Anda di halaman 1dari 68

BAB I

SEJARAH DAN PRESPEKTIF HOME CARE

A. Pengertian Home Care


Home Care (HC) menurut Habbs dan Perrin, 1985 adalah merupakan
layanan kesehatan yang dilakukan di rumah pasien (Lerman D. & Eric B.L,
1993), Sehingga home care dalam keperawatan merupakan layanan
keperawatan di rumah pasien yang telah melalui sejarah yang panjang.
Menurut Depkes RI (2002) mendefinisikan bahwa home care adalah
pelayanan kesehatan yang berkesinambungan dan komprehensif diberikan
kepada individu, keluarga, di tempat tinggal mereka yang bertujuan untuk
meningkatkan, mempertahankan, memulihkan kesehatan/memaksimalkan
kemandirian dan meminimalkan kecacatan akibat dari penyakit. Layanan
diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien/keluarga yang direncanakan,
dikoordinir, oleh pemberi layanan melalui staff yang diatur berdasarkan
perjanjian bersama.

Homecare adalah perawatan pasien di rumah yang melibatkan anggota


keluarga dalam proses perawatan dan penyembuhan pasien. Perawatan ini
dibantu oleh tim kesehatan profesional (dokter, perawat atau fisiotherapist)
yang bisa didatangkan ke rumah pasien sewaktu-waktu, jika diperlukan.

Rumah Sakit di kota besar biasanya mempunyai fasilitas homecare,


artinya Rumah Sakit yang mempunyai pelayanan untuk menugaskan perawat
atau tim kesehatan profesionalnya (dokter, perawatatau fisiotherapist)
melakukan kunjungan perawatan ke rumah pasien. Umumnya pihak Rumah
Sakithanya menyediakan tenaga medis) saja. Sedangkan alat kesehatan yang
dibutuhkan perawatan pasienseperti oksigen, kursi roda, nebulizer, suction
pump harus disediakan oleh pasien.

Pelayanan keperawatan di rumah merupakan interaksi yang dilakukan di


tempat tinggal keluarga,yang bertujuan untuk meningkatkan dan
mempertahankan kesehatan keluarga dan anggotanya. Dari pengertian

1
tersebut, bisa diambil kesimpulan bahwa tenaga kesehatanlah yang bergerak,
dalam hal ini mengunjungi klien, bukan klien yang datang ke tenaga
kesehatan. Hampir semua pelayanan kesehatan dapat diberikan melalui
keperawatan di rumah, kecuali dalam keadaan gawat darurat. Diasumsikan
bahwa klien dan keluarga yang tidak dalam kondisi gawat darurat, untuk
tetap tinggal dimasyarakatnya dan melakukan perawatan sendiri setelah
ditinggal oleh perawat.

B. Tujuan Dasar
Meningkatkan “support system” yang adekuat dan efektif, serta
mendorong digunakannya pelayanan kesehatan
1. Meningkatkan keadekuatan dan keefektifan perawatan pada anggota
keluarga dengan masalah kesehatan dan kecacatan.
2. Mendorong pertumbuhan dan perkembangan yang normal dari
seluruh anggota keluarga dan keluarga, serta memberikan pendidikan
kesehatan pada keluarga tentang peningkatan kesehatan dan
pencegahan.
3. Menguatkan fungsi keluarga dan kedekatan antar anggota keluarga.
4. Meningkatkan kesehatan lingkungan
Tujuan tersebut digunakan untuk membantu keluarga menyelesaikan
masalah-masalahnya yang oleh Simmons (1980) dikategorikan menjadi :
1. Sikap hidup dan sumber-sumber pelayanan kesehatan.
2. Penyimpangan status kesehatan.
3. Pola dan pengetahuan tentang pemeliharaan kesehatan.
4. Dinamika dan struktur keluarga.
C. Sejarah Perkembangan Home Care
Perawatan di rumah merupakan aspek keperawatan komunitas yang
berkembang paling pesat. Antaratahun 1988-1992, jumlah perawat yang
melakukan perawatan di rumah meningkat menjadi 50%. Pada awalnya,
keperawatan komunitas dimulai dengan pelayanan yang diberikan bagi orang-
orang miskin di rumah mereka.

2
William Rathbone memulai program perawat yang berkunjung ke rumah
(visiting nurse) pada tahun1859, setelah istrinya meninggal dan dirawat oleh
seorang perawat di rumahnya. Selanjutnya di akhirtahun 1800-an, Amerika
Serikat mendirikan perkumpulan perawat yang datang ke rumah karena
tingginya imigrasi di Amerika yang menyebabkan terjadinya penyakit-
penyakit menular sampaidengan awal abad ke-19, perawatan bagi orang sakit
dan orang cacat di rumah-rumah mereka menjadibentuk tradisional dari
pelayanan kesehatan bagi kebanyakan orang (Spiegel, 1987).
Di tahun 1940-an, rumah sakit mulai menunjukkan keberhasilannya pada
perawatan di rumah karena meningkatnya jumlah orang yang sakit kronis.
Perkumpulan-perkumpulan visiting nurse semakin menjamur di berbagai kota
besar dan kecil, sampai akhirnya di awal tahun 1980-an digunakan sistem
Diagnostic – Related Groups (DRGs) untuk menurunkan lama rawat inap dari
seorang pasien. Pelayanan perawatan di rumah selanjutnya dipandang bukan
hanya sebagai cara yang terpilih untuk memberikan perawatan pada klien,
tetapi juga merupakan cara yang paling murah.
Dalam kegiatan kongres ICN 13 July 2009 di Afrika Selatan dibahas
Sharing experience tentang Home Based Carre dan Primary Health care
dimasing masing negara. Permasalahan dinegara berkembang hampir sama
yaitu communicable disease dan kurangnya sumber daya baik tenaga perawat
maupun fasilitas, termasuk teknologi serta pentingnya kompetensi perawat
dalam melaksanakan Home Based care dengan aspek legal yang kuat dalam
praktek.
1. Di Luar Negeri
Di Amerika, Home Care (HC) yang terorganisasikan dimulai
sejak sekitar tahun 1880- an, dimanasaat itu banyak sekali penderita
penyakit infeksi dengan angka kematian yang tinggi. Meskipun pada
saat itu telah banyak didirikan rumah sakit modern, namun
pemanfaatannya masih sangat rendah, hal ini dikarenakan
masyarakat lebih menyukai perawatan dirumah. Kondisi ini
berkembang secara professional, sehingga pada tahun 1900 terdapat

3
12.000 perawat terlatih diseluruh USA (Visiting Nurses / VN ;
memberikan asuhan keperawatan dirumah pada keluarga miskin,
Public Health Nurses, melakukan upaya promosi dan prevensi untuk
melindungi kesehatan masyarakat, serta Perawat Praktik Mandiri
yang melakukan asuhan keperawatan pasien dirumahsesuai
kebutuhannya). (Lerman D. & Eric B.L, 1993).
Sejak tahun 1990-an institusi yang memberikan layanan Home
Care terus meningkat sekitar 10% pertahun dari semula layanan
hanya diberikan oleh organisasi perawat pengunjung rumah (VNA
=Visiting Nurse Association) dan pemerintah, kemudian berkembang
layanan yang berorientasiprofit (Proprietary Agencies) dan yang
berbasis RS (Hospital Based Agencies) Kondisi ini terjadiseiring
dengan perubahan system pembayaran jasa layanan Home Care
(dapat dibayar melalui pihak ke tiga / asuransi) dan perkembangan
spesialisasi di berbagai layanan kesehatan termasuk berkembangnya
Home Health Nursing yang merupakan spesialisasi dari Community
Health Nursing (Allender & Spradley, 2001)
Di UK, Home Care berkembang secara professional selama
pertengahan abad 19, dengan mulai berkembangnya District Nursing,
yang pada awalnya dimulai oleh para Biarawati yang merawat orang
miskin yang sakit dirumah. Kemudian merek mulai melatih wanita
dari kalangan menengah ke bawah untuk merawat orang miskin yang
sakit, dibawah pengawasan Biarawati tersebut (Walliamson, 1996
dalam Lawwton, Cantrell & Harris, 2000). Kondisi ini terus
berkembang sehingga pada tahun 1992 ditetapkan peran District
Nurse (DN) adalah :
a. Merawat orang sakit dirumah, sampai klien mampu
mandiri.
b. Merawat orang sakaratul maut dirumah agar meninggal
dengan nyaman dan damai.

4
c. Mengajarkan ketrampilan keperawatan dasar kepada klien
dan keluarga, agar dapat digunakanpada saat kunjungan
perawat telah berlalu.
Selain District Nurse (DN), di UK juga muncul perawat Health
Visitor (HV) yang berperansebagai District Nurse (DN) ditambah
dengan peran lain ialah :
a. Melakukan penyuluhan dan konseling pada klien, keluarga
maupun masyarakat luas dalamupaya pencegahan penyakit
dan promosi kesehatan.
b. Memberikan saran dan pandangan bagaimana
mengelola kesehatan dan kesejahteraanmasyarakat
sesuai dengan kondisi setempat.
2. Di Dalam Negeri
Di Indonesia, layanan Home Care (HC) sebenarnya bukan
merupakan hal yang baru, karena merawat pasien di rumah baik yang
dilakukan oleh anggota keluarga yang dilatih dan atau oleh tenaga
keperawatan melalui kunjungan rumah secara perorangan, adalah
merupakan hal biasasejak dahulu kala. Sebagai contoh dapat
dikemukakan dalam perawatan maternitas, dimana RS Budi
Kemulyaan di Jakarta yang merupakan RS pendidikan Bidan tertua
di Indonesia, sejak berdirinya sampai sekitar tahun 1975 telah
melakukan program Home Care (HC) yang disebut dengan “Partus
Luar”. Dalam layanan “Partus Luar”, bidan dan siswa bidan RS Budi
Kemulyaan melakukan pertolongan persalinan normal dirumah
pasien, kemudian diikuti dengan perawatan nifas dan neonatal oleh
siswa bidan senior (kandidat) sampai tali pusat bayi puput (lepas).
Baik bidan maupun siswa bidan yang melaksanakan tugas “Partus
Luar” dan tindak lanjutnya, harus membuat laporan tertulis kepada
RS tentang kondisi ibu dan bayi serta tindakan yang telah dilakukan.
Kondisi ini terhenti seiring dengan perubahan kebijakan Depkes
yang memisahkan organisasi pendidikan dengan pelayanan

5
BAB II

ETIKOEGAL DALAM HOMECARE

A. Issue Tentang Etikolegal


Perawat professional harus memahami batasan legal yang
mempengaruhi praktik keseharian mereka. Hal ini berhubungan dengan
dengan penilaian yang baik dan menyuarakan pembuatan keputusan yang
menjamin asuhan keperawatn yang aman dan sesuai bagi klien. Pedoman
legal yang harus diikuti perawat dapat diperoleh dari undang-undang,
hokum pengaturan, dan hukum adat ( Potter & Perry, 2005).
Seorang perawat dikatakan legal dalam menjalankan praktik home
care apabila telah memiliki lisensi dan surat ijin praktik perawat (SIPP).
Praktik mandiri perawat dapat dilakukan melalui kolaborasi dengan tenaga
kesehtan lain dalam memberikan asuhan keperawatan (Fatchulloh, 2015).
1. Isu legal yang paling kontroversial dalam praktik perawatan di
rumah antara lain mencakup hal-hal sebagai berikut:
a. Resiko yang berhubungan dengan pelaksanaan prosedur
dengan teknik yang tinggi, seperti pemberian pengobatan dan
transfusi darah melalui IV di rumah.
b. Aspek legal dari pendidikan yang diberikan pada klien seperti
pertanggungjawaban terhadap kesalahan yang dilakukan oleh
anggota keluarga karena kesalahan informasi dari perawat.
c. Pelaksanaan peraturan Medicare atau peraturan pemerintah
lainnya tentang perawatan di rumah. Karena biaya yang sangat
terpisah dan terbatas untuk perawatan di rumah, maka perawat
yang memberi perawatan di rumah harus menentukan apakah
pelayanan akan diberikan jika ada resiko penggantian biaya
yang tidak adekuat. Seringkali, tunjangan dari Medicare telah
habis masa berlakunya sedangkan klien membutuhkan
perawatan yang terus-menerus tetapi tidak ingin atau tidak
mampu membayar biayanya.

6
2. Aspek etik dalam home care
a. Kode etik menurut ANA (1985) menyebutkan bahwa perawat
menjaga hak klien terhadap privasi dengan bijaksana
melindungi informasi yang bersifat rahasia.
b. Kode etik keperawatan indonesia ( PPNI, 2000) yaitu perawat
wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui sehubungan
dengan tugas yang dipercayakan kepadanyakecuali jika
diperlukan oleh yang berwenang sesuai ketentuan hokum yang
berlaku (Muhamad Mu’in, 2015).
Beberapa perawat akan menghadapi dilema etis bila mereka harus
memilih antara menaati peraturan atau memenuhi kebutuhan untuk klien
lansia, miskin dan klien yang menderita penyakit kronik. Perawat harus
mengetahui kebijakan tentang perawatan di rumah untuk melengkapi
dokumentasi klinis yang akan memberikan penggantian biaya yang
optimal untuk klien. Didalam praktik juga harus memperhatikan dimensi
politi, etika dan isu-isu seperti akses ke layanan atau alokasi sumber daya,
menajement kasus menjadi semakin pragmatis, serta berbagai tanggapan
dari masyarakat terhadap praktik mandiri (Kristin Bjornsdottir, 2009).
Pasal Krusial Dalam Kepmenkes 1239/2001 Tentang Praktik
Keperawatan :
1. Melakukan asuhan keperawatan meliputi Pengkajian, penetapan
diagnosa keperawatan, perencanaan, melaksanakan tindakan dan
evaluasi.
2. Pelayanan tindakan medik hanya dapat dilakukan atas permintaan
tertulis dokter
3. Dalam melaksanakan kewenangan perawat berkewajiban :
a. Menghormati hak pasien.
b. Merujuk kasus yang tidak dapat ditangani.
c. Menyimpan rahasia sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
d. Memberikan informasi

7
e. Meminta persetujuan tindakan yang dilakukan
f. Melakukan catatan perawatan dengan baik
4. Dalam keadaan darurat yang mengancam jiwa seseorang , perawat
berwenang melakukan pelayanan kesehatan di luar kewenangan
yang ditujukan untuk penyelamatan jiwa.
5. Perawat yang menjalankan praktik perorangan harus
mencantumkan SIPP di ruang praktiknya.
6. Perawat yang menjalankan praktik perorangan tidak diperbolehkan
memasang papan praktik (sedang dalam proses amandemen)
7. Perawat yang memiliki SIPP dapat melakukan asuhan dalam
bentuk kunjungan rumah.
8. Persyaratan praktik perorangan sekurang-kurangnya memenuhi :
a. Tempat praktik memenuhi syarat.
b. Memiliki perlengkapan peralatan dan administrasi termasuk
formulir /buku kunjungan, catatan tindakan dan formulir
rujukan (Fatchulloh, 2015).
B. Peran Perawat Dalam Home Care
1. Manajer kasus: mengelola dan mengkolaborasikan dengan anggota
keluarga dan penyedia pelayanan kesehatan atau pelayanan sosial
lainnya untuk meningkatkan pencapaian pelayanan, dengan fungsi :
a. Mengidentifikasi kebutuhan pasien dan keluarga.
b. Menyusun rencana pelayanan.
c. Mengkoordinir aktifitas tim kesehatan.
d. Memantau kualitas pelayanan.
Contoh : Perawat mengoordinasi aktivitas anggota tim kesehatan
lain misalnya ahli gizi dan ahli terapi fisik ketika mengatur
kelompok yang memberikan keperawataan pada klien.
2. Pelaksana atau pemberi asuhan : memberi pelayanan langsung dan
mengevaluasi atau melakukan supervisi pelayanan yang diberikan
oleh anggota keluarga atau pelaku rawat (care giver), dengan
fungsi :

8
a. Melakukan pengkajian asuhan secara komprehensif
b. Menetapkan masalah atau diagnosa keperawatan
c. Menyusun rencana keperawatan
d. Melakukan tindakan perawatan
e. Melakukan observasi terhadap kondisi pasien.
f. Membantu pasien dalam mengembangkan perilaku koping yang
efektif.
g. Melibatkan keluarga dalam pelayanan
h. Membimbing semua anggota keluarga dalam pemeliharaan
kesehatan.
i. Melakukan evaluasi terhadap asuhan keperawatan.
j. Mendokumentasikan asuhan keperawatan
Contoh : Perawat membantu klien mendapatkan kembali
kesehatannya melalui proses penyembuhan. Dan juga perawat
berperan dalam pemberi asuhan keperawatan misalnya dalam
merawat pasien dengan penyakit DM.
3. Pendidik : mengajarkan keluarga tentang sehat atau sakit dan
bertindak sebagai penyedia informasi kesehatan, dengan fungsi :
a. Mengidentifikasi pasien dan keluarga
b. Memilih metode dan menyiapkan materi pembelajaran
c. Menyusun rencanan kegiatan
d. Melaksanakan penkes
e. Mengajarkan anggota keluarga
f. Mendorong keluarga melakukan pemeliharaan dan peningkatan
kesehatan
g. Mendokumentasikan kegiatan penkes
Contoh : Perawat memberi informasi melalui penkes kepada pasien
atau keluarga tentang sakit atau gangguan yang dideritanya selama
mengalami penyakit.

9
4. Kolaborator :mengkoordinir pelayanan yang diterima oleh keluarga
dan mengkolaborasikannya dengan keluarga dalam merencankan
pelayanan, dengan fungsi:
a. Melakukan kerjasama dengan tim lain
b. Melakukan kerjasama dengan sumber atau fasilitas pelayanan yang
ada
Contoh : Perawat melakukan kerjasama dengan tim kesehatan lain
misalnya ahli gizi dan ahli penyakit dalam untuk merawat pasien
yang punya riwayat penyakit dalam.
5. Pembela (advokat) : melakukan pembelaan terhadap pasien melalui
dukungan peraturan, dengan fungsi:
a. Mendemonstrasikan teknik komunikasi efektif
b. Menghormati hak pasien
c. Meminta persetujuan sebelum melakukan tindakan
d. Melaksanakan fungsi pendamping
e. Memberi informasi kepada pasien dan keluarga untuk mengatasi
masalah kesehatan
f. Memfasilitasi pasien memanfaatkan sumber-sumber
Contoh : perawat mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya
kecelakaan dan melindungi klien dari efek yang mungkin tidak
diinginkan misalnya menciptakan lingkungan yang aman bagi
penderita DM.
6. Konselor : membantu pasien dan keluarga dalam menyelesaikan
masalah dan mengembangkan koping yang konstruktif, dengan
fungsi:
a. Membantu penyelesaian masalah
b. Membantu mempertimbangkan berbagai solusi.
c. Menunjang komunikasi efektif
d. Mengkomunikasikan bahwa keluarga bertanggung jawab mimilih
alternatif

10
Contoh : Perawat dapat menjadi konselor kepada pasiennya.
Membantu pasien untuk bisa mengerti kebutuhannya. Misalnya
untuk pasien asma, perawat sebagai konselor bisa membimbing
pasien untuk mengetahui dan memenuhi kebutuhannya sendiri.
7. Penemu kasus dan melakukan rujukan : melibatkan diri dalam
menemukan kasus di keluarga dan melakukan rujukan dengan
cepat, dengan fungsi :
a. Mengembangkan pengetahuan terhadap kondisi atau masalah
b. Menggunakan proses diagnostik untuk mengidentifikasi
masalah
c. Menetapkan kebutuhan rujukan
d. Melakukan rujukan terhadap kasus
e. Menyediakan pelayanan tingkat lanjut
Contoh : perawat menemukan beberapa masalah / kasus yang
terjadi pada pasiennya dan langsung melakukan rujukan pada tim
kesehatan lain yang memiliki hubungan dengan kasus yang
ditemukan.
8. Penata lingkungan rumah : melakukan modifikasi lingkungan
bersama pasien dan keluarga dan tim kesehatan lain untuk
menunjang lingkungan sehat, dengan fungsi :
a. Memodifikasi lingkungan rumah yang meningkatkan
kesehatan
b. Memodifikasi lingkungan yang memungkinkan pasien mandiri
Contoh : perawat menciptakan lingkungan yang nyaman bagi
pasien. Misalnya lingkungan yang tanpa penghalang / aman bagi
poenderita DM, menciptakan lingkungan bersih dari debu bagi
penderita alergi pernapasan.
9. Peneliti : mengidentifikasi masalah praktik dan mencari jawaban
melalui pendekatan ilmiah, dengan fungsi :
a. Mengidentifikasi masalah yang dapat diteliti
b. Merancang dan melakukan penelitian

11
c. Menyebarluaskan hasil penelitian
d. Mengaplikasikan temuan hasil riset ke dalam praktik
Contoh : perawat menemukan kasus dan meneliti kasus tersebut
melalui beberapa tahapan apa yang menyebabkannya terjadi dan
bagaimana cara menanganinya.

C. Ketrampilan Dasar Yang Harus Diketahui


Home Care SK Dirjen Dirjen YAN MED NO HK. 00.06.5.1.311
menyebutkan ada 23 tindakan keperawatan mandiri yang bisa dilakukan
oleh perawat home care antara lain :
1. Vital sign
2. Memasang nasogastric tube
3. Memasang selang susu besar
4. Memasang cateter
5. Penggantian tube pernafasan
6. Merawat luka decubitus
7. Suction
8. Memasang peralatan O2
9. Penyuntikan (IV,IM, IC,SC)
10. Pemasangan infus maupun obat
11. Pengambilan preparat
12. Pemberian huknah/laksatif
13. Kebersihan diri
14. Latihan dalam rangka rehabilitasi medis
15. Tranpostasi klien untuk pelaksanaan pemeriksaan diagnostic
16. Penkes
17. Konseling kasus terminal
18. Konsultasi/telepon
19. Fasilitasi ke dokter rujukan
20. Menyiapkan menu makanan
21. Membersihkan tempat tidur pasien

12
22. Fasilitasi kegiatan sosial pasien
23. Fasilitasi perbaikan sarana klien.
Kompetensi Dasar
1. Memahami dasar-dasar anatomi, fisiologi, patologi tubuh secara
umum.
2. Melaksanakan pemberian obat kepada klien/pasien
3. Memahami jenis pemeriksaan laboratorium dasar yang diperlukan
oleh klien/pasien
4. Menunjukan kemampuan melakukan komunikasi terapeutik
5. Menunjukan kemampuan mengasuh bayi, balita, anak, dan lansia
sesuai tingkat perkembangan
6. Menerapkan Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Lingkungan Hidup
(K3LH)
7. Memahami kontinum sehat- sakit
8. Memahami dasar-dasar penyakit sederhana yang umum di
masyarakat
9. Memahami peningkatan kesehatan dan pelayanan kesehatan utama
10. Memahami pemberian obat
11. Memahami kemampuan interpersonal dan massa
12. Prinsip-prinsip perkembangan manusia
13. Memahami tahap-tahap perkemangan manusia
14. Memahami sikap pelayanan perawat sesuai dengan tahapan
perkembangan
15. Memahami tentang stress
16. Memahami kebutuhan dasar manusia
17. Memahami tentang kesehatan reproduksi
18. Memahami perilaku empatik
19. Melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital
20. Melakukan mobilisasi pasif terhadap klien/pasien
21. Melakukan pemberian nutrisi

13
22. Melaksanakan tugas sesuai dengan etika keperawatan, dan kaidah
hukum

14
BAB III
KONSEP PELAYANAN KESEHATAN PRIMER

A. Konsep Pelayanan Kesehatan Primer


Pelayanan kesehatan primer/ Primary Health Care (PHC) merupakan pelayanan
kesehatan esensial yang bisa dijangkau secara universal oleh individu dan keluarga
dalam masyarakat. Fokus jangkauan dari pelayanan kesehatan primer sangat luas, dan
merangkum berbagai aspek masyarakat serta kebutuhan kesehatan. PHC merupakan
pola penyajian pelayanan kesehatan dimana konsumen pelayanan kesehatan menjadi
mitra dengan profesi (tenaga kesehatan), serta turut mencapai tujuan umum kesehatan
yang lebih baik

.
B. Latar Belakang Primary Health Care (PHC)
World Health Essembly pada tahun 1977 telah menghasilkan kesepakatan
global untuk mencapai “kesehatan bagi semua atau Health for All”, yaitu
tercapainya suatu derajat kesehatan yang optimal, yang memungkinkan setiap
orang hidup produktif, baik secara social maupun ekonomi.
Selanjutnya, pada tahun 1978, Konferensi Alma Ata menetapkan Primary
Health Care sebagai pendekatan atau strategi global untuk mencapai kesehatan
bagi semua (KBS) atau health for all by the year 2000 (HFA 2000). Dalam
konferensi tersebut, Indonesia juga ikut menandatangani dan telah mengambil
kesepakatan global pula dengan menyatakan bahwa untuk mencapai kesehatan
bagi semua tahun 2000 kuncinya adalah primary health care (PHC).

C. Pengertian Pelayanan Kesehatan Primer


Pelayanan kesehatan primer atau PHC adalah strategi yang dapat dipakai
untuk menjamin tingkat minimal dari pelayanan kesehatan untuk semua
penduduk. PHC menekankan pada perkembangan yang bisa diterima, terjangkau,
secara essensial dapat diraih, dan mengutamakan pada peningkatan serta
kelestarian yang disertai percaya pada diri sendiri, disertai partisipasi masyarakat
dalam menentukan sesuatu tentang kesehatan.

15
PHC adalah pelayanan kesehatan pokok yang berdasarkan pada metode dan
teknologi praktis, ilmiah, dan social yang dapat diterima secara umum, baik oleh
individu maupun keluarga di dalam masyarakat, melalui partisipasi sepenuhnya,
serta dengan biaya yang dapat dijangkau oleh masyarakat dan negara untuk
memelihara setiap tingkat perkembangan masyarakat dalam semangat untuk dapat
hidup mandiri (self reliance) dan menentukan nasib sendiri (self determination).
Selain itu, PHC juga:
1. Menggambarkan keadaan social ekonomi, budaya, dan politik masyarakat dan
berdasarkan penerapan hasil penelitian kesehatan-sosial-biomedis dan pelayanan
kesehatan masyarakat.
2. Ditujukan untuk mengatasi masalah utama kesehatan masyarakat dengan upaya
preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif
3. Minimal mencakup penyuluhan tentang masalah kesehatan utama dan cara
pencegahan dan pengendaliannya, penyediaan makanan dan peningkatan gizi,
penyediaan sanitasi dasar dan air bersih, pembinaan kesehatan ibu dan anak
termasuk keluarga berencana, imunisasi terhadap penyakit menular utama dan
pencegahan penyakit endemik, pengobatan penyakit umum dan cedera, serta
penyediaan obat essensial
4. Melibatkan dan meningkatkan kerjasama lintas sektor dan aspek-aspek
pembangunan nasional dan masyarakat, di samping sector kesehatan terutama
pertanian, peternakan, industri makanan, pendidikan, penerangan, agama,
perumahan, pekerjaan umum, perhubungan, dan sebagainya
5. Membutuhkan sekaligus meningkatkan kepercayaan diri masyarakat serta
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengendalian PHC serta
penggunaan sumber daya yang ada
6. Ditunjang oleh sistem rujukan upaya kesehatan secara terpadu fungsional dan
timbal-balik guna memberikan pelayanan secara menyeluruh, dengan
memprioritaskan golongan masyarakat yang paling membutuhkan
7. Didukung oleh tenaga kesehatan professional dan masyarakat, termasuk tenaga
kesehatan tradisional yang terlatih dibidang teknis dan social untuk bekerja

16
sebagai tim kesehatan yang mampu bekerja bersama masyarakat dan membangun
peran serta masyarakat
Hal-hal yang mendorong pengembangan konsep Primary Health Care antara
lain:

1. Kegagalan penerangan teknologi pelayanan medis tanpa disertai orientasi aspek


sosial-ekonomi-politik
2. Penyebaran konsep pembangunan yang mengaitkan kesehatan dengan sector
pembangunan lainnya serta menekankan pentingnya keterpaduan, kerjasama lintas
sector, dan pemerataan/perluasan daya jangkau upaya kesehatan
3. Keberhasilan pembangunan kesehatan dengan pendekatan peran serta masyarakat
di beberapa Negara

17
BAB IV

ASUHAN KEPERAWATAN HOME CARE

A. Proses Keperawatan Pada Home Care


Berikut ini adalah mekanisme pelayanan Home Care menurut Triwibowo
(2012)
1. Proses Penerimaan Kasus
a. Unit Pelayanan Keperawatan Kesehatan di Rumah menerima
pasien dari Rumah Sakit, Puskesmas, sarana pelayanan kesehatan
lain dan dikirim dari keluarga/kelompok atau masyarakat.
b. Pimpinan Pelayanan Keperawatan Kesehatan di Rumah menunjuk
dan memberikan mandat kepada salah seorang perawat untuk
menjadi seorang Manajer Kasus untuk mengelola kasus tersebut.
c. Manajer Kasus membuat surat persetujuan dan dilanjutkan untuk
melakukan proses pengelolaan kasus.
2. Proses Pelayanan Keperawatan Kesehatan di Rumah
a. Persiapan
1) Pastikan tentang nama, alamat, nomer telpon pasien atau
keluarga yang dituju
2) Bawa denah penunjuk arah tempat tinggal pasien, kenali
kondisi keamanan dan berbagai faktor resiko di lingkungan
yang akan di kunjungi
3) Bawa kartu identitas diri atau identitas unit tempat kerja
saudara kepada pasien atau keluarga
4) Rencanakan kebutuhan alat untuk mencuci tangan, pengkajian
fisik dan intervensi keperawatan secara langsung, pastikan
perlengkapan yang dimiliki pasien di rumah
5) Siapkan file asuhan keperawatan pasien
6) Dapatkan informasi tentang sumber-sumber di keluarga dan
masyarakat

18
7) Siapkan informasi dan alat bantu/media untuk pendidikan
kesehatan
b. Pelaksanaan
1) Memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan
2) Observasi lingkungan berkaitan dengan keamanan perawat
3) Minta keluarga menandatangani form persetujuan pelayanan
keperawatan kesehatan di rumah (untuk kunjungan pertama
kali)
4) Lengkapi pengkajian data dasar pasien, review program
pengobatan mencakup efek terapi dan efek samping obat yang
diberikan, anjurkan pasien atau keluarga menginformasikan
masalah-masalah yang dihadapi
5) Diskusikan rencana pelayanan yang telah dibuat untuk pasien
dan identifikasi kemajuan atau hal lain yang perlu ditingkatkan
6) Lakukan perawatan langsung dan pendidikan kesehatan sesuai
dengan kebutuhan
7) Diskusikan kebutuhan rujukan, kolaborasi dan konsultasi yang
diperlukan
8) Diskusikan rencana kunjungan selanjutnya dan aktifitas yang
akan dilakukan
9) Dokumentasikan kegiatan/informasi yang diperoleh
c. Monitoring dan evaluasi
Monitoring dilakukan oleh tim kesehatan terkait dengan
melihat perubahan status medis, perubahan kemampuan fungsional
pasien, kebutuhan pendidikan pasien dan keluarga. Evaluasi
berdasarkan:
1) Keakuratan dan kelengkapan pengkajian data awal
2) Menilai kesesuaian perencanaan dan ketepatan dalam
melakukan tindakan/pelayanan
3) Menilai efektivitas dan efisiensi pelaksanaan tindakaan
yang dilakukan oleh pelaksana

19
d. Proses penghentian Pelayanan Keperawatan Kesehatan di Rumah
Kriteria kegiatan penghentian Pelayanan Keperawatan Kesehatan
di Rumah:
1) Hasil pelayanan telah tercapai sesuai tujuan
2) Kondisi pasien stabil
3) Program rehabilitas tercapai secara maksimal
4) Keluarga sudah mampu melakukan perawatan pasien di
rumah
5) Pasien dirawat kembali di Rumah Sakit
6) Pasien pindah ke sarana kesehatan lain
7) Pasien menolak pelayanan lebih lanjut
8) Pasien pindah tempat ke lokasi lain
9) Pasien meninggal dunia

20
B. Asuhan Keperawatan Home Care
Menurut Azwar (1996), pelayanan asuhan keperawatan
professional membutuhkan strategi dan standar kompetensi tertentu, untuk
menjamin terselenggaranya pelayanan kesehatan yang bermutu. American
Nurses Assosiation (ANA) 1986 telah mengembangkan standar praktek
perawatan rawat rumah yang mewajibkan perawat untuk selalu mengkaji
mutu asuhan dan mengembangkan upaya untuk meningkatkan mutu
asuhan keperawatan. Standar ini dikembangkan menggunakan pendekatan
proses keperawatan melalui tahap-tahap pengkajian, penentuan diagnosa
keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi, berdasarkan standar
keperawatan komunitas.
1. Pengkajian
Pengkajian keperawatan terdiri dari pengkajian fisik “head
to toe”, mengkaji sistem tubuh pasien, mengkaji kebutuhan
psikososial, kemampuan fungsi motorik dan sensorik, mengkaji
pengobatan, nutrisi, keamanan dan kenyamanan lingkungan
pasien serta mengkaji kebutuhan perawatan kolaborasi dengan
tim medis atau non medis lainnya.
Pengkajian difokuskan pada:
a. Pengkajian riwayat kesehatan:
1) Respon dan persepsi pasien terhadap status kesehatan
2) Riwayat penyakit masa lalu
3) Faktor resiko
4) Kemampuan mengatasi masalah
5) Riwayat penyakit keluarga
b. Pengkajian lingkungan sosial dan budaya
1) Status sosial ekonomi
2) Kondisi tempat tinggal dan lingkungan
3) Ketersediaan sumber-sumber yang dibutuhkan pasien
4) Tersedianya dukungan keluarga
5) Faktor budaya yang mempengaruhi kesehatan

21
c. Pengkajian spiritual mencakup nilai dan keyakinan yang
dianut yang mempengaruhi kesehatan
d. Pemeriksaan fisik an status kesehatan saat ini
e. Pengkajian kemampuan pasien dalam pemenuhan kebutuhan
sehari-hari
f. Pengkajian kemampuan keluarga dalam merawat anggota
keluarga yang sakit

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan dirumuskan berdasarkan data yang
terkumpul untuk merefleksi respon pasien. Diagnose
keperawatan yang dirumuskan berkaitan dengan masalah
actual, dan resiko, atau potensial.

3. Perencanaan Keperawatan
Perencanaan merupakan proses penyusunan strategi atau
intervensi keperawatan yang dibutuhkan untuk mencegah,
mengurangi memelihara, atau mengatasi masalah kesehatan
pasien yang telah diidentifikasi dan telah divalidasi selama fase
perumusan diagnosa. Dalam merumuskan perencanaan ini
menekankan pada partisipasi pasien, keluarga, dan koordinasi
dengan anggota tim kesehatan lain. Perencanaan mencakup
penentuan prioritas masalah, penentuan tujuan serta
penyusunan rencana tindakan secara komprehensif.

22
4. Implementasi Keperawatan
Intervensi keperawatan dilakukan sesuai dengan prosedur
keperawatan hasil pengkajian dan discharge planning yang
ada, menetapkan masalah dan kebutuhan pelayanan
keperawaatan serta melaksanakan prosedur tindakan
keperawatan sesuai kebutuhan pasien seperti memasang
kateter, merawat luka, perawtana kolostomi, penggantian
peritoneal dialysis, dll.
Dalam melakukan keperawatan, dilakukan kerjasama dengan
pasien keluarga, pelaku rawat dan tenaga lain (kesehatan
maupun non kesehatan). Tindakan yang dilakukan mengacu
pada SOP (Standart Operating Procedure) yang berlaku. Jenis
tindakan yang dapat dilakukan yaitu tindakan yang bersifat
mandiri maupun tindakan kolaborasi.

5. Evaluasi Keperawatan

Evaluasi dilakukan untuk mengukur efektifitas dan efisiensi


pelayanan yang telah dilakukan dan sejauh mana pemanfaatan
sumber-sumber yang tersedia. Evaluasi dilakukan selama proses
pemberian pelayanan asuhan keperawatan maupun pada akhir
pemberian asuhan keperawatan

23
BAB V

6) Definisi
Neurologi adalah sebuah spesialisasi di bidang kedokteran yang
memiliki fokus pada otak dan sistem saraf. Dokter yang memiliki
spesialisasi pada diagnosis dan pengobatan dari gangguan otak dan sistem
saraf dikenal sebagai neurologis. Gangguan neurologi sangat beragam
bentuknya, banyak dari pasien yang menderita gangguan memori dan tidak
mampu menjalani aktivitas sehari-hari secara normal. Penyakit-penyakit
neurologi kebanyakan memiliki efek melemahkan kehidupan pasien,
sehingga memberikan pengobatan neurologis sangat penting bagi
kehidupan pasien.

7) Cara Mendiagnosa
Ketika orang mengalami tanda-tanda dan gejala yang menunjukkan
gangguan neurologis, dokter akan mengajukan pertanyaan spesifik
mengenai gejala dan faktor relevan lainnya (riwayat medis). Dokter
biasanya juga akan melakukan pemeriksaan fisik untuk mengevaluasi
seluruh sistem tubuh, tetapi ia akan fokus pada sistem saraf (disebut
pemeriksaan neurologis).

Untuk mendiagnosa masalah neurologi, bergantung pada beberapa tes :


1. Alat pencitraan CT scan dan MRI – Magnetic resonance imaging
(MRI) dan computerized tomography (CT) berfokus pada otak dan
daerah korda spinalis, terdapat juga MRI angiography dan CT
angiography yang melihat gambaran dari pembuluh darah,
digunakan untuk mempelajari sistem saraf dan mendeteksi area yang
bermasalah. Alat carotid Doppler ultrasound digunakan untuk
memeriksa aliran darah yang menuju ke otak melalui arteri karotis.

24
2. Test PET – PET scan dapat digunakan untuk mengumpulkan
informasi baik genetik maupun molekular mengenai otak dan
aktivitasnya. Alat ini banyak digunakan untuk mendeteksi area
bermasalah pada otak dan juga jaringan-jaringan otak yang masih
bisa diselamatkan. Hal ini menunjukkan bahwa PET scan tidak
hanya digunakan untuk mendeteksi masalah yang ada, tetapi juga
untuk memperlambat progresi penyakit.
3. Elektroensefalogram (EEG) - EEG digunakan terutama untuk
meneliti epilepsy dan penyakit Alzheimer, juga mengidentifikasi
individu yang harus dirujuk untuk melayani pemeriksaan lebih lanjut
jika penyakit otak adalah penyebab dari epilepsinya. EEG biasa
digunakan dalam menentukan diagnosis penyakit epilepsi dengan
mengidentifikasi setiap keabnormalan pada otak seperti lesi yang
memicu serangan epilepsi. Dokter dapat menentukan diagnosis
dengan mengamati pola kejang pada EEG. Meskipun EEG
digunakan untuk meneliti penyakit epilepsy dan Alzheimer, EEG
tidak dapat mendiagnosis penyakit mental Schizofrenia, alasannya
EEG dari orang yang terganggu mentalnya biasanya normal. Tes
EEG juga tidak mungkin dapat membedakan EEG dari orang genius
dengan orang yang tidak pintar karena EEG tes yang relative
sederhana tentang distribusi dan kuantitas aktivitas listrik dari otak.
4. Studi konduktivitas saraf atau elektromiogram (EMG) - teknik
yang digunakan untuk mengevaluasi fungsi saraf dan otot dengan
cara merekam aktivitas listrik yang dihasilkan oleh otot skeletal. Ini
merupakan tes penting yang digunakan untuk mendiagnosis kelainan
otot dan saraf. Ini sering digunakan untuk mengevaluasi kelainan
sistem saraf periferal.
5. Elektroneurogram (ENG) – alat ini merupakan sebuah tes
diagnostik yang digunakan untuk mengukur aktivitas kelistrikan dari
sel-sel saraf di otak, terutama pada area sentral dan perifer.
6. Analisis pergerakan mata

25
7. Tes neurofisiologis – tes ini meliputi beberapa tes tertulis yang
menilai perhatian, bahasa, memori, pemikiran, dan pembelajaran dari
pasien
8. Lumbal pungsi – dikenal juga sebagai analisis cairan serebrospinal,
tes ini dilakukan dengan mengambil sedikit cairan dari kanal spinal
untuk dianalisis
9. Biopsi dari otot kulit dan saraf
10. Tes darah

8) Pengobatan Gangguan Neurologi


Pengobatan untuk gangguan neurologi biasanya berdasarkan gejala yang
ada. Jadi, pengobatan yang sama dapat digunakan untuk gangguan yang
berbeda apabila didapati gejala yang sejenis.
1. Gangguan pergerakan (penyakit Parkinson, sklerosis multipel,
distonia, spastisitas) – pengobatan yang paling umum untuk kondisi-
kondisi tersebut meliputi stimulasi otak dalam, injeksi Botox untuk
memodifikasi koneksi otot dan saraf dengan mengurangi pengeluaran
asetilkolin, dan pengobatan secara intravena.
2. Stroke dan penyakit serebrovaskular – untuk kondisi ini,
pengobatan dilakukan dengan cara kombinasi beberapa obat seperti
pengencer darah, pengontrol tekanan darah, dan pengontrol lipid
bersamaan dengan prosedur angiografi dan radioterapi. Jika terdapat
tumor, maka akan dilakukan tindakan operasi.
3. Pengobatan vestibular – kondisi neurologis tertentu dapat
menyebabkan gangguan kesimbangan, vertigo, dan mual. Pengobatan
vestibular seperti manuver Epley dapat diberikan
4. Penyakit neuromuskular – ALS, miopati, neuropati, dan myasthenia
gravis, pengobatan meliputi obat oral dan topikal, injeksi Botox, dan
terapi rehabilitasi.
5. Gangguan kognitif – terapi fisiologis, obat, dan konseling digunakan
untuk gangguan yang menyebabkan penurunan kognitif.

26
BAB VI

A. Pengertian pendidikan pasien di rumah


Pendidikan pasien merupakan proses membantu pasien dengan
cara memberikan pengajaran tentang perilaku kesehatan agar pasien
tersebut dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari untuk
mencapai kesehatan yang optimal dan kemandirian dalam perawatan
dirinya (Bastable, 2002). Potter dan Perry (2005) menjelaskan bahwa
pasien dan keluarga memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan
kesehatan agar mereka mampu membuat keputusan sehubungan dengan
kesehatan dan gaya hidupnya. Pemberian pendidikan kesehatan yang
efektif penting dalam asuhan kesehatan yang diberikan kepada pasien
berfungsi untuk menurunkan jumlah klien ke rumah sakit dan
meminimalkan penyebaran penyakit yang dapat dicegah.
Pendidikan pasien di rumah adalah suatu proses tranformasi
pengetahuan, sikap dan perilaku hidup sehat yang ditujukan pada pasien di
rumah dan keluarganya dalam rangka meningkatkan tanggung jawab
pasien dan keluarga untuk mencapai tujuan perawatan. Pendidikan pada
pasien di rumah merupakan komponen yang sangat penting dalam
pelayanan home care. Pendidikan kepada pasien dirumah dilakukan secara
terus menerus baik ditujukan langsung pada pasien maupun keluarga
pasien dalam setiap sebelum, selama dan setelah interaksi maupun
tindakan yang ditujukan kepada pasien. Pendidikan pada pasien dirumah
merupakan salah satu tindakan untuk memenuhi kebutuhan belajar pasien,
memecahkan masalah akibat ketidaktahuan serta merupakan upaya
memenuhi hak pasien atas informasi tentang penyakitnya, pengobatan,
perawatan dan keberadaan dari sumber pendukung untuk penanganan
masalah pasien. Perawat dan tenaga kesehatan bahwa pendidikan pada
pasien di rumah bersifat sangat dinamis tergantung perkembangan,
kebutuhan, kebutuhan pengambilan keputusan, kemampuan yang dimiliki

27
dalam rangka peningkatan kualitas hidup dan kemandirian pasien dan
keluarga (Rice,2001).

B. Konsep tentang pendidikan pasien di rumah


Konsep dan teori yang digunakan dalam pembelajaran khususnya
dalam pelayanan home care agar proses pembelajaran dapat dilakukan
secara optimal antara lain:
a. Behavioral learning theory
Teori ini di publikasikan oleh Guthtrie, Skinner dan Thorndike
yang mengacu pada model stimulus-respon dimana penguatan sangat
penting dalam melakukan modifikasi perilaku. Dalam melakukan
pendidikan pada pasien atau keluarga dengan pendekatan model ini
harus diperhatikan beberapa kunci antara lain:
1) Perilaku yang tidak diberikan penguatan biasanya akan menurun
2) Bentuk reward sebagai penguatan berbeda antara satu pasien
dengan pasien lain jadi ketahuilah apa yang disukai pasien sebagai
reward.
3) Reward yang teratur dan konsisten diperlukan dalam melakukan
perbaikan pada tahap awal.
4) Jika sudah menunjukkan perubahan perilaku maka pemberian
reward tetap diperlukan.
5) Proses perubahan perilaku bukanlah sebuah hukuman
6) Merubah perilaku yang buruk yang menurut pasien menyenangkan
memerlukan strategi khusus.
b. Cognitive-development learning theory
Model ini dikembangkan oleh Erikson, Koehler, Koffka, Lewin
dan Piaget. Teori ini mengedepankan penghargaan terhadap
pengalaman hidup pasien sebagai salah satu bagian perkembangan
kehidupannya yang mempengaruhi persepsi mereka terhadap proses
pembelajaran. Perubahan persepsi mempengaruhi hasil pemikiran.
Motivasi belajar sangat dipengaruhi oleh kebutuhan, masalah yang

28
ingin dipecahkan, dan stuktur kognitif yang terbentuk dari pengalaman
hidup. Menurut konsep ini belajar dapat diartikan sebagai suatu proses
internal yang berkesinambungan sebagai bentuk evolusi yang
mengarahkan perilaku seseorang. Dari konsep ini perawat dalam
melakukan edukasi hendaknya harus memperhatikan pengalaman yang
dimiliki pasien dan keluarganya dengan demikian perubahan yang
dilakukan harus diupayakan tetap memperhatikan pengalaman yang
ada pasien.
c. Humanistic learning theories
Metode pembelajaran humanistik memberikan cara mendidik
komprehensif dengan memandang pasien dan keluarga sebagai
makhluk yang holistik dari sudut pandang tempat, waktu, bagaimana
dan apa yang menjadi kebutuhan belajar pasien. Elemen dari
humanistik learning theories yang memabantu dalam meningkatkan
kemampuan belajar pasien di rumah adalah :
1) Cinta atau kasih sayang : pasien akan termotivasi belajar bila
proses belajar yang dilakukan sebagai wujud rasa kasih sayang
perawat kepada pasien dan keluarganya. Contoh : kita melatih
Range of Motion (ROM) pasien stroke dengan keras dan disiplin
agar pasien tidak mengalami kontraktur dan bisa cepat berjalan.
2) Kreativitas : Pasien dan keluarga akan termotivasi untuk belajar
apabila kreativitas posistif yang dilakukan dihargai oleh
perawat. Contoh : Kita memberikan dukungan pada keluarga
yang sudah berinisiatif menggunakan botol berisi air hangat
untuk mengurangi keluhan nyeri pada lutut yang menderita
rhematik.
3) Perkembangan : Setiap kemajuan yang ditemukan merupakan
hadiah yang patut disyukuri oleh perawat, keluarga dan pasien.
4) Konsep diri : setiap proses belajar yang dilakukan akan optimal,
jika proses belajar tetap memberikan penghargaan terhadap

29
setiap kelebihan pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang
dimiliki oleh pasien dan keluarga.
5) Otonomi : Proses edukasi akan berdampak positif jika pasien
diberikan kepercayaan dan diberikan kebebasan dalam memilih
dan melakukan aktifitas belajar yang diinginkan.
6) Mengatur diri sendiri : Untuk mewujudkan tujuan proses belajar
maka sebaiknya pasien dan keluarga diberikan kesempatan
untuk mengatur sendiri kegiatan belajar yang dipilih.
d. Social-cognitive learning theories
Menurut teori ini proses belajar sangat dipengaruhi oleh bagaimana
cara pasien atau keluarga mendapatkan pengetahuan, nilai-nilai,
standar moral, dan standar perilaku yang ada dilingkungannya.
Menurut model ini kesiapan pasien untuk mulai belajar tentang
kesehatan sangat dipengaruhioleh faktor internal dan faktor
eksternal. Upaya perubahan perilaku akan semakin kuat jika
perubahan didorong oleh faktor internal. Untuk itu tenaga kesehatan
harus memahami faktor internal yang memungkinkan pasien untuk
belajar (Locus of Control). Model ini mungkin tidak banyak bisa
diberlakukan pada pasien lanjut usia dan orang dengan depresi,
karena dengan kasus tersebut justru dukungan dari luar akan lebih
berarti.

C. Motivasi belajar pasien home care


Berdasarkan konsep “Self-determination for self care” yang
menjadi motivator pasien dan keluarganya dipengaruhi oleh proses
penyakit, sumber daya social dan lingkungan, derajat otonomy, persepsi
interpersonal dan budaya.
a. Disease process : proses penyakit berpengaruh terhadap kemampuan
pasien melakukan perawatan pada dirinya sendiri. Contoh proses
belajar akan berbeda pada pasien dengan stroke yang mengalami

30
quadraplegic bila dibandingka dengan meraka yang baru terdeteksi
diabetes mellitus. Pasien dengan ketergantungan penuh maka proses
pembelajaran dapat lebih optimal bila ditujukan kepada keluarga atau
care giver bila dibandingkan dengan pasien.
b. Socioenvironmental resourcess: Kondisi sosial dan lingkungan sangat
berpengaruh dalam proses pembelajaran. Pasien yang tinggal pada
keluarga yang memiliki fasilitas lengkap akan lebih mudah melakukan
edukasi terkait pemenuhan kebutuhan dibandingkan pada pasien yang
secara social dan lingkungan terbatas.
c. Interpersonal perception : mengacu pada perbedaan persepsi pasien
terkait konsep sehat dan sakit. Hal ini sangat dipengaruhi oleh latar
belakang budaya individu tersebut.
d. Cultural consideration : Perawat dalam melakukan edukasi hendaknya
memperhatikan faktor etnik, budaya dan kepercayaan yang terkait
dalam penanganan pasien. Jika perawat bisa memahami dan
menggabungkan antara konsep modern dan tradicional yang berbasis
budaya pasien, maka transformasi akan lebih optimal.

D. Prinsip pendidikan
Secara umum yang menjadi subyek dalam pembelajaran pada
pasien yang dirawat dirumah adalah orang dewasa baik sebagai pasien
maupun care giver. Untuk itu pemahaman tentang pembelajaran orang
dewasa sangat penting dikuasai. Orang dewasa memiliki karakteristik
tersendiri yang senantiasa harus diperhatikan ketika melakukan
pembelajaran. Hal yang perlu mendapat perhatian adalah pengalaman
hidup, kondisi sosial ekonomi, tanggung jawab keluarga, tujuan khusus
dan keinginan untuk belajar. Selain itu gaya belajar, manfaat belajar untuk
memecahkan masalahnya dan keterbatasan kondisi fisik, mental dan
kognitif harus diperhatikan.

31
Orang dewasa akan belajar lebih baik jika apa yang dipelajari
menarik dan berguna untuk dirinya. Proses belajar pada orang dewasa
akan lebih cepat jika mulai dari apa yang dibutuhkannya. Proses belajar
pada orang dewasa akan berjalan lebih cepat apabila dalam proses
menggunakan contoh-contoh actual dan relevan dengan kondisi actual
yang dialami oleh pasien. Mengabaikan dan menolak pengalaman yang
dimiliki akan mengurangi keberhasilan proses belajar. Untuk itu dalam
memenuhi kebutuhan belajar maka perawat hendaknya menerapkan
prinsip antara lain:
a. Buat proses pembelajaran secara bertahap dan realistis sesuai dengan
kemampuan, minat dan sumber daya yang ada.
b. Ikutsertakan keluarga untuk berpartisipasi dalam melakukan evaluasi
hasil belajar sesuai dengan tingkat pencapaian yang didapatkan
c. Berusaha memahami perilaku manusia yang kompleks untuk
mengetahui cara yang efektif melakukan pembelajaran.

E. Strategi pembelajaran di rumah


Strategi terbaik yang dapat dipilihkan untuk melakukan edukasi
pada pasien dirumah antara lain diskusi, storytelling dan demonstrasi. Alat
yang digunakan dapat berupa computer, video, model, audiocassette tape,
pamphlets, poster, foto, cheklist dan karton.
a. Strategi pembelajaran pada kelompok khusus
b. Strategi pembelajaran secara khusus perlu dirancang dengan baik
sesuai dengan kondisi pasien. Secara umum yang dijadikan
ketentuan dalam menetapkan strategi pembelajaran khusus adalah
umur, kondisi fisik dan psikologis pasien.
1) Pasien lansia
Pasien lansia memiliki karakteristik khsusus sebagai dampak dari
proses menuanya. Akibat proses menua lansia akan mengalami
penurunan fungsi indera yang berdampak pada penurunan kemampuan
menerima stimulus. Penurunan kognitif dan intelegensi mempengaruhi

32
kemampuan lansia dalam mengintepretasikan informasi, menganalisa
permasalahan dan penurunan daya ingat sehingga akan mempengaruhi
kecepatan proses belajar pasien. :
Cara yang dianjurkan untuk edukasi pada lanjut usia
a) Penyampaian informasi harus pelan
b) Jangan buru-buru mengarapkan respon pasien
c) Waktu yang disiapkan lebih banyak
d) Setiap sesi berikan informasi yang tidak terlalu banyak
e) Ulang informasi secara teratur
f) Gunakan analog
g) Berikan penguatan dengan menunjukkan video hasil rekaman
h) Gunakan kertas biru atau hijau
i) Gunakan kertas yang tidak mengkilap
j) Pastikan kaca mata lansia bersih
k) Huruf yang ukuran lebih besar dan jelas
l) Gunakan kalimat pendek dan sederhana
m) Pastikan muka kita dilihat jelas oleh lansia
n) Kurangi bising disekitar
o) Gunakan alat bantu dengar
p) Berikan waktu pada pasien untuk mengulang
q) Gunakan kombinasi teknik verbal, tulisan dan gambar

2) Pasien yang tidak koperatif


Pasien yang telah lama dirawat, finansial kurang, dukungan
keluarga terbatas, pengetahuannya sangat kurang, tidak percaya
dengan pelayanan kesehatan, pasien setelah dirawat tidak mengalami
perubahan yang berarti menyebabkan pasien resisten terhadap semua
edukasi yang diberikan. Pasien biasanya sering menolak kehadiran
perawat. Kondisi ini sering menyebabkan perawat merasa frustasi,
marah, kehilangan harapan dan merasa tidak bermanfaat sehingga
sering menyimpulkan bahwa perawat tidak dihargai. Pada kasus-kasus

33
seperti ini pasien biasanya sudah tidak kooperatif. Jika pasien sulit
untuk di edukasi maka sebaiknya perawat melakukan kontrak
pembelajaran.

3) Pasien buta huruf


a) Berikan therapy yang sederhana dan jadwal yang mudah
dimengerti
b) Menggunakan waktu dengan menggunakan cuing (waktu dan
situasi) Contoh : minum obat malam -> minum obat selepas
maghrib
c) Gunakan alat pembelajaran yang sederhana
d) Pembelajaran dilakukan pelan-pelan
e) Lebih hangat, jangan menggunakan pendekatan seperti menggurui

4) Pasien dengan gangguan jiwa


Perilaku yang banyak ditemukan pada pasien jiwa seperti,
kecemasan, ketakutan, tidak percaya dan kesalahan dalam melakukan
persepsi sehingga modal utama dari perawat dalam melakukan home
care adalah mempraktekkan komunikasi therapeutic. Langkah-langkah
edukasi pada pasien dengan gangguan jiwa adalah :
a) Buat pemeriksaan bukan membuat asumsi sendiri tentang kondisi
pasien
b) Bangun hubungan saling percaya
c) Tunjukkan perilaku yang sikap yang positif
d) Ikut sertakan dan perkuat peran keluarga dalam meningkatkan “self
esteem” pasien
e) Berbagi tujuan
f) Gunakan alat yang relevan yang bisa membangun keberanian, jelas
dan tidak mengabaikan aspek moral.
g) Hindari informasi dan rangsangan yang berlebihan

34
h) Seting wajah yang lembut untuk mengurangi stress dan
meningkatkan konsentrasi pasien
i) Berikan informasi secara verbal dan tertulis (jelaskan dan beri
leaflet)
5) Pasien anak-anak
Pada pasien anak-anak terutama pada infant dan toddler serta
preschool harus memperhatikan hal-hal berikut: Disarankan
menggunakan alat-alat seperti boneka, wayang, binatang, dan alat-alat
kesehatan yang digunakan pada kelompok anak-anak.

6) Pasien usia sekolah


Secara umum kemampuan intelektual anak sudah berkembang.
Anak sudah mampu memahami aspek tubuh dan fungsi tubuh, memiliki
pengalaman dan sudah memiliki pandangan tersendiri meskipun masih
sederhana. Kemampuan koping masih belum optimal. Anak harus
diberikan informasi yang benar terutama jenis dan waktu pengobatan
agar pasien lebih taat mengikuti aturan medikasi dan perawatan.

7) Care giver
Care giver adalah orang yang secara langsung dan terus menerus
melakukan kontak dengan pasien. Yang menjadi care giver bisa social
worker, perawat, keluarga dan tenaga terlatih lainnya. Edukasi yang
harus diberikan kepada care giver adalah :
a) Peran, fungsi, hak dan kewenangan care giver
b) Cara mengetahui sumber dukungan bagi bagi pasien
c) Teknik komunikasi
d) Penguatan bahwa mereka merupakan bagian yang penting
dalam pelayanan
e) Latihan ketrampilan
f) Sistem kerja, pergantian dan pengalihan pelayanan

35
BAB VII

1. Konsep Dalam Home Care


Menurut Departemen Kesehatan (2002) home care adalah
pelayanan kesehatan yang berkesinambungan dan komprehensif yang
diberikan kepada individu dan keluarga di tempat tinggal mereka yang
bertujuan untuk meningkatkan, mempertahankan atau memulihkan
kesehatan atau memaksimalkan tingkat kemandirian dan meminimalkan
akibat dari penyakit.
a. Science Of Unitary Human Beings
Kajian teori ini didasarkan pada asumsi bahwa manusia adalah
makhluk yang senantiasa berinteraksi dengan alam. Interaksi ini
menghasilkan pola energy. Berdasarkan teori Rogers, sakit timbul
akibat ketidakseimbangan energy penanganan dengan metode terapi
modalitas / komplementer. Dasar teori Rogers adalah ilmu tentang asal
usul manusia dalam alam semesta, seperti antropologi, sosiologi,
agama, filosofi, perkembangan sejarah, dan mitologi. Teori Rogers
berfokus pada kehidupan manusia secara utuh.
Manusia merupakan mahkluk yang memiliki kepribadian unik,
antara satu dengan yang lainnya berbeda di beberapa bagian. Selain itu
masing – masing mempunyai perbedaan sifat – sifat khusus yang
signifikan. Jika dilihat dari ilmu pengetahuan, maka memperhatikan
sifat-sifat dalam sistem kehidupan manusia merupakan hal yang tidak
efektif. Asumsinya adalah individu dan lingkungan saling tukar –
menukar energy dan material satu sama lain.
Contoh aplikasi teori science of unitary human beings dalam
pelayanan home care nursing adalah :

1. Terapi komplementer alternatif berbasis biologis (herbal dan


suplemen)
2. Terapi komplementer elternatif berbasis energy ( prana, reiki, qi –
going, infrared).

36
3. Terapi komplementer alternatif berbasis body manipulasi ( massage,
shiatsu, refleksi, akupresur, bekam, dan akupunture )
4. Terapi komplementer alternatif berbasis mind and body ( meditasi,
terapi tertawa, yoga dan story telling )
5. Sistem terapi seperti ayur wedha atau obat tradisional cina.

b. Trancultural Nursing

Teori ini menjabarkan konsep keperawatan yang didasari oleh


pemahaman tentang adanya, perbedaan nilai – nilai cultural yang
melekat dalam masyarakat dan berasal dari disiplin ilmu atropologi
konteks keperawatan. Teori ini menekankan betapa pentingnya
pemahaman budaya pasien dan keluarga ketika melakukan pelayanan
keperawatan. Terkadang perawat dihadapkan pada dilemma antara tetap
fokus menggunakan pendekatan konvensional dan mengabaikan atau
menolak budaya pasien tentang penyakit. Perawat sering memaksakan
konsep konvensional dan mengabaikan paradigma budaya pasien.
Dengan teori ini, perawat diharapkan senantiasa mempu berfikir luas
dalam mengatasi permasalahan kesehatan pasien, baik dengan
pendekatan konvensional maupun modern.

Leininger beranggapan bahwa pentingnya memperhatikan


keanekaragaman budaya dan nilai – nilai dalam penerapan asuhan
keperawatan. Dalam menangani pasien jangan pernah melakukan
dikotomi antara metode konvensional dan tradisional, tetapi hendaknya
menggunakan secara bijaksana karena pasien adalah manusia yang unik
sehingga penanganan harus dilakukan secara holistic guna mencegah
terjadinya cultural shock.

Cultural shock akan dialami klien ketika perawat tidak mampu


beradaptasi dengan perbedaan nilai budaya dan kepercayaan. Hal ini
menyebabkan munculnya rasa ketidaknyamanan, ketidakberdayaan dan

37
dapat menyebabkan disorientasi. Aplikasi transkultural nursing dalam
pelayanan home care nursing pada pasien harus memperhatikan aspek
budaya yang diyakini pasien, seperti :

 Filosofi dan keyakinan pasien


 Pandangan hidup pasien
 Pendidikan
 Pekerjaan
 Kekerabatan
 Teknologi
 Regulas

c. Self-Care Deficit Theory


Teori ini merupakan inti dari teori keperawatan Orem. Teori ini
menggambarkan kapan keperawatan dibutuhkan. Keperawatan
diperlukan ketika individu tidak mampu atau mengalami keterbatasan
dalam memenuhi syarat persayaratan diri yang efektif. Keperawatan
diberikan jika tingkat kemampuan perawatan lebih dari rendah
dibandingkan dengan kebutuhan perawatan diri atau kemampuan
perawatan diri seimbang dengan kebutuhan namun hubungan deficit
dapat terjadi selanjutnya akibat penurunan kemampuan, peningkatan
kualitas dan kuantitas kebutuhan atau keduanya.
Teori self care deficit diterapkan bila anak belum dewasa,
kebutuhan melebihi kemampuan perawatan, kemampuan sebanding
dengan kebutuhan tetapi diprediksi untuk masa yang akan datang,
kemungkinan terjadi penurunan kemampuan dan peningkatan
kebutuhan.
Dalam pemenuhan perawatan diri sendiri serta membantu dalam
proses penyelesaian masalah, orem memiliki metode untuk proses
tersebut diantaranya adalah bertindak atau berbuat untuk orang lain,
sebagai pembimbing orang lain, memberi support baik secara fisik atau

38
psikologis, meningkatkan pengembangan lingkungan untuk
pengembangan pribadi, serta mengajarkan atau member pendidikan
pada orang lain.
Inti dari teori ini adalah menggambarkan manusia sebagai
penerima perawatan yang tidak mampu memenuhi kebutuhan
perawatan dirinya dan memiliki berbagai keterbatasan – keterbatasan
dalam mencapai taraf kesehatanya. Perawatan yang diberikan
didasarkan kepada tingkat ketergantungan, yaitu ketergantungan total
atau parsial. Difisit perawatan diri menjelaskan hubungan antara
kemampuan seseorang dalam bertindak atau beraktifitas dengan
tuntunan kebutuhan tentang perawatan diri. Sehingga bila tuntutan lebih
besar dari kemampuan, maka ia akan mengalami penurunan atau defisit
perawatan diri.

d. health as expanding conscioness


Teori ini dikemukakan Margaret A. Newman dipengaruhi oleh
Teori Martha Rogers tentang Makhluk Manusia Bersatu, Konsep Itzhak
Bentov tentang Evolusi Kesadaran, Teori Proses Arthur Young, dan
Teori Implikasi David Bohm ketika ia mengembangkan model
keperawatannya. Teori Kesadaran Berkembang sebagai Kesehatan
membuat asumsi-asumsi berikut:

 Kesehatan mencakup kondisi yang digambarkan sebagai penyakit,


atau, dalam istilah medis, patologi.
 Kondisi patologis ini dapat dianggap sebagai manifestasi dari pola
total pasien.
 Pola pasien individu yang akhirnya memanifestasikan dirinya
sebagai patologi adalah primer, dan ada sebelum perubahan
struktural atau fungsional.
 Penghapusan patologi tidak akan dengan sendirinya mengubah pola
pasien individu.

39
 Jika menjadi sakit adalah satu-satunya cara pola pasien individu
dapat memanifestasikan dirinya, maka itu adalah kesehatan bagi
pasien individu tersebut.
 Kesehatan adalah perluasan kesadaran

Teori ini menjelaskan bahwa kesehatan dan penyakit disintesis


sebagai kesehatan. Artinya, perpaduan satu keadaan makhluk (penyakit)
dengan lawannya (bukan penyakit) menghasilkan apa yang dapat
dianggap kesehatan. Dalam model ini, manusia adalah kesatuan. Dia
tidak dapat dibagi menjadi beberapa bagian, dan tidak dapat dipisahkan
dari bidang kesatuan yang lebih besar. Orang adalah individu, dan
manusia, sebagai spesies, diidentifikasi oleh pola kesadaran mereka.
Orang itu tidak memiliki kesadaran. Sebaliknya, orang itu adalah
kesadaran. Orang adalah pusat kesadaran dengan pola keseluruhan
kesadaran yang berkembang. Lingkungan digambarkan sebagai "alam
semesta sistem terbuka."

Teori Newman dianggap sebagai teori grand keperawatan. Dia


menyatakan bahwa orang tidak dapat dibagi menjadi beberapa bagian.
Kesehatan adalah pusat teori, dan dipandang sebagai proses
pengembangan kesadaran diri individu dan lingkungan seseorang. Dia
juga menyatakan bahwa "kesadaran adalah manifestasi dari pola
interaksi orang-lingkungan yang berkembang."

teori Kesehatan Newman sebagai Memperluas Kesadaran


bermanfaat karena dapat diterapkan dalam pengaturan apa pun dan
"menghasilkan intervensi perawatan." Namun, kelemahannya adalah
abstrak, multidimensi, dan kualitatif, dan ada sedikit diskusi tentang
lingkungan dalam model.

e. Theory Of Human Caring (Watson, 1979)

40
Pandangan teori Jean Watson ini memahami bahwa manusia
memiliki 4 cabang kebutuhan manusi yang saling berhubungan :
 Kebutuhan dasar biofisikial (kebutuhan untuk hidup : keb. Makanan
dan cairan, keb eliminasi dan keb ventilasi).
 Kebutuhan psikofisikal ( kebutuhan fungsional : keb aktivitas dan
istirahat , keb seksual.
 Kebutuhan psikososial (kebutuhan untuk integrasi : keb untuk
berprestasi, keb organisasi)
 Kebutuhan intra dan interpersonal (kebutuhan untuk pengembangan :
keb aktualisasi diri)

2. Aplikasi Praktis Home Care


a. Konsep Kesehatan Dalam Home Care
Menurut Warhola (1980, dalam Smith & Maurer, 1995) perawatan
kesehatan rumah adalah suatu pelayanan kesehatan secara
komprehensif yang diberikan kepada klien individu dan atau keluarga
di tempat tinggal mereka (di rumah), bertujuan untuk memandirikan
klien dalam pemeliharaan kesehatan, peningkatan derajat kesehatan,
upaya pencegahan penyakit dan resiko kekambuhan serta rehabilitasi
kesehatan. Pelayanan perawatan kesehatan rumah diberikan kepada
individu dan keluarga sesuai kebutuhan mereka, dengan perencanaan
dan koordinasi yang dilakukan oleh pelayanan kesehatan seperti:
puskesmas, klinik dokter, praktek bidan, perawat, atau praktek bersama
oleh profesi lain (ahli gizi, psikolog, fisioterapist, terapi wicara, dll)
dengan pengiriman staf atau perawat rumah atas kesepakan bersama
dengan klien sesuai peraturan dan kewenangan yang berlaku. Pelayanan
kesehatan tersebut difasilitasi oleh departemen kesehatan bekerja sama
dengan berbagai pihak terkait. Pelayanan perawatan kesehatan rumah
meliputi penyediaaan pelayanan keperawatan klien di rumah,
rehabilitasi fisik, terapi diet, konseling psikolog (Stanhope & Lancaster,

41
1999). Pelayanan perawatan kesehatan rumah juga dapat diartikan
sebagai “Medicare”
1) Pelayanan paruh waktu atau secara terus menerus, dengan
perawatan yang diberikan dibawah pengawasan seorang perawat
professional yang sudah terregistrasi/terdaftar.
2) Terapi fisik, terapi okupasional, dan terapi wicara
3) Pelayanan kesehatan sosial berada dibawah pengawasan dokter
4) Pelayanan paruh waktu atau secara terus menerus yang
dilakukan oleh pembantu perawat kesehatan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku
5) Kebutuhan medis selain obat-obatan, benda biologis seperti
serum dan vaksin yang penggunaannya dalam aplikasi
medis/kedokteran
6) Pelayanan medis diberikan oleh seseorang yang sudah mendapat
izin praktek perawatan kesehatan rumah melalui agency atau
suatu program dari rumah sakit

Jenis pelayanan kesehatan rumah dapat dilakukan oleh :

1) Pusat pelayanan Kesehatan Masyarakat (Puskesmas)


2) Pelayanan Kesehatan dibawah koordinasi rumah sakit
3) Pelayanan Kerawatan Hospice
4) Pelayanan Kesehatan Praktek Mandiri atau Berkelompok
5) Yayasan Pelayanan Sosial
Tipe pelayanan kesehatan dirumah :
1) Perawatan Berdasarkan Penyakit
Program pelayanan kesehatan yang memerlukan perawatan
kesehatan, pemantauan proses penyembuhan dan
mengupayakan untuk tidak terjadi kekambuhan dan perawatan
ulang ke rumah sakit. Umumnya dikoordinasikan dengan tim
kesehatan dari beberapa disiplin ilmu atau profesi kesehatan,
misal: dokter, fisioterapi, gizi, dll.

42
2) Pelayanan Kesehatan Umum
Pelayanan kesehatan ini berfokus pada pemeliharaan kesehatan
dan pencegahan penyakit, termasuk penyuluhan kesehatan
kepada ibu nifas paska melahirkan, perawatan luka klien
dengan DM, konsultasi gizi pada klien dengan penyakit dan
masalah kesehatan tertentu, masalah kesehatan lansia, dll.
3) Pelayanan Kesehatan Khusus
Pelayanan kesehatan khusus pada kondisi klien yang
memerlukan tehnologi tinggi, misalnya: pediatric care,
chemoterapi, hospice care, psychiatric mental health care.
Melalui persiapan tehnologi medis dan keperawatan
memungkinkan situasi rumah sakit dapat dilakukan di rumah.
Disamping itu pelayanan ini akan memberikan efisiensi biaya
pengobatan dan perawatan di rumah sakit.
b. Pemberi Perawatan Kesehatan Rumah
1) Perawat
Pelayanan kesehatan rumah dilakukan terhadap klien
sesuai dengan kebutuhannya oleh perawat professional yang
sudah dan masih terdaftar memiliki izin praktek dengan
kemampuan keterampilan asuhan keperawatan klien di rumah.
Berdasarkan Kepmenkes RI No. 1239/Menkes/SK/XI/2001
tentang registrasi dan praktik perawat bahwa: Praktik
keperawatan merupakan tindakan asuhan keperawatan yang
dilakukan oleh perawat secara mandiri dan professional melalui
kerjasama bersifat kolaboratif dengan klien dan tenaga
kesehatan lainnya sesuai ruang lingkup wewenang dan
tanggung jawab. Lingkup kewenangan perawat dalam
praktik keperawatan professional terhadap klien individu,
keluarga, kelompok khusus dan masyarakat dalam rentang
sehat-sakit sepanjang daur kehidupan.

43
Asuhan keperawatan diberikan dengan menggunakan
proses keperawatan yang terdiri dari pengkajian, penetapan
diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan tindakan
keperawatan, dan evaluasi keperawatan yang dapat
diterapka pada asuhan keperawatan gerontik pada klien usia
60 tahun keatas yang mengalami proses penuaan dan masalahnya
baik ditatanan pelayanan kesehatan maupun di wilayah binaan
di masyarakat (asuhan keperawatan komunitas pada
kelompok khusus). Dalam perawatan kesehatan di rumah,
perawat akan melakukan kunjungan rumah (home visite) dan
melakukan catatan perubahan dan evaluasi terhadap
perkembangan kesehatan klien. Peran perawat dalam
perawatan kesehatan rumah berupa koordinasi dan pemberi
asuhan keperawatan
a) koordinator,
b) pemberi pelayanan kesehatan dimana perawat memberikan
perawatan langsung kepada klien dan keluarganya,
c) (3) pendidik, perawat mengadakan penyuluhan kesehatan
dan mengajarkan caraperawatan secara mandiri
d) pengelola, perawat mengelola pelayanan
kesehatan/keperawatan klien
e) sebagai konselor, dengan memberikan konseling/bimbingan
kepada klien dan keluarga berkaitan dengan masalah kesehatan
klien
f) advocate (pembela klien) yang melindunginya dalam pelayanan
keperawatan, dan
g) sebagai peneliti untuk mengembangkan pelayanan
keperawatan.

Pada keadaan dan kebutuhan tertentu perawat dapat


koordinasi/kolaborasi dengan dokter untuk tindakan diluar

44
kewenangan perawat, berupa pengobatan dan tindak lanjut
perawatan klien ataupun melakukan rujukan kepada profesi lain.

2) Dokter
Program perawatan rumah umumnya berada dibawah
pengawasan seorang dokter untuk memastikan masalah kesehatan
klien. Dokter berperan dalam memberikan informasi tentang
diagnosa medis klien, test-diagnostik, rencana pengobatan dan
perawatan rumah, penentuan keterbatasan kemampuan, upaya
perawatan, pencegahan, lama perawatan, terapi fisik, dll. Bila
diperlukan dilakukan kolaborasi dengan perawat, dimana perawat
yang melakukan kunjungan rumah harus mendapat izin dan
keterangan dari dokter yang bersangkutan sebagai
penanggungjawab terapi program. Program perawatan di rumah
harus dilakukan follow up oleh dokter tersebut minimal setelah 60
hari kerja, sehingga dapat disepakati apakah program dilanjutkan /
tidak.
3) Speech Therapist
Merupakan pelayanan kesehatan yang diberikan bagi klien
dengan gangguan atau kesulitan dalam berbicara dan
berkomunikasi, dengan tujuan untuk membantu klien agar dapat
mengoptimalkan fungsi-fungsi otot bicara agar memiliki
kemampuan dalam berkomunkasi melalui latihan berbicara.
4) Fisioterapist
Program yang dilakukan adalah tindakan berfokus pada
pemeliharaan, pencegahan, dan pemulihan kondisi klien di rumah.
Aktivitas perawatan kesehatan rumah yang dilakukan adalah
melakukan latihan penguatan otot ekstremitas, pemulihan mobilitas
fisik, latihan berjalan, aktif-pasif, atau tindakan terapi postural
drainase klien COPD. Latihan lain berhubungan dengan
penggunaan alat kesehatan tertentu, seperti; pemijatan, stimulasi

45
listrik saraf, terapi panas, air, dan penggunaan sinar ultraviolet.
Dalam hal ini ahli fisioterapist juga mempunyai kewajiban untuk
mengajarkan klien atau keluarganya tentang langkah-langkah
dalam latihan program yang diberikan.
5) Pekerja Sosial Medis
Pekerja sosial medis yang sudah mendapatkan
training/pelatihan dapat diperbantukan dalam perawatan klien dan
keluarganya untuk jangka waktu yang panjang, khususnya pada
klien dengan penyakit kronis (long term care). Pekerja sosial
sangat berguna pada masa transisi dari peran perawatan medis atau
perawat kepada klien/keluarga.

46
BAB VIII

A. Pengertian Patient Safety

Patient Safety atau keselamatan pasien adalah suatu system yang


membuat asuhan pasien di rumah sakit menjadi lebih aman. Sistem ini
mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat
melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya
diambil.

Patient safety adalah prinsip dasar dari perawatan kesehatan (WHO).


Keselamatan pasien menurut Sunaryo (2009) adalah ada tidak adanya
kesalahan atau bebas dari cidera karena kecelakaan. Keselamatan pasien di
rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien
lebih aman yang meliputi assesment risiko, identifikasi dan pengelolaan hal
yang berhubungan dengan risiko pasien pelaporan dan analisis insiden.
Kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjut serta implementasi solusi
untuk meminimalkan timbulnya risiko dan pencegahan terjadiya cidera yang
disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak
mengambil tindakan yang seharusnya diambil (Depkes RI, 2011)

B. Komponem pasien safety

1. Perhatikan nama obat, rupa dan ucapan mirip (look-alike, sound-alike


medication names)
2. Pastikan identifikasi pasien
3. Komunikasi secara benar saat serah terima pasien
4. Pastikan tindakan yang benar pada sisi tubuh yang benar
5. Kendalikan cairan elektrolit pekat
6. Pastikan akurasi pemberian obat pada pengalihan pelayanan
7. Hindari salah kateter dan salah sambung slang
8. Gunakan alat injeksi sekali pakai
9. Tingkatkan kebersihan tangan untuk pencegahan infeksi nosokomial.

47
C. Masalah-Masalah yang berhubungan dengan Pasien Safety di Rumah

Menurut Rice R (2001) jenis kasus yang dapat dilayani pada perawatan
kesehatan di rumah meliputi kasus-kasus yang umum pasca perawatan di
rumah sakit dan kasus-kasus khusus yang di jumpai di komunitas.
1) Kasus umum yang merupakan pasca perawatan di rumah sakit
adalah:
a. Klien dengan penyakit obstruktif paru kronis,
b. Klien dengan penyakit gagal jantung,
c. Klien dengan gangguan oksigenasi,
d. Klien dengan perlukaan kronis,
e. Klien dengan diabetes,
f. Klien dengan gangguan fungsi perkemihan,
g. Klien dengan kondisi pemulihan kesehatan atau rehabilitasi,
h. Klien dengan terapi cairan infus di rumah,
i. Klien dengan gangguan fungsi persyarafan,
j. Klien dengan HIV/AIDS.
2) Sedangkan kasus dengan kondisi khusus, meliputi :
a. Klien dengan post partum,
b. Klien dengan gangguan kesehatan mental,
c. Klien dengan kondisi usia lanjut,
d. Klien dengan kondisi terminal.

Berdasarkan fokus masalah kesehatan


Berdasarkan jenis malasah kesehatan yang dialami oleh klien,
pelayanan keperawatan di rumah (home care) di bagi tiga kategori yaitu :
a. Layanan perawatan klien sakit
Keperawatan klien yang sakit di rumah merupakan jenis
yang paling banyak dilaksanakan pada pelayanan
keperawatan di rumah sesuai dengan alasan kenapa perlu di
rawat di rumah. Individu yang sakit memerlukan asuhan
keperawatan untuk meningkatkan kesehatannya dan
mencegah tingkat keparahan sehingga tidak perlu di rawat di
rumah sakit.
b. Layanan berbasis promotif dan preventif

48
Pelayanan atau asuhan kesehatan masyarakat yang
fokusnya pada promosi dan prevensi. Pelayanannya
mencakup mempersiapkan seorang ibu bagaimana merawat
bayinya setelah melahirkan, pemeriksaan berkala tumbuh
kembang anak, mengajarkan lansia beradaptasi terhadap
proses menua, serta tentag diet mereka.
c. Pelayanan atau asuhan spesialistik yang mencakup pelayanan
pada penyakit-penyakit terminal misalnya kanker, penyakit-
penyakit kronis seperti diabetes, stroke, hipertensi, masalah-
masalah kejiwaan dan asuhan paa anak.
Home Care (HC) Berbasis Rumah Sakit (Hospital Home Care)
Merupakan perawatan lanjutan pada klien yang telah dirawat dirumah
sakit, karena masih memerlukan bantuan layanan keperawatan, maka
dilanjutkan dirumah. Alasan munculnya jenis program ini selain apa yang
telah dikemukakan dalam alasan Home Care (HC) diatas, adalah :
- Ambulasi dini dengan resiko memendeknya hari rawat,
sehingga kesempatan untuk melakukan pendidikan
kesehatan sangat kurang (misalnya ibu post partum normal
hanya dirawat 1-3 hari, sehingga untuk mengajarkan
bagaimana cara menyusui yang baik, cara merawat tali
pusat bayi, memandikan bayi, merawat luka perineum ibu,
senam post partum, dll) belum dilaksanakan secara
optimum sehingga kemandirian ibu masih kurang.
- Menghindari resiko infeksi nosokomial yang dapat terjadi
pada klien yang dirawat dirumah sakit.
- Makin banyaknya penyakit kronis, yang bila dirawat di RS
tentu memerlukan biaya yang besar
- Perlunya kesinambungan perawatan klien dari rumah sakit
ke rumah, sehingga akan meningkatkan kepuasan klien
maupun perawat. Hasil penelitian dari “Suharyati” staf
dosen keperawatan komunitas PSIK Univ. Padjajaran
Bandung di RSHS Bandung menunjukkan bahwa konsumen
RSHS cenderung menerima program HHC (Hospital Home
Care) dengan alasan ; lebih nyaman, tidak merepotkan,

49
menghemat waktu & biaya serta lebih mempercepat tali
kekeluargaan (Suharyati, 1998)

D. Tindakan yang berhubungan dengan Pasien Safety


Tindakan yang behubungan dengan pasien safety bisa berupa
pengukuran tanda-tanda vital; pemasangan atau penggantian selang
lambung (NGT); pemasangan atau penggantian kateter; perawatan luka
dekubitus atau ulcer dan jenis luka lainnya; penghisapan lendir dengan
atau tanpa mesin; pemasangan peralatan oksigen; penyuntikan (IM, IV,
Sub kutan); pemasangan atau penggantian infus; pengambilan preparat
laboratorium (urin, darah, tinja, dan lain-lain); pemberian huknah;
perawatan kebersihan diri (mandi, keramas, dan lain-lain); latihan atau
exercise, fisioterapi, terapi wicara, dan pelayanan terapi lainnya;
transportasi klien; pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan perawatan
kesehatan;
konseling pada kasus-kasus khusus; konsultasi melalui telepon;
memfasilitasi untuk konsultasi ke dokter; menyiapkan menu makanan;
menyiapkan dan membersihkan tempat tidur; memfasilitasi terhadap
kegiatan sosial atau mendampingi; memfasilitasi perbaikan sarana atau
kondisi kamar atau rumah.

50
BAB IX

A. Perawatan Luka Kronis


1. Definisi Luka Kronis
Luka kronis adalah luka yang sudah lama terjadi atau menahun
dengan penyembuhan yang lebih lama akibat adanya gangguan selama
proses penyembuhan luka. Gangguan dapat berupa infeksi, dan dapat
terjadi pada fase inflamasi, poliferasi, atau maturasi. Biasanya luka
akan sembuh setelah perawatan yang tepat selama dua sampai 3 bulan
(dengan memperhatikan faktor penghambat penyembuhan). (Perry &
Potter, 2006).
Luka kronis juga sering disebut kegagalan dalam penyembuhan
luka. Penyebab luka kronis biasanya akibat ulkus, luka gesekan,
sekresi dan tekan. Contoh luka kronis adalah luka diabetes militus
,luka kanker, dan luka tekan, ulkus pada pembuluh darah vena, ulkus
pada pembuluh arteri (iskemia), luka abses dan luka infeksi. Luka
kronis umumnya sembuh atau menutup dengan tipe penyembuhan
sekunder. Akan tetapi , tidak semua luka dengan tipe penyembuhan
sekunder disebut luka kronis, misalnya luka bakar dengan deep full-
thickness yang terjadi dua hari yang lalu disebut luka dengan tipe
penyembuhan sekunder (Arisanty,2013).
2. Jenis Luka Kronis
a. Luka Ulkus Diabetikum
Ulkus diabetes adalah suatu luka terbuka pada lapisan kulit
sampai ke dalam dermis, yang biasanya terjadi di telapak
kaki.(Hariani & David, 2015). Ulkus diabetik merupakan suatu
komplikasi yang umum bagi pasien dengan diabetes melitus.
Penderita diabetes melitus mencapai 8 juta orang pada tahun 2000
di negara Indonesia, 50% pasti terkena komplikasi ulkus diabetik
(Guntur dkk, 2012). Ulkus diabetes adalah suatu luka terbuka pada
lapisan kulit sampai ke dalam dermis, yang biasanya terjadi di
telapak kaki. Separo lebih amputasi non trauma merupakan akibat
dari komplikasi ulkus diabetes, dan disertai dengan tingginya
angka mortalitas, reamputasi dan amputasi kaki kontralateral.
Bahkan setelah hasil perawatan penyembuhan luka bagus, angka
kekambuhan diperkirakan sekitar 66%, dan resiko amputasi
meningkat sampai 12%. Beberapa etiologi yang menyebabkan
ulkus diabetes meliputi neuropati, penyakit arterial, tekanan dan
deformitas kaki. (Titi, 2016). Ulkus diabetes disebabkan oleh
beberapa faktor, yaitu neuropati, trauma, deformitas kaki, tekanan
tinggi pada telapak kaki dan penyakit vaskuler perifer.Pemeriksaan

51
dan klasifikasi ulkus diabetes yang menyeluruh dan sistematik
dapat membantu memberikan arahan perawatan yang adekuat.
.(Hariani & David, 2015).
b. Luka Kanker
Luka kanker merupakan luka kronik yang berhubungan
dengan kanker stadium lanjut. Hoplamazian 2006 dalam Wijaya
2016, menyebutkan definisi luka kanker sebagai kerusakan
integritas kulit yang disebabkan infiltrasi sel kanker. Infiltrasi sel
kanker juga akan merusak pembuluh darah dan membunuh lymph
yang terdapat di kulit (Dudut Tanjung, 2007). Luka kanker
merupakan infiltrasi sel tumor yang merusak lapisan epidermis dan
dermis yang disebabkan oleh deposisi dan atau proliferasi sel ganas
dengan bentuk menonjol atau tidak beraturan, biasanya seringkali
muncul berupa benjolan yang keras, bentuknya menyerupai jamur,
mudah terinfeksi, mudah berdarah, nyeri, mengeluarkan cairan
yang berbau tidak sedap dan sulit sembuh (Gitaraja, 2004 dalam
Wijaya, 2016). Luka kanker dikatakan sebagai luka kronis dilihat
dari karakteristiknya yaitu sulit sembuh, sangat menyakitkan, tidak
sedap dipandang, bau/malodor, dan sangat banyak memproduksi
eksudat (Dennis et all. 2010; dalam Astriana, 2013).

3. Warna dasar Luka


Luka dapat juga dibedakan berdasarkan warna dasar luka atau
penampilan klinis luka (clinical appearance). Klasifikasi ini juga
dikenal dengan sebutan RWB (red, yellow, black). Beberapa referensi
menambahkan pink dan coklat pada klasifikasi tersebut.
a. Hitam (black). Menurut Arisanty 2013, warna dasar luka hitam
artinya jaringan nekrosis (mati) dengan kecendrungan keras kering.
Jaringan tidak mendapatkan vaskulerisasi yang baik dari tubuh
sehingga mati. Luka dengan warna dasar hitam beresiko
mengalami deep tissue injury atau kerusakan kulit hingga tulang ,
dengan lapisan epidermis masih terlihat utuh. Luka terlihat kering,
namun sebetulnya itu bukan jaringan sehat dan harus diangkat.
Tujuan perawatan adalah untuk membersihkan jaringan mati
dengan debridement, baik dengan autolysis debridemen maupun
dengan pembedahan. (Ronald , 2015)
b. Kuning (yellow). Warna dasar luka kuning artinya jaringan
nekrosis (mati) yang lunak berbentuk seperti nanah beku pada
permukaan kulit yang sering disebut dengan slough. Jaringan ini
juga mengalami kegagalan vaskulerisasi dalam tubuh dan memiliki

52
eksudat yang banyak hingga sangat banyak. Perlu dipahami bahwa
jaringan nekrosis mana pun (hitam atau kuning) belum tentu
mengalami infeksi sehingga penting bagi klinisi luka untuk
melakukan pengkajian yang tepat. Pada beberapa kasus, kita akan
menemukan bentuk slough yang keras yang disebabkan oleh
balutan yang tidak lembab. (Puspita, 2013).
c. Merah (red). Warna dasar luka merah artinya jaringan granulasi
dengan vaskulerisasi yang baik dan memiliki kecendrungan mudah
berdarah. Warna dasar merah menjadi tujuan klinisi dalam
perawatan luka hingga hingga luka dapat menutup. Hati yang tidak
cerah atau berwarna pucat karena kemungkinan ada lapisan biofilm
yang menutupi jaringan granulasi.
d. Pink. Warna dengan baik menuju maturasi. Artinya luka sudah
menutup, namun biasanya sangat rapuh sehingga perlu untuk tetap
dilundungi selama proses maturasi terjadi. Memberikan
kelembapan pada jaringan epitel dapat membantu agar tidak timbul
luka baru. (Puspita,2013)

B. Manajemen perawatan luka


Pengkajian luka perlu dilakukan untuk menentukan status luka dan
mengidentifikasi luka sehingga membantu proses penyembuhan. Sebuah
pendekatan terstruktur dalam pengkajian luka diperlukan untuk
mempertahankan standar yang baik dari perawatan. Ini melibatkan
pengkajian pasien menyeluruh, yang harus dilakukan oleh praktisi yang
terampil dan kompeten, mengikuti pedoman lokal dan nasional (Harding et
al, 2008). Pengkajian yang tidak tepat dapat menyebabkan penyembuhan
luka tertunda , nyeri, peningkatan resiko infeksi dan pengurangan kwalitas
hidup bagi pasien (Ousey & Cook, 2011) untuk itu dibutuhkan suatu alat
dalam pengkajian luka untuk mengetahui perkembangan luka antara lain:
1. TIME
Internasional Wound Bed Preparation Advisory Board (IWBPAB)
banyak mengembangkan konsep persiapan dasar luka. Menurut
Schultz (2003) dalam Arisanty 2013, persiapan dasar luka adalah
penatalaksanaan luka sehingga dapat meningkatkan penyembuhan dari
dalam tubuh sendiri atau memfasilitasi efektifitas terapi lain. Metode
ini bertujuan mempersiapkan dasar luka dari adanya infeksi, benda
asing, atau jaringan mati menjadi merah terang dengan proses
epitelisasi yang baik. TIME dikenalkan oleh Prof. Vincent Falanga
pada tahun 2003 yang disponsori oleh produk Smith dan Nephew
dalam penelitian ini sehingga keluar akronim (sebutan) manajemen

53
TIME. T tissue management (manajemen jaringan), I infection or
inflammation control (pengendalian infeksi), M moisture balance
(keseimbangan kelembaban), dan E edge of wound (pinggiran luka
untuk mendukung proses epitelisasi).
1) Tissue Management (manajemen jaringan) Menurut David et.all
2012 dan Arisanty 2013. TIME yang pertama adalah Tissue
Management, yaitu manajemen jaringan pada dasar luka. Tindakan
utama manajemen jaringan adalah melakukan debdridemang
(debridement) yang dimulai dari mengkaji dasar luka sehingga
dapat dipilih jenis jenis debridemang yang akan dilakukan.
Debridemang adalah kegiatan mengangkat atau menghilangkan
jaringan mati (devaskulerisasi), jaringan terinfeksi, dan benda asing
dari dasar luka sehingga dapat ditemukan dasar luka dengan
vaskularisasi baik. Untuk mendapatkan dasar luka yang baik (tidak
ada jaringan yang mati dan benda asing), diperlukan tindakan
debridemang secara berkelanjutan. Kaji luka, lingkungan, dan
faktor sistemik pasien sebelum melakukan debridemang, tentukan
pencapaian hasil, dan pilih jenis debridemang yang cocok untuk
pasien tersebut. Penganggkatan jaringan mati (manajemen T)
memerlukan waktu tambahan dalam penyembuhan luka. Waktu
efektif dalam pengangkatan jaringan mati yaitu sekitar dua minggu
(14 hari) dan tentunya tanpa faktor penyulit yang berarti, misalnya
GDS terkontrol, penyumbatan atau gangguan pembuluh darah
teratasi , mobilisasi baik,dll. Jika kondisi sistemik pasien tidak
mendukung, persiapan dasar luka akan memanjang hingga 4-6
minggu. (Arisanty , 2013)
2) Infection-Inflamation Control (Manajemen Infeksi dan
Inflamsi) TIME yang kedua adalah nfektion-inflammation
control,yaitu kegiatan mengatasi perkembangan jumlah kuman
pada luka. Semua luka adalah luka yang terkontaminasi,
namuntidak selalu ada infeksi (Smith, 2014). Infeksi adalah
pertumbuhan organisme dalam luka yang ditandai dengan reaksi
jaringan lokal dan sistemik. Sebelum terjadi infeksi, ada proses
perkembangbiakan kuman mulai dari kontaminasi, kolonisasi,
kolonisasi kritis, kemudian infeksi (Schultz et al.,2003 dalam
Arisanty 2013). Luka dikatan infeksi jika ada tanda
inflamasi/infeksi, eksudat purulen, bertambah, dan berbau, luka
meluas/ break down, dan pemeriksaan penunjang diagnostik
menunjukan leukosit dan makrofag meningkat, kultur eksudat
menunjukan bakteri >106/g jaringan.

54
c. Moisture Balance Managemen (Manajemen pengaturan
kelembapan luka) Winter (2013) menemukan evolusi kelembapan
pada penyembuhan luka (moist wond healing). Falanga (2003)
mengemukakan bahwa cairan yang berlebihan pada luka kronis
dapat menyebabkan gangguan kegiatan sel mediator seperti growth
factor pada jaringan. Banyaknya cairan luka (eksudat) pada luka
kronis dapat menimbulkan maserasi dan perlukaan baru pada
daerah sekitar luka sehingga konsep kelembapan yang
dikembangkan adalah keseimbangan kelembapan pada luka.
Tujuan manajemennya adalah melindungi kulit sekitar luka,
menyerap eksudat, mempertahankan kelembapan, dan mendukung
penyembuhan luka dengan menentukan jenis dan fungsi balutan
yang akan digunakan. Luka kering atau luka tanpa eksudat hingga
luka eksudat minimal harus dibuat lembab dengan memberikan
balutan yang berfungsi memberikan hidrasi dan kelembapan pada
luka, seperti hydrogel, hydrocolloid, interactive wet dressing, dan
salep herbal TTO. Luka dengan eksudat minimal hingga sedang
masih memerlukan balutan yang memberikan hidrasi. Untuk
kelembapan yang seimbang , kombinasikan dengan balutan yang
dapat menyerap cairan minimal hingga sedang, seperti cacium
alginate. Untuk luka dengan eksudat sedang hingga banyak, tidak
dianjurkan lagi menggunakan balutan yang memberikan hidrasi
karena akan mengakibatkan luka terlalu lembap. Penggunaan
balutan yang berbahan dasar minyak masih memungkinkan dengan
tujuan tertentu dan balutan ini digunakan secukupnya saja. Sebagai
balutan yang dapat mempertahankan kelembapan, diperlukan
balutan yang menyerap cairan lebih banyak lagi seperti
foam,hydrofiber, dll. Tujuan perawatan luka dengan eksudat
banyak hingga sangat banyak adalah menampung cairan yang
keluar sehingga tidak membuat luka baru di kulit yang sehat.
Eksudat cairan yang sangat korosif terhadap kulit yang sehat dapat
ditampung dengan menggunakan balutan yang dapat menyerap
banyak eksudat, atau bahkan menggunakan kantong stoma dan
parcel dressing.
d. Epitelization Advancement Management ( Manajemen Tepi
Luka) Proses penutupan luka yang dimulai dari tepi luka disebut
proses epitelisasi. Proses penutupan luka terjadi pada fase
poliferasi. Epitel (tepi luka) sangat penting diperhatikan sehingga
proses epitelisasi dapat berlangsung secara efektif. Tepi luka yang
siap melakukan proses penutupan (epitelisasi) adalah tepi luka

55
yang halus, bersih, tipis, menyatu dengan dasar luk, dan lunak.
Tepi luka yang kasar disebabkan oleh pencucian yang kurang
bersih atau lemak yang dihasilkan oleh tubuh menumpuk dan
mengeras di tepi luka. Tepi luka yang tebal disebabkan oleh proses
epitelisasi yang tidak mau maju (tetap ditempat) sehingga epitel
menumpuk di tepi luka dan menebal. Dasar luka yang belum
menyatu dengan tepi luka disebabkan oleh adanya kedalaman,
undermining, atau jaringan mati. Jika di tepi luka masih ada
jaringan mati (nekrosis) jaringan tersebut harus diangkat. Jika ada
kedalaman dan undermining, proses granulasi harus dirangsang
dengan dengan menciptakan kondisi yang sangat lembap
(hipermoist) yang seimbang. Jika tinggi luka dengan tepi luka sama
(menyatu), proses epitelisasi dapat terjadi dengan baik dan rata.
Jika dasar luka belum menyatu dengan tepi luka, namun proses
epitelisasi telah terjadi, hal ini dapat menyebabkan luka sembuh
dengan permukaan yang tidak rata. Tepi luka juga harus lunak, jika
tidak , epitel akan mengalami kesulitan menyebrang karena tepi
luka yang keras (frozen). Cara epektif untuk melunakannnya
adalah menggunakan minyak dan melakukan masase (pijat) dengan
lembut.

2. BWAT (Bates-Jensen Wound Assesment Tool ) Barbara Bates –


Jensen pun telah mencetuskan alat ukur pengkajian luka lainnya yang
diberi nama Bates-Jensen Wound Assessmen Tool (BWAT). BWAT
merupakan instrumen yang lebih lengkap dan rinci dalam
mengevaluasi luka ulkus dekubitus (Jensen dalam Febrianti 2014).
BWAT atau pada asalnya dikenal dengan nama PSST (Pressure Sore
Status Tool) merupakan skala yang dikembangkan dan digunakan
untuk mengkaji kondisi luka tekan. Skala ini sudah teruji validitas dan
reliabilitasnya ,sehingga alat ini sudah biasa digunakan di rumah sakit
atau klinik kesehatan. Nilai yang dihasilkan dari skala ini
menggambarkan status keparahan luka. Semakin tinggi nilai yang
dihasilkan maka menggambarkan pula status luka pasien yang semakin
parah (Pillenet al., 2009).
BWAT terdiri dari 13 item pengkajian di dalamnya, yaitu :Size, Depth,
Edges, Undermining, Necrotic Tissue Type, Necrotic Tissue Amount,
Exudate Type, Exudate Amount, Skin Color Surrounding Wound,
Peripheral Tissue Edema,Pheriperaln Tissue Induration, Granulation
Tissue, dan Epithelialisa- tion. Ke 13 item tersebut digunakan sebagai
pengkajian luka tekan pada pasien. Setiap item di atas mempunyai nilai

56
yang menggambarkan status luka tekan pasien (Daniela Fernanda.
Et.al., 2015). Adapun format pengisian penilaian luka “Bates –Jensen”
adalah sebagai berikut (Mustiah dan Daniela et,all, 2015).
C. Perawatan pada pasien penyakit pernafasan kronis
1. Definisi penyakit kronis
Penyakit kronis merupakan jenis penyakit degeneratif yang
berkembang atau bertahan dalam jangka waktu yang sangat lama,
yakni lebih dari enam bulan. Orang yang menderita penyakit kronis
cenderung memiliki tingkat kecemasan yang tinggi dan cenderung
mengembangkan perasaan hopelessness dan helplessness karena
berbagai macam pengobatan tidak dapat membantunya sembuh dari
penyakit kronis (Sarafino, 2006). Rasa sakit yang diderita akan
mengganggu aktivitasnya sehari-hari, tujuan dalam hidup, dan kualitas
tidurnya (Affleck et al. dalam Sarafino, 2006).
2. Kategori Penyakit Kronis
Menurut Christensen et al. (2006) ada beberapa kategori penyakit
kronis, yaitu seperti di bawah ini.
a. Lived with illnesses. Pada kategori ini individu diharuskan
beradaptasi dan mempelajari kondisi penyakitnya selama hidup dan
biasanya tidak mengalami kehidupan yang mengancam. Penyakit
yang termasuk dalam kategori ini adalah diabetes, asma, arthritis,
dan epilepsi.
b. Mortal illnesses. Pada kategori ini secara jelas kehidupan individu
terancam dan individu yang menderita penyakit ini hanya bisa
merasakan gejala-gejala penyakit dan ancaman kematian. Penyakit
dalam kategori ini adalah kanker dan penyakit kardiovaskuler.
c. At risk illnesses. Kategori penyakit ini sangat berbeda dari dua
kategori sebelumnya. Pada kategori ini tidak ditekankan pada
penyakitnya, tetapi pada risiko penyakitnya. Penyakit yang
termasuk dalam kategori ini adalah hipertensi dan penyakit yang
berhubungan dengan hereditas.

3. Perawatan Diri pada penyakit kronis


Perawatan diri atau kebersihan diri (personal hygiene) merupakan
perawatan diri sendiri yang dilakukan untuk mempertahankan
kesehatan, baik secara fisik maupun psikologis. Pemenuhan perawatan
diri dipengaruhi berbagai faktor, di antaranya budaya, nilai sosial pada
individu atau keluarga, pengetahuan terhadap perawatan diri, dan
persepsi terhadap perawatan diri (Hidayat, 2006). Perawatan diri
adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam memenuhi

57
kebutuhannya untuk memepertahankan hidupnya, kesehatannya, dan
kesejahteraannya sesuai dengan kondisi kesehatannya. Kemampuan
untuk melakukan perawatan diri meliputi kemampuan fungsional
klien, baik di lingkungan rumah mereka maupun dalam pelayanan
kesehatan, meliputi aktivitas makan, mandi, berpakaian, perawatan
diri, dan berdandan (Potter & Perry, 2006).
a. Tujuan Perawatan Diri
Tujuan Perawatan Diri Tujuan perawatan diri adalah untuk
mempertahankan perawatan diri, baik secara sendiri maupun
dengan menggunakan bantuan, dapat melatih hidup sehat atau
bersih dengan cara memperbaiki gambaran atau persepsi terhadap
kesehatan dan kebersihan, serta menciptakan penampilan yang
sesuai dengan kebutuhan kesehatan. Pasien penyakit kronis perlu
merasa nyaman dan melakukan relaksasi untuk menghilangkan
kelelahan serta mencegah infeksi, mencegah gangguan sirkulasi
darah, dan mempertahankan integritas jaringan (Hidayat, 2006).
1) Memberikan terapi oksigen
Belum ada pengobatan yang tepat untuk menyembuhkan
penyakit PPOK. Namun, kamu bisa mengurangi dampak dan
komplikasinya dengan melakukan perawatan terapi oksigen.
Adanya tambahan pasokan oksigen ke saluran napas membantu
meringankan kesulitan bernapas yang kamu alami. Terapi ini
juga memungkinkan kamu untuk mendapatkan istirahat malam
yang lebih baik. Manfaat lain dari terapi oksigen, seperti:
a. Meningkatkan energi dan kemampuan untuk berolahraga.
b. Membantu agar lebih fokus dan meningkatkan suasana hati.
c. Meminimalkan terjadinya komplikasi gagal jantung, ketika
jantung tidak bisa memompa cukup banyak darah ke tubuh.
4. Manajemen Nutrisi
Manajemen nutrisi adalah intervensi pengaturan diet yang adekuat
untuk mengurangi gejala penyakit, meningkatkan kenyamanan,
mencegah atau sebagai terapi malnutrisi. Manajemen nutrisi
merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kealitas hidup
dengan cara mengurangi gajala penyakit sehingga dapat
memaksimalkan kesehatan individu (Aziz, 2008).
5. Manajemen Stres
Secara umum, manajemen stres mencakup kebiasaan promosi
kesehatan yang dapat mengurangi dampak stres pada kesehatan fisik
dan mental. Teknik ini sering menjadi pendekatan yang masuk akal
yang memberi dasarkan untuk hidup dalam situasi stres rendah. Teknik

58
yang umum dilakukan untuk manajemen stress, antara lain olah raga
teratur, humor, diet dan nutrisi yang baik, istirahat yang cukup, dan
teknik relaksasi (Potter & Perry, 2006).

59
BAB X

PERAWATAN PASIEN HIV/AIDS

A. Perawatan ODHA Di Rumah

ODHA tidak selalu harus dirawat di rumah sakit kecuali jika


kondisi ODHA memerlukan perawatan yang hanya bisa dilakukan di
rumah sakit atau fasilitas layanan kesehatan lainnya.

Kondisi ODHA yang tidak bisa dirawat dirumah, antara lain:

 Penurunan kesadaran
 Membutuhkan perawatan khusus yang tergantung kepada
bantuan orang lain atau memerlukan peralatan khusus
 Ancaman terhadap dirinya atau orang lain, oleh dirinya
sendiri atau orang lain

ODHA adalah anggota keluarga sehingga tinggal bersama-sama


anggota keluarga lainnya dirumah adalah tempat terbaik untuk merawat
ODHA. Dukungan dari keluarga dan orang-orang yang mencintainya akan
memberikan kekuatan tersendiri bagi ODHA agar bisa terus optimis,aktif
dan produktif. Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk membantu
perawatan ODHA di rumah:

Langkah 1 : Jika Pasien Dan Anggota Keluarga Baru Mengetahui


Terinfeksi HIV:

Perhatikan reaksi ODHA, Perhatikan reaksi anggota keluarga


seperti shock, penolakan,kemarahan, tawar-menawar, kecemasan-
ketakutan, kesepian, depresi, sedih, menerima, berharap dan lain-lain.

60
Sebagai anggota keluarga perlu memberikan ketenangan kepada
ODHA dan anggota keluarga lainnya untuk menjaga agar tidak terjadi
kepanikan dan kekhawatiranyang berlebihan. Beberapa cara bisa
dilakukan antara lain:

 Sampaikan bahwa ODHA ada dapat obat ARV yang disediakan oleh
pemerintah secara Cuma-Cuma dilayanan kesehatan yang telah
menyediakan layanan perawatan, pengobatan dan dukungan.
 Sampaikan informasi yang benar berkaitan dengan HIV agar ODHA dan
keluarga tidak panic dan dapat menerima kondisinya dengan lebih baik
 Tunjukkan dukungan moral dan spiritual kepada ODHA dan anggota
keluarga lainnya.

Langkah 2: Jika Pasien Tersebut Telah Mendapatkan Pengobatan ARV,


Lakukan Dukungan Kepatuhan Pengobatan:

 Sampaikan manfaat ARV yang diminum secara teratur dan terus-menerus.


 Jadilah PMO yang baik, sabar dan telaten dengan selalu mengingatkan
untuk minum obat pada waktunya
 Berilah dorongan kepada ODHA untuk mandiri dalam pengobatannya
sehingga lambat taun PMO tidak harus mengingatkan
 Berilah dorongan dan kesempatan kepada ODHA untuk mampu
melakukan aktifitas sehari-hari seperti biasa sebelum terinfeksi HIIV serta
menyakinkan ODHA bahwa pengobatan ARV yang teratur tetap
menjadikannya aktif dan produktif seperti orang yang tidak terinfeksi HIV
 Jika timbul efek sampig yang tidak bisa diatasi oleh keluaraga atau
pendamping ODHA, maka segeralah rujuk ke fasilitas layanan kesehatan
terdekat yang memiliki fasilitas pengobatan bagi ODHA.

Langkah 3: Jika Terjadi Efek Samping Pengobatan

Selama pengobatan ARV perhatikan jika terjadi efek samping obat


serta apa yang harus dilakukan membantu penanganannya. Setiap obat pasti

61
aka nada efek sampingnya, namun pada setiap orang tingkatan dan gejala efek
samping dapat berbeda-beda.

1. Mual dan muntah


 Hentikan makan/ minum selama 1-2 jam
 Pelan-pelan minum air hangat kuku, teh, oralit
 Tingkatkan jumlah cairan secara bertahap
 Secara bertahap berikan makanan yang mudah dicerna
 Hindari mencium bau yang tajam
 Beristirahat sambil duduk atau tidur dengan miring
2. Diare
Mengenali tanda-tanda kurang cairan : mengeluh kehausan,
gelisah, kulit tampak kisut, bila dicubit maka bekas cubitan tersebut lama
kembali ke normal/ kulit terlihat jelek.
3. Sakit kepala
 Pijatan pada kulit kepala akan membantu menguranginya
 Usahakan untuk istirahat dengan santai
 Berikan paracetamol atau aspirin atau ibuprofen pada malam hari
4. Masalah Kulit
Kulit yang gatal dapat disebabkan oleh kulit kering, infeksi atau
reaksi tubuh terhadap pengobatan yang sedang digunaka. Kulit kering
dikaitkan dengan ruam kulit.
5. Kurang Darah atau Anemia
Anemia dapat menyebabkan kelelahan dan penurunan konsentrasi,
sesak napas, pusing, pucat dan jantung berdebar debar. Anemia dapat
diketahui dengan tes darah (tes Hemoglobin) secara berkala.
6. Demam
Demam bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan tanda bahwa
sedang terjadi peradangan atau peningkatan metabolisme tubuh dan dapat
menunjukkan kondisi sakit. Pada ODHA demam sering hilang timbul.
7. Sulit Tidur

62
Bantu ODHA dapat tidur dengan baik dengan menciptakan
lingkungan yang tenang sehingga ODHA bisa tidur nyenyak.

Ada beberapa hal sederhana yang dapat kita lakukan untuk


membantu ODHA merasa nyaman di rumah:
 Menghormati kemandirian dan kebebasan pribadinya
 Membiarkan dia mengatur segala sesuatu yang dia bisa.
Mintalah ijin untuk masuk ke ruangannnya, atau untuk
duduk bersamanya, dan sebagainya.
 Menanyakan apa yang dapat kita lakukan untuk
membuatnya nyaman. Banyak orang merasa malu untuk
meminta bantuan, khususnya bantuan seperti memakai
kakus, mandi, makan dan berpakaian.
 Menjaga rumah tetap bersih dan kelihatan bercahaya dan
menyenangkan.

Jika ODHA yang kita rawat harus banyak beristirahat di tempat


tidur, bantulah dia untuk sering mengubah posisi tubuhnya. Jika mungkin
ODHA harus turun dari tempat tidur sesering mungkin,ini membantu
mencegah persendian menjadi kaku, luka baring dan beberapa macam
radang paru.

1. Luka baring
Luka baring atau lecet di kulit lainnya dapat menjadi maslaah yang
parah bagi ODHA. Disamping sering mengubah posisi tubuhnya ditempat
tidur, untuk membantu tetap sehat, tempatkan bahan yang lembut dibawah
ODHA. Juga, jaga sprei agar tetap kering dan tidak kusut, dan pijat
punggung dan bagian lainnya (seperti pinggul, siku, dan pergelangan kaki)
yang menekan pada tempat tidur.
2. Olahraga
Bahkan di tempat tidur, ODHA dapat melakukan olahraga tangan,
lengan dan kaki yang sederhana. Biasanya disebut sebagai olahraga

63
‘‘latihan peregrakan’’. Olahraga ini membantu mencegah persendian
menjadi kaku, sakit sendi dan memperlancar peredaran darah.

3. Pernafasan
Jika ODHA mempunyai masalah pernafasan, mendudukan ODHA
data membantu. Angkatlah kepala tempat tidur seperti di rumah sakit atau
pakai bantal tambahan atau penahan punggung lembut lain.
4. Kenyamanan
Menggosok punggung dnegan baik akan membantu ODHA merasa
santai dan membantu peredaran darah tetap lancar. Taruhlah buku, remote
control untuk TV atau radio, air, serbet, dan bel untuk memanggil bantuan
di tempat yang mudah dijangkau. Jika ODHA tidak dapat bangun,
taruhlah pispot di tempat yang mudah dijangkau.
B. Memberikan Dukungan Emosional Bagi ODHA

Dalam merawat seseorang, bukan hanya tubuh tetapi perasaan pun


penting. Karena setiap orang berbeda, maka tidak ada aturan tentang apa
yang harus dilakukan atau dikatakan, ettapi berikut ini ada beberapa
gagasan yang dapat membantu:

 Ikut sertakan ODHA sebagai anggota aktif dalam tim perawatan. Jangan
lakukan segalanya untuk dia atau mennetukan semua keputusannya.
 Menjadi pendengar yang baik
 Ajaklah ODHA membantu pekerjaan di rumah jika bisa.
 Libatkan ODHA dalam urusan rumah tangga. Ajaklah ODHA dalam
pembicaraan sehari-hari mengenai buku, program televise, music, apa
yang terjadi di dunia, dan sebagainya.
 Bicaralah tentang segala hal. Kadang-kadang perlu berbicara tentang
AIDS atau berbicara mengenai perasaannya sendiri sebagai suatu cara
untuk mengatakan apa yang dipikirkannya. AIDS dapat membuat orang
marah, putus asa, depresi, takut dan kesepian seperti penyakit serius
lainnya.

64
C. Melindungi ODHA Terhadap Infeksi

ODHA dapat menjadi sangat sakit akibat kuman dan infeksi biasa.
Memeluk, berpegangan-tangan, memijat dan berbagai cara bersentuhan
lain, aman untuk kita dan dibutuhkan Odha. Tetapi kita harus berhati-hati
agar tidak menularkan kuman yang dapat menyakiti orang yang kita rawat.

1. Cuci Tangan
Mencuci tangan adalah satu-satunya cara terbaik untuk membunuh
kuman. Cuci tangan setelah memakai kamar kecil dan sebelum
menyediakan makanan. Cuci lagi tangan sebelum dan setelah
menyuapinya, memandikannya, membantunya memakai kamar kecil, atau
melakukan perawatan lain. Cuci tangan jika bersin atau batuk; menyentuh
hidung, mulut, atau alat kelamin; menangani sampah atau kotoran hewan;
atau membersihkan rumah. Jika kita menyentuh darah, air mani, air seni,
cairan vagina, atau kotoran siapa saja, segera cuci tangan
2. Menutup Luka
Jika kita tersayat atau luka, khususnya di tangan, kita harus lebih
berhati-hati agar tidak menulari Odha atau kita sendiri. Jika kita
mengalami luka di dekat mulut, lepuh demam, atau infeksi kulit lain,
jangan menyentuh Odha atau benda-benda miliknya. Jika tangan kita
mengalami ruam atau luka, pakailah sarung tangan sekali pakai.
3. Jauhkan Orang yang Sakit
Jika kita atau orang lain sakit, menjauhlah dari Odha hingga kita
sehat. Odha sering tidak dapat melawan selesma, flu atau penyakit umum
lain. Jika kita sakit dan tidak ada orang lain yang dapat melakukan apa
yang perlu dilakukan untuk Odha, pakailah masker medis yang pas
menutupi mulut dan hidung, serta cuci tangan sebelum mendekati Odha.
4. Perlengkapan Pribadi

65
Odha sebaiknya tidak memakai perlengkapan pribadi bergantian;
ini termasuk pisau cukur, sikat gigi, jepitan, gunting kuku atau kutikel,
anting atau perhiasan “tajam” lainnya, atau perlengkapan pribadi lain yang
dapat terkena darah.
D. Manifestasi Klinis Penyakit Jantung

Penyakit jantung fungsional (neurosis kardiak) adalah kelainan dengan


keluhan seperti penyakit jantung tanpa kelainan organik. Penyakit jantung
merupakan masalah kesehatan yang progresif dengan angka mortalitas dan
morbiditas yang tinggi di negara maju maupun negara berkembang
termasuk Indonesia. adanya bukti objektif dari gangguan struktur atau
fungsi jantung saat istirahat. Beberapa gejala yang dirasakan oleh
penderita penyakit jantung:

1. Nyeri dada yang meneyrupai angina pectoris


2. Berdebar-debar atau palpitasi, sesak nafas, nafas terasa berat
3. Keluhan vegetative: tremor, sakit kepala, susah tidur
4. Keluhan psikis : rasa takut, risau/ was-was, gelisah
5. Keluhan-keluhan umum lainnya seperti pandangan mata gelap,
berkunang-kunang.
E. Manajemen Perawatan Penyakit Jantung

Manajemen perawatan mandiri mempunyai peran dalam keberhasilan


pengobatan gagal jantung dan dapat memberi dampak bermakna perbaikan
gejala gagal jantung, kapasitas fungsional, kualitas hidup, morbiditas dan
prognosis. Manajemen perawatan mandiri dapat didefnisikan sebagai
tindakan-tindakan yang bertujuan untuk menjaga stabilitas fisik,
menghindari perilaku yang dapat memperburuk kondisi dan mendeteksi
gejala awal perburukan gagal jantung.

a. Tata Laksana Non Farmakologi


1. Ketaatan pasien berobat

66
Ketaatan pasien berobat menurunkan morbiditas, mortalitas
dan kualitas hidup pasien. Berdasarkan literatur, hanya 20 - 60%
pasien yang taat pada terapi farmakologi maupun non-farmakologi.
2. Pemantauan berat badan mandiri
Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika
terdapat kenaikan berat badan > 2 kg dalam 3 hari, pasien harus
menaikan dosis diuretik atas pertmbangan dokter.
3. Asupan cairan
Restriksi cairan 1,5 - 2 Liter/hari dipertimbangkan terutama
pada pasien dengan gejala berat yang disertai hiponatremia.
Restriksi cairan rutin pada semua pasien dengan gejala ringan
sampai sedang tidak memberikan keuntungan klinis.
4. Pengurangan berat badan
Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT > 30 kg/m2)
dengan gagal jantung dipertimbangkan untuk mencegah
perburukan gagal jantung, mengurangi gejala dan meningkatkan
kualitas hidup.
5. Kehilangan berat badan tanpa rencana
Malnutrisi klinis atau subklinis umum dijumpai pada gagal
jantung berat.Kaheksia jantung (cardiac cachexia) merupakan
prediktor penurunan angka kelangsungan hidup.Jika selama 6
bulan terakhir berat badan > 6 % dari berat badan stabil
sebelumnya tanpa disertai retensi cairan, pasien didefinisikan
sebagai kaheksia. Status nutrisi pasien harus dihitung dengan hati-
hati.
6. Latihan fisik
Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal
jantung kronik stabil. Program latihan fisik memberikan efek yang
sama baik dikerjakan di rumah sakit atau di rumah.
b. Tata Laksana Farmakologi

67
Tujuan diagnosis dan terapi gagal jantung yaitu untuk mengurangi
morbiditas dan mortalitas. Tindakan preventif dan pencegahan
perburukan penyakit jantung tetap merupakan bagian penting dalam
tata laksana penyakit jantung.
1. Analgetik untuk penghilang rasa nyeri
2. Beta bloker (seperti bisoprolol, atenolol, metopropol, propanolol)
adalah golongan obat yang digunakan untuk menangani beragam
kondisi pada jantung.
3. ACE inhibitor (seperti captopril dan ramipril) berfungsi
menghambat tubuh menghasilkan angiotensin sehingga
menurunkan tekanan darah.
4. Angiotensin II receptor blocker (seperti losartan) bekerja dengan
menghambat efek angiotensin sehingga menurunkan tekanan
darah.
5. Antikoagulan (seperti heparin dan wafarin) berfungsi mencegah
gumpalan darah dengan menghambat kerja faktor pembekuan
darah.
6. Antiplatelet (seperti aspirin dan clopidrogel) sama halnya dengan
anikoagulan, berfungsi untuk mencegah terbentuknya gumpalan
darah dengan cara berbeda.
7. Penurun kolestrerol (seperti atorvastatin) berfungsi meningkatkan
kadar kolesterol baik HDL dan menurunkan kadar kolestrol jahat
LDL.
8. Terapi simptomatik lainnya

68

Anda mungkin juga menyukai