Anda di halaman 1dari 15

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

FAKULTAS HUKUM

PENGANTAR ILMU POLITIK

IKHTISAR PERKULIAHAN

(1) DISIPLIN ILMU POLITIK

Disusun oleh:

LAUREL HEYDIR

(LHeydir@gmail.com)
Pendahuluan
Kehidupan merupakan sebuah kompleksitas multi aspek. Berbagai aspek kehidupan saling
bersentuhan satu dengan yang lainnya. Demikian pula fenomena hukum yang secara empiris (di
dunia nyata) saling berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan lainnya seperti aspek
masyarakat, budaya, ekonomi, dan seterusnya termasuk aspek politik.

“Ubi societas, ibi ius” (di mana ada masyarakat, di situ ada hukum) adalah ungkapan masyhur
Aristoteles untuk menunjukkan begitu eratnya hubungan antara fenomena hukum dan
masyarakat. Seperti sekeping mata uang dengan dua wajah (pada kedua sisinya) yang meskipun
berbeda namun keduanya tidak terpisahkan. Demikian juga hubungan timbal-balik antara
fenomena hukum dan kebudayaan: bahwa hukum adalah salah satu wujud budaya dan,
sebaliknya, bahwa pada setiap budaya selalu ada unsur hukumnya, yakni suatu yang bersifat
normative—memaksa untuk ditaati.

John Stuart Mill dari kacamata ekonomi mendeskripsikan manusia sebagai homo economicus
(makhluk ekonomi). Maksudnya, manusia adalah makhluk yang selalu peduli dengan mata
pencariannya—untuk mempertahankan keberlangsungan hidupnya. Senada dengan itu adalah
deskripsi tentang manusia sebagai makhluk politik. Aristoteles, mengutip gurunya (Plato),
menyebut manusia sebagai zōon politikon. Dalam konteks ini, aspek politik bukan hanya
bersandingan dengan aspek hukum, bahkan di dalam fenomena hukum ada juga aspek
politiknya—mulai dari pembentukan aturan hukum, penerapannya, hingga peradilan terhadap
pelanggaran aturan-aturan hukum ada unsur politiknya.

Hubungan Ilmu Politik dengan Ilmu Hukum juga sangat erat. Dalam sejarahnya, disiplin Ilmu
Politik itu mentas dari Fakultas Hukum. Sehingga, lumrah saja Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
di Universitas Sriwijaya juga berasal dari program studi dalam Fakultas Hukum Universitas
Sriwijaya. Adapun di antara hal yang menyulut pendirian Ilmu Politik ke luar dari lingkungan
Ilmu Hukum lantaran pendekatan Ilmu Hukum dinilai konservatif dan tidak/kurang responsif
terhadap berbagai perubahan yang terjadi dalam kehidupan nyata masyarakat yang sangat
dinamis itu.

Kedekatan Ilmu Politik dengan Ilmu Hukum terutama pada program kekhususan Hukum Tata
Negara. Dapat dikatakan bahwa apa yang diatur dalam Hukum Tata Negara pada dasarnya
adalah perilaku politik. Namun, mahasiswa Ilmu Hukum tidak mempelajari Ilmu Politik untuk
menjadi ilmuwan politik, melainkan sekedar untuk memperoleh pengetahuan dasar tentang
fenomena politik dan mengenali keterkaitannya dengan fenomena hukum.

Adapun pada ikhtisar perkuliahan yang pertama ini yang dibahas adalah kelahiran disiplin Ilmu
Politik dan fase awal perkembangan keilmuannya.

Pengertian Politik
 Aristoteles (384 – 322 SM) adalah cendekiawan pertama yang menulis tentang politik.
Karyanya yang berjudul, ‘Politika’ mengulas tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan
kewarga-negaraan (civil, civic).
 Politika = affairs of the cities
 Politikos dalam Bahasa Yunani berarti sesuatu yang berkaitan dengan negara/kota (polis)

Aristotle (384 – 322 SM)

Politika adalah serial dari 8 buku Aristoteles yang membahas:

o Buku I

Tujuan kota (polis), bagaimana kehidupan kota, manusia sebagai makhluk politik (politik
masyarakat/koinōnia politikē/political community), perbudakan dan rumah-tangga
(oikonomike) ~ yang membahas perihal perempuan/istri dan anak-anak.

o Buku II

Dimulai dengan mengkritisi teori Plato dalam kedua buku karyanya –Republik (The
Republic) dan Hukum (The Laws)– yang membahas tentang rezim/pemerintahan,
kemudian teori-teori sistem [pemerintahan] yang diulas oleh filsuf Phaleas dan
Hippodamus, kemudian Aristoteles memaparkan hasil pengamatannya tentang bentuk
hubungan yang baik/ideal antara warga dengan pemerintahan dan dewan
permusyawaratan (legislators) kota pada tiga rezim, yaitu: Spartan, Cretan, dan
Carthaginian.
Plato (424/423 – 348/347 SM)

o Buku III

Membahas tentang siapa warga (citizen) dan bahwa warga kota (polis) sebagai manusia
yang berakhlak baik sehingga pada dasarnya semua warga dapat berpartisipasi dalam
proses pemerintahan. Pendapat Aristoteles tersebut berbeda dengan gurunya (Plato) yang
berpendapat karena tidak semua warga masyarakat memiliki kemampuan untuk membuat
pertimbangan secara bijaksana, maka hanya segelintir pemikir/filsuf saja yang layak
untuk berpartisipasi dalam dewan pertimbangan dan peradilan.

o Buku IV

Membahas tentang klasifikasi konstitusi, peran teori politik, mengapa ada beberapa jenis
konstitusi, beberapa jenis demokrasi, beberapa jenis oligarki, keberadaan polity –
pemerintahan konstitusional (constitutional government)– sebagai bentuk pemerintahan
yang terbaik dan manakala polity menjadi democracy akan memperkecil kerusakan yang
ditimbulkan oleh pemerintah, serta pentingnya keberadaan klas menengah (middle class)
dan keberadaan kantor-kantor Pemerintah.

o Buku V

Membahas tentang konflik antara golongan kaya dan miskin, perubahan/revolusi


konstitusi, ketidakstabilan pemerintahan tangan-besi (tyrannies) dan cara-cara untuk
mempertahankan konstitusi dan keberlanjutan rezim/pemerintahan.
o Buku VI

Membahas tentang beberapa jenis demokrasi (democracy), konstitusi yang demokratis


(democratic constitution), konstitusi yang oligarki (oligarchic constitution), bentuk
demokrasi yang terbaik, dan peranan kesejahteraan dalam demokrasi.

o Buku VII

Membahas tentang rezim/pemerintahan dan kehidupan warga yang ideal serta


karakteristik kota yang ideal.

o Buku VIII

Membahas tentang pendidikan bagi generasi muda.

Sedangkan definisi politik dan Ilmu Politik dari berbagai kamus adalah sebagai berikut:

 Oxford Dictionaries

Definition of politics in English:


1. The activities associated with the governance of a country or area, especially the debate
between parties having power
1.1. The activities of governments concerning the political relations between states
1.2. The academic study of government and the state
1.3. A particular set of political beliefs or principles
1.4. The principles relating to or inherent in a sphere or activity, especially when
concerned with power and status
2. Activities aimed at improving someone’s status or increasing power within an
organization

 Merriam-Webster Dictionary

politics

 activities that relate to influencing the actions and policies of a government or getting
and keeping power in a government
 the work or job of people (such as elected officials) who are part of a government
 the opinions that someone has about what should be done by governments : a person's
political thoughts and opinions

Full Definition of POLITICS

1. a: the art or science of government


b: the art or science concerned with guiding or influencing governmental policy
c: the art or science concerned with winning and holding control over a government
2. political actions, practices, or policies
3. a: political affairs or business; especially: competition between competing interest
groups or individuals for power and leadership (as in a government)
b: political life especially as a principal activity or profession
c: political activities characterized by artful and often dishonest practices
4. the political opinions or sympathies of a person
5. a: the total complex of relations between people living in society
b: relations or conduct in a particular area of experience especially as seen or dealt with
from a political point of view <office politics> <ethnic politics>

Origin of POLITICS

Greek politika, from neuter plural of politikos political


First Known Use: circa 1529

 Kamus Besar Bahasa Indonesia

politik /po·li·tik/ n 1 (pengetahuan) mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (spt tt sistem


pemerintahan, dasar pemerintahan); 2 segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dsb)
mengenai pemerintahan negara atau thd negara lain; 3 cara bertindak (dl menghadapi atau
menangani suatu masalah); kebijaksanaan;

Disiplin Ilmu Politik


 Kajian terhadap gejala politik baru berpredikat sebagai ‘Ilmu Politik’ manakala dilakukan
dengan mengikuti prinsip-prinsip keilmuan, antara lain:
o Dengan menerapkan metode ilmiah (scientific methods) dalam menghimpun bukti-bukti
yang bersifat empiris (empirical evidences)
o Dengan menerapkan metode ilmiah dalam memproses dan menganalisis bukti-bukti
empiris yang diperoleh ~ sehingga setiap orang yang menerapkan prosedur analisis yang
sama akan mencapai kesimpulan yang sama pula
o Hasil kajian ilmiah disampaikan secara apa adanya tanpa terhalangi/terpengaruh oleh
posisi keberpihakan dan/atau keyakinan/anutan terhadap nilai-nilai tertentu

Suatu hal yang perlu dicatat bahwa pengertian keilmuan pada disiplin Ilmu Politik tidak
setara dengan Ilmu Pasti Alam. Gejala alam yang menjadi obyek IPA dapat sepenuhnya
dikontrol sehingga hasil eksperimennya dapat diprediksi secara sangat akurat. Sementara
obyek kajian Ilmu Politik adalah manusia yang eksistensinya –meliputi: fikiran, sikap, dan
tindakannya– bersifat sangat dinamis [dan tidak statis] sehingga mustahil dapat sepenuhnya
diprediksi.
Perkembangan Disiplin Ilmu Politik
 Perbedaan sudut-pandang dalam memahami disiplin Ilmu Politik mengakibatkan adanya
beberapa versi dalam menentukan kapan Ilmu Politik mentas sebagai disiplin yang mandiri.

Menurut James Farr (1998):


o Sebagai sebuah ‘studi empiris’ (empirical studies) eksistensi Ilmu Politik dimulai oleh
Aristoteles pada zaman Yunani kuno
o Dalam konteks real politic, karya realis Niccolò Machiavelli pada zaman renaisans
(renaissance) di Italia yang mengobservasi secara langsung lembaga-lembaga dan para
aktor politik menandai awal eksistensi Ilmu Politik
o Sekalangan sarjana menyebutkan Thomas Hobbes yang hidup pada masa pencerahan
(enlightenment) dan terkenal dengan teori kontrak sosial (social contract) itu sebagai
perintis Ilmu Politik modern karena kajiannya mencakup interaksi antara negara dan
masyarakat (state–society relations)
o Sedangkan dari perspektif kajian akademik/ilmiah, David Hume dan era pencerahan
Skotlandia (Scotland) dipandang sebagai tonggak berdirinya Ilmu Politik modern

Aristotle Niccolò Machiavelli Thomas Hobbes David Hume


(384-322 SM) (1469-1527) (1588-1679) (1711-1776)

 Secara umum, ilmu-pengetahuan berkembang melalui beberapa tahapan, mulai dari tahap
deskripsi/penggambaran (description) ke penjelasan (explanation) ke perkiraan (prediction).

Charles Merriam membagi perkembangan disiplin Ilmu Politik ke dalam empat periode:
1. Sebelum 1850 : Metode yang diterapkan bersifat deduktif dan a priori ~ dengan
pendekatan yang bersifat ‘normatif’
2. 1850 – 1900 : Menerapkan metode historis dan perbandingan
3. Sejak 1900 : Menerapkan metode pengukuran, survai, dan observasi
4. Sejak 1920-an : Mengadopsi dari studi psikologi, pendekatan behavioral
(perilaku) ke dalam lingkungan Ilmu Politik ~ sebagai upaya
untuk meningkatkan daya prediksi pada disiplin Ilmu Politik
Periodesasi Charles Merriam ini dikritisi oleh sarjana Eropa sebagai suatu yang bias –sangat
dipengaruhi– oleh tradisi Amerika dan agak mengabaikan gagasan-gagasan politik yang
berasal dari dunia non-Barat. Namun, Bernard Crick secara terbuka mengakui bahwa Ilmu
Politik sebagai disiplin akademik cabang dari Ilmu Sosial adalah memang merupakan
penemuan Amerika (pada pertengahan abad 19). Hanya saja perlu dicatat bahwa pasca
Perang Dunia II, gagasan-gagasan politik Amerika bertemu dengan gagasan-gagasan politik
dari negara-negara lainnya melalui wacana ‘demokrasi’ (democracy).

Obyek Kajian Ilmu Politik


Dengan menguraikan apa saja yang menjadi obyek kajian disiplin Ilmu Politik (sebagaimana
uraian di bawah ini), diharapkan mahasiswa bisa memperoleh gambaran yang lebih memadai
tentang sosok disiplin Ilmu Politik.

 Struktur Politik (Political Structure)1

Merujuk ke hubungan dan pola interaksi antara lembaga-lembaga (institutions) dan/atau


kelompok-kelompok (groups) dalam sebuah sistem politik (political system) yang
membentuk lanskap politik (political landscape) –‘wajah’ perpolitikan– [di suatu wilayah]
atas segenap entitas politik (political entities) –unit-unit politik– [di wilayah tersebut].

Lembaga-lembaga politik ‘formal’ adalah lembaga-lembaga penyelenggara kekuasaan


negara/pemerintahan. Instrumen utama yang dikenal secara umum adalah lembaga
Pemerintah (Government) –termasuk birokrasi (bureaucracy)– dan lembaga Perwakilan
Rakyat/Parlemen (Parliament) serta lembaga Peradilan (Judiciary).2 Selanjutnya,
masing-masing negara membentuk lembaga-lembaga kenegaraan/pemerintahannya sendiri-
sendiri untuk menyelenggarakan kekuasaan negara/pemerintahan di bidang-bidang tertentu
sesuai dengan kebutuhan masing-masing negara ~ sehingga corak kelembagaan negara/
pemerintahan bervariasi di antara satu negara dengan negara lainnya.

Selain lembaga-lembaga politik ‘formal’ kenegaraan/pemerintahan, juga ada kelompok-


kelompok kemasyarakatan yang memiliki fungsi-fungsi politik ~ termasuk lembaga-
lembaga politik kemasyarakatan –terutama orsospol/parpol (organisasi sosial-politik/

1
Dalam versi ‘Indonesiana,’ digunakan istilah ‘suprastruktur politik’ dan ‘infrastruktur politik’
untuk menjelaskan pengertian ‘struktur politik.’ Namun, pada kepustakaan ‘Political Science’ yang
menjadi rujukan masyarakat internasional, kedua istilah tersebut tidak lazim digunakan. Lihat box di
bawah yang membahas kedua istilah tersebut.
2
Lembaga Peradilan (Judiciary) lebih sering disebut sebagai lembaga hukum ketimbang lembaga
politik –meskipun lembaga Peradilan menjalankan kekuasaan negara (yaitu di bidang Yudikatif). Hal ini
lumrah untuk menghindari kontradiksi dalam pengertian karena lembaga peradilan diharapkan bekerja
untuk menegakkan aturan hukum secara independen dan terbebas dari intervensi kekuasaan/politik ~
meskipun dalam prakteknya kekuatan politik tidak hanya bekerja untuk mempengaruhi proses
pembentukan hukum/kebijakan publik dan pengimplementasiannya saja, melainkan juga berusaha untuk
mempengaruhi Putusan Hakim/Peradilan.
partai politik)– maupun non-lembaga politik kemasyarakatan (tapi yang menjalankan fungsi-
fungsi politik) –seperti: ormas (organisasi kemasyarakatan) [yang peduli terhadap politik],
media massa [sebagai alat komunikasi politik], kelompok kepentingan (interest group),
kelompok penekan (pressure group), tokoh-tokoh politik (termasuk tokoh-tokoh
masyarakat lainnya yang memiliki pengaruh politik, misalnya: tokoh-tokoh agama,
adat/daerah, nasional, militer, bisnis dls).

Jalinan hubungan yang melahirkan pola interaksi inter dan antar lembaga-lembaga politik
‘formal’ kenegaraan/pemerintahan dan lembaga/kelompok politik kemasyarakatan itulah
yang membentuk struktur politik.

 Fungsi Politik (Political Functions)


Lembaga-lembaga politik memiliki tujuan tertentu (specialized political goals) dan
peran politik (political roles) lembaga-lembaga tersebut adalah mengartikulasikan
kepentingan politik (political interests) mereka masing-masing ~ khususnya dalam
mempengaruhi proses pembentukan aturan hukum/kebijakan publik (bahkan mungkin juga
berusaha mempengaruhi Putusan Hakim/Peradilan).

Di luar lembaga-lembaga politik kenegaraan/pemerintahan, juga ada non-lembaga politik


yang menyelenggarakan fungsi politik. Misalnya, ‘keluarga’ memiliki peran sosialisasi
politik (political socialization) seperti mengkondisikan anggota keluarga untuk memberikan
suara (votes) pada pilihan-pilihan tertentu sewaktu Pemilu dan/atau pada pemungutan suara
lainnya –seperti referendum, dls– meskipun keluarga bukanlah lembaga politik. LSM/
Lembaga Swadaya Masyarakat (NGO/Non-Government Organization) berada di luar
struktur negara/pemerintahan namun menjalankan fungsi-fungsi politik – yang lazimnya
dimanifestasikan dalam bentuk tekanan politik (political pressure).

 Aktor Politik (Political Actors)


Aristoteles menyebutkan manusia adalah ‘zoon politikon’ (makhluk politik/political
animal) sehingga pada dasarnya semua manusia berpotensi sebagai aktor politik. Namun,
yang lazimnya disebut sebagai aktor politik adalah mereka yang kegiatan politiknya sangat
intens, yakni mereka yang menceburkan diri ke kancah politik ~ dalam arti berkiprah secara
aktif untuk ikut-serta mempengaruhi proses pengambilan keputusan (decision making
processes) pada pembentukan hukum/kebijakan publik (public policies).

Aktor politik bisa individu –tokoh-tokoh politik– dan bisa juga kelompok –yang berkiprah
pada lembaga-lembaga politik, baik di badan legislatif, kantor-kantor pemerintah, lembaga
peradilan, orsospol/parpol (organisasi sosial-politik/partai politik/political party) dan/atau
ormas (organisasi kemasyarakatan), organisasi kedaerahan (baik dalam lingkup lokal maupun
nasional), organisasi keagamaan, kelompok gender, kelompok profesi, korporasi, dsb.

 Arena Politik (Political Arena/Political Sphere)


Adalah arena di mana terdapat gejala politik (political phenomenon/phenomena) yang berupa
kegiatan/aksi politik (political activities/actions) ~ yang lazimnya berlangsung di wilayah
politik (political territory) tertentu (seperti: pemerintahan kota, provinsi, dan/atau negara).
Termasuk ke dalam arena politik adalah Pemilu, kompetisi dalam ‘perebutan’ jabatan-jabatan
publik, dan pengambilan keputusan (voting) pada proses pembentukan aturan hukum/
kebijakan negara/pemerintah.

 Proses Politik (Political Processes)


Secara umum adalah segenap prosedur yang mengatur tentang partisipasi politik (political
participation). Misalnya, dalam Pemilu diatur prosedur untuk pengisian jabatan-jabatan
publik melalui pemberian suara (voting system) oleh rakyat pemilih. Contoh lainnya adalah
prosedur yang harus dilalui pada pembentukan aturan hukum/kebijakan negara/pemerintah.

‘Proses politik’ juga dapat digambarkan sebagai fase yang memediasi antara ‘input politik’
(political inputs) –yang berupa aspirasi politik masyarakat– hingga menjadi ‘output politik’
(political outputs) –yang berupa ketetepan/keputusan politik (political decisions), baik
yang berupa hukum (law) maupun kebijakan publik (public policy).

 Peran Politik (Political Roles)


Peran politik merujuk pada berbagai bentuk kegiatan/aksi politik ~ yakni yang berkaitan
dengan [penyelenggaraan] kekuasaan negara/pemerintahan. Dalam pengertian ini, Gabriel A.
Almond menyebutkan Hakim yang menjalankan tugasnya di persidangan adalah juga sedang
menjalankan peran politiknya ~ sebagai Hakim di Pengadilan. Peran politik yang sangat
kentara adalah saat menjelang Pemilu yang berupa berbagai usaha lembaga/kelompok untuk
mengumpulkan suara (vote gathering).

Peran utama lembaga-lembaga politik adalah mengartikulasikan kepentingan politik mereka.


Di luar lembaga-lembaga politik [formal], terdapat berbagai kelompok yang juga memiliki
kepentingan-kepentingan politik tertentu. Kelompok tersebut dinamakan kelompok
kepentingan (interest group). Berbeda dengan partai politik yang berusaha untuk
menempatkan wakil-wakil mereka di lembaga perwakilan rakyat/daerah maupun ikut-serta
dalam memperebutkan jabatan-jabatan di lembaga pemerintahan, kelompok kepentingan
cukup berjuang untuk mempengaruhi lembaga-lembaga politik yang ada agar keputusan-
keputusan yang dibuat oleh lembaga-lembaga politik tersebut menguntungkan dan/atau tidak
merugikan kepentingan mereka.

Pengelolaan kepentingan dapat dilakukan melalui pendekatan (lobby) dengan para pemegang
kekuasaan/pembuat kebijakan publik ~ istilah untuk mereka adalah kelompok pelobi
(lobbying group). Selain itu ada juga kelompok yang aktivitasnya memberi tekanan kepada
penguasa negara/pemerintahan agar mengakomodasi keinginan mereka. Kelompok ini
disebut dengan istilah kelompok penekan (pressure group).
 Sistem Politik (Political System)
Untuk menggambarkan struktur dan fungsi politik, perlu dicermati perihal sistem, proses,
dan struktur kebijakan (policy structures) serta hubungan satu dengan yang lainnya.
Gambaran tentang krakteristik kebijakan (policy characteristics) bersama budaya politik
(political culture)3 dapat menjelaskan bagaimana bekerjanya sistem politik (political
system) ~ termasuk perubahannya dari waktu ke waktu serta perbandingannya dengan sistem
politik lainnya.

Urut-urutan pada uraian tersebut di atas dapat dibaca secara kebalikannya, sebagai-berikut:

Perilaku sebuah sistem politik dipengaruhi oleh budaya politik, dan dalam sebuah sistem
politik terdapat peran politik (baik yang dilakukan oleh lembaga-lembaga politik maupun
non-lembaga politik), proses politik, arena politik, aktor politik, fungsi politik dari
lembaga-lembaga politik maupun non-lembaga politik.

3
Aspek budaya politik merupakan konsekuensi logis atas keberadaan sistem politik dalam lingkungan
sistem sosial (social system) masyarakat.
Budaya politik adalah seperangkat sikap (attitudes), keyakinan (beliefs), dan sentimen (sentiments)
yang menata dan memaknai proses politik serta menyediakan asumsi dasar dan aturan berperilaku dalam
suatu sistem politik. Budaya politik mencakup sekaligus gagasan-gagasan politik dan opersionalisasi
norma-norma pemerintahan (polity). Budaya politik merupakan wujud politik dari dimensi-dimensi
psikologis dan subyektif. Budaya politik merupakan produk dari sejarah kebersamaan (collective history)
sebuah sistem politik dan sejarah kehidupan (life histories) masyarakat pendukung sistem politik tersebut
~ yang berakar pada peristiwa-peristiwa publik dan pengalaman-pengalaman pribadi anggota masyarakat.
Ulasan tentang penggunaan istilah ‘suprastruktur politik’ dan ‘infrastruktur politik’

Dalam berbagai tulisan tentang Ilmu Politik di tanah-air dijumpai penjelasan tentang ‘struktur
politik’ yang dibedakan ke dalam dua suasana, yaitu: (1) ‘suprastruktur politik’ –dalam arti
struktur politik dalam suasana pemerintahan (yang meliputi lembaga-lembaga negara/
pemerintah)– dan (2) ‘infrastruktur politik’ –dalam arti suasana kehidupan politik pada
masyarakat atau kekuatan politik riil pada masyarakat atau disebut juga ‘bangunan politik
bawah.’ Namun, penggunaan istilah ‘political superstructure’ dan ‘political infrastructure’
untuk menjelaskan fenomena ‘political structure’ suatu yang tidak lazim ditemukan dalam
kepustakaan internasional ‘Political Science.’

Penggunaan terminologi ‘superstructure’ ditemui dalam teori Marxisme. Menurut Marx,


masyarakat manusia terdiri dari dua bagian, yaitu ‘base’ (dasar) dan ‘superstructure’
(suprastruktur). Bagian ‘dasar’ meliputi ‘alat-alat produksi’ (means of production) dan
‘hubungan-hubungan produksi’ (relations of production), yakni hubungan-hubungan
langsung masyarakat yang berkaitan dengan kegiatan untuk memproduksi barang-barang
ekonomi/material dalam rangka memenuhi kebutuhan/fasilitas hidup manusia.

Hubungan-hubungan antar masyarakat pada bagian ‘dasar’ tersebut melahirkan struktur


atasan ‘superstructure’ (suprastruktur), yang berupa gagasan-gagasan dan hubungan-
hubungan lainnya yang tidak langsung berkaitan dengan produksi yang meliputi bangunan
kelembagaan yang saling tergantung satu dengan yang lainnya (interdependent agencies),
seperti: seni (art), keluarga (family), budaya (culture), upacara/agama (rituals/religion),
falsafah (philosophy), ideologi (ideologies), negara (state), lembaga hukum dan politik (legal
& political institutions) –termasuk struktur kekuasaan politik (political power structures)–
media, ilmu-pengetahuan (science), pendidikan (education).
Hubungan antara bagian ‘dasar’ dan bagian ‘suprastruktur’ seperti spiral yang bergulir,
yakni bagian ‘dasar’ membentuk (shape) ‘suprastruktur’ dan selanjutnya bagian ‘suprastruktur’
menata (maintain) bagian ‘dasar.’ Namun, yang dominan adalah bagian ‘dasar’ karena otonomi
masing-masing lembaga pada ‘suprastruktur’ merupakan perwujudan dari produksi ekonomi
atau produk dari bagian ‘dasar’ (each institutions within the superstructure possessing some
autonomy but remaining products of the dominant mode of economic production).

Kembali ke persoalan penggunaan peristilahan, dalam teori Marxisme, ‘infrastructure’


bukanlah istilah yang digunakan sebagai padanan ‘superstructure’ ~ melainkan ‘base’ yang
merupakan istilah yang digunakan sebagai padanan ‘superstructure.’ Kemudian, karena tidak
ditemukan penggunaan istilah ‘political superstructure’ pada khazanah Political Science, maka
uraian pengertian tentang apa yang dimaksud dengan ‘suprastruktur politik’ tidak terverifikasi
secara akademis. Mungkin saja ada benarnya memberi arti pada ‘suprastruktur politik’ sebagai
‘suasana politik pemerintahan’ dengan nalar bahwa ‘pemerintahan’ berada pada tataran
gagasan ~berarti: ‘suprastruktur’~ yang keberadaannya setara dengan ‘lembaga politik’
(political institution). Meskipun, penggunaan istilah ‘suprastruktur politik’ juga menimbulkan
kerancuan karena dalam teori Marxisme, ‘political institution’ (lembaga politik) merupakan
bagian dari ‘superstructure’ ~ sehingga penggunaan istilah ‘political superstructure’
mengesankan sebagai sub dari ‘superstructure’ (yang tidak dikenal dalam teori Marxisme).

Sedangkan istilah ‘infrastruktur politik’ tampaknya dipengaruhi oleh bidang konstruksi ~


semisal istilah: public infrastructure. Konotasi ‘infrastruktur’ merujuk ke ‘perangkat dasar’
yang berupa struktur kelembagaan dan bersifat fisik ~ yang dibutuhkan sebagai penunjang
keberlangsungan kehidupan masyarakat atau dunia usaha ~ semisal pelayanan dan fasilitas
penting untuk menjalankan fungsi perekonomian. Dengan kata lain, infrastruktur merupakan
elemen dasar sebagai penunjang terhadap keseluruhan struktur pembangunan (structure of
development).

Mungkin saja ‘infrastruktur politik’ digunakan sebagai istilah yang dirujuk ke pengertian
‘perangkat dasar politik’ ~ yang dibutuhkan untuk berjalannya sebuah ‘sistem politik.’
Masalahnya, karena tidak ditemukan uraian tentang terminologi ‘political infrastructure’ dalam
perbendaharaan peristilahan Political Science, apa yang dimaksud dengan ‘perangkat dasar
politik’ tersebut tidak musti mengacu ke suasana kehidupan politik pada masyarakat.
Bahkan, boleh jadi pengertiannya justru sebaliknya, yakni merujuk ke lembaga-lembaga
[politik] kenegaraan/pemerintahan ~ sebagai lembaga-lembaga utama penyelenggara
kekuasaan negara/pemerintah. [Sebagaimana ‘public infrastructure’ ~ seperti: jalanan, listrik, air
dst ~ lazimnya dikenali sebagai domain kegiatan ‘Public Works’ (Pekerjaan Umum) yang
diselenggarakan oleh Pemerintah].

Ditengarai padanan istilah ‘infrastruktur’ dan ‘suprastruktur’ [politik] tersebut lazimnya


digunakan pada literatur non-Jerman dan kekeliruan dalam penggunaan peristilahan tersebut
menjurus pada praktek ‘malapropism’ atau ‘Dogberryism’ ~ yakni: penggunaan kata/istilah
yang tidak tepat (incorrect/inappropriate) sehingga menerbitkan konsepsi yang samar (vague).

 TUGAS: Membaca dan merangkum “Jenis-jenis Sistem Politik” (Typology of


Political Systems) karya Gabriel A. Almond

Gabriel Abraham Almond


(1911 – 2002)
Gabriel A. Almond (1978) melakukan perbandingan sistem politik (comparative
political systems) dari beberapa negara dan membuat tipologi sistem politik yang
berupa bagan yang menggambarkan jenis-jenis sistem politik dari beberapa negara di
dunia yang diperbandingkannya.

Email rangkuman ‘tipologi sistem politik’ tersebut ke:


 LHeydir@gmail.com
Referensi

Almond, Gabriel A. & G. Bingham Powell, Jr. (1978), Comparative Politics (2nd Edition),
Boston/Toronto: Little Brown & Co.

Ishiyama, John T. & Marijke Breuning, Editors (2013), 21st Century Political Science: A
Reference Handbook/Ilmu Politik dalam pradigma Abad Ke-21: Sebuah Referensi
Panduan Tematis (Penterjemah: Ahmad Fedyani Saifuddin), Jakarta: Kencana Prenada
Media Group

Norris, Robert E. & L. Lloyd Haring (1980), Political Geography, Columbus, Ohio: Charles
E. Merrill Publishing Co. / A Bell & Howell Co.

Rowe, Christopher & Malcolm Schofield (Cetakan 1, Agustus 2001), The Cambridge History
of Greek and Roman Political Thought/Sejarah Pemikiran Politik Yunani dan Romawi,
(Penterjemah: Aris Ananda, Setyo hermanto, Tri Wibowo Budi Santoso), Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.

Strum, Philippa & Michael Shmidman (1969), On Studying Political Science, Pacific
Palisade, California: Goodyear Publishing Co. Inc.

Beberapa kata-kunci (keywords) untuk referensi online, antara lain:


 Politics
 Political Science
 Political: ~ actors; ~ arena; ~ culture; ~ function; ~ institutions; ~ participation; ~
party; ~ process; ~ roles; ~ socialization; ~ sphere; ~ structure; ~ system;

Anda mungkin juga menyukai