retinoskopi, yaitu :


a.   Arah gerak refleks fundus yang diamati sehubungan dengan arah pergerakan
insiden radiasi
b.   Kecepatan gerak refleks fundus diamati sehubungan dengan kecepatan gerak
insiden radiasi.
Beberapa autorefraktor seperti seri Nikon NR, Retinomax atau seri Tomey
TR, menggunakan prinsip yang sama dengan yang dari retinoskop. Mereka dapat
mendeteksi baik arah pergerakan gambar atau kecepatan gerakan. Untuk yang
berbasis arah gerak refleks fundus, gambar persegi panjang disajikan dengan drum
berputar dan arah pergerakan gambar terdeteksi dan dinetralisir. Titik jauh untuk
meridian tertentu tercapai ketika gerakan tidak lagi terlihat. Untuk yang berbasis
kecepatan gerak refleks fundus, kecepatan gerakan sumber sekunder terdeteksi dan
terlihat semakin dekat sampai ke titik netralisasi.

Gambar 17. Komponen Optik Autoretinoscope Berbasis Arah Gerak Refleks Fundus 1
Gambar 18. Komponen Optik Autoretinoscope Berbasis Kecepatan Gerak Refleks Fundus 1

3.   Prinsip Best Focus

Prinsip ini dulu digunakan pada instrumen Dioptron pertengahan 1970,


tetapi teknik ini sudah tidak digunakan lagi pada instrumen modern. Pada
prinsipnya dihasilkan sumber sekunder, dengan lensa yang menggerakkan gambar
ke dalam dan luar fokus. Fokus terjadi secara optimal ketika kontras diukur
maksimal. Kontras gambar berkurang saat defokus.

4.   Prinsip Knife-Edge

Prinsip ini digunakan oleh Foucault untuk menentukan keseragaman


refraksi dari cermin dan lensa. Gambaran pada sumber difokuskan ke tepi linear
pada permukaan datar yang opak yang disebut dengan knife egde. Knife-edge dapat
dipindah sepanjang aksis optik lensa dan cermin yang ditempatkan di belakang
gambar, sehingga knife egde dan gambarannya menjadi konjugat. Semua cahaya
yang kembali melalui sistem optik harus kembali ke sumber dan untuk lensa yang
sama. Autorefraktometer bisa menggunakan sistem optik mata sebagai lensa uji dan
merefleksikan fundus sebagai cermin. Dengan cara ini mesin bisa menggerakkan
target knife-edge ke posisi dimana total cahaya yang terrefleksi
kembali ke target. Hanya instrumen Carl Zeiss menggunakan teknik ini dalam
autorefraktometer.

Gambar 19. Komponen optik pada autorefraktometer knife-edge 1

5.   Prinsip Ray Deflection

Prinsip ini banyak ditemukan pada instrumen yang ada saat ini karena
kemampuan dalam mengukur perubahan kecil ke pantulan cahaya. Ini merupakan
dasar dari Hartmann-Shack sensor wavefront. Awalnya digunakan dalam astronomi
tetapi sekarang ditemukan di banyak aberrometer. Pada dasarnya instrumen
menggunakan sumber cahaya yang bisa difokuskan yang kemudian direfleksikan
ke detektor. Terdiri dari sejumlah elemen linier detektor (seperti Canon R-30) atau
lenslets (seperti dalam Shack Hartmann berbasis instrumen, termasuk sistem
Bausch & Lomb Z-wave atau Welch-Allyn Sure-Sight), yang memungkinkan
analisis cahaya dari susunan poin melalui daerah pupil. Tingkat penyimpangan dari
titik fokus menunjukkan jumlah kelainan refraksi, dan difokuskannyanya pensil
cahaya untuk mencapai titik fokus menunjukkan kelainan total. Kebanyakan sistem
Hartmann-Shack digunakan untuk mengukur penyimpangan tingkat tinggi, seperti
Sure-Sight, secara akurat dapat menentukan kesalahan sferosilindrical.
6.   Prinsip Analisis Image Size

Ukuran gambar retina berkaitan dengan kelainan refraksi. Topcon adalah


yang pertama memasukkan prinsip ini ke dalam autorefraktor (RM-A7000 dan KR-
7000). Sumber sekunder annulus dapat dianalisis dalam hal ukuran dan perubahan
meridional (untuk astigmatisme) oleh fundus kamera khusus. Komputer
menganalisa perubahan dalam gambar yang disajikan ke keping kamera deteksi
CCD.

3.6   Cara Pemeriksaan Autorefraktometri 1

Langkah-langkah pada pemeriksaan autorefraktometri yaitu :


a.   Pasien dibawa ke instrumen.
b.   Pasien duduk dan posisikan dagu dan dahi pada chin rest dan head rest
c.   Jelaskan apa yang akan terjadi selama beberapa detik, pasien diminta untuk
menjaga kepala tetap pada posisi dan mata terbuka lebar dan tidak berkedip.
Autorefraktor otomatis terbaru akan membuang hasil pembacaan yang terjadi
selama pasien berkedip.
d.   Pasien diminta untuk bersantai untuk mendapatkan target fiksasi mata selama
pemeriksaan, bahkan ketika target menjadi kabur.
e.   Operator harus menyelaraskan instrumen pada pusat masuk pupil dan fokus
instrumen pada bidang dari pupil (iris). Hal ini biasanya dilakukan dengan
menggunakan joystick controller.

Zaman dahulu ophthalmetron, dioptron, dan autorefraktor memerlukan 2 atau 3 menit


untuk menemukan kelainan refraksi. Seiring dengan berkembangnya teknologi saat ini
autorefraktor membutuhkan kurang dari satu detik untuk menemukan kelainan refraksi. Dalam
pemeriksaan dibutuhkan kendali dari operator untuk melacak mata dengan joystick pada kasus
di mana pasien tidak dapat mempertahankan fiksasi. Saat ini belum ada autorefraktor yang
dapat menempatkan koreksi refraksi kedua mata secara bersamaan, pemeriksaan dilakukan
secara monokuler. Operator perlu menyetel kembali dan memfokuskan kembali instrumen
dengan pintu masuk pupil pada mata yang satunya, mengulangi beberapa petunjuk pada pasien
sebelum melakukan autorefraksi mata kedua.
3.7   Kelebihan Autorefraktometri 1, 10

Autorefraktometri merupakan alternatif yang dapat digunakan selain retinoskopi.


Dengan pemeriksaan ini potensi kesalahan manusia dapat dikurangi. Banyak penelitian yang
telah dilakukan memandang hasil yang valid untuk autorefraktometri.

Autorefraktometri dapat memberikan akurasi lebih baik setelah pemberian sikloplegi,


dengan catatan fiksasi dpat dipertahankan dengan baik saat pemeriksaan. Pada kasus dimana
respon subyektif sulit dinilai seperti pada orang-orang dengan gangguan kognitif,
autorefraktometer memberikan hasil konfirmasi yang bermanfaat dari hasil retinoskopi. Cukup
mudah bagi siapapun untuk mengoperasikan alat ini dan dapat digunakan sebagai alat skrining.
Dalam praktek sehari-hari data hasil autorefraktometri sebelum pemeriksaan subyektif akan
membuat waktu pemeriksaan lebih efisien. Autorefraktor portabel dapat digunakan pada
skrining kelainan refraksi dalam skala besar, misalnya di lingkungan sekolah untuk mendeteksi
kasus ametropia atau anisometropia.

Jarak antar pupil dapat diukur menggunakan autorefraktometer ini. Jarak diukur ketika
instrumen tersebut segaris sebelum mata pertama diperiksa. Dalam era modern seperti sekarang
ini pasien lebih tertarik dengan pengggunaan alat yang otomatis dibandingkan dengan metode
terlihat lebih tradisional. Autorefraktometer dapat digunakan untuk mendapatkan data kelainan
refraksi dari populasi sampel besar dalam waktu yang singkat.

3.8  Kekurangan Autorefraktometri 1, 10

Hasil autorefraktometri menjadi positif palsu yang negatif jika pasien tidak dalam
keadaan akomodasi relaksasi. Oleh karena itu penggunaan sikloplegi sangat penting untuk
kelompok usia muda dengan akomodasi yang lebih aktif. Seperti yang sudah didiskusikan,
akurasi tergantung pada fiksasi dan interpretasi dari sinar yang direfleksikan (inframerah).
Terdapat beberapa kondisi yang membuat hasil pemeriksaan autorefraktometri menjadi tidak
valid, di antara lain :

a.   Ametropia tinggi (di luar rentang yang dimiliki autorefraktometri)


b.   Pupil kecil
c.   Kekeruhan media refrakta (perubahan kornea, katarak, dan perubahan vitreous, seperti
asteroid hyalosis)
d.   Kelainan segmen posterior yang mengurangi refleks fundus (ablatio retina, stafiloma,
retinopati)
e.   Kelainan akomodasi
f.   Fiksasi yang kurang baik (seperti pada nistagmus)

Pengukuran refraksi dengan autorefraktometer sulit dilakukan pada geriatri dan anak-
anak karena ketidakmampuan untuk menjaga kepala dalam posisi dan mata terfiksasi. Pasien
dengan penyakit Parkinson atau nistagmus juga sulit untuk dilakukan pemeriksaan dengan
instrumen. Pada pemeriksaan autorefraktometri (tidak seperti retinoskopik atau pemeriksaan
subyektif), dokter tidak dapat mengidentifikasi hiperopia laten, pseudomiopia, dan berbagai
kelainan akomodatif lainnya.

McCaghrey dan Matthews12 menegaskan bahwa kinerja autorefraktometer bervariasi


antar produsen, bahkan di antara model yang berbeda dari produsen yang sama. Oleh karena
itu, ketepatan atau keabsahan autorefraktometri lebih rendah dibandingkan dengan streak
retinoskopi bila dilakukan oleh ahli retinoskopis.

3.9   Spesifikasi Autorefraktometer 14, 15, 16


Terdapat beberapa spesifikasi dan fungsi pada autorefraktometer, yaitu :

1.   REF : Refraktometer
2.   KER : Keratometer
3.   CLBC : Pengukuran Contact Lens Based Curve
4.   PK : Peripheral Keratometer
5.   ILLUM : Fungsi Retro-illumination
6.   Sferis : Nilai sferis kelainan refraksi yang didapatkan, terdapat rentang tertentu
yang berbeda pada setiap alat. Mulai dari -20.00 +20.00 D dan -25.00

+25.00 D.
7.   Cylindris : Nilai silindris kelainan refraksi yang didapatkan, terdapat rentang
tertentu yang berbeda pada setiap alat. Mulai dari -8 +8 D, -10 +10 D, -12
+12 D.
8.   Aksis : Nilai aksis yang didapatkan dari pengukuran refraksi, dengan rentang
1-180o.
9.   Pupil minimal : Ukuran pupil minimal yang dapat dilakukan pemeriksaan
dengan autorefraktor. Ada yang 2.0 mm dan 2.5 mm.
10.  Radius kurvatura : Nilai radius kurvatura kornea yang diukur dari oleh
keratometer. Rentang pada setiap alat berbeda, ada yang 5.00 10.00 mm dan
5.00 13.00 mm.
11.  Kekuatan refraktif : Nilai kekuatan refraksi yang diukur dari keratometer.
Rentang pada setiap alat berbeda, mulai 25.96 67.50 D dan 33.75 67.50 D.
12.  PD : Pupillary Distance, nilai maksimal jarak pupil yang dapat diukur dengan
autorefraktor. Berbeda untuk setiap alat, ada yang 86 mm dan 88 mm.
BAB IV
RINGKASAN

Pemeriksaan refraksi obyektif otomatis dapat meringankan tugas dokter mata dari
perlunya melakukan retinoskopi statis. Penting untuk dicatat bahwa autorefraktometri tidak
boleh digunakan sebagai koreksi refraksi akhir tanpa adanya konfirmasi lebih lanjut. Winn dan
Colleagues17 menemukan bahwa 38% dari pasien mengeluh tentang penglihatan mereka yang
telah diresepkan kacamata berdasarkan autorefraksi. Sedangkan hanya 10% keluhan muncul
dari pasien yang diresepkan kacamata berdasarkan refraksi subyektif. Oleh karena itu,
autorefraktometer sebaiknya digunakan untuk menentukan refraksi obyektif awal sebelum
dilakukan pemeriksaan refraksi subyektif berikutnya. Dalam kebanyakan kasus,
autorefraktometri dapat dilakukan oleh oleh operator yang tidak terlatih.

Terdapat berbagai keterbatasan dari autorefraktometer dan beberapa kondisi yang dapat
menghasilkan hasil autorefraksi yang tidak valid. Hal itu meliputi:

a.   Ametropia di luar jangkauan instrumen


b.   Pupil kecil
c.   Kelainan segmen anterior yang mengakibatkan kekeruhan media refrakta, distorsi pupil, dan
astigmatisme ireguler yang disebabkan oleh iregularitas kornea seperti yang terlihat pada
kerataconus, trauma kornea, dan postrefraktif bedah kornea
d.   Kelainan segmen posterior yang menghasilkan refleks fundus buruk, seperti ablatio retina,
stafiloma, dan retinopati
e.   Kelainan akomodasi sebagai hasil dari manifestasi klinis hiperopia laten dan pseudomiopia

Pasien-pasien muda dengan sistem akomodasi yang aktif dapat menghasilkan hasil
autorefraktif positif palsu yang lebih negatif. Dokter harus menyadari bahwa keakuratan
autorefraktometer sebagian besar menurun dengan ametropia yang besar, bahkan dalam
rentang yang dimiliki instrumen. Hal ini terutama terkait dengan variasi pada jarak vertex di
mana mata diposisikan.

Perbaikan desain autorefraktometer diperlukan untuk pemeriksaan kelainan refraksi


yang lebih tepat Beberapa tren telah muncul dalam perkembangan dari autorefraktor baru yang
mungkin dapat memperbaiki ketepatan dan memperluas fungsi instrumen masa depan:

(1)  Pengecilan instrumen dengan menciptakan model genggam


(2)  Penambahan kemampuan autocentration dan penggabungan metode video untuk
penjajaran operator dan pemfokusan instrumen
(3)  Penambahan uji visual subyektif pada hasil autorefraktif
(4)  Peningkatan relaksasi akomodatif dan stabilisasi melalui autofogging
DAFTAR PUSTAKA

1.   Benjamin, W.J. 2006. Borish’s Clinical Refraction, Second Edition. Chapter 18 Objective
Refraction, Retinoskopi, Autorefraction, and Photorefraction : 682-761,. Oxford : Missouri
Elsevier Inc.
2.   Collins G. 1937. The electronic refractionometer. Br / Physiol Opt 11 :30-42.
3.   Campbell FW, Robson IG. 1959. High-speed infrared optometer. / Opt Soc Am 49:268- 272.
4.   Safir A. 1964. Apparatus for objectively testing an optical system. US Patent No.3, 136,839.
5.   Knoll HA, Mohrman R. 1972. The Ophthalmetron, principles and operation. Am / OplOm Physiol
Opt 49:122-128.
6.   Cornsweet TN, Crane HD. 1969. Servo-controlled infrared optometer. / Opt Soc Am 60:548-554.
7.   Guilino G. 1975. Automatic, recording refractometer. US Patent No. 3,883,233.
8.   Munnerlyn CR. 1978. An optical system for an automatic eye refractor. Opt Eng 17:627- 630.
9.   AAO, 2017. Basic and clinical science section 3 : Clinical Optic. Chapter 3 : Clinical Refraction
: 155-166. San Fransisco: American Academy of Ophthalmology.
10.   Kierl A. and Christie C. 2007. Clinical Optics and Refraction : A Guide For Optometrists, Contact
Lens Opticians and Dispensing Opticians. Chapter 13 : Automated Methods of Refraction : 166-
172. Edinburg : Elsevier.
11.   Elkington, A.R., Frank. H.H. 1999. Clinical Optics Third Edition. Refractometers : 142-
144. Blackwell Science Ltd.
12.   McCaghrey GE, Matthews FE. 1993. Clinical evaluation of a range of autorefractors.
Ophthalmol Physiol Opt 13:129-137.
13.   Miwa T, Tokoro T. 1993. Accommodative hysteresis of refractive errors in light and dark fields.
OplOm Vis Sci 70:323-327.
14.   Lucid’KR Auto Ker’Refractometer cited 2018 March . Available from :
https://www.ios.com.ph/product-catalog/everview-lucid-kr-auto-ref-keratometer/
15.   Dual CCD Autorefractor Tomey Autorefractor TR-4000 cited 2018 March . Available from :
http://www2.orvosimuszerek.hu/tr4000_pros.pdf
16.   Marco HandyRef-K Handled Refractometer/Keratometer cited 2018 March . Available from
: https://marco.com/media/1602/br-handyref-brochure.pdf
17.   Winn B, Pugh IR, Strang Ne. Gray LS. 1996. Medical Devices Agency, Evaluation Report on
Autorefractors. Her Majesty's Stationery Office, St. Crispins, Duke Street, Norwich, NR3 1PD,
United Kingdom.
18.   Pugh IR, Winn B. 1989. A procedural guide to the modification of a Canon AutoRef R-1 for use
as a continuously recording optometer. Ophthalmol Physiol Opt 9:451-454.
19.   Boyd BF, Boyd S. Preoperative considerations. Dalam: Wavefront analysis, aberrometers and
corneal topography. Panama: Highlight of ophthalmology international; 2003.p15-21.
LARUTAN DAN BAHAN PERAWATAN
LENSA KONTAK

\
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL …………………………………………….. 1


DAFTAR ISI …………………………………………….. 2
DAFTAR GAMBAR …………………………………………….. 4
BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG ……………………………………………… 5

1.2 KOMPLIKASI AKIBAT PERAWATAN LENSA KONTAK YANG

TIDAK TEPAT ……………………………………………….. 6

1.2.1 Prevalensi Komplikasi Akibat Perawatan Lensa Kontak yang

Tidak Tepat ....……………………………………………… 6

1.2.2 Faktor Risiko dan Mekanisme Terjadinya Komplikasi Akibat

Perawatan yang Tidak Tepat …………………………..………….. 7

1.2.3 Peran Larutan dan Bahan Perawatan Lensa Kontak……………... 8

BAB II SEJARAH DAN KOMPONEN LARUTAN PERAWATAN LENSA


KONTAK

2.1 SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PERAWATAN LENSA KONTAK 9

2.2 KOMPONEN LARUTAN PERAWATAN LENSA KONTAK

2.2.1 Buffer ……………………………………………………… 10

2.2.2 Preservative Agent/ Bahan Pengawet……………………… 11

2.2.3 TonicityAgent/ Agen Tonisitas……………………………... 13

2.2.4 Viscocity Agent/ Agen Viskositas…………………………… 13

2.2.5 Wetting Agent………………………………………………... 14

2.2.6 Chelating Agent………………………………………………. 14

2.2.7 Sequestering Agent…………………………………………… 14


2.2.8 Surface Active Agent/ Surfactan……………………………… 15
2.2.9 Stabilizer……………………………………………………… 15
BAB III LARUTAN PERAWATAN LENSA KONTAK, PENGGUNAAN DAN PEMILIHANNYA

3.1  MACAM-MACAM LARUTAN DAN BAHAN PERAWATAN LENSA KONTAK


3.1.1 Cleaning Solution…………………………………………… 16

3.1.2 Rinse Solution……………………………………………….. 18


3.1.3 Disinfection Solution………………………………………… 19

3.1.5 Wetting Solution…………………………………………….. 23

3.1.6 Re-Wetting Solution…………………………………………. 23


3.1.7 Soaking Solution…………………………………………….. 24
3.1.8 Multi Purpose Solution…………………………………………. 25

3.2  PROSEDUR PERAWATAN LENSA KONTAK …………………… 26

3.3  PEMILIHAN LARUTAN SESUAI JENIS LENSA KONTAK 28

BAB IV RINGKASAN…………………………………………………… 31

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….. 32
LAMPIRAN ……………………………………………………… 36
Lampiran 1 Alur Pemilihan Larutan Perawatan Lensa Kontak…….. 36
Lampiran 2 Jadwal Penggantian Lensa Kontak………………… 37
Lampiran 3 Lembar Edukasi Pasien ……………………………. 38
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Larutan Pembersih lensa RGP dan Liquid enzymatic protein remover ….. 18

Gambar 2. Larutan saline dengan bahan pengawet dan tanpa bahan pengawet……… 19

Gambar 3. Larutan disinfektan non oxydative ............................................................... 20

Gambar 4. Larutan disinfektan yang bersifat oxydative ................................................ 22

Gambar 5. Wetting solution ........................................................................................... 23

Gambar 6. Re-wetting / Lubricating Solution/ Comfort drop ....................................... 24

Gambar 7. Soaking solution .......................................................................................... 24

Gambar 8. Multi purpose solution yang beredar di pasaran ......................................... 26


BAB I
PENDAHULUAN

1.1   SEJARAH PENGGUNAAN LENSA KONTAK

Lensa kontak merupakan lensa yang digunakan dengan cara menempelkan lensa

langsung pada permukaan mata, bentuknya tipis dan bening serta terbuat dari berbagai

macam material. Lensa kontak dikenal pertama kali pada tahun 1880-an , dimana saat itu

lensa kontak masih terbuat dari kaca dan ukurannya besar sehingga dapat menempel

sampai sklera.1,2,3 Saat ini diperkirakan terdapat 125 juta pengguna lensa kontak di seluruh

dunia dan diperkirakan terdapat 30 juta pengguna lensa kontak di Amerika Serikat. Rata-

rata pengguna lensa kontak adalah pasien berusia 31 tahun dengan 67% pengguna adalah

perempuan.3,4,5 Seiring dengan berkembangnya teknologi dan perubahan gaya hidup,

pengguna lensa kontak semakin hari semakin meningkat.

Indikasi pemakaian lensa kontak meliputi indikasi optik, yaitu pasien dengan

kelainan refraksi, kelainan kornea; indikasi terapeutik, yaitu pasien dengan kelaianan

bullous keratopathy, erosi kornea berulang, non healing epithelial defect, pasien post

operasi (contoh: post photorefractive keratectomy), kelainan pada kelopak mata ( contoh:

entropion, trichiasis), serta indikasi kosmetik.2,6 Lensa kontak juga tersedia dalam berbagai

macam tipe, yaitu Soft Contact Lens( lensa kontak lunak) dan Rigid Gas Permeable

Contact Lens (lensa RGP / lensa kontak keras ).2


1.2   KOMPLIKASI AKIBAT PERAWATAN LENSA KONTAK YANG

TIDAK TEPAT

1.2.1   PREVALENSI KOMPLIKASI AKIBAT PERAWATAN LENSA KONTAK

YANG TIDAK TEPAT

Keratitis merupakan komplikasi yang sering dijumpai akibat pemakaian lensa

kontak. Angka kejadian keratitis pada pengguna lensa kontak meningkat dari 40%

menjadi 52% dari tahun 2008 sampai tahun 2012. Insiden keratitis pada pengguna

lensa RGP didapatkan sebesar 0,4 – 5,2 per 10.000 pasien per tahun, dan >20 per

10.000 pasien per tahun pada pengguna lensa kontak lunak.7 Loh et al melaporkan

angka kejadian keratitis 2/10.000 per tahun pada pengguna lensa RGP, dan 2.2 –

4.1/10.000 per tahun pada pengguna lensa kontak lunak di Malaysia tahun 2010.8

Besar risiko keratitis yang dimiliki pasien dengan kebiasaan dan perawatan

yang tidak tepat berdasarkan penelitian adalah sebagai berikut: tidak melepas lensa

kontak saat tidur memiliki resiko 1,8 kali lebih besar mengalami keratitis di Australia

dan New Zealand serta mencapai 2,9 kali lebih besar di negara berkembang seperti

Thailand; tidak mencuci tangan sebelum menggunakan lensa kontak memiliki risiko

1,8 kali lebih besar untuk mengalami keratitis; tidak mengganti lensa kontak sesuai

jadwal memiliki risiko 9,1 kali lebih besar dan menggunakan larutan perawatan lensa

kontak yang tidak higienis memilki risiko 2,3 kali lebih besar mengalami keratitis.

Penelitian lain menemukan bahwa pemakaian lensa kontak dengan larutan pembersih

yang terkontaminasi telah menyebabkan terjadinya 85% kasus keratitis

Acanthamoeba pada pengguna lensa kontak di Amerika Serikat, serta outbreak

keratitis Fusarium dan Acanthamoeba pada tahun 2006 -2007. 9,10,11,12


1.2.2   FAKTOR RISIKO DAN MEKANISME TERJADINYA

KOMPLIKASI AKIBAT PERAWATAN YANG TIDAK TEPAT

Komplikasi yang ditimbulkan akibat penggunaan lensa kontak dapat disebabkan oleh

beberapa faktor, yaitu : keadaan ocular surface pasien, kelainan lain pada mata, iatrogenic,

serta perilaku pasien yang tidak patuh dan tidak tepat dalam menggunakan dan merawat

lensa kontak. Perilaku pasien yang dianggap menjadi faktor resiko terjadinya infeksi pada

penggunaan lensa kontak antara lain tidur dengan menggunakan lensa kontak,

menggunakan tempat penyimpanan ( storage case ) yang tidak higienis, mencampur

larutan lensa kontak lama dengan yang baru ( topping off ) serta terpaparnya lensa kontak

dengan air yang tidak steril.13,14

Contact Lens Risk Survey yang dilakukan oleh CDC ( Center for Disease and

Prevention ) pada tahun 2014 menyatakan bahwa 99% dari pengguna lensa kontak pernah

melakukan kebiasaan atau tindakan yang kurang tepat dalam menggunakan dan merawat

lensa kontak. Kebiasaan tersebut antara lain tidur dengan menggunakan lensa kontak (

50,2%), jarang mengganti lensa kontak sesuai jadwal ( 49,9% ), penggunaan larutan lensa

kontak yang tidak sesuai prosedur ( 55,1% ), mencuci lensa kontak dengan air keran (

16,8% ), serta mandi atau berenang dengan menggunakan lensa kontak ( 61,0

%). Hampir satu per tiga dari pengguna lensa kontak tersebut melaporkan pernah

mengalami keluhan mata nyeri dan merah sehingga membuat pasien pergi berobat ke

dokter mata.15

Mata yang memakai lensa kontak, akan mengalami berbagai macam perubahan

fisiologis pada ocular surface. Perubahan tersebut antara lain proses pertukaran oksigen

yang terganggu, gangguan pada penyebaran lapisan air mata, berkurangnya kemampuan

mata untuk membersihkan debris, mikrotrauma akibat proses metabolik maupun mekanik,

serta meningkatnya retensi mikroorganisme pada permukaan mata.16 Hal-hal


tersebut akan menyebabkan timbulnya deposit ( lemak, protein dan polisakarida ) yang

apabila tidak dibersihkan dengan tepat akan memudahkan kuman berkolonisasi sehingga

menyebabkan komplikasi pada mata.

1.3  PERAN CAIRAN DAN OBAT-OBAT PERAWATAN LENSA KONTAK

Penelitian oleh Shih et al pada tahun 1985 membuktikan bahwa lensa kontak yang

telah dikontaminasi dengan kuman Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus

epidermidis, dapat mengalami penurunan jumlah koloni dari 1 juta colony forming unit (

cfu ) menjadi kurang dari 3000 cfu setelah dicuci selama 10 detik dengan larutan

pembersih. Penurunan jumlah koloni dapat mencapai kurang dari 300 cfu ketika lensa

dicuci dan digosok dengan jari di telapak tangan. Penelitian ini didukung pula oleh Radford

et al pada tahun 1995, yang menyimpulkan bahwa infeksi akibat lensa kontak terjadi 3 kali

lebih banyak pada pasien yang membersihkan dengan larutan pembersih kurang dari 2x

per minggu dibandingkan pada pasien yang membersihkan lensa kontak minimal 2x dalam

seminggu.1

Dokter dan tenaga kesehatan perlu mengetahui dan memahami tentang bermacam-

macam larutan perawatan lensa kontak serta penggunaannya agar dapat memberikan

informasi dan edukasi yang lebih baik bagi pasien, sehingga komplikasi akibat perawatan

lensa kontak yang tidak tepat dapat dicegah. Tinjauan pustaka ini akan membahas

mengenai berbagai macam larutan dan bahan yang digunakan untuk merawat lensa kontak

baik lensa kontak lunak maupun keras, serta komposisi dan cara penggunaannya.
BAB II

SEJARAH DAN KOMPONEN LARUTAN PERAWATAN

LENSA KONTAK

2.1   SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PERAWATAN LENSA KONTAK17

Perawatan lensa kontak telah mengalami banyak perubahan dan perkembangan.

Seiring dengan berjalannya waktu, berbagai macam penelitian dilakukan untuk

mendapatkan tatacara perawatan yang bukan hanya mudah tetapi juga aman dan tidak

toksik.

Proses disinfeksi lensa kontak lunak mulai dikenal pada tahun 1971. Pada saat itu,

proses disinfeksi lensa kontak dilakukan dengan menggunakan energi panas. Caranya

adalah dengan melarutkan garam kedalam air, menggosok-gosok lensa kontak dengan

larutan tersebut kemudian dipanaskan pada suhu 80 derajat selama 10 menit. Metode

ini berhasil dalam membunuh mikroorganisme seperti kuman, virus, jamur, tropozoit

dan bentuk kista dari Acanthamoeba. Akan tetapi, seiring dengan proses pemanasan

yang berulang-ulang, lensa kontak menjadi rusak dan karena larutan yang digunakan

adalah larutan yang tidak steril, maka dapat menimbulkan resiko terjadinya infeksi.

Larutan perawatan dan pembersih lensa kontak berbahan kimia mulai dikenal

beberapa tahun kemudian. Bahan pengawet yang banyak digunakan pada larutan

tersebut adalah merkuri dan ammonia sehingga menyebabkan keluhan iritasi pada 30%

penggunanya. Cairan disinfeksi tanpa bahan pengawet pertama kali diperkenalkan

pada tahun 1983.


2.2   KOMPONEN LARUTAN PERAWATAN LENSA KONTAK7,18,19,20

Larutan perawatan lensa kontak, baik untuk lensa kontak lunak maupun lensa

kontak keras, mengandung berbagai macam komponen sesuai dengan fungsi dan tujuan

penggunaanya. Antara satu larutan dengan larutan yang lain dapat memiliki

perbandingan komponen yang berbeda-beda sesuai dengan fungsi dan tujuan

penggunaannya. Larutan lensa kontak yang diproduksi harus memenuhi syarat umum

yang telah ditetapkan yaitu memiliki kesesuaian, baik dengan bahan pembuat lensa

maupun dengan kondisi fisiologis mata pasien.

Komponen-komponen yang terdapat dalam larutan perawatan lensa kontak antara

lain :

2.2.1   Buffer

Cairan buffer merupakan cairan yang diperlukan untuk menjaga supaya

larutan perawatan lensa kontak tetap berada pada pH yang memberikan rasa nyaman

pada mata, yaitu antara 6.6 – 7.8. Larutan dengan pH di luar range akan menyebabkan

mata menjadi pedih, terasa terbakar serta berair. Perubahan pada pH juga akan

menyebakan perubahan pada sterilitas, stabilitas dan viskositas suatu larutan sehingga

mengurangi khasiat dari larutan tersebut.

Contoh cairan buffer yang sering digunakan antara lain sodium fosfat, borate,

thromethamine dan citrate. Antimicrobial Buffer System yang telah dipatenkan oleh

CIBA Vision mengkombinasikan tiga cairan buffer yaitu asam borat, sodium borat dan

sodium perborat dalam cairan saline. Perpaduan ini biasanya ditambahkan pada

larutan hydrogen peroxida yang berfungsi sebagai cairan disinfektan.


2.2.2   Preservative / Bahan Pengawet

Bahan pengawet dapat digunakan untuk menghambat pertumbuhan

mikroorganisme ( bakteriostatik ), membunuh mikroorganisme ( bakteriosida ) dan

menjaga supaya larutan tetap dalam keadaan steril setelah dibuka. Bahan pengawet

dianggap layak digunakan apabila telah melewati uji klinis yang meliputi : uji

efektivitas dalam membersihkan lensa, uji kesesuaian bahan pengawet dengan

material lensa, serta uji kemampuan uptake ( serap ) dan release ( lepas ) oleh material

lensa. Bahan pengawet dengan berat molekul rendah merupakan bahan yang mudah

diserap dan mudah dilepas oleh material lensa sehingga mudah menyebabkan iritasi

pada mata. Sebagian besar bahan pengawet hanya efektif digunakan sampai dengan

30 hari.21

Bahan pengawet yang tersedia dan sering digunakan antara lain :

- Benzalkonium chloride ( BAK ) : merupakan garam organik yang termasuk

dalam klasifikasi quaternary ammonium. Dapat berfungsi sebagai bahan

pengawet, biosida dancationic surfactant. Komponen ini bersifat iritatif.

Konsentrasi yang banyak digunakan adalah antara 0,004%-0,01%.

-   Chlorhexidine digluconate (CHX) : merupakan antiseptik biguanide yang

biasa digunakan dalam konsentrasi 0.005%. CHX tidak efektif umtuk

menghambat jamur, bersifat iritatif, memiliki muatan positif ( cationic ), serta

mudah berikatan dengan berbagai macam polimer sehingga mudah terbentuk

komplek deposit di permukaan lensa. Untuk mengatasi hal ini, dibuatlah suatu

derivat dengan berat molekul yang lebih besar seperti Polyaminopropyl

biguanide ( PAPB ) dan Polyhexamethylene biguanide ( PHMB ). Selain tidak

mudah menimbulkan deposit, bahan ini dapat bekerja dalam konsentrasi yang

lebih rendah yaitu 0,00005%, sehingga tidak mudah menimbulkan iritasi.


-Thimerosal : merupakan bahan pengawet yang memiliki komponen merkuri,

bersifat slow acting, tidak efektif untuk Pseudomonas dan tidak dapat

dikombinasikan dengan ethylenediamine tetraacetic acid ( EDTA ). Thimerosal

memiliki efek reaksi hipersensitivitas yang tinggi serta dapat menyebabkan

perubahan warna pada lensa dan tempat penyimpanannya sehingga tidak

diproduksi dan digunakan lagi.

-   Polyquad ( quartenary ammonia ) : memiliki rantai molekul yang panjang

dan tidak dapat menembus matrix lensa.

-   Aldox ( myristamidopropyl dimethylamine ): satu-satunya bahan pengawet

yang terbukti dapat melawan protozoa. Dapat dikombinasikan dengan bahan

polyquartenium-1 untuk menciptakan larutan bertoksisitas rendah tetapi

memilki efek antibakteri yang baik saat disimpan.

-   Polyaminipropyl biguanide ( Dymed/ PAPB ) : merupakan derivat

chlorhexidine, memiliki rantai molekul panjang dan tidak menimbulkan

pewarnaan pada lensa.

-   Polyhexamethylethilene biguanide( PHMB ) : derivat chlorhexidine

-   Polyhexanide hydrochlorida : derivat chlorhexidine

-   Phenilmercuric nitrate

-   Chlorbutol / Chlorbutanol : turunan dari alkohol, bersifat bekteriostatik dan

banyak digunakan untuk lensa RGP.

-   Sorbic acid : konsentrasi yang banyak dipakai adalah 0,1%, memiliki efek

antimikroba yang dapat ditingkatkan jika dikombinasikan dengan EDTA.

Sorbic acid dapat memberikan warna kuning pada lensa.


2.2.3   Agen Tonisitas

Tonisitas merupakan keadaan yang menyatakan besarnya kandungan garam

dalam suatu larutan. Standar tonisitas dalam larutan lensa kontak sebaiknya setara

dengan kandungan garam di intraceluller dan Sodium chloride 0.9%, yaitu 300

milliosmoles ( mOsm ). Larutan yang kandungan garamnya setara dengan Sodium

chloride 0,9% disebut sebagai larutan isotonis. Larutan yang memiliki kadar garam

lebih tinggi disebut cairan hipertonis dan cairan hipotonis jika kadar garam lebih

rendah. Larutan perawatan lensa kontak dibuat isotonis untuk menjaga

keseimbangan kadar garam dalam jaringan okuler dan lensa kontak. Penggunaan

larutan yang tidak isotonis dapat menyebabkan mata menjadi kering, edem,

dehidrasi pada sel kornea dan pengerutan pada lensa kontak yang berbahan

hydrophilic.

Contoh bahan yang digunakan untuk mengatur tonisitas antara lain : Sodium

chloride dan potassium chloride.

2.2.4   Agen Viskositas

Agen viskositas merupakan komponen yang dipakai untuk menjaga

kekentalan relatif suatu larutan. Larutan lensa kontak yang berfungsi sebagai

larutan pembersih (cleaner) memiliki viskositas yang lebih tinggi dari lubricant,

dan lubricant memiliki viskositas yeng lebih tinggi dibandingkan soaking solution.

Komponen ini ditambahkan pada larutan perawatan lensa kontak supaya larutan

tersebut memiliki waktu kontak yang lebih lama pada permukaan lensa kontak,

sehingga mengurangi gesekan pada mata dan memberikan kenyamanan dalam

penggunaannya.

Contoh agen viskositas yang sering digunakan pada larutan perawatan lensa

kontak adalah : methylcellulose, hydroxyethylcellulose, sodium hyaluronate,


hydroxypropyl methyl cellulose (HPMC), polyvinil alcohol, glycolhexaline,

carbomide dan dextran.

2.2.5   Wetting Agent

Wetting agent digunakan untuk membantu suatu larutan supaya dapat

menyebar secara merata pada permukaan lensa kontak sehingga meningkatkan

kenyamanan pemakai, karena permukaan lensa kontak yang kering akan mudah

menimbulkan gesekan sehingga mudah menimbulkan iritasi pada mata. Komponen

ini juga dapat merubah sifat hydrophobic lensa RGP menjadi hydrophilic untuk

sementara waktu, sehingga menolong pasien dalam memasang lensa,

melindunginya dari sidik jari pemasang dan kontaminan kulit, serta mencegah lensa

jatuh ketika dipegang oleh ujung jari pada saat proses pemasangan. Pemakaian

wetting agent yang terlalu banyak dapat menyebabkan pandangan mata kabur

untuk sementara waktu.

Contoh wetting agent yang sering digunakan anatara lain: polyvinyl alkohol,

polysorbat, poloxamer dan polyvinyl pyrrolidone

2.2.6   Chelating Agent

Chelating agent merupakan suatu agen yang berfungsi untuk mengikat ion

logam yang penting bagi pertumbuhan kuman . Komponen ini tidak memiliki efek

bakteriosida, tetapi dapat meningkatkan aktivitas bahan pengawet, terutama

benzalkonium chlorida, sehingga dapat menghambat kuman gram negatif seperti

Pseudomonas. Contoh chelating agent yang banyak digunakan adalah

ethylenediamine tetraacetic acid ( EDTA ).

2.2.7   Sequestering Agent

Merupakan bahan bermuatan negatif yang memberikan aksi untuk

membersihkan dengan mengikat dan memindahkan ion bermuatan positif, serta


menghancurkan komplek deposit dengan chelating calcium, yaitu mengikat

kalsium sehinga secara tidak langsung meminimalkan absorbsi dan adsorbsi

protein. Agen ini bekerja pada saat lensa direndam semalaman. Contoh

sequestering agent yang sering digunakan adalah: cutrate, hydranate, hydroxyalkyl

phosphonate.

2.2.8   Surface Active Agent/ Surfactan

Surfactan merupakan suatu bahan yang mengandung detergen yang dapat

mempengaruhi surface tension dan efektif dalam menghilangkan minyak, lemak,

mukus dan kosmetik. Cara kerja surfactan adalah dengan membentuk suatu ikatan

dengan debris-debris, deposit dan mikroorganisme, sehingga mudah dihilangkan

ketika dibilas dengan larutan pembilas.

Komponen ini efektif bekerja pada keadaan yang sedikit alkali, yaitu pH

7,4. Surfactan dibagi menjadi surfactan ionic dan non-ionic. Surfactan ionic

diklasifikasikan kedalam surfactan anionic ( bermuatan negatif ), cationic (

bermuatan positif ) dan amphoteric ( dapat berubah sesuai dengan pH ). Jenis

surfactan yang banyak dipakai adalah surfactan amphoteric dan surfactan non-

ionic, karena dianggap lebih stabil, lebih kompatibel dan memiliki toksisitas yang

rendah.

Contoh surfactan adalah: poloxamine, miranol, tiloxopol, propaline glycol dan

polyvinyl alcohol.

2.2.9   Stabilizer

Komponen ini ditambahkan untuk mencegah disosiasi dan degradasi

komponen-komponen kimia yang terdapat di dalam larutan perawatan lensa

kontak. Contoh stabilizer yang sering digunakan : phophonic acid, sodium nitrate,

sodium stannate.
BAB III

LARUTAN PERAWATAN LENSA KONTAK, PENGGUNAAN

DAN PEMILIHANNYA

3.1   MACAM-MACAM LARUTAN DAN BAHAN PERAWATAN

LENSA KONTAK

Larutan perawatan lensa kontak digunakan untuk berbagai macam keperluan yaitu

membersihkan, membilas, menyimpan dan sebagai disinfektan. Tujuan utama

pemakaiannnya adalah untuk membersihkan deposit yang tertimbun di lensa kontak,

membunuh mikroorganisme, meningkatkan kenyamanan serta mencegah infeksi dan

iritasi.

Syarat larutan perawatan lensa kontak yang baik adalah :22

-   Dapat membersihkan, membilas, dan membunuh mikroorganisme dengan optimal

-   Tidak toksik atau berbahaya bagi mata

-   Tidak merusak atau mengubah parameter-parameter penting dari sebuah lensa

kontak

-   Mudah digunakan

-   Biaya terjangkau

Berikut ini merupakan pembagian larutan perawatan lensa kontak berdasarkan fungsi

nya:

3.1.1  Cleaning Solution/ Larutan Pembersih 18

Komponen yang terkandung di dalam larutan pembersih antara lain : Surfactan,

bahan pengawet dan alkohol ( contoh : Isopropyl alcohol ). Larutan pembersih lensa
biasanya tidak memiliki agen viskositas yang tinggi sehingga mudah untuk digosok

dan dibilas.7

Larutan pembersih lensa kontak bermanfaat untuk :

-   Menghilangkan deposit lemak, deposit organik dan anorganik, protein dan

kontaminan.

-   Mengatasi hydrophobicity dari deposit lemak dengan komponen surface active

agent

-   Membantu proses disinfeksi dengan menghilangkan debris dan timbunan protein

yang dapat menjadi bahan nutrisi mikroorganisme.

-   Meratakan lapisan mukus untuk meminimalkan potensi berikatan dengan bahan

antimikroba yang bermolekul besar.

Metode lain yang digunakan untuk membersihkan lensa kontak dari timbunan

protein adalah dengan menggunakan Enzymatic Protein Removers yang tersedia baik

dalam bentuk tablet maupun cair.23 Enzymatic cleaner ini memiliki kandungan antara

lain :

o   Papain

Merupakan enzim yang didapat dari pepaya. Mudah menyebabkan

iritasi dan memiliki bau seperti belerang sehingga tidak nyaman untuk

digunakan.

o   Pancreatin

Enzim ini diambil dari pankreas babi yang terdiri atas lipase, amilase

dan protease. Enzim ini terbukti efektif untuk melepaskan deposit protein,

lemak dan timbunan musin.


o   Subtilisin A

Enzim ini merupakan enzim yang didapat dari fermentasi Bacilus

lichniformis yang dapat menghancurkan berbagai macam protein

bermolekul besar.

Penelitian telah membuktikan bahwa ketiga enzim tersebut efektif untuk membersihkan

deposit dari permukaan lensa kontak, termasuk menurunkan adherence dari kuman

Pseudomonas aeruginosa, namun tidak didapatkan perbedaan efektivitas yang

signifikan antara ketiga enzim tersebut.24,25

Contoh larutan pembersih yang tersedia di pasaran : RGP lens cleaner® ( Up & Up ),

Boston ® protein remover ( Bausch+Lomb ).

(a)   (b)

Gambar 1. Larutan Pembersih lensa RGP (a) dan Liquid enzymatic protein remover (b)

3.1.2.  Rinse Solution/ Larutan Pembilas

Larutan ini digunakan untuk membilas larutan pembersih dan debris yang tersisa

dipermukaan lensa kontak , serta untuk menyimpan lensa kontak. Larutan ini tidak dapat

digunakan untuk membunuh mikroorganisme yang melekat di lensa kontak, sehingga

perlu larutan lain untuk membersihkan dan membunuh mikroorganisme.22,23 Larutan

yang sering digunakan sebagai rinse solution adalah larutan saline. Larutan
saline tersedia dalam kemasan, baik yang mengandung bahan pengawet, maupun tanpa

bahan pengawet. Tidak disarankan menggunakan larutan saline buatan sendiri, karena

tidak steril.26 Contoh larutan pembilas yang tersedia di pasaran adalah Clear Care ®

Rinse & Go ( Alcon ), Sensitive Eyes plus ® ( Bausch + Lomb )

(b)  

Gambar 2. Larutan saline dengan bahan pengawet (a) dan tanpa bahan pengawet (b)

3.1.3.  Larutan Disinfektan7,18

Disinfektan digunakan untuk membunuh mikroorganisme yang masih terdapat

pada lensa kontak. Setiap disinfektan yang digunakan wajib memenuhi standar yang telah

ditentukan oleh ISO dan FDA melalui tes untuk mengetahui kualitas larutan disinfektan

dalam membunuh mikroorganisme yaitu Stand Alone Test dan Regiment test.

Secara umum cairan disinfektan untuk lensa kontak dibagi menjadi dua, yaitu

cairan yang bersifat non-oksidatif dan cairan yang bersifat oksidatif

o Non-Oxydative solution

Contoh larutan disinfektan non-oksidatif antara lain chlorine,

chlorhexidine, thimerosal, dymed, polyquad dan polyhexamide. Cara


pemakaiannya adalah dengan merendam lensa kontak selama 4-6 jam di

dalam larutan tersebut. Larutan disinfektan ini memerlukan bahan pengawet.

Keuntungan dari larutan non-oxydative adalah :

a.   Kemampuan antimikroba yang broad spectrum

b.   Dapat digunakan dalam berbagai macam jenis lensa kontak

c.   Nyaman dan praktis untuk digunakan

d.   Tidak memerlukan larutan penetral

e.   Jarang menyebabkan iritasi

f.   Harga lebih murah.

Kekurangannya larutan non-oxydative ini adalah ;

a.   Aktivitas terhadap jamur, protozoa dan Acanthamoeba yang terbatas

b.   Risiko reaksi hipersensitivitas terhadap bahan pengawet yang terkandung

didalamnya.

c.   Waktu kerja yang lama sehingga harus merendam lensa kontak terlebih

dahulu selama 4-6 jam.

Larutan disinfektan non oxydative yang beredar di pasaran adalah : Alcon

Optifree ®( Alcon ), RevitaLens® ( Abbot ), Biotrue® ( Bausch+ Lomb )

Gambar 3. Larutan disinfektan non oxydative


o Oxydative solution

Contoh larutan oksidatif adalah hydrogen peroxide 3%. Larutan ini

digunakan untuk mendisinfeksi kuman baik pada lensa kontak lunak, maupun

keras. Larutan ini bekerja melalui reaksi oksidasi yang akan merubah molekul

hydrogen peroxida menjadi radikal bebas sebelum kemudian menjadi air dan

oksigen. Radikal bebas inilah yang akan menghancurkan dinding sel

mikroorganisme. Larutan hydrogen peroxida perlu diberi stabilizer supaya

tidak terjadi proses dekompensasi yang terlampau cepat. Lensa kontak yang

didisinfeksi dengan larutan ini harus dinetralkan sebelum dipakai agar larutan

peroksida yang tersisa tidak menempel pada mata dan menimbulkan rasa pedih

atau sensasi terbakar.

Untuk menetralkan larutan peroksida yang masih menempel di lensa kontak

digunakan beberapa metode , yaitu :

a.   Metode Katalitik

Cara kerjanya adalah dengan mempercepat dekomposisi hydrogen

peroksida menjadi oksigen dan air. Katalis tersedia dalam bentuk tablet

maupun cair . Contohnya adalah : platinum coated catalytic discs

b.   Reaksi Kimia

Cara kerjanya adalah dengan menggunakan larutan sodium piruvat atau

sodium thiosulfat untuk menginisiasi proses oksidasi hydrogen peroxida

menjadi air dan oksigen.

c.   Metode Dilusi

Metode ini dilakukan dengan membilas dan merendam lensa kontak yang

telah didisinfeksi ke dalam larutan saline selama 4-6 jam


Keuntungan dari larutan hydrogen peroxide adalah :

a.   Tidak memerlukan bahan pengawet

b.   Lebih efektif membasmi kuman

c.   Lensa kontak tidak mudah rusak

d.   Risiko infeksi akibat penggunaan lensa kontak yang lama berkurang,

e.   Proses disinfeksi lebih cepat ( kurang lebih 10 menit )

Kerugian dari larutan hydrogen peroxide adalah :

a.   Perlu cairan penetral sebelum lensa kontak digunakan

b.   Waktu yang digunakan untuk menetralkan terkadang lama

c.   Tidak praktis untuk digunakan

d.   Bahan lensa kontak berbasis air dapat megalami perubahan seiring

dengan penggunaan peroksida yang lama

e.   Peroksida menjadi kurang efektif jika disimpan dalam waktu yang lama

f.   Harga lebih mahal.

Contoh Larutan dinfeksi yang mengandung hidrogen peroksida adalah EasySept Hydro+
®
( Bausch+Lomb ), One Step®( Sauflon ), Peroxyclear ®( Bausch + Lomb)

Gambar 4. Larutan disinfektan yang bersifat oxydative


3.1.4   Wetting Solution

Komponen yang terkandung dalam larutan ini adalah agen tonisitas, agen

viskositas, bahan pengawet, chelating agent dan wetting agent. Cairan ini berfungsi untuk

meningkatkan surface wettability sehingga menjaga lensa tetap dalam kondisi hidrasi yang

baik dan membantu meratakan lapisan air mata ke seluruh permukaan lensa. Meskipun

efeknya hanya sebentar , yaitu antara 5 detik sampai dengan 15 menit, larutan ini dapat

meningkatkan kenyamanan pasien. Larutan ini banyak digunakan pada pemakaian lensa

RGP. Contoh wetting solution yang beredar di pasaran anatar lain: Lobob® steril wetting

solution, Equate® contact lens conditoning solution.

Gambar 5. Wetting solution

3.1.5   Re-Wetting Solution/ Lubricant/ Comfort drop

Komponen yang digunakan untuk membuat cairan ini antara lain : wetting agent,

bahan pengawet, chelating agent, buffer dan larutan saline fisiologis. Larutan ini digunakan

untuk membasahi kembali lensa yang sedang digunakan, terutama jika lingkungan

sekitarnya kering, berudara panas atau berada dalam ruangan yang memiliki air

conditioner. Larutan ini banyak dipakai pada penggunaan lensa RGP. Contoh comfort drop

yang beredar di pasaran antara lain : Optifree® ( Alcon ), Equate® lubricating & rewetting

drops, Aquify® ( CIBA Vision )


Gambar 6. Re-wetting / Lubricating Solution/ Comfort drop

3.1.6   Soaking Solution

Komponen yang terkandung didalamnya antara lain : agen tonisitas, wetting agent,

detergent/surfactant, bahan pengawet dan chelating agent.18 Larutan ini dipakai untuk

merendam atau menyimpan lensa kontak dan berfungsi untuk menjaga supaya lensa kontak

tetap berada dalam kondisi hidrasi yang baik dengan tetap menjaga sterilitasnya. Hidrasi

yang baik penting untuk menjaga material lensa sehingga tidak terjadi perubahan refraksi,

terutama pada lensa RGP. Komponen-komponen yang ada di dalamnya juga memfasilitasi

larutan supaya dapat membasahi dan memudahkan lensa kontak bebas dari debris-debris

yang menempel. Contoh soaking solution yang beredar di pasaran antara lain: Lobob®

soaking solution, Sereine ®

Gambar 7. Soaking Solution


3.1.7   Multipurpose Solution ( MPS )

Multipurpose solution merupakan larutan yang mengkombinasikan berbagai fungsi

larutan-larutan tersebut diatas, sehingga dalam satu larutan dapat digunakan untuk berbagai

keperluan. Penggunaan MPS dianggap lebih mudah dan praktis sehingga banyak dipilih

oleh pasien yang memiliki waktu terbatas untuk merawat lensa kontak.

Keuntungan dari MPS adalah :

-   Memiliki aktivitas antimikroba yang luas

-   Dapat digunakan pada berbagai jenis lensa kontak

-   Mudah dan praktis untuk digunakan

-   Mudah untuk dibawa

-   Cost-Benefit relationship yang baik

Kekurangan penggunaan MPS adalah :

-   Dapat menimbulkan reaksi alergi

-   Perlu waktu minimal 4 jam untuk mendisinfeksi lensa kontak

-   Menurunnya efektifitas salah satu komponen larutan dibandingkan pada larutan

lain yang lebih spesifik

Contoh multi purpose solution beserta komponen penyusun yang beredar di pasaran

antara lain :

Biofresh® solution : boric acid ( anti bakteri dan anti jamur ), sodium chloride

( garam-agen tonisitas ), hydroxypropyl methylcellulose (

lubricant ), poloxamer 407 ( surfactant ), disodium edetate (

chelating agent ), akuades steril, Polyhexanide 0.00015% (

bahan pengawet )

Renu®Multipurpose Solution : HYDRANATE ( hydroxyalkylphosphonate ), boric acid (

antibakteri dan anti jamur ), edetate disodium ( stabilizer ),


poloxamine ( surfactan ), sodium borate ( buffer ) and

sodium chloride ( agent tonisitas ), DYMED (

polyaminopropyl biguanide ) 0.0001% sebagai bahan

pengawet.

Solo Care Aqua® solution : dalam 1 ml larutan mengandung polyhexanide ( bahan

aktif dan pengawet ), sodium chloride ( agen tonisitas ),

poloxamer 407 ( wetting agent ), disodium hydrogen

phosphate ( buffer ), dan disodium edetate sebagai stabilizer.

Gambar 8. Multi purpose solution yang beredar di pasaran

3.2   PROSEDUR PEMAKAIAN, PERAWATAN DAN PENYIMPANAN

LENSA KONTAK27

Cara terbaik untuk mencegah komplikasi akibat penggunaan lensa kontak adalah

dengan menggunakan, membersihkan, merawat dan menyimpan lensa kontak dengan

benar. Berikut ini merupakan langkah-langkah untuk memakai , membersihkan dan

merawat lensa kontak dengan baik dan benar.


-   Cuci tangan dengan air dan sabun sebelum memakai atau membersihkan lensa

kontak, lalu bilas dan keringkan dengan handuk bersih.

-   Minimalkan kontak antara lensa kontak dengan air , termasuk penggunaan

lensa kontak saat mandi atau berenang.

-   Jangan mencuci atau menyimpan lensa kontak di air biasa baik itu air keran

maupun akuades steril.

-   Ganti/ lepas lensa kontak sesuai jadwal.

-   Saat membersihkan, gunakan jari untuk menggosok permukaan lensa kontak

secara perlahan selama kurang lebih 20 detik sebelum memblasnya. Metode

rub and rinse ini merupakan metode yang disarankan oleh para ahli dan terbukti

8 kali lebih bersih dalam mengilangkan debris - debris di permukaan lensa

kontak.28,29

-   Bilas lensa kontak dengan larutan khusus untuk membilas , bukan dengan air.

Selain lensa kontak, larutan perawatan lensa kontak juga perlu diperlakukan

dengan baik supaya tidak menjadi sumber infeksi, yaitu dengan :

-   Tidak menggunakan kembali larutan yang telah digunakan atau mencampur

larutan lama dengan larutan baru.

-   Tidak memindahkan isi larutan lensa kontak ke botol lain yang bukan

tempatnya.

-   Jaga supaya ujung botol tidak pernah menyentuh permukaan apapun dan

pastikan botol tertutup dengan rapat setelah penggunaan.

-   Larutan sebaiknya tidak digunakan melewati tanggal kadaluarsa.

Tempat penyimpanan lensa kontak ( contact lens case ) juga perlu mendapatkan

perawatan, yaitu dengan cara :18

-   Membiarkannya dalam keadaan kering ketika lensa kontak sedang dipakai


-   Hindari kontak dengan air

-   Bersihkan tempat lensa kontak dengan larutan pembersih lensa kontak dan

dengan menggunakan teknik rub and rinse

-   Ganti contact lens case dengan yang baru sesuai jadwal, paling lama 3 bulan

sekali.

3.3   PEMILIHAN JENIS LARUTAN LENSA KONTAK SESUAI DENGAN

JENIS LENSA KONTAK2,18,20

Untuk mendapatkan hasil yang optimal dalam perawatan lensa kontak, kita harus

dapat memilih larutan sesuai dengan fungsi dan jenis lensa kontak yang akan dibersihkan.

Hal ini dikarenakan tiap- tiap lensa kontak memiliki bahan dan sifat yang berbeda - beda.

Tidak tepat dalam memilih larutan lensa kontak bukan hanya membuat perawatan tidak

optimal, tetapi dapat membuat lensa kontak menjadi rusak dan kehilangan fungsinya.

Untuk dapat memilih larutan perawatan lensa dengan baik, sebelumnya kita perlu

mengetahui sifat dan karakteristik dari lensa kontak lunak/ Soft lens dan dan lensa kontak

keras/Rigid Gas Permeable lens.

Lensa RGP merupakan lensa kontak yang dapat terbuat dari PMMA, silicone acrilate

atau fluoropolymer. Lensa ini memiliki sifat keras/kaku sehingga mudah dipegang, lebih

stabil dan tahan lama, tetapi menimbulkan ketidaknyamanan dan kesulitan pada saat

pemasangan. Lensa RGP memiliki permukaan lensa yang mudah terbentuk deposit.

Berdasarkan karakteristik diatas, maka larutan lensa kontak yang sebaiknya dipakai untuk

merawat lensa RGP adalah larutan dengan kemampuan lebih untuk membasahi,

melembabkan dan tentunya dengan aktivitas antimikroba yang baik, sehingga dapat

meningkatkan kenyamanan pemakaian.

Larutan disinfektan yang direkomendasikan untuk digunakan pada lensa RGP adalah

larutan dengan bahan pengawet yang mengandung polyhexanide atau alcohol based
solution/ non organic solvent (contoh: chlorobutanol ,isopropyl alcohol ) karena tidak

terlalu iritatif dan membuat pedih mata. Kandungan alkohol di dalamnya membuat deposit

lemak yang menempel lebih mudah dibersihkan. Bahan pengawet yang tidak

direkomendasikan adalah bahan yang mengandung chlorhexidine karena mudah

menimbulkan iritasi pada pemakaian lensa RGP. Jika pasien alergi terhadap bahan

pengawet, maka dapat dipilih cairan dengan bahan dasar peroksida yang tidak mengandung

bahan pengawet.

Larutan pembersih yang direkomendasikan untuk lensa RGP adalah larutan yang

mengandung protein removal. Hal ini dikarenakan lensa RGP memilki durasi pemakaian

yang lebih lama, sehingga kemungkinan untuk terbentuk deposit protein lebih besar.

Contoh protein removal yang dipakai adalah 0,4% sodium hypochlorite. Pasien yang

memiliki riwayat atopi disarankan membersihkan lensa RGP dengan enzym protein

remover. Larutan pembersih yang tidak direkomendasikan untuk lensa RGP adalah larutan

yang mengandung fluorosilicon acrylates. Fluorosilicon acrilate memilki polishing effect

yang kuat, sehingga dapat merusak permukaan optik lensa. Multi Purpose Solution/ MPS

dapat juga digunakan untuk lensa RGP, akan tetapi beberapa ahli berpendapat bahwa

membersihkan lensa RGP dengan menggunakan larutan yang terpisah untuk setiap tahap

perawatan dianggap lebih efektif.

Soft contact lens, sesuai namanya, merupakan lensa yang bersifat lunak, fleksibel, serta

mampu beradaptasi dalam waktu singkat. Bahan lensa kontak lunak yag sering dipakai

adalah HEMA ( Poly-2- hydroxymethyl metaacrilate ) dan silicone hydrogel. Pemilihan

larutan untuk lensa kontak lunak harus mempertimbangkan ada tidaknya reaksi kimia yang

mungkin muncul antara bahan pembuat lensa kontak dengan komponen yang ada di dalam

larutan perawatan tersebut.


Pasien yang menggunakan lensa kontak berbahan silicone hydrogel, disarankan

menghindari larutan yang mengandung komponen dengan berat molekul rendah, seperti

chlorobutanol, chlorhexidine, banzalkonium chloride, sorbic acid dan thimerosal. Hal ini

dikarenakan adanya proses uptake and release cairan pengawet yang tinggi sehingga

merusak epitel kornea dan menimbulkan kelainan seperti superior limbic

keratoconjungtivitis, keratitis, dan corneal staining.28 Menurut penelitian yang diadakan

oleh Staining Grid Center, larutan yang mengandung disinfektan atau pengawet berbahan

dasar biguanide ( Polyhexamethilene biguanide / PHMB ) memiliki resiko paling besar

menimbulkan corneal staining ketika dipakai pada lensa berbahan silicone hydrogel30.
BAB IV

RINGKASAN

Lensa kontak memiliki banyak manfaat sehingga semakin banyak dipilih dan

digunakan. Penggunaan lensa kontak tidak lepas dari resiko dan komplikasi yang bukan

hanya mengurangi kenyamanan pemakaian tetapi juga dapat mengancam penglihatan.

Salah satu faktor yang berperan dalam timbulnya komplikasi penggunaan lensa kontak

adalah perawatan dan kebiasaan pemakaian lensa kontak yang kurang tepat seperti:

pemakain lensa kontak melewati jadwal yang ditentukan, membersihkan dengan air , cara

membersihkan yang tidak tepat serta pemakaian larutan pembersih yang tidak sesuai

dengan prosedur yang direkomendasikan.

Saat ini telah tersedia berbagai macam lautan pembersih lensa kontak dengan berbagai

komponen penyusun yang kombinasinya disesuaikan dengan tujuan penggunaannya.

Larutan tesebut antara lain adalah cleaning solution, rinse solution, desinfecting solution,

wetting solution, soaking solution dan Multi Purpose Solution. Pemilihan dan penggunaan

larutan tersebut harus disesuaikan dengan jenis lensa yang akan dibersihkan karena tiap

lensa memiliki karakteristik dan kebutuhan yang berbeda.

Cara membersihkan lensa kontak yang direkomendasikan dan terbukti lebih efektif

adalah dengan metode rub and rinse. Metode ini juga dapat dipakai untuk membersihkan

tempat penyimpanan lensa kontak. Larutan lensa kontak dijaga supaya tidak menjadi

sumber kontaminan dengan tidak melakukan topping off, membiarkan terbuka atau

memindahkannya dalam botol lain. Dengan pemilihan cairan lensa kontak yang tepat serta

perawatan lensa kontak yang baik, diharapkan komplikasi akibat penggunaan lensa kontak

dapat dicegah.
DAFTAR PUSTAKA

1.   Efron N. Contact Lens Practice. China: Butterworth Heinemann Elsevier.2010

2.   American Academy of Ophtalmology. Basic and Clinical Science Course Clinical

Optic. San Fransisco: American Academy of Ophtalmology.2014:p151

3.   Boyd K. Contact Lenses for Vision Correction[internet].2016[cited 2018 January

2].Available from https://www.aao.org/eye-health/glasses-contacts/contact-lens-

102

4.   Jhonson and Jhonson Vision care. Contact Lens Facts and

Figures[internet].2013[cited 2018 January 2]. available from

http://www.jnjvc.com/sites/jnjvc/files/JJVC%20CL%20Facts%20and%20Figures

%20Fact%20Sheet.pdf.

5.   Centers of Disease Control and Prevention.Healthy Contact Lens Wear and

Care[internet].2015[cited 2018 January 2] Available from

https://www.cdc.gov/contactlenses/fast-facts.html

6.   Alipour F, Khaheshi S, Soleimanzadeh M, Heidarzadeh S, Heydarzadeh S. Contact

Lens-related Complications: A Review. 2017:p193-204

7.   Dyavaiah M, Phaniendra A, Sudharshan SJ.Microbial Keratitis in Contact Lens

Wearers.JSM Ophtalmology.2015:p1-12

8.   Loh K Y, Agarwal P. Contact lens related corneal ulcer. Malaysian Family

Physician. 2010.5(1):p6-8

9.   Stapleton F, Naduvilath T, Keay L,Radford C, Dart J, Edwards K, et al. Risk factors

and causative organisms in microbial keratitis in daily disposable contact lens

wear.PLoS ONE. 2017.12(8):p1-12

10.  Booranaponang W, Prabhasawat P, et al. Risk factor for contact lens related

microbial keratitis: a case control study.J Med Assoc Thai. 2012.95(5):p693-8


11.  RossJ et al. Clinical Characteristics of Acanthamoeba Keratitis Infections in 28

States, 2008 to 2011.2014.33(2): p. 161-8.

12.  VeraniJR et al. National Outbreak of Acanthamoeba Keratitis Associated with use

of a Contact Lens Solution, United States. Emerging Infection Disease.2009. 15(8):

p. 1236-42.

13.  Mannis MJ et.al. Contact Lenses in Ophtalmic Practice.United State of America:

Springer.2004:p205-41

14.  Keay L, Stapleton F, and Schein O. Epidemiology of contact lens-related

inflammation and microbial keratitis: a 20-year perspective.2007(33): p346-53

15.  Stapleton F. Contact lens-related microbial keratitis: what can epidemiologic

studies tell us? Eye Contact Lens.2003(29): p85-9

16.  Centers of Disease Control and Prevention. MMWR: Contact Lens Wearer

Demographics and Risk Behaviour for Contact Lens- Related Eye Infections

United States 2014.2015:64(32)p1-24

17.  Rakow PL. Current Contact Lens Care Systems.USA: The Princeton Eye

Group.2003:p415-32

18.  Gasson A, Morris J. Contact Lens Manual: Practical Guide to Fitting.Spain:

Elsevier.2003:p360-82

19.  Gromacky SJ, Ward MA. Understanding Contemporary Contact Lens Care

Products: An overview of current contact lens systems, their components, and

standards for care and cleaning.Contact Lens Spectrum[internet].2013[cited 2018

January 4].Available fromhttps://www.clspectrum.com/issues/2013/june-

2013/understanding-contemporary-contact-lens-care-produ

20.  Bennet ES, Weissman BA.Clinical Contact Lens Practice.USA: Lippincott

Williams and Wilkins.2005


21.  Watanabe RK, Marjorie J. Preventative Contact Lens Care: Part III.Contact Lens

Spectrum[internet].2001[cited 2018 January 4]. Available at

https://www.clspectrum.com/issues/2001/august-2001/preventative-contact-lens-

care-part-iii

22.  Chaudhry M.Contact Lens Primer.New Delhi:Jaypee Brothers Med Pub.2007

23.  Centers of Disease Control and Prevention.Contact Lens Care System and

Solution[internet].2016[cited 2018 January 4].Available from

https://www.cdc.gov/contactlenses/care-systems.html

24.  Stern GA, Zam ZS.The effect of enzymatic contact lens cleaning on adherence of

Pseudomonas aeruginosa to soft contact lenses.Ophtalmology.1987 94(2)115-9

25.  Begley CG, Paragina S, Sporn A. An Analysis of contact lens enzyme cleaners.J

Am Optom Assoc.1990: 61(30) 190-4

26.  Sweeney DF et al. Contamination of 500ml bottles of unpreserved saline.Clinical

and Experimental Optometry:1992 Vol 75(2) p65-75.

27.  Boyd K.How to take care of contact lense[internet].2016[cited 2018 January

4].Available fromhttps://www.aao.org/eye-health/glasses-contacts/contact-lens-

care

28.  Jones L. Understanding Incompatibilities: Before you send another patient home

with silicone hydrogel contact lenses, make sure he's using an appropriate lens care

regimen[internet].2004[cited 2018 January 4]. Available from

https://www.clspectrum.com/supplements/2004/july-2004/making-compatible-

choices-in-lens-care/understanding-incompatibilities

29.  Cho P et al. Soft Contact Lens Cleaning: Rub or No Rub?.Ophtalmic Physiol

Opht.2009 Jan;(1):p 49-57


30.  Andrasko Corneal Staining Grid.Contact Lens Research Service :The Staining Grid

Centre[internet].2011[cited 2018 January 3]. Available

fromhttp://www.staininggrid.com/
LAMPIRAN 1. ALUR PEMILIHAN LARUTAN PERAWATAN LENSA KONTAK

Jenis Lensa Kontak

Lensa RGP

Fluorosilicone acrilate Hydrogel Extended wear


( silicone
Chlorhexidine Protein Removal
hydrogel )
Wetting Agent Daily use
/disposable

Hindari:
Atopi (+) Non Atopi (-)
CHX
Chlorobutanol

Non preservative Preservative/non preservative


Sorbic acid
Enzymatic protein removal Enzymatic/non enzymatic protein
Thimerosal

PHMB
LAMPIRAN 2. JADWAL PENGGANTIAN LENSA KONTAK

Tipe Lensa Kontak Jadwal Keterangan


Penggantian
Daily disposabel 1 hari Langsung dibuang
Disposable ( extended wear) 1 minggu Dapat dpakai
“overnight use”
Disposable ( daily wear ) 2 minggu Dibersihkan tiap
malam

Frequent replacement ( planned 1 bulan- Sesuai merk dagang,


replacement) beberapa dapat ”overnight use”
bulan dengan minimal satu
malam bebas lensa
kontak/ minggu

conventional 1 tahun Dibersihkan tiap


malam

Sumber. Replacement and Wearing Schedules by CooperVision®


LAMPIRAN 3. LEMBAR EDUKASI PASIEN

A.   CARA MEMAKAI LENSA KONTAK

a.   Cuci tangan dengan sabun dan air mengalir

b.   Keringkan tangan dengan handuk bersih

c.   Keluarkan lensa kontak dari tempatnya dan letakkan di telapak tangan

d.   Tuangkan larutan perawatan lensa kontak ke atas lensa


kontak

e.   Gosok perlahan lensa kontak menggunakan jari telunjuk

dengan arah maju mundu, BUKAN memutar, selama 20 detik

f.   Bilas lensa kontak dengan larutan pembilas lensa

kontak JANGAN menggunakan air keran

g.   Pasang pada mata

h.   Buang cairan yang tersisa di dalam tempat penyimpanan

i.   Gosok dan bilas tempat penyimpanan dengan larutan lensa


kontak

j.   Keringkan diatas tisu kering dengan posisi terbalik tanpa tutup

k.   Simpan di tempat kering

B.  CARA MELEPAS DAN MENYIMPAN LENSA KONTAK

-   Cuci tangan dengan sabun dan air mengalir

-   Keringkan tangan dengan handuk bersih

-   Lepas lensa kontak dari mata

-   Bersihkan lensa kontak dengan larutan lensa kontak

-   Letakkan lensa kontak ke dalam tempat penyimpanan yang telah diisi larutan
baru

-   JANGAN menambahkan larutan baru ke dalam tempat penyimpanan

yang masih terisi larutan lama

-   Simpan di tempat yang terhindar dari panas dan sinar matahari


INGAT!!!

LEPAS LENSA KONTAK ANDA SAAT


TIDUR, BERENANG DAN MANDI
TOPOGRAFI KORNEA
BAB I
PENDAHULUAN

Kornea merupakan media refrakta yang memiliki kekuatan refraksi terbesar.


Hal ini dikarenakan kornea memiliki kurvatura yang besar dan terdapat perbedaan
indeks refraksi terhadap udara yang juga besar (1 : 1.37), terutama pada permukaan
anteriornya. Refraksi pada permukaan posterior kornea tidak terlalu signifikan dan
1,2
hampir sama dengan indeks refraksi humor akuos.
Prevalensi penderita kelainan refraksi di populasi Asia Tenggara semakin
meningkat dari tahun ke tahun. Pengetahuan mengenai anatomi-fisiologi, optik, dan
refraksi penting dalam memahami tindakan bedah refraksi. Kemajuan teknologi
telah mampu membantu para klinisi untuk mendeteksi dan melakukan tindakan
bedah dalam mengkoreksi kelainan optic dan refraksi pada kornea maupun media
1
refrakta yang lain.
Operator tindakan bedah, baik pada kasus katarak maupun bedah refraktif,
harus dapat melakukan perencanaan yang baik. Evaluasi yang penting untuk
dilakukan sebelum operasi meliputi tajam penglihatan, autorefraksi, status refraksi
dengan dan tanpa sikloplegik, keratometri, dan topografi kornea.
Topografi kornea (atau yang dikenal juga dengan fotokeratoskopi atau
videokeratoskopi) merupakan tekhnik eksplorasi non-invasif untuk menilai
morfologi kornea, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, sehingga
memungkinkan untuk menilai karakteristik dan diferensiasi geometri kornea.
Awalnya, topografi kornea hanya digunakan untuk menilai bentuk kornea anterior;
namun dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, saat ini topografi
kornea dijadikan sebagai modalitas skrining pra-tindakan bedah refraktif, diagnosis
keratokonus, astigmatisme pasca operasi, rencana tindakan bedah pada kasus
dengan astigmatisma, kelainan kornea dan permukaan okular, bahkan untuk fitting
1,2,3
lensa kontak.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. MORFOLOGI KORNEA
Kornea memiliki kekuatan refraksi terbesar pada mata, yaitu sekitar 43-44
dioptri pada apeks kornea (2/3 total kekuatan refraksi mata). Terdapat beberapa hal
penting mengenai kornea yang berkaitan dengan fungsi optiknya, yaitu bentuk
1,3,4
kornea, kurvatura, kekuatan atau power, dan beberapa hal lain.
A.1 Bentuk
Kornea menempati 1/6 sentral dinding luar bola mata, berbentuk oval, dengan
rerata diameter horisontal 12,6 mm dan rerata diameter vertikal 11,2 mm. Bentuk
kornea tidak benar-benar sferis. Masing-masing area kornea memiliki bentuk yang
berbeda-beda. Area sentral kornea, sejauh kurang lebih 4mm, adalah area yang
diperkirakan berbentuk sferis sehingga dijadikan dasar pada pemeriksaan keratometri.
Semakin menjauhi sentral, bentuk kornea menjadi iregular dan lebih datar. Secara
umum, kornea dibagi menjadi 2 bagian yaitu area sentral, berukuran sekitar 4 mm,
disebut area optik atau zona apikal, dan area perifer atau basilar. Kekuatan refraksi pada
zona apikal bervariasi, namun tidak lebih dari 1D pada mata normal. Beberapa
penelitian menyatakan bentuk kornea dapat berubah-ubah sepanjang waktu, contohnya,
1,3
kornea menjadi relatif datar pada pagi hari.

Terdapat beberapa sumber yang membagi geografi kornea menjadi 4 zona


geografi dari apeks ke limbus (Gambar 1) :
1.   Zona sentral (4 mm sentral) : menutupi pupil dan bertanggung jawab
pada tajam penglihatan. Bagian sentral ini nyaris sferis dan disebut apeks
2.   Zona parasentral : bagian dimana kornea mulai datar
3.   Zona perifer
4.   Zona limbus/margin
Gambar 1. Zona geografi kornea (dikutip dari Myrynmae G, Corneal
4
Topography)

Kornea anterior berbentuk konveks dan memiliki permukaan yang asferis.


Umumnya curam (steep) di bagian sentral dan datar (flat) di perifer. Bentuk
kornea yang curam di bagian sentral disebut prolate. Kornea bersifat asferis,
sehingga kurvaturanya bervariasi di sepanjang meridian. Permukaan posterior
umumnya lebih curam dan lebih prolate dibanding permukaan anterior. Tidak ada
rentang normal topografi terhadap permukaan posterior kornea. A.2. Kurvatura

Radius kurvatura area sentral kornea atau zona apikal anterior adalah ±7.8
mm.   Radius kurvatura pada permukaan posterior kornea adalah ±6.7 mm.
Perubahan kurvatura pada kornea memiliki efek pada status refraktif mata. Setiap 1
mm penambahan radius kurvatura kornea menyebabkan penurunan kekuatan
refraksi kornea sebesar 6 dioptri. 1 mm penurunan radius kurvatura kornea
menyebabkan penambahan kekuatan refraksi kornea sebesar 6 dioptri. Tipe
3,4
kurvatura ini yang biasanya juga berhubungan dengan astigmatisma.
A.3 Kekuatan/power
Indeks refraktif kornea adalah 1.376. Kekuatan atau “power” kornea dapat
dihitung dari radius kurvatura dan indeks refraksi. Kekuatan konvergensi kornea
normal sebesar 49 dioptri pada permuakaan anteriornya dan kekuatan divergensi
kornea normal sebesar 6 dioptri pada permukaan posteriornya. Kekuatan
2
konvergensi total kornea adalah 43 dioptri.
A.4.Ketebalan kornea
Ketebalan kornea sekitar 0.52 mm pada area aksial dan 0.66 mm pada area
perifer. Hal tersebut menjadi alasan mengapa kurvatura permukaan posterior
3
kornea lebih tinggi daripada kurvatura anterior.
A.5 Astigmatisma
Bentuk kornea bayi hampir sferis. 68% anak-anak usia 4 tahun dan 95% usia
7 tahun dapat memiliki with the rule astigmatism (dimana meridian vertikal lebih
curam/steep dibanding meridian horisontal). Astigmatisma ini dapat menghilang
atau berubah menjadi astigmatisma against the rule pada usia dewasa. Perubahan
sesuai usia ini diperkirakan dikarenakan perubahan tekanan oleh kelopak mata atau
1,4
perubahan tonus otot orbicularis.

B. PEMERIKSAAN MORFOLOGI KORNEA


Permukaan kornea normal halus disebabkan karena adanya lapisan air
mata yang menetralkan iregularitas kornea. Kornea bersifat seperti kaca transparan
yang merefleksikan cahaya. Beberapa jenis pemeriksaan telah dikembangkan
untuk memeriksa reflek kornea tersebut. Terdapat beberapa instrumen non kontak
yang menggunakan pencahayaan target (lampu target atau placido disc) dan
sebuah mikroskop atau sistem optik lain yang digunakan untuk menilai reflek
3,4
kornea. 1. Keratometri

Keratometri merupakan pemeriksaan untuk menghitung radius kurvatura


kornea sentral secara kuantitatif (diameter dalam mm). Alat yang digunakan
adalah keratometer. Keratometer yang ada saat ini dapat dengan tepat
menghitung ukuran bayangan yang terbentuk di permukaan kornea dan
mengkonversinya menjadi kekuatan refraksi kornea. Alat tersebut mengukur
kurvatura kornea hanya pada titik 3 mm sampai 4 mm dari sentral kornea,
dengan asumsi bagian kornea yang lain berbentuk sfero-silindris murni (gambar
2). Jika kornea yang diperiksa berbentuk irregular atau asferis, maka
pemeriksaan standar ini menjadi tidak cukup untuk menggambarkan kondisi
yang sesungguhnya.
Keratometer modern, baik yang otomatis atau tidak, dikenal sebagai
oftalmometer, dapat mengkonversi dari ukuran radius ke dioptri. Perhitungan
ini banyak digunakan pada pengukuran kekuatan lensa tanam. Secara teori
pengukuran refleks kornea tampak mudah, namun kesalahan perhitungan dapat
terjadi karena adanya gerak bola mata, desentrasi, atau gangguan pada lapisan
air mata.

Gambar 2. Keratometri mengukur kurvatura kornea sentral (dikutip dari


3
Benjamin F, Preoperatif consideration)

2. Keratoskopi atau Fotokeratoskopi


Keratoskopi atau fotokeratoskopi merupakan pemeriksaan yang
mengevaluasi refleksi cahaya pada permukaan kornea secara kualitatif. Alat
yang digunakan pada pemeriksaan keratoskopi berupa lampu yang
memproyeksikan cahaya dan suatu cakram plasido (placido disc) yang terdiri
dari cincin-cincin konsentris atau cone dengan cincin iluminasi.
Penilaian dilakukan terhadap refleksi cahaya pada permukaan kornea
yang tampak pada pemeriksaan keratoskopi. Bentuk cincin dan jarak antar
cincin dievaluasi untuk menilai morfologi kornea. Gambaran cincin konsentris
dengan jarak antar cincin yang teratur didapatkan pada kornea normal.
Gambaran distorsi elips menunjukkan kemungkinan adanya astigmatisma.
Kornea dengan kekuatan refraktif yang rendah memberikan gambaran cincin
dengan diameter yang lebih luas dan jarak antar cincin yang berjauhan jika
dibandingkan gambaran normal. Area kornea yang lebih curam tergambar dari pola
cincin yang saling berhimpitan satu dengan yang lainnya. Beberapa kondisi yang
dapat dideteksi oleh mesin keratoskop atau fotokeratoskop adalah silinder tinggi
2,4
dan astigmatisma irregular, serta keratokonus (Gambar 3).

Gambar 3. Refleksi bayangan pada kornea normal dan abnormal (dikutip dari
3
Benjamin F, Preoperatif consideration)

3.   Computerized videokeratoscopy
Computerized videokeratoscopy adalah pemeriksaan untuk mengetahui
morfologi kornea sentral dan perifer. Analisis terhadap morfologi kornea perifer
tidak didapatkan dari teknologi-teknologi sebelumnya. Alat yang digunakan
pada pemeriksaan ini adalah mesin topografer. Computerized topographer saat
ini telah secara luas dipergunakan dan menjadi standar prosedur pemeriksaan
klinik. Pemeriksaan ini memiliki banyak manfaat dibandingkan keratometer
atau keratoskop tradisional. Computerized topographer menghitung area
kornea yang lebih luas dengan jumlah titik target yang lebih banyak, serta data
1
hasil pemeriksaan dapat disimpan.
Proyeksi topografer kornea terdiri atas cakram plasido atau suatu konus
(dengan ukuran besar maupun kecil) yang mengiluminasi kornea dengan
mengirimkan cincin konsentris. Suatu kamera video menangkap reflek kornea dari
lapisan air mata. Data dianalisis oleh sebuah software. Software tersebut
mengevaluasi jarak antara masing-masing cincin konsentris, pada kondisi gelap
dan terang, dan pada beberapa titik. Kemudian sistem digital komputer akan
mengolah informasi mengenai bentuk kornea dalam bentuk data peta warna
1,4
dengan kode-kode tertentu (Gambar 4).

Gambar 4. Topografi kornea dengan computerized videotopographer


(dikutip dari Benjamin F, Preoperatif consideration)

C. TOPOGRAFI KORNEA
C.1. SEJARAH
Computerized videokeratoscopy pada awalnya dipelajari oleh Rowsey yang
menggunakan gambaran plasido untuk mendapatkan perhitungan kuantitatif dari
suatu topografi kornea. Kemudian Stephen Klyce pada tahun 1987 mengkonversi
nilai-nilai yang keluar dari sistem digital mesin topografer menjadi peta kode-kode
warna.

C.2. PRINSIP UMUM


a. Refleksi cakram Placido
Prinsip cakram Placido menggunakan prinsip kerja yang sama dengan yang
digunakan pada pemeriksaan keratoskopi. Cakram Placido dibentuk pada cakram
berwarna dasar hitam dengan lingkaran konsentris berwarna putih. Permukaan refraksi
kornea (tear film-air interface) juga berperan sebagai cermin konveks dan
merefleksikan cahaya dari cakram Placido dalam pola tertentu, tergantung pada
pola kornea tersebut. Gambaran cincin yang terefleksi oleh kornea, ditangkap oleh
1,3,5
video kamera. Data kurvatura didapatkan dari perhitungan jarak antara cincin.
b.  Slit-scanning
Prinsip ini berdasarkan metode elevation-based. Multiple complimentary
slit digunakan untuk asesmen permukaan kornea. Pada Orbscan, 40 celah/slit
(masing-masing 20 untuk nasal dan temporal) diproyeksikan pada kornea untuk
mengases 240 titik di setiap celah. Triangulasi antara permukaan pancaran sinar
celah dan pantulan ditangkap yang ditangkap oleh kamera digunakan untuk
1,3,5
menganalisa kurvatura kornea anterior dan posterior.
c. Prinsip Scheimpflug
Prinsip ini ditemukan oleh Theodre Scheimpflug, yang menyatakan bahwa
bidang lensa dan bayangan berada paralel. Objek linear membentuk bidang fokus
paralel terhadap lensa sehingga bidang bayangan yang terbentuk juga paralel. Ketika
obyek tidak terletak paralel terhadap lensa, bayangan yang dihasilkan tidak akan
sepenuhnya fokus sehingga akan terjadi distorsi bayangan. Menurut prinsip
Scheimpflug, ketika benda tidak paralel terhadap bidang bayangan, tangen oblik dapat
digambar dari bidang bayangan, objek, dan lensa, serta garis perpotongan antar tiga
bidang tersebut disebut perpotongan Scheimpflug. Dengan menggunakan orientasi ini,
manipulasi terhadap bidang bayangan dan bidang lensa dapat menghasilkan bayangan
1,3,5
yang fokus dan tajam pada obyek non-paralel.

C.3. METODE PEMERIKSAAN TOPOGRAFI


Terdapat dua metode perekaman topografi kornea yaitu reflection-based dan
projection-based. Reflection-based topography dibagi menjadi dua, yaitu fotogrametri
Raster dan topografi Placido. Projection-based topography mengukur permukaan
anterior dan posterior kornea dengan merefleksikan proyeksi cahaya melalui kornea.
Orbscan menggunakan optical slit-scan dan Pentacam menggunakan rotating
Scheimpflug untuk memperoleh data. Projection-based topography mengukur tinggi
dan titik spesifik pada kornea. Dari tinggi, kelandaian dan radius kurvatura dapat
diukur, membuat pengukuran ini lebih presisi dibandingkan dengan reflection-based
topography. Projection-based topography
tidak bergantung pada kualitas refleksi dari kornea dan dapat membaca distorsi
5
permukaan kornea yang buruk.

C.4. INDIKASI TOPOGRAFI


1-5
Computerized topography kornea diindikasikan pada kondisi sebagai berikut :
1.   Pemeriksaan pre-operatif dan post-operatif pasien bedah refraksi
2.   Pemeriksaan pre-operatif dan post-operatif pasien keratoplasti penetrans
3.   Astigmatisma
4.   Distrofi kornea, keratopati bulosa
5.   Keratokonus (diagnosa dan follow-up)
6.   Follow up kasus ulkus kornea
7.   Skar kornea traumatika
8.   Fitting lensa kontak
9.   Evaluasi kualitas lapisan air mata
10.  Referensi untuk implantasi lensa tanam, untuk membandingkan kondisi
kornea sebelum dan sesudah implantasi
11.  Mengevaluasi kasus low vision yang tidak diketahui penyebabnya, setelah
prosedur bedah
12.  Pemeriksaan pre-operatif dan post-operatif pemasangan cincin kornea
intrastromal

C.5. INTERPRETASI
Interpretasi pembacaan peta topografi yang baik memerlukan pengetahuan
dan pengalaman klinis yang baik dari pemeriksa. Mata awam dapat menemui
kesulitan dan juga misinterpretasi di dalam evaluasi peta kornea. Pemeriksa harus
memahami cara membaca skala warna. Topografer modem (videokeratografer)
menggunakan peta Louisiana State University Color-Coded didalam menentukan
kekuatan superfisial kornea (Gambar 5). Nilai kekuatan (diukur dalam dioptri) lebih
sering digunakan dibanding nilai radius (diukur dalam milimeter), walaupun semua
3
topografer dapat memetakan kornea dengan kedua nilai tersebut.
Gambar 5. Kode warna pada topografi kornea (dikutip dari Guilermo
3
Simon et al, Fundamental of topography)

3
Langkah-langkah interpretasi topografi kornea:
a.   Identifikasi nama pasien, usia, dan mata yang diperiksa;
b.   Bandingkan hasil antara satu dengan yang lainnya pada peta kuadran atau
multiple;
c.   Perhatikan skala warna dan identifikasi rentang dan gradien yang ada. Tiap
pemindai (scan) memiliki skala koding warna masing-masing;
d.   Pada skala absolut, warna hijau merepresentasikan data normatif. Warna
merah menandakan adanya abnormalitas;
e.   Perhatikan angka pada grafik dan kotak statistik yang tersedia. Angka-angka
yang ada menunjukkan ketebalan kornea sentral dan penipisan, keratometri
apikal, elevasi kornea anterior dan posterior.
f.   Bandingkan dengan temuan lampu celah. Harus diingat bahwa topografi
kornea dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti kekeruhan kornea
nebulomakular, dry eye, neovaskularisasi kornea, dan sikatriks kornea.
g.   Setiap peta topografi memiliki skala warna yang menandakan rentang
dioptric tertentu. Area kornea yang lebih datar (flatter) berwarna biru, area
yang lebih curam (steeper) berwarna merah.
4,5
C.5. PARAMETER DALAM TOPOGRAFI KORNEA
1.   Surface Regularity index (SRI) : mendeskripsikan regularitas area sentral
kornea (hingga 4.5 mm diameter kornea). Nilai SRI pada kornea normal
yaitu kurang dari 0.56. Nilai 0 didapatkan pada kornea yang memiliki
regularitas yang sempurna.
2.   Surface asymmetry index (SAI) : nilai rerata perbedaan kekuatan antara
beberapa titik pada kornea. Nilai SAI pada permukaan yang simetris radial
adalah 0, dan akan meningkat seiring meningkatnya derajat asimetri dari 2
titik yang dinilai.
3.   Simulated keratometry (SIMK) : memberikan informasi tentang kekuatan
kornea pada area yang paling datar (flat) dan area yang paling curam (steep).
SIMK dinyatakan dalam K1 atau Kf (K flat) dan K2 atau Ks (K steep),
dengan rerata nilai 43.53±1.02D pada kornea normal.
4.   Cylinder (Cyl) : nilai silinder yang didapatkan dari simulasi keratometri
.Tingginya nilai silinder dapat memberikan kecurigaan adanya kelainan
seperti keratokonus
5.   Minimal keratometry value (Min K): menunjukkan area meridian
dengan kekuatan paling rendah
6.   Potential visual acuity (PVA): perkiraan visual acuity dengan
memperhitungkan hasil topografi kornea saja.
7.   Keratoconus Index (KCI): mendeteksi adanya keratokonus. Metode yang
sering digunakan adalah Klyce-Maeda
8.   Analysed Area (AA): mendeteksi area kornea yang tertutup cincin pada
topographer. AA menurun pada kasus keratokonus
9.   Inferior-superior dioptric asymmetry (I-S) : nilai normalnya <1.4
10.  Average corneal power (ACP) : nilai normalnya 40.5 – 46.7 D
11.  Corneal eccentricity index (CEI): nilai normalnya -0.114- 0.806
12.  Irregular astigmatism index (IAI): rerata variasi jarak antar cincin. Nilai
normal 0.19 to 0.49
13.  Centre surround index(CSI): perbedaan rerata kekuatan kornea pada
sentral kornea dan cincin sekitarnya. Nilai normal -.028 – 0.80
14.  Opposite sector index (OSI): perbedaan terbesar rerata kekuatan pada
area opposite. Nilai normalnya -0.55 – 2.09

C.6. PETA TOPOGRAFI KORNEA NORMAL


Terdapat variasi yang luas dari gambaran topografi sebuah kornea yang
normal. Tidak ada satupun kornea manusia yang menggambarkan kalibrasi sferis
2,3
murni pada mesin topografer.
Mata normal memiliki permukaan kornea nasal yang lebih datar dari
permukaan temporal. Sisi nasal kornea menjadi lebih cepat berubah warna menjadi biru
(Gambar 6). Astigmatisma fisiologis dapat ditemukan sekitar 0.75 dioptri. Secara
fisiologis aksis kornea berbeda pada kornea superior dan inferior. Focal steepening
mungkin bisa ditemukan sehubungan dengan adanya tear meniskus yang rendah.
Secara umum kedua mata seseorang sangat identik, menyerupai kaca satu sama lain.
Fenomena ini disebut enantiomophism. Pengetahuan ini berguna untuk menentukan
adanya abnormalitas pada suatu mata. Menentukan abnormalitas pada mata dapat
dengan membandingkan dengan mata kontralateral.

Gambar 6. Topografi kornea normal (dikutip dari Guilermo Simon et al,


3
Fundamental of topography)
C.7. APLIKASI KLINIK TOPOGRAFI KORNEA
C.7.1. Deteksi astigmatisma
Gambaran astigmatisma pada topografi kornea berupa pola “bow-tie”, yaitu
gambaran menyerupai pita pada permukaan kornea (Gambar 7). Astigmatisma
regular (with the rule) memberikan gambaran bow tie oval aksial. Gambaran ini
merupakan deviasi yang paling umum ditemukan. Jika bow tie mengarah vertikal
(aksis panjangnya berdekatan dengan meridian vertikal) pada peta aksial, ini
menandakan kornea memiliki astigmatisma with the rule. Bow tie yang mengarah
horisontal, menandakan astigmatisma “against the rule”, berbeda 90 derajat dari
astigmatisma with the rule. Bow tie yang mengarah diagonal menandakan kornea
5,6
memiliki astigmatisma oblik.
Bentuk dan warna bow tie dipengaruhi oleh derajat datarnya kornea perifer dan
penampakannya dipengaruhi oleh interval skala yang ditentukan oleh operator. Bow tie
dapat simetris atau asimetris di sepanjang meridian perpendicular. Pada astigmatisma,
ukuran salah satu bow tie dapat lebih besar dari bow tie yang lain. Apek kornea
berlokasi pada area dengan bow tie yang lebih besar.

Gambar 7. 10 pola topografi kornea (dikutip Rabinowitz et al. Computer-


7
assisted cornea topography in keratoconus)
C.7.2. Deteksi keratokonus
Topografi kornea sering digunakan untuk mendeteksi dan menilai tingkat
keparahan keratokonus. Pada praktek klinik diagnosis keratokonus oleh topografi
kornea ditunjukkan jika terdapat tingginya kekuatan kornea sentral (Gambar 8),
perbedaan yang besar antara kekuatan apeks kornea dengan kornea perfier, serta
perbedaan kekuatan antara kedua kornea pasien.
Topografi kornea dapat mendeteksi keratokonus awal yang tidak
menunjukkan manifestasi klinik sebagai keratokonus (keratokonus subklinik).
Topografi kornea tidak dapat dijadikan dasar diagnosis definitif karena penyakit
lain, seperti kelainan kornea akibat penggunaan lensa kontak dapat tampil sebagai
keratokonus. Tidak ada riwayat penggunaan lensa kontak, penipisan lapisan stroma,
dan tanda klinik untuk mengkonfirmasi keratokonus.
Beberapa parameter dapat digunakan sebagai dasar diagnosis keratokonus
secara topografik. Kornea sentral yang curam dengan kekuatan lebih dari 45 D,
indeks asimetri inferior-superior lebih dari 1,2 D, dan astigmatisma iregular dengan
6,7
indeks tinggi, mengindikasikan diagnosis topografik keratokonus.

Gambar 8. Topografi keratokonus (dikutip dari Guilermo Simon et al,


3
Fundamental of topography)
C.7.3. Topografi Kornea pada Fitting Lensa Kontak RGP
Fitting lensa kontak suboptimal memberikan rasa tidak nyaman, penglihatan
yang tidak baik, perubahan fisiologis, hingga rasa tidak ingin menggunakan lensa
kontak. Pemilihan base curve (BC) awal didasarkan pada kurvatura sentral kornea,
seperti yang diukur oleh keratometri. Topografer telah menjadi alat yang penting
untuk fitting lensa kontak bagi banyak praktisi. Alat ini memungkinkan untuk
menilai lebih detil bentuk kornea dan pengaruhnya terhadap penglihatan karena
kornea merupakan komponen refraksi mayor. Pengukuran bentuk kornea secara
akurat penting untuk memahami karakteristik optik dari setiap individu dan saat
fitting lensa kontak. Variasi bentuk kornea memiliki dampak penting terhadap
kualitas optik. Tujuan utama dari topografi kornea pre-fitting RGP adalah untuk
menilai bentuk kornea semaksimal mungkin tanpa menyebabkan kerusakan atau
perubahan pada permukaan okular. Aplikasi fitting lensa kontak RGP dengan
panduan topografi telah dilakukan pada kasus keratokonus, paska LASIK, paska
keratoplasti, dan bentuk permukaan iregular kornea lainnya dengan keberhasilan
dan efisiensi yang cukup memuaskan. Topografi kornea pada fitting lensa kontak
RGP dapat membantu mengurangi waktu pemeriksaan serta rasa ketidaknyamanan
1,2,8
pasien.
Pemeriksaan topografi kornea pada fitting lensa kontak digunakan dalam
penetuan beberapa parameter:
a. Menentukan diameter lensa
Topografi kornea dapat memberikan informasi mengenai visible iris diameter
(VID) yang akurat. Beberapa alat secara otomatis mengukur VID dengan
membandingkan perubahan densitas pixel pada tampilan kornea. Beberapa alat
lainnya membutuhkan pengukuran manual white-to white. Diameter lensa terbaik
dihitung berdasarkan pengukuran VID. Diameter kornea sebesar 11-12 mm
horisontal dan 10-11 mm vertikal. Diameter lensa kontak RGP terbaik diukur
1,2,8
dengan cara mengurangi diameter kornea sebanyak 2.0 mm.
b.   Menentukan base curve radius
Base curve lensa kontak RGP dapat dihitung berdasarkan keratometri. Mesin
topografer modern yang ada saat ini dapat memberikan data dari seluruh permukaan
kornea. Salah satu keuntungan dari perangkat lunak fitting topografi adalah
informasi tentang profil lapisan air mata di seluruh meridian dan dapat menjadi
panduan untuk menghitung apical clearance secara spesifik (Gambar 9). Apical
clearance adalah jarak antara permukaan posterior lensa kontak dan apeks kornea.
Radius base 8 curve (BCR) yang dipilih seharusnya dapat membentuk apical
clearance antara 20-30 µm. Hubungan base curve dan kurvatura kornea disebut
1,2,8
dengan K.

Gambar 9. Perangkat lunak fitting topografer. Panah biru menunjukkan


apical clearance. Panah merah menunjukkan posisi lensa terhadap meridian
horisontal. Panah hijau menunjukkan posisi jarak tepi lensa terhadap
permukaan kornea (dikutip dari Guilermo Simon et al, Fundamental of
3
topography)

c. Menentukan posisi
Bentuk fitting lensa kontak RGP pada umumnya adalah apical alignment fit, dimana
sisi atas lensa kontak menyentuh kelopak mata atas. Posisi ini membuat lensa
kontak bergerak pada saat berkedip, meningkatkan pergerakan air mata, dan
mengurangi sensasi lensa karena kelopak mata tidak menggesek ujung lensa saat
berkedip. Fitting sentral (interpalpebral) didapatkan ketika lensa terletak antara
kelopak mata atas dan bawah. Untuk mendapatkan fitting ini, lensa yang diberikan
lebih curam dibandingkan dengan K untuk mengurangi pergerakan lensa dan
menjaga lensa tetap berada di tengah kornea. Pada tipe ini, diameter lensa lebih
kecil dibanding apical alignment fit (on K), base curve lebih curam dibanding K,
1,2,8
dan ujung lensa lebih tipis.
BAB III
KESIMPULAN

Topografi kornea merupakan suatu cara untuk mengevaluasi struktur kornea


mata. Terdapat 3 instrumen untuk menilai topografi kornea, yaitu keratometri,
keratoskop, dan yang paling modern adalah videokeratoskop. Topografer kornea
bekerja dengan menggunakan 3 prinsip umum yaitu refleksi cakram placido, slit
scanning, dan Scheimpflug. Pemeriksaan ini diindikasikan pada beberapa keadaan
abnormalitas kornea, seperti astigmatisma, keratokonus, dan pemeriksaan pre dan
post operasi bedah refraktif.
Keratometri mengukur radius kurvatura kornea sentral (dalam mm) dan
mengkonversinya menjadi kekuatan refraksi kornea (dalam dioptri). Keratoskopi
mengevaluasi refleksi cahaya pada permukaan kornea secara kualitatif. Target
berbentuk placido disc yang terdiri dari cincin-cincin konsentris diproyeksikan ke
permukaan kornea. Gambaran distorsi elips menunjukkan adanya abnormalitas.
Pola cincin yang saling berhimpitan didapatkan pada permukaan kornea yang
memiliki kekuatan refraktif lebih besar. Computerized videokeratoscopy dapat
menganalisa area kornea yang lebih luas dengan jumlah titik target yang lebih
banyak, serta data hasil pemeriksaan dapat disimpan. Sistem digital computer akan
mengolah informasi mengenai bentuk kornea dalam bentuk data peta warna, dengan
kode-kode tertentu. Setiap peta topografi memiliki skala warna yang menandakan
rentang dioptri tertentu. Area kornea yang lebih datar (flatter) berwarna biru,
sedangkan area yang lebih curam (steeper) berwarna merah.
Astigmatisma dapat dievaluasi dengan melihat gambaran topografi kornea.
Arah dan bentuk bow tie pada peta topografi dapat mengarah pada jenis
astigmatisma tertentu. Kasus keratokonus juga dapat dideteksi dengan topografi
kornea. Penderita keratokonus memiliki indeks asimetri superior-inferior lebih dari
1,2D dan gambaran steepening di kornea inferior pada pemeriksaan topografi.
DAFTAR PUSTAKA

1.   Simon GL, Castellvi S, Simon JM, Siom C. Fundamentals on corneal


topography. Dalam: Textbook on corneal topography, including pentacal
nd
and anterior segment OCT. 2 ed. New Delhi: Jaypee Brothers Medical
Publishers; 2010.p3-29
2.   American Academy of Ophthalmology. Clinical Optics. Basic and Clinical
Science Course. Section 3. San Fransisco: American Academy of
Ophthalmology; 2016-2017
3.   Boyd BF, Boyd S. Preoperative considerations. Dalam: Wavefront analysis,
aberrometers and corneal topography. Panama: Highlight of
ophthalmology international; 2003.p15-21
4.   G Myrynmae. Corneal topography. [internet] 2016. [cited 2017 Sept 28].
Available from https://eandv.biomedcentral.com/articles/10.1186/s40662-
016-0036-8
5.   Sinjab M. Instruments measuring the corneal surface. India: Jaypee
Brothers Medical Publishers; 2010.p 1-9
6.   Cavas-Martínez F, De la Cruz Sánchez E, Nieto Martinez J, Cañavate FJF,
Fernández-Pacheco DG. Corneal topography in keratoconus: state of the art.
Eye and Vision 2016;3(5):1-12
7.   YS Rabinowitz, PJ Mc Donnell. Computer-assisted corneal topography in
keratoconus. Refracr corneal surg. 1989; 5(6):400-8
8.   Young G. Rigid lens design and fitting. Dalam: Efron N, ed. Contact Lens
Practice. 3rd ed. Brisbane: Elsevier; 2013.hlm.143-55
PEMILIHAN LENSA KACAMATA
DAFTAR ISI

Daftar Isi .......................................................................................................................................1


Daftar Gambar .............................................................................................................................2
Daftar Tabel .................................................................................................................................3
BAB I. Pendahuluan ...................................................................................................................4
BAB II. Lensa Kacamata ..........................................................................................................5
2.1. Kelainan Refraksi dan Koreksi ........................................................................5
2.1.1. Kelainan Refraksi ...................................................................................5
2.1.2. Koreksi Kelainan Refraksi ....................................................................7
2.2. Jenis-Jenis Lensa Kacamata .............................................................................9
2.2.1. Lensa Spheris ....................................................................................... 10
2.2.2. Lensa Silindris ..................................................................................... 12
2.2.3. Lensa Aspheris .................................................................................... 12
2.1.4. Lensa Sphenosilindris ......................................................................... 13
2.3. Material Lensa Kacamata .............................................................................. 14
2.3.1. Kaca........................................................................................................ 15
2.3.2. Bahan Plastik ......................................................................................... 17
2.4. Jenis Lensa untuk Koreksi Presbiopia ......................................................... 22
2.3.1. Lensa Bifocals...................................................................................... 23
2.3.2. Lensa Trifocals .................................................................................... 24
2.3.3. Varifocals/Progressive Addition Lenses (PALs)............................. 25
BAB III. Pelapisan Permukaan Lensa dan Perawatannya .................................................. 27
3.1. Pelapisan Permukaan Lensa ........................................................................... 27
3.1.1. Pelapisan Anti Refleksi .............................................................................. 25
3.1.2. Pelapisan Anti Gores .................................................................................. 28
3.1.3. Pelapisan Proteksi Sinar UV...................................................................... 28
3.1.4. Pelapisan Anti Embun ................................................................................ 29
3.1.5. Photochromic ................................................................................................ 28
3.1.6. Lensa Berwarna ........................................................................................... 31
3.1.7. Pelapisan Cermin......................................................................................... 32
3.2. Edukasi Perawatan Kacamata yang Baik .................................................... 33
BAB IV. Pemilihan Lensa ...................................................................................................... 34
BAB V. Ringkasan ................................................................................................................... 37
Daftar Pustaka ........................................................................................................................... 38

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Gambaran kelainan refraksi pada miopia, hiperopia/hipermetropia, astigmatisma


6
Gambar 2. Gambaran skematik pada mata presbiopia ...........................................................6
Gambar 3. Kacamata...................................................................................................................8
Gambar 4. Lensa kontak.............................................................................................................8
Gambar 5. Bedah refraktif .........................................................................................................9
Gambar 6. Berbagai tipe lensa................................................................................................ 10
Gambar 7. Prisma pada lensa konveks dan konkaf ............................................................. 11
Gambar 8. Lensa Silindris Positif dan Negatif ..................................................................... 12
Gambar 9. Lensa Biconvex Aspheris ..................................................................................... 13
Gambar 10. Perbedaan Lensa Spheris dan Aspheris ........................................................... 13
Gambar 11. Permukaan Torus ................................................................................................ 14
Gambar 12. Crown Glass ........................................................................................................ 15
Gambar 13. Perbedaan lensa bahan standar plastik dan lensa high-index ....................... 16
Gambar 14. Perbandingan indeks refraksi dan ketebalan lensa pada bahan material high-index
16
Gambar 15. Perbandingan CR-39 dan polikarbonat............................................................ 20
Gambar 16. Lensa one-piece bifocals ................................................................................... 24
Gambar 17. Lensa fused-bifocals ........................................................................................... 24
Gambar 18. Hard design PALs dan Soft design PALs ....................................................... 26
Gambar 19. Perbedaan penglihatan pada lensa tanpa pelapis anti refleksi dan lensa dengan
pelapis anti refleksi .................................................................................................................. 27
Gambar 20. Perbedaan penglihatan pada lensa tanpa pelapisan anti gores dan lensa dengan
pelapisan anti gores .................................................................................................................. 28
Gambar 21. Perbandingan penglihatan pada lensa tanpa pelapisan proteksi sinar ultraviolet
dan lensa dengan pelapisan sinar ultraviolet ........................................................................ 29
Gambar 22. Perbandingan penglihatan pada lensa dengan pelapisan anti embun dan lensa
tanpa pelapisan anti embun ..................................................................................................... 29
Gambar 23. Produk pelapisan anti embun (Anti-Fog Cleaner) yang ada di pasaran .. 30
Gambar 24. Lensa Photochromic........................................................................................... 30
Gambar 25. Varian pelapisan warna...................................................................................... 31
Gambar 26. Pelapisan warna pada kacamata olahraga ....................................................... 31
Gambar 27. Pelapisan cermin (mirror coating) pada kacamata ........................................ 32
Gambar 28. Pelapisan permukaan lensa................................................................................ 32

DAFTAR TABEL
Tabel 1. Perbandingan material lensa kacamata .................................................................. 22
Tabel 2. Panduan pemilihan lensa kacamata ........................................................................ 35
BAB I
PENDAHULUAN

Kelainan refraksi seperti miopia, hipermetropia, astigmatisma, dan presbiopia

seringkali ditemukan dalam praktek sehari-hari. Kelainan refraksi tersebut dapat dikoreksi

dengan menggunakan beberapa modalitas seperti kacamata, lensa kontak, atau prosedur bedah

refraktif. Kacamata merupakan koreksi kelainan refraksi yang paling aman dan sederhana.

Pemilihan kacamata yang tidak tepat membuat pemakai tidak nyaman, untuk itu perlu
1,2
memahami jenis dan pilihan lensa dengan baik.

Kacamata pertama yang dapat dipakai ditemukan sekitar tahun 1284 di Italia. Penemu

kacamata ini adalah Salvino D’Armate. Kacamata pertama kali hanya dapat digunakan untuk

memperbaiki hiperopia dan presbiopia. Kemudian sekitar tahun 1400-an kacamata untuk
3
miopia mulai muncul.

Saat ini berkembang bermacam jenis material lensa kacamata untuk koreksi kelainan

refraksi. Ketika membeli kacamata, mempertimbangkan jenis frame yang dipilih merupakan

hal yang penting karena berkaitan dengan penampilan dan kenyamanan pemakainya. Namun

lensa kacamata yang dipilih mempengaruhi empat hal yaitu tajam penglihatan, keselamatan,
4
kenyamanan pasien , dan faktor penampilan pemakainya.

Kesalahan yang sering dilakukan saat membeli kacamata adalah pemakai kacamata

tidak mempunyai cukup waktu untuk memilih lensa dengan mempertimbangkan material

lensa, desain, dan coating/pelapisan. Pada tinjauan pustaka ini akan dibahas tentang lensa

kacamata meliputi material pembuatan lensa kacamata, sifat lensa kacamata, jenis-jenis lensa

kacamata, dan proses pelapisan/coating serta perawatan permukaan lensa kacamata sehingga

diharapkan dapat membantu dalam pemilihan lensa kacamata.


BAB II.
LENSA KACAMATA

2.1. Kelainan Refraksi dan Koreksi

Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan sebanyak 153 juta orang di seluruh

dunia mengalami gangguan penglihatan akibat kelainan refraksi yang tidak terkoreksi, yaitu
1
sebesar 43% dari keseluruhan penyebab gangguan penglihatan (visual impairment) global.

2.1.1. Kelainan Refraksi

Terdapat empat jenis kelainan refraksi yang paling sering ditemukan yaitu :

5.   Miopia

Disebut juga sebagai rabun jauh. Pada keadaan ini, mata akan sulit memfokuskan bayangan

benda yang terletak jauh diakibatkan bola mata yang panjang atau kekuatan bias kornea/lensa

yang terlalu kuat (terlalu cembung). Bayangan benda akan terletak pada fokus di depan
1,5
retina.

nn.   Hipermetropia

Disebut juga rabun dekat. Pada keadaan ini, mata akan sulit memfokuskan bayangan benda

yang terletak dekat dengan mata. Umumnya keadaan ini disebabkan bola mata yang terlalu

pendek atau kekuatan bias kornea/lensa yang terlalu lemah (kurang cembung). Pada
1,5
hipermetropia sinar sejajar difokuskan di belakang makula lutea.

4.   Astigmatisma

Astigmatisma adalah kelainan refraksi akibat kelainan kecembungan kornea atau lensa. Kornea

dan lensa, dalam keadaan normal, memiliki kecembungan yang sama pada semua arah,

sehingga membantu untuk memfokuskan cahaya ke retina. Namun apabila kornea atau lensa

terdapat kelainan kecembungan yang berbeda di permukaannya maka sinar akan terbagi

menjadi dua titik fokus dan tidak terletak tepat pada retina dan menghasilkan gambaran benda
1,5
yang berbayang dan tidak tajam.
6
Gambar 1. Gambaran kelainan refraksi pada miopia, hiperopia/hipermetropia, astigmatisma.

c.   Presbiopia

Disebut juga dengan istilah “mata tua”, merupakan suatu kondisi hilang atau berkurangnya

kemampuan mata untuk membaca dekat, terkait dengan pertambahan usia dan merupakan

perubahan yang bersifat alamiah. Kondisi ini terjadi karena berkurangnya kemampuan

akomodasi sebagai akibat berkurangnya elastisitas lensa. Presbiopia umumnya mulai terjadi

sejak usia 40 tahun.

7
Gambar 2. Gambaran skematik pada mata presbiopia.

Gejala yang paling sering ditemukan pada kelainan refraksi adalah pandangan kabur, yang

umumnya terjadi secara perlahan dalam kurun waktu tertentu. Gejala lain yang dapat
dialami antara lain adalah pandangan ganda, berkabut, silau atau berpendar, memicingkan
1
mata, sakit kepala, serta mata lelah.

Kelainan refraksi dapat dialami oleh semua orang, baik anak maupun dewasa. Salah satu

faktor risiko kejadian kelainan refraksi adalah riwayat serupa pada keluarga, terutama pada

orang tua. Kelainan refraksi dapat dideteksi melalui pemeriksaan mata secara menyeluruh

kemudian dikoreksi kelainan refraksinya dengan alat bantu penglihatan yang sesuai. Koreksi

kelainan refraksi meliputi koreksi optik yaitu dengan kacamata dan lensa kontak, dan koreksi
1
non optik yaitu dengan bedah refraktif.

2.1.2. Koreksi Kelainan Refraksi

Modalitas untuk mengoreksi kelainan refraksi dapat dengan menggunakan kacamata,

lensa kontak, atau bedah refraktif.

13.   Kacamata

Kacamata merupakan koreksi kelainan refraksi yang paling aman dan sederhana

sehingga lebih banyak digunakan. Jenis lensa dan besar koreksi yang diberikan akan

disesuaikan dengan hasil pemeriksaan. Keuntungan pemakaian kacamata adalah mudah

digunakan, adanya berbagai pilihan lensa dan bingkai kacamata yang nyaman untuk

pemakainya. Kacamata juga dapat melindungi mata pemakainya dari debu, kotoran, atau

serangga. Berbagai pilihan desain, jenis lensa, maupun pelapisnya/coating membuat pemakai

memiliki banyak pilihan yang disesuaikan dengan kebutuhan dan aktivitas pemakai.

Kekurangan dari kacamata adalah pada ukuran dioptri tinggi dapat menyebabkan pemakai

tidak nyaman karena lensa tebal dan berat. Lensa kacamata juga mudah berembun ketika
1,4,5
pemakai pindah dari ruangan yang dingin ke ruangan yang hangat.
1
Gambar 3. Kacamata

h.   Lensa kontak

Lensa kontak merupakan alternatif dari kacamata. Lensa kontak dapat memberikan

koreksi penglihatan dengan lapang pandang lebih luas. Penggunaan lensa kontak relatif aman

dan efektif apabila dilakukan fitting yang baik sebelumnya dan digunakan sesuai anjuran.

Keuntungan pemakaian lensa kontak adalah penglihatan samping tidak terhalang dengan batas

kacamata, lensa kontak tidak berembun, dan perbedaan kelainan refraksi mata kanan dan kiri

dapat dengan mudah dikoreksi. Kekurangan dari lensa kontak adalah apabila dipakai dalam

waktu yang lama dapat mengganggu suplai oksigen ke kornea. Lensa kontak juga

membutuhkan perawatan yang lebih teliti daripada kacamata karena perawatan yang tidak tepat
1
dapat menyebabkan infeksi.

1
Gambar 4. Lensa kontak

14.   Bedah Refraksi

Bedah refraksi dengan laser untuk mengoreksi kelainan refraksi telah berkembang selama

20 tahun. Bedah refraksi terdiri dari : Femto-LASIK, LASIK (laser in situ keratomileusis),

LASEK (laser-assisted subepithelial keratectomy), PRK (photorefractive keratectomy), dan

metode terbaru adalah metode ReLEx smile. Keuntungan dari bedah refraksi adalah pasien

dengan kelainan refraksi tidak memerlukan kacamata kembali setelah


operasi. Laser bedah refraksi ini merupakan operasi dengan risiko rendah apabila dikerjakan

oleh dokter yang berpengalaman. Kekurangan dari modalitas ini adalah laser bedah refraksi

merupakan tindakan invasif yang dilakukan pada organ yang seha. Efek samping dari laser

bedah refraksi ini adalah mata kering yang dapat bertahan hingga 12 minggu paska operasi.

Terdapat kemungkinan bahwa kelainan refraksi pada pasien tidak dapat dikoreksi seluruhnya
1
sehingga masih dibutuhkan pemakaian kacamata kembali.

8
Gambar 5. Bedah refraktif.

2.2. Jenis-Jenis Lensa Kacamata

Lensa kacamata merupakan bagian terpenting dari kacamata. Lensa terbentuk dari dua

buah prisma yang diletakkan basis ke basis (konveks) atau puncak ke puncak (konkaf).

Berdasarkan prinsip tersebut, dapat dikatakan bahwa lensa merupakan media transparan yang

terbuat dari kaca dimana satu atau kedua permukaannya dilengkungkan. Pada dasarnya

terdapat dua jenis lensa yaitu lensa spheris dan lensa silindris. Seiring dengan perkembangan

teknologi, jenis lensa berkembang menjadi lensa spheris, lensa silindris, lensa aspheris, dan
2,9
lensa sphenosilindris.
2.2.1. Lensa Spheris

Disebut lensa spheris karena permukaannya melengkung seperti lengkungan pada bola

(sphere). Lensa ini merefraksikan cahaya ke semua meridian. Lensa spheris dibagi menjadi
9
dua jenis yaitu konveks dan konkaf. Jenis-jenis lensa ini adalah :

15.   Plano-convex

16.   Biconvex

17.   Concavo-convex

18.   Plano-concave

19.   Biconcave

20.   Convexo-concave

9
Gambar 6. Berbagai tipe lensa.

Lensa spheris konveks terbentuk dari prisma dimana basis terletak di sentral dan

puncaknya menyebar ke arah tepi sehingga lensa terlihat tebal di sentral dan tipis di tepi. Lensa

spheris konveks disebut sebagai lensa yang mencembung, mempunyai sifat memperbesar,

positif atau lensa plus yang diberi tanda +. Lensa ini memiliki kekuatan
9
mengkonvergensikan/memfokuskan cahaya paralel dan membawanya ke titik fokus.
9
Gambar 7. Prisma pada lensa konveks dankonkaf.

9
Lensa konveks memiliki tiga macam tipe :

c.   Plano-convex : satu permukaan datar sedangkan permukaan lain konveks.

d.   Biconvex atau double convex : dimana kedua permukaannya konveks.

e.   Concavo-convex atau convex meniscus : dimana satu permukaan konveks dan permukaan

lain konkaf, dimana permukaan yang terakhir memiliki radius kurvatura yang lebih

panjang dibandingkan dengan kurvatura sebelumnya. Lensa ini juga disebut sebagai

lensa konveks periskopik, meskipun lensanya plus atau minus. Lensa ini mengurangi

aberasi sferis dan memperluas lapang pandang.

Lensa spheris konkaf dibentuk dengan kedua puncak berada di sentral. Lensa ini tipis

pada bagian sentral dan tebal pada bagian tepi. Lensa ini dikenal sebagai mendivergensikan

(menyebarkan cahaya), bersifat mengurangi, minus atau lensa negatif dengan tanda (-). Lensa
9
konkaf terdiri dari 3 tipe :

9.   Plano-concave : satu permukaan datar sedangkan permukaan lainnya konkaf.

10.   Biconcave atau double concave : dimana kedua permukaan adalah konkaf.

11.   Convexo-concave atau concave meniscus : dimana satu permukaan adalah konveks dan

permukaan lain adalah konkaf, yang terakhir memiliki radius kurvatura yang lebih

pendek dibandingkan sebelumnya.

Kekuatan lensa dilambangkan dengan D (dioptri). Lambang yang mudah diingat ini

menunjukkan panjang lensa dari vertex belakang ke fokus prinsipal kedua yang disebut
panjang vertex belakang fokal. Kekuatan lensa diperoleh dengan membagi panjang vertex
9
belakang fokal dalam milimeter dengan 1000.

D = 1000/F (Dioptri = 1000/Panjang fokal)

2.2.2. Lensa Silindris

Lensa silindris merupakan suatu lensa yang memfokuskan cahaya ke suatu garis/bidang

bukan ke sebuah titik, seperti kinerja lensa spheris. Permukaan yang melengkung dari lensa

silindris ini merupakan bagian dari sebuah silinder, dan lensa ini memfokuskan bayangan yang

melewatinya menuju suatu garis yang paralel terhadap permukaan lensa. Lensa silindris meng-

kompres bayangan dengan arah perpendicular terhadap garis sehingga bayangan terletak pada
9
bidang yang paralel.

10
Gambar 8. Lensa Silindris Positif dan Negatif.

2.2.3. Lensa Aspheris

Kemajuan teknologi di bidang desain optik telah menghasilkan lensa kacamata aspheris

yang dibuat dengan kelengkungan lebih mendatar daripada lensa spheris, sehingga

menghasilkan lensa yang lebih tipis. Lensa spheris mempunyai bentuk permukaan spheris yang

berarti kelengkungannya selalu sama pada semua permukaannya, sama seperti sebuah bola.

Sedangkan lensa aspheris mempunyai permukaan yang lebih kompleks yaitu memiliki
perbedaan kelengkungan yang secara bertahap berubah dari bagian tengah lensa hingga ke
11,12
tepi.

12
Gambar 9. Lensa Biconvex Aspheris.

Lensa aspheris mempunyai kelengkungan yang lebih rata daripada lensa konvensional

sehingga lensa ini lebih dekat dengan wajah pemakainya. Hal ini merupakan keuntungan bagi

pemakai yang memiliki kelainan refraksi dengan ukuran dioptri tinggi. Lensa aspheris juga

dapat mengurangi pembesaran/magnifikasi yang tidak diinginkan sehingga melihat objek


11
menjadi lebih natural, dan mata pemakai juga tampak lebih natural bagi yang melihat.

11
Gambar 10. Perbedaan Lensa Spheris dan Aspheris.

2.2.4. Lensa Sphenosilindris

Lensa sphenosilindris memiliki bentuk torus. Bentuk torus mirip dengan permukaan luar

ban motor atau tabung, dengan kurvatura terbesar dan terkecil bertemu. Titik pertemuan

tersebut merupakan pusat optik lensa sphenosilindris. Lensa ini digunakan sebagai alat
koreksi dua kelainan refraksi yang terdapat pada satu mata yaitu miopia/hiperopia dan
2
astigmatisma.

2
Gambar 11. Permukaan Torus.

2.3. Material Lensa Kacamata

Awal mula adanya koreksi kelainan refraksi, hanya kaca yang digunakan sebagai bahan

lensa kacamata. Namun sejak tahun 1960-an, penggunaan plastik sebagai material pembuatan

lensa kacamata telah meningkat cukup tajam. Lensa kacamata yang berkualitas adalah lensa

yang bersifat transparan, memiliki kualitas optik yang bagus, tipis, ringan, tahan gores, dan

tahan benturan. Material lensa juga harus mudah didapatkan dan memiliki biaya produksi yang
13
rendah.

Terdapat berbagai macam jenis lensa dari kaca dan plastik beserta keunggulan dan

kekurangan masing-masing. Material lensa dapat menjalani proses beragam pewarnaan dan

pelapisan. Proses tersebut ditujukan agar lensa memiliki kemampuan refraksi yang lebih baik,
lebih mudah dibersihkan, proteksi terhadap ultraviolet, meningkatkan daya tahan terhadap
13
benturan maupun untuk tujuan kosmetik.

2.3.1. Kaca

Terdapat beberapa jenis kaca yang digunakan sebagai material dalam pembuatan lensa

kacamata antara lain :

a.   Ophthalmic Crown Glass

Ophthalmic crown glass terdiri atas campuran pasir (silicon dioxida), soda (Na2O), dan

lime (CaO). Material tersebut dicampur dalam suhu tinggi sehingga membentuk kaca yang

memiliki struktur bentuk acak (random amorpheus structure). Ikatan antar atom dan ion dalam

kaca akan menciptakan ikatan yang sangat kuat. Namun, apabila terdapat cacat pada

permukaan seperti goresan akibat gesekan atau penanganan yang kasar akan membuat struktur
2,4,13
internal kaca menjadi rapuh.

Material kaca untuk lensa kacamata tersedia dalam beragam indeks refraksi. Kaca dengan

indeks refraksi 1,523 atau sering disebut dengan crown glass, merupakan jenis lensa yang

paling banyak digunakan sebagai material pembuatan lensa kacamata karena memiliki

karakteristik transparan, tidak berwarna, tahan panas, tahan goresan, dan memiliki karakteristik

optik yang baik (distorsi lensa minimal). Kaca jenis ini memiliki beberapa kekurangan yakni

indeks refraksi yang rendah dan densitas yang tinggi. Hal ini membuat lensa menjadi sangat

berat dan tebal pada dioptri yang tinggi sehingga penggunaan kaca jenis ini pada kacamata
2,4,13
mulai ditinggalkan.

13
Gambar 12. Crown Glass
b.   Kaca High Index

14
Gambar 13. Perbedaan lensa bahan standar plastik dan lensa high-index.

Material untuk kaca High Index terdiri atas oksida logam seperti titanium, lanthanum,

atau niobium untuk meningkatkan indeks refraksi. Kaca High Index memiliki kepadatan dan

dispersi kromatis yang lebih tinggi dibandingkan dengan crown glass. Peningkatan indeks

refraksi menurunkan ketebalan, namun juga membuat lensa cenderung lebih berat. Lensa yang

terbuat dari kaca High Index akan terasa lebih berat sehingga kurang nyaman digunakan bila

frame tidak tepat diposisikan pada telinga dan hidung pasien. Peningkatan dispersi kromatis

membuat aberasi kromatis harus diperhatikan pada penggunaan kaca High Index, terutama
2,4,13
dalam pembuatan lensa kacamata dengan dioptri tinggi.

Gambar 14. Perbandingan indeks refraksi dan ketebalan lensa pada bahan
15
material high-index.

Material yang paling banyak digunakan untuk lensa high index adalah titanium oxide

glass High Lite 1.7. Material lensa tersebut dapat memiliki indeks refraksi hingga 1.90. Lensa
ini tidak terdapat di Amerika Serikat karena tdak memenuhi standar dari FDA dari sisi

ketahanan terhadap benturan. Mempertimbangkan hal tersebut, tidak tepat apabila meresepkan
2,4,13
lensa high index hanya untuk alasan kosmetik.

Jenis kaca high index lain yang banyak digunakan adalah Flint Glass. Kaca ini

merupakan jenis kaca yang lebih tua dan dibuat dengan menambahkan oksida timbal pada

campuran kaca standar. Kaca ini memiliki batasan penggunaan antara lain sebagai proteksi X-

ray untuk teknisi radiologi di rumah sakit. Pada flint glass tidak dapat dilakukan proses

pelapisan (laminasi) untuk meningkatkan ketahanan terhadap benturan sehingga tidak dapat

memenuhi standar FDA. Oleh karena itu, penggunaan flint glass di Amerika harus disertai
2,4,13
peringatan bahwa kaca yang digunakan rentan pecah terhadap benturan.

2.3.2. Bahan Plastik

Material plastik untuk lensa kacamata tersusun atas polimer, molekul rantai panjang

dengan sub unit berulang. Molekul ini memiliki ikatan molekul yang banyak sehingga

membuat material plastik menjadi lebih tahan benturan maupun tarikan. Material plastik untuk

lensa kacamata terdiri atas tiga jenis yakni thermosetting plastic, thermoplastics dan
3,9,10
trivex.

a.   Thermosetting plastic

Thermosetting plastic memiliki ikatan molekul yang banyak. Yang termasuk jenis

thermosetting plastic adalah CR-39 dan seluruh material plastik high index kecuali

polikarbonat dan Trivex. Thermosetting plastic memiliki ketahanan benturan yang


3,9,10
cukup namun tidak terlalu kuat.

b.   Thermoplastic

Jenis thermoplastic ini memiliki ikatan molekul yang tidak terlalu banyak sehingga

molekul thermoplastic dapat berubah tempat dengan mudah. Sifat tersebut membuat
thermoplastic dapat dibentuk secara permanen tanpa mengakibatkan bahan

thermoplastic pecah. Contoh dari bahan thermoplastic ini adalah polikarbonat. Energi

yang diterima oleh lensa polikarbonat cenderung akan merubah bentuk lensa namun

tidak membuat lensa pecah. Kemampuan tersebut membuat lensa polikarbonat lebih

tahan terhadap benturan. Namun permukaan lensa polikarbonat sangat halus sehingga

lensa polikarbonat harus dilapisi dengan material khusus untuk membuat lensa tersebut
3,9,10
tahan terhadap goresan.

c.   Trivex

Lensa Trivex atau dikenal dengan nama lensa Trilogy, memiliki struktur molekul di

antara polikarbonat dan CR-39 sehingga dinamakan quasi-thermosetting plastic. Lensa

ini terdiri atas molekul rantai panjang dengan jumlah cross-linking intermediate. Lensa

Trivex memiliki ketahanan benturan yang sangat baik dan lebih tahan goresan
3,9,10
dibandingkan dengan lensa polikarbonat.

4,13
Jenis lensa bahan plastik yang ada saat ini adalah :

1.   Lensa Resin CR-39

Lensa resin terbuat dari resin acrylic. Lensa resin dilapisi dengan material pelapis yang

keras sehingga tahan goresan. Material resin yang banyak digunakan adalah CR-39. Huruf C

kepanjangan dari Columbia, perusahaan tempat material dikembangkan. Huruf R berarti resin,

sedangkan angka 39 merupakan urutan percobaan dimana material ini berhasil ditemukan. CR-

39 tersusun atas Allyl Diglycol Carbonate. Material ini memiliki indeks refraksi sebesar 1.498
o
dan tahan terhadap suhu hingga 100 C. Lensa resin memiliki beberapa keuntungan

4,13
dibandingkan dengan kaca antara lain :

-   Lensa resin merupakan material yang ringan karena hanya memiliki berat separuh

dari berat kaca.


-   Lensa resin lebih tahan benturan sehingga memberikan proteksi mata yang lebih baik

daripada lensa yang terbuat dari kaca.

-   Lensa resin dapat melalui proses pewarnaan. Proses pewarnaan tersebut dapat diubah

menjadi lebih gelap maupun lebih cerah pada permukaan yang bebas goresan. Resin

yang telah diwarnai dapat menjalani proses bleaching untuk kemudian diganti dengan

warna yang baru.

-   Lensa resin tersedia dalam berbagai macam tipe dan dapat menyerap sinar ultraviolet

hingga 350 nm. Apabila ditambah dengan material UV absorber, lensa resin dapat

menyerap sinar ultraviolet hingga 400nm sehingga dapat menjadi pelindung ultraviolet

bagi mata dan area sekitarnya.

-   Proses pembentukan embun pada lensa resin akibat perubahan lingkungan lebih

sedikit dibandingkan material yang terbuat dari kaca.

Meskipun memiliki beberapa kelebihan, lensa resin juga memiliki beberapa


4,13
kekurangan, yaitu :

-   Lensa resin cenderung lebih gampang tergores. Namun beberapa tindakan pencegahan

seperti pembersihan dengan air hangat mengalir dan kain lap halus akan menghindari

gesekan berlebih pada lensa sehingga menurunkan kemungkinan terbentuk goresan.

Lapisan khusus dapat ditambahkan pada lensa resin sehingga membuat lensa menjadi

lebih tahan goresan.

-   Lensa resin lebih tebal dibandingkan dengan lensa yang terbuat dari kaca. Pada

ukuran dioptri minus tinggi batas lensa resin akan terlihat sangat jelas.

Jenis lensa resin terbaru dengan indeks refraksi yang lebih tinggi (1.586, 1.60 dan 1.66)

dibandingkan CR-39 telah tersedia. Lensa ini cenderung lebih tipis, ringan, dan secara
4,13
kosmetik lebih baik dibandingkan dengan lensa CR-39.
2.   Plastik Polikarbonat

Polikarbonat merupakan jenis material plastik high index dengan indeks refraksi lebih

tinggi dibandingkan CR-39 maupun crown glass. Material ini memiliki ketahanan benturan

yang sangat baik dan telah digunakan secara luas seperti material pembuatan helm astronot

hingga material kaca telepon seluler. Polikarbonat banyak digunakan sebagai material

pembuatan lensa kacamata karena indeks refraksi yang tinggi sehingga membuat lensa menjadi

lebih ringan dan tipis serta ketahanan benturan sehingga dapat memberikan proteksi yang lebih
2,4,13
baik pada mata.

Polikarbonat cenderung tidak tahan terhadap perubahan suhu. Lensa polikarbonat dapat

mengalami perubahan bentuk pada suhu ekstrim. Lensa polikarbonat dapat menahan paparan

radiasi ultraviolet hingga 400 nm. Meskipun mudah untuk dilakukan pewarnaan, lensa

polikarbonat tidak dapat menjalani pewarnaan ulang karena proses bleaching pada material

polikarbonat dapat mengakibatkan perubahan fisik permanen. Lensa polikarbonat memiliki

banyak tipe antara lain : single vision, aspheric, bifocal, trifocal dan progressive addition lenses

(PALs). Harga lensa polikarbonat cenderung tinggi karena proses pembentukan dan pelapisan
2,4,13
lensa polikarbonat memerlukan peralatan khusus.

13
Gambar 15. Perbandingan CR-39 dan polikarbonat.
3.   Material plastik Mid-index dan High-index

Material plastik mid-index dan high-index selain polikarbonat mulai banyak digunakan.

Lensa mid-index memiliki rentang indeks refraksi antara 1.53-1.59 sedangkan lensa high-index

memiliki indeks refraksi lebih dari 1.60. Indeks refraksi terbesar yang tersedia di pasaran

adalah 1.74. Lensa mid-high index kadang dibuat dengan desain aspheric dan ketebalan sentral
2,4,13
yang rendah guna mengurangi ketebalan dan berat lensa.

Lensa mid-index dan high-index yang banyak digunakan adalah lensa dengan indeks 1.60

dan 1.66. Lensa high-index memiliki beberapa kekurangan serupa dengan lensa polikarbonat

antara lain tingginya tingkat transverse chromatik abberation pada penglihatan off-axis. Lensa

mid-index merupakan perpaduan yang seimbang antara kualitas optik dan ketebalan lensa.

Contoh lensa mid-index adalah Trivex. Lensa Trivex memiliki abberasi warna yang lebih

rendah dibandingkan dengan polikarbonat dan lensa high-index lain. Pada dioptri yang sama,

trivex memiliki ketebalan yang lebih tinggi dibandingkan dengan lensa polikarbonat. Hal ini

dapat diminimalkan dengan penggunaan desain aspheric dan ketebalan sentral yang lebih kecil
2,4,13
sehingga dapat mengurangi ketebalan lensa secara signifikan pada dioptri sedang.
Tabel 1. Perbandingan Material Lensa Kacamata

2.4. Jenis Lensa untuk Koreksi Presbiopia

Lensa kacamata secara umum terdiri dari 3 tipe yaitu lensa single vision, bifocals, dan

varifocals/progressive addition lenses (PALs). Lensa single vision merupakan lensa yang

biasanya dibutuhkan oleh pasien sampai dengan usianya mencapai lebih dari 40 tahun, dimana

kelainan presbiopia muncul. Saat berusia lebih dari 40 tahun, pasien akan merasa
cukup terganggu apabila beraktivitas jarak dekat. Lensa single vision hanya dapat mengoreksi

satu kelainan refraksi saja, yaitu koreksi penglihatan jauh atau dekat. Apabila pasien

membutuhkan kedua koreksi (untuk penglihatan jauh dan dekat), akan merepotkan apabila
2,4,5,13,16
berganti dari kacamata satu dengan kacamata yang lain.

2,4,5,13,16
2.3.1. Lensa Bifocals

a.   Definisi

Merupakan bentuk lensa multifokal yang paling banyak dijumpai. Lensa bifocals berasal

dari dua lensa single vision. Satu lensa untuk melihat jauh dan satu lensa untuk melihat

dekat. Kedua lensa ini disatukan dalam satu frame lensa yang sama sehingga lensa ini

dibagi menjadi 2 bagian. Bagian atas lensa membantu untuk penglihatan jauh. Bagian

bawah membantu untuk penglihatan dekat. Terdapat dua jenis lensa bifocals yaitu one-

piece bifocals dan fused bifocals.

b.   Penggunaan

Lensa bifocals ini biasanya diresepkan untuk pasien berusia 40 tahun.

c.   Kelebihan dan kekurangan

Kelebihan :

-   Dapat untuk mengoreksi dua kelainan refraksi,

-   Tidak perlu berganti-ganti kacamata untuk melihat jauh dan dekat.

-   Hanya dapat melihat benda yang dekat dengan bagian lensa bawah (bagian untuk

melihat dekat), apabila melihat dengan bagian lensa atas akan tampak kabur,

-   Kesulitan dalam melihat atau beraktivitas jarak menengah seperti beraktivitas dengan

komputer.
2
Gambar 16. Lensa one-piece bifocals.

2
Gambar 17. Lensa fused-bifocals.

2,4,5,13,16
2.3.2. Lensa Trifocals

a.   Definisi

Lensa yang memiliki tiga fokal kekuatan. Lensa ini seperti lensa bifocals namun

memiliki segmen penglihatan sedang/intermediate yang memungkinkan pasien melihat

benda yang berjarak sepanjang lengannya. Segmen intermediate memungkinkan pasien

untuk fokus melihat objek dengan jarak lebih dari jarak membaca namun kurang dari 1

meter. Biasanya mempunyai kekuatan setengah hingga dua pertiga dari kekuatan lensa

melihat dekat/membaca.
b.   Penggunaan

Lensa bifocals ini biasanya diresepkan untuk pasien berusia 40 tahun atau lebih yang

membutuhkan aktivitas melihat jauh, sedang dan dekat.

c.   Kelebihan dan kekurangan

Kelebihan :

- Pasien yang memakai lensa trifokal tidak mempunyai masalah dalam melihat jarak

jauh, sedang, maupun dekat.

Kekurangan :

- Dari segi kosmetik kurang baik dilihat karena terdapat dua garis dalam satu lensa.

2,4,5,13,16
2.3.3. Varifocals / Progressive Addition Lenses (PALs)

a.   Definisi

Merupakan desain lensa paling modern dimana kekuatan lensa akan berubah secara

gradual/bertahap. Penglihatan jauh di bagian atas lensa, penglihatan dekat pada bagian

bawah lensa. Pada PALs terdapat 4 tipe zona optik : zona melihat jarak jauh spheris, zona

membaca, zona transisi/koridor, zona distorsi perifer. PALs terbagi menjadi 2 macam jenis

yaitu hard design PALs dan soft design PALs.

b.   Penggunaan

-   pasien dengan early presbiopia yang sebelumnya tidak memakai lensa bifokal,

-   pasien yang tidak membutuhkan lapang pandang dekat yang luas,

-   pasien yang dapat dimotivasi.

c.   Kelebihan dan Kekurangan

Kelebihan :

-   Tidak terdapat garis pada yang dapat mengganggu secara kosmetik,

-   Berkurangnya keluhan buram pada penglihatan sedang/intermediate,


-   Tidak terjadi lompatan bayangan atau diplopia yang dapat terjadi pada garis lensa,

-   PALs memberikan penglihatan yang jernih pada semua jarak pandang.

Kekurangan :
-   Dapat terjadi distorsi sehingga menyebabkan sensasi “bergoyang” saat
menggerakkan kepala.

2
Gambar 18. Hard design PALs dan Soft design PALs.
BAB III
PELAPISAN PERMUKAAN LENSA DAN PERAWATANNYA

3.1. Pelapisan Permukaan Lensa

Material lensa dapat diberi pelapisan dan pewarnaan dengan proses dan material

kimiawi tertentu untuk meningkatkan ketahanan dan kenyamanan saat digunakan. Jenis

pelapisan lensa sesuai dengan nama bahan material kimiawi yang ditambahkan. Lapisan yang

sangat tipis ditambahkan di depan dan atau di belakang permukaan lensa. Saat ini pelapisan

lensa sudah diberikan secara langsung saat lensa diproduksi dengan tujuan meningkatkan

kualitas penglihatan, kenyamanan dan keuntungan maksimal yang bisa diperoleh mata
3,13,17
pemakai.

Tujuh macam pelapisan lensa yang ada saat ini, yaitu :

3,13,17,18,19
3.1.1. Pelapisan Anti Refleksi (Anti-Reflective/AR Coating)

Gambar 19. Perbedaan penglihatan pada lensa tanpa pelapis anti


19
refleksi dan lensa dengan pelapis anti refleksi.

Pelapisan anti refleksi merupakan proses pelapisan yang sering dilakukan. Proses ini

ditujukan untuk menghilangkan atau mengurangi refleksi pada permukaan depan dan belakang

lensa sehingga dapat mempertajam penglihatan. Proses pelapisan anti refleksi dapat dilakukan

pada semua jenis lensa terutama untuk polikarbonat dan high-index, dimana kedua jenis lensa

ini akan merefleksikan lebih banyak cahaya apabila tidak diberikan pelapisan anti

refleksi3,13,17,18,19
Pemberian pelapisan anti refleksi ini dapat meningkatkan transmisi cahaya saat menyetir

di malam hari dan membantu mengurangi silau akibat sinar matahari pada pemakai lensa

photochromik. Beberapa lensa dengan anti refleksi memiliki lapisan hidrofobik dan
3,13,17,18,19
oleofobik/lipofobik, yang berarti lensa tersebut anti air dan anti minyak.

3.1.2. Pelapisan Anti Gores (Scratch-Resistance)

Gambar 20. Perbedaan penglihatan pada lensa tanpa pelapisan anti


17
gores dan lensa dengan pelapisan anti gores.

Semua jenis lensa tidak ada yang benar-benar memiliki sifat anti gores, bahkan jenis

lensa kaca. Lensa yang diberi pelapisan anti gores pada bagian depan dan belakang permukaan

lensa menjadi memiliki lapisan yang lebih keras sehingga lebih tahan terhadap goresan.

Sehingga pelapisan ini sangat menguntungkan untuk lensa kacamata pada anak-anak karena
3,13,17,19
meningkatkan durasi pakainya.

Sebagian besar lensa yang diproduksi saat ini sudah dilengkapi pelapisan anti gores saat
3,13,17,19
diproduksi, termasuk pada jenis high-index, polikarbonat, dan trivex.

3.1.3. Pelapisan Proteksi Sinar UV (UV Protection)

Pasien yang rentan terpapar sinar ultraviolet dalam waktu lama harus menggunakan lensa

yang memiliki sifat proteksi terhadap sinar ultraviolet. Lensa ideal harus dapat menyerap sinar
3,13,17,19
ultraviolet hingga hampir 100%.
Crown glass dapat menyerap radiasi ultraviolet hingga 350nm sedangkan material resin

hingga 380nm. Lapisan tambahan pada resin dapat menyerap radiasi ultraviolet hingga 400nm.

Tanpa tambahan pelapis, polikarbonat dapat menyerap hampir seluruh radiasi sinar ultraviolet.

Paparan berlebih terhadap sinar ultraviolet dapat memicu munculnya pterigium, pinguecula,
3,13,17,19
kebutaan serta kanker.

Gambar 21. Perbandingan penglihatan pada lensa tanpa pelapisan proteksi sinar
17
ultraviolet dan lensa dengan pelapisan sinar ultraviolet.

3.1.4.Pelapisan Anti Embun (Anti-Fog Coating atau Fog Free)

Gambar 22. Perbandingan penglihatan pada lensa dengan pelapisan anti


17
embun dan lensa tanpa pelapisan anti embun.

Lensa yang berembun dapat menimbulkan gangguan pada pemakainya. Lensa yang

berembun disebabkan oleh adanya tetesan-tetesan air yang terbentuk karena proses kondensasi

pada permukaan lensa ketika suhu lensa lebih dingin daripada suhu udara sekitar. Pelapisan anti
3,13,17,19
embun bekerja dengan membatasi kondensasi dari kelembaban lensa.
Saat ini terdapat produk cairan pelapis anti embun yang dapat diaplikasikan sendiri oleh

pemakainya. Pelapisan anti embun dilakukan dengan meneteskan 1 tetes cairan bernama

“Optifog activator” pada kedua permukaan lensa kemudian usap dengan menggunakan kain

mikrofiber sehingga cairan pelapis anti embun merata di seluruh permukaan lensa. Pelapisan
3,13,17,19
ini dapat menjaga lensa menjadi anti embun selama satu minggu.

17
Gambar 23. Produk pelapisan anti embun (Anti-Fog Cleaner) yang ada di pasaran.

3.1.5. Photochromic

Lensa photochromic akan menggelap secara otomatis sebagai respon terhadap sinar

matahari dan akan kembali jernih (atau mendekati jernih) ketika di dalam ruangan. Lensa

photochromic tersedia pada berbagai jenis material dan desain lensa dan sesuai digunakan

untuk orang yang tidak mau repot menggunakan dua buah kacamata yang berbeda atau pada
3,13,17,19
orang yang memiliki sensitivitas terhadap cahaya.

19
Gambar 24. Lensa Photochromic

3
3.1.6.Lensa Berwarna

Lensa kacamata yang berwarna selain dapat digunakan sebagai alat koreksi kelainan

refraksi namun juga dapat digunakan untuk fashion atau cosmetic style. Saat ini berkembang

berbagai macam pilihan pada pelapisan warna baik macam warnanya, shades, dan gradasi.
3,13,17,19

19
Gambar 25. Varian pelapisan warna

19
Gambar 26. Pelapisan warna pada kacamata olahraga

3.1.7.Pelapisan Cermin (Mirror Coating)

Pelapisan cermin berkembang dalam berbagai macam warna dan sangat reflektif.

Kacamata dengan pelapisan cermin sering dipakai saat beraktivitas luar ruangan. Lensa
dengan pelapisan cermin ini merefleksikan panas dan silau, sehingga mata pemakai merasa
3,13,17,19
lebih nyaman saat beraktivitas di luar ruang.

19
Gambar 27. Pelapisan cermin (mirror coating) pada kacamata

Saat memilih lensa dengan pelapisan cermin, harap diperhatikan bahwa lapisan ini

dapat mengelupas atau tergores jika tidak dirawat dengan baik. Hal-hal yang dapat merusak

lapisan cermin ini antara lain kebiasaan meninggalkan kacamata pada dashboard mobil

sehingga terpapar suhu yang ekstrim. Lensa yang mempunyai lapisan cermin juga dilengkapi
3,13,17,19
lapisan anti gores supaya lensa tahan lama.

19
Gambar 28. Pelapisan Lensa Kacamata
3.2. Edukasi Perawatan Kacamata yang Baik

Pelapisan anti gores terbaik sekalipun tidak dapat menjaga lensa sepenuhnya untuk

tidak tergores atau pecah. Perawatan yang baik terhadap kacamata sangat diperlukan supaya

kacamata selalu terlihat baru. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam perawatan lensa kacamata
3,13,17,19,20,21
dan kacamata adalah sebagai berikut :

1.   Selalu menggunakan kedua tangan saat memakai dan melepas kacamata.

2.   Menyimpan kacamata pada wadahnya saat tidak dipakai, atau kacamata dapat diletakkan

di permukaan datar dengan posisi gagang terbuka.

3.   Tidak meletakkan kacamata di atas kepala sebagai “bando” atau menyimpan kacamata di

dalam saku baju.

4.   Menghindarkan lensa dari semprotan parfum, hairspray, atau bahan kimia lainnya.

5.   Membersihkan lensa kacamata dengan menggunakan kain mikrofiber dan cairan

pembersih khusus lensa kacamata.

6.   Membersihkan lensa kacamata secara teratur dengan air sabun hangat (tidak mengandung

alkohol) kemudian dikeringkan dengan kain lembut/mikrofiber. Tindakan ini dapat

membuat lapisan anti gores lebih tahan lama.

7.   Mencuci kacamata dengan air yang mengalir dari keran, tidak menggunakan air panas dan

sikat karena akan merusak lapisan coating-nya. Kemudian lensa dikeringkan dengan

menggunakan kain mikrofiber menuju satu arah dan tanpa menekan lensa kacamata.

8.   Membersihkan kacamata dalam keadaan basah terutama pada lensa dengan pelapisan anti
refleksi, tidak dianjurkan membersihkan lensa tanpa membasahinya terlebih dahulu.

Pembersihan dalam keadaan kering dengan menggunakan kain dapat membuat lensa

tergores. Goresan pada lensa dengan pelapisan anti refleksi akan lebih tampak terlihat

daripada goresan pada lensa tanpa pelapisan.


BAB IV
PEMILIHAN LENSA

Pemilihan kacamata dan lensa kacamata yang tepat akan membantu pemakainya

melihat sebaik mungkin, apapun pekerjaan pemakai tersebut. Sehingga dengan memakai
4,19
kacamata maka kehidupan dan aktivitas sehari-hari menjadi lebih baik.

Pada penderita kelainan refraksi yang bekerja di depan komputer lebih dari 8 jam

sehari, biasanya akan muncul keluhan mata lelah, sakit kepala bahkan sakit pada leher,

punggung dan tulang belakang akibat dari tegangan berlebih pada mata saat melihat layar

komputer. Untuk menghindari ketidaknyamanan tersebut, disarankan memilih lensa dengan

filter cahaya biru (blue light filtering lenses). Lensa filter cahaya biru mengurangi efek dari

sinar biru, membantu mengurangi refleks mengecilkan celah mata, tidak membuat tegang

berlebih pada mata, membuat saat bekerja menjadi lebih nyaman dan lebih produktif dalam
4,19
bekerja.

Pemakai kacamata yang lebih banyak bekerja di luar ruangan disarankan melindungi

mata dari sinar ultraviolet dengan memilih lensa kacamata yang mempunyai proteksi

ultraviolet. Lensa dengan proteksi ultraviolet tidak hanya melindungi mata dari efek buruk

sinar ultraviolet namun juga melindungi kulit di sekitar mata. Apabila pekerjaan atau hobi

membuat sering beraktivitas baik di dalam maupun di luar ruangan, maka pemilihan lensa
4,19
photocromic adalah tepat karena sesuai dengan kebutuhan.

Lensa yang dapat dipilih untuk para atlit atau orang yang menghabiskan banyak waktu

pada bidang olahraga dan aktivitas luar ruangan adalah lensa dengan proteksi anti gores yang
4,19
baik, proteksi terhadap sinar UV, dan photocromic .
Tabel 2. Panduan pemilihan lensa kacamata

Tipe Lensa Kelebihan Rekomendasi untuk :


Polikarbonat - Tipis (lebih tipis - Anak-anak
daripada Trivex) - Pemakai dengan hobi
- Ringan olahraga
- Tahan benturan - Aman
- Anti gores
Trivex - Tipis - Anak-anak
- Ringan (lebih ringan - Pemakai dengan hobi
daripada Polikarbonat) olahraga
- Tahan benturan - Aman
- Anti gores
- Memiliki kejernihan
optik sentral dan perifer
- Lebih mahal daripada
Polikarbonat
Bahan plastik High Index - Ringan Individu dengan koreksi
- Tipis kelainan refraksi sedang –
- Anti gores tinggi
Progressive Addition Lenses - Membuat penglihatan - Individu berusia lebih
(PALs) menjadi natural pada dari 40 tahun
semua jarak - Anak-anak yang
- Baik dari segi kosmetik membutuhkan kacamata
bifocals
Pelapisan Anti Refleksi - Mengurangi silau - Menyetir saat malam hari
- Lensa tampak invisible - Pengguna komputer
- Mengurangi halo dan dalam jangka waktu lama
bayangan di sekitar - Memakai lensa jenis high
objek index
- Pasien paska operasi
refraksi
- Pembicara publik
Photocromic - Memblok sinar - Individu yang sensitif
ultraviolet terhadap sinar
- Secara otomatis berubah - Anak-anak
gelap dan terang ketika - Pengemudi/sopir
terkena sinar ultraviolet - Kegiatan di luar ruangan
Pelapisan Proteksi - Mengurangi silau - Menyetir di siang hari
Ultraviolet - Meningkatkan kontras - Kegiatan di luar ruangan
- Proteksi ultraviolet
maksimal
BAB V
RINGKASAN

Kacamata merupakan koreksi kelainan refraksi yang paling aman dan sederhana. Saat

ini berkembang bermacam jenis material lensa kacamata untuk koreksi kelainan refraksi. Lensa

kacamata yang dipilih mempengaruhi empat hal yaitu faktor penampilan, kenyamanan pasien,

tajam penglihatan dan keselamatan pemakainya. Kesalahan yang sering dilakukan saat

membeli kacamata adalah pemakai kacamata tidak mempunyai cukup waktu untuk memilih
1,2,4
lensa dengan mempertimbangkan material lensa, desain, dan coating/pelapisan.

Terdapat 4 macam jenis lensa yaitu lensa spheris, lensa silindris, lensa aspheris, dan

lensa sphenosilindris. Keempat jenis lensa tersebut dipilih berdasarkan kelainan refraksi pada

pemakai kacamata. Masing-masing dari jenis lensa tersebut dibagi menjadi lensa negatif dan
2,9
lensa positif.

Material lensa sangat berkembang seiring dengan kemajuan teknologi. Pada mulanya

material lensa yang dipakai sebagai lensa kacamata adalah kaca, kemudian beralih ke plastik.

Saat ini telah diproduksi dan dipakai luas material lensa jenis polikarbonat, trivex dan lensa
2,4,13
high index yang menawarkan lensa ringan dan tipis.

Bermacam-macam pelapisan permukaan atau coating lensa diproduksi saat ini.

Pelapisan lensa diberikan dengan tujuan meningkatkan kualitas penglihatan, kenyamanan, dan

keuntungan maksimal yang bisa diperoleh mata pemakai. Jenis pelapisan yang ada saat ini

adalah pelapisan anti refleksi (Anti-Reflective Coating), pelapisan anti gores (Scratch-

Resistance), pelapisan proteksi sinar ultraviolet, pelapisan anti embun (anti-fog coating atau

fog free), photochromic, lensa berwarna, pelapisan cermin (mirror coating). Masing-masing

pelapisan akan memberikan perlindungan dan kenyamanan sesuai kebutuhan


3,13,17,19
pemakainya.
DAFTAR PUSTAKA

1.   Arianti,Alia dr. Kelainan Refraksi. 2016. Diunduh dari :


http://jec.co.id/id/blog/128/kelainan-refraksi.

2.   American Academy of Ophthalmology The Eye MD Association. Clinical Optics. BSCS


Section 3. San Fransisco : American Academy of Ophthalmology ; 2014.

3.   History of Eyeglasses and Sunglasses. Diunduh dari : http://www.glasseshistory.com/

4.   Heiting OD,Gary. How to Choose The Best Lenses For Your Glasses. 2017. Diunduh
dari : http://www.allaboutvision.com/lenses/how-to-choose.htm

5.   Bhattacharryya MBBS,Bikas. Textbook of Visual Science and Clinical Optometry. New


Delhi : Jaypee Brothers Medical Publisher (P) Ltd ; 2009.

6.   Miopia(Nearsightedness). Diunduh dari : http://www.maitlandvisioncenter.com/myopia-


nearsightedness.html

7.   Presbiopia. Diunduh dari : https://id.wikipedia.org/wiki/Presbiopi

8.   Brian S.,MD. The LASIK Procedure : A Complete Guide. Diunduh dari :


http://www.allaboutvision.com/visionsurgery/lasik.htm

9.   Mukherjee PC. Optics for Optometry Student. Chapter 31. New Delhi : Jaypee Brother
Medical Publishers (P) Ltd ; 2009.

10.  Mamoun MD,Tarek. Errors of Refractions. Diunduh dari : http://www.eyescure.com

11.  Heiting OD,Gary. Aspheric Lenses for Better Vision and Appearance. Diunduh dari :
http://www.allaboutvision.com/lenses/aspheric-lenses.htm

12.  Edmund optic. All about Aspheric Lenses. Diunduh dari : http://www.edmundoptics.com

13.  Stephen,GL., Meister,DJ. Spectacle Lens Materials. 2016. Diunduh dari :


http://entokey.com/spectacle-lens-materials/

14.  Lose the weight with the 1.74 high index lenses. Diunduh dari :
http://www.brillianteyecare.com/Content/eyeglasses/lenses/essilor/174/174.aspx
15.  When to order high lenses. Diunduh dari : www.endmyopia.org/need-high-index-lenses/

16.  Spectacle Lenses. Diunduh dari :


http://www.mcleishoptometrists.com/information/further-information/spectacle-lenses-
2/spectacle-lenses-types/

17.  Heiting OD,Gary. Eyeglass Lens Coating : Anti-Reflective, Scratch-Resistant, Anti-Fog


and UV. Diunduh dari : http://www.allaboutvision.com/lenses/coating.htm

18.  Heiting OD,Gary. Anti-Reflective Coating : See Better and Look Better. Diunduh dari :
http://www.allaboutvision.com/lenses/anti-reflective.htm

19.  Wachler MD,Brian. Eyeglasses : Tips to Help You Pick the Right Lenses. Diunduh dari :
http://www.webmd.com/eye-health/eyeglasssees-eyes

20.  Optik Tunggal. Tips dan Trik Cara Merawat dan Membersihkan Kacamata. Diunduh dari :
http://www.optiktunggal.com/news/detail/tips-dan-trik-cara-merawat-dan-membersihkan-
kacamata

21.  Optik Melawai. Cara Tepat Membersihkan Kacamata. Diunduh dari :


https://www.optikmelawai.com/kacamata-lensa/cara-tepat-membersihkan-kacamata.html

22.   Heiting OD,Gary. Polycarbonate vs Trivex Eyeglass Lenses – Which Are Right For
You?. Diunduh dari : http://www.allaboutvision.com/lenses/polycarb.htm

23.   Duran MD. What is Astigmatism?. Diunduh dari : https://www.aao.org/eye-


health/diseases/what-is-astigmatism

24.   Spectacles, Contact Lenses or Laser Surgery, What’s Right For You?. Diunduh dari :
https://www.zeiss.com/vision-care/en_de/better-vision/understanding-vision/lenses-and-
solutions/spectacles-contact-lenses-or-laser-surgery-what-s-right-for-you.html

Anda mungkin juga menyukai