Memorialisasi Peranan Gardu Di Perkotaan PDF
Memorialisasi Peranan Gardu Di Perkotaan PDF
Review buku:
Abidin Kusno, Penjaga Memori: Gardu di Perkotaan Jawa
(Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2007)
Membaca keberadaan bangunan yang menjadi memori kolektif serta rekam jejak
kekuasaan sebuah bangsa memiliki ketekunan tersendiri. Diperlukan upaya-upaya
kritis untuk mendapatkan kembali fakta-fakta sejarah yang telah dilupakan
keberadaannya ini. Hal ini bertambah rumit ketika simbol-simbol ini menjadi
minoritas, keberadaannya semakin terlupakan digerus oleh perkembangan
dinamika kehidupan mayoritas padahal berdasarkan rekam jejak yang dimilikinya
telah memiliki andil besar dalam menjadi saksi perubahan kolektif.
Sebagai salah satu bangunan yang telah terlupakan adalah keberadaan gardu di
tengah perkotaan. Keberadaan gardu ini secara lugas dan utuh disampaikan
kembali oleh Abidin Kusno, seorang arsitek yang giat menulis tentang sejarah
politik arsitektur, melalui bukunya yang berjudul Penjaga Memori: Gardu di
Perkotaan Jawa.
Abidin mencoba merefleksikan peran gardu sebagai sebuah monumen yang perlu
dipahami sejarahnya secara jelas. Abidin tidak hanya melihat gardu sebagai
sebuah gejala evolusi masyarakat dalam pencarian identitas dan kekuasaan, akan
tetapi memandang penting untuk mengkaji lebih jauh tentang fungsi-fungsi politis
dan perubahan genealogi gardu dari masa ke masa.
Dalam buku ini, Abidin berhasil mengamati keberadaan gardu dari masa ke masa.
Pengamatan dimulai pada kajiannya mengenai fungsi politis gardu pada tahun
1998. Pada masa pergolakan menjelang keruntuhan masa Orde Baru ini, Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) di bawah kepemimpinan Megawati
menggunakan gardu sebagai pos komunikasi (posko) untuk memobilisasi para
simpatisan sekaligus mengenang kembali akan figur Ir. Soekarno sebagai sang
proklamator sekaligus merupakan ayah Megawati.
Pada masa ini keberadaan gardu di perkotaan Jawa mencapai titik maksimum.
Ribuan posko penggalangan dukungan yang didirikan oleh para simpatisan PDI
Perjuangan digunakan sebagai simbol perlawanan terhadap kekuasaan Orde Baru
dengan cara memasang gambar-gambar Soekarno serta membuat mimbar bebas
untuk memberikan kesempatan kepada lapisan masyarakat bawah untuk
menyampaikan aspirasinya.
Pada masa sebelumnya, Orde Baru, peranan gardu lebih ditekankan pada fungsi
keamanan dan ketertiban. Gardu pada masa Orde Baru identik dengan kehadiran
petugas pertahanan sipil (hansip) sebagai perpanjangan tangan penguasa untuk
mengontrol ruang publik melalui tangan-tangan militer.
Kita tentu sering membaca imbauan “tamu wajib lapor 1 x 24 jam” yang ditempel
di tembok gardu atau rumah-rumah penguasa lingkungan. Gardu pada masa Orde
Baru menciptakan komunitas tergerbang (gated communities) dan memancangkan
batas-batas sosial dan lingkungan. Meskipun metode disipliner ini tidak pernah
benar-benar diterapkan karena tidak satupun masyarakat yang tampak melaporkan
tamu-tamu mereka tetapi peranan gardu pada masa itu berhasil menciutkan nyali
tamu-tamu tak diundang itu untuk membuat podium “ilegal” untuk memobilisasi
massa melawan penguasa.
Pembentukan citra gardu secara sifnifikan terjadi pada masa kolonialisme Belanda
saat dipimpin oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1805-1811).
Meski memerintah dalam kurun waktu yang sangat singkat, Daendels berhasil
mencitrakan gardu sebagai garis pemisah teritorial suatu wilayah. Daendels juga
menggunakan gardu sebagai pusat pengawasan lalu lintas yang dibangun setiap
sembilan kilometer di sepanjang Groote Postweg (Jalan Pos Besar) yang
terbentang mulai dari Anyer sampai Panarukan. Sejak saat itulah mucul istilah
gardu sebagai rumah jaga yang diduga berasal dari bahasa Perancis: garde.
Inilah cara Abidin untuk menyajikan sejarah gardu dengan menyusuri putaran
masa yang tidak runtut, dari masa kini ke masa lalu dan kembali lagi ke masa kini.
Bagi para pembaca yang terbiasa membaca ulasan sejarah yang runtut tentu akan
sangat mengganggu karena harus memberikan waktu luang untuk membuat
urutan-urutan peristiwa yang telah dibacanya agar dapat dipahami secara utuh.
Terlepas dari caranya memaparkan buku ini, Abidin berhasil membuat sebuah
uraian yang lugas tentang pencitraan gardu dengan merekonstruksi identitas ruang
(spatial identity) dan melacak sejarah gardu dalam politik ruang (spatial politics)
dari masa ke masa.