Anda di halaman 1dari 16

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 SERVICE QUALITY


Kualitas pelayanan menjadi suatu keharusan yang harus dilakukan
perusahaan supaya mampu bertahan dan tetap mendapat kepercayaan pelanggan.
Pola konsumsi dan gaya hidup pelanggan menuntut perusahaan mampu memberikan
pelayanan yang berkualitas. Keberhasilan perusahaan dalam memberikan pelayanan
yang berkualitas dapat ditentukan dengan pendekatan service quality yang telah
dikembangkan oleh Parasuraman, Berry dan Zeithaml (dalam Lupiyoadi (2006:181).
Layanan adalah proses interaksi antara pelanggan dan penyedia layanan
(Gronroos, (1998) dalam Suh dan Pedersen 2010). Sehingga definisi kualitas
pelayanan dapat diartikan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan dan keinginan
konsumen, serta ketepatannya dalam mengimbangi harapan konsumen (Tjiptono,
2007). Menurut Tjiptono (2007) Kualitas Pelayanan adalah tingkat keunggulan yang
diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi
keinginan pelanggan.
Service Quality adalah seberapa jauh perbedaan antara harapan dan kenyataan
para pelanggan atas layanan yang mereka terima. Service Quality dapat diketahui
dengan cara membandingkan persepsi pelanggan atas pelayanan yang benar-benar
mereka terima dengan layanan sesungguhnya yang mereka harapkan. Kualitas
pelayanan menjadi hal utama yang diperhatikan serius oleh perusahaan, yang
melibatkan seluruh sumber daya yang dimiliki perusahaan. Jadi kesimpulan dari
kualitas pelayanan adalah penilaian yang diberikan pelanggan dari membandingkan
kinerja perusahaan dengan harapan pelanggan itu sendiri.

2.1.1 Manfaat Kualitas Pelayanan


Keberhasilan suatu perusahaan dalam membangun bisnisnya, tidak luput dari
peran pelayanan yang baik dan memuaskan pelanggannya. Kualitas pelayanan akan
memberi manfaat yang cukup besar bagi perusahaan sebagai berikut (Simamora,
2003:180):

13
14

1) Pelayanan yang istimewa (nilai pelayanan yang benar-benar dialami


konsumen melebihi harapannya) atau sangat memuaskan merupakan suatu
basis untuk penetapan harga premium. Perusahaan yang mampu memberikan
kepuasan tinggi bagi pelanggannya dapat menetapkan suatu harga yang
signifikan.
2) Pelayanan istimewa membuka peluang untuk diversifikasi produk dan harga.
Misalnya pelayanan dibedakan menurut kecepatan pelayanan yang diminta
oleh pelanggan yaitu tarif lebih mahal dibebankan untuk pelayanan yang
membutuhkan penyelesaian yang cepat.
3) Menciptakan loyalitas pelanggan. Pelanggan yang loyal tidak hanya potensial
untuk penjualan yang sudah ada tetapi juga untuk produk-produk baru dari
perusahaan.
4) Pelanggan yang terpuaskan merupakan sumber informasi positif bagi
perusahaan dan produk-produk kepada pihak luar, bahkan mereka dapat
menjadi pembela bagi perusahaan khususnya dalam menangkal isu-isu
negatif.
5) Pelanggan merupakan sumber informasi bagi perusahaan dalam hal intelijen
pemasaran dan pengembangan pelayanan atau produk perusahaan pada
umumnya.

2.1.2 Dimensi Service Quality


Konsep kualitas pelayanan yang dihasilkan oleh Parasuraman adalah
SERVQUAL. Terdapat 5 dimensi kualitas pelayanan menurut Parasuraman dalam
Lupiyoadi (2006:182) sebagai berikut:
1. Tangibles, atau bukti fisik yaitu kemampuan suatu perusahaan dalam
menunjukkan eksistensinya pada pihak eksternal. Penampilan dan kemampuan
sarana dan prasarana fisik perusahaan dan keadaan lingkungan sekitarnya adalah
bukti nyata dari pelayanan yang diberikan oleh pemberi jasa. Ini meliputi
fasilitas fisik (Gedung, Gudang, dan lainnya), teknologi (peralatan dan
perlengkapan yang dipergunakan), serta penampilan pegawainya. Secara singkat
dapat diartikan sebagai penampilan fasilitas fisik, peralatan, personil, dan materi
komunikasi.
2. Reliability, atau keandalan yaitu kemampuan perusahaan untuk memberikan
pelayanan sesuai yang dijanjikan secara akurat dan terpercaya. Harus sesuai
15

dengan harapan pelanggan berarti kinerja yang tepat waktu, pelayanan tanpa
kesalahan, sikap simpatik dan dengan akurasi tinggi. Secara singkat dapat
diartikan sebagai kemampuan untuk memberikan layanan yang dijanjikan secara
akurat, tepat waktu, dan dapat dipercaya.
3. Responsiveness, atau ketanggapan yaitu suatu kemauan untuk membantu dan
memberikan pelayanan yang cepat (responsive) dan tepat kepada pelanggan,
dengan penyampaian informasi yang jelas. Membiarkan konsumen menunggu
tanpa alasan yang jelas menyebabkan persepsi yang negatif dalam kualitas
pelayanan. Secara singkat dapat diartikan sebagai kemauan untuk membantu
pelanggan dengan memberikan layanan yang baik dan cepat.
4. Assurance, atau jaminan dan kepastian yaitu pengetahuan, kesopan santunan, dan
kemampuan para pegawai perusahaan untuk menumbuhkan rasa percaya
pelanggan kepada perusahaan. Dimensi assurance terdiri dari empat subdimensi,
yaitu :
a. Competence (Kompetensi)
Keahlian dan keterampilan yang harus dimiliki penyedia jasa dalam
memberikan jasanya kepada pelanggan.
b. Credibility (Kredibilitas)
Kejujuran dan tanggung jawab pihak penyedia jasa sehingga pelanggan dapat
mempercayai pihak penyedia jasa.
c. Courtesy (Kesopanan)
Etika kesopanan, rasa hormat, dan keramahan pihak penyedia jasa kepada
pelanggannya pada saat memberikan jasa pelayanan.
d. Security (Keamanan/Keselamatan)
Rasa aman, perasaan bebas dari rasa takut serta bebas dari keragu-raguan
akan jasa pelayanan yang diberikan oleh pihak penyedia jasa kepada
pelanggannya.

5. Empathy, yaitu memberikan perhatian yang tulus dan bersifat individual atau
pribadi yang diberikan kepada pelanggan dengan berupaya memahami keinginan
konsumen dimana suatu perusahaan diharapkan memiliki suatu pengertian dan
pengetahuan tentang pelanggan, memahami kebutuhan pelanggan secara spesifik,
serta memiliki waktu pengoperasian yang nyaman bagi pelanggan. Dimensi
empathy terdiri dari tiga sub dimensi, yaitu :
16

a. Access (Akses)
Tingkat kemudahan untuk dihubungi dan ditemuinya pihak penyedia jasa
kepada pelanggannya.
b. Communication (Komunikasi)
Kemampuan pihak penyedia jasa untuk selalu menginformasikan sesuatu
dalam bahasa yang mudah dimengerti oleh pelanggan dan pihak penyedia
jasa selalu mau mendengarkan apa yang disampaikan oleh pelanggan.
c. Understanding Customer (Mengerti Pelanggan)
Tingkat usaha pihak penyedia jasa untuk mengetahui dan mengenal
pelanggan beserta kebutuhan-kebutuhannya.

Menurut Tjiptono (2006) ada 4 karakteristik pokok pada jasa yang


membedakannya dengan barang, keempat karakteristik tersebut meliputi:
1) Intangibility
Jasa berbeda dengan barang, jika barang menggunakan suatu objek, alat atau
benda, maka jasa adalah suatu perbuatan, kinerja (performance) atau usaha.
Jasa bersifat intangible yang artinya tidak dapat dilihat, dirasa, diraba, dicium
atau didengar sebelum dibeli.
2) Inseparability
Barang biasanya diproduksi, kemudian dijual, lalu dikonsumsi. Sedangkan
jasa biasanya dijual terlebih dahulu, baru kemudian diproduksi dan
dikonsumsi secara bersamaan.
3) Variability
Jasa bersifat sangat variabel karena merupakan nonstandarized output, artinya
banyak bentuk variasi, kualitas dan jenis, tergantung pada siapa, kapan, dan
dimana jasa tersebut dihasilkan. Ada 3 faktor yang menyebabkan variabilitas
kualitas jasa Tjiptono (2006) yaitu kerjasama atau partisipasi konsumen
selama penyampaian jasa, moral/motivasi karyawan dalam melayani
konsumen, dan beban kerja perusahaan.
4) Perishability
Jasa merupakan komoditas tidak tahan lama dan tidak dapat disimpan,
dengan demikian bila suatu jasa tidak digunakan, maka jasa tersebut akan
berlalu begitu saja.
17

2.2 Experiential Marketing


Experiential marketing diartikan sebagai memori yang tidak terlupakan atau
pengalaman yang tertanam pada pikiran orang. Konsumen menekankan pengalaman
pribadinya saat proses konsumsi terjadi. Hal ini memperbolehkan konsumen dengan
sentimental dan emosional untuk memenuhi keinginan konsumen dalam melakukan
pembelian. Experiential marketing bertujuan untuk membuat para staff marketing
menekankan keseluruhan kualitas pengalaman kepada para konsumen dengan brands,
meliputi pengambilan keputusan yang rasional dan pengalaman konsumen yang
sentimental.
Schmitt dan Rogers (2008) menerangkan kerangka analisis Experiential
Marketing melalui dua aspek yang menjadi pilar pendekatan experiential marketing
yang menurut sudut pandang praktisi dan profesional akan sangat membantu
memahami bagaimana seharusnya menciptakan kampanye pemasaran yang dapat
menyentuh berbagai pengalaman yang spesifik dengan konsumen, yaitu Strategic
Experiential Models (SEMs) dan Experiential Providers (ExPros). Namun pada
penelitian ini, peneliti hanya menggunakan kerangka Strategic Experiential Models
(SEMs).
Schmitt dalam Yang (2009:248) berpendapat bahwa pengalaman adalah
peristiwa terjadinya umpan balik individu dalam beberapa rangsangan atau stimulasi.
Diketahui bahwa penelitian mengenai experiental marketing mengacu kepada teori
yang dikemukakan oleh Bernd H. Schmitt selaku pencetus konsep experiential
marketing pada tahun 1999. Experiential marketing berbeda dari traditional
marketing yang hanya menekankan fitur dan keuntungan produk atau jasa untuk
menarik perhatian konsumen agar penjualan meningkat (Chou, 2009:994).
Menurut Schmitt dalam Wang dan Lin (2010:110) experiential marketing
didefinisikan sebagai suatu rangsangan atau stimulus yang mempengaruhi perasaan,
pikiran, dan perilaku individual konsumen setelah mengalami suatu kejadian tertentu.
Pada dasarnya experiential marketing berfokus pada pengalaman konsumen dalam
mengkonsumsi barang atau jasa melalui penciptaan lingkungan yang tepat oleh
marketer (Schmitt, 1999:60).
Adapun beberapa pengertian experiential marketing menurut para ahli adalah
sebagai berikut:
1. Wolfe (2005) experiential marketing dapat diartikan sebagai sebuah
perpaduan antara praktis pemasaran non-tradisional dan modern yang
18

diintegrasikan dalam rangka meningkatkan pengalaman personal dan


emosioanal terhadap merek.
2. Andreani (2007) experiential marketing merupakan suatu pendekatan yang
dilakukan untuk memberikan informasi sebanyak-banyaknya mengenai suatu
produk atau jasa kepada konsumen.
3. Carbone (Yang, 2009:248) mendefinisikan pengalaman sebagai citra (image)
yang dimiliki konsumen dalam benaknya setelah berhadapan dengan produk,
jasa, dan perusahaan, serta merupakan persepsi yang berasal dari
kombinasi berbagai informasi yang diterima oleh panca indera.
4. Smilansky (2009:5) berpendapat bahwa experiential marketing adalah suatu
proses mengidentifikasi dan memuaskan kebutuhan dan aspirasi pelanggan
secara menguntungkan, melibatkan mereka dalam komunikasi dua arah
yang membawa kepribadian merek menjadi nyata dan menambah nilai bagi
target audiens.

2.2.1 Dimensi Experiential Marketing


Menurut Schmitt dan Rogers (2008), Strategic Experiential Models (SEMs)
merupakan kerangka Experiential Marketing yang terdiri dari pengalaman melalui
indera (sense), pengalaman afektif (feel), pengalaman kognitif kreatif (think),
pengalaman fisik dan keseluruhan gaya hidup (act), serta pengalaman yang
menimbulkan hubungan dengan kelompok referensi atau kultur tertentu (relate).
Adapun 5 indikator pengalaman yang dimaksud dapat dijelaskan sebagai berikut:
a) Sense
Sense (pengalaman indera) adalah usaha untuk menciptakan pengalaman
yang berkaitan dengan panca indra melalui penglihatan, suara, sentuhan, rasa
dan bau. Tujuan utama membentuk pengalaman indera adalah sebagai:
1. Differentiator (pembeda)
Sebagai pembeda, pengalaman indera berujuan untuk menampilkan identitas
atau ciri khas tertentu yang tampak melalui stimulus, yakni dengan
memberikan perhatian dan menjadikan informasi agar lebih menarik dari
biasanya bisa melalui musik, warna atau tampilan agar tetap up to date.
Dalam hal ini, empat hal penting yang menunjukkan ciri atau identitas produk
antara lain: properties (gedung, bangunan, pabrik, kantor dan mesin pabrik),
19

products (fisik produk dan aspek utama jasa), presentation (tampilan kemasan)
dan publications (brosur, promosi, iklan).
2. Motivator (pemberi motivasi)
Sebagai motivator, pengalaman indera bertujuan untuk memberi motivasi
kepada konsumen untuk mencoba produk dan membelinya. Dalam hal ini,
pengalaman indera dapat diterapkan melalui tiga cara, yaitu:
a) Across modalities, dimana pengalaman indera disajikan dengan
menggunakan multi media, dengan mengkombinasikan penampilan,
pendengaran, penciuman dalam menyampaikan informasi;
b) Across express, dimana pengalaman indera disajikan menerapkan image
(kesan tertentu) pada proroduk atau jasa. Hal ini berhubungan dengan
tingkat konsistensi elemen yang berkaitan panca indra;
c) Across space and time, dimana pengalaman indera disajikan melalui gaya,
tema, slogan, warna, orang yang digunakan dalam iklan, pencahayaan
dan struktur organisasi.
3. Add Value (memberi nilai)
Dalam hal ini, pengalaman indera bertujuan untuk menggabungkan seluruh
komponen yang berkaitan dengan panca indra (atribut, gaya dan tema)
sebagai bagian dari sense strategies (cognitive consistency/sensory variety).
Oleh karena itu, dalam menyediakan nilai yang unik dalam pengalaman
konsumen, setiap perusahaan harus dapat memahami tipe dari sense yang
diinginkan oleh konsumen.
b) Feel
Feel (pengalaman afektif) merupakan strategi dan implementasi untuk
memberikan pengaruh merek kepada konsumen melalui komunikasi (iklan),
produk (kemasan dan isinya), identitas produk (co-branding), lingkungan,
websites, orang yang menawarkan produk. Setiap perusahaan harus memiliki
pemahaman yang jelas mengenai cara penciptaan perasaan melalui
pengalaman konsumsi yang dapat menggerakkan imajinasi konsumen yang
diharapkan konsumen dapat membuat keputusan untuk membeli.
Pengalaman afektif adalah hasil kontak dan interaksi yang
berkembang sepanjang waktu, di mana dapat dilakukan melalui perasaan dan
emosi yang ditimbulkan. Selain itu juga dapat ditampilkan melalui ide dan
kesenangan serta reputasi akan pelayanan konsumen. Tujuan utama
20

membentuk pengalaman afektif adalah untuk menggerakkan stimulus


emosional (events, agents and objects) sebagai bagian dari feel strategies
sehingga dapat mempengaruhi emosi dan suasana hati konsumen.
Pengalaman afektif merupakan pengalaman yang tercipta sedikit demi sedikit,
yaitu perasaan yang berubah-ubah, jarak antara mood yang positif atau
negatif kepada emosi yang kuat. Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan
berkaitan dengan pengalaman afektif adalah:
1. Suasana hati (moods)
Moods merupakan pernyataan affective yang tidak spesifik. Suasana hati
dapat dibangkitkan dengan cara memberi stimuli yang spesifik. Suasana hati
seringkali mempunyai dampak yang kuat terhadap apa yang diingat
konsumen dan merek apa yang akan mereka pilih. Keadaan suasana hati
dapat dipengaruhi oleh apa yang terjadi selama konsumsi produk dan
keadaaan hati untuk tercipta selama proses konsumsi. Pada gilirannya dapat
mempengaruhi evaluasi menyeluruh konsumen atas produk.
2. Emosi (emotion)
Emosi lebih kuat dibandingkan dengan suasana hati dan merupakan
pernyataan affective dari stimulus yang spesifik. Misalnya marah, iri hati dan
cinta. Emosi-emosi tersebut disebabkan oleh sesuatu/ seseorang (orang,
peristiwa, perusahaan, produk atau komunikasi). Emosi dasar merupakan
komponen-komponen dasar dari kehidupan konsumen, misalnya emosi-emosi
positif seperti senang dan emosi negative.
c) Think (pengalaman kognitif kreatif)
Think (pengalaman kognitif kreatif) dilakukan untuk mendorong konsumen
sehingga tertarik dan berpikir secara kreatif sehingga mungkin dapat
menghasilkan evaluasi kembali mengenai perusahaan dan merek tersebut.
Pengalaman ini lebih mengacu pada masa depan, fokus, nilai, kualitas dan
perkembangan, serta dapat ditampilkan melalui hal-hal yang memberi
inspirasi, teknologi dan kejutan.
d) Act (pengalaman fisik dan gaya hidup)
Act (pengalaman fisik dan gaya hidup) merupakan upaya untuk menciptakan
pengalaman konsumen yang berhubungan dengan tubuh secara fisik, pola
perilaku, dan gaya hidup dalam jangka panjang, berdasarkan pengalaman
yang terjadi dari interaksi dengan orang lain. Di mana gaya hidup sendiri
21

merupakan pola perilaku individu dalam hidup yang direfleksikan dalam


tindakan, minat dan pendapat. Penciptaan pengalaman fisik dan keseluruhan
gaya hidup dapat diterapkan dengan menggunakan trend yang sedang
berlangsung, atau dengan mendorong terciptanya trend budaya baru. Tujuan
penciptaan pengalaman fisik dan gaya hidup adalah untuk memberikan kesan
terhadap pola perilaku dan gaya hidup, serta memperkaya pola interaksi sosial
melalui strategi yang dilakukan.
e) Relate (pengalaman identitas sosial)
Relate (pengalaman identitas sosial) merupakan gabungan dari keempat
aspek Experiential Marketing, yaitu: sense, feel, think dan act. Pengalaman
identitas sosial ditunjukkan melalui hubungan dengan orang lain, kelompok
lain (misalnya pekerjaan, gaya hidup) atau komunitas sosial yang lebih luas
dan abstrak (misalnya negara, masyarakat, budaya). Dalam hal ini, tujuan dari
penciptaan pengalaman identitas sosial adalah untuk menghubungkan
konsumen dengan budaya dan lingkungan sosial yang dicerminkan oleh
produk atau jasa.

2.3 Customer Satisfaction


Kata ‘kepuasan atau satisfaction’ berasal dari bahasa latin “Satis” (artinya
cukup baik, memadai) dan “Factio” (artinya melakukan atau membuat). Secara
sederhana kepuasan dapat diartikan sebagai ‘upaya pemenuhan sesuatu’ atau
‘membuat sesuatu memadai.
Menurut Kotler & Armstrong (2001), kepuasan pelanggan merupakan tingkat
perasaan seseorang setelah membandingkan hasil yang dirasakan dengan harapannya.
Seorang pelanggan akan mengalami berbagai tingkat kepuasan bila kinerja produk
dan produk yang dihasilkan sesuai dengan harapannya, dan akan merasa tidak puas
bila barang yang dihasilkan tidak sesuai dengan harapannya. Hal yang sama juga
dijelaskan oleh Zeithaml, et.al. (2006), bahwa yang dimaksud dengan kepuasan
pelanggan merupakan respon pemenuhan dari konsumen. Hal ini merupakan
penilaian mengenai bentuk dari produk dan layanan, atau mengenai produk atau
layanan itu sendiri, dalam menyediakan tingkat kepuasan dari konsumsi yang
terpenuhi.
22

Kepuasan konsumen adalah tingkat perasaan seseorang yang dihasilkan dari


perbandingan kinerja atau hasil yang dirasakan oleh pelanggan dengan harapan dari
pelanggan. Ada faktor-faktor pendorong kepuasan konsumen menurut Handi Irawan
D (2002:37), meliputi:
a) Kualitas Produk
b) Service Quality
c) Faktor Emosional
d) Kemudahan untuk mendapatkan produk dan jasa
Menurut Hoq & Amin (2010), untuk mengukur kepuasan pelanggan dapat dilihat
dari:
1. Experience
2. Expectation
3. Overall Satisfaction
Membangun kepuasan konsumen adalah merupakan inti dari pencapaian
profitabilitas jangka panjang. Kepuasan adalah merupakan perbedaan antara harapan
dan unjuk kerja (yang senyatanya diterima). Konsumen akan melakukan proses
evaluasi terhadap konsumsi yang telah dilakukannya. Inilah yang disebut sebagai
proses evaluasi alternatif tahap kedua. Hasil dari evaluasi pasca konsumsi tersebut
adalah konsumen puas atau tidak puas terhadap produk atau jasa yang
dikonsumsinya. Kepuasan akan mendorong konsumen membeli dan mengkonsumsi
ulang produk atau jasa tersebut. Sebaliknya perasaan tidak puas akan menyebabkan
konsumen kecewa dan menghentikan pembelian kembali produk atau jasa tersebut.
(Sumarwan 2008:321).

2.3.1 Konsep Customer Satisfaction


Dalam konsep kepuasan pelanggan terdapat dua elemen yang mempengaruhi,
yaitu harapan dan kinerja. Kinerja adalah persepsi konsumen terhadap apa yang
diterima setelah mengkonsumsi produk atau jasa. Harapan adalah perkiraan
konsumen tentang apa yang akan diterima apabila ia mengkonsumsi produk (barang
atau jasa) kepuasan pelanggan dapat digambarkan seperti yang ditunjukkan pada
gambar sebagai berikut:
23

Tujuan Perusahaan Kebutuhan dan


Keinginan

Produk
Harapan Pelanggan

Nilai Produk bagi


Pelanggan

Tingkat Kepuasan
Pelanggan

Gambar 2.1 Konsep Kepuasan Pelanggan


Sumber: Tjiptono (2008:40)

Kepuasan pelanggan merupakan fungsi dari kualitas pelayanan dikurangi


harapan pelanggan (Zeithaml dan Bitner, 2008:48) dengan kata lain pengukuran
kepuasan konsumen dirumuskan sebagai berikut:
1. Service quality < Expectation
Bila ini terjadi, dapat dikatakan bahwa pelayanan yang diberikan perusahaan
buruk. Selain tidak memuaskan juga tidak sesuai dengan harapan pelanggan.
Jika service quality yang diberikan perusahaan lebih kecil dari ekspektasi
pelanggan, maka akan mengakibatkan ketidakpuasan terhadap pelanggan.
2. Service quality = Expectation
Bila ini terjadi dapat dikatakan bahwa pelayanan yang diberikan tidak ada
keistimewaan. Jika nilai kualitas pelayanan yang diberikan perusahaan sama
dengan harapan pelanggan, maka muncul kepuasan yang biasa diinginkan
pelanggan.
3. Service quality > Expectation
Bila ini terjadi dapat dikatakan bahwa pelanggan merasakan pelayanan yang
diberikan oleh perusahaan tidak hanya sesuai dengan kebutuhan, namun
sekaligus memuaskan dan menyenangkan. Jika kualitas pelayanan lebih besar
dari harapan yang diinginkan pelanggan, maka akan membuat kepuasan
pelanggan sangat luar biasa. Pelayanan ketiga ini disebut pelayanan prima
(excellent service) yang selalu diharapkan oleh pelanggan.
24

2.3.2 Metode Pengukuran Customer Satisfaction


Ada beberapa metode yang bisa dipergunakan setiap perusahaan untuk
mengukur dan memantau kepuasan pelanggannya dan pelanggan pesaing. Menurut
Tjiptono (2005:336) terdapat 4 metode yang banyak digunakan dalam mengukur
kepuasan pelanggan, yaitu:
1. Sistem Keluhan dan Saran
Setiap organisasi yang berorientasi pada pelanggan (Customer-Oriented)
perlu menyediakan kesempatan dan akses yang mudah dan nyaman bagi
para pelanggannya guna menyampaikan saran, kritik, pendapat dan
keluhan mereka.
2. Ghost Shopping (Mystery Shopping)
Salah satu cara memperoleh gambaran mengenai kepuasan pelanggan adalah
dengan mempekerjakan beberapa orang ghost shoppers untuk berperan atau
berpura-pura sebagai pelanggan potensial produk perusahaan dan pesaing.
Mereka diminta berinteraksi dengan staf penyedia jasa dan menggunakan
produk atau jasa perusahaan. Berdasarkan pengalaman tersebut, mereka
kemudian diminta melaporkan temuan-temuannya berkenaan dengan
kekuatan dan kelemahan produk perusahaan dan pesaing.
3. Lost Customer Analysis
Sedapat mungkin perusahaan menghubungi para pelanggan yang telah
berhenti membeli atau telah pindah pemasok agar memahami mengapa hal itu
terjadi dan supaya dapat mengambil kebijakan perbaikan/penyempurnaan
selanjutnya.
4. Survei Kepuasan Pelanggan
Sebagian besar riset kepuasan pelanggan dilakukan dengan menggunakan
metode survei (McNeal & Lamb, dikutip dalam Peterson & Wilson, 1992),
baik survey melalui pos, telepon, e-mail, maupun wawancara langsung.
Pengukuran kepuasan pelanggan melalui metode ini dapat dilakukan dengan
berbagai cara, diantaranya;
a) Directly Reported Satisfaction
Pengukuran dilakukan menggunakan item-item spesifik yang menyatakan
langsung tingkat kepuasan yang dirasakan pelanggan.
25

b) Derived Satisfaction
Dalam metode ini setidaknya pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
menyangkut dua hal utama, yaitu (1) tingkat harapan atau ekspektasi pelanggan
terhadap kinerja produk atau perusahaan pada atribut-atribut relevan, dan (2)
persepsi pelanggan terhadap kinerja actual produk atau perusahaan
bersangkutan.
c) Problem Analysis
Dalam teknik ini, responden diminta mengungkapkan masalah-masalah
yang mereka hadapi berkaitan dengan produk atau jasa perusahaan dan saran-
saran perbaikan.
d) Importance-performance Analysis
Dalam teknik ini, responden diminta untuk menilai tingkat kepentingan
berbagai atribut relevan dan tingkat kinerja perusahaan (perceived performance)
pada masing-masing atribut tersebut.

2.3.3 Dimensi Customer Satisfaction


Berdasarkan pengukuran dimensional pada kepuasan konsumen yang
dilakukan oleh Office of Economic and Commerce Ministry (2004), terdapat
beberapa elemen program kepuasan pelanggan yakni:
a) The environment seperti lingkungan dan kenyamanan dalam berbelanja serta
kemudahan dalam memarkir kendaraan.
b) Personnel service seperti perilaku pramugari dan pramugara yang baik serta
pelayanan yang cepat.
c) Service seperti keatraktifan kemasan dan informasi yang diberikan tepat.
d) Tangible products seperti harga yang jelas, such as a clear price tag,
kompabilitas produk promosi dengan informasi periklanan.
e) Value seperti kualitas yang sesuai dengan harga.
26

2.4 Kerangka Pemikiran

H3
(X) (Z)
Service Customer
Quality Satisfaction
(Y)
H1 Experiential H2
Marketing

H4
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
Sumber: Peneliti (2015)

2.5 Rancangan Hipotesis Penelitian


Hipotesa penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
H1 Diduga bahwa service quality berpengaruh terhadap experiential marketing
penumpang PT. Garuda Indonesia.
H2 Diduga bahwa experiential marketing berpengaruh terhadap customer
satisfaction penumpang PT. Garuda Indonesia.
H3 Diduga bahwa service quality secara langsung maupun tidak langsung
mempengaruhi customer satisfaction dengan melalui experiential marketing
selaku variabel mediator pada PT. Garuda Indonesia.
H4 Diduga bahwa adanya pengaruh secara signifikan peranan experiential marketing
dalam memediasi pengaruh service quality terhadap customer satisfaction pada
PT. Garuda Indonesia.

2.6 Hubungan Antara Variabel Service Quality, Experiential Marketing, dan


Customer Satisfaction.

Berikut ini adalah penjelasan mengenai hubungan-hubungan yang terjadi antara


variabel-variabel yang diteliti:
27

1. Experiential Marketing dan Customer Satisfaction

Petrick, Morais, dan Norman (2001) menjelaskan bahwa perusahaan dapat mengubah
pengalaman ketika konsumen sedang menggunakan produk atau jasa untuk
menjadikan mereka mencapai kepuasan tertinggi. Liao (2004) melakukan riset pada
hasil pengaruh dari factor pengalaman para fans professional baseball menjadi
kepuasan dan keloyalitsan, hasil tersebut mengindikasikan bahwa pengalaman
mengakibatkan pengaruh positif secara langsung. Terdapat hubungan yang signifikan
diantara pengalaman mengkonsumsi dengan kepuasan. Tetapi, hubungan signifikan
diantara kepuasan dan dimensi pengalaman lainnya dibedakan dengan subjek
experimental yang berbeda.

2. Service Quality dan Customer Satisfaction

Zeithaml dan Bitner (2000) mengindikasikan, meskipun kualitas jasa dan


persepsi kepuasan konsumen bisa sebagai level independen untuk sentuhan jasa pada
pengalaman, bisa juga sebagai keseluruhan level. Terdapat hubungan yang signifikan
di antara kualitas jasa dengan kepuasan. Menurut Bedi (2010) pemberian jasa
berkualitas yang tinggi adalah keharusan untuk mendapatkan kepuasan konsumen
dan hasil perilaku lainnya. Untuk para konsumen, kualitas jasa dan kepuasan
konsumen terbentuk dari jasa yang terorganisir. Tidak hanya performa atau kualitas
produk saja, tetapi juga memberikan keseluruhan image yg terorganisir.

3. Service Quality dan Experiential Marketing

Verhoef, Katherine, dan Parasuraman (2009) menjelaskan bahwa Pengalaman


atau Experience merupakan salah satu aspek penting untuk meningkatkan kualitas
pelayanan, yang diartikan jika pengalaman bagus atau buruk, hal ini akan menjadi
tolak ukur sejauh mana suatu perusahaan harus menaikkan pelayanan. Sehingga
Service atau pelayanan mempengaruhi Experiential atau pengalaman.
28

Anda mungkin juga menyukai