Anda di halaman 1dari 8

D.

Klasifikasi Trauma Kapitis

1. Menurut Mekanisme Trauma Kapitis

Berdasarkan Advenced Trauma Life Support (ATLS) tahun 2004, klasifikasi

berdasarkan mekanismenya, cedera kepala dibagi menjadi:

a. Cedera kepala tumpul, biasanya disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor,

jatuh ataupun terkena pukulan benda tumpul.

b. Cedera kepala tembus, biasanya disebabkan oleh luka tusukan, atau luka tembak.

2. Menurut Morfologi Trauma Kapitis

Berdasarkan morfologinya, cedera kepala dapat dibagi menjadi:

a. Fraktur Kranium

Fraktur kranium diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomisnya, dibedakan

menjadi fraktur calvaria dan fraktur basis cranii. Berdasarkan keadaan lukanya,

dibedakan menjadi fraktur terbuka yaitu fraktur dengan luka tampak telah

menembus duramater, dan fraktur tertutup yaitu fraktur dengan fragmen

tengkorak yang masih intak (Sjamsuhidajat, 2010).

b. Perdarahan Epidural

Hematom epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga tengkorak dan

gambarannya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Biasanya

terletak di area temporal atau temporo parietal yang disebabkan oleh robeknya

arteri meningea media akibat fraktur tulang tengkorak (Sjamsuhidajat, 2010).


c. Perdarahan Subdural

Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural. Robeknya

vena-vena kecil di permukaan korteks cerebri merupakan penyebab dari

perdarahan subdural. Perdarahan ini biasanya menutupi seluruh permukaan

hemisfer otak, dan kerusakan otak lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk

bila dibandingkan dengan perdarahan epidural (Sjamsuhidajat, 2010).

d. Contusio dan perdarahan intraserebral

Contusio atau luka memar adalah apabila terjadi kerusakan jaringan subkutan

dimana pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah meresap ke jaringan

sekitarnya, kulit tidak rusak, menjadi bengkak dan berwarna merah kebiruan.

Luka memar pada otak terjadi apabila otak menekan tengkorak. Contusio cerebri

sering terjadi di lobus frontal dan lobus temporal, walaupun dapat juga terjadi

pada setiap bagian dari otak. Contusio cerebri dapat terjadi dalam waktu

beberapa jam atau hari, berubah menjadi perdarahan intraserebral yang

membutuhkan tindakan operasi (Sjamsuhidajat, 2010).

e. Commotio cerebri

Commusio cerebri atau gegar otak merupakan keadaan pingsan yang

berlangsung kurang dari 10 menit setelah trauma kepala, yang tidak disertai

kerusakan jaringan otak. Pasien mungkin akan mengeluh nyeri kepala, vertigo,

mungkin muntah dan pucat (Sjamsuhidajat, 2010).

f. Fraktur basis cranii

Hanya suatu cedera kepala yang benar-benar berat yang dapat menimbulkan

fraktur pada dasar tengkorak. Penderita biasanya masuk rumah sakit dengan

kesadaran yang menurun, bahkan tidak jarang dalam keadaan koma yang dapat
berlangsung beberapa hari. Dapat tampak amnesia retrogade dan amnesia

pascatraumatik. Gejala tergantung letak frakturnya:

- Fraktur fossa anterior

Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari hidung atau kedua mata

dikelilingi lingkaran “biru” (Brill Hematom atau Racoon’s Eyes), rusaknya

Nervus Olfactorius sehingga terjadi hyposmia sampai anosmia.

- Fraktur fossa media

Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari telinga. Fraktur memecahkan

arteri carotis interna yang berjalan di dalam sinus cavernous sehingga terjadi

hubungan antara darah arteri dan darah vena (A-V shunt).

- Fraktur fossa posterior

Tampak warna kebiru-biruan di atas mastoid. Getaran fraktur dapat melintas

foramen magnum dan merusak medula oblongata sehingga penderita dapat

mati seketika (Ngoerah, 1991).

3. Menurut Derajat Beratnya Trauma Kapitis

Penilaian derajat beratnya cedera kepala dapat dilakukan dengan menggunakan

Glasgow Coma Scale (GCS). GCS yaitu suatu skala untuk menilai secara kuantitatif

tingkat kesadaran seseorang dan kelainan neurologis yang terjadi. Ada 3 aspek yang

dinilai yaitu reaksi membuka mata (eye opening), reaksi berbicara (verbal respons),

dan reaksi lengan serta tungkai (motor respons). Cedera kepala diklasifikasikan

menjadi 3 kelompok berdasarkan nilai GCS yaitu:


a. Cedera Kepala Ringan (CKR) dengan GCS > 13, tidak terdapat kelainan

berdasarkan CT scan otak, tidak memerlukan tindakan operasi, lama dirawat di

rumah sakit < 48 jam.

b. Cedera Kepala Sedang (CKS) dengan GCS 9-13, ditemukan kelainan pada CT

scan otak, memerlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial, dirawat di rumah

sakit setidaknya 48 jam.

c. Cedera Kepala Berat (CKB) bila dalam waktu > 48 jam setelah trauma, score

GCS < 9 (George, 2009).


E. Pemeriksaan pada Trauma Kapitis

Komponen utama pemeriksaan neurologis pada pasien trauma kepala sebagai berikut:

a. Bukti eksternal trauma: laserasi dan memar.

b. Tanda fraktur basis cranii: hematom periorbital bilateral, hematom pada mastoid

(tanda Battle), hematom subkonjungtiva (darah di bawah konjungtiva tanpa adanya

batas posterior, yang menunjukkan darah dari orbita yang mengalir ke depan),

keluarnya cairan serebrospinal dari hidung atau telinga (cairan jernih tidak berwarna,

positif mengandung glukosa), perdarahan dari telinga.

c. Tingkat kesadaran (GCS)

d. Pemeriksaan neurologis menyeluruh, terutama reflek pupil, untuk melihat tanda–tanda

ancaman herniasi tentorial (Ginsberg, 2007).

F. Pemeriksaan Penunjang Trauma Kapitis

a. Radiografi cranium : untuk mencari adanya fraktur, jika pasien mengalami gangguan

kesadaran sementara atau persisten setelah cedera, adanya tanda fisik eksternal yang

menunjukkan fraktur pada basis cranii fraktur fasialis, atau tanda neurologis fokal

lainnya. Fraktur kranium pada regio temporoparietal pada pasien yang tidak sadar

menunjukkan kemungkinan hematom ekstradural, yang disebabkan oleh robekan

arteri meningea media (Ginsberg, 2007).

b. CT scan kranial: segera dilakukan jika terjadi penurunan tingkat kesadaran atau jika

terdapat fraktur kranium yang disertai kebingungan, kejang, atau tanda neurologis

fokal (Ginsberg, 2007). CT scan dapat digunakan untuk melihat letak lesi, dan

kemungkinan komplikasi jangka pendek seperti hematom epidural dan hematom

subdural (Pierce & Neil, 2006).


G. Tatalaksana Trauma Kapitis

Menurut Rekomendasi Penatalaksanaan Trauma Kepala tahun 2016 apabila terdapat

kondisi di bawah ini, maka harus diberikan tatalaksana sesuai dengan kondisi masing-

masing secara lebih spesifik pada pusat layanan kesehatan yang sesuai:

a. Ada trauma multipel.

b. Dicurigai atau diketahui adanya trauma servikal.

c. Adanya gangguan neurologis sebelumnya.

d. Adanya diatesis hemoragik.

e. Trauma kepala yang disengaja.

f. Adanya kendala bahasa antara pasien/orang tua dengan dokter

g. Penyalahgunaan obat atau alkohol.

Apabila tidak ada kondisi di atas, nilai apakah penderita:

a. Terdapat kelainan pada tulang tengkorak.

b. Terdapat kelainan pada pemeriksaan mata.

c. Terdapat kelainan pada pemeriksaan neurologis

Apabila ditemukan harus segera dilakukan konsultasi dengan spesialis yang sesuai,

pemeriksaan CT scan kepala segera dan rujuk ke pusat kesehatan dengan fasilitas bedah

syaraf. Selanjutnya pertimbangan melakukan CT scan atau observasi terlebih dahulu

dapat dilihat dari algoritma di atas.

Medikamentosa

a. Dapat diberikan analgesik untuk mengurangi nyeri

b. Tatalaksana peningkatan tekanan intrakranial dan kejang (jika ada kejang)


c. Bila terdapat peningkatan tekanan intrakranial, dapat diberikan obat penurun tekanan

intrakranial seperti Manitol 20% 0,5 – 1 gram/kg tiap 8 jam atau NaCl 3% dengan

dosis inisial 2-6 ml/kgBB dilanjutkan dengan infus kontinyu 0.1-1 ml.kgBB/jam

dengan monitoring tekanan intrakranial. NaCl 3% dapat juga diberikan dengan dosis

inisial 5 ml/ kgBB dilanjutkan dengan dosis 2 ml/kgBB tiap 6 jam. Pemantauan kadar

elektrolit dan diuresis diperlukan jika pasien diberikan cairan hipertonis. Hindari /

seminimal mungkin tindakan invasif dan hal-hal yang dapat menyebabkan

peningkatan tekanan intrakranial.

d. Lakukan pemantauan klinis yang ketat selama 12-48 jam.

e. Tatalaksana demam.
DAFTAR PUSTAKA

American College of Surgeon Committee on Trauma, 2004, Cedera Kepala, Dalam :


Advanced Trauma Life Support for Doctors, Ikatan Ahli Bedah Indonesia, Penerjemah,
Edisi 7, Komisi Trauma IKABI, Hal. 167-185.
Dewanto, George. 2009. Panduan Praktis dan Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC
Ginsberg, Lionel. 2007. Lecture Notes: Neurology. Jakarta: Erlangga
Grace, Pierce A. dan Neil R. Borley. At a Glance Ilmu Bedah . Alih Bahasa dr. Vidia Umami.
Editor Amalia S. Edisi 3. Jakarta: Erlangga, 2006.
Mangunatmadja, Irawan, Setyo Handryastuti dan Msy. Rita Dewi. 2016. Rekomendasi
Penatalaksanaan Trauma Kepala. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Ngoerah I Gst.Ng.Gd. 1991. Dasar Dasar Ilmu Penyakit Saraf. Surabaya. Airlangga
University Press.
Sjamsuhidajat. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi II. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai