BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
(HIV/AIDS)
2.1.1 Definisi
Infeksi HIV adalah suatu gejala atau tanda akibat masuknya virus HIV kedalam
yang akan berkembang dalam kebanyakan kasus, mulai dari laten yang bersifat klinis
atau status asimtomatik, sampai kondisi AIDS, ditandai dengan jumlah sel CD4 < 200
atau adanya infeksi oportunistik, tanpa memerhatikan jumlah sel CD4+ (Geri, 2009).
yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV), yaitu virus yang
hilangnya daya tahan tubuh sehingga mudah terserang berbagai penyakit infeksi
2.1.2 Patofisiologi
HIV menyerang sel darah putih (limfosit Th) yang merupakan sumber kekebalan
tubuh untuk menangkal berbagai penyakit infeksi. Dengan memasuki limfosit Th,
menyebabkan kematian limfosit Th. Kematian limfosit Th itu membuat daya tahan
tubuh berkurang, sehingga mudah terserang infeksi dari luar (baik virus lain, baketri,
jamur, atau parasit) sehingga hal itu menyebabkan kematian pada orang dengan
HIV/AIDS. Selain menyerang limfosit Th, virus HIV juga memasuki sel tubuh yang
lain, organ yang paling sering terkena adalah otak dan susunan saraf lainnya. Virus
HIV dilapisi oleh suatu protein pembungkus yang sifatnya toksik (racun) terhadap
sel, khususnya sel otak seta susunan saraf pusat dan tepi lainnya, sehingga terjadilah
Tes skrining antibodi yang digunakan untuk mendiagnosis HIV adalah ELISA
(Sudoyo dkk, 2006; Nursalam dan Kurniawati, 2007). Di Indonesia, metode ELISA
dalam format mikroplate paling sering digunakan sebagai skrining tes terhadap IgG
antibodi HIV. Teknik ini menggunakan sumber antigen berupa virus inaktif yang
telah ditumbuhkan dalam biakan sel limfoid manumur, tetapi juga mengandung
antigen lain (antigen HLA) atau sekuens virus rekombinan (Baveja and Rewari,
2006). ELISA sangat sensitif untuk mengidentifikasi antibodi terhadap HIV, akan
8
tetapi tidak selalu spesifik karena hasil positif (false positif atau positif palsu) juga
dapat ditunjukan oleh penyakit lain seperti penyakit autoimun, infeksi virus, atau
keganasan hematologi (Nursalam dan Kurniawati, 2007). Selain itu tes antibodi HIV
memiliki periode jendela (windows periode) selama 4-8 minggu yang merupakan
periode antara terinfeksi HIV dengan kemunculan antibodi yang dapat di deteksi
dengan pemeriksaan. Oleh karena antibodi HIV belum dapat dideteksi, maka tes
antibodi HIV tidak dapat digunakan selama windows periode karena dapat
memberikan hasil yang negatif pada seseorang yang sebenarnya telah terinfeksi HIV
(Sudoyo dkk, 2006). Dengan demikian, perlu dilakukan pemeriksaan ulangan uji
Pada bayi, gejala umum yang ditemukan sebagai penanda infeksi HIV adalah
(perbesaran hepar dan limpa). Penilaian klinis ini dapat diperkuat melalui tes
diagnostik menggunakan tes ELISA dan dilanjutkan dengan tes western blot
(immunoblot) sebagai tes konfirmasi (Nursalam dan Kurniawati, 2007). Namun perlu
diingat bahwa anak yang lahir dari ibu yang positif terinfeksi HIV secara pasif
HIV, IgG maternal secara bertahap akan menurun dan antibodi biasanya tidak terukur
pada saat umur 7 hingga 10 bulan namun sering kali dapat bertahan hingga 18 bulan
(Baveja and Rewari, 2006). Hal ini menyebabkan hasil tes antibodi HIV tidak dapat
diinterpretasikan atau tidak dapat digunakan untuk menegakan status terinfeksi HIV
9
pada anak di bawah umur 18 bulan (Baveja and Rewari, 2006; Nursalam dan
Hasil uji antibodi HIV dengan akurasi yang lebih tinggi diperoleh pada saat umur
lebih dari atau sama dengan 18 bulan, karena pada umur ini antibodi maternal yang
ditransfer secara pasif selama kehamilan dapat sepenuhnya disingkirkan (Depkes RI,
2008; Yang et al, 2012). Uji antibodi HIV pada bayi HIV negatif menunjukkan hasil
negatif berturut-turut sebesar 14,0%, 60,51%, 88,1%, dan 100% pada umur 6, 9, 12,
dan 18 bulan (Yang et al, 2012). Dengan demikian, penegakkan diagnostik pada anak
menggunakan uji antibodi HIV sebaiknya dilakukan pada saat umur di atas 18 bulan
atau menggunakan tes yang dapat mendeteksi virus (HIV DNA PCR atau kultur
untuk mendeteksi sekuen/urutan proviral HIV secara spesifik pada DNA Peripheral
Blood Mononuclear Cells (PBMC) pasien. Pemeriksaan HIV DNA PCR saat umur
kurang dari 48 jam dapat memberikan hasil negatif sebesar 50% atau lebih pada bayi
yang akhirnya ditetapkan terinfeksi HIV, karena bayi yang terinfeksi selama
kelahiran belum mencapai kuantitas DNA virus yang dapat dideteksi. Pada saat umur
4 minggu, hasil tes DNA PCR positif pada lebih dari 90% bayi yang terinfeksi HIV,
dan sensitivitas uji ini secara konsisten meningkat antara 91% hingga 99% pada bayi
umur di atas 4 minggu (Baveja and Rewari, 2006). Sensitivitas dan spesifisitas uji
DNA PCR pada bayi umur 4-6 minggu diketahui berturut-turut sebesar 92,86% dan
99,09% (WHO, 2010b). Namun uji ini hanya efektif digunakan secara kuantitatif
10
untuk mendeteksi infeksi HIV pada pasien yang berada pada jendela diagnostik
sebelum terjadinya serokonversi, yaitu ketika level antibodi HIV host menurun
namun level RNA-HIV tinggi. Selain itu pertimbangan biaya yang harus dikeluarkan
relatif lebih besar dibandingkan ketika melakukan uji antibodi HIV karena uji ini
memerlukan pengoperasian oleh tenaga yang terampil dan peralatan yang relatif
Kombinasi ARV dapat menghambat replikasi virus. Tujuan terapi ARV adalah
menurunkan angka kesakitan akibat HIV dan menurunkan kematian akibat AIDS;
replikasi virus serendah dan selama mungkin sehingga kadar HIV dalam plasma, 50
kopi/mL (Nasronudin, 2007). ARV terbagi kedalam tiga kelompok utama, yaitu
Transcriptase Inhibitors (NNRTI), dan Protease Inhibitors (PI) (Wells et al, 2006).
Ada tiga tipe kegagalan terapi ARV pada anak dengan HIV/AIDS yaitu:
a. Kegagalan Imunologi
1) Jumlah CD4 <200 sel / mm3 atau% CD4 <10 untuk anak ≥ 2 tahun untuk <5
tahun.
2) Jumlah CD4 <100 sel / mm3 untuk anak umur 5 tahun atau lebih (WHO, 2010a).
b. Kegagalan Klinis
c. Kegagalan Virologi
Viral load plasma terus menerus > 5.000 eksemplar / ml, setelah setidaknya 24
2.2 Depresi
2.2.1 Definisi
depresi menjadi masalah psikososial terbesar yang dihadapi ODHA. Depresi dapat
seseorang malas untuk melakukan aktivitas self care harian secara rutin. Pada pasien
HIV/AIDS, hal ini berpengaruh pada ketidakpatuhan pasien terhadap regimen terapi
antiretroviral dan obat-obatan profilaksis (obat pencegahan) serta hal lainnya yang
Keadaan stres pada individu yang depresi akan menstimulasi hypothalamus untuk
akan mengganggu sistem imunitas, yang menyebabkan CD4 pasien semakin turun
dan pasien semakin rentan terkena infeksi dan perburukan kondisi kesehatan
(Robinson, 2003).
(Riyawati, 2008)
13
Hubungan yang buruk dengan ibu meningkatan risiko depresi pada anak,
demikian juga pada orang tuanya. Anak yang mengalami depresi dapat menjadi
cemas atau agresif dan umumnya memiliki hubungan yang buruk dengan teman
a. Kejadian yang tidak diinginkan, seperti kehilangan dan perceraian orang tua
sekolah
e. Ansietas atau agresi, dan umumnya memiliki hubungan yang buruk dengan
f. Perempuan (remaja)
b. Berkurang energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa lelah
e. Gangguan tidur
(Maslim, 2001)
2.3 Caregiver
perawatan pada seseorang yang sakit secara mental, ketidakmampuan secara fisik
atau kesehatannya terganggu karena penyakit atau umur tua yang diderita (Widiastuti,
2009).
informal adalah seorang individu (anggota keluarga, teman, atau tetangga) yang
memberikan perawatan tanpa dibayar, paruh waktu atau sepanjang waktu, tinggal
bersama maupun terpisah dengan orang yang dirawat, sedangkan caregiver formal
adalah caregiver yang merupakan bagian dari sistem pelayanan baik dibayar maupun
4. Mengatur keuangan
pengasuhan.
(Widiastuti, 2009)
2.4 Kuesioner
Kuesioner adalah daftar pertanyaan yang telah disusun untuk memperoleh data
sesuai dengan penelitian yang dilakukan. Kuesioner juga dapat diartikan sebagai
instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data dengan cara menyusun format
pertanyaan yang telah didesain sedemikian rupa untuk memudahkan analisis sesuai
Pengumpulan data kuesioner ada dua macam yaitu kuesioner terbuka dan
pertanyaan yang telah disediakan oleh peneliti dengan ungkapan yang sesuai menurut
hanya memilih sesuai dengan pendapatnya. Salah satu bentuk kuesioner tertutup
konsisten saat pengukuran dilakukan berulang kali. Reliabilitas dari suatu pengukuran
adalah suatu indikator seberapa jauh pengukuran dapat direplikasi artinya hasilnya
selalu sama jika dilakukan pengukuran oleh siapa pun, kapan pun dan dalam
lingkungan yang berbeda sekalipun. Alat ukur yang reliabel akan menghasilkan data
yang dapat dipercaya. Uji reliabilitas adalah cara menguji suatu alat ukur dengan
menggunakan teknik ulang. Alat ukur yang sama digunakan untuk mengambil data
berulang kali, lalu hasilnya dikorelasikan. Untuk uji reliabilitas kuesioner digunakan
(Sujianto, 2009)
Validasi adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat keabsahan dari suatu alat
ukur. Suatu alat ukur yang valid jika mempunyai validitas yang tinggi. Sebaliknya
alat ukur yang kurang valid berarti memiliki tingkat validitas yang rendah (Rangkuti,
2002). Jumlah responden yang digunakan untuk uji validasi yaitu 15 sampai dengan
17
(Susilo dkk., 2014). Uji validasi dapat dicapai apabila data yang dihasilkan dari alat
ukur tersebut sesuai dengan data atau informasi lain terkait dengan penelitian
dengan cara menghitung koefisien korelasi antar skor tiap item dengan skor total.
signifikan tertentu. Jika koefisien item lebih kecil dari nilai r tabel maka item tersebut
Terdapat banyak jenis atau macam instrument yang dikembangkan untuk menilai
status emosional terkait dengan masalah depresi seperti The Back Depression
Inventory Scales (BDI), Center for Epidemiologic Studies Depression Scale (CES-D)
dan Zung Self Rating Depression Scale (Sharp dan Lipsky, 2002).
kuisioner yang terdiri dari 20 pertanyaan yang dikembangkan oleh Radlof pada tahun
1997. Dari setiap pertanyaan terdapat 4 pilihan jawaban, yakni: tidak pernah (<1
hari), jarang (1-2 hari), kadang-kadang (3-4 hari), dan sering (5-7 hari). Nilai skor
yang digunakan untuk tiap jawaban menggunakan skala Likert 0-3. Setiap jawaban
akan diberikan skor 0,1,2,3 untuk item yang menggambarkan gejala depresi dan
18
3,2,1,0 untuk item yang menggambarkan tidak depresi (Gambar 2.1; Pertanyaan
4,8,12, dan16). Skor total berentang 0-60, dengan kategori skor pada kuesioner CES-
D yaitu kategori < 16 (tidak depresi) dan ≥ 16 (depresi) (Radlof, 1977; Kusuma,
2011).
pasien dewasa dengan HIV/AIDS. Pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Kusuma
tersebut, didapatkan bahwa semua item pertanyaan adalah valid dengan nilai
dengan nilai koefisien reliabilitas alpha cronbach 0,892 (≥ 0,7) (Kusuma, 2011).