Anda di halaman 1dari 33

DAFTAR ISI

Hal

Kata Pengantar ....……………………………………………………………... i

Daftar Isi……………………………………………………………………………… ii

Daftar Tabel ………………………………………………………………………… iv

Daftar Gambar ……………………………………………………………….... v

BAB I. PENDAHULUAN ………………………………………………… 1

1.1 Latar Belakang ………………………………………………………… 1

1.2 Tujuan ……………………………………………………………….... 1

1.3 Definisi .................................................................................................... 2

1.4 Daftar Singkatan …………………………………………….................... 2

BAB II. PRINSIP PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA ………………………… 4

2.1 Faktor-Faktor Yang Harus Dipertimbangkan Pada Penggunaan

Antibiotika …..…………………………………………………… 4

BAB III. TATA LAKSANA PENGGUNAAN ANTIMIKROBA ............................. 7

3.1 Prinsip Penggunaan Antibiotika ................................................................. 7

3.1.1 Prinsip Penggunaan Antibiotika Bijak (Prudent) ………………………..... 7

3.1.2 Prinsip Penggunaan Antibiotika Untuk Terapi Empiris dan Definitif ….. 8

3.1.3 Prinsip Penggunaan Antibiotika Profilaksis Pembedahan ………….. 10

3.1.4 Penggunaan Antibiotika Kombinasi ………………………………….. 13

3.1.5 Pertimbangan Farmakokinetik dan Farmakodinamik Antibiotika................. 14

3.2 Penggolongan Antibiotika .................................................................. 17

3.3 Penggunaan Antibiotika .............................................................................. 26

3.3.1 Hipersensitivitas Antibiotika .................................................................. 26

3.3.2 Antibiotika Profilaksis Untuk Berbagai Kondisi Medis .............................. 27

3.3.3 Profilaksis Pada Korban Pemerkosaan ...................................................... 27


3.3.4 Pedoman Penggunaan Antibiotika Pada Kelompok Khusus .................. 28

3.3.5 Upaya Untuk Meningkatkan Mutu Penggunaan Antibiotika .................. 28

3.4 Penggunaan Antijamur .............................................................................. 32

3.5 Penggunaan Antivirus .............................................................................. 41

BAB IV. DOKUMENTASI ..........................………………………………………… 52

4.1 Penilaian Penggunaan Antibiotika Di Rumah Sakit ……….................. 52

4.1.1 Batasan ………………………………………………………………...... 52

4.2.2 Tujuan ...................................................................................................... 52

4.1.3 Penilaian Kuantitas Penggunaan Antibiotika di Rumah Sakit ....……….. 52

4.1.4 Penilaian Kualitas Penggunaan Antibiotika di Rumah Sakit ……..…… 53

4.2 Antimicrobial Stewardship Program Pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan ...... 57

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………. 59


BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang penting
terutama di negara berkembang. Obat yang digunakan secara luas untuk mengatasi
masalah tersebut adalah antimikroba yang terdiri atas antibiotika, antivirus, antijamur, dan
antiparasit. Diantara keempat obat tersebut, antibiotika adalah yang terbanyak digunakan.
Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa sekitar 40-62% antibiotika digunakan pada
penyakit yang tidak memerlukan antibiotika. Penggunaan antibiotika bukan tanpa akibat,
terutama bila tidak digunakan secara bijak.

Intensitas penggunaan antibiotika yang tinggi menimbulkan berbagai masalah baik


masalah kesehatan maupun masalah pengeluaran yang tinggi. Masalah kesehatan yang
dapat timbul akibat penggunaan antibiotika tidak rasional adalah resistensi bakteri terhadap
antibiotika, yang mempersulit penanganan penyakit infeksi karena bakteri. Resistensi tidak
hanya terjadi terhadap satu antibiotika melainkan dapat terjadi terhadap berbagai jenis
antibiotika sekaligus, seperti bakteri MRSA (Methycillin Resistant Staphylococcus
Aureus), ESBL (Extended Strain Beta Lactamase), dsb. Kesulitan penanganan akibat
resistensi bakteri terhadap berbagai antibiotika selanjutnya berakibat meningkatnya
morbiditas dan mortalitas.

Disamping antibiotika yang secara spesifik adalah antibakterial, penggunaan


antijamur juga meningkat terutama pada pasien defisiensi imun dan akibat pemberian
antibiotika lama. Penggunaan antijamur yang berlebihan dan tanpa indikasi selanjutnya
juga akan berakibat terjadi resistensi terhadap jamur terutama golongan candida. Antivirus
dan antiparasit lebih jarang digunakan tetapi tetap perlu dibuat pedoman penggunaannya
dengan baik.

1.2 Tujuan

1. Sebagai panduan bagi klinisi dalam pemilihan dan penggunaan antimikroba


secara bijak.

2. Untuk meningkatkan mutu pelayanan dan keselamatan pasien.

1.3 Definisi
 Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh agen biologi (virus,
bakteri, parasit, jamur), bukan disebabkan faktor fisik (seperti luka bakar) atau
kimia (seperti keracunan)
 Antimikroba adalah bahan-bahan/obat-obat yang digunakan untuk memberantas/
membasmi infeksi mikroba khususnya yang merugikan manusia
 Antibiotika adalah suatu senyawa kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme
yang dalam konsentrasi kecil mempunyai kemampuan menghambat atau
membunuh mikroorganisme lain
 Antijamur adalah senyawa yang digunakan untuk pengobatan penyakit yang
disebabkan oleh jamur
 Antivirus adalah senyawa yang digunakan untuk pengobatan penyakit yang
disebabkan oleh virus
 Antiparasit adalah senyawa yang digunakan untuk pengobatan penyakit yang
disebabkan oleh parasit
 Resistensi adalah kemampuan bakteri untuk menetralisir dan melemahkan daya
kerja antimikroba

1.4 Daftar Singkatan

ADRs : Adverse Drug Reactions

AIDS : Acquired Immune Deficiency Syndrome

ARV : Anti Retro Viral

ASA : American Society of Anesthesiologists

ATC : Anatomical Therapeutic Chemical

AUC : Area Under Curve

CAP : Community-Acquired Pneumonia

Clcr : Creatinine clearance

CMV : Cytomegalovirus

CVP : Central Venous Pressure

DDD : Defined Daily Doses

ESBL : Extended Spectrum Beta- Lactamase

ESO : Efek Samping Obat

G6PD : Glukosa-6-Fosfat Dehidrogenase

IDO : Infeksi Daerah Operasi

IGD : Instalasi Gawat Darurat

ILO : Infeksi Luka Operasi

KHM : Kadar Hambat Minimal


LCS : Liquor Cerebrospinalis/Likuor Serebrospinalis

MDRO : Multidrug -Resistant Organisms

MESO : Monitoring Efek Samping Obat

MIC : Minimal Inhibitory Concentration

MRSA : Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus

ODHA : Orang Dengan HIV-AIDS

PAE : Post-Antibiotic Effect

PBP : Penicillin Binding Protein

PD : Pharmacodynamic

PK : Pharmacokinetic

PPA : Pedoman Penggunaan Antimikroba

PPP : Profilaksis Pasca Pajanan

PPRA : Program Pengendalian Resistensi Antibiotika

RAST : Radio Allergosorbent Test

RCT : Randomized Controlled Trial

RPA : Rekam Pemberian Antibiotika

SPO : Standar Prosedur Operasional

TDM : Therapeutic Drug Monitoring

UDD : Unit Dose Dispensing


BAB II

RUANG LINGKUP PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA

2.1 Faktor-Faktor Yang Harus Dipertimbangkan Pada Penggunaan Antibiotika

1. Resistensi Mikroorganisme Terhadap Antibiotika

a. Resistensi adalah kemampuan bakteri untuk menetralisir dan melemahkan


daya kerja antibiotika. Hal ini dapat terjadi dengan beberapa cara, yaitu
(Drlica & Perlin, 2011):

1) Merusak antibiotika dengan enzim yang diproduksi.


2) Mengubah reseptor titik tangkap antibiotika.
3) Mengubah fisiko-kimiawi target sasaran antibiotika pada sel bakteri.
4) Antibiotika tidak dapat menembus dinding sel, akibat perubahan sifat
dinding sel bakteri.
5) Antibiotika masuk ke dalam sel bakteri, namun segera dikeluarkan dari
dalam sel melalui mekanisme transport aktif ke luar sel.
b. Satuan resistensi dinyatakan dalam satuan KHM (Kadar Hambat Minimal)
atau Minimum Inhibitory Concentration (MIC) yaitu kadar terendah
antibiotika (μg/mL) yang mampu menghambat tumbuh dan berkembangnya
bakteri. Peningkatan nilai KHM menggambarkan tahap awal menuju resisten.

c. Enzim perusak antibiotika khusus terhadap golongan beta-lactam, pertama


dikenal pada tahun 1945 dengan nama penicillinase yang ditemukan pada
Staphylococcus aureus dari pasien yang mendapat pengobatan penicillin.
Masalah serupa juga ditemukan pada pasien terinfeksi Escharichia coli yang
mendapat terapi ampicillin (Acar and Goldstein, 1998). Resistensi terhadap
golongan beta-lactam antara lain terjadi karena perubahan atau mutasi gen
penyandi protein (Penicillin Binding Protein, PBP). Ikatan obat golongan
beta- lactam pada PBP akan menghambat sintesis dinding sel bakteri
sehingga sel mengalami lisis.

d. Peningkatan kejadian resistensi bakteri terhadap antibitoik bisa terjadi dengan

2 cara, yaitu:

1) Mekanisme Selection Pressure. Jika bakteri resistens tersebut berbiak


secara duplikasi setiap 20-30 menit (untuk bakteri yang berbiak cepat),
maka dalam 1-2 hari, seseorang tersebut dipenuhi oleh bakteri resisten.
Jika seseorang terinfeksi oleh bakteri yang resisten, maka upaya
penanganan infeksi dengan antibiotika semakin sulit.
2) Penyebaran resistensi ke bakteri yang non-resisten melalui plasmid. Hal ini
dapat disebarkan antar kuman sekelompok maupun dari satu orang ke
orang lain.

e. Ada dua strategi pencegahan peningkatan bakteri resisten:

1) Untuk selection pressure dapat diatasi melalui penggunaan antibiotika


secara bijak (prudent use of antibiotics).

2) Untuk penyebaran bakteri resisten melalui plasmid dapat diatasi dengan


meningkatkan ketaatan terhadap prinsip-prinsip kewaspadaan standar
(universal precaution).

2. Faktor Farmakokinetik dan Farmakodinamik

Pemahaman mengenai sifat farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotika


sangat diperlukan untuk menetapkan jenis dan dosis antibiotika secara tepat.
Agar dapat menunjukkan aktivitasnya sebagai bakterisida ataupun bakteriostatik,
antibiotika harus memiliki beberapa sifat berikut ini:

a. Aktivitas mikrobiologi. Antibiotika harus terikat pada tempat ikatan


spesifiknya (misalnya ribosom atau ikatan penicillin pada protein).

b. Kadar antibiotika pada tempat infeksi harus cukup tinggi. Semakin tinggi
kadar antibiotika semakin banyak tempat ikatannya pada sel bakteri.

c. Antibiotika harus tetap berada pada tempat ikatannya untuk waktu yang cukup
memadai agar diperoleh efek yang adekuat.

d. Kadar hambat minimal. Kadar ini menggambarkan jumlah minimal obat yang
diperlukan untuk menghambat pertumbuhan bakteri.

Secara umum terdapat dua kelompok antibiotika berdasarkan sifat


farmakokinetiknya, yaitu;

a. Time dependent killing. Lamanya antibiotika berada dalam darah dalam kadar
diatas KHM sangat penting untuk memperkirakan outcome klinik ataupun
kesembuhan. Pada kelompok ini kadar antibiotika dalam darah di atas KHM
paling tidak selama 50% interval dosis. Contoh antibiotika yang tergolong
time dependent killing antara lain penicillin, cephalosporin, dan macrolide.
b. Concentration dependent. Semakin tinggi kadar antibiotika dalam darah
melampaui KHM maka semakin tinggi pula daya bunuhnya terhadap
bakteri.Untuk kelompok ini diperlukan rasio kadar/KHM sekitar 10.
Ini mengandung arti bahwa rejimen dosis yang dipilih haruslah memiliki
kadar dalam serum atau jaringan 10 kali lebih tinggi dari KHM. Jika gagal
mencapai kadar ini di tempat infeksi atau jaringan akan mengakibatkan
kegagalan terapi. Situasi inilah yang selanjutnya menjadi salah satu penyebab
timbulnya
resistensi.

3. Faktor Interaksi dan Efek Samping Obat


Pemberian antibiotika secara bersamaan dengan antibiotika lain, obat lain atau
makanan dapat menimbulkan efek yang tidak diharapkan. Efek dari interaksi
yang dapat terjadi cukup beragam mulai dari yang ringan seperti penurunan
absorps obat atau penundaan absorpsi hingga meningkatkan efek toksik obat
lainnya. Sebagai contoh pemberian ciprofloxacin bersama dengan teofilin dapat
meningkatkan kadar teofilin dan dapat berisiko terjadinya henti jantung atau
kerusakan otak permanen. Demikian juga pemberian doksisiklin bersama dengan
digoksin akan meningkatkan efek toksik dari digoksin yang bisa fatal bagi
pasien. Data interaksi obat antibiotika dapat dilihat pada leaflet obat antibiotika
sebelum digunakan.

4. Faktor Biaya
Antibiotika yang tersedia di Indonesia bisa dalam bentuk obat generik, obat
merek dagang, obat originator atau obat yang masih dalam lindungan hak paten
(obat paten). Harga antibiotika pun sangat beragam. Harga antibiotika dengan
kandungan yang sama bisa berbeda hingga 100 kali lebih mahal dibanding
generiknya. Apalagi untuk sediaan parenteral yang bisa 1000 kali lebih mahal
dari sediaan oral dengan kandungan yang sama. Peresepan antibiotika yang
mahal, dengan harga di luar batas kemampuan keuangan pasien akan berdampak
pada tidak terbelinya antibiotika oleh pasien, sehingga mengakibatkan terjadinya
kegagalan terapi. Setepat apapun antibiotika yang diresepkan apabila jauh dari
tingkat kemampuan keuangan pasien tentu tidak akan bermanfaat.
BAB III
TATA LAKSANA PENGGUNAAN ANTIMIKROBA

3.1 Prinsip Penggunaan Antibiotika


3.1.1 Prinsip Penggunaan Antibiotika Bijak (Prudent)
1. Penggunaan antibiotika bijak yaitu penggunaan antibiotika dengan spektrum
sempit, pada indikasi yang ketat dengan dosis yang adekuat, interval dan lama
pemberian yang tepat.
2. Kebijakan penggunaan antibiotika (antibiotic policy) ditandai dengan
pembatasan penggunaan antibiotika dan mengutamakan penggunaan antibiotika
lini pertama.
3. Pembatasan penggunaan antibiotika dapat dilakukan dengan menerapkan
pedoman penggunaan antibiotika, penerapan penggunaan antibiotika secara
terbatas (restriced), dan penerapan kewenangan dalam penggunaan antibiotika
tertentu (reserved antibiotics).
4. Indikasi ketat penggunaan antibiotika dimulai dengan menegakkan diagnosis
penyakit infeksi, menggunakan informasi klinis dan hasil pemeriksaan
laboratorium seperti mikrobiologi, serologi, dan penunjang lainnya. Antibiotika
tidak diberikan pada penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus atau penyakit
yang dapat sembuh sendiri (self-timited).
5. Pemilihan jenis antibiotika harus berdasar pada:
a. Informasi tentang spektrum kuman penyebab infeksi dan pola kepekaan
terhadap antibiotika.
b. Hasil pemeriksaan mikrobiologi atau perkiraan kuman penyebab infeksi.
c. Profil farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotika.
d. Melakukan de-eskalasi setelah mempertimbangkan hasil mikrobiologi dan
keadaan klinis pasien serta ketersediaan obat.
e. Cost effective : obat dipilih atas dasar yang paling cost effective dan aman.
6. Penerapan penggunaan antibiotika secara bijak dilakukan dengan beberapa
langkah berikut:
a. Meningkatkan pemahaman tenaga kesehatan terhadap penggunaan antibiotika
secara bijak.
b. Meningkatkan ketersediaan dan mutu fasilitas penunjang, dengan penguatan
pada laboratorium lain yang berkaitan dengan penyakit infeksi.
c. Menjamin ketersediaan tenaga kesehatan yang kompeten di bidang infeksi.
d. Mengembangkan sistem penanganan penyakit infeksi secara tim (teamwork).
e. Membentuk tim pengendali dan pemantau penggunaan antibiotika secara bijak
yang bersifat multi disiplin.
f. Memantau penggunaan antibiotika secara intensif dan berkesinambungan.
g. Menetapkan kebijakan dan pedoman penggunaan antibiotika secara lebih rinci
di tingkat nasional, rumah sakit, fasilitas pelayanan kesehatan lainnya dan
masyarakat.
3.1.2 Prinsip Penggunaan Antibiotika untuk Terapi Empiris dan Definitif
1. Antibiotika Terapi Empiris
a. Penggunaan antibiotika untuk terapi empiris adalah penggunaan antibiotika
pada kasus infeksi yang belum diketahui jenis bakteri penyebabnya.
b. Tujuan pemberian antibiotika untuk terapi empiris adalah eradikasi atau
penghambatan pertumbuhan bakteri yang diduga menjadi penyebab infeksi,
sebelum diperoleh hasil pemeriksaan mikrobiologi.
c. Indikasi
ditemukan sindroma klinis yang mengarah pada keterlibatan bakteri tertentu
yang paling sering menjadi penyebab infeksi.
1) Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotika data epidemiologi dan pola
resistensi bakteri yang tersedia di komunitas atau di rumah sakit setempat.
2) Kondisi klinis pasien.
3) Ketersediaan antibiotika.
4) Kemampuan antibiotika untuk menembus ke dalam jaringan/organ yang
terinfeksi.
5) Untuk infeksi berat yang diduga disebabkan oleh polimikroba dapat
digunakan antibiotika kombinasi.
d. Rute pemberian
antibiotika oral seharusnya menjadi pilihan pertama untuk terapi infeksi. Pada
infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan menggunakan antibiotika
parenteral (Cunha, BA., 2010).
e. Lama pemberian
antibiotika empiris diberikan untuk jangka waktu 48-72 jam. Selanjutnya
harus dilakukan evaluasi berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi klinis
pasien serta data penunjang lainnya (IFIC., 2010; Tim PPRA Kemenkes RI.,
2010).
f. Evaluasi penggunaan antibiotika empiris dapat dilakukan seperti pada tabel
berikut (Cunha, BA., 2010; IFIC., 2010).

Tabel 1. Evaluasi Penggunaan Antibiotika Empiris


Hasil Klinis Sensitivitas Tindak Lanjut
Kultur
+ Membaik Sesuai Lakukan sesuai prinsip “DeEskalasi”
+ Membaik Tidak Sesuai Evaluasi Diagnosis dan Terapi
+ Tetap/Memburuk Sesuai Evaluasi Diagnosis dan Terapi
+ Tetap/Memburuk Tidak Sesuai Evaluasi Diagnosis dan Terapi
- Membaik 0 Evaluasi Diagnosis dan Terapi
- Tetap/ Memburuk 0 Evaluasi Diagnosis dan Terapi

2. Antibiotika untuk Terapi Definitif


a. Penggunaan antibiotika untuk terapi definitif adalah penggunaan antibiotika
pada kasus infeksi yang sudah diketahui jenis bakteri penyebab dan pola
resistensinya (Lloyd W., 2010).
b. Tujuan pemberian antibiotika untuk terapi definitif adalah eradikasi atau
penghambatan pertumbuhan bakteri yang menjadi penyebab infeksi,
berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi.
c. Indikasi
sesuai dengan hasil mikrobiologi yang menjadi penyebab infeksi.
d. Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotika.
1) Efikasi klinik dan keamanan berdasarkan hasil uji klinik.
2) Sensitivitas.
3) Biaya.
4) Kondisi klinis pasien.
5) Diutamakan antibiotika lini pertama/spektrum sempit.
6) Ketersediaan antibiotika (sesuai formularium rumah sakit).
7) Sesuai dengan Pedoman Diagnosis dan Terapi (PDT) setempat yang
terkini.
8) Paling kecil memunculkan risiko terjadi bakteri resisten.

e. Rute pemberian
antibiotika oral seharusnya menjadi pilihan pertama untuk terapi infeksi. Pada
infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan menggunakan antibiotika
parenteral (Cunha, BA., 2010). Jika kondisi pasien memungkinkan,
pemberian antibiotika parenteral harus segera diganti dengan antibiotika per
oral.
f. Lama pemberian antibiotika definitif berdasarkan pada efikasi klinis untuk
eradikasi bakteri sesuai diagnosis awal yang telah dikonfirmasi. Selanjutnya
harus dilakukan evaluasi berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi klinis
pasien serta data penunjang lainnya (IFIC., 2010; Tim PPRA Kemenkes RI.,
2010)

3.1.3 Prinsip Penggunaan Antibiotika Profilaksis Pembedahan


Pemberian antibiotika sebelum (30–60 menit sebelum insisi pertama), saat
dan hingga 24 jam pasca operasi pada kasus yang secara klinis tidak didapatkan
tanda-tanda infeksi dengan tujuan untuk mencegah terjadi infeksi luka operasi.
Diharapkan pada saat operasi, konsentrasi antibiotika di jaringan target operasi
sudah mencapai kadar optimal yang efektif untuk menghambat pertumbuhan
bakteri kulit dan lingkungan (Avenia, 2009).
Prinsip penggunaan antibiotika profilaksis selain tepat dalam pemilihan
jenis juga mempertimbangkan konsentrasi antibiotika dalam jaringan saat mulai
dan selama operasi berlangsung. Rekomendasi antibiotika yang digunakan pada
profilaksis bedah dapat dilihat pada kebijakan penggunaan antibiotika profilaksis
bedah/tindakan medis dan PPA.
1. Tujuan pemberian antibiotika profilaksis pada kasus pembedahan:
a. Menurunkan dan mencegah kejadian Infeksi Daerah Operasi (IDO).
b. Menurunkan mordibitas dan mortalitas pasca operasi.
c. Menghambat munculnya flora normal resisten antibiotika.
d. Meminimalkan biaya pelayanan kesehatan.
2. Indikasi penggunaan antibiotika profilaksis ditentukan berdasarkan kelas operasi,
yaitu operasi bersih dan bersih kontaminasi.
3. Dasar pemilihan jenis antibiotika untuk tujuan profilaksis:
a. Sesuai dengan sensitivitas dan pola bakteri patogen terbanyak pada kasus
bersangkutan (EMPIRIS).
b. Spektrum sempit untuk mengurangi risiko resistensi bakteri.
c. Toksisitas rendah.
d. Tidak menimbulkan reaksi merugikan terhadap pemberian obat anestesi.
e. Bersifat bakterisidal.
f. Harga terjangkau.

Gunakan cephalosporin generasi I-II untuk profilaksis bedah. Pada


kasus tertentu yang dicurigai melibatkan bakteri anaerob dapat
ditambahkan metronidazol

Tidak dianjurkan menggunakan cephalosporin generasi III-IV,


golongan carbapenem, dan golongan quinolone untuk
profilaksis bedah.

4. Rute pemberian
a. Antibiotika profilaksis diberikan secara intravena.
b. Untuk menghindari risiko yang tidak diharapkan dianjurkan pemberian
antibiotika intravena drip.
5. Waktu pemberian
Antibiotika profilaksis diberikan ≤ 30 – makismal 60 menit sebelum insisi kulit.
6. Dosis pemberian
Untuk menjamin kadar puncak yang tinggi serta dapat berdifusi dalam jaringan
dengan baik, maka diperlukan antibiotika dengan dosis yang cukup tinggi. Pada
jaringan target operasi kadar antibiotika harus mencapai kadar hambat minimal 2
kali kadar terapi.
7. Lama pemberian
Durasi pemberian adalah dosis tunggal.
Dosis ulangan dapat diberikan atas indikasi perdarahan lebih dari 1500 ml atau
operasi berlangsung lebih dari 3 jam (SIGN, 2008).
8. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap risiko terjadinya ILO, antara lain:
a. Kategori/kelas operasi (Mayhall Classification) (SIGN, 2008).
Kelas Operasi Definisi Penggunaan Antibiotik
Operasi Bersih Operasi yang dilakukan pada daerah Kelas operasi bersih
dengan kondisi pra bedah tanpa infeksi, terencana umumnya tidak
tanpa membuka traktus (respiratorius, memerlukan antibiotika
gastrointestinal, urinarius, bilier), operasi profilaksis kecuali pada
terencana, atau penutupan kulit primer beberapa jenis operasi,
dengan atau tanpa digunakan drain misalnya mata, jantung, dan
tertutup. sendi).
Operasi Bersih- Operasi yang dilakukan pada traktus Pemberian antibiotika
Kontaminasi (digestivus, bilier, urinarius, respiratorius, profilaksis pada kelas operasi
reproduksi kecuali ovarium) atau operasi bersih kontaminasi perlu
tanpa disertai kontaminasi yang nyata. dipertimbangkan manfaat dan
risikonya karena bukti ilmiah
mengenai efektivitas
antibiotika profilaksis belum
ditemukan.
Operasi Kontaminasi Operasi yang membuka saluran cerna, Kelas operasi kontaminasi
saluran empedu, saluran kemih, saluran memerlukan antibiotika terapi
napas sampai orofaring, saluran reproduksi (bukan profilaksis).
kecuali ovarium atau operasi yang tanpa
pencemaran nyata (Gross Spillage).
Operasi Kotor Adalah operasi pada perforasi saluran Kelas operasi kotor
cerna, saluran urogenital atau saluran napas memerlukan antibiotika
yang terinfeksi ataupun operasi yang terapi.
melibatkan daerahyang purulen (inflamasi
bakterial). Dapat pula operasi pada luka
terbuka lebih dari 4 jam setelah kejadian
atau terdapat jaringan nonvital yang luas
atau nyata kotor.

b. Skor ASA (American Society of Anesthesiologist)


Tabel 3. Pembagian Status Fisik Pasien Berdasarkan Skor ASA
Skor ASA Status Fisik
1 Normal dan sehat
2 Kelainan sistemik ringan
3 Kelainan sistemik berat, aktivitas terbatas
4 Kelainan sistemik berat yang sedang menjalani pengobatan untuk life support
5 Keadaan sangat kritis, tidak memiliki harapan hidup, diperkirakan hanya bisa
bertahan sekitar 24 jam dengan atau tanpa operasi.

c. Lama rawat inap sebelum operasi


Lama rawat inap 3 hari atau lebih sebelum operasi akan meningkatkan
kejadian ILO.
d. Ko-morbiditas (DM, hipertensi, hipertiroid, gagal ginjal, lupus, dll)
e. Indeks Risiko
Dua ko-morbiditas (skor ASA > 2) dan lama operasi dapat diperhitungkan
sebagai indeks risiko.
Tabel 4. Indeks Resiko
Indeks Risiko Definisi
0 Tidak ditemukan faktor resiko
1 Ditemukan 1 faktor Resiko
2 Ditemukan 2 faktor Resiko
f. Pemasangan implan
Pemasangan implan pada setiap tindakan bedah dapat meningkatkan kejadian
IDO.

3.1.4 Penggunaan Antibiotika Kombinasi


1. Antibiotika kombinasi adalah pemberian antibiotika lebih dari satu jenis untuk
mengatasi infeksi.
2. Tujuan pemberian antibiotika kombinasi adalah :
a. Meningkatkan aktivitas antibiotika pada infeksi spesifik (Efek sinergis).
b. Memperlambat dan mengurangi risiko timbulnya bakteri resisten.
3. Indikasi penggunaan antibiotika kombinasi (Bruton et. Al, 2008; Archer, GL.,
2008):
a. Infeksi disebabkan oleh lebih dari satu bakteri (polibakteri).
b. Abses intraabdominal, hepatik, otak dan saluran genital (infeksi campuran
aerob dan anaerob).
c. Terapi empiris pada infeksi berat.
4. Hal-hal yang perlu perhatian (Bruton et. Al,; Cunha, BA., 2010):
a. Kombinasi antibiotika yang bekerja pada target yang berbeda dapat
meningkatkan atau mengganggu keseluruhan aktivitas antibiotika.
b. Suatu kombinasi antibiotika dapat memiliki toksisitas yang bersifat aditif atau
superaditif.
Contoh: Vancomycin secara tunggal memiliki efek nefrotoksik minimal,
tetapi pemberian bersama Aminoglycoside dapat meningkatkan toksisitasnya.
c. Diperlukan pengetahuan jenis infeksi, data mikrobiologi dan antibiotika untuk
mendapatkan kombinasi rasional dengan hasil efeksti.
d. Hindari penggunaan kombinasi antibiotika untuk terapi empiris jangka lama.
e. Pertimbangkan peningkatan biaya pengobatan pasien.

3.1.5 Pertimbangan Farmakokinetik dan Farmakodinamik Antibiotika


Farmakokinetik (pharmacokinetic, PK) membahas tentang perjalanan kadar
antibiotika di dalam tubuh, sedangkan farmakodinamik (pharmacodynamic, PD)
membahas tentang hubungan antara kadar-kadar itu dan efek antibiotikanya. Dosis
antibiotika dulunya hanya ditentukan oleh parameter PK saja. Namun, ternyata PD
juga memainkan peran yang sama, atau bahkan lebih penting. Pada abad resistensi
antibiotika yang terus meningkat ini, PD bahkan menjadi lebih penting lagi, karena
perameter-parameter ini bisa digunakan untuk mendesain rejimen dosis yang
melawan atau mencegah resistensi. Jika walaupun efikasi klinis dan keamanan
masih menjadi standar emas untuk membandingkan antibiotika, ukuran
farmakokinetik dan farmakodinamik telah semakin sering digunakan. Beberapa
ukuran PK dan PD lebih prediktif terhadap efikasi klinis.
Ukuran utama aktivitas antibiotika adalah Kadar Hambat Minimum (KHM).
KHM adalah kadar terendah antibiotika yang secara sempurna menghambat
pertumbuhan suatu mikroorganisme secara in vitro. Walaupun KHM adalah
indikator yang baik untuk potensi suatu antibiotika, KHM tidak menunjukkan apa-
apa tentang perjalanan waktu aktivitas antibiotika.
Parameter-parameter farmakokinetik menghitung perjalanan kadar serum
antibiotika. Terdapat 3 parameter farmakokinetik yang paling penting untuk
mengevaluasi efikasi antibiotika, yaitu kadar puncak serum (Cmax), kadar
minimum (Cmin), dan area under curve (AUC) pada kurva kadar serum vs waktu.
Walaupun parameter-parameter ini mengkuantifikasi perjalanan kadar serum,
parameterparameter tersebut tidak mendeskripsikan aktivitas bakterisidal suatu
antibiotika.
Aktivitas antibiotika dapat dikuantifikasi dengan mengintergritasikan
parameterparameter PK/PD dengan KHM. Parameter tersebut yaitu: rasio kadar
puncak/KHM, waktu>KHM, dan rasio AUC-24 jam/KHM.

Tiga sifat farmakodinamik antibiotika yang paling baik untuk menjelaskan


aktivitas bakterisidal adalah time-depence, concentration-depence, dan efek
persisten. Kecepatan bakterisidal ditentukan oleh panjang waktu yang diperlukan
untuk membunuh bakteri (time-depence), atau efek meningkatkan kadar obat
(concentration-depence). Efek persisten mencakup Post-Antibiotic Effect (PAE).
PAE adalah supresi pertumbuhan bakteri secara persisten sesudah paparan
antibiotika.

Pola Aktivitas Antibiotika Tujuan Terapi Parameter PK/PD


Tipe I Aminoglycoside Memaksimalkan - Rasio AUC-24
Bakterisidal Fluoroquinolone kadar jam/KHM
concentration- Ketoid - Rasio kadar
dependence dan puncak /KHM
efek persiten yang
lama
Tipe II Carbapenem Memaksimalkan Waktu > KHM
Bakterisidal time- Cephalosporin durasi paparan
dependence dan Erythromycin
Efek persisten Linezolid
minimal Penicillin
Tipe III Azithromycin Memaksimalkan Rasio AUC-24
Bakterisidal time- Clindamycin jumlah obat yang jam/KHM
dependence dan Oxazolidinone masuk sirkulasi
efek persisten Tetracycline
sedang sampai Vancomycin
lama

Untuk antibiotika tipe I, rejimen dosis yang ideal adalah memaksimalkan kadar,
semakin ekstensif dan cepat tingkat bakterisidalnya. Karena itu, rasio AUC 24
jam/KHM, dan rasio kadar puncak/KHM merupakan prediktor efikasi antibiotika
yang penting. Untuk fluoroquinolone vs bakteri Gram-negatif, rasio AUC 24
jam/KHM optimal adalah sekitar 125. Bila fluoroquinolone vs Gram-positif, 40
nampaknya cukup optimal. Namun, rasio AUC 24 jam/KHM untuk
fluoroquinolone sangat bervariasi.

Antibiotika tipe II menunjukkan sifat yang sama sekali berlawanan. Rejimen


dosis ideal untuk antibiotika ini diperoleh dengan memaksimalkan durasi paparan.
Parameter yang paling berkorelasi dengan efikasi adalah apabila waktu (t) di atas
KHM. Untuk beta-lactam dan erythromycin, efek bakterisidal maksimum diperoleh
bila waktu di atas KHM minimal 70% dari interval dosis.

Antibiotika tipe III memiliki sifat campuran, yaitu tergantung waktu dan efek
persisten yang sedang. Rejimen dosis ideal untuk antibiotika ini diperoleh dengan
memaksimalkan jumlah obat yang masuk dalam sirkulasi sistemik. Efikasi obat
ditentukan oleh rasio AUC 24 jam/KHM. Untuk Vancomycin, diperlukan rasio
AUC 24 jam/KHM minimal 125.

3.2 Penggolongan Antibiotika

Infeksi bakteri terjadi bila bakteri mampu melewati barrier mukosa atau kulit dan
menembus jaringan tubuh. Pada umumnya, tubuh berhasil mengeliminasi bakteri tersebut
dengan respon imun yang dimiliki, tetapi bila bakteri berkembang biak lebih cepat
daripada aktivitas respon imun tersebut maka akan terjadi penyakit infeksi yang disertai
dengan tanda tanda inflamasi. Terapi yang tepat harus mampu mencegah
berkembangbiaknya bakteri lebih lanjut tanpa membahayakan host. Antibiotika adalah
obat yang digunakan untuk mengatasi infeksi bakteri. Antibiotika bisa bersifat bakterisid
(membunuh bakteri) atau immunocompromised (misalnya pada pasien neutropenia) atau
infeksi di lokasi yang terlindung (misalnya pada cairan cerebrospinal), maka antibiotika
bakterisid harus digunakan.
Penggolongan antibiotika berdasarkan mekanisme kerja :
1. Obat yang Menghambat Sintesis atau Merusak Dinding Sel Bakteri
a. Antibiotika Beta-lactam
Antibiotika beta-lactam terdiri dari berbagai golongan obat yang mempunyai struktur
cincin beta-lactam, yaitu penicillin, cephalosporin, monobactam, carbapenem, dan
inhibitor beta lactamase. Obat-obat antiobiotik beta-lactam umunya bersifat bakterisid,
dan sebagian besar efektif terhadap organisme Grampositif dan negatif. Antibiotika
beta-lactam menganggu sintesis dinding sel bakteri, dengan menghambat langkah
terakhir dalam sintesis peptidoglikan, yaitu heteropolimer yang memberikan stabilitas
mekanik pada dinding sel bakteri.
1) Penicillin
Golongan penicillin diklasifikasikan berdasarkan spektrum aktivitas antibiotikanya.

Golongan Contoh Aktivitas


Penicillin G dan Penicillin G dan V Sangat aktif terhadap kokus Gram-
penicillin V positif, tetapi cepat dihidrolisis oleh
penicillinase atau beta-lactamase,
sehingga tidak efektif terhadap S.
aureus
Penicillin yang resisten Metisilin, nafcillin, Merupakan obat pilihan utama untuk
terhadap beta-lactamase/ oxacillin, terapi S.Aureus yang memproduksi
penicillinase cloxacillin, dan dicloxacillin penicillinase. Aktivitas antibiotika
kurang poten terhadap mikroorganisme
yang sensitif terhadap penicillin G.
Aminopenicillin Ampicillin, amoxicillin Selain mempunyai aktivitas terhadap
bakteri Gram-positif, juga mencakup
mikroorganisme Gram-negatif, seperti
Haemophilus influenzae, Escherichia
coli, dan Proteus mirabili. Obat-obat ini
sering diberikan bersama inhibitor beta-
lactamase (clavulanic acid, sulbactam,
tazobactam) untuk mencegah hidrolisis
oleh betalactamase yang semakin
banyak ditemukan pada bakteri Gram-
negatif ini.
Carboxypenicillin Carbenicillin, ticarcillin Antibiotika untuk Pseudomonas,
Enterobacter, dan Proteus. Aktivitas
antibiotika lebih rendah dibanding
ampicillin terhadap kokus Gram-positif,
dan kurang aktif dibanding piperacillin
dalam melawan Pseudoman. Golongan
ini dirusak oleh betalactamase.
Ureidopenicillin Mezlocillin, azlocillin, dan Aktivitas antibiotika terhadap
pipercillin Pseudomonas,
Klebsiella, dan Gram-negatif lainnya.
Golongan ini dirusak oleh beta-
lactamase.

2) Cephalosporin
Cephalosporin menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan mekanisme serupa
dengan penicillin. Cephalosporin diklasifikasikan berdasarkan generasinya.
3) Monobactam (beta-lactam monosiklik)
Contoh: aztreonam.
Aktivitas : resisten terhadap beta-lactamase yang dibawa oleh bakteri Gramnegatif.
Aktif terutama terhadap bakteri Gram-negatif. Aktivitasnya sangat baik terhadap
Enterobacteriacease, P. Aeruginosa, H. Influenzae dan ganokokus.
Pemberian: parenteral, terdistribusi baik ke seluruh tubuh, termasuk cairan
serebrospinal.
Waktu paruh: 1,7 jam.
Ekskresi: sebagian besar obat diekskresi utuh melalui urin.
4) Carbapenem
Carbapenem merupakan antibiotika lini ketiga yang mempunyai aktivitas antibiotika
yang lebih luas daripada sebagian besar beta-lactam lainnya. Yang termasuk
carbapenem adalah impenem, meropenem dan doripenem. Spektrum aktivitas:
menghambat sebagian besar Gram-positif, Gram-negatif, dan anaerob. Ketiganya
sangat tahan terhadap beta-lactamase. Efek samping: paling sering adalah mual dan
muntah, dan kejang pada dosis tinggi yang diberi pada pasien dengan lesi SSP atau
dengan insufisiensi ginjal. Meropenem dan doripenem mempunyai efikasi serupa
imipenem, tetapi lebih jarang menyebabkan kejang.
5) Inhibitor beta-lactamase
Inhibitor beta-lactamse melindungi antibiotika beta-lactam dengan cara
menginaktivasi beta-lactamase. Yang termasuk ke dalam golongan ini adalah
clavulanic acid, sulbactam, dan tazobactam.
Clavulanic acid merupakan suicide inhibitor yang mengikat beta-lactamse dari
bakteri Gram-positif dan Gram-negatif secara irreversible. Obat ini dikombinasi
dengan amoxicillin untuk pemberian oral dan dengan ticarcillin untuk pemberian
parenteral.
Sulbactam dikombinasi dengan ampicillin untuk penggunaan parenteral, dan
kombinasi ini aktif terhadap kokus Gram-positif, termasuk S. Aureus penghasil beta
lactamase, aerob Gram-negatif (tapi tidak terhadap Pseudomonas) dan bakter
anaerob.
Tazobactam dikombinasi dengan piperacillin untuk penggunaan parenteral. Waktu
paruhnya memanjang dengan kombinasi ini, dan eksresinya melalui ginjal.

b. Bacitracin
Bacitracin adalah kelompok yang terdiri dari antibiotika polipeptida, yang utama adalah
bacitracin A. Berbagai kokus dan basil Gram-positif, Neisseria, H. Influenzae, dan
Treponema pallidum sensitif terhadap obat ini. Bacitracin tersedia dalam bentuk salep
mata dan kulit, serta bedak untuk topikal. Bacitracin jarang menyebabkan
hipersensitivitas. Pada beberapa sediaan, sering dikombinasi dengan neomisin dan/atau
polimiksin. Bacitracin bersifat nefrotoksik bila memasuki sirkulasi sistemik.

c. Vancomycin
Vancomycin merupakan antibiotika lini ketiga yang terutama aktif terhadap bakteri
Gram-positif. Vancomycin hanya diindikasikan untuk infeksi yang disebabkan oleh S.
Aureus yang resisten terhadap metisilin (MRSA). Semua basil Gram-negatif dan
mikrobakteria resisten terhadap Vancomycin.
Vancomycin diberikan secara intravena, dengan waktu paruh sekitar 6 jam. Efek
sampingnya adalah reaksi hipersensitivitas, demam, flushing dan hipotensi (pada infus
cepat), serta gangguan pendengaran dan nefrotoksisitas pada dosis tinggi.

2. Obat yang Memodifikasi atau Menghambat Sintesis Protein


Obat antibiotika yang termasuk golongan ini adalah Aminoglycoside, tetracycline,
Chloramphenicol, macrolide (erythromycin, azithromycin, klaritromisin), Clindamyicin,
mupirocin, dan spectinomycin.
a. Aminoglycoside
Spektrum aktivitas: Obat golongan ini menghambat bakteri aerob Gram-negatif.
Obat ini mempunyai indeks terapi semput, dengan toksisitas serius pada ginjal dan
pendengaran, khususnya pada pasien anak dan usia lanjut.
Efek samping: Toksisitas ginjal, ototoksisitas (auditorik maupun vestibular), blokade
neuromuskular (lebih jarang).

Tabel 11

b. Tetracycline
Antibiotika yang termasuk ke dalam golongan ini adalah tetracycline,doxycycline,
oxytetracycline, minocycline, dan chlortetracycline. Antibiotika golongan ini
mempunyai spektrum luas dan dapat menghambat berbagai bakteri Gram-positif,
Gram-negatif, baik yang bersifat aerob maupun anaerob, serta mikroorganisme lain
seperti Ricketsia, Mycoplasma, Chlamydia, dan beberapa spesies mikobakteria.

Tabel 12
c. Chloramphenicol
Chloramphenicol adalah antibiotik berspektrum luas, menghambat bakteri
Grampositif dan negatif aerob dan anaerob, Chlamydia, Ricketsia, dan Mycoplasma.
Chloramphenicol mencegah sintesis protein dengan berikatan pada subunit ribosom
50S.
Efek samping : suspresi sumsum tulang, grey baby syndrome, neuritis optik pada
anak, pertumbuhan kandida di saluran cerna, dan timbulnya ruam.
d. Macrolide (erythromycin, azithromycin, chlarithromycin, Roxithromycin)
Macrolide aktif terhadap bakteri Gram-positif, tetapi juga dapat menghambat
beberapa Enterococcus dan basil Gram-positif. Sebagian besar Gram-negatif aerob
resisten terhadap macrolide, namun azithromycin dapat menghambat Salmonela.
Azithromycin dan klaritromisin dapat menghambat H. Influenzae, tetapi
azithromycin mempunyai aktivitas terbesar. Keduanya juga aktif terhadap H. Pylori.
Macrolide mempengaruhi sintesis protein bakteri dengan cara berikatan dengan
subunit 50s ribosom bakteri, sehingga menghambat translokasi peptida.
1) Erythromycin dalam bentuk basa bebas dapat diinaktivasi oleh asam, sehingga
pada pemberian oral, obat ini dibuat dalam sediaan salut enterik. Erythromycin
dalam bentuk estolat tidak boleh diberikan pada dewasa karena akan
menimbulkan liver injury.
2) Azithromycin lebih stabil terhadap asam jika dibanding erythromycin. Sekitar
37% dosis diabsorpsi, dan semakin menurun dengan adanya makanan. Obat ini
dapat meningkatkan kadar SGOT dan SGPT pada hati.
3) Clarithromycin. Absorpsi per oral 55% dan meningkat jika diberikan bersama
makanan. Obat ini terdistribusi luas sampai ke paru, hati, sel fagosis, dan jaringan
lunak. Metabolit clarithromycin mempunyai aktivitas antibakteri lebih besar
daripada obat induk. Sekitar 30% obat disekresi melalui urin, dan sisanya melalui
feses.
4) Roxithromycin mempunyai waktu paruh yang lebih panjang dan aktivitas yang
lebih tinggi melawan Haemophilus influenzae. Obat ini diberikan dua kali sehari.
Roxithromycin hanya dimetabolisme sebagian, lebih dari separuh senyawa
diekskresi dalam bentuk utuh. Tiga metabolit telah diidentifikasi di urin dan feses:
metabolit utama adalah deskladinosa Roxithromycin, dengan N-mono dan N-di-
demetil Roxithromycin sebagai metabolit minor. Roxithromycin dan ketiga
metabolitnya terdapat di urin dan feses dalam persentase yang hampir sama.
Efek samping yang paling sering terjadi adalah efek saluran cerna: diare, mual,
nyeri abdomen dan muntah. Efek samping yang lebih jarang termasuk sakit
kepala, ruam, nilai fungsi hati yang tidak normal dan gangguan pada indra
penciuman dan pengecap.
e. Clindamyicin
Clindamyicin menghambat sebagian besar kokus Gram-positif dan sebagian besar
bakteri anaerob, tetapi tidak bisa menghambat bakteri Gram-negatif aerob seperti
Haemophilus, Mycoplasma dan Chlamydia.
Efek samping: diare dan enterocolytis pseudomembranosa.
f. Mupirocin
Mupirocin merupakan obat tipikal yang menghambat bakteri Gram-positif dan
beberapa Gram-negatif.
Tersedia dalam bentuk krim atau salep 2% untuk penggunaan di kulit (lesi kulit
traumatik, impetigo yang terinfeksi sekunder oleh S. Aureus atau S. Pyogenes) dan
salep 2% untuk intranasal.
Efek samping: iritasi kulit dan mukosa serta sensitisasi.
Obat ini diberikan secara intramuskular.

3.3 Penggunaan Antibiotika


3.3.1 Hipersensitivitas Antibiotika
Hipersensitivitas antibiotika merupakan suatu keadaan yang mungkin dijumpai
pada penggunaan antibiotika, antara lain berupa pruritus-urtikaria hingga reaksi
anafilaksis. Profesi medik wajib mewaspadai kemungkinan terjadi kerentanan
terhadap antibiotika yang digunakan pada penderita. Anafilaksis jarang terjadi
tetapi bila terjadi dapat berakibat fatal. Dua pertiga kematian akibat anafilaksis
umumnya terjadi karena obstruksi saluran napas.
Jenis hipersensitivitas akibat antibiotika :
a. Hipersensitivitas Tipe Cepat
Keadaan ini juga dikenal sebagai immediate hypersensitivity. Gambaran klinik
ditandai oleh sesak napas karena kejang di laring dan bronkus, urtikaria,
angioedema, hipotensi dan kehilangan kesadaran. Reaksi ini dapat terjadi
beberapa menit setelah suntikan penicillin.
b. Hipersensitivitas Perantara Antibodi (Antibody Mediated Type II
Hypersensitivity) Manifestasi klinis pada umumnya berupa kelainan darah
seperti anemia hemolitik, trombositopenia, eosinofilia, granulositopenia. Tipe
reaksi ini juga dikenal sebagai reaksi sitotoksik. Sebagai contoh,
Chloramphenicol dapat menyebabkan granulositopeni, obat beta-lactam dapat
menyebabkan anemia hemolitik autoimun, sedangkan penicillin
antipseudomonas dosis tinggi dapat menyebabkan gangguan pada agregasi
trombosit.
c. Immune Hypersensitivity-complex Mediated (Tipe III)
Manifestasi klinis dari hipersensitivitas tipe III ini dapat berupa eritema,
urtikaria dan angioedema. Dapat disertai demam, artralgia dan adenopati. Gejala
dapat timbul 1-3 minggu setelah pemberian obat pertama kali, bila sudah pernah
reaksi dapat timbul dalam 5 hari. Gangguan seperti SLE, neuritis optik,
glomerulonefritis, dan vaskulitis juga termasuk dalam kelompok ini.
d. Delayed Type Hypersensitivy
Hipersensitivitas tipe in terjadi pada pemakaian obat topikal jangka lama seperti
sulfa atau penicillin dan dikenal sebagai kontak dermatitis.
Reaksi paru seperti sesak, batuk dan efusi dapat disebabkan nitrofurantoin.
Hepatitis (karena isoniazid), nefritis interstisial (karena antibiotika beta-lactam)
dan ensefalopati (karena chlarithromycin) yang reversibel pernah dilaporkan.

Pencegahan Anafilaksis :
a. Selalu sediakan obat/alat untuk mengatasi keadaan darurat.
b. Diagnosa dapat diusahakan melalui wawancara untuk mengetahui riwayat alergi obat
sebelumnya dan uji kulit (khusus untuk penicillin). Uji kulit tempel (patcht test) dapat
menentukan reaksi tipe I dan obat yang diberi topikal (tipe IV).
c. Radio Allergo Sorbent Test (RAST) adalah pemeriksaan yang dapat menentukan adanya
IgE spesifik terhadap berbagai antigen, juga tersedia dalam bentuk panil. Disamping itu
untuk reaksi tipe II dapat digunakan test Coombs indirek dan untuk reaksi tipe III dapat
diketahui dengan adanya IgG atau IgM terhadap obat.
d. Penderita perlu menunggu 20 menit setelah mendapat terapi parenteral antibiotika untuk
mengantisipasi timbulnya reaksi hipersensitivitas tipe I.
e. Tatalaksana Anafilaksis dapat dilihat di SPO masing-masing ruang perwatan/IGD/kamar
operasi.

3.3.2 Antibiotika Profilaksis Untuk Berbagai Kondisi Medis


Dapat dilihat pada kebijakan penggunaan antibiotika profilaksis medis dan PPA.

3.3.3 Profilaksis pada Korban Pemerkosaan


a. Trichomoniasis, bacterial vaginosis, gonore, dan infeksi Chlamydia adalah
infeksi
tersering pada wanita korban pemerkosaan.
b. Pada wanita yang aktif secara seksual, kejadian infeksi ini juga tinggi, sehingga
infeksi yang terjadi tidak selalu diakibatkan oleh perkosaan tersebut. Pemeriksaan
pasca perkosaan seyogyanya dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab infeksi
lain (misal chlamydia dan gonokokus) karena berpotensi untuk terjadi infeksi
asendens.
c. Terapi pencegahan rutin dianjurkan sesudah terjadi perkosaan karena follow up
korban sulit.
d. Profilaksis yang dianjurkan sebagai terapi preventif adalah:
1) Vaksinasi hepatitis B post paparan, tanpa HBIg dapat melindungi dari infeksi
hepatitis B. Vaksinasi hepatitis B harus diberikan pada korban saat
pemeriksaan awal bila mereka belum pernah divaksinasi. Dosis follow up
harus diberikan 1-2 dan 4-6 bulan sesudah dosis pertama.
2) Terapi antibiotika empirik untuk Chlamydia sp, Gonorrhies sp, Trichomonas
sp dan bacterial vaginosis. Antibiotika yang dianjurkan adalah:
a. Ceftriaxone 125 mg IM dosis tunggal PLUS metronidazol 2 g per oral
dosis tunggal PLUS azithromycin 1 g per oral dosis tunggal ATAU
b. Doksisilin 100 mg 2 x/hari per oral selama 7 hari.
e. Apabila ada risiko terkena HIV, konsultasikan dengan spesialis terapi HIV.

3.3.4 Pedoman Penggunaan Antibiotika Pada Kelompok Khusus


Untuk anak dan ibu hamil dapat dilihat dalam PPA SMF.

3.3.5 Upaya Untuk Meningkatkan Mutu Penggunaan Antibiotika


1. Prinsip penetapan dosis, interval, rute, waktu dan lama pemberian (rejimen dosis)
(Depkes, 2004; Tim PPRA Kemenkes RI, 2010; Dipiro, 2006; Thomas, 2006;
Trissel, 2009; Lacy, 2010):
a. Dokter menulis di rekam medik secara jelas, lengkap dan benar tentang
regimen dosis pemberian antibiotika, dan instruksi tersebut juga ditulis
direkam pemberian antibiotika (RPA) (Formulir Terlampir).
b. Dokter menulis resep antibiotika sesuai ketentuan yang berlaku, dan
farmasis/apoteket mengkaji kelengkapan resep serta dosis rejimennya.
c. Apoteker mengkaji ulang kesesuaian instruksi pengobatan di RPA dengan
rekam medik dan menulis informasi yang perlu disampaikan kepada
dokter/perawat/tenaga medis lain terkait penggunaan antibiotika tersebut dam
memberi paraf pada RPA.
d. Apoteker menyiapkan antibiotika yang dibutuhkan yang dibutuhkan secara
Unit Dose Dispensing (UDD) ataupun secara aseptic dispensing
(pencampuran sediaan parenteral secara aseptis) jika SDM dan saran tersedia.
Obat yang sudah disiapkan oleh Instalasi Farmasi diserahkan kepada perawat
ruangan.
e. Perawat yang memberikan antibiotika kepada pasien (sediaan
perenteral/nonparenteral/oral) harus mencatat jam pemberian antibiotika yang
sudah ditemtukan/disepakati.
f. Antibiotika parenteral dapat diganti per oral, apabila setelah 24-48 jam (NHS,
2009):
1) Kondisi klinis pasien membaik.
2) Tidak ada gangguan fungsi pencernaan (muntah, malabsorpsi, gangguan
menelan, diare berat).
3) Kesadaran baik.
4) Tidak demam (suhu >36°C dan <38°C), disertai tidak lebih dari satu
kriteria berikut:
a. Nadi >90 kali/menit
b. Pernapasan >20 kali/menit atau PaCO2 <32 mmHg
c. Tekanan darah tidak stabil
d. Leukosit <4.000 sel/dl atau >12.000 sel/dl (tidak ada neutropeni)

2. Monitoring efekstivitas, efek samping dan kadar antibiotika dalam darah


a. Monitoring (Depkes, 2004; Lacy, 2010)
1) Dokter, apoteker dan spesialis mikrobiologi klinik melakukan pemantauan terapi
antibiotika setiap 48-72 jam, dengan memperhatikan kondisi klinis pasien dan data
penunjang yang ada.
2) Apabila setelah pemberian antibiotika selama 72 jam tidak ada perbaikan kondisi
klinis pasien, maka perlu dilakukan evaluasi ualng tentang diagnosis klinis pasien,
dan dapat dilakukan diskusi dengan Tim PPRA Rumah Sakit untuk mencarikan
solusi masalah tersebut.
b. Monitoring efek samping/Adverse Drug Reactions (ESO/ADRs) (Aronson, 2005;
Thomas, 2006; Lacy, 2010; Depkes, 2008)
1) Dokter, apoteker, perawat dan spesialis mikrobiologi klinik melakukan
pemantauan secara rutin kemungkinan terjadi ESO/ADRs terkait antibiotika yang
digunakan pasien.
2) Pemantauan ESO/ADRs dilakukan dengan mengkaji kondisi klinik pasien, data
laboratorium serta data penunjang lain.
3) Jika terjadi ESO/ADRs dapat dilakukan ke Pusat MESO Nasional, menggunakan
form MESO.
4) Pelaporan ESO/ADRs dapat dilakukam oleh dokter, apoteker maupun perawat,
dan sebaiknya di bawah koordinasi Sub Komite Farmasi dan Terapi yang ada di
rumah sakit.
5) ESO/ADRs antibiotika yang perlu diwaspadai antara lain adalah (Aroson, 2005;
Koda Kimble, 2009; Pedoman MESO Nasional; Lacy, 2010; WHO, 2004):
a. Efek samping/ADRs akibat penggunaan antibiotika yang perlu diwaspadai
seperti syok anafilaksis, Steven Johnson’s Syndrome atau toxic epidermal
necrolysis (TEN). Antibiotika yang perlu diwaspadai penggunaannya terkait
kemungkinan terjadinya Steven Johnson’s Syndrome atau toxic epidermal
necrolysis (TEN) adalah golongan sulfonamide (Co-trimoxazole),
penicillin/ampicillin, cephalosporin, quinolone, rifampisin, tetracycline dan
erythromycin.
b. Penggunaan penggunaan Chloramphenicol perlu diwaspadai terkait efek
samping yang mingkin terjadi pada sistem hematologi (serious and fatal blood
dyscrasias seperti anemi aplastik, anemia hipoplastik, trombositopenia, dan
granulositopenia).
c. Penggunaan antibiotika golongan Aminoglycosidea dapat menyebabkan efek
samping nefrotoksisitas dan ototoksisitas.
d. Penggunaan Vancomycin perlu diwaspadai kemungkinan terjadi efek samping
Redman’s syndrome karena pemberian injeksi yang terlalu cepat, sehingga
harus diberikan secara drip minimal selama 60 menit.

c. Monitoring kadar antibiotika dalam darah (TDM= Therapeutic drug monitoring)


(Depkes, 2004; Thomas, 2006; Lacy, 2010)
1) Pemantauan kadar antibiotika dalam darah perlu dilakukan untuk antibiotika yang
mempunyai rentang terapi sempit.
2) Tujuan pemantauan kadar antibiotika dalam darah adalah untuk mencegah terjadinya
toksisitas/ADRs yang tidal diinginkan dan untuk mengetahui kecukupan kadar
antibiotika untuk membunuh bakteri.
3) Antibiotika yang perlu dilakukan TDM adalah golongan Aminoglycoside seperti
gentamisin dan amikasin, serta Vancomycin.
4) Apabila hasil pemeriksaan kadar obat dalam darah sudah ada, maka apoteker dapat
memberikan rekomendasi/saran kepada dokter apabila perlu dilakukan penyesuaian
dosis.

3. Interaksi antibiotika dengan obat lain (Dipiro, 2006; Depkes, 20014; Depkes, 2008;
Aronson, 2005; Karen, 2010; Lacy, 2010)
a. Apoteker mengkaji kemungkinan interaksi antibiotika dengan obat lain/larutan
infus/makanan-minuman. Pemberian antibiotika juga dapat mempengaruhi hasil
pemeriksaan laboratorium.
b. Apoteker dapat memberikan rekomendasi kepada dokter/perawat/pasien terkai
dengan masalah interaksi yang ditemukan.

4. Pemberian informasi dan konseling


a. Pelayanan informasi obat (PIO) (Depkes, 2004; McEvoy, 2005; Thomas, 2006;
Trissel, 2009; Lacy, 2010)
1) Apoteker dapat memberikan informasi kepada dokter/perawat tentang antibiotika
parenteral/nonparenteral maupun topikal yang digunakan pasien.
2) Informasi yang diberikan antara lain adalah tentang regimen dosis, rekonstruksi,
pengeceran/pencampuran antibiotika dengan larutan infus. Pencampuran
antibiotika dengan larutan infus memerlukan pengetahuan tentang kompatibilitas
dan stabilitas. Penyimpanan obat sediaan asli/yang sudah direkonstitusi
awal/dalam larutan infus juga memerlukan kondisi tertentu.
3) Pemberian informasi oleh farmasis/apoteker dapat dilakukan secara lisan maupun
tertulis. Informasi tertulis tentang antibiotika dibuat oleh Unit Pelayanan
Informasi Obat (PIO) Instalasi Farmasi Rumah Sakit.
b. Konseling (Depkes, 2006; McEvoy, 2005; Thomas, 2006; Lacy, 2010)
1) Konseling terutama ditujukan untuk meningkatkan kepatuhan pasien
menggunakan antibiotika sesuai instruksi dokter dan untuk mencegah timbul
resistensi bakteri serta meningkatkan kewaspadaan pasien/keluarganya terhadap
efek samping/ adverse drug reactions (ADRs) yang mungkin terjadi, dalam
rangka menunjang pelaksanaan program patient safety di rumah sakit.
2) Konseling tentang penggunaan antibiotika dapat diberikan pada
pasein/keluarganya di rawat jalan maupun rawat inap.
3) Konseling pasien rawat jalan dilakukan secara aktif oleh apoteker kepada semua
pasien yang mendapat antibiotika oral maupun topikal.
4) Konseling pasien rawat jalan sebaiknya dilakukan di ruang konseling khusus obat
yang ada di apotik, utnuk menjami privacy pasien dan memudahka
farmasis/apoteker untuk menilai kemampuan pasien/keluarganya menerima
informasi yang telah disampaikan.
5) Konseling pada pasien rawat inap dilakukan secara aktif oleh farmasis/apoteker
kepada pasien/keluarganya yang mendapat antibiotika oral maupun topikal, dapat
dilakukan pada saat pasien masih dirawat (bedside counseling) maupun pada saat
pasien akan pulang (discharge counseling).
6) Konseling sebaiknya dilakukan dengan metode show and tell, dapat disertai
dengan pemberian informasi tertulis berupa leaflet dan lain-lain.

3.4 Penggunaan Antijamur


Jamur (fungi) termasuk salah satu penyebab infeksi berat pada pasien defisiensi imun dan
pasien yang dirawat di rumah sakit. Terdeteksinya jamur pada sediaan mikrobiologi sering
dianggap sebagai kontaminan, sehingga perlu pemeriksaan lebih teliti untuk mengidentifikasi
jamur tersebut potensi patogen atau bukan.
Infeksi jamur (fungi) dapat terjadi pada semua organ mulai organ superfisial yaitu kulit sampai
menjadi sistemik (menyebar hematogenik, otak, hati, paru, ginjal dsb). Gejala klinis yang berat dan
fatal terjadi pada infeksi jamur sistemik. Infeksi jamur sistemik merupakan masalah kesehatan
besar di berbagai negara di dunia saat ini dan lebih sering terjadi pada kasus defisiensi imun berat
(pasien dengan HIV, keganasan, kemoterapi, radiasi, pemakaian steroid lama, autoimun, dan
kondisi defisiensi imun lainnya) atau pasien yang lama dirawat di rumah sakit. Secara teoritis
semua jamur memiliki peluang untuk menyebabkan infeksi sistemik, tetapi terdapat beberapa
spesies yang sering menjadi penyebab utama.
Obat antifungi yang tersedia saat ini bertujuan untuk eradikasi spesies-spesies tersebut, tetapi
diagnosis penyakit jamur sistemik juga tidak mudah sehingga sangat mungkin akan terjadi
pengobatan yang terlambat atau justru berlebihan (overdiagnosis, overtreatment).1,2

1. Jamur yang sering menyebabkan infeksi sistemik


Terdapat 2 kelompok besar jamur (fungi) yaitu molds dan yeast. Molds adalah fungi
multiselular dan membentuk hifa, sedangkan yeast adalah fungi uniselular dan berbiak
dengan membentuk budding atau fission. Dalam taksonomi, fungi adalah Kingdom, dengan
4 phyllum besar di dalamnya, Candida spp masuk dalam phyllum Ascomycota famili.
Saccharomycetaceae; tetapi karena memiliki fase berkembangbiak tidak lengkap maka
Candida spp dimasukkan dalam phyllum Deuteromycota (fungi imperfecti atau
anamorphic) bersama dengan Aspergillus dan Penicillium.1
Penyakit jamur sistemik dinamakan sesuai dengan penyebabnya, yang paling sering antara
lain Aspergillus spp, Blastomycoses, Candidiasis, Coccidioidomycosis (Coccidioides
immitis, Coccidioides pyogenes), paracoccidioidomycosis (P. brasiliensis), Cryptococcosis
(Cryptococcus neoformans, Cryptococcus gattii), Histoplasmosis, Sporotrichosis (lesi kulit
ulseratif), dan Zygomycosis (mucormyosis).
Berdasarkan asal dari jamur, penyebab infeksi jamur sistemik dapat dibagi juga menjadi
jamur patogen (truly pathogen) yaitu Coccidioides immitis, Histoplasma capsulatum,
Blastomyces, dan Paracoccidioides; dan jamur patogen oportunistik seperti candida spp,
aspergillus, Cryptococcus, Trichosporon (sporotrichosis), dan Fusarium (mucor).

(Kazemi A. An overview on the global frequency of superficial/cutaneous mycoses dan


deep mycoses. Jundishapour J Microbiol.2013:6:202-4)1
Secara umum jamur terdapat dalam bentuk tidak aktif (vegetatif atau kolonisasi) pada
permukaan tubuh (kulit dan mukosa) dan di lingkungan. Invasi jamur sampai menimbulkan
penyakit tergantung pada jenis jamur, virulensi, jumlah jamur, dan daya tahan tubuh inang.
Penyakit invasif akibat jamur terbanyak dan menjadi patogen penyebab terbanyak infeksi
rumah sakit adalah Candida spp.1,4 Jamur seperti candida spp (yeast/ragi) merupakan
organisma yang hidup vegetatif pada permukaan mukosa rongga mulut, spesies terbanyak
adalah C. albicans. Dalam kondisi imunitas normal maka jamur ini juga bisa berkolonisasi
pada permukaan kulit dan mukosa lain. Candida spp menjadi penyakit dan invasif
tergantung pada virulensi spesies, imunitas inang (host), dan jumlah dari koloni jamur.
Flora normal lain.
juga berpengaruh terhadap risiko invasi candida. Pasien yang tergolong berisiko menderita
candidosis invasif adalah neonatus, wanita hamil, individu dengan defisiensi imun
kongenital atau didapat, kondisi imunosupresif akibat pengobatan (kemoterapi dan
kortikosteroid) atau radiasi, keganasan (hematologi dan non hematologi), endokrinopati
(diabetes mellitus), pascatrauma atau pembedahan, dan perubahan kondisi pertahanan
kulit/mukosa yang disebabkan oleh alat medis invasif atau pengobatan (antimikroba baik
lokal maupun sistemik yang berlebihan).
Penyakit jamur invasif kedua terbanyak adalah aspergillosis dan tersering menyerang paru
(aspergilosis paru) dan otak (aspergilosis serebral). Aspergilus terdapat pada lingkungan
(tanah, sisa tanaman, dan di lingkungan rumah sakit) dan masuk melalui saluran nafas.
Spesies tersering sebagai penyebab aspergilosis adalah A. fumigatus. Aspergilus menyebar
dalam bentuk konidia, dan pada manusia normal dengan respons imun baik akan selalu
dikeluarkan, tetapi pada manusia dengan respons imun buruk (terutama netropenia akibat
penyakit lain yang mendasari NKC serta makrofag yang tidak berfungsi dengan baik akibat
kortikosteroid atau imunosupresan lain) maka aspergilus dapat invasif keluar dari konidia
dan berkolonisasi. Terdapat beberapa macam spektrum klinis aspergilosis paru.

Cryptococcosis lebih sering terjadi pada pasien HIV dengan penurunan kesadaran dan
tahap defisiensi imun berat; dan ditemukan di tanah terutama yang kaya akan kotoran
unggas. Coccidioidomycosis dan para coccidioidomycosis lebih jarang dan terutama
menyerang kulit, tulang, dan menyebabkan meningitis, daerah endemis jamur ini adalah di
perbatasan Amerika Serikat dengan Amerika Latin. Histoplasma banyak terdapat pada
kasus defisiensi imun berat di lingkungan endemis Histoplasma yaitu daerah tropis dan
subtropis. Pada mucormycoses, diabetes mellitus terutama dengan ketoasidosis diabetik
adalah penyakit yang mendasari yang paling utama. Jamur mucor dapat berkolonisasi pada
mukosa nasofaring dan sinus paranasalis pada inang defisiensi imun.

2. Gejala klinis dan tanda infeksi jamur sistemik


Jamur terutama jamur penyebab infeksi sistemik terbanyak, dapat menginvasi semua organ.
Gejala klinis spesifik yang terjadi tergantung pada organ yang terkena. Bila Candida spp.
menyerang mukosa mulut maka tampilan klinisnya adalah candidosis oral. Infeksi candida
yang berat terjadi pada kasus defisiensi imun dan perubahan flora normal akibat
antibiotika. Candidemia termasuk penyebab tersering sepsis infeksi rumah sakit setelah
kuman gram positif dan negatif pada anak dengan kanker; terutama kasus dengan
netropenia ANC < 100 per mm3.4 Faktor risiko lain adalah pemakaian obat-obatan yang
mempengaruhi respons imun dalam jangka panjang seperti kortikosteroid dan juga
lekopenia lama. Pajanan terhadap jamur di lingkungan sangat tergantung pada kondisi
imunologi mukosa (innate atau adaptive) saluran nafas; terutama dalam hal kemampuan
clearance spora tersebut. Sistem pertahanan pertama melawan spora fungi adalah
mucociliary clearance, spora yang tertinggal akan dieliminasi oleh monosit dan makrofag.
Ketidakmampuan sistem tersebut di atas membuat jamur menjadi invasif dengan gejala
utama adalah gejala saluran nafas seperti pnemoni.
Jamur yang menyebabkan fungemia terpenting adalah Candida spp, secara teoritis jamur
lain juga dapat menyebabkan fungemia dengan gejala klinis utama yaitu demam dan atau
menggigil yang terjadi pada pasien dengan penyakit mendasar sebelumnya dan tidak
membaik dengan tatalaksana antibiotika sesuai dengan asal atau jenis kulturnya. Keadaan
umum pasien akan memburuk dengan cepat terutama pada neonatus.
Gambaran darah tepi tidak khas pada fungemia atau dalam hal ini adalah candidemia,tetapi
darah tepi yang menunjukkan lekopenia berat dengan ANC sangat rendah < 100 /cmm
menunjukkan risiko tinggi candidemia. Netrofil adalah lekosit paling potensial untuk
membunuh candida dan mampu mendesak candida dari bentuk komensal (yeast) menjadi
bentuk patologis (hifa/pseudohifa). Sehingga bila dalam sediaan darah tepi atau urine,
feses, dan cairan tubuh lain menunjukkan adanya yeast like fungi maka artinya terdapat
candida dalam bentuk komensal atau kolonisasi di organ asal cairan tubuh tersebut.7
Dalam menanggapi hasil seperti ini kita perlu mewaspadai adanya kolonisasi candida di
area tersebut.
Defisiensi imun merupakan salah satu faktor risiko yang sangat penting untuk terjadinya
infeksi jamur, faktor risiko penting lain yang dapat membuat jamur menjadi invasif yaitu
rusaknya barrier kulit atau mukosa dan perubahan sistem imun lokal (imunologi mukosa
usus) yang terjadi akibat kemoterapi, radiasi, alat medis invasif, pembedahan, dan
pemakaian antibiotika baik lokal maupun sistemik yang berlebihan (tidak sesuai indikasi).

3. Antifungi
Banyak jamur penyebab mikosis sistemik, tetapi dalam makalah ini akan dibahas 2 yang
terpenting dan tersering timbul yaitu candida dan aspergillus. Pada umumnya 1 antifungi
dapat bersifat fungisida atau fungistatik terhadap lebih dari 1 jenis jamur.
Antifungi yang ideal adalah antifungi yang memiliki aktivitas fungisidal poten, penetrasi
cairan dan jaringan tubuh yang baik, dapat diberikan topikal, oral dan parenteral,memiliki
sinergi dengan obat lain yang baik, tidak ada resistensi, dan efek samping minimal.
Penggunaan antifungi sistemik harus berdasarkan kecurigaan infeksi jamur invasif yang
benar karena antifungi memiliki efek samping yang sering justru berbahaya, disamping
risiko resistensi jamur terhadap antifungi.
a. Histoplasmosis
Itrakonazol merupakan obat terpilih bagi infeksi histoplasmosis ringan dan sedang, dan
amfoterisin B bagi infeksi berat. Flukonazol kurang aktif dan perlu dipertimbangkan
penggunaan sebagai lini kedua. Ketokonazol dapat menjadi obat lini kedua karena
toksisitasnya yang tinggi daripada itrakonazol.
Histoplasmosis pulmoner asimtomatis tidak memerlukan pengobatan khusus. Tetapi bila
gejala muncul dapat diberikan itrakonazol 200 mg per hari selama 6-12 minggu. Pada
keadaan outbreak atau pada kondisi imunokompromis harus diberikan terapi. Terapi awal
diberikan amfoterisin B 0.7-1 mg/kg perhari diikuti itrakonazol oral. Terapi antifungal
perlu diberikan bagi histoplasmosis pulmoner kronik. Itrakonazol 200 mg satu atau dua kali
sehari untuk 12-24 bulan. Itrakonazol 6-12 bulan direkomendasikan terhadap pasien
mediastinitis granulomatus simtomatis. Bila nodus menyebabkan obstruksi pembedahan
diindikasikan.
Semua pasien histoplasmosis diseminata simtomatik perlu mendapatkan terapi antifungal.
Pasien dengan infeksi simtomatik ringan-sedang diseminata akut dan histoplasmosis
diseminata progresif kronik dapat diberikan itrakonazol 200 mg dua kali sehari. Terapi
adekuat bila diberikan 12 bulan.
Pasien AIDS perlu terus mendapat terapi itrakonazol 200 mg per hari setelah sebelumnya
mendapat itrakonazol dua kali sehari selama 12 minggu. Pasien imunokompromis dengan
infeksi sedang hingga berat harus diberi amfoterisin B 0.7- 1 mg/kg per hari. Kebanyakan
pasien dapat diterskan oral itrakonazol begitu telah membaik.
b. Koksidiodomikosis
Koksidioidomikosis pulmonalis primer biasanya akan sembuh spontan. Amfoterisin B
intravena selama beberapa minggu diberikan bila pasien memperlihatkan kecenderungan
ke arah berat atau infeksi primer yang berlarut-larut, dengan harapan mencegah terjadinya
penyakit pulmonalis kronik atau diseminata.
Pasien koksidioidomikosis diseminata yang berat atau yang berjalan progesif dengan cepat
harus segera dimulai pengobatannya dengan penyuntikan amfoterisin B intravena yang
dosisnya 0,5 hingga 0,7 mg/kg BB per hari.
Pasien yang keadaannya membaik setelah penyuntikan amfoterisin B atau memperlihatkan
infeksi diseminata yang tidak aktif dapat dilanjutkan ketokonazol, 400 hingga 800 mg/hari,
atau itrakonazol, 200 hingga 400 mg/hari. Preparat oral ini berguna,untuk tindakan supresi
infeksi jangka panjang dan harus dilanjutkan selama beberapa tahun. Untuk pasien
meningitis koksidiodes, pengcbatan biasanya dapat dimulai dengan flukonazol 400mg per
hari tetapi pasien tersebut mungkin pula memerlukan pemberian amfoterisin B intratekal.
Hidrosefalus merupakan komplikasi yang sering ditemukan pada meningitis yang,tidak
terkontrol. Tindakan debridemen lesi tulang atau drainase abses dapat membantu.Reseksi
lesi pulmoner yang progesif kronik merupakan tindakan pelengkap kemoterapi kalau
infeksi hanya terbatas pada paru dan pada satu lobus. Kavitas berdinding tipis yang tunggal
cenderung menutup spontan dan biasanya tidak direseksi.
c. Kandidiasis
Kandidiasis oral dan kandidiasis mukokutan dapat diobati dengan nistatin topikal, gentian
violet, ketokonazol, maupun flukonazol. Terapi kandidiasis kulit pada daerah yang
mengalami maserasi, memperlihatkan respons terhadap upaya untuk mengurangi
kelembaban kulit dan iritasi dengan pemakaian preparat antifungal yang dioleskan secara
topikal dalam bahan dasar nonoklusif.
Serbuk nistatin atau krim yang mengandung preparat siklopiroks atau azol cukup berkasiat.
Klotrimazol, mikonazol, ekonazol, ketonazol, sulkonazol, dan oksikonazol tersedia dalam
bentuk krem atau lotion. Vulvovaginitis Candida memberikan respons yang lebih baik
terhadap golongan azol daripada terhadap preparat supositoria nistatin. Di antara formula
vaginal klotrimazol, mikazol, tikonazol, butakonazol, dam terkonazol hanya terdapat
sedikit perbedaan pada khasiatnya. Pengobatan sistemik terhadap vulvovaginitis Candida
dengan merggunakan ketokonazol atau flukonazol lebih mudah dilakukan daripada
pengobatan topikal, tetapi potensi preparat tersebut untuk menimbulkan efek merugikan
yang lebih besar. Preparat troches klotrimazol yang dapat diberikan lima kali sehari lebih
efektif untuk mengatasi kandidiasis oral dan esophagus dibandingkan suspensi nistatin.
Ketokonazol dengan dosis 200 hingga 400 mg per hari juga berkhasiat untuk esofagitis
Candida tapi banyak pasien yang kurang dapat menyerap obat tersebut dengan baik karena
mendapatkan preparat antagonis reseptor H-2 atau karena menderita penyakit AIDS. Pada
pasien penyakit AIDS, flukonazol dengan dosis 100 hingga 200 mg per hari merupakan
preparat yang paling efektif untuk mengatasi kandidiasis oral dan esofagus.
Kalau gejala esofagus yang terjadi sangat menonjol atau pada kandidiasis sistemik,
pemberian amfoterisin B intravena dengan dosis 0,3 mg/kg BB per hari selama 5 hingga 10
hari dapat bermanfaat. Kandidiasis kandung kemih akan memperlihatkan respons terhadap
tindakan irigasi dengan larutan amfoterisin B, 50 g/mL, selama 5 hari. Jika tidak ada
kateter kandung kemih, preparat oral flukonazol dapat digunakan untuk mengendalikan
kandiduria. Ketokozanol dengan dosis dewasa 200 mg per hari kemungkinan merupakan
obat pilihan untuk kandidiasis mukokutaneus yang kronik. Amfoterisin B intravena
merupakan obat pilihan pada kandidiasis diseminata, dosis 0,4 hingga 0,5 mg/kg BB per
hari. Candida yang diisolasi dari pemeriksaan kultur darah yang diambil dengan benar
harus dianggap signifikan; hasil positif-palsu yang sejati jarang terdapat.
Semua pasien dengan Candida yang dikultur dari darah perifer harus mendapatkan
amfoterisi B intravena untuk mengatasi infeksi yang akut dan mencegah sekuele lanjut.
Pada pasien tanpa neutropenia, endokarditis, atau fokus infeksi yang dalam lainnya,
pengobatan selama 2 minggu sering sudah memadai. Pemeriksaan funduskopi lewat pupil
yang dilatasi sangat bermanfaat untuk mendeteksi endoptalmitis sebelum kehilangan
penglihatan permanen terjadi.
Kesulitan Bering didapatkan terutama dalam menentukan diagnosis awal dari kandidiasis
sistemik karena gejala klinis kurang spesifik, biakan sering negatif. Penelitian terhadap
resipien cangkok sumsum tulang, terapi profilaksis setiap hari dengan flukonazol, 400mg,
akan menurunkan jumlah kasus kandidiasis profundus. Flukonazol juga dapat digunakan
untuk melengkapi pengobatan kandidiasis diseminata kronik, terutama bila amfoterisin B
diberikan sampai pasien tidak lagi memperlihatkan neutropenia.
3.5 Penggunaan Antivirus
Bidang terapi antivirus (baik dari segi jumlah obat antivirus maupun pemahaman kita
tentang penggunaannya secara optimal) telah tertinggal di belakang terapi antibakteri,
namun kemajuan signifikan telah terjadi dalam beberapa tahun terakhir dengan
ditemukannya obat baru untuk beberapa infeksi virus. Pengembangan obat antiviral
menghadapi beberapa tantangan. Virus mereplikasi diri secara intraseluler dan sering
menggunakan enzim, makromolekul, dan organel sel inang untuk mensintesis partikel
virus. Oleh karena itu, komponen antivirus yang baik harus dapat membedakan antara sel
inang dan viral dengan tingkat spesifisitas tinggi; agen tanpa selektivitas tersebut
cenderung terlalu toksik dalam penggunaan klinis.
Kemajuan yang signifikan juga telah terjadi dalam pengembangan pemeriksaan penunjang
untuk membantu dokter dalam penggunaan yang tepat dari obat antivirus. Tes fenotip dan
genotip untuk melihat resistensi terhadap obat antivirus telah lebih banyak tersedia, dan
korelasi dari hasillaboratoriumdengan kondisi klinis menjadi lebih baik. Telah
dikembangkan juga metode yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas tinggi yang dapat
mengukur konsentrasi virus dalam darah (viral load) dan secara langsung dapat menilai
efek antivirus dari regimen obat yang diberikan pada host. Pengukuran viral load telah
bergunadalam mengenali risiko progresivitas penyakit pada pasien dengan infeksi virus
dan dalam identifikasi pasien yang mana yang paling bermanfaat untuk diberikan
pengobatan antivirus. Seperti halnya uji laboratorium in vitro, hasilnya sangat tergantung
pada dan mungkin bervariasi bergantung dari teknik laboratorium yang digunakan.
Informasi mengenai farmakodinamik obat antivirus,dan khususnya hubungan efek
konsentrasi terhadap efikasi obat, tampaknya lambat tetapi juga mulai berkembang.
Namun, tes untuk mengukur konsentrasi obat antivirus, terutama obat yang aktifdalam sel,
masih terbatas digunakan dalam penelitian dan tidak banyaktersedia secara umum.
Sehingga, pedoman untuk penyesuaiandosis obat antivirus untuk memaksimalkan aktivitas
antivirus dan serta meminimalkantoksisitas masih terbatas. Akibatnya, penggunaan klinis
obat antiviral harus didampingi oleh kewaspadaan terhadap efek samping yang tak terduga.
Seperti pada infeksi lain, tentu saja infeksi virus dipengaruhi oleh interaksi antara patogen
dan kompleks imun host. Ada tidaknya imunitas sebelumnya, kemampuan untuk
melakukan respon imun humoral dan/atau selular,sertastimulasi kekebalan innate
merupakan penentu penting dari gambaran klinis infeksi viral. Keadaan status imun
hostjuga harus dipertimbangkan dalam pemberian dan evaluasiobat antivirus. Seperti
halnya terapi infeksi yang lain, penggunaan antivirus yang optimal diagnosis yang spesifik
dan waktu yang tepat. Untuk beberapa infeksi virus,seperti herpes zoster, manifestasi klinis
saja dapat dijadikan sebagai dasar diagnosis. Sedangkan untuk infeksi virus yang lain,
seperti influenza A, informasi epidemiologi (misalnya,dokumentasi dari penyebaran wabah
influenza) dapatdigunakan untuk membuat diagnosis dugaan dengan tingkat akurasi
tinggi.Namun, untuk sebagian besar infeksi virus yang lain, termasuk herpessimpleks
ensefalitis, infeksi cytomegalovirus selain retinitis,dan infeksi enterovirus, diagnosis
berdasarkan gejala klinis saja tidak bisadilakukan. Untuk infeksi demikian, teknik
diagnosis virus secara cepatmenjadi sangat penting. Kemajuan memilikijuga telah terjadi
dalam beberapa tahun terakhir dalam pengembangan tes serupa, Yang sekarang telah
banyak tersedia untuk sejumlah infeksi virus. Diluar kompleksitas ini, efikasi dari sejumlah
antivirus telah terbukti dalam berbagai penelitian. Beberapa terapi yang dibahas berikutnya
antara lain :
a. Avian Influenza
Prinsip penatalaksanaan avian influenza adalah : istirahat, peningkatan daya tahan tubuh,
pengobatan antiviral, pengobatan antibiotik, perawatan respirasi, anti inflamasi,
imunomodulators.
Mengenai antiviral maka antiviral sebaiknya diberikan pada awal infeksi yakni pada
48 jam pertama. Adapun pilihan obat:
1. Penghambat M2 yaitu Amantadin (symadine) dan Rimantidin (flu-madine) dengan dosis
2x/hari 100 mg atau 5 mg/kgBB selama 3-5 hari
2. Penghambatan neuramidase (WHO) Zanamivir(relenza) dan Oseltamivir (tami-flu)
dengan dosis 2 x 75 mg selama 1 minggu
Departemen Kesehatan RI dalam pedomannya memberikan petunjuk sebagai berikut :
Pada kasus suspek flu burung diberikan Oseltamivir2 x 75mg 5 hari, simptomatik dan
antibiotikjika adaindikasi.
Pada kasus probable flu burung diberikan Oseltamivir2 x 75 mg selama 5 hari, antibiotik
spektrum luas yang mencakup kuman tipik dan atipikal, dan steroid jika perlu seperti
pada kasus pneumonia berat, ARDS. Respiratory Care di ICU sesuai indikasi.
Sebagai profilaksis, bagi mereka yang berisiko tinggi, digunakan oseltamivir dengan
dosis 75 mg sekali sehari selama lebih dari 7 hari (hingga 6 minggu).
b. Influenza
Pasien dapat diobati secara simtomatik. Obat oseltamivir 2 x 75 mg perhari selama 5 hari
akan memperpendek masa sakit dan mengurangi keperluan antimikroba untuk infeksi
sekunder. Zanamivir dapat diberikan lokal secara inhalasi, makin cepat obat diberikan
makin baik. Untuk kasus dengan komplikasi yang sebelumnya mungkin menderita
bronkitis kronik, gangguan jantung atau penyakit ginjal dapat diberikan antibiotik. Pasien
dengan bronkopneumonia sekunder memerlukan oksigen. Pneumonia stafilokokus
sekunder harus diatasi dengan antibiotik yang tahan betalaktamase dan kortikosteroid
dalam dosis tinggi.
Kematian karena flu burung yang menjangkiti manusia 60% di China dan mencapai 80%
di Indonesia dan penyebabnya mirip dengan multiple organ failure yang akut. Sifat virus
ini dapat berintegrasi di beberapa jaringan tubuh tanpa dapat dideteksi kecuali pada paru.
Kematian karena terjangkit flu babi rendah terutama meliputi mereka dengan penyakit paru
atau jantung kronik atau usia yang rentan seperti anak dan lansia.

BAB IV
DOKUMENTASI

4.1 Penilaian Penggunaan Antibiotika Di Rumah Sakit


4.1.1 Batasan
Penilaian kuantitas dan kualitas penggunaan antibiotika di rumah sakit, dapat diukur secara
retrospektif dan prospektif melalui data rekam medik dan rekam pemberian antibiotika
(RPA).
4.1.2 Tujuan
1. Mengetahu jumlah atau konsumsi penggunaan antibiotika di rumah sakit.
2. Mengetahui dan mengevaluasi kualitas penggunaan antibiotika di rumah sakit.
3. Sebagai dasar untuk melakukan surveilans penggunaan antibiotika di rumah sakit secara
sistematik dan terstandar.
4.1.3 Penilaian Kuantitas Penggunaan Antibiotika Di Rumah Sakit
1. Kuantitas penggunaan antibiotika adalah jumlah penggunaan antibiotika di rumah sakit
yang diukur secara retrospektif dan prospektif dan melalui studi validasi.
2. Studi validasi adalah studi yang dilakukan secara prospektif untuk mengetahui
perbedaan antara jumlah antibiotika yang benar-benar digunakan pasien dibandingkan
dengan yang tertulis di rekam medik.
3. Parameter perhitungan konsumsi antibiotika:
a. Persentase pasien yang mendapat terapi antibiotika selama rawat inap di rumah sakit.
b. Jumlah penggunaan antibiotika dinyatakan sebagau dosis harian ditetapkan dengan
Defined Daily Doses (DDD)/100 patient days.
4. DDD adalah asumsi dosis rata-rata per hari penggunaan antibiotika untuk indikasi
tertentu pada orang dewasa. Utnuk memperoleh data baku dan merekomendasikan
klasifikasi penggunaan antibiotika secara Anatomical Therapeutic Chemical(ATC)
Classification (Gould IM, 2005).
4.1.4 Penilaian Kualitas Penggunaan Antibiotika Di Rumah Sakit
1. Kualitas penggunaan antibiotika dapat dinilai dengan melihat rekam pemberian
antibiotika dan rekam medik pasien.
2. Penilaian dilakukan dengan mempertimbangkan kesesuaian diagnosis (gejala klinis dan
hasil laboratorium), indikasi. Regimen dosis, keamanan, dan harga.
3. Alur penilaian menggunakan kategori/klasifikasi Gyssens.
4. Kategori hasil penilaian kualitatif penggunaan antibiotika sebagai berikut (Gyssens IC,
2005):
Kategori 0 = Penggunaan antibiotika tepat/bijak
Kategori I = Penggunaan antibiotika tidak tepat waktu
Kategori IIA = Penggunaan antibiotika tidak tepat dosis
Kategori IIB = Penggunaan antibiotika tidak tepat interval pemberian
Kategori IIC = Penggunaan antibiotika tidak tepat cara/rute pemberian
Kategori IIIA = Penggunaan antibiotika terlalu lama
Kategori III B = Penggunaan antibiotika terlalu singkat
Kategori IVA = ada antibiotika lain yang lebih efektif
Kategori IVB = ada antibiotika lain yang kurang toksisk/lebih aman
Kategori IVC = ada antibiotika lain yang lebih murah
Kategori IVD = ada antibiotika lain yang spektrumnya lebih sempit
Kategori V = tidak ada indikasi penggunaan antibiotika
Kategori VI = data rekam medik tidak lengkap dan tidak dapat dievaluasi

4.2 Antimicrobial Stewardship Program Pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan


Antimicrobial Stewardship Programs merupakan suatu program yang saling
melengkapi untuk mengubah atau mengarahkan penggunaan antimikroba di fasilitas
pelayanan kesehatan. Tujuan program untuk mengoptimalkan penggunaan antimikroba
dalam rangka pengendalian resistensi. Pelaksanaan program dapat dikelompokkan
menjadi dua strategi (Mc Dougal C, 2005):
a. Strategi utama
b. Strategi pendukung
Secara garis besar dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Anda mungkin juga menyukai