Anda di halaman 1dari 15

FARMAKOLOGI KECACINGAN

Infeksi cacing menyerang lebih dari 2 juta orang didunia. Pada wilayah
dengan angka kemiskinan yang tinggi di daerah tropis, dimana prevalensi sangat
besar, infeksi bersamaan dengan jenis cacing yang lebih dari satu adalah hal yang
biasa. Cacing yang bersifat patogen pada manusia adalah Metazoa dan dapat
diklasifikasi menjadi nematode, trematoda, cestoda. Secara biologis jenis-jenis
tersebut bervariasi berdasarkan siklus hidup, sturktur tubuh, perkembangan,
fisiologis, lokasinya pada tubuh inang, serta kerentanannya terhadap kemoterapi.
Bentu imatur yang masuk ke tubuh manusia melalui kulit ataupun traktus GI dan
berkembang menjadi cacing dewasa sesuai dengan karakteristiknya masing-masing.

Dengan beberapa pengecualian, seperti Strongyloides dan Echinococcus,


mikroorganisme ini tidak dapat menyelesaikan siklus hidupnya dan bereplikasi
didalam tubuh inang untuk menghasilkan keturunannya. Oleh sebab itu, paparan yang
cukup luas terhadap parasit ini menunjukkan proses infeksi pada inang,
karakteristiknya dikenali sebagai intensitas infeksi, yang kemudian akan menentukan
morbiditasnya.

1. ALBENDAZOL
Albendazol, suatu antihelmintik oral spektrum luas,untuk mengobati
penyakit hidatid dan sistiserkosis. Obat ini juga digunakan untuk infeksi cacing
kremi (pinworm) dan cacing tambang (hookworm), askariasis, trikuriasis, dan
strongiloidiasis.
FARMAKOLOGI DASAR. Albendazol adalah suatu benzimidazol karbamat.
Penyerapan obat ini tidak teratur (meningkat setelah makanan berlemak) dan obat
ini kemudian mengalami metabolisme first-pass cepat di hati menjadi metabolit
aktif albendazol sulfoksida. Waktu-paruh plasmanya adalah 8-12 jam. Sulfoksida
sebagian besar terikat ke protein, terdistribusi baik ke jaringan dan diekskresikan
di urin.
PEMAKAIAN KLINIS Albendazol diberikan pada lambung kosong jika
digunakan untuk parasit intralumen, tetapi dengan makanan berlemak jika
digunakan untuk parasit jaringan. Dosis dewasa dan anak umur di atas 2 tahun
adalah 400 mg dosis tunggal bersama makan. Untuk cacing kremi, terapi
hendaknya diulangi sesudah 2 minggu. Untuk askariasis berat, lama
pengobatan yang dianjurkan ialah 2-3 hari. Untuk infeksi cacing S. stercoralis
dosis terapi 2x 400 mg per hari selama · 1-2 minggu diberikan bersama
makanan. Untuk penyakit hidatid: dosis terapi yang dianjurkan 800 mg per
hari selama 30 hari; rangkaian pengobatan ini dapat diulangi 2 sampai 3 kali,
dengan interval 2 minggu. Untuk neuro-sistiserkosis: dosis efektif yang
dilaporkan adalah 15 mg/kgBB per hari selama 1 bulan. Untuk cutaneus larva
migrans dosis terapinya 400 mg/hari selama 3 hari dan untuk kapilariasis
intestinal selama 10 hari serta untuk trichinosis 2 x 400 mg/hari selama 1-2
minggu.
EFEK SAMPING. Untuk penggunaan 1-3 hari, urin aman. Efek samping
berupa nyeri ulu hati, diare, sakit kepala, mual, lemah, pusing, insomnia,
frekuensinya sebanyak 6%. Tetapi pada salah satu penelitian dilaporkan,
bahwa insidens efek samping ini tidak berbeda dengan plasebo. Pada
pengobatan/penyakit hydatid selama 3 bulan, dilaporkan timbulnya efek
samping· berupa: alopesia, leukopenia yang reversibel, peningkatan
transaminase yang reversibel, serta gangguan cema berupa mual, muntah, dan
nyeri perut. Pada studi toksisitas kronik dengan hewan coba ditemukan
adanya: diare, anemia, hipotensi, depresi sumsum tulang, kelainan fungsi hati,
embriotoksisitas, dan teratogenisitas.
KONTRAINDIKASI. Anak umur kurang dari 2 tahun, wanita hamil dan
sirosis hati.
2. BITIONOL
Bitionol adalah alternatif untuk triklabendazol untuk mengobati fasioliasis
(fluke hati sapi). Bitionol juga merupakan obat alternative dalam pengobatan
paragonimiasis paru.
Farmakologi Dasar Setelah ingesti, bitionol mencapai kadar darah puncak dalam
4-8 jam. Ekskresi tampaknya terutama melalui ginjal. Ekskresi tampaknya
terutama melalui ginjal.
Pemakaian Klinis. Untuk mengobati paragonimiasis dan fasioliasis, dosis
bitionol adalah 30-50 mg/kg dalam dosis terbagi dua atau tiga, yang diberikan per
oral setelah makan selang sehari selama 10-15 hari. Untuk paragonimiasis paru,
angka kesembuhan lebih dari 90%. Untuk paragonimiasis otak, mungkin
diperlukan pengulangan pengobatan.
Reaksi Samping, Kontraindikasi, & Peringatan Efek samping, yang terjadi
pada hingga 40% pasien, umumnya ringan dan sementara, tetapi kadang
keparahannya menyebabkan terapi dihentikan. Masalah-masalah ini mencakup
diare, kram perut, anoreksia, mual, muntah, pusing bergoyang, dan nyeri kepala.
Ruam kulit dapat terjadi setelah terapi seminggu atau lebih, mengisyaratkan suatu
reaksi terhadap antigen yang dibebaskan dari cacing yang sekarat. Bitionol
sebaiknya diberikan dengan hati-hati kepada anak yang berusia kurang dari 8
tahun karena pengalaman dengan kelompok usia ini terbatas.
3. DIETILKARBAMAZIN SITRAT
Dietilkarbamazin adalah suatu obat pilihan untuk penanganan filariasis,
loiasis, dan eosinofilia tropis. Untuk pengobatan onkoserkariasis, obat ini telah
digantikan oleh ivermektin.
Farmakologi Dasar Dietilkarbamazin, suatu turunan piperazin sintetik,
dipasarkan sebagai suatu garam sitrat. Obat ini cepat diserap dari saluran cerna;
setelah dosis 0,5 mg/kg, kadar plasma puncak tercapai dalam 1-2 jam. Waktu-
paruh plasma adalah 2-3 jam jika urin asam, tetapi sekitar 10 jam jika urin basa,
Obat ini dengan cepat mencapai keseimbangan dengan semua jaringan kecuali
lemak. Obat ini diekskresikan terutama di urin. Dosis mungkin perlu dikurangi
pada pasien dengan gangguan ginjal atau alkalosis urin persisten.
Dietilkarbamazin menyebabkan imobilisasi mikrofilaria dan mengubah struktur
permukaan mereka, melepaskan mereka dari jaringan, dan menyebabkan mereka
lebih rentan terhadap destruksi oleh mekanisme pertahanan pejamu. Cara kerja
terhadap cacing dewasa belum diketahui.
Penggunaan Klinis Obat ini harus diminum setelah makan. Dietilkarbamazin
adalah obat pilihan dalam pengobatan infeksi oleh parasit-parasit ini karena
efikasinya, dan tidak adanya toksisitas serius. Mikrofilaria dari semua spesies
cepat terbunuh; parasit dewasa mati lebih lambat, sering memerlukan pengobatan
beberapa kali. Rejimen ini adalah 50 mg (1 mg/kg pada anak) pada hari 1, tiga
dosis 50 mg pada hari 2, tiga dosis 100 mg (2 mg/kg pada anak) pada hari 3, lalu
2 mg/kg tiga kali sehari untuk menuntaskan pengobatan selama 2-3 minggu.
Untuk kemoprofilaksis (300 mg setiap minggu atau 300 mg selama 3 hari
berturut-turut setiap bulan untuk loiasis; 50 mg setiap bulan untuk filariasis
bankrofti dan Malayan).
EFEK SAMPING. Reaksi terhadap dietilkarbamazin, yang umumnya ringan dan
sementara, mencakup nyeri kepala, malaise, anoreksia, kelemahan otot, mual,
muntah, dan pusing bergoyang. Efek samping juga terjadi akibat pembebasan
protein-protein dari mikrofilaria atau cacing dewasa yang mati, Reaksi terutama
parah pada onkosekariasis, tetapi dietilkarbamazin kini relatif jarang digunakan
untuk infeksi ini, karena ivermektin sama manjurnya dan kurang toksik. Reaksi
terhadap mikrofilaria yang mati biasanya ringan pada infeksi W. bancrofti, lebih
intens pada B. malayi, dan kadang parah pada L. loa. Reaksi berupa demam,
malaise, ruam papular, nyeri kepala, gejala pencernaan, batuk, nyeri dada, dan
nyeri sendi atau otot. Sering terjadi leukositosis. Eosinofilia mungkin meningkat
pada pengobatan. Juga dapat terjadi proteinuria. Gejala paling besar
kemungkinannya terjadi pada pasien dengan jumlah microfilaria yang besar.
Perdarahan retina dan, yang jarang, ensefalopati pernah dilaporkan. Antara hari
ketiga dan kedua belas pengobatan, dapat terjadi reaksi lokal di sekitar cacing
dewasa atau imatur yang mati. Reaksi-reaksi ini mencakup limfangitis disertai
pembengkakan lokal pada infeksi W. bancrofti clan B. malayi, urtika kecil di kulit
pada L. loa, dan papul datar pada M. streptocerca. Pasien dengan serangan
limfangitis akibat W.bancrofti atau B.malayi sebaiknya diterapi ketika periode
tenang di antara serangan. Pemberian dietilkarbamazin pada pasien dengan
hipertensi atau penyakit ginjal perlu dilakukan dengan hati-hati.
4. DOKSISIKLIN
Doksisiklin terbukti memperlihatkan aktivitas makrofilarisida signifikan
terhadap W. bancrofti untuk cacing dewasa, Doksisiklin bekerja secara tak-
langsung, dengan mematikan Wolbachia, suatu simbion bakteri intrasel parasit
filaria.
5. IVERMEKTIN
Ivermektin adalah obat pilihan pada strongiloidiasis dan onkoserkariasis. Obat
ini juga merupakan obat alternatif untuk sejumlah infeksi cacing lainnya.
FARMAKOKINETIK. lvermektin dihasilkan lewat proses fermentasi dari
Streptomyces avermftilis. Pemberian per oral pada manusia diabsorpsi baik dan
memiliki waktu paruh ·10-12 jam. Kadar puncak dicapai dalam 4 jam.
FARMAKODlNAMIK. Cara kerja obat ini yakni memperkuat perarian GABA
pada proses transmisi di saraf tepi, sehingga cacing mati pada keadaan paralisis.
Obat berefek terhadap rnikrofilaria di jaringan dan embriogenesis pada cacirig
betina. Mikrofilaria mengalami paralisis, sehingga mudah dihancurkan oleh
sistem retikulo-endotelial. lvermektin juga efektif terhadap strongiloidosis dan
merupakan obat altematif untuk pasien yang tak tahan atau tak mempan dengan
tiabendazole. lvermektin tidak memiliki efek makrofilarisid bagi filariasis
bancrofty untuk membunuh cacing dewasanya.
INDIKASI. Digunakan pada onkoserkiasis. Dosis tunggal sebesar 150 μg/kgBB,
obat ini memberantas mikrofilaria di jaringan kulit dan rongga mata bagian
depan (anterior chamber), tetapi ivermektin kerjanya lebih lambat dan
menyebabkan reaksi sistemik dan reaksi terhadap mata yang lebih ringan. Untuk
strongiloidiasis pemberian dosis tunggal. 200 μg/kgBB, memberikan keberhasilan
pengobatan lebih dari 80%.
EFEK SAMPING. Pada dosis tunggal 50-200 μg/ kgBB efek samping yang
timbul umumnya ringan, sebentar dan dapat ditoleransi. Biasanya berupa: demam,
pruritus, sakit ot.ot dan sendi, sakit kepala, hipotensi, nyeri di kelenjar limfe.Efek
teratogenik obat ini terlihat pada hewan coba.
KONTRAINDIKASI. Pada wanita hamil, obat ini jangan diberikan bersama-
sama barbiturat, benzodiazepin, atau asam valproat.
6. MEBENDAZOL

Mebendazol adalah suatu benzimidazol sintetik yang memiliki spektrum


antihelmintik luas dan insidens efek samping yang rendah.

Farmakologi Dasar. Kurang dari 10% dari mebendazol yang diberikan per oral
diserap. Obat yang terserap kemudian terikat ke protein (>90%), cepat diubah
menjadi metabolit inaktif dan memiliki waktu-paruh 2-6 jam. Obat ini
diekskresikan terutama di urin dan turunannya diekskresikan di empedu.
Penyerapan meningkat jika obat dimakan bersama dengan makanan berlemak.
Mebendazol mungkin bekerja dengan menghambat sintesis mikrotubulus; Efikasi
obat bervariasi sesuai dengan waktu transit di saluran cerna, dengan intensitas
infeksi, dan mungkin dengan galur parasit.

Pemakaian Klinis Mebendazol diindikasikan untuk digunakan pada askariasis,


trikuriasis, infeksi cacing tambang dan kremi, dan infeksi cacing tertentu lainnya.
Obat ini dapat diminum sebelum atau setelah makan; tablet perlu dikunyah
sebelum ditelan. Untuk infeksi cacing kremi, dosis adalah 100 mg sekali, diulang
pada 2 minggu. Untuk infeksi askariasis, trikuriasis, cacing tambang, dan
trikostrongilus, digunakan dosis 100 mg dua kali sehari selama 3 hari untuk
dewasa dan anak berusia lebih dari 2 tahun. Untuk kapilariasis usus, mebendazol
digunakan pada dosis 200 mg dua kali sehari selama 21 hari atau lebih. Pada
trikinosis, terapinya adalah tiga kali sehari, dengan makanan berlemak, pada dosis
200-400 mg per kali selama 3 hari lalu 400-500 mg per kali selama 10 hari

Efek Samping Terapi mebendazol jangka-pendek untuk nematoda usus hampir


bebas dari efek samping. Mual ringan, muntah, diare, dan nyeri abdomen jarang
dilaporkan. Efek samping yang jarang, biasanya pada terapi dosis tinggi, adalah
reaksi hipersensitivitas (ruam, urtikaria), agra-nulositosis, alopesia, dan
peningkatan enzim hati, dikontraindikasikan pada kehamilan. Obat ini perlu
diberikan dengan hati-hati pada anak berusia kurang dari 2 tahun karena
pengalaman masih terbatas dan pernah dilaporkan, walaupun jarang, kejang pada
kelompok usia ini. Kadar plasma mungkin berkurang jika obat diberikan bersama
dengan karbamazepin atau fenitoin dan ditambah dengan simetidin. Mebendazol
perlu diberikan secara hati-hati pada pasien dengan sirosis.
7. METRIFONAT (TRIKLORFON)
Metrifonat adalah obat alternatif yang aman dan murah untuk infeksi
Schistosoma haematobium.
Farmakologi Dasar. Cepat diserap setelah pemberian oral. Setelah dosis oral
standar, kadar darah puncak tercapai dalam 1-2 jam; waktu-paruh adalah sekitar
1,5 jam. Metrifonat dan diklorvos terdistribusi baik di jaringan dan dieliminasi
secara tuntas dalam 24-48 jam. Cara kerja diperkirakan berkaitan clengan inhibisi
kolinesterase. Inhibisi ini secara temporer melumpuhkan cacing dewasa,
menyebabkan pergeseran mereka dari pleksus venosa kandung kemih ke arteriol-
arteriol kecil di paru, tempat mereka terperangkap, terkepung oleh sistem imun,
dan mati. Obat ini tidak efektif terhadap telur S. haema-tobium;
Penggunaan Klinis. Dalam pengobatan S. haematobium, dosis oral 7,5-10 mg/kg
diberikan tiga kali sehari dengan interval 14 hari. Metrifonat juga efektif sebagai
obat profilaksis jika diberikan setiap bulan kepada anak di daerah yang sangat
endemik.
Efek Samping mual dan muntah, diare, nyeri abdomen, bronkospasme, nyeri
kepala, berkeringat, rasa lesu, kelemahan otot, pusing bergoyang, dan vertigo.
Metrifonat jangan diberikan jika pasien baru terpajan ke insektisida atau obat
yang dapat memperkuat inhibisi kolinergik. Metrifonat dikontraindikasikan pada
kehamilan.
8. NIKLOSAMID
Niklosamid adalah obat lini kedua untuk sebagian besar infeksi cacing pita
Farmakologi Dasar. Niklosamid adalah suatu turunan salisilamid. Obat ini
tampaknya kurang diserap dari saluran cerna−obat atau metabolitnya belum
pernah ditemukan dalam darah atau urin. Cacing dewasa cepat mati, mungkin
karena inhibisi fosforilasi oksidatif atau stimulasi aktivitas ATPase.
Pemakaian Klinis. Dosis dewasa niklosamid adalah 2 g sekali, diberikan pada
pagi hari dalam keadaan perut kosong. Tablet harus dikunyah sampai halus, lalu
ditelan bersama air. Satu dosis niklosamid 2 g menghasilkan angka kesembuhan
lebih dari 85% untuk D.latum dan sekitar 95% untuk T. saginata. Untuk infeksi
Hymenolepsis diminuta dan Dipylidium caninum sembuh setelah pengobatan 7
hari. Niklosamid dapat digunakan sebagai obat alternatif dalam penanganan
infeksi Fasciolopsis buski, Heterophyes heterophyes, dan Metagonimus
yokogawai. Dosis standar diberikan selang sehari untuk tiga dosis.
Reaksi Samping, Kontraindikasi, & Peringatan Efek samping yang jarang,
ringan, dan sementara adalah mual, muntah, diare, dan rasa tidak nyaman di perut.
Konsumsi alcohol sebaiknya dihindari pada hari pengobatan dan untuk 1 hari
sesudahnya. Keamanan obat ini pada kehamilan atau anak berusia kurang dari 2
tahun belum diketahui.
9. PIPERAZIN
Piperazin adalah terapi alternatif untuk askariasis, dengan angka
kesembuhan lebih dari 90% jika diminum selama 2 hari, tetapi tidak dianjurkan
untuk infeksi cacing lainnya. Obat ini mudah diserap, dan kadar plasma maksimal
tercapai dalam 2-4 jam. Sebagian besar obat diekskresikan tanpa berubah di urin
dalam 2-6 jam, dan ekskresi tuntas dalam 24 jam. Piperazin menyebabkan
kelumpuhan askaris dengan menghambat asetilkolin di taut mioneuron; cacing
hidup, karena tidak dapat mempertahankan posisi mereka di pejamu, dikeluarkan
oleh peristalsis normal. Untuk askariasis, dosis piperazin (sebagai heksahidrat)
adalah 75 mg/kg (dosis maksimal 3,5 g) per oral sekali sehari selama 2 hari.
Untuk infeksi berat, terapi perlu dilanjutkan selama 3-4 hari atau diulang setelah
seminggu. Efek samping yang ringan kadang muncul, berupa mual, muntah,
diare, nyeri abdomen, pusing bergoyang, dan nyeri kepala.Neurotoksisitas dan
reaksi alergik jarang. Senyawa piperazin sebaiknya tidak diberikan kepada wanita
hamil, pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati, atau mereka yang memiliki
riwayat epilepsi atau penyakit neurologik kronik.
10. PRAZIKUANTEL
Prazikuantel efektif dalam mengobati infeksi skistosoma dari semua spesies
dan sebagian besar infeksi trematoda dan sestoda, termasuk sistiserkosis.
Farmakologi Dasar. Prazikuantel adalah suatu turunan isokuinolin-pirazin
sintetik. Obat ini cepat diserap, konsentrasi serum puncak tercapai 1-3 jam setelah
dosis terapeutik. Konsentrasi di cairan serebrospinal mencapai 14-20% dari
konsentrasi obat dalam plasma. Sekitar 80% obat terikat ke protein plasma.
Sebagian besar obat cepat dimetabolisasi menjadi produk mono dan
polihidroksilasi inaktif ketika melewati hati untuk pertama kalinya. Waktu-paruh
adalah 0,8-1,5 jam. Ekskresi terutama melalui ginjal (60-80%) clan empedu (15-
35%). Konsentrasi prazikuantel dalam plasma meningkat jika obat diminum
bersama
Pemakaian Klinis Tablet prazikuantel diminum setelah makan; tablet ini
seyogianya ditelan tanpa dikunyah karena rasa yang pahit dapat memicu mual dan
muntah. Dosis dewasa dan anak di atas umur 4 tahun. · Untuk infeksi S.
haematobium dan S. mansoni diberikan dosis tunggal 40 mg/kgBB; atau dosis
tunggal 20 mg/kgBB yang diulangi lagi sesudah 4-6 jam. Uatuk infeksi S.
japonfum diberi. kan dosis tunggal 30 mg/kgBB yang diulangi lagi sesudah 4-6
jam. Untuk O. latum : dan H. nana diberikan dosis tunggal 15::25 mg/kgBB,
sedangkan untuk T. SBginata dan T. sollum diberikan dosis tunggal 5-10
mg/kgBB. Khusus untuk T. solium, untuk mengurangi kemungkinan timbulnya
sistiserkosis, dianjurkan pemberian pencahar 2 jam sesudah pengobatan. Untuk
Paragonimus westermani fascioliasis, clonorchiasis, opisthorchiasis dosisnya 3
kali sehari 25 mg/kgBB selama 1-3 hari.
Reaksi Samping, Kontraindikasi, & Peringatan Yang paling umum adalah
nyeri kepala, pusing bergoyang, mengantuk, dan lesu; yang lain mencakup mual,
muntah, nyeri abdomen, tinja cair, pruritus, urtikaria, artralgia, mialgia, dan
demam ringan. Peningkatan ringan dan transien enzimenzim hati pernah
dilaporkan. Beberapa hari setelah pemberian prazikuantel, dapat terjadi demam
ringan, pruritus, dan ruam kulit (makula dan urtikaria), kadang disertai
eosinofilia, mungkin lebih disebabkan oleh pengeluaran protein-protein dari
cacing yang mati daripada toksisitas obat langsung. Pada neurosistiserkosis,
kelainan neurologik dapat mengalami eksaserbasi akibat reaksi peradangan di
sekitar parasit yang mati. Kelainan yang lebih serius, termasuk araknoiditis,
hipertermia, dan hipertensi intrakranium, juga dapat terjadi. Kortikosteroid sering
digunakan dengan prazikuantel dalam pengobatan neurosistiserkosis untuk
mengurangi reaksi peradangan, tetapi hal ini masih diperdebatkan dan diperumit
oleh pengetahuan bahwa kortikosteroid menurunkan kadar plasma prazikuantel
hingga 50%. Prazikuantel dikontraindikasikan pada sistiserkosis mata. Beberapa
peneliti juga tidak menganjurkan pemberian obat ini pada neurosistiserkosis
spinal. Keamanan prazikuantel pada anak kurang dari 4 tahun masih belum
dipastikan, tetapi belum pernah dilaporkan adanya masalah spesifik pada anak.
Memang, obat ini tampaknya lebih ditoleransi oleh anak daripada dewasa,
sebaiknya dihindari pada kehamilan.

11. PIRANTEL PAMOAT


Pirantel pamoat adalah suatu antihelmintik spektrum luas yang sangat efektif
untuk mengobati infeksi cacing kremi, askaris, dan Trichostrongylus orientalis.
Obat ini cukup efektif terhadap kedua spesies cacing tambang. Obat ini tidak
efektif terhadap trikuriasis atau strongiloidiasis.
Farmakologi Dasar Pirantel pamoat adalah suatu turunan tetrahidropirimidin.
Obat ini kurang diserap dari saluran cerna dan aktif terutama terhadap organism
di lumen. Kadar plasma puncak tercapai dalam 1-3 jam. Lebih dari separuh obat
yang diberikan dapat ditemukan tanpa berubah di tinja. Pirantel efektif terhadap
bentuk matang dan imatur cacing yang rentan di dalam saluran cerna. Obat ini
adalah obat penghambat neuromuskulus yang menyebabkan pelepasan asetilkolin
dan inhibisi kolinesterase; hal ini menyebabkan kelumpuhan cacing, yang diikuti
oleh ekspulsi.
Pemakaian Klini Dosis baku adalah 11 mg (basa)/kg (maksimal 1 g), diberikan
per oral sekali dengan atau tanpa makanan. Untuk cacing kremi, dosis diulang
dalam 2 minggu, dan angka kesembuhan lebih dari 95%. Untuk askariasis, satu
dosis menghasilkan angka kesembuhan 85-100%. Terapi perlu diulang jika masih
ditemukan telur 2 minggu setelah pengobatan. Untuk infeksi cacing tambang, satu
dosis telah efektif untuk infeksi ringan; tetapi untuk infeksi berat, terutama oleh
Necator americanus, diperlukan pemberian 3 hari untuk mencapai angka
kesembuhan 90%. Pengobatan dapat diulang dalam 2 minggu.
Reaksi Samping, Kontraindikasi, & Peringatan Efek samping jarang terjadi,
ringan, dan bersifat sementara. Efek sampingnya mencakup mual, muntah, diare,
kram perut, pusing bergoyang, mengantuk, nyeri kepala, insomnia, ruam, demam,
dan kelemahan otot. Pirantel perlu diberikan dengan hati-hati pada pasien dengan
disfungsi hati, karena pernah dilaporkan peningkatan ringan dan transien
aminotransferase pada sejumlah kecil pasien. Pengalaman dengan ibu hamil dan
anak berusia kurang dari 2 tahun masih terbatas.
12. TIABENDAZOL
Tiabendazol adalah alternatif pengobatan strongiloidiasis dan cutaneous larva
migrans.
Farmakologi Dasar. Meskipun merupakan suatu bahan pengikat (chelating)
yang membentuk kompleks stabil dengan sejumlah logam, termasuk besi, obat ini
tidak mengikat kalsium. mencapai puncak dalam 1-2 jam; waktu-paruh adalah 1,2
jam. Obat ini hampir dimetabolisasi secara sempurna di hati menjadi bentuk 5-
hidroksi; 90% obat diekskresikan di urin dalam 48 jam, umumnya sebagai
konjugat glukuronida atau sulfonat. Tiabendazol juga dapat diserap dari kulit.
Mekanisme kerja tiabendazol mungkin serupa dengan benzimidazol lainnya (lihat
sebelumnya). Obat ini memiliki efek ovisidal terhadap beberapa parasit.
Pemakaian Klinis. Dosis baku, 25 mg/kg (maksimal 1,5 g) dua kali sehari, perlu
diberikan setelah makan. Tablet harus dikunyah. Untuk infeksi strongiloides,
terapi diberikan selama 2 hari. Angka kesembuhan dilaporkan 93%. Pengobatan
dapat diulang dalam 1 minggu jika diindikasikan. Pada pasien dengan sindrom
hiperinfeksi, dosis standar dilanjutkan dua kali sehari selama 5-7 hari. Untuk
cutaneous larva migrans, dapat dioleskan krim tiabendazol, atau obat oral dapat
diberikan selama 2 hari (meskipun albendazol kurang toksik dan karenanya lebih
dianjurkan).
Reaksi Samping, Kontraindikasi, & Peringatan Tiabendazol jauh lebih toksik
daripada benzimidazol lain serta lebihtoksik daripada ivermektin sehingga obat-
obat lain kini lebih disukai untuk sebagian besar indikasi. Efek samping yang
biasanya terjadi adalah pusing bergoyang, anoreksia, mual, dan muntah. Kelainan
yang lebih jarang adalah nyeri epigastrium, kram perut, diare, pruritus, nyeri
kepala, mengantuk, dan gejala neuropsikiatrik. Gagal hati ireversibel dan sindrom
Stevens-Johnson yang fatal pernah dilaporkan. Pengalaman dengan tiabendazol
pada anak yang beratnya kurang dari 15 kg masih terbatas. Obat ini seyogianya
tidak diberikan kepada wanita hamil atau jika terdapat penyakit hati atau ginjal.
DAFTAR PUSTAKA

1. Brunton L, Chabner B, Knollman B. Goodman & Gilman’s The


Pharmacological Basis of Therapeutics 12th Edition. New York: McGraw-Hill
Companies. 2011
2. Katzung B, Masters S, Trevor A. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 12.
New York: McGraw-Hill Companies. 2012
3. Gunawan S, Editor. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran-Universitas Indonesia.
2007

Anda mungkin juga menyukai