Anda di halaman 1dari 7

Judul Tugas : Pengaruh dan Sistem Imun Akibat Virus

Nama Kelompok : Kelompok 4


Nama Anggota Kelompok : Aninu
Nur Inayah
Nurul Namirah Ramadina
Hari/ Tanggal : Kamis, 10 Oktober 2019
Semester/Prodi : V (lima)/D.III Analis Kesehatan
Mata Kuliah : VIROLOGI

Pengaruh dan Sistem Imun Akibat Virus


Pada dasarnya, ada tiga macam strategi pertahanan tubuh:

 Barier sikal (kulit dan mukosa yang utuh) dan kimia (asam lambung)
 Respons imun alami (innate/nonspesik), misal fagositosis
 Respons imun adaptif (didapat/ spesik).

Pada se bagian besar kasus, pertahanan terhadap patogen penyerang yang merusak dapat
dilakukan oleh barier •sikal dan respons imun alami, tetapi bila tidak berhasil, respons imun adaptif akan
diaktivasi.

GARIS PERTAHANAN TUBUH PERTAMA

Kulit utuh merupakan proteksi utama yang penting dan berp eran sebagai bariersik untuk
menghentikan invasi mikroo rganisme dan substansi lain. Sekret kulit, seperti asam keringat dan asam
lemak dari kelenjar lemak, berperan dalam mengh ancurkan dan mengurangi pertumbuhan bakteri pada
per mukaan kulit. Populasi mikro!ora normal yang berkolonisasi pada permukaan kulit akan
menghambat pertumbuhan mikro organisme patogen potensial dengan cara mengompetisi ruang dan
makanan yang tersedia. Membran mukosa, seperti mukosa pencernaan, pernapasan, urinari, dan
reproduksi, berfungsi untuk melindungi tubuh dari invasi mikroorganisme asing. Urin dan sekret mukosa
akan mendorong dan mengeluarkan mikroorganisme ke arah luar tubuh. Barier kimia dilakukan, misal
oleh enzim antimikroba, lisosim, dalam pernapasan, air mata, saliva, hidung, dan asam lambung. Setiap
hari tubuh manusia dapat terkontaminasi dengan beratus-ratus bakteri yang dapat memasuki tubuh
melalui ber bagai cara, misalnya melalui konsumsi makanan, tetapi hamp ir semuanya dimatikan oleh
mekanisme pertahanan tubuh. Begitu pun tiap hari manusia mengonsumsi beratus-ratus bakteri dan
lagi-lagi hampir semuanya mati dalam saliva atau asam lambung. Dalam keadaan ini, saliva atau asam
lambung me rupakan media pertahanan tubuh. Namun, kadang-kadang satu bakteri dapat lolos dan me
nyebabkan keracunan makanan. Dalam hal ini, suatu efek yang sangat nyata dari kegagalan sistem imun,
yang dapat terlihat adalah mual dan diare, ked uanya merupakan dua gejala yang sangat umum terjadi.
Selain itu, setiap hari manusia menghirup ribuan bakteri dan virus yang ada di udara. Sistem imun
memerangi bahan patogen ini tanpa masalah. Kadang bakteri dapat mengalahkan sistem imun dan
tubuh terserang demam, !u, atau keadaan yang lebih buruk lagi. Demam atau !u merupakan suatu tanda
yang dapat terlihat dari kegagalan kerja sistem imun untuk menghentikan agen penyebab. Bila tubuh
kemudian sembuh dari demam atau !u, ini menjadi tanda bahwa sistem imun tubuh mampu
menghilangkan agen penyerang sesudah men dapatkan pengalaman dari kekalahan sebelumnya.
Sebaliknya, bila sistem imun tidak melakukan sesuatu, tubuh tidak akan sembuh dari demam atau
apapun juga.

RESPONS IMUN

Sistem imun bekerja setiap saat dengan beribu cara yang berb eda, tetapi tidak terlihat. Suatu
hal yang menyebabkan tubuh benarbenar menyadari kerja sistem imun adalah di saat sistem imun gagal
karena beberapa hal. Tubuh juga menyadari saat sistem imun bekerja dengan menimbulkan efek
samping yang dapat dilihat atau dirasakan. Contohnya, saat bagian tubuh ada yang terluka, bakteri dan
virus memasuki tubuh melalui luka. Sistem imun mengadakan respons dan menghilangkan agen
penyerang sementara bagian tubuh yang terluka menjadi sembuh. Pada kasus yang jarang terjadi,
sistem imun gagal dan luka meradang, terinfeksi, dan biasanya terisi nanah (pus). Radang dan nanah
merupakan efek samping dari kerja sistem imun. Contoh lain, saat digigit nyamuk, timbul merah,
bengkak, dan gatal. Kesemuanya ini merupakan tanda-tanda yang dapat terlihat dari kerja sistem imun.
Sistem imun merupakan kumpulan mekanisme dalam suatu mahluk hidup yang melindunginya terhadap
infeksi dengan mengidenti•kasi dan membunuh substansi patogen. Sistem ini dapat mendeteksi bahan
patogen, mulai dari virus sampai parasit dan cacing serta membedakannya dari sel dan jaringan normal.
Deteksi merupakan suatu hal yang rumit karena bahan patogen mampu beradaptasi dan melakukan
cara-cara baru untuk menginfeksi tubuh dengan sukses. Sebagai suatu organ kompleks yang disusun
oleh sel-sel spesi•k, sistem imun juga merupakan suatu sistem sirkulasi yang terpisah dari pembuluh
darah yang kesemuanya bekerja sama untuk menghilangkan infeksi dari tubuh. Organ sistem imun
terletak di seluruh tubuh, dan disebut organ limfoid. Pembuluh limfe dan kelenjar limfe merupakan
bagian dari sistem sirkulasi khusus yang membawa cairan limfe, suatu cairan transparan yang berisi sel
darah putih terutama limfosit. Kata “lymph” dalam bahasa Yunani berarti murni, aliran yang bersih,
suatu istilah yang sesuai dengan penampilan dan kegunaannya. Cairan limfe membasahi jaringan tubuh,
sementara pembuluh limf mengumpulkan cairan limfe serta membawanya kembali ke sirkulasi darah.
Kelenjar limfe berisi jala pembuluh limfe dan menyediakan media bagi sel sistem imun untuk
mempertahankan tubuh terhadap agen penyerang. Limfe juga merupakan media dan tempat bagi sel
sistem imun memerangi benda asing. Sel imun dan molekul asing memasuki kelenjar limfe melalui
pembuluh darah atau pembuluh limfe. Semua sel imun keluar dari sistem limfatik dan akhirnya kembali
ke aliran darah. Begitu berada dalam aliran darah, sel sistem imun, yaitu limfosit dibawa ke jaringan di
seluruh tubuh, bekerja sebagai suatu pusat penjagaan terhadap antigen asing.

KELAINAN RESPONS IMUN

Dapat terjadi banyak masalah dari kerja sistem imun yang keliru atau tidak diharapkan,
contohnya alergi, diabetes melitus, artritis reumatoid, penolakan jaringan transplantasi, AIDS (Acquired
Immune De!ciency Syndrome), dan tumor ganas limfoma. Alergi hanyalah merupakan kerja sistem imun
yang berlebihan terhadap suatu rangsang tertentu yang bagi orang lain tidak mengakibatkan hal
demikian. Diabetes melitus (DM) disebabkan oleh sistem imun yang secara tidak tepat menyerang sel
pankreas dan merusaknya. Penyakit radang sendi (artritis reumatoid) disebabkan oleh kerja sistem imun
yang tidak sewajarnya pada jaringan sendi. Kegagalan transplantasi organ disebabkan oleh kerja sistem
imun berlebih, dan sering kali menolak organ yang ditrans plantasikan tersebut. Pada AIDS, kelainan
fungsi imun terjadi karena sel yang bekerja dalam sistem imun berkurang baik dalam jumlah maupun
fungsinya, seperti sel makrofag dan sel T, karena kerja virus. Kelainan dalam bentuk peningkatan jumlah
dan fungsi sel-sel sistem imun, selain terjadi pada alergi dan keadaan hipersensitivitas, dapat pula
terjadi pada tumor ganas, misalnya limfoma. Ada beberapa penyakit yang ditandai dengan de•siensi
sistem imun. Contohnya, AIDS yang disebabkan oleh HIV (Human Immunode!ciency Virus), yang
menurunkan mekan isme pertahanan imun hospes oleh adanya infeksi oleh virus ini dan perubahan sel-
sel kunci sistem imun. Makrofag adalah sasaran utama, virus hidup dan memperbanyak diri dalam
makrofag. Virus menghentikan aktivitas makrofag tetapi tidak membunuhnya. Di samping itu, virus
menginvasi sel T-helper secara langsung atau melalui makrofag yang terinfeksi. Sel T-helper secara
normal mengaktivasi sistem imun termasuk makrofag. Sel T-helper yang terinfeksi akan terbunuh,
sehingga tidak dapat memberi sinyal kepada makrofag untuk memerangi infeksi tertentu. Makrofag
yang terinfeksi tidak akan berfungsi wajar untuk memerangi penyakit, sekalipun sel-sel makrofag ini
diberi sinyal oleh sel T-helper. Akibatnya, penderita menjadi peka terhadap organisme yang dalam
keadaan normal tidak pernah menimbulkan penyakit (patogen oportunistik). Pneumocystis Carinii,
meningitis, sarkoma Kaposi dan kandi diasis merupakan tanda utama AIDS. Virus dapat hidup laten
dalam hospes selama beberapa tahun sebelum akhirnya muncul tanda penyakit. Pengamatan terhadap
mekanisme laten AIDS menunjukkan bahwa AIDS teraktivasi hanya bila tombol genetik penderita
dihilangkan. Ada penderita yang dapat membentuk substansi untuk mencegah terjadinya hal ini. Bila
bahan itu tidak dibentuk, terjadilah in feksi oportunistik dan kanker. Sekali terinfeksi, hospes menjadi
pembawa sifat (carrier) dan dapat melepas virus ke orang lain.

Virus HIV tidak dapat ditularkan secara sederhana. Penularannya adalah melalui hubungan seks,
pemakaian jarum suntik bersama, dan dari ibu yang terinfeksi ke bayi sebelum atau selama kehamilan.
Secara seksual, ditularkan melalui hubungan anal di antara homoseksual dan biseksual, yang merupakan
jumlah penderita AIDS terbesar. Dapat juga ditularkan melalui pasangan heteroseksual, seperti halnya
penyakit yang ditular kan melalui hubungan seks, dan penyakit ini berhubungan dengan klamidia,
gonore, si•lis, dan hepatitis B. Rongga mulut dapat meng indikasikan penurunan respons imun dengan
banyak manifestasi. Semua penderita yang terinfeksi HIV dengan atau tanpa manifestasi penyakit
merupakan pembawa virus. Penyakit autoimun terjadi bila sistem imun gagal untuk mengenali dirinya
sendiri. Pada keadaan ini, antibodi dibentuk melawan protein hospes yang dianggap sebagai antigen.
Kompleks antigen-antibodi akan terbentuk dan meningkatkan reaksi. Beberapa contoh penyakit
autoimun adalah penyakit artritis reumatoid, lupus eritematosis sistemik (SLE), tiroiditis, demam
reumatik, glomerulonefritis, anemia hemolitika, miastenia gravis, multipel sklerosis, dan diabetes tipe I.
Pada penyakit-penyakit ini, terjadi kekeliruan pada fungsi sistem imun, yaitu mengh ancurkan sel-sel
atau komponen sel tubuh, dengan menganggapnya sebagai antigen. Ada beberapa tipe diabetes
melitus. Pada diabetes melitus tipe I yang menyerang anak usia muda, terdapat kekurangan suplai
insulin. Tampaknya sel-sel imun menyerang pankreas dan merusak sel-sel beta yang menghasilkan
insulin. Tanpa insulin, sel-sel tidak dapat mengubah gula dalam aliran darah, merusak dinding pembuluh
darah terutama kapiler. Terjadi komplikasi, seperti penyakit jantung dan ginjal, sirkulasi yang buruk,
kebutaan dan stroke. Gejala sistemis berasal dari ket idakmampuan mereabsorpsi air sehingga terjadi
poliuria (sering kencing), sering makan (polifagia), dan haus (polidipsia). Polidipsia ini dapat
menyebabkan mulut kering dan lidah terasa terbakar. Diabetes melitus tipe 2 lebih sering dijumpai pada
penderita yang lebih tua, kurang parah dibanding tipe 1 dan tidak bergantung pada insulin, karena
masih dapat dikontrol oleh diet atau obat antidiabetik. Pada artritis reumatoid, kompleks antigen-
antibodi melawan jaringan sendi, berakumulasi, dan menimbulkan respons radang. Akumulasi cairan
dan mediator kimia pada rongga sendi menghasilkan pembengkakan dan sakit. Terapi untuk melawan
radang adalah dengan menggunakan aspirin atau obat berisi aspirin untuk mengurangi pembentukan
prostaglandin. De•siensi atau abnormalitas komponen sistem imun akan membantu sel tumor untuk
menghindar dari dikenali dan dirusak oleh sel T. Sebaliknya, sistem imun dapat bereaksi berlebihan
(imunoproliferatif) dalam bentuk reaksi hipersensitivitas (alergi). Respons imun terhadap swa-antigen
(self-antigen) terjadi pada penyakit alergi dan autoimun. Antigen yang dikenal sebagai alergen dapat
menghasilkan reaksi alergi. Alergen ini dapat berupa makanan, obat, serbuk sari, debu, kosmetik,
tanaman, atau minyak tumbuhan. Penderita alergi membentuk IgE yang terikat pada baso•l dalam
darah dan sel mast dalam jaringan sekitar pembuluh darah. Ikatan IgE terhadap sel mast menyebabkan
sel ini melepas granula dalam sel yang mengandung bahan kimia histamin. Histamin melebarkan
pembuluh darah, hal ini merupakan suatu aktivitas untuk membawa sel-sel imun ke daerah jejas.
Keadaan ini menyebabkan pembengkakan dan radang yang berhubungan dengan alergi. Pada alergi
serbuk sari, granula-granula yang dilepas oleh sel mast menyebabkan bersin dan pengeluaran air mata
secara tibatiba. Pengobatannya adalah dengan antihistamin dan kortikosteroid yang diisap untuk
mengurangi radang. Respons ana•laktik dapat membahayakan hidup, menyebabkan syok dan as•ksia.
Pada ke adaan ini, epinefrin diberikan untuk melawan efek histamin.

Reaksi hipersensitivitas tipe I, II, dan III melibatkan antibodi. Tipe IV melibatkan sel- T, dan
dinamakan reaksi yang dimediator oleh sel atau reaksi tertunda karena membutuhkan waktu sebelum
sel berespons terhadap alergen. Secara tipikal, reaksi dimulai minimal 24 jam atau lebih sesudah
serangan, contohnya reaksi terhadap cairan monomer dalam mahkota selubung sementara, gigi tiruan,
dan mahkota jembatan. Penyakit yang ditandai oleh reaksi hipersensitivitas tertunda adalah
tuberkulosis dan si•lis stadium III. Penyakit yang juga disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tertunda
terhadap mikroorganisme adalah demam rematik. Berminggu-minggu sebelumnya, penderita
mengalami infeksi streptokokus hemolitikus beta yang menyerang orofaring atau kulit. Beberapa
individu terkondisi dengan reaksi hipersensitivitas tertunda terhadap organisme atau toksin-toksinnya.
Keadaan ini dapat menyerang jantung (karditis), sendi (artritis), ginjal (glomerulonefritis), kulit, dan
tempat lain disertai dengan demam. Penyakit jantung rematik menyerang endokardium dan katup.
Pada proses penyembuhannya terjadi pembentukan jaringan parut dengan kalsi•kasi. Katup mitral
dalam keadaan khusus dapat menutup (stenosis), menyebabkan aliran yang cepat pada jantung
(murmur). Meskipun demikian, kerusakan dapat berlangsung per lahan. Insu•siensi katup dan stenosis
akan menegangkan (strain) jantung selama bertahun-tahun, menyebabkan hipertro• kompensasi dan
mungkin kegagalan jantung. Penderita dengan kerusakan katup pada penyakit jantung rematik
cenderung meng alami infeksi endokarditis (SBE, = subacute bacterial endocarditis). SBE merupa kan
infeksi bakteri pada katup jantung yang seb elumnya sudah dirusak oleh anomali kongenital,
aterosklerosis, atau penyakit jantung rematik. Infeksi ini disebabkan oleh bakte riemia, menetapnya dan
bertumbuhnya bakteri (vegetasi) pada katup jantung yang sudah rusak. SBE adalah penyakit serius dan
penderitanya dapat mengalami gagal jantung serta meninggal.
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, A.K. dan Lichtman, A.H. Basic Immunology. 2004. Ed.2. Saunders. Philadelphia

Bellanti, J.A. Immunology III. 1985. Saunders. Philadelphia

Gabriel, J. 2007. The Biology of Cancer, Ed.2. John Wiley and Sons, Cornwall, England

Helbert, M. 2006. Flesh and Bones of Immunology. Mosby, Edinburg.

Newman, M.G., Takei, H.H., Carranza, F.A. Carranza’ s Clinical Periodontology. 2003. Ed.9.
Saunders. Philadelphia

Schuster, G.S.. 1993. Oral Microbiology Infectious Disease. Ed.3

Anda mungkin juga menyukai