Anda di halaman 1dari 22

Universitas Sumatera Utara

Repositori Institusi USU http://repositori.usu.ac.id


Departemen Kesehatan Anak Makalah Dosen

2019

Penyakit Jantung Rematik pada Anak

Amelia, Putri
Universitas Sumatera Utara

http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/11569
Downloaded from Repositori Institusi USU, Univsersitas Sumatera Utara
PENYAKIT JANTUNG REMATIK
PADA ANAK

PUTRI AMELIA
19840810 200812 2 003

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini, sebagai salah satu tulisan
pada Program Studi Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Tulisan ini berjudul “Penyakit Jantung Rematik pada Anak”. Dalam penyelesaian
tulisan ini, penulis mendapat banyak bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin
menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak
yang telah membantu.
Penulis menyadari bahawa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, penulis
mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan
tulisan ini. Semoga tulisan ini dapat berguna bagi kita semua.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

Kata Pengantar i
Daftar Isi ii

BAB 1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Tujuan 1

BAB 2.TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Defenisi 2
2.2. Epidemiologi 2
2.3 Etiologi dan Faktor Risiko 2
2.4. Patogenesis 3
2.5. Diagnosis 5
2.6. Penatalaksanaan 11
2.7. Komplikasi 14
2.8. Prognosis 14

BAB 3. KESIMPULAN 16

Daftar Pustaka 17

Universitas Sumatera Utara


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Penyakitjantung reumatik (PJR) merupakan kelainan katup jantung yang menetap akibat
demam reumatik akut sebelumnya. Penyakit initerutama mengenai katup mitral (75%), aorta
(25%), jarangmengenai katup trikuspidaldan tidak pernah menyerang katup pulmonal.Setiap
tahunnya rata-rata ditemukan 55 kasusdengandemam reumatik akut(DRA)dan
PJR.Diperkirakan prevalensiPJR di Indonesia sebesar 0,3-0,8 anak sekolah 5-15 tahun.1
Penyakit jantung reumatik merupakan komplikasi yang paling serius dari demam
reumatik. Sebanyak 39% pasien dengan demam reumatik akut akan berkembang menjadi
pankarditis dengan berbagai derajat disertai insufisiensi katup, gagal jantung, perikarditis
bahkan kematian. Pada PJR kronik pasien dapat mengalami stenosis katup dengan berbagai
derajat regurgitasi, dilatasi atrium, aritmia, dan disfungsi ventrikel.2

1.2. Tujuan
Tujuan dari penulisan refarat ini adalah untuk membahas secara ringkas mengenai definisi,
diagnosis, manajemen dan prognosispenyakit jantung reumatik.

Universitas Sumatera Utara


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Penyakit Jantung Reumatik (PJR) merupakan kelainan katup jantung yang menetap akibat
demam reumatik akut sebelumnya. Penyakit ini terutama mengenai katup mitral (75%), aorta
(24%), jarang mengenai katup trikuspidal (1%) dan tidak pernah menyerang katup pulmonal.3
MenurutAfif.A (2008),PJRadalah penyakitjantungsebagai
akibatadanyagejalasisa(sekuele)dari Demam Rematik(DR),yangditandai dengan
terjadinyacacatkatupjantung.4
DefinisilainjugamengatakanbahwaPJRadalahhasildari demam reumatik,yang
merupakansuatukondisiyangdapatterjadi 2-3minggusetelahinfeksistreptococcus
betahemolyticus grupApadasalurannafas bagianatas.5

2.2 Epidemiologi
DR dapat ditemukan di seluruh dunia dan mengenai semua umur, tetapi 90% dari serangan
pertama terjadi pada umur 5-15 tahun, sedangkan yang terjadi di bawah umur 5 tahun jarang
sekali. Sebuah penelitian melaporkan bahwa DR adalah penyebab utama penyakit jantung
untuk anak usia 5-30 tahun, DR dan PJR adalah penyebab utama kematian akibat penyakit
jantung untuk usia di bawah 45 tahun, selain itu dilaporkan bahwa 25-40% penyakit jantung
disebabkan oleh PJR untuk semua umur.3
Ditemukan perempuan lebih sering mengalami PJR dibandingkanlaki-
lakidenganperbandingan7:1. PJRkronisdiperkirakanterjadi pada5-30jutaanak-anakdan
orangdewasamuda;90.000orangmeninggalkarenapenyakitinisetiaptahun.Angka kematian dari
penyakitinimasih1-10%.1
Adapun menurut WHO, PJR menyumbangkan 12-65% kasus penyakit jantung pada anak-
anak yang memerlukan perawatan intensif di rumah sakit di seluruh dunia dengan 2-9,9%
kasus tersebut berada di wilayah asia.4

2.3 Etiologi dan Faktor Risiko


Telah lama diketahui DR mempunyai hubungan dengan infeksi kuman Streptokokus beta
hemolitik grup A pada saluran nafas atas.Kuman Streptokokus BetaHemolitik dapatdibagi
atassejumlah grupserologinyayangdidasarkan atas
5

Universitas Sumatera Utara


antigenpolisakaridayangterdapatpadadindingselbakteri tersebut.Tercatatsaatini lebihdari
130serotipeMyangbertanggungjawabpadainfeksi padamanusia,tetapi
hanyagrupAyangmempunyai hubungan dengan etiopatogenesisDRdan PJR.5
Beberapa faktor predisposisi lain yang berperan padapenyakit iniadalah keadaan
sosialekonomiyangrendah,kepadatan penduduk,golongan etnik tertentu,
faktorgenetik,golonganHLA tertentu,daerahiklimsedang,daerahtropisbercuaca
lembabdanperubahan suhuyangmendadak.6

2.4 Patogenesis
Streptococcus beta hemolyticus grup A dapat menyebabkan penyakit supuratifmisalnya
faringitis, impetigo, selulitis, miositis, pneumonia, sepsis nifas dan penyakit non supuratif
misalnya demam rematik, glomerulonefritis akut. Setelah inkubasi 2-4 hari, invasi
Streptococcus beta hemolyticus grup A pada faring menghasilkan respon inflamasi akut
yang berlangsung 3-5 hari ditandai dengan demam, nyeri tenggorok, malaise, pusing dan
leukositosis. Pasien masih tetap terinfeksi selama berminggu-minggu setelah gejala
faringitis menghilang, sehingga menjadi reservoir infeksi bagi orang lain. Kontak
langsung per oral atau melalui sekret pernafasan dapat menjadi media trasnmisi penyakit.
Hanya faringitis Streptococcus beta hemolyticus grup A saja yang dapat mengakibatkan
atau mengaktifkan kembali demam rematik.7
Penyakit jantung rematik merupakan manifestasi demam rematik berkelanjutan yang
melibatkan kelainan pada katup dan endokardium. Lebih dari 60% penyakit rheumatic
fever akan berkembang menjadi rheumatic heart disease.Adapun kerusakan yang
ditimbulkan pada rheumatic heart disease yakni kerusakan katup jantung akan
menyebabkan timbulnya regurgitasi. Episode yang sering dan berulang penyakit ini akan
menyebabkan penebalan pada katup, pembentukan skar (jaringan parut), kalsifikasi dan
dapat berkembang menjadi valvular stenosis.7
Sebagai dasar dari rheumatic heart disease, penyakit rheumatic fever dalam
patogenesisnya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Adapun beberapa faktor yang berperan
dalam patogenesis penyakit rheumatic fever antara lain faktor organisme, faktor host dan
faktor sistem imun.7
Bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A sebagai organisme penginfeksi memiliki
peran penting dalam patogenesis rheumatic fever. Bakteri ini sering berkolonisasi dan
berproliferasi di daerah tenggorokan, dimana bakteri ini memiliki supra-antigen yang dapat
berikatan dengan major histocompatibility complex kelas 2 (MHC kelas 2) yang akan
6

Universitas Sumatera Utara


berikatan dengan reseptor sel T yang apabila teraktivasi akan melepaskan sitokin dan
menjadi sitotosik. Supra-antigen bakteri Streptococcusbeta hemolyticus grup A yang
terlibat pada patogenesis rheumatic fever tersebutadalah protein M yang merupakan
eksotoksin pirogenik Streptococcus. Selain itu, bakteri Streptococcus beta hemolyticus
grup A juga menghasilkan produk ekstraseluler seperti streptolisin, streptokinase, DNA-
ase, dan hialuronidase yang mengaktivasi produksi sejumlah antibodi autoreaktif.Antibodi
yang paling sering adalah antistreptolisin-O (ASTO) yang tujuannya untuk menetralisir
toksin bakteri tersebut. Namun secara simultan upaya proteksi tubuh ini juga menyebabkan
kerusakan patologis jaringan tubuh sendiri. Tubuh memiliki struktur yang mirip dengan
antigen bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A sehingga terjadi reaktivitas silang
antara epitop organisme dengan host yang akan mengarahkan pada kerusakan jaringan
tubuh.7
Kemiripan atau mimikri antara antigen bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A
dengan jaringan tubuh yang dikenali oleh antibodi adalah: 1) Urutan asam amino yang
identik, 2) Urutan asam amino yang homolog namun tidak identik, 3) Epitop pada molekul
yang berbeda seperti peptida dan karbohidrat atau antara DNA dan peptida. Afinitas
antibodi reaksi silang dapat berbeda dan cukup kuat untuk dapat menyebabkan sitotoksik
dan menginduksi sel–sel antibodi reseptor permukaan.7
Epitop yang berada pada dinding sel, membran sel, dan protein M dari streptococcus beta
hemolyticus grup A memiliki struktur imunologi yang samadengan protein miosin,
tropomiosin, keratin, aktin, laminin, vimentin, dan N-asetilglukosamin pada tubuh
manusia. Molekul yang mirip ini menjadi dasar dari reaksi autoimun yang mengarah pada
terjadinya rheumatic fever. Hubungan lainnya dari laminin yang merupakan protein yang
mirip miosin dan protein M yang terdapat pada endotelium jantung dan dikenali oleh sel T
anti miosin dan anti protein M.7
Disamping antibodi terhadap N-asetilglukosamin dari karbohidrat, Streptococcusbeta
hemolyticus grup A mengalami reaksi silang dengan jaringan katup jantung
yangmenyebabkan kerusakan valvular.7
Disamping faktor organisme penginfeksi, faktor host sendiri juga memainkan peranan
dalam perjalanan penyakit rheumatic fever. Sekitar 3-6% populasi memiliki potensi
terinfeksi rheumatic fever. Penelitian tentang genetik marker menunjukan bahwa gen
human leukocyte-associated antigen (HLA) kelas II berpotensi dalam perkembangan
penyakit rheumatic fever dan rheumatic heart disease. Gen HLA kelas II yang terletak
pada kromosom 6 berperan dalam kontrol imun respon. Molekul HLA kelas II berperan
7

Universitas Sumatera Utara


dalam presentasi antigen pada reseptor T sel yang nantinya akan memicu respon sistem
imun selular dan humoral. Dari alel gen HLA kelas II, HLA-DR7 yang paling
berhubungan dengan rheumatic heart disease pada lesi-lesi valvular.7
Lesi valvular pada rheumatic fever akan dimulai dengan pembentukan verrucae yang
disusun fibrin dan sel darah yang terkumpul di katup jantung. Setelahproses inflamasi
mereda, verurucae akan menghilang dan meninggalkan jaringan parut. Jika serangan terus
berulang veruccae baru akan terbentuk didekat veruccae yang lama dan bagian mural dari
endokardium dan korda tendinea akan ikut mengalami kerusakan.7
Kelainan pada valvular yang tersering adalah regurgitasi katup mitral (65-70%
kasus).Perubahan struktur katup diikuti dengan pemendekan dan penebalan korda tendinea
menyebabkan terjadinya insufesiensi katup mitral. Karena peningkatan volume yang
masuk dan proses inflamasi ventrikel kiri akan membesar akibatnya atrium kiri akan
berdilatasi akibat regurgitasi darah. Peningkatan tekanan atrium kiri ini akan menyebabkan
kongesti paru diikuti dengan gagal jantung kiri. Apabila kelainan pada mitral berat dan
berlangsung lama, gangguan jantung kanan juga dapat terjadi.7
Kelainan katup lain yang juga sering ditemukan berupa regurgitasi katup aorta akibat dari
sklerosis katup aorta yang menyebabkan regurgitasi darah ke ventrikel kiri diikuti dengan
dilatasi dan hipertropi dari ventrikel kiri.7
Di sisi lain, terjadi stenosis dari katup mitral. Stenosis ini terjadi akibat fibrosis yang
terjadi pada cincin katup mitral, kontraktur dari daun katup, corda dan otot papilari.
Stenosis dari katup mitral ini akan menyebabkan peningkatan tekanan dan hipertropi dari
atrium kiri, menyebabkan hipertensi vena pulmonal yang selanjutnya dapat menimbulkan
kelainan jantung kanan.7

2.5 Diagnosis
Rheumatic fever merupakan penyakit sistemik, pasien rheumatic fever menunjukan
keluhan yang bervariasi. Gambaran klinis pada rheumatic fever bergantung pada sistem
organ yang terlibat dan manifestasi yang muncul dapat tunggal atau merupakan gabungan
beberapa sistem organ yang terlibat.

a. Anamnesis
Sebanyak 70% remaja dan dewasa muda pernah mengalami sakit tenggorok 1-5 minggu
sebelum muncul rheumatic fever dan sekitar 20% anak-anak menyatakan pernah
mengalami sakit tenggorokan. Keluhan mungkin tidak spesifik, seperti demam, tidak enak
8

Universitas Sumatera Utara


badan, sakit kepala, penurunan berat badan, epistaksis, kelelahan, malaise, diaforesis dan
pucat. Terkadang pasien juga mengeluhkan nyeri dada, ortopnea atau sakit perut dan
muntah.7
Gejala spesifik yang kemudian muncul adalah nyeri sendi, nodul di bawah kulit,
peningkatan iritabilitas dan gangguan atensi, perubahan kepribadian seperti gangguan
neuropsikiatri autoimun terkait dengan infeksi Streptococcus, difungsi motorik, dan
riwayat rheumatic fever sebelumnya.7

b. Manifestasi Klinis
Untuk diagnosis rheumatic fever digunakan kriteria Jones yang pertama kali diperkenalkan
pada tahun 1944, dan kemudian dimodifikasi beberapa kali. Kriteria ini membagi
gambaran klinis menjadi dua, yaitu manifestasi mayor dan minor.7

Tabel 1. Kriteria Jones Sebagai Pedoman Dalam Diagnosis Rheumatic Fever

Manifestasi mayor Manifestasi minor


Karditis Klinis :
Poliartritis migrans - artralgia: nyeri sendi tanpa merah dan bengkak
Chorea Sydenham - demam tinggi (>390 C)
Eritema marginatum
Laboratorium :
Nodul subkutan
- peningkatan penanda peradangan yaitu
erythrocytesedimentation rate (ESR) atau C
Reactive Protein (CRP)
- pemanjangan interval PR pada EKG

Ditambah
Bukti infeksi streptococcus beta hemolyticus grup A sebelumnya (45 hari terakhir)
- Kultur hapusan tenggorok atau rapid test antigen streptococcus betahemolyticus
grup A hasilnya positif
-
Peningkatan titer serologi antibodi streptococcus beta hemolyticus grup A.1,8

Universitas Sumatera Utara


KriteriaMayor
Karditis
Karditis adalah komplikasi yang paling serius dan paling sering terjadi setelah poli artritis.
Pankarditis meliputi endokarditis, miokarditis dan perikarditis. Pada stadium lanjut, pasien
mungkin mengalami dipsnea ringan-sedang, rasa tak nyaman di dada atau nyeri pada dada
pleuritik, edema, batuk dan ortopnea. Pada pemeriksaan fisik, karditis paling sering
ditandai dengan murmur dan takikardia yang tidak sesuai dengan tingginya demam.
Gambaran klinis yang dapat ditemukan dari gangguan katup jantung dapat dilihat pada
tabel 2.7

Tabel 2. Manifestasi Klinis Sesuai Gangguan Katup Jantung yang Timbul7


Gangguan Manifestasi
Regurgitasi Mitral Aktivitas ventrikel kiri meningkat
Bising pansistolik di apeks, menyebar ke aksila
bahkan ke punggung
Murmur mid-diastolik (carrey Coombs murmur) di
apeks.
Regurgitasi Aorta Aktivitas ventrikel kiri meningkat
Bising diastolik di ICS II kanan/kiri, menyebar ke
apeks
Tekanan nadi sangat lebar (sistolik tinggi sedangkan
diastolik sangat rendah bahkan hingga 0 mmHg)
Stenosis Mitral Aktivitas ventrikel kiri negatif
Bising diastolik di daerah apeks dengan S1
mengeras.

Gagal jantung kongestif bisa terjadi sekunder akibat insufisieni katup yang parah atau
miokarditis, yang ditandai dengan adanya takipnea, ortopnea, distensi vena jugularis, ronki,
hepatomegali, irama gallop, dan edema perifer.7

10

Universitas Sumatera Utara


Friction rub pericardial menandai perikarditis. Perkusi jantung yang redup,suara jantung
melemah, dan pulsus paradoksus adalah tanda khas efusi perikardium dan tamponade
perikardium yang mengancam.7

Poliartritis Migrans
Merupakan manifestasi yang paling sering dari rheumatic fever, terjadi pada sekitar 70%
pasien rheumatic fever. Gejala ini muncul 30 hari setelah infeksi Streptococcus yakni saat
antibodi mencapai puncak. Radang sendi aktif ditandaidengan nyeri hebat, bengkak, eritema
pada beberapa sendi. Nyeri saat istirahat yang semakin hebat pada gerakan aktif dan pasif
merupakan tanda khas. Sendi yang paling sering terkena adalah sendi-sendi besar seperti
sendi lutut, pergelangan kaki, siku, dan pergelangan tangan. Gejala ini bersifat asimetris dan
berpindah-pindah (poliartritis migrans). Peradangan sendi ini dapat sembuh spontan
beberapa jam sesudah serangan namun muncul pada sendi yang lain. Pada sebagian besar
pasien dapat sembuh dalam satu minggu dan biasanya tidak menetap lebih dari dua atau tiga
minggu.7

Chorea Sydenham/Vt. Vitus’ Dance


Chorea sydenham terjadi pada 13-14% kasus rheumatic fever dan dua kalilebih sering pada
perempuan. Gejala ini muncul pada fase laten yakni beberapa bulan setelah infeksi
Streptococcus (mungkin 6 bulan). Manifestasi ini mencerminkan keterlibatan proses radang
pada susunan saraf pusat, ganglia basal, dan nukleus kaudatus otak. Periode laten dari
chorea ini cukup lama, sekitar tiga minggu sampai tiga bulan dari terjadinya rheumatic
fever. Gejala awal biasanya emosi yang lebih labil dan iritabilitas. Kemudian diikuti dengan
gerakan yang tidak disengaja, tidak bertujuan, dan inkoordinasi muskular. Semua bagian
otot dapat terkena, namun otot ekstremitas dan wajah adalah yang paling mencolok. Gejala
ini semakin diperberat dengan adanya stress dan kelelahan, namun menghilang saat
beristirahat.7

Eritema Marginatum
Eritema marginatum merupakan ruam khas pada rheumatic fever yang terjadi kurang dari
12
10% kasus. Ruam berbentuk anular berwarna kemerahan yang kemudian ditengahnya
memudar pucat, dan tepinya berwarna merah berkelok-kelok seperti ular. Umumnya
ditemukan di tubuh (dada atau punggung) dan ekstremitas.7
11

Universitas Sumatera Utara


Nodulus Subkutan
Nodulus subkutan ini jarang dijumpai, kurang dari 5% kasus. Nodulus terletak pada
permukaan ekstensor sendi, terutama pada siku, ruas jari, lutut, dan persendian kaki.
Kadang juga ditemukan di kulit kepala bagian oksipital dan di atas kolumna vertebralis.
Nodul berupa benjolan berwarna terang keras, tidak nyeri, tidak gatal, mobile, dengan
diameter 0,2-2 cm. Nodul subkutan biasanya terjadi beberapa minggu setelah rheumatic
fever muncul dan menghilang dalam waktu sebulan. Nodul ini selalu menyertai karditis
rematik yang berat.7

Kriteria Minor
Demam biasanya tinggi sekitar 39oC dan biasa kembali normal dalam waktu 2-3 minggu,
walau tanpa pengobatan. Artralgia, yakni nyeri sendi tanpa disertai tanda-tanda objektif
(misalnya bengkak, merah, hangat) juga sering dijumpai. Artralgia biasa melibatkan sendi-
sendi yang besar. Penanda peradangan akut pada pemeriksaan darah umumnya tidak
spesifik, yaitu LED dan CRP umumnya meningkat pada rheumatic fever. Pemeriksaan
dapat digunakan untuk menilai perkembangan penyakit.7

c. Pemeriksaan Penunjang
Adapun beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk mendukung
diagnosis dari rheumatic fever dan rheumatic heart disease adalah :
a. Pemeriksaan Laboratorium
- Reaktan Fase Akut
Merupakan uji yang menggambarkan radang jantung ringan. Pada pemeriksaan
darah lengkap, dapat ditemukan leukosistosis terutama pada fase akut/aktif, namun
sifatnya tidak spesifik. Marker inflamasi akut berupa C-reactive protein (CRP) dan
laju endap darah (LED). Peningkatan laju endap darah merupakan bukti non
spesifik untuk penyakit yang aktif. Pada rheumatic fever terjadi peningkatan LED,
namun normal pada pasien dengan congestive failure atau meningkat pada anemia.
CRP merupakan indikatordalam menentukan adanya jaringan radang dan tingkat
aktivitas penyakit. CRP yang abnormal digunakan dalam diagnosis rheumatic fever
aktif. 7
- Rapid Test Antigen Streptococcus

12

Universitas Sumatera Utara


Pemeriksaan ini dapat mendeteksi antigen bakteri Streptococcus grup A secara
tepat dengan spesifisitas 95 % dan sensitivitas 60-90 %.7
- Pemeriksaan Antibodi Antistreptokokus
Kadar titer antibodi antistreptokokus mencapai puncak ketika gejala klinis
rheumatic fever muncul. Tes antibodi antistreptokokus yang biasa digunakanadalah
antistreptolisin O/ASTO dan antideoxyribonuklease B/anti DNase B. Pemeriksaan
ASTO dilakukan terlebih dahulu, jika tidak terjadi peningkatan akan dilakukan
pemeriksaan anti DNase B. Titer ASTO biasanya mulai meningkat pada minggu 1,
dan mencapai puncak minggu ke 3-6 setelah infeksi. Titer ASO naik > 333 unit
pada anak-anak, dan > 250 unit pada dewasa. Sedangkan anti-DNase B mulai
meningkat minggu 1-2 dan mencapai puncak minggu ke 6-8. Nilai normal titer
anti-DNase B= 1: 60 unit pada anak prasekolah dan 1 : 480 unit anak usia sekolah.7
- Kultur tenggorok
Pemeriksaan kultur tenggorokan untuk mengetahui ada tidaknya streptococcus beta
hemolitikus grup A. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukansebelum pemberian
antibiotik. Kultur ini umumnya negatif bila gejala rheumatic fever atau rheumatic
heart disease mulai muncul.7
-
Pemeriksaan Radiologi dan Pemeriksaan Elektrokardiografi
Pada pemeriksaan radiologi dapat mendeteksi adanya kardiomegali dan kongesti
pulmonal sebagai tanda adanya gagal jantung kronik pada karditis. Sedangkan pada
pemeriksaan EKG ditunjukkan adanya pemanjangan interval PR yang bersifat tidak
spesifik. Nilai normal batas atas interval PR uuntuk usia 3-12 tahun = 0,16 detik,
12-14 tahun = 0,18 detik , dan > 17 tahun = 0,20 detik.7
-
Pemeriksaan Ekokardiografi
Pada pasien RHD, pemeriksaan ekokardiografi bertujuan untuk mengidentifikasi
dan menilai derajat insufisiensi/stenosis katup, efusi perikardium, dan disfungsi
ventrikel. Pada pasien rheumatic fever dengan karditis ringan, regurgitasi mitral
akan menghilang beberapa bulan. Sedangkan pada rheumatic fever dengan karditis
sedang dan berat memiliki regurgitasimitral/aorta yang menetap. Gambaran
ekokardiografi terpenting adalah dilatasi annulus, elongasi chordae mitral, dan
semburan regurgitasi mitral ke postero-lateral.7

d. Dasar Diagnosis

13

Universitas Sumatera Utara


Diagnosis ditegakkan berdasarkan Kriteria Jones (Revisi 1992). Ditegakkan bila ditemukan 2
kriteria mayor, atau 1 kriteria mayor + 2 kriteria minor, ditambah dengan bukti infeksi
streptokokus Grup A tenggorokan positif + peningkatan titer antibodi streptokokus.9

Tabel 3. Kriteria Jones untuk penegakan diagnosis DR/PJR9

2.6 Penatalaksanaan
a. Medikamentosa
PengobatanterhadapDemamRematikditunjukkanpada3halyaitu:1) Pencegahan
primerpadasaatseranganDemamRematik.2)Penegahansekunder Demam Rematik. 3)
Menghilangkan gejala yang menyertainya, seperti tirah baring, penggunaan antiinflamasi,
dan penatalaksanaan gagal jantung.10
Pencegahanprimerbertujuanuntukeradikasikumanstreptokokuspada
saatseranganDRdandiberikanp a d a faseawalserangan.Jenisantibiotika,dosisdan
frekuensipemberiannya dapat dilihatpadatabel03.PencegahansekunderDR
bertujuanuntukmencegahseranganulangDR,karenaseranganulangdapat
memperberatkerusakankatup- katupjantungdan dapatmenyebabkankecacatan
dankerusakankatupjantung.Jenisantibiotikayangdigunakandapatdilihatpadatabel 03 dan
durasipencegahan sekunder dapat dilihat padatabel04.10
14

Universitas Sumatera Utara


PadaseranganDRseringdidapati gejala yang menyertainya seperti gagal jantung.Penderita
gagal jantung memerlukantirahbaring danantiinflamasiperludiberikanpadapenderita
DRdenganmanifestasimayorkarditisdanartritis.Petunjuk mengenaitirahbaring
dandanambulasidapatdilihatpadatabel05danpenggunaanantiinflamasidapat
dilihatpadalampiran06.PadapenderitaDRdengangagaljantungperludiberikan
diuretika,restriksicairandangaram.PenggunaandigoksinpadapenderitaDR masih
kontroversikarenaresikointoksikasidanaritmia.10
PenderitaPenyakitJantungRematiktanpagejalatidakmemerlukanterapi. Penderita dengan
gejala gagal jantung yang ringan memerlukan terapi medik untuk mengatasi keluhannya.
Penderita yang simtomatis memerlukan terapi surgikalatauintervensiinvasif.
Tetapiterapisurgikaldanintervensiinimasih terbatas tersedia serta memerlukan biaya yang
relatif mahal dan memerlukan follow up jangkapanjang.10

10
Tabel 4. Pencegahan Primerdan Sekunder Demam Rematik.
Cara Jenis Dosis Frekuensi
Pemberian Antibiotik
Pencegahan Primer: Pengobatan terhadap faringitis streptokokus untuk mencegah
serangan primer demam rematik
Intramuskular Benzatin 1,2 jutaunit Satu kali
Penisilin G (600.000 Unit untuk BB < 27 kg)
Oral Penisilin V 250 mg/400.000 unit 4kalisehari
selama10 hari

Eritromisin 40 mg/kgBB/hari 3– 4 kalisehari


(jangan lebih dari 1 gr/ hari selama10 hari

Tetrasiklindansulfa tidak boleh diberikan

Pencegahansekunder:Pencegahan berulangnyademam rematik


Intramuscular Benzatin 1,2 Juta unit Setiap 3-4
Pinisilin G minggu
Oral Penisilin V 250mg 2kalisehari
Sulfadiazin 500mg 1kalisehari

15

Universitas Sumatera Utara


Eritromisin 250mg 2kalisehari

Tetrasiklinjangandigunakan

10
Tabel5. Durasi Pencegahan Sekunder DemamRematik.
Kategori Durasi

Demam rematik dengan karditis dan Sekurang-kurangnya 10 tahun sejak


kelainan menetap* episodeyangterakhirdansampaiusia
40 tahun dan kadang-kadang seumur
hidup.
Demamrematikdengankarditistanpa 10tahunatausampai dewasa,bisalebih lama.
kelainan katupyangmenetap *
Demam rematik tanpakarditis 5tahunatausampaiusia21tahun,
*Klinis atau ekokardiografi

Tabel 6. Petunjuk Tirah Baringdan Ambulasi10


Hanya Karditis Karditis Karditis
Artritis Minimal Sedang Berat
Tirah Baring 2 minggu 2-3 minggu 4-6 minggu 2-4 bulan
Ambulasi 1-2 minggu 2-3 minggu 4-6 minggu 2-3 bulan
dalam rumah
Ambulasi luar 2 minggu 2-4 minggu 1-3 bulan 2-3 bulan
Aktifitas Setelah 4-6 Setelah 6-10 Setelah 3-6 Bervariasi
penuh minggu minggu bulan

Hanya Karditis Karditis Karditis

16

Universitas Sumatera Utara


Artritis Minimal Sedang Berat
Prednison 0 0 2-4 minggu* 2-6 minggu*

Aspirin 1-2 minggu 2-4 minggu + 6-8 minggu 2-4 bulan

Dosis: Prednison 2 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis


Aspirin100 mg/kgBB/hari dibagi 6 dosis
* Dosis prednison ditapperingdanaspirin dimulai selama mingguakhir.
+ Aspirin dapat dikurangi menjadi 60 mg/kgBB/hari setelah 2 minggu
pengobatan.
b. Diet
Diet pasien rheumatic heart disease harus bernutrisi dan tanpa restriksi kecuali pada pasien
gagal jantung. Pada pasien tersebut, cairan dan natrium harus dikurangi. Suplemen kalium
diperlukan apabila pasien diberikan kortikosteroid atau diuretik.10

c. Pembedahan
Pembedahanmungkin diperlukanjikatelahterjadi gagal jantung yang menetapatau
semakinmemburukmeskipun telah mendapat terapi medis yang agresif untuk penanganan
rheumatic heart disease, operasi untuk mengurangi defisiensi katup mungkin bisamenjadi
pilihan untuk menyelamatkan nyawa pasien. Pasien yang simptomatik, dengan disfungsi
ventrikel atau mengalami gangguan katup yang berat, juga memerlukan tindakan intervensi.10
a. Stenosis Mitral: pasien dengan stenosis mitral murni yang ideal, dapat dilakukan ballon
mitral valvuloplasty (BMV). Bila BMV tak memungkinkan, perlu dilakukan operasi.10
b. Regurgitasi Mitral: Rheumatic fever dengan regurgitasi mitral akut (mungkin akibat
ruptur khordae)/kronik yang berat dengan rheumatic heart disease yang tak teratasi
dengan obat, perlu segera dioperasi untuk reparasi atau penggantian katup.10
c.
Stenosis Aortik: stenosis katut aorta yang berdiri sendiri amat langka. Intervensi dengan
balon biasanya kurang berhasil, sehingga operasi lebih banyak dikerjakan.10
d. Regurgitasi Aortik: regurgitasi katup aorta yang berdiri sendiri atau kombinasi dengan
lesi lain, biasanya ditangani dengan penggantian katup.10

2.7 Komplikasi

17

Universitas Sumatera Utara


Komplikasi potensial yaitu gagal jantung akibat insufisiensi atau stenosis katup jantung.
Komplikasi lainnya seperti aritmia, edema paru, emboli paru, infektif endokarditis,
pembentukan trombus intrakranial dan emboli sistemik.11

2.8 Prognosis
Pasien dengan riwayat rheumatic fever berisiko tinggi mengalami kekambuhan. Resiko
kekambuhan tertinggi dalam kurun waktu 5 tahun sejak episode awal. Semakin muda
rheumatic fever terjadi, kecenderungan kambuh semakin besar. Kekambuhan rheumatic fever
secara umum mirip dengan serangan awal, namun risiko karditis dan kerusakan katup lebih
besar.10
Manifestasi rheumatic fever pada 80% kasus mereda dalam 12 minggu. Insiden RHD setelah
10 tahun adalah sebesar 34% pada pasien dengan tanpa serangan rheumatic feverberulang,
tetapi pada pasien dengan serangan rheumaticfever yang berulang kejadian RHD meningkat
menjadi 60%.10

18

Universitas Sumatera Utara


BAB 3
KESIMPULAN

Penyakitjantung reumatik (PJR) merupakan kelainan katup jantung yang menetap akibat
demam reumatik akut sebelumnya.Diagnosis ditegakkan berdasarkan Kriteria Jones (Revisi
1992). Ditegakkan bila ditemukan 2 kriteria mayor, atau 1 kriteria mayor + 2 kriteria minor,
ditambah dengan bukti infeksi streptokokus Grup A tenggorokan positif + peningkatan titer
antibodi streptokokus.PengobatanterhadapDemamRematikditunjukkanpada3halyaitu:1)
Pencegahan primerpadasaatseranganDemamRematik.2)Penegahansekunder Demam Rematik.
3) Menghilangkan gejala yang menyertainya, seperti tirah baring, penggunaan antiinflamasi,
dan penatalaksanaan gagal jantung.Pasien dengan riwayat rheumatic fever berisiko tinggi
mengalami kekambuhan. Resiko kekambuhan tertinggi dalam kurun waktu 5 tahun sejak
episode awal.

19

Universitas Sumatera Utara


Daftar Pustaka

1. Julius W. Penyakit Jantung Reumatik.J Medula Unila.2016; 3(4).


2. Chin TK. 2017. Pediatric Rheumatic Heart Disease. Medscape, [Online], accessed 03
sept 2018, available from : http://emedicine.medscape.com/article/891897-overview
3. N. Jayaprasad. Heart Failure in Children.Heart Views. 2016 Jul-Sep; 17(3): 92–99.
doi: 10.4103/1995-705X.192556
4. Sucipto, N.I. 2011. Referat Gagal Jantung Pada Anak. SMF Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr. Soebandi Jember; 21.
5. Leman, S. 2014. Demam Reumatik dan Penyakit Jantung Reumatik. Dalam Setiati S
Editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 6th ed. Jakarta : Interna Publishing.
6. Sika-Paotonu D., Beaton A., Raghu A, et al. 2017. Acute Rheumatic Fever and
Rheumatic Heart Disease. National Center for Biotechnology information.
7. Indra, P.M. 2018. Tinjauan Pustaka Penyakit Jantung Rematik. Bagian/SMF Ilmu
Penyakit dalam RSUP Sanglah Denpasar Fakultas Kedokteran Universitas Udayana;
1-17.
8. Alsagaff Hood, Mukty H.Abdul. 2008. Pneumonia. Dasar– Dasar Ilmu Penyakit
Paru. Surabaya :Airlangga University Press. Hal ; 193-7
9. Afif, A. Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik Permasalahan Indonesia.
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Disertasi [Article on the Internet]

20

Universitas Sumatera Utara


2018. [cited on 29 October 2012]. Available from:
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/750.
10. Ninditasari, G. 2015. Referat Penyakit Jantung pada Anak. Kepaniteraan Klinik
Departemen Ilmu Kesehatan Anak RST dr. Soedjono Tingkat II Magelang; 21-23.
11. Eroglu, Guler Ayse. 2016. Turkish Pediatric Association : Update on Diagnosis of
Acute Rheumatic Fever: 2015 Jones criteria.Turki.

21

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai