Anda di halaman 1dari 34

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Masalah kerusakan tanaman yang disebabkan gangguan organisme pengganggu tumbuhan
(OPT) baik hama, penyakit maupun gulma menjadi bagian dari budidaya pertanian sejak
manusia mengusahakan pertanian ribuan tahun yang lalu. Tanaman tersebut diusahakan untuk
diambil hasilnya dalam memenuhi kebutuhan pangan mereka. Melalui penerapan ilmu
pengetahuan dan teknologi termasuk teknologi perlindungan tanaman, diupayakan
peningkatan hasil pertanian sesuai dengan kebutuhan yang diinginkan dan kemudian
diusahakan untuk bisnis dalam meningkatkan pendapatan.
Perlindungan tanaman merupakan bagian penting dalam sistem dan usaha agribisnis, baik
di on farm maupun off farm. Peran perlindungan tanaman dalam mendukung keberhasilan
pengembangan hortikultura sangat besar, terutama dalam mempertahankan produktivitas
melalui upaya penekanan kehilangan hasil akibat serangan OPT, dampak perubahan iklim
(DPI), dan meningkatkan kualitas hasil produk yang aman konsumsi, berdaya saing sesuai
standar yang dipersyaratkan dalam perdagangan, serta menciptakan suatu sistem produksi
yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Kegiatan perlindungan tanaman erat kaitannya
tidak hanya dengan gangguan OPT, tetapi juga dengan gangguan non-OPT seperti DPI
(kebanjiran, kekeringan, kebakaran) dan gangguan usaha berupa penjarahan produksi dan
lahan, yang semuanya mempengaruhi penurunan produksi baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Kerugian yang diakibatkan oleh OPT maupun DPI dan gangguan usaha sangat berarti bagi
produktivitas hortikultura. Namun demikian sangat sulit menetapkan nilai yang sebenarnya
karena keterbatasan data dan informasi yang dimiliki. Kehilangan hasil di tingkat petani
karena serangan OPT pada beberapa tanaman hortikultura, diperkirakan masih cukup tinggi
meskipun belum terukur secara memadai. Kerugian secara nyata di lapangan jauh lebih besar
karena masih banyak komoditas yang tidak dilaporkan dan dihitung kerugiannya.
Terdapat banyak sekali spesies serangga di Indonesia. Namun masih banyak spesies
serangga di Indonesia yang tidak di kenali. Padahal serangga adalah salah satu
keanekaragaman yang di miliki, bagaimana upaya untuk menjaganya jika tidak mengetahui
keanekaragaman jenis serangga tersebut. Serangga atau insekta dalam taksonomi adalah salah
satu kelas di dalam filum Arthropoda. Arthropoda adalah salah satu filum dalam kerajaan
binatang. Sebagian besar serangga yang diketahui secara umum merupakan serangga bersayap.
Serangga ialah benda hidup dari kelompok hewan Invertebrata, kelas Insecta, yang
mempunyai bilangan spesies terbanyak. Di habitat daratan, serangga paling luas tersebar
berbanding dengan kelas-kelas yang lain dalam filum Arthropoda. Anggaran jumlah
keseluruhan spesies kini, termasuk yang belum dikenali oleh sains sekitar dari dua hingga tiga
puluh juta, dengan kebanyakan pakar cenderung kepada jumlah pertengahan. Walaupun telah
diketahui hampir satu juta spesies serangga, masih banyak lagi serangga yang belum diketahui
dan direkodkan kehadirannya. Tidak dapat dinafikan banyak serangga yang akan pupus,
sebelum dapat direkodkan kewujudannya, akibat aktiviti pembangunan hutan yang dilakukan.
Serangga boleh didapati berbagai habitat di bumi ini, banyak serangga berkongsi habitat
dengan manusia, sama ada di halaman rumah ataupun di dalam rumah. Serangga mempunyai
banyak kepentingan sama ada secara langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan
manusia di bumi ini.
Serangga memiliki peran yang menguntungkan dan merugikan bagi manusia, peran yang
menguntungkan antara lain kupu-kupu atau lalat dapat membantu mempercepat proses
penyerbukan pada tanaman berbuah, Penghasil madu, yaitu lebah (Apis indica), Penghasil
bahan kain sutera, yaitu pupa kupu-kupu sutera (Bombyx mori).
Serangga yang memiliki peran merugikan antara lain Kayu dimakan rayap Tanaman padi
diserang wereng, vektor beberapa penyakit pada manusia, misalnya Plasmodium, penyebab
penyakit demam berdarah, menimbulkan gangguan pada manusia, misalnya kutu kepala
(Pediculus capitis), sebagai hama tanaman pangan, misalnya wereng coklat (Nilaparvata
lugens),walang sangit (Leptocorisa acuta), perusak gabah, oleh kutu gabah (Rhyzoperta
doninica), perusak produk berbahan baku alam, misalnya rayap (Helanithermis sp.),dapat
menghancurkan kayu-kayu karena didalam ususnya terdapat Protozoa yang bersimbiosis yaitu
Trichonympha yang menghasilkan enzim pengurai selulosa, dan kutu buku Lepisma
sacharina).
Hama merupakan organisme pengganggu tanaman yang mengakibatkan kerusakan
secara fisik pada tanaman dan kerugian secara ekonomis, golongan hama terbesar berasal dari
kelas serangga (insecta). Namun ada beberapa jenis serangga yang berperan sebagai musuh
alami bagi serangga lain yang bersifat hama. Hama tanaman yang menempati peringkat paling
atas berasal dari klas insecta (serangga), dalam klas insect ini terdapat beberapa ordo yang
membagi jenis-jenis serangga hama pengganggu tanaman (Sarah, 2010).

1.2. Maksud dan Tujuan


Adapun maksud dan tujuan penulis membuat makalah ini adalah untuk :

1. Sebagai tugas individu mata kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman


2. Mengetahui hama wereng esmpoaca secara spesifik
3. Mengetahui teknik perlindungan tanaman

1.3. Manfaat
Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Mahasiswa dapat memenuhi dan menyelesaikan dengan baik tugas Dasar-Dasar
Perlindungan Tanaman
2. Mahasiswa dapat mengetahui hama wereng esmpoaca secara spesifik
3. Mahasiswa dapat mengetahui teknik perlindungan tanaman yang tepat.
.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sejarah Perlindungan Tanaman


Kegiatan perlindungan tanaman (Proteksi Tanaman) di Indonesia telah berlangsung sejak
masa penjajahan Belanda dan Jepang. Pada masa penjajahan Belanda sebelum tahun 1900,
kegiatan pertanian masih bersifat alami, hanya diusahakan untuk pemenuhan kebutuhan sendiri
serta belum tersentuh ilmu pengetahuan dan teknologi. Sekitar tahun 1600, VOC yang merupakan
kumpulan pedagang Belanda menguasai perdagangan produk-produk pertanian Indonesia
terutama pulau Jawa. Komoditas yang berkembang saat itu didominasi tanaman perkebunan yakni
cengkeh, kopi dan gula tebu. Setelah VOC bangkrut, kekuasaan beralih pada pemerintahan
kolonial Belanda. Selama pemerintahan ini perkebunan khususnya kopi, tebu, kakao dan tembakau
mulai dikembangkan. Kebijakan tanam paksa (Cultuurstelsel) mulai dijalankan tahun 1830-1870.
Perkembangan kegiatan penelitian pertanian dan pembentukan dinas khusus yang
menangani pertanian rakyat baru terlihat pada masa penjajahan Belanda setelah tahun 1900.
Pendirian Kebun Raya Bogor dianggap sebagai tonggak dimulainya kegiatan-kegiatan pertanian
di Indonesia, termasuk penelitian hama dan penyakit tanaman. Lembaga-lembaga penelitian mulai
banyak didirikan dengan berbagai komoditas yang ditangani sehingga banyak hasil-hasil
penelitian diperoleh dan dipublikasikan. Departemen Pertanian, Kerajinan dan Perdagangan
Hindia Belanda dibentuk pada 1 Januari 1905 dengan Direktur pertama kalinya Dr. M. Treub.
Tugas Departemen Pertanian adalah memperbaiki keadaan pertanian, peternakan dan perikanan
tradisional yang kemudian dikenal sebagai pertanian rakyat. Pemerintah Hindia Belanda mulai
membangun jaringan irigasi dan infrastruktur lainnya guna meningkatkan produksi padi, palawija,
dan sayuran. Adanya kebijakan Departemen Pertanian menyebabkan produksi tanaman pangan
meningkat sehingga kebutuhan beras di luar Jawa dapat dipenuhi dari hasil sawah di pulau Jawa
(Untung, 2007).
Pada masa pendudukan Jepang 1942-1945, dan masa pencapaian kemerdekaan 1945-1950
sebagaian besar peneliti Belanda ditahan dan atau dipulangkan ke negeri Belanda. Bahkan lebih
dari 80% peneliti senior Belanda kembali ke Belanda. Pada zaman kolonial Jepang, tidak ada
perhatian sama sekali terhadap peningkatan produksi pertanian.
Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 tidak diiringi dengan kemerdakaan pangan.
Indonesia justru mengalami kekurangan pangan setelah memproklamirkan kemerdekaan. Masalah
utama yang dihadapi pemerintah dan rakyat Indonesia adalah bagaimana memenuhi kebutuhan
pangan secara cukup untuk seluruh penduduk. Pada tahun 1946-1947 terjadi kekeringan panjang
yang menurunkan produksi beras sehingga Indonesia harus melakukan impor dari negara lain
(Untung, 2007). Berbagai upaya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyat Indonesia.
Rencana program pemenuhan kebutuhan pangan rakyat dicoba dikembangkan oleh pemerintahan
Presiden Soekarno, termasuk pengembangan tanaman pangan baik padi maupun jagung,
meskipun hasil yang diperoleh masih rendah. Indonesia mengadopsi teknologi revolusi hijau untuk
memenuhi kebutuhan pangan dengan istilah Panca Usaha Tani, meliputi penggunaan benih
unggul, perbaikan pengairan, penggunaan pestisida untuk menekan hama penyakit, penggunaan
pupuk anorganik, perbaikan teknik pemasaran (Martono, 2009). Konsep Panca Usaha Tani lahir
pada tahun 1962 (Untung, 2007), dinilai cukup sukses, terbukti hasil padi dapat ditingkatkan dua
kali lipat.
Penggunaan pestisida sintetik di seluruh dunia termasuk di Indonesia semakin meningkat
dan dominan pada era 1950. Penghargaan dan penerimaan masyarakat terhadap teknik-teknik
pengendalian hama lainnya menurun. Penggunaan pestisida oleh sebagian besar petani dianggap
lebih efektif, lebih praktis, serta mendatangkan keuntungan ekonomi lebih besar dibandingkan
pengggunaan teknik-teknik pengendalian hama lainnya. Era setelah tahun 1960 merupakan era
keemasan pestisida kimia. Permintaan dan penggunaan pestisida pertanian meningkat sangat cepat
sehingga menumbuhkan industri-industri raksasa multinasional yang menguasai pasar pestisida
dunia (Untung, 2006).
Keberhasilan penggunaan pestisida dalam melindungi tanaman dari serangan hama pernah
menimbulkan optimisme masyarakat bahwa masalah hama sudah dapat terselesaikan secara tuntas.
Optimisme tersebut mendorong negara-negara seluruh dunia menerapkan teknologi intensifikasi
pertanian untuk peningkatan produksi pangan. Teknologi intensifikasi yang dikenal sebagai
teknologi revolusi hijau dianggap mampu meningkatkan produksi pangan dunia dalam waktu
cepat.
Kesuksesan program Panca Usaha Tani disebarluaskan dalam program Demonstrasi
Massal pada MT 1964/1967. Program-program intensifikasi seperti Demonstrasi Massal (Demas),
Bimbingan Massal (Bimas), Intensifikasi Massal (Inmas), Intensifikasi Khusus (Insus) melibatkan
jutaan petani dan jutaan hektar sawah. Program-program intensifikasi tersebut dianggap mampu
meningkatkan produksi padi dan meningkatkan taraf hidup petani (Untung, 2007), namun belum
mampu membawa Indonesia berswasembada beras (Martono, 2009)
Pada tahun 1978-1979 terjadi letusan hama wereng coklat padi pada ratusan ribu hektar
sawah. Pada tahun 1985–1986, populasi kembali meletus dan merusak lahan padi seluas kira-kira
275.000 hektar (Untung, 2006). Ledakan serupa ini terjadi pula di Malaysia dan Thailand antara
tahun 1977 dan 1990 (Whitten et al., 1990). Hama wereng coklat merupakan hama padi “baru”.
Sebelum tahun 1970 hama ini belum pernah tercatat sebagai hama padi penting Indonesia. Akibat
letusan wereng coklat tersebut pencapaian sasaran produksi beras nasional terhambat. Namun,
ironisnya, sampai tahun 1979, banyak pakar belum menyadari bahwa kemunculan dan letusan
wereng coklat di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari penggunaan pestisida kimia. Sejak tahun
1977, kelompok pakar perlindungan tanaman mengusulkan agar Pemerintah menerapkan PHT
untuk mengendalikan hama-hama tanaman pangan. Pada tahun 1980 Pemerintah melaksanakan
Proyek Rintisan Penerapan PHT pada tanaman padi di 6 propinsi yaitu: Jawa Barat, Jawa Tengah,
DIY, Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Sumatera Utara. Dari kegiatan tersebut dapat diketahui
bahwa sawah yang menerapkan PHT produktivitasnya tidak berbeda dengan sawah non-PHT
tetapi penggunaan pestisida kimia lebih sedikit Untung, 2006).
Pada tahun 1984 Indonesia berhasil mencapai sasaran swasembada beras naional. Pada
tahun 1985/1986 status swasembada beras terancam karena terjadi lagi letusan lokal wereng coklat
padi di pulau Jawa. Banyak hasil penelitian yang telah dipublikasikan menunjukkan bahwa
sebagian insektisida padi yang direkomendasi mendorong terjadinya resurjensi wereng coklat
(Untung dan Mahrub, 1986 dalam Untung, 2006).
2.2. Dampak Kerugian Akibat OPT
Hama adalah organisme yang dianggap merugikan dan tak diinginkan dalam kegiatan
sehari-hari manusia. Walaupun dapat digunakan untuk semua organisme, dalam praktek istilah ini
paling sering dipakai hanya kepada hewan. Suatu hewan juga dapat disebut hama jika
menyebabkan kerusakan pada ekosistem alami atau menjadi agen penyebaran penyakit dalam
habitat manusia.
Dalam pertanian, hama adalah organisme pengganggu tanaman yang menimbulkan
kerusakan secara fisik, dan ke dalamnya praktis adalah semua hewan yang menyebabkan kerugian
dalam pertanian.
Dampak Kerugian Akibat Seranga Hama pada Tanaman
Hama adalah sekelompok organisme pengganggu tanaman yagn dapat merusak tanaman
budidaya baik secara fisik maupun fisiologisnya. Dampak kerugian akibat serangan hama tersebut
adalah :
1. Gagal Panen
Akibat serangan hama yang paling ditakuti oleh para petani adalah terjadinya gagal panen.
Kegagalan ini dikarenakan hama yang menyerang tanaman menjadikan tanaman sebagai bahan
makanan, dan tempat tinggal bagi mereka. Hama merusak tanaman dengan cara :
a. Menghisap cairan tanaman.
b. Memotong batang tanaman baik yang muda maupun tua.
c. Memakan daun muda dan tua serta tunas-tunas muda pada tanaman.
d. Menghisap cairan dan memakan daging buah yang dapat menurunkan nilai ekonomis buah.
e. Memnbuat rumah atau sarang sebagai tempat tinggal dan berkembang biak baik pada
batang, daun maupaun buah.
2. Menurunnya Jumlah Produksi Tanaman
Dengan serangan yang dilakukan oleh hama pada tanaman maka tanaman tidak akan
mampu menghasilkan produksi secara maksimal karena terjadinya pembatasan pertumbuhan
akibat hama yang berada pada tanaman budidaya. Hal ini disebabkan karena proses fisiologi
tanaman yang terganggu. Dengan daun dan batang serta tunas-tunas muda yang habis dimakan
oleh hama secara tidak langsung tanaman tidak dapat melaukan proses fotosintesis untuk
menghasilkan produksi dengan baik bahkan tidak dapat melakukan fotosentesis
3. Pertumbuhan Tanaman yang Terganggu
Serangan hama dapat meyebabkan pertumbuh tanaman menjadi terhambat dan bahkan
tidak jarang mengalami stagnan pertumbuhan atau kerdil. Seperti serangan hama wereng pada
tanaman padi yang dapat mengakibatkan tanaman padi menjadi kerdi dan tidak dapat berproduksi.
4. Menurunkan Nilai Ekonomis Hasil Produksi
Hama yang menyerang pada buah atau bagian tanaman yang memiliki nilai ekonomis akan
menjadi menurun. Hal ini disebabkan, hama merusak bagian-bagian buah mupun daun tanaman.
Dimana penurunan ini karena adanya bagian yang diseranga oleh hama mengalami cacat dan
busuk serta mengandung ulat atau larva-larva hama. Sehingga produksi tidak dapat dikonsumsi.
5. Kerugian bagi para Petani
Dampak ini timbul karena tidak adanya produksi yang dihasilkan oleh tanaman atau gagal
panen serta turunnya nilai ekonomis hasil produksi. Kerugian ini disebabkan tidak adanya
pendapatan petani sedangkan biaya budidaya tanaman telah mereka keluarkan dalam jumlah yang
sangat besar baik dari segi pengolahan lahan, benih, penanaman serta perawatan. Sedangkan
hasilnya tidak meraka dapatkan. Hal ini semakain memperpuruk kondisi dan iklim pertanian di
indonesia
6. Terjadinya Alih Fungsi Lahan
Alih fungsi lahan dilakukan oleh para petani dikarenakan pendapatan yang mereka
dapatkan tidak sesuai dengan pengeluaran yang dilakakan dalam usaha pertanian. Sehingga
muncul pemikiran untuk mengalih fungsikan lahan pertanian yagn subur ke bidang usaha lain yang
lebih menjanjikan keuntungan bagi mereka. Kondisi seperti ini semakin memperpuruk iklim
pertanian di indonesia serta ketahan bahan pangan dalam negri.
7. Degradasi Agroekosistem
Degradasi ekosistem terjadi karena adanya usaha yng dilakukan oleh para petani dalam
penaggulangan serangan hama yang tidak memikirikan dampak negatif terhadap lingkungan serta
komponen-komponen penyusun agroekosistem. Pencemaran lingkungan tersebut kerena adanya
zat-zat yang berbahaya akibat digunakannya pestisida. Dengan adanya penanggulanag serangan
hama yang tida sesuai ini menyebabkan terjadinya degradasi ekosistem alami.
8. Munculnya resistensi dan returgensi hama
Dengan penanggulangan serangan hama yang tidak sesuai akan menyebabkan resistensi
atau kekebalan hama terhadap pestisida dan returgensi atau ledakan jumlah populasi hama yang
berakibat pada damapa kerugian aygn lebih komplek dalam usaha budidaya tanaman itu sendiri.
Dampak serangan penyakit tanaman tidak separah dampak yang ditimbulkan akibat
serangan oleh hama. Namun, dampak yang timbul juga tidak kalah hebatnya dengan serangan
hama. Serangan penyakit pada tanaman budidaya lebih banyak mengarah pada proses fisiologinya.
Karena menyerang sel dan jaringan tanaman. Adapun dampak kerugian yagn ditimbulkan yaitu :

1. Terganggunya Proses Fotosintesis tanaman


Hal ini terjadi karena terjadinya kerusakan pada bagain penampang daun akibat penyakit.
Sehingga daun tidak dapat meyerap sinar matahari secara maksimal. Penyakit yang menyerang
daun antara lain :
a. Karat daun oleh Cendawan Phachyrizi phakospora.
b. Penyakit bercak bakteri oleh Xanthomonas phaseoli.
c. Virus mozaik yang menyerang daun muda dan tunas muda.
2. Terganggunya proses absorbsi unsur hara dan mineral tanah
Dengan terganggunya proses penyerapan unsur hara dan mineral dalam tanah
menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman menjadi terganggu. Penyakit ini biasanya
menyerang bagian akar tanaman sperti penyakit jamur akar merah, putih pada tanaman karet.
Penyekit ini juga menyebabkan tanaman menjadi layu dan mati akibat kekurangan asupan nutrisi.
3. Kegagalan Panen
serangan penyakit tanaman juga mengakibatkan kegagalan panen. Seperti pada tanaman
jeruk yang terserangan penyakit CCBD. Tanaman jeruk tidak akan menghasilkan buah akibat
serangan penyakit ini. Selain itu, tanaman juga harus di musnahkan dan diganti dengan tanaman
baru yagn merupakan kerugian besar bagi para petani karena harus mengeluarkan biaya yang
besar.
4. Penurunan nilai ekonomis
Disebakan terjadinya kerusakan pada bagian-bagian hasil produksi tanaman. Seperti
terjadi busuk, polong yang tida berisi pada tanaman legum dan lain-lain. Dengan dampak ini akan
semakin mempersulit kehidupan para petani.
Permasalahan Penerapan PHT di Tingkat Petani
1. Kurang meratanya informasi mengenai ketahanan tanaman terhadap penyakit pada berbagai
komoditas tanaman. Apalagi masih banyak petani yang menggunakan benih tidak bersertifikat
yang ketahanannya tidak diketahui.
2. Penelitian tentang ras patogen juga kurang di Indonesia padahal ras selalu berkaitan dengan
ketahanan tanaman. Tanaman yang tahan terhadap ras tertentu dapat menjadi sangat rentan
terhadap ras lainnya.
3. Aspek budidaya, mulai perencanaan tanam, persiapan tanam, pengolahan tanah, pemupukan,
penyiangan, dan pemeliharaan lain belum disengaja agar tingkat penyakit tertekan. Selama ini,
aspek budidaya masih lebih ditujukan agar tanaman tumbuh subur, dan berproduksi tinggi, bukan
menjadi lebih tahan.
4. Musuh alami yang dimaksud dalam prinsip PHT kurang berkaitan dengan musuh alami patogen
tumbuhan. Permasalahannya adalah bahwa patogen yang renik juga mempunyai musuh alami yang
renik pula, sehingga tidak mudah dipahami petani. Demikian juga, ternyata belum banyak
penelitian yang mengungkap tentang bahaya pestisida terhadap kelestarian musuh alami patogen
tumbuhan.
5. Masalah lainnya adalah bahwa pengamatan mingguan tidak mudah diterapkan untuk penyakit
tertentu yang menyebabkan kerusakan secara cepat dan keberadaannya sangat tergantung cuaca,
seperti hawar daun kentang dll. Untuk kasus demikian justru yang diperlukan adalah pengamatan
terhadap cuaca untuk meramalkan kapan datangnya penyakit. Ternyata, teknologi peramalan
penyakit tumbuhan masih sangat minim dikembangkan di Indonesia. Nampaknya teknologi
peramalan nasib justru lebih berkembang di negara kita.
6. Untuk menjadikan petani sebagai ahli PHT dengan metode SLPHT ternyata terbentur pada
kurangnya materi tentang aspek patogen, penyakit dan pengendaliannya terutama untuk komoditas
tertentu.
2.3. Undang – Undang yang Berkaitan Dengan Perlindungan Tanaman
Peraturan perundang-undangan yang mengatur maupun yang berkaitan dengan
perlindungan tanaman jumlahnya sangat banyak. Dari sekian banyak peraturan perundang-
undangan tersebut, dapat dikategorikan sebagai berikut:
 Peraturan perundang-undangan yang mengatur atau berkaitan dengan perlindungan
tanaman dalam pelaksanaan budidaya tanaman sehingga perlu diketahui oleh petani dan
oleh siapapun yang berkecimpung dalam bidang tersebut.
 Peraturan perundang-undangan yang mengatur atau berkaitan dengan perlindungan
tanaman dalam pelaksanaan perdagangan bibit tanaman, tanaman, dan produk tanaman
sehingga perlu diketahui oleh pedagang dan oleh siapapun yang berkecimpung dalam
bidang tersebut.
 Peraturan perundang-undangan yang mengatur atau berkaitan dengan perlindungan
tanaman dalam kelembagaan yang berkaitan dengan perlindungan tanaman sehingga perlu
diketahui oleh aparat pemerintah dan oleh siapapun yang berkecimpung dalam bidang
tersebut.
2.3.1. UU No. 12 tahun 1992 tentang Perlindungan Tanaman
Perlindungan tanaman yang diatur dalam UU No. 12 tahun 1992 adalah sebagai berikut:
 Pengertian perlindungan tanaman dan organisme pengganggu tanaman sebagaimana diatur
pada Pasal 1 butir 7 dan butir 8 bahwa "Perlindungan tanaman adalah segala upaya untuk
mencegah kerugian pada budidaya tanaman yang diakibatkan oleh organisme pengganggu
tumbuhan" dan bahwa "Organisme pengganggu tumbuhan adalah semua organisme yang
dapat merusak, mengganggu kehidupan, atau menyebabkan kematian tumbuhan".
 Pelaksanaan perlindungan tanaman yang diatur dalam Bagian Keenam Perlindungan
Tanaman yang terdiri atas Pasal 20 sampai Pasal 27.

Pelaksanaan perlindungan tanaman yang diatur pada Pasal 20 sampai Pasal 27 adalah sebagai
berikut:
 Sistem perlindungan tanaman (Pasal 20 Ayat (1)) dan tanggung jawab pelaksanaan
perlindungan tanaman (Pasal 20 Ayat (2))
 Pelaksanaan perlindungan tanaman melalui tiga kegiatan (Pasal 21)
 Larangan penggunaan sarana dan/atau cara yang dapat mengganggu kesehatan dan/atau
mengancam keselamatan manusia, menimbulkan gangguan dan kerusakan sumberdaya
alam dan/atau lingkungan hidup (Pasal 22 Ayat (1)) dan pengaturan lebih lanjut mengenai
pelaksanaan larangan tersebut (Pasal 22 Ayat (2))
 Pengenaan tindakan karantina terhadap setiap media pembawa organisme pengganggu
tumbuhan yang dimasukkan ke dalam, dibawa atau dikirim dari suatu area ke area lain di
dalam, dan dikeluarkan dari wilayah Negara Republik Indonesia (Pasal 23)
 Pelaporan OPT dan kewajiban melaksanakan tindakan pengendalian oleh petani atau badan
hukum (Pasal 24 Ayat (1)) dan kewajiban pemerintah melaksanakan pengendalian hanya
jika terjadi ledakan OPT (Pasal 24 Ayat (2))
 Pelaksanaan eradikasi oleh pemerintah (Pasal 25 Ayat (1)) terhadap OPT yang sangat
berbahaya (Pasal 25 Ayat (2)) dan pemberian kompensasi terhadap tanaman atau benda
lainnya yang dimusnahkan dalam pelaksanaan eradikasi (Pasal 26 Ayat (1) dan Ayat (2))
 Ketentuan mengenai mengenai pengendalian dan eradikasi organisme pengganggu
tumbuhan yang lebih lanjut akan diatur dengan Peraturan Pemerintah (Pasal 27).
2.3.2. PP No. 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman
Ketentuan pada Pasal 27 UU No. 12 Tahun 1992 tersebut menjadi dasar ditetapkannya
PP No. 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman yang terdiri atas 6 Bab dan 29 Pasal
sebagai berikut:
 Bab I: Ketentuan umum yang mencakup Pasal 1 sampai Pasal 4, memuat defenisi
mengenai istilah yang digunakan di dalam PP ini (Pasal 1), waktu pelaksanaan
tindakan/kegiatan perlindungan tanaman (Pasal 2), sistem dan tindakan perlindungan
tanaman (3), serta sarana dan cara perlindungan tanaman (Pasal 4).
 Bab II: Pencegahan penyebaran OPT yang mencakup Pasal 5 sampai Pasal 7, memuat
ketentuan mengenai tindakan karantina (Pasal 5), jenis tindakan karantina (Pasal 6), dan
penentuan area karantina (Pasal 7).
 Bab III: Pengendalian OPT yang mencakup Pasal 8 sampai Pasal 22, yang memuat
pemaduan teknik pengendalian (8), pemantauan dan prakiraan OPT (9), cara pengendalian
OPT (Pasal 10), pelaksanaan pengendalian OPT (11), sarana pengendalian OPT (Pasal 12
sampai Pasal 16), pelaporan pelaksanaan pengendalian OPT (Pasal 17), kewajiban
memantau, mencegah, dan mengendalikan dampak negatif pelaksanaan pengendalian OPT
(18), pestisida sebagai alternatif terakhir (19), pengawasan pestisida (20), pengendalian
OPT yang berupa satwa liar (21), dan petunjuk teknis pengendalian OPT (Pasal 22)
 Bab IV: Eradikasi yang mencakup Pasal 23 sampai Pasal 26, memuat ketentuan mengenai
eradikasi OPT (Pasal 23), ketentuan mengenai sasaran eradikasi selain OPT (Pasal 24),
pelaksanaan eradikasi (25), dan ketentuan mengenai kompensasi atau bantuan (Pasal 26).
 Bab V: Ketentuan Peralihan yang mencakup Pasal 27 dan Pasal 28, mengatur mengenai
tetap berlakunya peraturan yang mengatur penyerahan sebagian urusan pemerintahan di
bidang perlindungan tanaman kepada Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kabupaten/Kota dan tetap berlakunya peraturan pelaksanaan yang tingkatannya berada di
bawah PP
 Bab VI: Ketentuan Penutup, yang terdiri hanya atas Pasal 29, mengatur mengenai mulai
berlakunya PP.

2.3.3. UU No. 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan
Karantina adalah tempat pengasingan dan/atau tindakan sebagai upaya pencegahan
masuk dan tersebarnya hama dan penyakit atau organisme pengganggu dari luar negeri dan
dari suatu area ke area lain di dalam negeri, atau keluarnya dari dalam wilayah negara
Republik Indonesia (Pasal 1 butir 1). Karantina hewan, ikan, dan tumbuhan adalah tindakan
sebagai upaya pencegahan masuk dan tersebarnya hama dan penyakit hewan, hama dan
penyakit ikan, atau organisme pengganggu tumbuhan dari luar negeri dan dari suatu area
ke area lain di dalam negeri, atau keluarnya dari dalam wilayah negara Republik Indonesia
(Pasal 1 butir 2). Hama dan penyakit hewan, hama dan penyakit ikan, atau organisme
pengganggu tumbuhan adalah semua organisme yang dapat merusak, mengganggu
kehidupan, atau menyebabkan kematian hewan, ikan, atau tumbuhan (Pasal 1 butir 3).
Hama dan penyakit hewan karantina adalah semua hama dan penyakit hewan yang
ditetapkan Pemerintah untuk dicegah masuknya ke dalam, tersebarnya di dalam, dan
keluarnya dari wilayah negara Republik Indonesia (Pasal 1 butir 4).
Hama dan penyakit ikan karantina atau organisme pengganggu tumbuhan karantina
adalah semua hama dan penyakit ikan atau organisme pengganggu tumbuhan yang
ditetapkan Pemerintah untuk dicegah masuknya ke dalam dan tersebarnya di dalam
wilayah negara Republik Indonesia (Pasal 1 butir 5). Media pembawa hama dan penyakit
hewan karantina, hama dan penyakit ikan karantina, atau organisme pengganggu tumbuhan
karantina adalah hewan, bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan, ikan, tumbuhan dan
bagian-bagiannya dan/atau benda lain yang dapat membawa hama dan penyakit hewan
karantina, hama dan penyakit ikan karantina, atau organisme pengganggu tumbuhan
karantina (Pasal 1 butir 6). Tempat pemasukan dan tempat pengeluaran adalah pelabuhan
laut, pelabuhan sungai, pelabuhan penyeberangan, bandar udara, kantor pos, pos
perbatasan dengan negara lain, dan tempat-tempat lain yang dianggap perlu, yang
ditetapkan sebagai tempat untuk memasukkan dan/atau mengeluarkan media pembawa
hama dan penyakit hewan, hama dan penyakit ikan, atau organisme pengganggu tumbuhan
(Pasal 1 butir 12). Selanjutnya mari lanjutkan membaca UU No. 16 Tahun 1992 yang
terdiri atas 11 Bab dan 34 Pasal sebagai berikut:
 Bab I: Ketentuan umum yang mencakup Pasal 1 sampai Pasal 4, memuat defenisi istilah
(Pasal 1), azas (Pasal 2), tujuan (Pasal 3), dan ruang lingkup (Pasal 4).
 Bab II: Persyaratan karantina yang mencakup Pasal 5 sampai Pasal 8, memuat ketentuan
pemasukan media pembawa ke wilayah RI (Pasal 5), pemindahan media pembawa antar
area karantina (Pasal 6), pengeluaran media pembawa dari wilayah RI (7), dan kewajiban
tambahan (Pasal 8).
 Bab III: Tindakan karantina yang mencakup Pasal 9 sampai Pasal 22, memuat ketentuan
mengenai pengenaan tindakan karantina (Pasal 9), jenis tindakan karantina (Pasal 10),
ketentuan mengenai setiap jenis tindakan karantina (Pasal 11-Pasal 19), pelaksanaan
tindakan karantina (Pasal 20), tindakan karantina terhadap oyek di luar media pembawa
(Pasal 21), dan pengutan jasa karantina (Pasal 22).
 Bab IV: Kawasan karantina yang mencakup Pasal 23, memuat penetapan kawasan
sebagai suatu kawasan karantina.
 Bab V: Jenis Hama dan Penyakit, Organisme Pengganggu, dan Media Pembawa yang
mencakup Pasal 24 dan Pasal 25, memuat penetapan jenis hama dan penyakit serta
organisme pengganggu karantina, dan jenis media pembawa yang dilarang (Pasal 24), serta
ketentuan mengenai media pembawa lain (Pasal 25).
 Bab VI: Tempat pemasukan dan pengeluaran yang mencakup Pasal 26 dan Pasal 27,
memuat penetapan tempat-tempat pemasukan dan ketentuan mengenai alat angkut transit
(Pasal 27).
 Bab VII: Pembinaan yang mencakup Pasal 28 dan Pasal 29, memuat pembinaan kesadaran
masyarakat (Pasal 28), dan penggalangan peranserta masyarakat (Pasal 29).
 Bab VIII: Penyidikan yang mencakup hanya Pasal 30, memuat ketentuan mengenai
penyidikan oleh petugas karantina.
 Bab IX: Ketentuan pidana yang mencakup hanya Pasal 31, memuat ketentuan mengenai
sanksi pidana terhadap pelanggaran ketentuan karantina.
 Bab X: Ketentuan peralihan mencakup hanya Pasal 32, memuat ketentuan mengenai
berlakunya peraturan perundang-undangan lain yang tidak bertentangan.
 Bab XI: Ketentuan penutup yang mencakup Pasal 33 dan Pasal 34, memuat peraturan
perundang-undangan yang dinyatakan tidak berlaku lagi (Pasal 33), dan mulainya berlaku
undang-undang ini (Pasal 34).
Pengaturan lebih lanjut mengenai karantina tumbuhan dilakukan dengan menggunakan
berbagai UU, PP, Peraturan Menteri, dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya yang
jumlahnya luar biasa banyak. Peraturan perundang-undangan yang mengatur atau berkaitan
dengan karantina tumbuhan dapat diperoleh dari halaman situs Peraturan Perundang-undangan
Kementerian Pertanian. Selain peraturan perundang-undangan dalam negeri, Indonesia juga
terikat dengan peraturan karantina dalam kaitan dengan keanggotaan Indonesia dalam
organisasi internasional sebagai berikut:
 Sebagai Anggota World Trade Organization (WTO): The WTO Agreement on the
Application of Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS Agreement)
 Sebagai anggota International Plant Protection Convention (IPPC): International Standards
for Phytosanitary Measures
 Sebagai anggota Asia & Pacific Plant Protection Commission (APPPC): Plant Protection
Agreement For The Asia And Pacific Region
Meskipun peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan
tanaman sedemikian banyak, bukan berarti dengan sendirinya permasalahan perlindungan
tanaman dapat teratasi. Peraturan perundang-undangan hanyalah kumpulan bab, pasal, dan
ayat dalam tumpukan kertas yang perlu dilaksanakan supaya dapat memberikan hasil yang
diharapkan. Pelaksanaan suatu peraturan perundang-undangan memerlukan ketaatan setiap
pihak yang menjadi objek pearuran untuk melaksanakan dan pengawasan terhadap
pelaksanaan peraturan perundang-undangan.
2.4. Pengertian Organisme Penggangu Tanaman (OPT)
Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) didefinsikan sebagai "semua organisme
yang dapat merusak, mengganggu kehidupan, atau menyebabkan kematian tumbuhan". dapat
diapahami bahwa perlindungan tanaman tidak mencakup gangguan yang bukan disebabkan
oleh organisme. Dengan demikian, perlindungan tanaman tidak mencakup gangguan yang
disebabkan oleh kekurangan atau kelebihan unsur hara (nutrients) maupun gangguan karena
faktor linkungan yang kurang mendukung (unfavourable environment) sebagaimana yang
dimaksud dalam buku-buku teks mengenai perlindungan tanaman. Gangguan di luar yang
disebabkan oleh OPT tidak menjadi bagian dari perlindungan tanaman. Istilah tumbuhan
dalam definisi OPT perlu dipahami secara hati-hati. Secara botanis, tumbuhan mencakup
berbagai jenis organisme, tumbuhan berbunga, algae, bahkan jamur.
1. Hama
Hama adalah hewan yang merusak secara langsung pada tanaman. Hama terdapat
beberapa jenis, diantaranya adalah insekta (serangga), moluska (bekicot, keong), rodenta
(tikus), mamalia (babi), nematoda, dll. Serangan hama sangat terlihat dan dapat memberikan
kerugian yang besar apabila terjadi secara massive. Namun serangan hama umumnya tidak
memberikan efek menular, terkecuali apabila hama tersebut sebagai vektor suatu penyakit.
Dari penjelasan ini tersirat bahwa hama adalah populasi atau tingkat serangan
organisme pengganggu tumbuhan. Dengan kata lain, bila hanya satu individu maka OPT
bukan termasuk hama, padahal sapi lepas, apalagi gajah, hanya satu ekor sekalipun dapat
menimbulkan kerusakan, gangguan terhadap kehidupan, atau bahkan sangat menyebabkan
kematian terhadap tanaman. Penjelasan di atas juga menyiratkan bahwa pengendalian hama
terpadu hanya mencakup kegiatan pengendalian, padahal perlindungan tanaman dilaksanakan
melalui kegiatan pencegahan masuk atau menyebar, pengendalian, dan eradikasi.

Untuk menangulanggi serangan hama, dapat dilakukan dengan cara memberikan


pestisida. Terdapat beberapa jenis pestisida buatan, misalnya insektisida (berfungsi untuk
menangulanggi serangan serangga), molisida (berfungsi untuk menanggulangi serangan
mollusca), dan rodentisida (berfungsi untuk menangulanggi serangan rodensia/ binatang
pengerat). Namun demikian penggunaan pestisida buatan berdampak buruk terhadap
lingkungan, sehingga sekarang banyak dikembangkan biopestisida. Contoh biopestisida untuk
memberantas serangga dengan memanfaatkan estrak daun mimba dan daun paitan.
2. Penyakit
Definisi penyakit tumbuhan, menurut Jones (1987) menyebutkan bahwa penyakit
tumbuhan adalah adanya penyimpangan dalam proses fisiologi pada tubuh tanaman.
Sedangkan, menurut Triharso (1993), penyakit tumbuhan secara umum adalah pembicaraan
tentang tanaman yang menderita. Hal ini didasari dari pengertian Plantpathology yang
diartinya adalah plant = tumbuhan, pathos = menderita, dan logos = membicarakan. Definisi
dari penyakit tumbuhan adalah :
1. Dari segi biologi yaitu proses fisiologi yang tidak normal, seperti gangguan pertumbuhan
reproduksi dan sebagainya.
2. Dari segi ekonomi yaitu ketidakmampuan dari tanaman yang diusahakan untuk
memberikan hasil yang cukup baik kualitas maupun kuantitas
Tanaman dikatakan sakit apabila ada perubahan atau gangguan pada organ-organ
tanaman. Tanaman yang sakit menyebabkan pertumbuhan dan perkembangannya tidak
normal. Penyakit tanaman disebabkan oleh mikroorganisme misalnya jamur, virus, dan
bakteri. Selain itu penyakit tanaman dapat disebabkan karena kekurangan salah satu atau
beberapa jenis unsur hara.
Dalam mempelajari penyakit tumbuhan ada beberapa istilah yang perlu untuk
diketahui yang tentunya sangat dibutuhkan di dalam proses pemahaman ilmu penyakit
tumbuhan itu sendiri, seperti istilah pathogen yaitu digunakan untuk menyebutkan organisasi
penyebab penyakit, host atau tanaman inang yaitu kata lain dari tanaman yang menderita sakit,
gejala atau symptom adalah respon yang nyata dari tanaman yang sakit terhadap pathogen,
identifikasi yaitu proses meneliti dan menetapkan nama yang sesungguhnya, isolasi yaitu
proses pemisahan satu mikroorganisme atau virus dari substrat atau inang, inokulasi yaitu
pemberian inokulum pada inang atau medium, infeksi yaitu masuknya organisme pathogen
atau virus kedalam inang dan terjadi hubungan parasitic baik permanen atau tidak diantara
keduanya, inkubasi yaitu masa diantara terjadinya infeksi dan timbulnya gejala, inokulum
yaitu spora atau bahan penyakit lain yang dapat menyebabkan infeksi, substrat yaitu media
tumbuh dari mikroorganisme, dan masih banyak lagi istilah-istilah penting lainnya.
Jenis tanaman sangat beragam begitujuga dengan penyakit tanaman yang sangat
mengganggu. Dengan keberadaan penyakit yang kerap sekali datang tiba-tipa,
berdampak buruk terhadap hasil peroduksi kita, anda harus mengetahui jenis penyakit yang
secara luas dapat tersebar dengan hitungan hari saja. Penanggulangan harus secepatnya di
lakukan karena dengan memberikan tindakan yang tepat kita dapat mengurangi resiko
penyebaranya dan menyelamatkan tanaman yang kita budidayakan.

3. Gulma
Gulma dapat diartikan tumbuhan yang tumbuh diantara tanaman budidaya yang
mengakibatkan adanya persaingan penyerapan unsur hara, air, maupun sinar matahari
sehingga menghambat pertumbuhan dan mengakibatkan penurunan hasil produksi.
Beda halnya dengan hama yang menyerang semua jenis budidaya, Gulma sendiri lebih
sering menyerang jenis budidaya dalam bidang pertanian, namun kadang juga gulma
menyerang peternakan dan perikanan namun biasanya tidak begitu berpengaruh terhadap hasil
produksi. Gulma dapat digolongkan menjadi beberapa jenis seperti gulma berdaun lebar,
gulma rumput-rumputan, pakis (tanaman paku) dan gulma teki-tekian.
Gulma termasuk tumbuhan dan oleh karena itu, musuh alaminya dengan sendirinya
merupakan organisme pengganggu tumbuhan. Hal ini rupanya kurang mendapat perhatian
dalam mendefinisikan OPT sehingga bila tidak dicermati maka membunuh musuh alami
gulma berarti melindungi tanaman, padahal seharusnya tidak demikian. Kedua, karena
mencakup semua organisme yang dapat merusak, mengganggu kehidupan, atau menyebabkan
kematian tumbuhan maka di dalam konsep OPT juga termasuk organisme yang dapat
merusak, mengganggu kehidupan, atau menyebabkan kematian tumbuhan liar (bukan
budidaya) apakah dengan definisi OPT sebagaimana yang telah dijelaskan maka hama dalam
arti luas bermakna sama dengan OPT sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan bahwa “Perlindungan tanaman dilaksanakan dengan sistem
pengendalian hama terpadu”? Pada penjelasan salah satu peraturan perundang-undangan
disebutkan sistem pengendalian hama terpadu adalah upaya pengendalian populasi atau
tingkat serangan organisme pengganggu tumbuhan dengan menggunakan satu atau lebih dari
berbagai teknik pengendalian yang dikembangkan dalam suatu kesatuan, untuk mencegah
timbulnya kerugian secara ekonomis dan kerusakan lingkungan hidup.
Beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya kerugian akibat persaingan antara
tanaman budi daya dengan gulma yaitu :
 Pertumbuhan tanaman terhambat sehingga waktu mulai berproduksi lebih lama.
 Penurunan kuantitas dan kualitas hasil produksi.
 Gulma dapat menjadi sarang hama dan penyakit.
 Pengendalian gulma membutuhkan biaya yang mahal.
Cara pengendalian gulma dilakukan melalui dua cara yaitu :
 Cara tradisional dengan mencabuti gulma secara langsung.
 Cara yang modern dengan menyemprot menggunakan herbisida.

2.5. Konsep Pengendalian


2.5.1. Pengendalian Hama
Organisme pengganggu tanaman ini terdiri dari hama, gulma dll. Untuk cara
menanggulangi hama berbeda dengan gulma, untuk mengendalikan hama konsep pengendalian
telah mengalami evolusi dari tahun ke tahun makin cangih dan sebagian besar menjadi makin
efektif. Metode pertama kali yang digunakan dalam mengendalikan hama yang tidak diragukan
lagi adalah menangkap, menapis atau memukul serangga dan invertebrata kecil lainnya. Contoh
awal penggunaan konsep pengendalian OPT adalah penggenangan atau pembakaran lahan untuk
memusnahakan gulma serangga dan hama invertebrata lainnya, serta pengunaan boneka sawah
untuk mengusir burung-burung. pemanfaatan musuh alami untuk mengendalikan hama sudah
dimulai beberapa ribu tahun sebelumnya. Meskipun demikian demonstrasi pentingya pendekatan
ini baru terlihat pada pemanfaatan metode pengendalian biologi untuik melawan serangan kutu
bersisik (cottony cushion scale). Tetapi kemudian muncul wacana penggunaan pestisida kimia,
dengan konsep ini sedikit demi sedikit hama dapat dikendalikan, disamping mempunyai dampak
positif terdapat pula dampak negatifnya yaitu penggunaan pestisida kimia pada lahan pertanian
yang telah diketahui, diantaranya: mengakibatkan resistensi hama sasaran, gejala resurjensi
hama, terbunuhnya musuh alami, meningkatnya residu pada hasil, mencemari
lingkungan, gangguan kesehatan bagi pengguna (Oka 1995), bahkan beberapa pestisida disinyalir
memiliki kontribusi pada fenomena pemanasan global (global warming) dan penipisan lapisan
ozon (Reynolds, 1997).
Pengendalian hama dengan menggunakan insektisida, saja, memiliki pertimbangan yang
kurang terhadap aspek-aspek lain dari sistem pertanian. Penyemprotan insektisida sering
dilakukan berdasarkan kepada jadwal kalender dan tanpa pengetahuan tentang fenologi hama,
kerapatan, dan potensi kerusakan. Penggunaan bahan kimia yang rendah biaya dan berdampak
kuat ini telah menekan pengembangan mekanisme lain untuk pengendalian hama. Pendekatan ini
juga telah merubah pola pikir petani dari melindungi tumbuhan pertanian menjadi membunuh
serangga. Praktek seperti ini hanya bertahan dalam waktu singkat, dan sejalan dengan perjalanan
waktu akan muncul resistensi terhadap insektisida dan kemunculan masalah-masalah lain secara
bertahap. Jadi, penting sekali untuk dipahami bahwa pengendalian hama pada dasarnya adalah
masalah ekologi. Berikut beberapa konsep pengendalian hama yang berkembang dari tahun ke
tahun:
2.5.1.1. Pengendalian Secara Bercocok Tanam
Pengendalian hama secara bercocok tanam atau pengendalian agronomic bertujuan untuk
mengelola lingkungan tanaman sedemikian rupa sehingga lingkungan tersebut menjadi kurang
cocok bagi kehidupan dan pembiakan hama sehingga dapat mengurangi laju peningkatan populasi
dan peningkatan kerusakan tanaman. Kecuali itu pengelolaan lingkungan tanaman melalui teknik
bercocok tanam ini juga ditujukan agar lingkungan tersebut dapat mendorong berfungsinya musuh
alami secara efektif. Istilah pengendalian secara bercocok tanam atau dalam bahasa inggris
cultural control sudah lama dikembangkan. Umumnya teknik bercocok tanam yang digunakan
adalah teknik bertanam yang sudah ada dan kurang melihat perpaduannya dengan teknik lain
seperti pemanfaatan musuh alami. Dalam rangka sistem PHT akhir-akhir ini teknik pengendalian
secara bercocok tanam telah dikembangkan menjadi penghertian yang lebih luas yaitu
pengelolaan ekologi. (Pedigo,1989).
Pengendalian secara bercocok tanam merupakan usaha pengendalian yang bersifat
preventif yang dilakukan sebelum serangan hama terjadi dengan harapan agar populasi hama tidak
meningkat sampai melebihi ambang pengendaliannya. Oleh karena itu, penerapan teknik ini perlu
direncanakan jauh sebelumnya agar hasilnya memuaskan. Untuk meningkatkan efektivitas dan
efisiensi hasil pengendalian teknik pengendalian secara bercocok tanam perlu dipadukan dengan
teknik pengendalian hama lainnya sesuai dengan prinsip-prinsip PHT. Karena teknik pengendalian
ini merupakan bagian teknik bercocok tanam yang umum untuk memperoleh produktivitas tinggi,
petani tidak perlu mengeluarkan biaya khusus untuk pengendalian. Oleh karena itu, teknik
pengendalian ini merupakan teknik pengendalian yang murah. Teknik pengendalian ini tidak
mengakibatkan pencemaran bagi lingkungan, dan mudah dikerjakan oleh petani baik secara
perseorangan maupun secara kelompok.
2.5.1.2. Pengendalian Dengan Tanaman Tahan Lama
Pengendalian hama dengan cara menanam tanaman yang tahan terhadap serangan hama
telah lama dilakukan dan merupakan cara pengendalian yang efektif, murah dan tidak berbahaya
bagi lingkungan. Penggunaan varietas tahan hama akhir-akhir ini berhasil mengendalikan hama
wereng coklat padi. Di luar tanaman padi penggunaan varietas tahan hama di Indonesia masih
terbatas karena masih langkanya tersedia varietas atau tanaman yang memiliki ketahanan p. Saat
ini lebih dari 80% pertanaman padi di Indonesia yang luas panennya meliputi areal sekitar 10 juta
hektar merupakan varietas unggul yang berproduksi tinggi produksi dan tahan terhadap hama
wereng coklat. Karena sifatnya yang berproduksi tinggi produksi beras di Indonesia dapat
meningkat. Meskipun keberhasilan telah dicapai oleh teknik pengendalian tersebut, tetapi karena
terjadinya keseragaman genetik yang besar pada ekosistem persawahan, sifat ketahanan suatu
varietas padi seringkali tidak berjalan lama. Hama dalam hal ini wereng coklat karena proses
seleksi alami mampu mematahkan sifat ketahanan tersebut. Dalam membicarakan prinsip dan
teknik hama dengan tanaman tahan harus mulai mempelajari fenomena evolusioner antara
tanaman dan herbivora yang kemudian bagaimana memanfaatkan sifat-sifat ketahanan alami
tersebut untuk memperoleh varietas tahan lama yang diinginkan.
Ketahanan atau resistensi tanaman yang merupakan pengertian yang bersifat relatif karena
untuk melihat ketahanan suatu jenis tanaman, sifat tanaman yang tahan harus dibandingkan dengan
sifat tanaman yang tidak tahan atau peka. Tanaman yang tahan adalah tanaman yang menderita
kerusakan yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan tanaman yang lain dalam keadaan tingkat
populasi hama yang sama dan keadaan lingkungan yang sama. Jadi pada tanaman yang tahan,
kehidupan dan perkembangbiakan serangga hama menjadi lebih terhambat bila dibandingkan
dengan apabila sejumlah populasi tersebut berada pada tanaman yang tidak atau kurang tahan.
Sifat ketahanan yang dimiliki oleh tanaman dapat merupakan sifat asli atau terbawa keturunan
(faktor genetik) tetapi dapat juga karena keadaan lingkungan yang menyebabkan tanaman tahan
terhadap serangan hama.
2.5.1.3. Pengendalian Secara Fisik dan Mekanik
Dibandingkan dengan teknik pengendalian hama lainnya pengendalian fisik dan mekanik
merupakan teknologi pengendalian hama yang paling kuno dilakukan oleh manusia sejak manusia
mengusahakan pertanian. Pengendalian dilakukan dengan mematikan hama yang menyerang
dengan tangan atau dengan bantuan peralatan. Meskipun cara pengendalian tersebut merupakan
cara yang paling kuno teapi masih dipraktekkan sampai saat ini karena kesederhanaannya dan
kemudahannya. Pengendalian fisik dan mekanik merupakan tindakan yang kita lakukan dengan
tujuan secara langsung dan tidak langsung mematikan hama, mengganggu aktivitas fisiologi hama
yang normal dengan cara lain di luar pestisida dan mengubah lingkungan sedemikian rupa
sehingga lingkungan menjadi kurang sesuai bagi kehidupan hama. Perbedaan pengendalian fisik
dan mekanik tindakan mengubah lingkungan memang ditujukan khusus untuk mematikan atau
menghambat kehidupan hama, dan bukan merupakan bagian dari praktek budidaya atau bercocok
tanam yang umum seperti pengendalian secara bercocok tanam.
Pengendalian fisik dan mekanik harus dilandasi oleh pengetahuan yang menyeluruh
tentang ekologi serangga hama dan adanya kenyataan bahwa setiap jenis serangga memiliki batas
toleransi terhadap faktor lingkungan fisik seperti suhu, kebasahan, bunyi, sinar, spektrum
elektromagnetik, dll. Dengan mengetahui ekologi serangga hama sasaran kita dapat mengetahui
kapan, dimana, bagaimana tindakan fisik dan mekanik dilakukan agar memperoleh hasil yang
efektif dan efisien. Tanpa pengetahuan yang lengkap kemungkinan besar akan memboroskan
tenaga, waktu, dan biaya yang besar tetapi populasi hama yang terbunuh atau dihambat
kehidupannya hanya sedikit. Meskipun pengendalian ini merupakan yang paling klasik namun
tetap memerlukan adanya penelitian dan informasi yang relevan seperti untuk teknik pengendalian
yang lain.
2.5.1.4. Pengendalian Hayati
Berbeda dengan pendekatan pengendalian hama yang konvensional PHT lebih
mengutamakan berjalannya pengendalian hama yang dilakukan oleh berbagai musuh alami hama.
Dalam keadaan seimbang musuh alami selalu berhasil mengendalikan populasi hama sehingga
tetap berada di bawah aras ekonomik. Dengan memberikan kesempatan sepenuh-penuhnya kepada
musuh alami untuk bekerja berarti menekan sedikit mungkin penggunaan pestisida. Pestisida
sendiri secara langsung dan tidak langsung dapat merugikan perkembangan populasi musuh alami.
Pengendalian hayati pada dasarnya adalah pemanfaatan dan penggunaan musuh alami untuk
mengendalikan populasi hama yang merugikan.
Pengendalian hayati sangat dilatarbelakangi oleh berbagai pengetahuan dasar ekologi
terutama teori tentang pengaturan populasi oleh pengendali dari parasitoid, predator dan patogen
merupakan pengendali utama hama yang bekerja secara “density-dependent” sehingga tidak dapat
dilepaskan dari kehidupan dan perkembangbiakan hama. Adanya populasi hama yang meningkat
sehingga mengakibatkan kerugian ekonomik bagi petani disebabkan karena keadaan lingkungan
yang kurang memberi kesempatan bagi musuh alami untuk menjalankan fungsi alaminya. Apabila
musuh alami diberikan kesempatan untuk menjalankan fungsinya antara lain dengan jalan
rekayasa lingkungan seperti introduksi musuh alami, memperbanayak dan melapaskannya, serta
mengurangi berbagai dampak negatif terhadap musuh alami, maka musuh alami akan dapat
menjalankan fungsinya dengan baik.
Sesuai dengan konsepsi dasar PHT pengendalian hayati memgang peranan yang
menentukan karena semua usaha teknik pengendalian yang lain secara bersama ditujukan untuk
mempertahankan dan memperkuat berfungsinya musuh alami sehingga populasi hama tetap
berada di bawah aras ekonomik. Dibandingkan dengan teknik-teknik pengendalian yang lain
terutama pestisida, pengenalian hayati memiliki tiga keuntungan utama yaitu permanen, aman,
dan ekonomi.
Dikatakan permanen karena demikian pengendalian hayati berhasil, musuh alami telah menjadi
lebih mapan dan selanjutnya secara alami musuh alami akan mampu menjaga populasi hama dalam
keadaan yang seimbang di bawah aras ekonomi dalam jangka waktu yang panjang. Pengendalian
hayati aman bagi lingkungan karena tidak memiliki dampak samping terhadap lingkungan
terutama terhadap serangga atau organisme bukan sasaran. Karena musuh alami adalah khas inang.
Meskipun pernah terjadi ketahanan suatu jenis hama terhadap serangan musuh alami anatra lain
dengan membentuk kapsul dalam tubuh inang, namun kejadian tersebut sangat langka.
Pengendalian hayati juga relatif ekonomik karena begitu usaha tersebut berhasil tidak diperlukan
lagi tambahan biaya khusus untuk pengendalian hama yang diupayakan kemudian hanya
menghindari tindakan-tindakan yang merugikan perkembangan musuh alami.
2.5.1.5. Pengendalian Kimiawi
Pengendalian kimiawi yang dimaksudkan di sini adalah penggunaan pestisida untuk
mengendalikan hama agar hama tidak menimbulkan kerusakan bagi tanaman yang diusahakan.
Pestisida mungkin merupakan bahan kimiawi yang dalam sejarah umat manusia telah memberikan
banayak jasanya baik dalam bidang pertanian, kesehatan, pemukiman, dan kesejahteraan
masyarakat yang lain. Berkat pesitisida manusia telah dapat dibebaskan dari ancaman berbagai
penyakit yang membahayakan seperti malaria, DBD, dll. Berbagai jenis serangga vektor penyakit
manusia yang berbahaya telah berhasil dikendalikan dengan pestisida. Pada mulanya produksi
pertanian juga berhasil ditingkatkan karena pemakaian pestisida yang dapat menekan populasi
hama dan kerusakan tanaman akibat serangan hama. Karena keberhasilan tersebut dunia pertanian
pestisida seakan-akan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari budidaya segala jenis
tanaman baik tanaman pangan maupun perkebunan. Meskipun pestisida memiliki banyak
keuntungan seperti cepat menurunkan populasi hama, mudah penggunaannya dan secara
ekonomik menguntungkan namun dampak negatif penggunaannya semakin lama semakin
dirasakan oleh masyarakat. Dampak negatif pestisida yang merugikan kesehatan masyarakat dan
kelestarian lingkungan hidup semakin lama semakin menonjol dan perlu memperoleh perhatian
sungguh-sungguh dari masyarakat dan pemerintah. Seperti diuraikan di atas damapak negatif
pestisida ini yang mendorong dikembangkannya konsep PHT. Diharapakan dengan PHT dapat
meningkatakan efisiensi penggunaan pestisida sehingga secara keseluruhan diperoleh hasil
pengelolaan ekosistem yang optimal.
2.5.2. Pengendalian Gulma
Gulma yang selalu tumbuh di sekitar pertanaman (crop) mengakibatkan penurunan laju
pertumbuhan serta hasil akhir. Adanya gulma tersebut membahayakan bagi kelangsungan
pertumbuhan dan menghalangi tercapainya sasaran produksi pertanaman pada umumnya. Usaha
manusia dalam mengatasi hal tersebut dapat berupa pemberantasan atau pengendalian, tergantung
pada keadaan tanaman, tujuam bertanam, dan biaya. Budidaya pada tanaman dan pengelolaan
masih merupakan usaha yang cukup memadai dalam pertanian. Dengan ditemukannya herbisida,
peristiwa peracunan dan dosis dalam derajad pengendalian masih perlu dipertimbangkan, demikan
pula tentang selektivitas “mode of action” dan efek residu. Pemberantasan gulma dilaksanakan
bila gulma itu benar-benar “jahat”, tumbuh di suatu tempat tertentu dalam lintasan yang cukup
sempit dan dapat membahayakan lingkungan. Dengan demikian tujuan pemberantasan gulma
semata-mata untuk membasmi tumbuhnya tumbuhan itu selengkapnya.
Adapun pengendalian dilaksanakan, bila gulma tumbuh pada area tertentu disekitar
pertanaman, dan tidak seluruh waktu tumbuh gulma akan mempengaruhi pertumbuhan
pertanaman seluruhnya. Hanya pada saat-saat tertentu (saat periode kritis) saja gulma tersebut
harus diberantas. Dengan demikian tujuan pemberantasan dan pengendalian gulma berbeda.
Pengendalian gulma dilaksanakanpada saat tertentu, yang bila tak diberantas pada saat itu akan
benar-benar menurunkan hasil akhir pertanaman. Pengendalian terhadap gulma yang berkembang
luas dan sulit untuk dibasmi secara menyeluruh, bila dikerjakan akan memakan biaya cukup mahal
dan hasil pertanaman secara ekonomis tidak memadai. Pengendalian gulma hendaknya
dilaksanakan jika kita telah memiliki pengetahuan tentang gulma itu. Bagaimana gulma itu
dibiakan, disebarkan, bagaimana bereaksi dengan perubahan lingkungan, dan bagaimana dapat
beradaptasi dengan lingkungan tersebut, ataupun bagaiman tanggapnya terhadap perlakuan zat
kimia, serta panjang siklus hidupnya, seperti annual, biennial, dan perennial. Namun panjang
siklus hidup ini beragam dengan beda iklim.
Dengan pengalaman pengetahuan di atas, pengendalian gulma dapat dibagi menjadi beberapa
golongan yaitu secara:
2.5.2.1. Mekanik
Pengendalian gulma dengan cara ini hanya mengandalkan kekuatan fisik atau mekanik, baik
dengan tangan biasa, alat sederhana maupun alat berat.
 Pencabutan dengan tangan atau disebut penyiangan dengan tangan
Cara semacam ini sangat praktis, efisien, dan terutama murah jika diterapkan pada suatu area yang
tidak luas. Pencabutan dengan tangan ditujukan pada gulma annual dan biennial. Untuk gulma
perennial pencabutan semacam ini mengakibatakan \terpotong dan tertinggalnya bagian di dalam
tanah yang akhirnya kecambah baru dapat tumbuh. Pencabutan bagi jenis gulma yang terakhir ini
menjadi berulang-ulang dan pekerjaan menjadi tidak efektif. Pada taman, cara pencabutan akan
berhasil akan baik bila diberi air sampai basah benar, sehingga memudahkan pencabutan.
Pelaksanaan pencabutan terbaik adalah pada saat sebelum pemebentuksn biji.
 Bajak tangan.
Alat semacam ini dinamakan most satisfactorily meets the weeds. Alat ini sangat berguna pada
halaman dan sebagai alat tambahan pengolah tanah dalam penyiangan di segala jenis barisan
pertanaman. Jenis gulma perennial yang persisten dapat pula diberantas dengan alat ini. Dalam 3
sampai 4 bulan pertama pembajakan dengan intrval 10 harian dianjurkan. Alat ini sangat praktis
pula dilaksanakan pada tempat yang tak dapat dijangkau dengan alat berat maupun herbisida.
 Penggenangan
Pelaksanaan penggenangan pada umumnya berhasil untuk gulma perennial. Penggenangan
dibatasi dengan galangan, dengan tinggi kurang lebih 15-25 cm selama 3-8 minggu. Sebelumnya
dibajak terlebih dahulu dan tak dibenarkan ada tumbuhan yang mencuat di atas permukaan air.
Gulma “ganas” yang perennial dan tumbuh dengan padi sawah pada umumnya diberantas dengan
cara ini dan sangat berhasil pada tanah ringan, sedang pada tanah keras dianjurkan. Penggenangan
dapat berhasil dengan memuaskan bila ketinggian air tidak menyebabkan pertumbuhan baru,
namun informasi andal tentang penggenangan ini juga masih belum lengkap.

 Panas
Suhu tinggi menyebabkan panas. Panas dapat mengkoagulasikan protopalsma dan
mengurangi enzim. Titik mati menyebabkan sel tanaman karena panas terletak antara 45 ◦-55◦ C.
Api atau uap panas sehubungan dengan pengendalian gulma mempunyai tujuan untuk:
menghancurkan bagian atas gulma yang telah tua atau terpotong oleh alat lain (api), pada tempat
berbatu atau jalan kereta api, uap panas dan hembusan api dapat dikerjakan lebih praktis, pada
barisan tanaman kapas biji gulma yang berkecambah dapat dibasmi oleh hembusan api, yang
dikerjakan berulang kali sejak batang tanaman bergaris tengah kurang lebih 0,5 cm, panas sering
untuk membasmi biji yang terpendam (gulma perennial).
Pembakaran lebih sering untuk menghilangkan samapah bekas tanaman daripada sebagai
cara pengendalian. Hanya sebagian kecil biji gulma dapat selamat, apabila masuk dalam celah-
celah tanah, ikut “drift” dari angin atau aliran air. Di lain pihak, api dapat memacu perkecambahan
biji gulma tertentu yang tertimbun tanah sangat dangkal. Meskipun pembakaran gulma tua tidak
begitu memadai, namun dapat membantu dalam hal: menghindari bahaya kebakaran,
membersihkan aliran air, membunuh hama dan penyakit yang bersarang pada gulma dari sisa
bajakan atau potongan, dan menghilangkan samaph itu sendiri.
 Pembubuhan mulsa
Untuk menghalangi sampainya cahaya matahari pada gulma dan menghalangi pertumbuhan
bagian atas, maka selapis bahan mulsa yang ditutupkan di atas gulma akan sangat berhasil. Gulma
perennial menghendaki selapis tebal jerami, namun gulma yang mempunyai pertumbuhan
vegetatif indertiminite kurang sesuai dengan perlakuan ini. Tetapi perlakuan mulsa dengan jerami,
dan lain-lain, hanya dipergunakan dalam ukuran kecil saja.
2.5.2.2. Metode Pola Tanam Atau Persaingan
Bercocok tanam dengan cara bergiliran akan meningkatkan kemampuan crop
(pertanaman). Masing-masing crop berasosiasi dengan sejenis gulma tertentu dengan khas.
Menanam crop seperti ini terus menerus (beruntun) dapat mengakibatkan akumulasi gulma, oleh
karena itu, perencanaan pergiliran tanaman tidak boleh mengabaikan faktor gulma. Pergiliran
tanaman memberi kemungkinan segolongan gulma tidak mempunyai kesempatan mengganggu
perkembangan pertanaman berikutnya. Pesaing kuat bagi suatu pertanaman memberi banyak
keuntungan. Misalnya, pertanaman itu cepat tumbuh, berkanopi lebat sehingga cepat memberikan
naungan pada daerah di bawahnya, dan cepat masak untuk dipanen, karena persaingan yang
diperebutkan adalah cahaya, air, dan nutrisi, maupun ruangan.
2.5.2.3. Pengendalian Gulma Secara Biologis
Telah diketahui bahwa insekta dan jamur merupakan hama dan penyakit bagi pertanaman.
Di lain pihak ada insekta yang memakan gulma, maka masalahnya lain. Insekta tersebut jadinya
dapat memberantas gulma. Sebagai contoh klasuik ialah setelah diperkenalkannya sejenis
penggerek Argentine (Cactoblastis cactorum) di Queensland, maka kaktus (Opuntia) yang
menghuni lahan seluas kurang lebih 25 juta ha selama 12 tahun dapat ditekan sampai 95%.
Demikian pula pengenalan insekta pemakan daun (Chryssalnia spp.) di California dapat menekan
sejenis gulma. Namun perlu diingat bahwa penggunaan musuh gulma tersebut harus hati-hati,
jangan sampai setelah gulma dimangsa, tanaman pun dapat pula diganggu. Tidak lazim, ada pula,
sejumlah hewan ternak yang memakan rerumputan secara teratur dapat menekan sejenis gulma.
2.5.2.4. Pengendalian Gulma Secara Kultur Preventif (Pencegahan)
Pencegahan lebih baik daripada perawatan, karena itu harus menjaga benih yang akan
ditanamkan sebersih mungkin dan bebas dari kontaminasi dengan biji gulma, juga pembuatan
kompos harus sempurna, pengunaan alat pertanian harus bersih, serta “menyaring” air pengairan
agar tidak membawa biji gulma ke petak pertanaman, ataupun lebih luasnya tidak membawa biji
gulma masuk ke tempat penampang air pengairan.
2.5.2.5. Pengendalian Gulma Secara Kultur Teknis
Membiarkan tumbuhan tinggal pada suatu lahan dapat mengakibatkan tanah “terpegang”
oleh perakaran dan jatuhnya air hujat tertahan oleh kanopi, akibatnya erosi dapat dikurangi. Namun
demikian pada suatu lahan yang ditumbuhi sejenis atau beberapa jenis gulma, bila lahan tersebut
hendak ditanami dengan crop, perlu diadakan pengiolahan lahan terlebuh dahulu. Pengolahan
tanah yang cukup dalam dan berulangkali dapat menghancurkan tumbuhnya kebanyakan gulma
meskipun tindakan semacam ini memerlukan tambahan tenaga. Saat pengolahan tanah yang tepat
perlu dipertimbangkan, yaitu sebelum pembentukan tunas, jangan sampai gulma berbunga apalagi
membentuk biji. Demikian pula, jenis alat pengolah akan memberi pengaruh pada “bersihnya”
pengolahan tanah dari gulma. Alat pengolah yang sederhana sampai sempurna akan memberi beda
pada timbulnya gulma selanjutnya. Alat sederhana menggunakan tenaga manusia atau hewan,
sedang yang sempurna boleh disebutkan alat berat yang menggunakan mesin.
2.5.2.6. Pengendalian Gulma Secara Ekologis
Memodifikasikan lingkungan yang mengakibatkan pertumbuhan tanaman
menmenjadi baik dan pertumbuhan tanaman menjadi baik dan pertumbuhan gulma menjadi buruk
adalah cara lain dalam pengendalian gulma. Misalnya mengubah kedudukan air dan nutrisi dalam
tanah saat tertentu (pada saat ada atau tiada tanaman yang tumbuh pada suatu lahan), dengan cara
pemberoan setelah suatu tanaman dipanen, ataupun pemberoan yagn diberi genangan. Di lain
pihak membuat drainase bagi tanah berair dapat membantu pengendalian gulma dan pengolahan
lebih awal dapat dilaksanakan.
2.5.2.7. Pengendalian Gulma Secara Terpadu
Akibat parahnya penekanan gulma pada pertumbuhan membuat para petani berusaha
dengan sunguh-sunguh dalam menanganinya. Suatu pengendalian gulma yagn efektif melibatkan
beberapa cara dalam waktu yang berurutan dalam suatu musim tanam. Misalnya saja, satu jenis
spesies pertanaman kurang mampu menekan pertumbuhan gulma, pengendalian secara mekanik
sendiri tidak sempurna dalam mengatasi gulma tertentu. Maka timbul pemikiran bahwa paduan
antara beberapa cara pengendalian dalam satu musim tanam diharapkan dapat mengatasi
masalahnya. Seperti perpaduan antara pengendalian secara mekanik diteruskan dengan pemberian
herbisida pasca tumbuh, penggunaan herbisida pra-tumbuh dan lain lagi perpaduan yang sekiranya
dapat menekan infestasi gulma yang sulit untuk dibasmi. Penentuan keputusan pelaksanaan
pengendalian secara terpadu sangat penting dalam keberhasilannya. Apakah perpaduan cara
pengendalian itu menguntungkan atau tidak. Kombinasi dalam perpaduan yang tepat akan
memberikan hasil yang maksimal dalam pengendalian gulma.
2.5.2.8. Pengendalian Gulma Secara Kimiawi
Pengendalian gulma secara kimiawi adalah pengendalian gulma dengan menggunakan
bahan kimiawi yang dapat menekan atau bahkan mematikan gulma. Bahan kimiawi itu disebut
herbisida: herba=gulma dan sida=membunuh; jadi zat herbisida ialah zat kimiawi yang dapat
mematikan gulma. Pengendalian dengan cara ini membutuhkan alat penyebar herbisida serta
pengetahuan tentang herbisida itu sendiri, agar pengendalian yang dilakukan dapat berhasil.
Namun secara garis besar dapat diutarakan disini bahwa ada dua golongan utama herbisida yang
dengan sendirinya penggunaannya memberikan konsekuensi tertentu pula. Dua golongan itu ialah
herbisida selektif dan herbisida non selektif. Kebanyakan herbisida akan lebih efektif pada gulma
daun lebar, bila besar konsentrasi herbisida yang dipergunakan tepat dan tepat pula saat pemberian
yang dibutuhkan.
III. HAMA WERENG EMPOASCA SPP

3.1. Deskripsi Hama wereng esmpoaca

Wereng Empoasca spp. Hemiptera : Cicadellidae Bioekologi. Hama ini juga dikenal
dengan nama sikada, menyerang kacang tanah pada musim kemarau, kehilangan hasil dapat
mencapai 40%. Sikada pada kacang tanah berwarna hijau kekuningan, berukuran 3 mm, serangga
jantan lebih kecil daripada serangga betina. Telur diletakkan di dalam jaringan daun, dekat tulang
daun di permukaan bawah. Bentuk telur seperti buah alpukat. Seekor sikada betina dapat
meletakkan 40 butir telur, telur menetas dalam 7–10 hari. Lama periode nimfa 7–14 hari. Nimfa
dan serangga dewasa mengisap cairan daun muda dari permukaan bawah daun. Kerusakan pada
daun muda, urat daun menjadi putih. Serangan pada tanaman muda menjadikan tanaman layu.
Pada tanaman yang lebih tua, ujung daun muda yang terserang berwarna kuning membentuk huruf
V. Kacang tanah yang terserang sikada tampak lebih kuning daripada tanaman sehat.

Kingdom : Animalia

Filum : Arthropoda

Kelas : Insecta

Ordo : Hemiptera

Subordo : Auchenorrhyncha

Infraordo : Fulgoromorpha

Superfamili : Fulgoroidea
Wereng Empoasca dianggap hama yang “merepotkan” bagi para pekebun karena sifatnya
yang polifag. ternyata Wereng Empoasca juga memiliki banyak inang alternatif. Wereng
Empoasca pertama kali ditemukan di Jerman pada tahun 1974 dan menyebar ke negara Eropa dan
Africa bagian Utara, menyerang tanaman kentang, raspberry, tebu dan anggur. Di Indonesia,
Wereng Empoasca menyerang kacang tanah, kacang panjang, kacang tunggak, kacang kedelai,
ubi, kacang polong, dan Leguminose. Hingga saat ini, pengendalian Wereng Empoasca masih
menggunakan insektisida sintetik karena dapat menekan intensitas serangan dengan cepat. Di sisi
lain, aplikasi pestisida yang terus menerus dan tidak sesuai aturan dapat menimbulkan efek negatif.
Selain dapat menyebabkan resistensi dan resurgensi, residu pestisida juga dapat tertinggal di
produk akhir teh. Selama beberapa tahun terakhir, produk teh hitam dan teh hijau Indonesia ditolak
oleh Uni Eropa dengan alasan melebihi Batas Maksimum Residu (BMR).

 Musuh alami wereng :


1. laba-laba serigala
2. kepik mirid
3. kumbang koksinelid
4. capung jarum
5. kumbang paedorus
6. belalang bertanduk panjang
7. kumbang karabid
 Tanda-tanda serangan :
1. Menguning dan mengering dengan cepat.
2. Umumnya gejala terlihat mengumpul pada satu lokasi dan melingkar (hopperburn).
3. Wereng coklat merupakan vektor (penular) penyakit virus kerdil rumput tanaman padi
3.2. Cara Pengendalian
3.2.1. Pencegahan :
1. Bersihkan gulma dari lahan dan areal sekitarnya.
2. Penggunaan varietas unggul tahan wereng contoh adalah Inpari 6, Inpari 13 , Inpari 18,
Inpari19, Inpari 23.
3. Gunakan perangkap cahaya.
4. Pemupukan berimbang.
3.2.2. Pengendalian hayati
1. Penggunaan agensi hayati Metharizium anisopleae dan jamur Beuveria sp, Verticillium.
2. Pengendalian menggunakan musuh alami/ predator (paedorus fuscifes, laba-laba,
cooccinella sp, Ophionea nigrofasciata dll). Untuk memanfaatkan predator ini kita harus
melakukan pengamatan minimal 1 minggu 1 kali dan gunakan insektisida yang selektif
untuk menghindari terbunuhnya musuh alami tersebut.
3.2.3. Pengendalian kimiawi
1. Penggunaan insektisida berbahan aktif buprofezin , BPMC, imidakloprid.
2. Penggunaan insektisida yang tidak sesuai akan mengganggu keseimbangan alami karena
terbunuhnya musuh alami wereng, menyebabkan resurjensi atau ledakan serangan hama.
Sebelum menggunakan pestisida, hubungi petugas perlindungan tanaman atau penyuluh
untuk mendapatkan saran dan petunjuk. Baca petunjuk yang tertera di label dengan teliti
setiap sebelum pestisida digunakan.
IV. PENUTUP

1. Wereng Empoasca dianggap hama yang “merepotkan” bagi para pekebun karena sifatnya
yang polifag. ternyata Wereng Empoasca juga memiliki banyak inang alternatif. Wereng
Empoasca pertama kali ditemukan di Jerman pada tahun 1974 dan menyebar ke negara
Eropa dan Africa bagian Utara, menyerang tanaman kentang, raspberry, tebu dan anggur.
2. Di Indonesia, Wereng Empoasca menyerang kacang tanah, kacang panjang, kacang
tunggak, kacang kedelai, ubi, kacang polong, dan Leguminose. Hingga saat ini,
pengendalian Wereng Empoasca masih menggunakan insektisida sintetik karena dapat
menekan intensitas serangan dengan cepat.
DAFTAR PUSTAKA

Dian, Budi A. 2012. Hama, penyakit, dan gulma pada tumbuhan.


http://budiartodian.blogspot.com/2012/09/hama-penyakit-dan-gulma-pada-
tumbuhan.html. [Diakses pada tanggal 15 Oktober 2019 pukul 10.15 WIB]

Mudita, Wayan. 2017. Apa Saja Yang Diatur dalam Peraturan Perundang undangan Mengenai
Perlindungan Tanaman. http://muditadpt.blogspot.com/2016/10/apa-saja-yang-diatur-
dalam-peraturan.html, [Diakses pada tanggal 13 Oktober 2019 pukul 14.25 WIB]

Kurnialdi, Abi. Dasar Perlindungan Tanaman Defenisi Penyakit Tumbuhan.


https://www.academia.edu/36072484/DASAR_PERLINDUNGAN_TANAMAN_DEFI
NISI_PENYAKIT_TUMBUHAN, [Diakses pada tanggal 15 Oktober 2019 pukul 11.10
WIB]

Pertanian Sehat Indonesia. 2015. Organisme Pengganggu Tanaman (OPT).


https://pertaniansehat.com/read/2015/10/12/organisme-pengganggu-tanaman-opt.html,
[Diakses pada tanggal 15 Oktober 2019 pukul 10.40 WIB]

Putri, Ria W R. 2019. Pengendalian Organisme Pengganggu.


https://www.academia.edu/37674277/PENGENDALIAN_ORGANISME_PENGGANG
GU. [Diakses pada tanggal 15 Oktober 2019 pukul 10. 30 WIB]

Rahman, Babul. 2019. Laporan Lengkap Praktikum Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman


Fakultas Pertanian Universitas Tadulako,
https://www.academia.edu/35378305/LAPORAN_LENGKAP_PRAKTIKUM_DASAR
DASAR_PERLINDUNGAN_TANAMAN_FAKULTAS_PERTANIAN_UNIVERSIT
AS_TADULAKO, [Diakses pada tanggal 15 Oktober 2019 pukul 18.55 WIB]

Satria, Ase. 2016. Pengertian, Contoh Hama dan Penyakit Pada Tanaman.
https://www.materibelajar.id/2016/09/pengertian-contoh-hama-dan-penyakit.html,
[Diakses pada tanggal 15 Oktober 2019 pukul 10.53 WIB]

Sitinjak, Desma. 2019. kerugian akibat serangan hama dan penyakit pada tanaman.
https://www.academia.edu/6841096/kerugian_akibat_serangan_hama_dan_penyakit_pa
da_tanaman, [Diakses pada tanggal 15 Oktober 2019 pukul 09.30 WIB]
Wibowo, Among 2017. Petunjuk Lapangan Pengendalian Hama Wereng.
http://pertanian.magelangkota.go.id/informasi/teknologi-pertanian/124-petunjuk-
lapangan-pengendalian-hama-wereng, [Diakses pada tanggal 22 Oktober 2019 pukul
11.40 WIB]

Anda mungkin juga menyukai

  • Https
    Https
    Dokumen4 halaman
    Https
    Supra Gtr
    Belum ada peringkat
  • Pembelajaran
    Pembelajaran
    Dokumen6 halaman
    Pembelajaran
    Supra Gtr
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen2 halaman
    Cover
    Supra Gtr
    Belum ada peringkat
  • Pembelajaran
    Pembelajaran
    Dokumen6 halaman
    Pembelajaran
    Supra Gtr
    Belum ada peringkat
  • Pembelajaran
    Pembelajaran
    Dokumen6 halaman
    Pembelajaran
    Supra Gtr
    Belum ada peringkat
  • Proposal
    Proposal
    Dokumen10 halaman
    Proposal
    Supra Gtr
    Belum ada peringkat