Daftar Isi
Daftar Isi
Hal
Daftar Isi……………………………………………………………………………… ii
Antibiotika …..…………………………………………………… 4
3.1.2 Prinsip Penggunaan Antibiotika Untuk Terapi Empiris dan Definitif ….. 8
PENDAHULUAN
Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang penting
terutama di negara berkembang. Obat yang digunakan secara luas untuk mengatasi
masalah tersebut adalah antimikroba yang terdiri atas antibiotika, antivirus, antijamur, dan
antiparasit. Diantara keempat obat tersebut, antibiotika adalah yang terbanyak digunakan.
Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa sekitar 40-62% antibiotika digunakan pada
penyakit yang tidak memerlukan antibiotika. Penggunaan antibiotika bukan tanpa akibat,
terutama bila tidak digunakan secara bijak.
1.2 Tujuan
1.3 Definisi
Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh agen biologi (virus,
bakteri, parasit, jamur), bukan disebabkan faktor fisik (seperti luka bakar) atau
kimia (seperti keracunan)
Antimikroba adalah bahan-bahan/obat-obat yang digunakan untuk memberantas/
membasmi infeksi mikroba khususnya yang merugikan manusia
Antibiotika adalah suatu senyawa kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme
yang dalam konsentrasi kecil mempunyai kemampuan menghambat atau
membunuh mikroorganisme lain
Antijamur adalah senyawa yang digunakan untuk pengobatan penyakit yang
disebabkan oleh jamur
Antivirus adalah senyawa yang digunakan untuk pengobatan penyakit yang
disebabkan oleh virus
Antiparasit adalah senyawa yang digunakan untuk pengobatan penyakit yang
disebabkan oleh parasit
Resistensi adalah kemampuan bakteri untuk menetralisir dan melemahkan daya
kerja antimikroba
CMV : Cytomegalovirus
PD : Pharmacodynamic
PK : Pharmacokinetic
2 cara, yaitu:
b. Kadar antibiotika pada tempat infeksi harus cukup tinggi. Semakin tinggi
kadar antibiotika semakin banyak tempat ikatannya pada sel bakteri.
c. Antibiotika harus tetap berada pada tempat ikatannya untuk waktu yang cukup
memadai agar diperoleh efek yang adekuat.
d. Kadar hambat minimal. Kadar ini menggambarkan jumlah minimal obat yang
diperlukan untuk menghambat pertumbuhan bakteri.
a. Time dependent killing. Lamanya antibiotika berada dalam darah dalam kadar
diatas KHM sangat penting untuk memperkirakan outcome klinik ataupun
kesembuhan. Pada kelompok ini kadar antibiotika dalam darah di atas KHM
paling tidak selama 50% interval dosis. Contoh antibiotika yang tergolong
time dependent killing antara lain penicillin, cephalosporin, dan macrolide.
b. Concentration dependent. Semakin tinggi kadar antibiotika dalam darah
melampaui KHM maka semakin tinggi pula daya bunuhnya terhadap
bakteri.Untuk kelompok ini diperlukan rasio kadar/KHM sekitar 10.
Ini mengandung arti bahwa rejimen dosis yang dipilih haruslah memiliki
kadar dalam serum atau jaringan 10 kali lebih tinggi dari KHM. Jika gagal
mencapai kadar ini di tempat infeksi atau jaringan akan mengakibatkan
kegagalan terapi. Situasi inilah yang selanjutnya menjadi salah satu penyebab
timbulnya
resistensi.
4. Faktor Biaya
Antibiotika yang tersedia di Indonesia bisa dalam bentuk obat generik, obat
merek dagang, obat originator atau obat yang masih dalam lindungan hak paten
(obat paten). Harga antibiotika pun sangat beragam. Harga antibiotika dengan
kandungan yang sama bisa berbeda hingga 100 kali lebih mahal dibanding
generiknya. Apalagi untuk sediaan parenteral yang bisa 1000 kali lebih mahal
dari sediaan oral dengan kandungan yang sama. Peresepan antibiotika yang
mahal, dengan harga di luar batas kemampuan keuangan pasien akan berdampak
pada tidak terbelinya antibiotika oleh pasien, sehingga mengakibatkan terjadinya
kegagalan terapi. Setepat apapun antibiotika yang diresepkan apabila jauh dari
tingkat kemampuan keuangan pasien tentu tidak akan bermanfaat.
BAB III
TATA LAKSANA PENGGUNAAN ANTIMIKROBA
e. Rute pemberian
antibiotika oral seharusnya menjadi pilihan pertama untuk terapi infeksi. Pada
infeksi sedang sampai berat dapat dipertimbangkan menggunakan antibiotika
parenteral (Cunha, BA., 2010). Jika kondisi pasien memungkinkan,
pemberian antibiotika parenteral harus segera diganti dengan antibiotika per
oral.
f. Lama pemberian antibiotika definitif berdasarkan pada efikasi klinis untuk
eradikasi bakteri sesuai diagnosis awal yang telah dikonfirmasi. Selanjutnya
harus dilakukan evaluasi berdasarkan data mikrobiologis dan kondisi klinis
pasien serta data penunjang lainnya (IFIC., 2010; Tim PPRA Kemenkes RI.,
2010)
4. Rute pemberian
a. Antibiotika profilaksis diberikan secara intravena.
b. Untuk menghindari risiko yang tidak diharapkan dianjurkan pemberian
antibiotika intravena drip.
5. Waktu pemberian
Antibiotika profilaksis diberikan ≤ 30 – makismal 60 menit sebelum insisi kulit.
6. Dosis pemberian
Untuk menjamin kadar puncak yang tinggi serta dapat berdifusi dalam jaringan
dengan baik, maka diperlukan antibiotika dengan dosis yang cukup tinggi. Pada
jaringan target operasi kadar antibiotika harus mencapai kadar hambat minimal 2
kali kadar terapi.
7. Lama pemberian
Durasi pemberian adalah dosis tunggal.
Dosis ulangan dapat diberikan atas indikasi perdarahan lebih dari 1500 ml atau
operasi berlangsung lebih dari 3 jam (SIGN, 2008).
8. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap risiko terjadinya ILO, antara lain:
a. Kategori/kelas operasi (Mayhall Classification) (SIGN, 2008).
Kelas Operasi Definisi Penggunaan Antibiotik
Operasi Bersih Operasi yang dilakukan pada daerah Kelas operasi bersih
dengan kondisi pra bedah tanpa infeksi, terencana umumnya tidak
tanpa membuka traktus (respiratorius, memerlukan antibiotika
gastrointestinal, urinarius, bilier), operasi profilaksis kecuali pada
terencana, atau penutupan kulit primer beberapa jenis operasi,
dengan atau tanpa digunakan drain misalnya mata, jantung, dan
tertutup. sendi).
Operasi Bersih- Operasi yang dilakukan pada traktus Pemberian antibiotika
Kontaminasi (digestivus, bilier, urinarius, respiratorius, profilaksis pada kelas operasi
reproduksi kecuali ovarium) atau operasi bersih kontaminasi perlu
tanpa disertai kontaminasi yang nyata. dipertimbangkan manfaat dan
risikonya karena bukti ilmiah
mengenai efektivitas
antibiotika profilaksis belum
ditemukan.
Operasi Kontaminasi Operasi yang membuka saluran cerna, Kelas operasi kontaminasi
saluran empedu, saluran kemih, saluran memerlukan antibiotika terapi
napas sampai orofaring, saluran reproduksi (bukan profilaksis).
kecuali ovarium atau operasi yang tanpa
pencemaran nyata (Gross Spillage).
Operasi Kotor Adalah operasi pada perforasi saluran Kelas operasi kotor
cerna, saluran urogenital atau saluran napas memerlukan antibiotika
yang terinfeksi ataupun operasi yang terapi.
melibatkan daerahyang purulen (inflamasi
bakterial). Dapat pula operasi pada luka
terbuka lebih dari 4 jam setelah kejadian
atau terdapat jaringan nonvital yang luas
atau nyata kotor.
Untuk antibiotika tipe I, rejimen dosis yang ideal adalah memaksimalkan kadar,
semakin ekstensif dan cepat tingkat bakterisidalnya. Karena itu, rasio AUC 24
jam/KHM, dan rasio kadar puncak/KHM merupakan prediktor efikasi antibiotika
yang penting. Untuk fluoroquinolone vs bakteri Gram-negatif, rasio AUC 24
jam/KHM optimal adalah sekitar 125. Bila fluoroquinolone vs Gram-positif, 40
nampaknya cukup optimal. Namun, rasio AUC 24 jam/KHM untuk
fluoroquinolone sangat bervariasi.
Antibiotika tipe III memiliki sifat campuran, yaitu tergantung waktu dan efek
persisten yang sedang. Rejimen dosis ideal untuk antibiotika ini diperoleh dengan
memaksimalkan jumlah obat yang masuk dalam sirkulasi sistemik. Efikasi obat
ditentukan oleh rasio AUC 24 jam/KHM. Untuk Vancomycin, diperlukan rasio
AUC 24 jam/KHM minimal 125.
Infeksi bakteri terjadi bila bakteri mampu melewati barrier mukosa atau kulit dan
menembus jaringan tubuh. Pada umumnya, tubuh berhasil mengeliminasi bakteri tersebut
dengan respon imun yang dimiliki, tetapi bila bakteri berkembang biak lebih cepat
daripada aktivitas respon imun tersebut maka akan terjadi penyakit infeksi yang disertai
dengan tanda tanda inflamasi. Terapi yang tepat harus mampu mencegah
berkembangbiaknya bakteri lebih lanjut tanpa membahayakan host. Antibiotika adalah
obat yang digunakan untuk mengatasi infeksi bakteri. Antibiotika bisa bersifat bakterisid
(membunuh bakteri) atau immunocompromised (misalnya pada pasien neutropenia) atau
infeksi di lokasi yang terlindung (misalnya pada cairan cerebrospinal), maka antibiotika
bakterisid harus digunakan.
Penggolongan antibiotika berdasarkan mekanisme kerja :
1. Obat yang Menghambat Sintesis atau Merusak Dinding Sel Bakteri
a. Antibiotika Beta-lactam
Antibiotika beta-lactam terdiri dari berbagai golongan obat yang mempunyai struktur
cincin beta-lactam, yaitu penicillin, cephalosporin, monobactam, carbapenem, dan
inhibitor beta lactamase. Obat-obat antiobiotik beta-lactam umunya bersifat bakterisid,
dan sebagian besar efektif terhadap organisme Grampositif dan negatif. Antibiotika
beta-lactam menganggu sintesis dinding sel bakteri, dengan menghambat langkah
terakhir dalam sintesis peptidoglikan, yaitu heteropolimer yang memberikan stabilitas
mekanik pada dinding sel bakteri.
1) Penicillin
Golongan penicillin diklasifikasikan berdasarkan spektrum aktivitas antibiotikanya.
2) Cephalosporin
Cephalosporin menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan mekanisme serupa
dengan penicillin. Cephalosporin diklasifikasikan berdasarkan generasinya.
3) Monobactam (beta-lactam monosiklik)
Contoh: aztreonam.
Aktivitas : resisten terhadap beta-lactamase yang dibawa oleh bakteri Gramnegatif.
Aktif terutama terhadap bakteri Gram-negatif. Aktivitasnya sangat baik terhadap
Enterobacteriacease, P. Aeruginosa, H. Influenzae dan ganokokus.
Pemberian: parenteral, terdistribusi baik ke seluruh tubuh, termasuk cairan
serebrospinal.
Waktu paruh: 1,7 jam.
Ekskresi: sebagian besar obat diekskresi utuh melalui urin.
4) Carbapenem
Carbapenem merupakan antibiotika lini ketiga yang mempunyai aktivitas antibiotika
yang lebih luas daripada sebagian besar beta-lactam lainnya. Yang termasuk
carbapenem adalah impenem, meropenem dan doripenem. Spektrum aktivitas:
menghambat sebagian besar Gram-positif, Gram-negatif, dan anaerob. Ketiganya
sangat tahan terhadap beta-lactamase. Efek samping: paling sering adalah mual dan
muntah, dan kejang pada dosis tinggi yang diberi pada pasien dengan lesi SSP atau
dengan insufisiensi ginjal. Meropenem dan doripenem mempunyai efikasi serupa
imipenem, tetapi lebih jarang menyebabkan kejang.
5) Inhibitor beta-lactamase
Inhibitor beta-lactamse melindungi antibiotika beta-lactam dengan cara
menginaktivasi beta-lactamase. Yang termasuk ke dalam golongan ini adalah
clavulanic acid, sulbactam, dan tazobactam.
Clavulanic acid merupakan suicide inhibitor yang mengikat beta-lactamse dari
bakteri Gram-positif dan Gram-negatif secara irreversible. Obat ini dikombinasi
dengan amoxicillin untuk pemberian oral dan dengan ticarcillin untuk pemberian
parenteral.
Sulbactam dikombinasi dengan ampicillin untuk penggunaan parenteral, dan
kombinasi ini aktif terhadap kokus Gram-positif, termasuk S. Aureus penghasil beta
lactamase, aerob Gram-negatif (tapi tidak terhadap Pseudomonas) dan bakter
anaerob.
Tazobactam dikombinasi dengan piperacillin untuk penggunaan parenteral. Waktu
paruhnya memanjang dengan kombinasi ini, dan eksresinya melalui ginjal.
b. Bacitracin
Bacitracin adalah kelompok yang terdiri dari antibiotika polipeptida, yang utama adalah
bacitracin A. Berbagai kokus dan basil Gram-positif, Neisseria, H. Influenzae, dan
Treponema pallidum sensitif terhadap obat ini. Bacitracin tersedia dalam bentuk salep
mata dan kulit, serta bedak untuk topikal. Bacitracin jarang menyebabkan
hipersensitivitas. Pada beberapa sediaan, sering dikombinasi dengan neomisin dan/atau
polimiksin. Bacitracin bersifat nefrotoksik bila memasuki sirkulasi sistemik.
c. Vancomycin
Vancomycin merupakan antibiotika lini ketiga yang terutama aktif terhadap bakteri
Gram-positif. Vancomycin hanya diindikasikan untuk infeksi yang disebabkan oleh S.
Aureus yang resisten terhadap metisilin (MRSA). Semua basil Gram-negatif dan
mikrobakteria resisten terhadap Vancomycin.
Vancomycin diberikan secara intravena, dengan waktu paruh sekitar 6 jam. Efek
sampingnya adalah reaksi hipersensitivitas, demam, flushing dan hipotensi (pada infus
cepat), serta gangguan pendengaran dan nefrotoksisitas pada dosis tinggi.
Tabel 11
b. Tetracycline
Antibiotika yang termasuk ke dalam golongan ini adalah tetracycline,doxycycline,
oxytetracycline, minocycline, dan chlortetracycline. Antibiotika golongan ini
mempunyai spektrum luas dan dapat menghambat berbagai bakteri Gram-positif,
Gram-negatif, baik yang bersifat aerob maupun anaerob, serta mikroorganisme lain
seperti Ricketsia, Mycoplasma, Chlamydia, dan beberapa spesies mikobakteria.
Tabel 12
c. Chloramphenicol
Chloramphenicol adalah antibiotik berspektrum luas, menghambat bakteri
Grampositif dan negatif aerob dan anaerob, Chlamydia, Ricketsia, dan Mycoplasma.
Chloramphenicol mencegah sintesis protein dengan berikatan pada subunit ribosom
50S.
Efek samping : suspresi sumsum tulang, grey baby syndrome, neuritis optik pada
anak, pertumbuhan kandida di saluran cerna, dan timbulnya ruam.
d. Macrolide (erythromycin, azithromycin, chlarithromycin, Roxithromycin)
Macrolide aktif terhadap bakteri Gram-positif, tetapi juga dapat menghambat
beberapa Enterococcus dan basil Gram-positif. Sebagian besar Gram-negatif aerob
resisten terhadap macrolide, namun azithromycin dapat menghambat Salmonela.
Azithromycin dan klaritromisin dapat menghambat H. Influenzae, tetapi
azithromycin mempunyai aktivitas terbesar. Keduanya juga aktif terhadap H. Pylori.
Macrolide mempengaruhi sintesis protein bakteri dengan cara berikatan dengan
subunit 50s ribosom bakteri, sehingga menghambat translokasi peptida.
1) Erythromycin dalam bentuk basa bebas dapat diinaktivasi oleh asam, sehingga
pada pemberian oral, obat ini dibuat dalam sediaan salut enterik. Erythromycin
dalam bentuk estolat tidak boleh diberikan pada dewasa karena akan
menimbulkan liver injury.
2) Azithromycin lebih stabil terhadap asam jika dibanding erythromycin. Sekitar
37% dosis diabsorpsi, dan semakin menurun dengan adanya makanan. Obat ini
dapat meningkatkan kadar SGOT dan SGPT pada hati.
3) Clarithromycin. Absorpsi per oral 55% dan meningkat jika diberikan bersama
makanan. Obat ini terdistribusi luas sampai ke paru, hati, sel fagosis, dan jaringan
lunak. Metabolit clarithromycin mempunyai aktivitas antibakteri lebih besar
daripada obat induk. Sekitar 30% obat disekresi melalui urin, dan sisanya melalui
feses.
4) Roxithromycin mempunyai waktu paruh yang lebih panjang dan aktivitas yang
lebih tinggi melawan Haemophilus influenzae. Obat ini diberikan dua kali sehari.
Roxithromycin hanya dimetabolisme sebagian, lebih dari separuh senyawa
diekskresi dalam bentuk utuh. Tiga metabolit telah diidentifikasi di urin dan feses:
metabolit utama adalah deskladinosa Roxithromycin, dengan N-mono dan N-di-
demetil Roxithromycin sebagai metabolit minor. Roxithromycin dan ketiga
metabolitnya terdapat di urin dan feses dalam persentase yang hampir sama.
Efek samping yang paling sering terjadi adalah efek saluran cerna: diare, mual,
nyeri abdomen dan muntah. Efek samping yang lebih jarang termasuk sakit
kepala, ruam, nilai fungsi hati yang tidak normal dan gangguan pada indra
penciuman dan pengecap.
e. Clindamyicin
Clindamyicin menghambat sebagian besar kokus Gram-positif dan sebagian besar
bakteri anaerob, tetapi tidak bisa menghambat bakteri Gram-negatif aerob seperti
Haemophilus, Mycoplasma dan Chlamydia.
Efek samping: diare dan enterocolytis pseudomembranosa.
f. Mupirocin
Mupirocin merupakan obat tipikal yang menghambat bakteri Gram-positif dan
beberapa Gram-negatif.
Tersedia dalam bentuk krim atau salep 2% untuk penggunaan di kulit (lesi kulit
traumatik, impetigo yang terinfeksi sekunder oleh S. Aureus atau S. Pyogenes) dan
salep 2% untuk intranasal.
Efek samping: iritasi kulit dan mukosa serta sensitisasi.
Obat ini diberikan secara intramuskular.
Pencegahan Anafilaksis :
a. Selalu sediakan obat/alat untuk mengatasi keadaan darurat.
b. Diagnosa dapat diusahakan melalui wawancara untuk mengetahui riwayat alergi obat
sebelumnya dan uji kulit (khusus untuk penicillin). Uji kulit tempel (patcht test) dapat
menentukan reaksi tipe I dan obat yang diberi topikal (tipe IV).
c. Radio Allergo Sorbent Test (RAST) adalah pemeriksaan yang dapat menentukan adanya
IgE spesifik terhadap berbagai antigen, juga tersedia dalam bentuk panil. Disamping itu
untuk reaksi tipe II dapat digunakan test Coombs indirek dan untuk reaksi tipe III dapat
diketahui dengan adanya IgG atau IgM terhadap obat.
d. Penderita perlu menunggu 20 menit setelah mendapat terapi parenteral antibiotika untuk
mengantisipasi timbulnya reaksi hipersensitivitas tipe I.
e. Tatalaksana Anafilaksis dapat dilihat di SPO masing-masing ruang perwatan/IGD/kamar
operasi.
3. Interaksi antibiotika dengan obat lain (Dipiro, 2006; Depkes, 20014; Depkes, 2008;
Aronson, 2005; Karen, 2010; Lacy, 2010)
a. Apoteker mengkaji kemungkinan interaksi antibiotika dengan obat lain/larutan
infus/makanan-minuman. Pemberian antibiotika juga dapat mempengaruhi hasil
pemeriksaan laboratorium.
b. Apoteker dapat memberikan rekomendasi kepada dokter/perawat/pasien terkai
dengan masalah interaksi yang ditemukan.
Cryptococcosis lebih sering terjadi pada pasien HIV dengan penurunan kesadaran dan
tahap defisiensi imun berat; dan ditemukan di tanah terutama yang kaya akan kotoran
unggas. Coccidioidomycosis dan para coccidioidomycosis lebih jarang dan terutama
menyerang kulit, tulang, dan menyebabkan meningitis, daerah endemis jamur ini adalah di
perbatasan Amerika Serikat dengan Amerika Latin. Histoplasma banyak terdapat pada
kasus defisiensi imun berat di lingkungan endemis Histoplasma yaitu daerah tropis dan
subtropis. Pada mucormycoses, diabetes mellitus terutama dengan ketoasidosis diabetik
adalah penyakit yang mendasari yang paling utama. Jamur mucor dapat berkolonisasi pada
mukosa nasofaring dan sinus paranasalis pada inang defisiensi imun.
3. Antifungi
Banyak jamur penyebab mikosis sistemik, tetapi dalam makalah ini akan dibahas 2 yang
terpenting dan tersering timbul yaitu candida dan aspergillus. Pada umumnya 1 antifungi
dapat bersifat fungisida atau fungistatik terhadap lebih dari 1 jenis jamur.
Antifungi yang ideal adalah antifungi yang memiliki aktivitas fungisidal poten, penetrasi
cairan dan jaringan tubuh yang baik, dapat diberikan topikal, oral dan parenteral,memiliki
sinergi dengan obat lain yang baik, tidak ada resistensi, dan efek samping minimal.
Penggunaan antifungi sistemik harus berdasarkan kecurigaan infeksi jamur invasif yang
benar karena antifungi memiliki efek samping yang sering justru berbahaya, disamping
risiko resistensi jamur terhadap antifungi.
a. Histoplasmosis
Itrakonazol merupakan obat terpilih bagi infeksi histoplasmosis ringan dan sedang, dan
amfoterisin B bagi infeksi berat. Flukonazol kurang aktif dan perlu dipertimbangkan
penggunaan sebagai lini kedua. Ketokonazol dapat menjadi obat lini kedua karena
toksisitasnya yang tinggi daripada itrakonazol.
Histoplasmosis pulmoner asimtomatis tidak memerlukan pengobatan khusus. Tetapi bila
gejala muncul dapat diberikan itrakonazol 200 mg per hari selama 6-12 minggu. Pada
keadaan outbreak atau pada kondisi imunokompromis harus diberikan terapi. Terapi awal
diberikan amfoterisin B 0.7-1 mg/kg perhari diikuti itrakonazol oral. Terapi antifungal
perlu diberikan bagi histoplasmosis pulmoner kronik. Itrakonazol 200 mg satu atau dua kali
sehari untuk 12-24 bulan. Itrakonazol 6-12 bulan direkomendasikan terhadap pasien
mediastinitis granulomatus simtomatis. Bila nodus menyebabkan obstruksi pembedahan
diindikasikan.
Semua pasien histoplasmosis diseminata simtomatik perlu mendapatkan terapi antifungal.
Pasien dengan infeksi simtomatik ringan-sedang diseminata akut dan histoplasmosis
diseminata progresif kronik dapat diberikan itrakonazol 200 mg dua kali sehari. Terapi
adekuat bila diberikan 12 bulan.
Pasien AIDS perlu terus mendapat terapi itrakonazol 200 mg per hari setelah sebelumnya
mendapat itrakonazol dua kali sehari selama 12 minggu. Pasien imunokompromis dengan
infeksi sedang hingga berat harus diberi amfoterisin B 0.7- 1 mg/kg per hari. Kebanyakan
pasien dapat diterskan oral itrakonazol begitu telah membaik.
b. Koksidiodomikosis
Koksidioidomikosis pulmonalis primer biasanya akan sembuh spontan. Amfoterisin B
intravena selama beberapa minggu diberikan bila pasien memperlihatkan kecenderungan
ke arah berat atau infeksi primer yang berlarut-larut, dengan harapan mencegah terjadinya
penyakit pulmonalis kronik atau diseminata.
Pasien koksidioidomikosis diseminata yang berat atau yang berjalan progesif dengan cepat
harus segera dimulai pengobatannya dengan penyuntikan amfoterisin B intravena yang
dosisnya 0,5 hingga 0,7 mg/kg BB per hari.
Pasien yang keadaannya membaik setelah penyuntikan amfoterisin B atau memperlihatkan
infeksi diseminata yang tidak aktif dapat dilanjutkan ketokonazol, 400 hingga 800 mg/hari,
atau itrakonazol, 200 hingga 400 mg/hari. Preparat oral ini berguna,untuk tindakan supresi
infeksi jangka panjang dan harus dilanjutkan selama beberapa tahun. Untuk pasien
meningitis koksidiodes, pengcbatan biasanya dapat dimulai dengan flukonazol 400mg per
hari tetapi pasien tersebut mungkin pula memerlukan pemberian amfoterisin B intratekal.
Hidrosefalus merupakan komplikasi yang sering ditemukan pada meningitis yang,tidak
terkontrol. Tindakan debridemen lesi tulang atau drainase abses dapat membantu.Reseksi
lesi pulmoner yang progesif kronik merupakan tindakan pelengkap kemoterapi kalau
infeksi hanya terbatas pada paru dan pada satu lobus. Kavitas berdinding tipis yang tunggal
cenderung menutup spontan dan biasanya tidak direseksi.
c. Kandidiasis
Kandidiasis oral dan kandidiasis mukokutan dapat diobati dengan nistatin topikal, gentian
violet, ketokonazol, maupun flukonazol. Terapi kandidiasis kulit pada daerah yang
mengalami maserasi, memperlihatkan respons terhadap upaya untuk mengurangi
kelembaban kulit dan iritasi dengan pemakaian preparat antifungal yang dioleskan secara
topikal dalam bahan dasar nonoklusif.
Serbuk nistatin atau krim yang mengandung preparat siklopiroks atau azol cukup berkasiat.
Klotrimazol, mikonazol, ekonazol, ketonazol, sulkonazol, dan oksikonazol tersedia dalam
bentuk krem atau lotion. Vulvovaginitis Candida memberikan respons yang lebih baik
terhadap golongan azol daripada terhadap preparat supositoria nistatin. Di antara formula
vaginal klotrimazol, mikazol, tikonazol, butakonazol, dam terkonazol hanya terdapat
sedikit perbedaan pada khasiatnya. Pengobatan sistemik terhadap vulvovaginitis Candida
dengan merggunakan ketokonazol atau flukonazol lebih mudah dilakukan daripada
pengobatan topikal, tetapi potensi preparat tersebut untuk menimbulkan efek merugikan
yang lebih besar. Preparat troches klotrimazol yang dapat diberikan lima kali sehari lebih
efektif untuk mengatasi kandidiasis oral dan esophagus dibandingkan suspensi nistatin.
Ketokonazol dengan dosis 200 hingga 400 mg per hari juga berkhasiat untuk esofagitis
Candida tapi banyak pasien yang kurang dapat menyerap obat tersebut dengan baik karena
mendapatkan preparat antagonis reseptor H-2 atau karena menderita penyakit AIDS. Pada
pasien penyakit AIDS, flukonazol dengan dosis 100 hingga 200 mg per hari merupakan
preparat yang paling efektif untuk mengatasi kandidiasis oral dan esofagus.
Kalau gejala esofagus yang terjadi sangat menonjol atau pada kandidiasis sistemik,
pemberian amfoterisin B intravena dengan dosis 0,3 mg/kg BB per hari selama 5 hingga 10
hari dapat bermanfaat. Kandidiasis kandung kemih akan memperlihatkan respons terhadap
tindakan irigasi dengan larutan amfoterisin B, 50 g/mL, selama 5 hari. Jika tidak ada
kateter kandung kemih, preparat oral flukonazol dapat digunakan untuk mengendalikan
kandiduria. Ketokozanol dengan dosis dewasa 200 mg per hari kemungkinan merupakan
obat pilihan untuk kandidiasis mukokutaneus yang kronik. Amfoterisin B intravena
merupakan obat pilihan pada kandidiasis diseminata, dosis 0,4 hingga 0,5 mg/kg BB per
hari. Candida yang diisolasi dari pemeriksaan kultur darah yang diambil dengan benar
harus dianggap signifikan; hasil positif-palsu yang sejati jarang terdapat.
Semua pasien dengan Candida yang dikultur dari darah perifer harus mendapatkan
amfoterisi B intravena untuk mengatasi infeksi yang akut dan mencegah sekuele lanjut.
Pada pasien tanpa neutropenia, endokarditis, atau fokus infeksi yang dalam lainnya,
pengobatan selama 2 minggu sering sudah memadai. Pemeriksaan funduskopi lewat pupil
yang dilatasi sangat bermanfaat untuk mendeteksi endoptalmitis sebelum kehilangan
penglihatan permanen terjadi.
Kesulitan Bering didapatkan terutama dalam menentukan diagnosis awal dari kandidiasis
sistemik karena gejala klinis kurang spesifik, biakan sering negatif. Penelitian terhadap
resipien cangkok sumsum tulang, terapi profilaksis setiap hari dengan flukonazol, 400mg,
akan menurunkan jumlah kasus kandidiasis profundus. Flukonazol juga dapat digunakan
untuk melengkapi pengobatan kandidiasis diseminata kronik, terutama bila amfoterisin B
diberikan sampai pasien tidak lagi memperlihatkan neutropenia.
3.5 Penggunaan Antivirus
Bidang terapi antivirus (baik dari segi jumlah obat antivirus maupun pemahaman kita
tentang penggunaannya secara optimal) telah tertinggal di belakang terapi antibakteri,
namun kemajuan signifikan telah terjadi dalam beberapa tahun terakhir dengan
ditemukannya obat baru untuk beberapa infeksi virus. Pengembangan obat antiviral
menghadapi beberapa tantangan. Virus mereplikasi diri secara intraseluler dan sering
menggunakan enzim, makromolekul, dan organel sel inang untuk mensintesis partikel
virus. Oleh karena itu, komponen antivirus yang baik harus dapat membedakan antara sel
inang dan viral dengan tingkat spesifisitas tinggi; agen tanpa selektivitas tersebut
cenderung terlalu toksik dalam penggunaan klinis.
Kemajuan yang signifikan juga telah terjadi dalam pengembangan pemeriksaan penunjang
untuk membantu dokter dalam penggunaan yang tepat dari obat antivirus. Tes fenotip dan
genotip untuk melihat resistensi terhadap obat antivirus telah lebih banyak tersedia, dan
korelasi dari hasillaboratoriumdengan kondisi klinis menjadi lebih baik. Telah
dikembangkan juga metode yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas tinggi yang dapat
mengukur konsentrasi virus dalam darah (viral load) dan secara langsung dapat menilai
efek antivirus dari regimen obat yang diberikan pada host. Pengukuran viral load telah
bergunadalam mengenali risiko progresivitas penyakit pada pasien dengan infeksi virus
dan dalam identifikasi pasien yang mana yang paling bermanfaat untuk diberikan
pengobatan antivirus. Seperti halnya uji laboratorium in vitro, hasilnya sangat tergantung
pada dan mungkin bervariasi bergantung dari teknik laboratorium yang digunakan.
Informasi mengenai farmakodinamik obat antivirus,dan khususnya hubungan efek
konsentrasi terhadap efikasi obat, tampaknya lambat tetapi juga mulai berkembang.
Namun, tes untuk mengukur konsentrasi obat antivirus, terutama obat yang aktifdalam sel,
masih terbatas digunakan dalam penelitian dan tidak banyaktersedia secara umum.
Sehingga, pedoman untuk penyesuaiandosis obat antivirus untuk memaksimalkan aktivitas
antivirus dan serta meminimalkantoksisitas masih terbatas. Akibatnya, penggunaan klinis
obat antiviral harus didampingi oleh kewaspadaan terhadap efek samping yang tak terduga.
Seperti pada infeksi lain, tentu saja infeksi virus dipengaruhi oleh interaksi antara patogen
dan kompleks imun host. Ada tidaknya imunitas sebelumnya, kemampuan untuk
melakukan respon imun humoral dan/atau selular,sertastimulasi kekebalan innate
merupakan penentu penting dari gambaran klinis infeksi viral. Keadaan status imun
hostjuga harus dipertimbangkan dalam pemberian dan evaluasiobat antivirus. Seperti
halnya terapi infeksi yang lain, penggunaan antivirus yang optimal diagnosis yang spesifik
dan waktu yang tepat. Untuk beberapa infeksi virus,seperti herpes zoster, manifestasi klinis
saja dapat dijadikan sebagai dasar diagnosis. Sedangkan untuk infeksi virus yang lain,
seperti influenza A, informasi epidemiologi (misalnya,dokumentasi dari penyebaran wabah
influenza) dapatdigunakan untuk membuat diagnosis dugaan dengan tingkat akurasi
tinggi.Namun, untuk sebagian besar infeksi virus yang lain, termasuk herpessimpleks
ensefalitis, infeksi cytomegalovirus selain retinitis,dan infeksi enterovirus, diagnosis
berdasarkan gejala klinis saja tidak bisadilakukan. Untuk infeksi demikian, teknik
diagnosis virus secara cepatmenjadi sangat penting. Kemajuan memilikijuga telah terjadi
dalam beberapa tahun terakhir dalam pengembangan tes serupa, Yang sekarang telah
banyak tersedia untuk sejumlah infeksi virus. Diluar kompleksitas ini, efikasi dari sejumlah
antivirus telah terbukti dalam berbagai penelitian. Beberapa terapi yang dibahas berikutnya
antara lain :
a. Avian Influenza
Prinsip penatalaksanaan avian influenza adalah : istirahat, peningkatan daya tahan tubuh,
pengobatan antiviral, pengobatan antibiotik, perawatan respirasi, anti inflamasi,
imunomodulators.
Mengenai antiviral maka antiviral sebaiknya diberikan pada awal infeksi yakni pada
48 jam pertama. Adapun pilihan obat:
1. Penghambat M2 yaitu Amantadin (symadine) dan Rimantidin (flu-madine) dengan dosis
2x/hari 100 mg atau 5 mg/kgBB selama 3-5 hari
2. Penghambatan neuramidase (WHO) Zanamivir(relenza) dan Oseltamivir (tami-flu)
dengan dosis 2 x 75 mg selama 1 minggu
Departemen Kesehatan RI dalam pedomannya memberikan petunjuk sebagai berikut :
Pada kasus suspek flu burung diberikan Oseltamivir2 x 75mg 5 hari, simptomatik dan
antibiotikjika adaindikasi.
Pada kasus probable flu burung diberikan Oseltamivir2 x 75 mg selama 5 hari, antibiotik
spektrum luas yang mencakup kuman tipik dan atipikal, dan steroid jika perlu seperti
pada kasus pneumonia berat, ARDS. Respiratory Care di ICU sesuai indikasi.
Sebagai profilaksis, bagi mereka yang berisiko tinggi, digunakan oseltamivir dengan
dosis 75 mg sekali sehari selama lebih dari 7 hari (hingga 6 minggu).
b. Influenza
Pasien dapat diobati secara simtomatik. Obat oseltamivir 2 x 75 mg perhari selama 5 hari
akan memperpendek masa sakit dan mengurangi keperluan antimikroba untuk infeksi
sekunder. Zanamivir dapat diberikan lokal secara inhalasi, makin cepat obat diberikan
makin baik. Untuk kasus dengan komplikasi yang sebelumnya mungkin menderita
bronkitis kronik, gangguan jantung atau penyakit ginjal dapat diberikan antibiotik. Pasien
dengan bronkopneumonia sekunder memerlukan oksigen. Pneumonia stafilokokus
sekunder harus diatasi dengan antibiotik yang tahan betalaktamase dan kortikosteroid
dalam dosis tinggi.
Kematian karena flu burung yang menjangkiti manusia 60% di China dan mencapai 80%
di Indonesia dan penyebabnya mirip dengan multiple organ failure yang akut. Sifat virus
ini dapat berintegrasi di beberapa jaringan tubuh tanpa dapat dideteksi kecuali pada paru.
Kematian karena terjangkit flu babi rendah terutama meliputi mereka dengan penyakit paru
atau jantung kronik atau usia yang rentan seperti anak dan lansia.
BAB IV
DOKUMENTASI