Kapita Selekta Perdata
Kapita Selekta Perdata
Pada tanggal 24 Desember 2008 Penggugat adalah salah satu pengguna jasa atau
konsumen (Penumpang) yang dioperasionalkan Tergugat dengan rute Jakarta – Manokwari.
Dalam mengoperasionalkan pesawat, Tergugat juga mengelola/mengoprasionalkan jasa
penitipan barang bagasi bagi penumpang (Konsumen), barang bagasi penumpang (konsumen)
yang dititipkan tersebut harus diserahkan/dikembalikan kepada penumpang setibanya di tempat
tujuan, maka sejak barang dititipkan ke Tergugat sejak itu pula segala resiko terhadap barang
bagai penumpang yang menggunakan jasa Tergugat adalah menjadi tanggung jawab dan
dilimpahkan sepenuhnya kepada yang menyediakan jasa. Dalam penerbangan tersebut
Penggugat adalah pemilik barang bagasi yang berisikan:
Keesokan harinya penggugat kembali menanyakan barang bagasi mi;iknya tetapi tetap
tidak diketahui keberadaannya. Kemudain pada tertanggal 4 Januari 2009 dan tertanggal 13
januari, Penggugat telah berusaha menghubungi tergugat tetapi tidak pernah ditemukan jalan
keluarnya. Sehingga atas dasar hal-hal tersebut diatas penggugat yang dirugikan baik materiil
maupun immateriil mengajukan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum kepada Tergugat di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Putusan hakim perkara a quo memutus yang pada pokoknya dalam eksepsi; menolak
eksepsi tergugat dan dalam pokok perkara 1) mengabulkan Gugatan Penggugat untuk sebagian;
2) menyatakan tergugat telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum yang merugikan
Penggugat; 3)menghukum tergugat untuk membayar ganti rugi materiil sebesar Rp.140.000,-
(seratus empat puluh ribu rupiah) dan immaterial sebesar Rp.5.000.000; 5) Menghukum
Tergugat membayar biaya perkara sebesar Rp.161.000,- (seratus enam puluh satu ribu rupiah); 6)
Menolak gugatan Penggugat selain atau selebihnya.
ANALISA
b. Penafsiran Subsumptif
Penafsiran Subsumptif adalah dimana hakim harus menerapkan suatu teks
undang-undang terhadap Kasusu in-Konkreto, dengan belum memasuki taraf
penggunaan penalaran yang lebih rumit tetapi sekedar menerapkan sillogisme.
Dalam kasus ini Pertimbangan Hakim memutus perkara a quo kedalam
Perbuatan Melawan Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1365
KUHPerdata apabila memenuhi salah satu kriteria atau unsur sebagai berikut:
1) Perbuatan tersebut melanggar hak subyektif orang lain
2) Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku
3) Melanggar kesusilaan
4) Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian, sikap hati-hati yang seharusnya
dimiliki seseorang dalam pergaulan sesama warga.
Dalam hal ini, betitik tolak pada Doktrin dan Yurisprudensi yang terdapat
dalam putusan terkait, dalam perkembangannya suatu perbuatan dipandang
sebagai perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1365
KUHPerdata, maka cukup apabila memenuhi salah satu unsur dalam pasal
tersebut yaitu Poin Nomor dua yang berbunyi: “Bertentangan dengan
kewajiban hukum si pelaku”, dengan didasari pendapat Hakim bahwa
kelalaian Tergugat dalam mengembalikan bagasi milik Penggugat setibanya
ditempat tujuan yang mengakibatkan hilangnya bagasi milik Penggugat dapat
dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum.
1. Penyempitan Hukum
Metode Penyempitan Hukum merupakan mengkonkritkan atau menyempitkan
suatu aturan hukum yang terlalu abstrak, luas, umum agar dapat diterapkan terhadap
suatu peristiwa tertentu. Adapun bentuk penyempitan hukum yang dimaksud terhadap
perkara a quo adalah Pasal 1365 KUHPerdata yang mengatur tentang Perbuatan Melawan
Hukum yang dalam hal ini digunakan sebagai dasar aturan yang bersifat luas atau umum
sehingga dipersempit menjadi Pasal 1243 yang mengatur tentang Wanprestasi, dengan
alasan bahwa wanprestasi merupakan sebuah rangkaian menuju perbuatan melawan
hukum. Hal ini selaras dengan pertimbangan hukum yang ditetapkan oleh hakim bahwa
peristiwa yang menjadi dasar gugatan tersebut, maka dalil perbuatan melawan hukum
dalam gugatan a quo sudah tepat dan benar. Sedangkan pembelian tiket pesawat
sebagaimana didalilkan Tergugat dalam eksepsinya hanyalah merupakan rangkaian dari
Perbuatan Melawan Hukum sebagaimana didalilkan oleh Penggugat. Kemudian, Asser
Ruten, Sarjana Hukum Belanda, berpendapat bahwa tidak ada perbedaan yang hakiki
antara Perbuatan Melawan Hukum dengan wanprestasi. Menurutnya, wanprestasi bukan
hanya pelanggaran atas hak orang lain, melainkan juga merupakan gangguan terhadap
hak kebendaan. Senada dengan Ruten, Yahya Harahap berpendapat bahwa dengan
tindakan debitur dalam melaksanakan kewajiban yang tidak tepat waktu atau tidak layak,
jelas itu merupakan pelanggaran hak kreditur. Setiap pelanggaran hak orang lain berarti
merupakan Perbuatan Melawan Hukum. Dapat dikatakan pula, wanprestasi adalah
spesies, sedangkan genusnya adalah Perbuatan Melawan Hukum.