FAKULTAS HUKUM
IKHTISAR PERKULIAHAN
Disusun oleh:
LAUREL HEYDIR
(LHeydir@gmail.com)
Pendahuluan
Kehidupan merupakan sebuah kompleksitas multi aspek. Berbagai aspek kehidupan saling
bersentuhan satu dengan yang lainnya. Demikian pula fenomena hukum yang secara empiris (di
dunia nyata) saling berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan lainnya seperti aspek
masyarakat, budaya, ekonomi, dan seterusnya termasuk aspek politik.
“Ubi societas, ibi ius” (di mana ada masyarakat, di situ ada hukum) adalah ungkapan masyhur
Aristoteles untuk menunjukkan begitu eratnya hubungan antara fenomena hukum dan
masyarakat. Seperti sekeping mata uang dengan dua wajah (pada kedua sisinya) yang meskipun
berbeda namun keduanya tidak terpisahkan. Demikian juga hubungan timbal-balik antara
fenomena hukum dan kebudayaan: bahwa hukum adalah salah satu wujud budaya dan,
sebaliknya, bahwa pada setiap budaya selalu ada unsur hukumnya, yakni suatu yang bersifat
normative—memaksa untuk ditaati.
John Stuart Mill dari kacamata ekonomi mendeskripsikan manusia sebagai homo economicus
(makhluk ekonomi). Maksudnya, manusia adalah makhluk yang selalu peduli dengan mata
pencariannya—untuk mempertahankan keberlangsungan hidupnya. Senada dengan itu adalah
deskripsi tentang manusia sebagai makhluk politik. Aristoteles, mengutip gurunya (Plato),
menyebut manusia sebagai zōon politikon. Dalam konteks ini, aspek politik bukan hanya
bersandingan dengan aspek hukum, bahkan di dalam fenomena hukum ada juga aspek
politiknya—mulai dari pembentukan aturan hukum, penerapannya, hingga peradilan terhadap
pelanggaran aturan-aturan hukum ada unsur politiknya.
Hubungan Ilmu Politik dengan Ilmu Hukum juga sangat erat. Dalam sejarahnya, disiplin Ilmu
Politik itu mentas dari Fakultas Hukum. Sehingga, lumrah saja Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
di Universitas Sriwijaya juga berasal dari program studi dalam Fakultas Hukum Universitas
Sriwijaya. Adapun di antara hal yang menyulut pendirian Ilmu Politik ke luar dari lingkungan
Ilmu Hukum lantaran pendekatan Ilmu Hukum dinilai konservatif dan tidak/kurang responsif
terhadap berbagai perubahan yang terjadi dalam kehidupan nyata masyarakat yang sangat
dinamis itu.
Kedekatan Ilmu Politik dengan Ilmu Hukum terutama pada program kekhususan Hukum Tata
Negara. Dapat dikatakan bahwa apa yang diatur dalam Hukum Tata Negara pada dasarnya
adalah perilaku politik. Namun, mahasiswa Ilmu Hukum tidak mempelajari Ilmu Politik untuk
menjadi ilmuwan politik, melainkan sekedar untuk memperoleh pengetahuan dasar tentang
fenomena politik dan mengenali keterkaitannya dengan fenomena hukum.
Adapun pada ikhtisar perkuliahan yang pertama ini yang dibahas adalah kelahiran disiplin Ilmu
Politik dan fase awal perkembangan keilmuannya.
Pengertian Politik
Aristoteles (384 – 322 SM) adalah cendekiawan pertama yang menulis tentang politik.
Karyanya yang berjudul, ‘Politika’ mengulas tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan
kewarga-negaraan (civil, civic).
Politika = affairs of the cities
Politikos dalam Bahasa Yunani berarti sesuatu yang berkaitan dengan negara/kota (polis)
o Buku I
Tujuan kota (polis), bagaimana kehidupan kota, manusia sebagai makhluk politik (politik
masyarakat/koinōnia politikē/political community), perbudakan dan rumah-tangga
(oikonomike) ~ yang membahas perihal perempuan/istri dan anak-anak.
o Buku II
Dimulai dengan mengkritisi teori Plato dalam kedua buku karyanya –Republik (The
Republic) dan Hukum (The Laws)– yang membahas tentang rezim/pemerintahan,
kemudian teori-teori sistem [pemerintahan] yang diulas oleh filsuf Phaleas dan
Hippodamus, kemudian Aristoteles memaparkan hasil pengamatannya tentang bentuk
hubungan yang baik/ideal antara warga dengan pemerintahan dan dewan
permusyawaratan (legislators) kota pada tiga rezim, yaitu: Spartan, Cretan, dan
Carthaginian.
Plato (424/423 – 348/347 SM)
o Buku III
Membahas tentang siapa warga (citizen) dan bahwa warga kota (polis) sebagai manusia
yang berakhlak baik sehingga pada dasarnya semua warga dapat berpartisipasi dalam
proses pemerintahan. Pendapat Aristoteles tersebut berbeda dengan gurunya (Plato) yang
berpendapat karena tidak semua warga masyarakat memiliki kemampuan untuk membuat
pertimbangan secara bijaksana, maka hanya segelintir pemikir/filsuf saja yang layak
untuk berpartisipasi dalam dewan pertimbangan dan peradilan.
o Buku IV
Membahas tentang klasifikasi konstitusi, peran teori politik, mengapa ada beberapa jenis
konstitusi, beberapa jenis demokrasi, beberapa jenis oligarki, keberadaan polity –
pemerintahan konstitusional (constitutional government)– sebagai bentuk pemerintahan
yang terbaik dan manakala polity menjadi democracy akan memperkecil kerusakan yang
ditimbulkan oleh pemerintah, serta pentingnya keberadaan klas menengah (middle class)
dan keberadaan kantor-kantor Pemerintah.
o Buku V
o Buku VII
o Buku VIII
Sedangkan definisi politik dan Ilmu Politik dari berbagai kamus adalah sebagai berikut:
Oxford Dictionaries
Merriam-Webster Dictionary
politics
activities that relate to influencing the actions and policies of a government or getting
and keeping power in a government
the work or job of people (such as elected officials) who are part of a government
the opinions that someone has about what should be done by governments : a person's
political thoughts and opinions
Origin of POLITICS
Suatu hal yang perlu dicatat bahwa pengertian keilmuan pada disiplin Ilmu Politik tidak
setara dengan Ilmu Pasti Alam. Gejala alam yang menjadi obyek IPA dapat sepenuhnya
dikontrol sehingga hasil eksperimennya dapat diprediksi secara sangat akurat. Sementara
obyek kajian Ilmu Politik adalah manusia yang eksistensinya –meliputi: fikiran, sikap, dan
tindakannya– bersifat sangat dinamis [dan tidak statis] sehingga mustahil dapat sepenuhnya
diprediksi.
Perkembangan Disiplin Ilmu Politik
Perbedaan sudut-pandang dalam memahami disiplin Ilmu Politik mengakibatkan adanya
beberapa versi dalam menentukan kapan Ilmu Politik mentas sebagai disiplin yang mandiri.
Secara umum, ilmu-pengetahuan berkembang melalui beberapa tahapan, mulai dari tahap
deskripsi/penggambaran (description) ke penjelasan (explanation) ke perkiraan (prediction).
Charles Merriam membagi perkembangan disiplin Ilmu Politik ke dalam empat periode:
1. Sebelum 1850 : Metode yang diterapkan bersifat deduktif dan a priori ~ dengan
pendekatan yang bersifat ‘normatif’
2. 1850 – 1900 : Menerapkan metode historis dan perbandingan
3. Sejak 1900 : Menerapkan metode pengukuran, survai, dan observasi
4. Sejak 1920-an : Mengadopsi dari studi psikologi, pendekatan behavioral
(perilaku) ke dalam lingkungan Ilmu Politik ~ sebagai upaya
untuk meningkatkan daya prediksi pada disiplin Ilmu Politik
Periodesasi Charles Merriam ini dikritisi oleh sarjana Eropa sebagai suatu yang bias –sangat
dipengaruhi– oleh tradisi Amerika dan agak mengabaikan gagasan-gagasan politik yang
berasal dari dunia non-Barat. Namun, Bernard Crick secara terbuka mengakui bahwa Ilmu
Politik sebagai disiplin akademik cabang dari Ilmu Sosial adalah memang merupakan
penemuan Amerika (pada pertengahan abad 19). Hanya saja perlu dicatat bahwa pasca
Perang Dunia II, gagasan-gagasan politik Amerika bertemu dengan gagasan-gagasan politik
dari negara-negara lainnya melalui wacana ‘demokrasi’ (democracy).
1
Dalam versi ‘Indonesiana,’ digunakan istilah ‘suprastruktur politik’ dan ‘infrastruktur politik’
untuk menjelaskan pengertian ‘struktur politik.’ Namun, pada kepustakaan ‘Political Science’ yang
menjadi rujukan masyarakat internasional, kedua istilah tersebut tidak lazim digunakan. Lihat box di
bawah yang membahas kedua istilah tersebut.
2
Lembaga Peradilan (Judiciary) lebih sering disebut sebagai lembaga hukum ketimbang lembaga
politik –meskipun lembaga Peradilan menjalankan kekuasaan negara (yaitu di bidang Yudikatif). Hal ini
lumrah untuk menghindari kontradiksi dalam pengertian karena lembaga peradilan diharapkan bekerja
untuk menegakkan aturan hukum secara independen dan terbebas dari intervensi kekuasaan/politik ~
meskipun dalam prakteknya kekuatan politik tidak hanya bekerja untuk mempengaruhi proses
pembentukan hukum/kebijakan publik dan pengimplementasiannya saja, melainkan juga berusaha untuk
mempengaruhi Putusan Hakim/Peradilan.
partai politik)– maupun non-lembaga politik kemasyarakatan (tapi yang menjalankan fungsi-
fungsi politik) –seperti: ormas (organisasi kemasyarakatan) [yang peduli terhadap politik],
media massa [sebagai alat komunikasi politik], kelompok kepentingan (interest group),
kelompok penekan (pressure group), tokoh-tokoh politik (termasuk tokoh-tokoh
masyarakat lainnya yang memiliki pengaruh politik, misalnya: tokoh-tokoh agama,
adat/daerah, nasional, militer, bisnis dls).
Jalinan hubungan yang melahirkan pola interaksi inter dan antar lembaga-lembaga politik
‘formal’ kenegaraan/pemerintahan dan lembaga/kelompok politik kemasyarakatan itulah
yang membentuk struktur politik.
Aktor politik bisa individu –tokoh-tokoh politik– dan bisa juga kelompok –yang berkiprah
pada lembaga-lembaga politik, baik di badan legislatif, kantor-kantor pemerintah, lembaga
peradilan, orsospol/parpol (organisasi sosial-politik/partai politik/political party) dan/atau
ormas (organisasi kemasyarakatan), organisasi kedaerahan (baik dalam lingkup lokal maupun
nasional), organisasi keagamaan, kelompok gender, kelompok profesi, korporasi, dsb.
‘Proses politik’ juga dapat digambarkan sebagai fase yang memediasi antara ‘input politik’
(political inputs) –yang berupa aspirasi politik masyarakat– hingga menjadi ‘output politik’
(political outputs) –yang berupa ketetepan/keputusan politik (political decisions), baik
yang berupa hukum (law) maupun kebijakan publik (public policy).
Pengelolaan kepentingan dapat dilakukan melalui pendekatan (lobby) dengan para pemegang
kekuasaan/pembuat kebijakan publik ~ istilah untuk mereka adalah kelompok pelobi
(lobbying group). Selain itu ada juga kelompok yang aktivitasnya memberi tekanan kepada
penguasa negara/pemerintahan agar mengakomodasi keinginan mereka. Kelompok ini
disebut dengan istilah kelompok penekan (pressure group).
Sistem Politik (Political System)
Untuk menggambarkan struktur dan fungsi politik, perlu dicermati perihal sistem, proses,
dan struktur kebijakan (policy structures) serta hubungan satu dengan yang lainnya.
Gambaran tentang krakteristik kebijakan (policy characteristics) bersama budaya politik
(political culture)3 dapat menjelaskan bagaimana bekerjanya sistem politik (political
system) ~ termasuk perubahannya dari waktu ke waktu serta perbandingannya dengan sistem
politik lainnya.
Urut-urutan pada uraian tersebut di atas dapat dibaca secara kebalikannya, sebagai-berikut:
Perilaku sebuah sistem politik dipengaruhi oleh budaya politik, dan dalam sebuah sistem
politik terdapat peran politik (baik yang dilakukan oleh lembaga-lembaga politik maupun
non-lembaga politik), proses politik, arena politik, aktor politik, fungsi politik dari
lembaga-lembaga politik maupun non-lembaga politik.
3
Aspek budaya politik merupakan konsekuensi logis atas keberadaan sistem politik dalam lingkungan
sistem sosial (social system) masyarakat.
Budaya politik adalah seperangkat sikap (attitudes), keyakinan (beliefs), dan sentimen (sentiments)
yang menata dan memaknai proses politik serta menyediakan asumsi dasar dan aturan berperilaku dalam
suatu sistem politik. Budaya politik mencakup sekaligus gagasan-gagasan politik dan opersionalisasi
norma-norma pemerintahan (polity). Budaya politik merupakan wujud politik dari dimensi-dimensi
psikologis dan subyektif. Budaya politik merupakan produk dari sejarah kebersamaan (collective history)
sebuah sistem politik dan sejarah kehidupan (life histories) masyarakat pendukung sistem politik tersebut
~ yang berakar pada peristiwa-peristiwa publik dan pengalaman-pengalaman pribadi anggota masyarakat.
Ulasan tentang penggunaan istilah ‘suprastruktur politik’ dan ‘infrastruktur politik’
Dalam berbagai tulisan tentang Ilmu Politik di tanah-air dijumpai penjelasan tentang ‘struktur
politik’ yang dibedakan ke dalam dua suasana, yaitu: (1) ‘suprastruktur politik’ –dalam arti
struktur politik dalam suasana pemerintahan (yang meliputi lembaga-lembaga negara/
pemerintah)– dan (2) ‘infrastruktur politik’ –dalam arti suasana kehidupan politik pada
masyarakat atau kekuatan politik riil pada masyarakat atau disebut juga ‘bangunan politik
bawah.’ Namun, penggunaan istilah ‘political superstructure’ dan ‘political infrastructure’
untuk menjelaskan fenomena ‘political structure’ suatu yang tidak lazim ditemukan dalam
kepustakaan internasional ‘Political Science.’
Mungkin saja ‘infrastruktur politik’ digunakan sebagai istilah yang dirujuk ke pengertian
‘perangkat dasar politik’ ~ yang dibutuhkan untuk berjalannya sebuah ‘sistem politik.’
Masalahnya, karena tidak ditemukan uraian tentang terminologi ‘political infrastructure’ dalam
perbendaharaan peristilahan Political Science, apa yang dimaksud dengan ‘perangkat dasar
politik’ tersebut tidak musti mengacu ke suasana kehidupan politik pada masyarakat.
Bahkan, boleh jadi pengertiannya justru sebaliknya, yakni merujuk ke lembaga-lembaga
[politik] kenegaraan/pemerintahan ~ sebagai lembaga-lembaga utama penyelenggara
kekuasaan negara/pemerintah. [Sebagaimana ‘public infrastructure’ ~ seperti: jalanan, listrik, air
dst ~ lazimnya dikenali sebagai domain kegiatan ‘Public Works’ (Pekerjaan Umum) yang
diselenggarakan oleh Pemerintah].
Almond, Gabriel A. & G. Bingham Powell, Jr. (1978), Comparative Politics (2nd Edition),
Boston/Toronto: Little Brown & Co.
Ishiyama, John T. & Marijke Breuning, Editors (2013), 21st Century Political Science: A
Reference Handbook/Ilmu Politik dalam pradigma Abad Ke-21: Sebuah Referensi
Panduan Tematis (Penterjemah: Ahmad Fedyani Saifuddin), Jakarta: Kencana Prenada
Media Group
Norris, Robert E. & L. Lloyd Haring (1980), Political Geography, Columbus, Ohio: Charles
E. Merrill Publishing Co. / A Bell & Howell Co.
Rowe, Christopher & Malcolm Schofield (Cetakan 1, Agustus 2001), The Cambridge History
of Greek and Roman Political Thought/Sejarah Pemikiran Politik Yunani dan Romawi,
(Penterjemah: Aris Ananda, Setyo hermanto, Tri Wibowo Budi Santoso), Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Strum, Philippa & Michael Shmidman (1969), On Studying Political Science, Pacific
Palisade, California: Goodyear Publishing Co. Inc.