Anda di halaman 1dari 22

Referat

KEKERASAN SEKSUAL DALAM KUHP


VS RKUHP

Disusun oleh :
Aini Septiani, S.Ked
Dewi Laila Azhar, S.Ked
Wahyu Hidayat, S.Ked

Pembimbing :
Prof.Dr.dr Dedi Afandi, DFM,Sp.FM (K)

KEPANITRAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RUMAH SAKIT BHAYANGKARA
PEKANBARU
2019
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT karena atas
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan referat ini yang diajukan sebagai
salah satu syarat untuk ujian Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Riau. Adapun judul referat ini adalah
“Kekerasan Seksual dalam KHUP vs RKHUP”.
Terimakasih penulis ucapkan yang sebesar-besarnya kepada Prof.Dr.dr Dedi
Afandi, DFM,Sp.FM (K) yang telah bersedia meluangkan waktu untuk membimbing
penulis dalak meenyelesaikan referat ini. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak untuk kesempurnaan penulisan referat ini. Semoga referat
ini dapat bermanfaat dan dapat menambah wawasan di bidang Ilmu Kedokteran
Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Riau.

Pekanbaru, Oktober 2019

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1


1.1 Latar belakang ................................................................................. 1
1.1 Rumusan masalah ............................................................................ 2
1.2 Tujuan penulisan ............................................................................. 2
1.2.1 Tujuan umum......................................................................... 2
1.2.2 Tujuan khusus ........................................................................ 2
1.3 Manfaat penulisan............................................................................ 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 4


2.1 Definisi kekerasan seksual............................................................... 4
2.2 Jenis kekerasan seksual ................................................................... 4
2.3 kekerasan seksual dalam KUHP vs RKUHP................................... 11

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 30


3.1 Kesimpulan ...................................................................................... 30
3.2 Saran ............................................................................................. 30

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 32


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kekerasan seksual merupakan kejahatan yang universal. Kejahatan ini
dapat ditemukan di seluruh dunia pada tiap tingkatan masyarakat, tidak
memandang usia maupun jenis kelamin. Besar insiden yang dilaporkan di setiap
Negara berbeda-beda. Sebuah penelitian di Amerika pada tahun 2006 (National
Violance against Women Survey) melaporkan bahwa 17,6% responden wanita
dan 3% responden pria pernah mengalami kekerasan seksual, beberapa
diantaranya bahkan lebih dari satu kali sepanjang hidup mereka. Dari jumlah
tersebut hanya sekitar 25% yang pernah membuat laporan polisi.1
Pravelensi kekerasan seksual di Indonesia menurut Komisi Anti Kekerasan
terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) tahun 2018 tercatat sebanyak 406.178
kasus kekerasan seksual terhadap perempuan diseluruh Indonesia. Kekerasan
seksual di ranah personal atau kekerasan dalam rumah tingga paling tinggi adalah
incest, perkosaan dan pencabulan.2
Jumlah kasus kekerasan seksual dari tahun 2010-2014 di kota pekanbaru
adalah sebanyak 655 kasus. Kekerasan seksual terbanyak terjadi padaanak-anak di
bandingkan orang dewasa dengan jumlah persentase sebanyak 82% dan 18 %.
Berdasarkan distrubusi jenis kelamin didapatkan bahwa perempuan menjadi
korban kekerasan seksual terbanyak di bandingkan laki-laki dengan rasio 19,11.3

Terdapat dugaan kuat bahwa angka-angka tersebut merupakan fenomena


gunung es, yaitu jumlah kasus yang dilaporkan lebih sedikit dari pada jumlah
kejadian sebenarnya di masyarakat. Banyak korban enggan melapor, mungkin
karena malu , takut disalahkan, mengalami trauma psikis, atau karena tidak tahu
harus melapor ke mana. seiring meningkatkan kesadaran hukum di indonesia,
jumlah kasus kekerasan seksual yang dilaporkan pun mengalami peningkatan.4

Dengan berbagai perkembangan yang terjadi di ranah hukum pidana,


khususnya dengan diaturnya berbagai asas-asas di undang-undang yang
menyimpangi ketentuan umum di KUHP, upaya memperbarui hukum pidana

1
2

melalui Rancangan KUHP Nasional harus secara jelas dan dalam bahasa yang
dapat dipahami warga masyarakat dalam merumuskan perbuatan apa yang
merupakan tindak pidana dan kesalahan macam apa yang disyaratkan untuk
memberikan pertanggungjawaban pidana kepada pelaku.5

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan kekerasan seksual?
2. Apa saja klasifikasi kekerasan seksual?
3. Bagaimana kekerasan seksual dalam KUHP vs RKUHP?

1.3 Tujuan Penulisan


a) Tujuan Umum
Mengetahui perbedaaan tentang kekerasan seksual dalam KUHP vs
RKUHP.
b) Tujuan Khusus
1. Menjelaskan pengertian kekerasan seksual, klasifikasi kekerasan seksual,
kekerasan seksual KHUP vs RKUHP.
2. Memenuhi salah satu syarat mengikuti ujian kepaniteraan klinik di
bagian Ilmu kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran
Universitas Riau.
1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat dalam referat ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan tentang
kekerasan seksual KUHP vs RKUHP.
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Kekerasan Seksual


Kekerasan seksual (sexual abuse) merupakan segala bentuk tindakan
seksual yang dilakukan seseorang tanpa persetujuan dari korban atau korban
dalam keadaan tidak mampu menolak maupun menyetujui tindakan tersebut.6,7
Menurut Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang pornografi, kekerasan
seksual merupakan persenggamaan yang didahului dengan tindakan kekerasan
atau penganiayaan atau cabul dengan paksaan atau perkosaan.8 Manurut Mark
Yantzi kekerasan seksual adalah suatu persoalan seksualitas yang didalamnya
terdapat unsur kekerasan dan pandangan perempuan dijadikan sebagai objek
seksualitas terkait erat hubungannya seks dan kekerasan. Bentuk kekerasan yang
paling sering terjadi seperti perkosaan, pelecehan seksual, penjualan anak
perempuan untuk prostitusi dan kekerasan oleh pasangan.9
Kekerasan seksual menurut deklarasi perserikatan bangsa bangsa adalah
setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang mungkin
mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, kesengsaraan saat
seksual, psikologis, termasuk ancaman, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan
secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau kehidupan
pribadi.10

2.2 Jenis Kekerasan Seksual


Menurut Komisi Naisonal Perempuan, ada 15 jenis kekerasan seksual
yang ditemukan dari hasil pemantauan selama 15 tahun (1998 - 2013), sebagai
berikut:11,12
1. Perkosaan
Serangan dalam bentuk pemaksaan hubungan seksual dengan
memakai penis ke arah vagina, anus atau mulut korban. Bisa juga
menggunakan jari tangan atau benda-benda lainnya. Serangan dilakukan
dengan kekerasan, ancaman kekerasan, penahanan, tekanan psikologis,
4

penyalahgunaan kekuasaan, atau dengan mengambil kesempatan dari


lingkungan yang penuh paksaan. Pencabulan adalah istilah lain dari
perkosaan yang dikenal dalam sistem hukum Indonesia. Istilah ini
digunakan ketika perkosaan dilakukan di luar pemaksaan penetrasi penis
ke vagina dan ketika terjadi hubungan seksual pada orang yang belum
mampu memberikan persetujuan secara utuh, misalnya terhadap anak atau
seseorang di bawah 18 tahun.
2. Pelecehan Seksual
Tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun non-fisik dengan
sasaran organ seksual atau seksualitas korban. Ia termasuk menggunakan
siulan, main mata, ucapan bernuansa seksual, mempertunjukkan materi
pornografi dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh,
gerakan atau isyarat yang bersifat seksual sehingga mengakibatkan rasa
tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, dan
mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan.

3. Eksploitasi Seksual
Tindakan penyalahgunaan kekuasaan yang timpang,atau
penyalahgunaan kepercayaan, untuk tujuan kepuasan seksual, maupun
untuk memperoleh keuntungan dalam bentuk uang, sosial, politik dan
lainnya. Praktik eksploitasi seksual yang kerap ditemui adalah
menggunakan kemiskinan perempuan sehingga ia masuk dalam prostitusi
atau pornografi.
Praktik lainnya adalah tindakan mengiming-imingi perkawinan untuk
memperoleh layanan seksual dari perempuan, lalu ditelantarkan. Situasi ini
kerap disebut juga sebagai kasus 'ingkar janji'. Iming-iming ini
menggunakan cara pikir dalam masyarakat, yang mengaitkan posisi
perempuan dengan status perkawinannya. Perempuan menjadi merasa tak
memiliki daya tawar, kecuali dengan mengikuti kehendak pelaku, agar ia
dinikahi.
4. Intimidasi Seksual termasuk Ancaman atau Percobaan Perkosaan
5

Tindakan yang menyerang seksualitas untuk menimbulkan rasa takut


atau penderitaan psikis pada perempuan korban. Intimidasi seksual bisa
disampaikan secara langsung maupun tidak langsung melalui surat, sms,
email, dan lain-lain. Ancaman atau percobaan perkosaan juga bagian dari
intimidasi seksual.
5. Perdagangan Perempuan untuk Tujuan Seksual
Tindakan merekrut, mengangkut, menampung, mengirim,
memindahkan, atau menerima seseorang dengan ancaman kekerasan,
penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,
penyalahgunaan kekuasaan atas posisi rentan, penjeratan utang atau
pemberian bayaran atau manfaat terhadap korban secara langsung maupun
orang lain yang menguasainya, untuk tujuan prostitusi ataupun eksploitasi
seksual lainnya. Perdagangan perempuan dapat terjadi di dalam negara
maupun antar negara.
6. Prostitusi Paksa
Situasi di mana perempuan mengalami tipu daya, ancaman maupun
kekerasan untuk menjadi pekerja seks. Keadaan ini dapat terjadi pada
masa rekrutmen maupun untuk membuat perempuan tersebut tidak
berdaya untuk melepaskan dirinya dari prostitusi, misalnya dengan
penyekapan, penjeratan utang, atau ancaman kekerasan. Prostitusi paksa
memiliki beberapa kemiripan, namun tidak selalu sama dengan
perbudakan seksual atau dengan perdagangan orang untuk tujuan seksual.
7. Perbudakan Seksual
Situasi di mana pelaku merasa menjadi 'pemilik' atas tubuh korban
sehingga berhak untuk melakukan apapun termasuk memperoleh kepuasan
seksual melalui pemerkosaan atau bentuk lain kekerasan seksual.
Perbudakan ini mencakup situasi di mana perempuan dewasa atau anak-
anak dipaksa menikah, melayani rumah tangga atau bentuk kerja paksa
lainnya, serta berhubungan seksual dengan penyekapnya.
8. Pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung
Pemaksaan perkawinan dimasukkan sebagai jenis kekerasan
seksual karena pemaksaan hubungan seksual menjadi bagian tidak
6

terpisahkan dari perkawinan yang tidak diinginkan oleh perempuan


tersebut. Ada beberapa praktik di mana perempuan terikat perkawinan di
luar kehendaknya sendiri. Pertama, ketika perempuan merasa tidak
memiliki pilihan lain kecuali mengikuti kehendak orang tuanya agar dia
menikah, sekalipun bukan dengan orang yang dia inginkan atau bahkan
dengan orang yang tidak dia kenali. Situasi ini kerap disebut kawin paksa.
Kedua, praktik memaksa korban perkosaan menikahi pelaku. Pernikahan
itu dianggap mengurangi aib akibat perkosaan yang terjadi. Ketiga, praktik
cerai gantung yaitu ketika perempuan dipaksa untuk terus berada dalam
ikatan perkawinan padahal ia ingin bercerai. Namun, gugatan cerainya
ditolak atau tidak diproses dengan berbagai alasan baik dari pihak suami
maupun otoritas lainnya. Keempat, praktik 'Kawin Cina Buta', yaitu
memaksakan perempuan untuk menikah dengan orang lain untuk satu
malam dengan tujuan rujuk dengan mantan suaminya setelah talak tiga
(cerai untuk ketiga kalinya dalam hukum Islam). Praktik ini dilarang oleh
ajaran agama, namun masih ditemukan di berbagai daerah.
9. Pemaksaan Kehamilan
Situasi ketika perempuan dipaksa, dengan kekerasan maupun
ancaman kekerasan, untuk melanjutkan kehamilan yang tidak dia
kehendaki. Kondisi ini misalnya dialami oleh perempuan korban
perkosaan yang tidak diberikan pilihan lain kecuali melanjutkan
kehamilannya. Juga, ketika suami menghalangi istrinya untuk
menggunakan kontrasepsi sehingga perempuan itu tidak dapat mengatur
jarak kehamilannya.
Pemaksaan kehamilan ini berbeda dimensi dengan kehamilan
paksa dalam konteks kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Statuta
Roma, yaitu situasi pembatasan secara melawan hukum terhadap seorang
perempuan untuk hamil secara paksa, dengan maksud untuk membuat
komposisi etnis dari suatu populasi atau untuk melakukan pelanggaran
hukum internasional lainnya.
7

10. Pemaksaan Aborsi


Pengguguran kandungan yang dilakukan karena adanya tekanan,
ancaman, maupun paksaan dari pihak lain.
11. Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi
Disebut pemaksaan ketika pemasangan alat kontrasepsi dan/atau
pelaksanaan sterilisasi tanpa persetujuan utuh dari perempuan karena ia
tidak mendapat informasi yang lengkap ataupun dianggap tidak cakap
hukum untuk dapat memberikan persetujuan. Pada masa Orde Baru,
tindakan ini dilakukan untuk menekan laju pertumbuhan penduduk,
sebagai salah satu indikator keberhasilan pembangunan. Sekarang, kasus
pemaksaan pemaksaan kontrasepsi/sterilisasi biasa terjadi pada perempuan
dengan HIV/AIDS dengan alasan mencegah kelahiran anak dengan
HIV/AIDS. Pemaksaan ini juga dialami perempuan penyandang
disabilitas, utamanya tuna grahita, yang dianggap tidak mampu membuat
keputusan bagi dirinya sendiri, rentan perkosaan, dan karenanya
mengurangi beban keluarga untuk mengurus kehamilannya.
12. Penyiksaan Seksual
Tindakan khusus menyerang organ dan seksualitas perempuan,
yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau
penderitaan hebat, baik jasmani, rohani maupun seksual. Ini dilakukan
untuk memperoleh pengakuan atau keterangan darinya, atau dari orang
ketiga, atau untuk menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah atau
diduga telah dilakukan olehnya ataupun oleh orang ketiga. Penyiksaan
seksual juga bisa dilakukan untuk mengancam atau memaksanya, atau
orang ketiga, berdasarkan pada diskriminasi atas alasan apapun. Termasuk
bentuk ini apabila rasa sakit dan penderitaan tersebut ditimbulkan oleh
hasutan, persetujuan, atau sepengetahuan pejabat publik atau aparat
penegak hukum.
13. Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual
Cara menghukum yang menyebabkan penderitaan, kesakitan,
ketakutan, atau rasa malu yang luar biasa yang tidak bisa tidak termasuk
dalam penyiksaan. Ia termasuk hukuman cambuk dan hukuman-hukuman
8

yang mempermalukan atau untuk merendahkan martabat manusia karena


dituduh melanggar norma-norma kesusilaan.
14. Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau
mendiskriminasi perempuan
Kebiasaan masyarakat , kadang ditopang dengan alasan agama
dan/atau budaya, yang bernuansa seksual dan dapat menimbulkan cidera
secara fisik, psikologis maupun seksual pada perempuan. Kebiasaan ini
dapat pula dilakukan untuk mengontrol seksualitas perempuan dalam
perspektif yang merendahkan perempuan. Sunat perempuan adalah salah
satu contohnya.
15. Kontrol seksual
Cara pikir di dalam masyarakat yang menempatkan perempuan
sebagai simbol moralitas komunitas, membedakan antara 'perempuan baik-
baik' dan perempuan 'nakal', dan menghakimi perempuan sebagai pemicu
kekerasan seksual menjadi landasan upaya mengontrol seksual (dan
seksualitas) perempuan.
Kontrol seksual mencakup berbagai tindak kekerasan maupun
ancaman kekerasan secara langsung maupun tidak langsung, untuk
mengancam atau memaksakan perempuan untuk menginternalisasi simbol-
simbol tertentu yang dianggap pantas bagi “perempuan baik-baik’.
Pemaksaan busana menjadi salah satu bentuk kontrol seksual yang paling
sering ditemui. Kontrol seksual juga dilakukan lewat aturan yang memuat
kewajiban busana, jam malam, larangan berada di tempat tertentu pada
jam tertentu, larangan berada di satu tempat bersama lawan jenis tanpa
ikatan kerabat atau perkawinan, serta aturan tentang pornografi yang
melandaskan diri lebih pada persoalan moralitas daripada kekerasan
seksual. Aturan yang diskriminatif ini ada di tingkat nasional maupun
daerah dan dikokohkan dengan alasan moralitas dan agama. Pelanggar
aturan ini dikenai hukuman dalam bentuk peringatan, denda, penjara
maupun hukuman badan lainnya.
9

2.3 Kekerasan Seksual dalam KUHP dan RKUHP


Kekerasan seksual dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
termasuk dalam tindak pidana kekerasan terhadap kesusilaan. Berikut pasal-pasal
yang termasuk tentang kekerasan seksual:
2.3.1 Perzinahan
A. KUHP
1. Pasal 284
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:
1. a. Seorang pria telah kawin yang melakukan gendak (overspel),
padahal diketahui, bahwa pasal 27 BW (Burgerlyk Wetboek)
berlaku baginya.
b. Seorang wanita telah kawin yang melakukan gendak, padahal
diketahui, bahwa pasal 27 BW (Burgelyk Wetboek) berlaku
baginya.
2. a. Seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu,
padahal diketahui, bahwa yang turut bersalah telah kawin.
b. Seorang wanita tidak kawin yang turut serta melakukan
perbuatan itu padal diketahui olehnya, bahwa yang turut
bersalah telah kawin dan pasal 27 BW (Burgerly Wetboek)
berlaku baginya.
(2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri
yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW,
dalam tempo tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau
pisah meja dan tempat tidur, karena alasan itu juga.
(3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75.
(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang
pengadilan belum dimulai.
(5) Jika bagi suami istri berlaku pasal 27 BW, pengaduan ini tidak di
indahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian
atau sebelum keputusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur
menjadi tetap.
BW pasal 27
10

Dalam waktu yang sama seorang laki hanya diperbolehkan


mempunyai satu orang perempuan sebagai istrinya, seorang
perempuan hanya satu orang laki sebagai suaminya.
B. RKUHP
1. Pasal 417
(1) Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan
suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun atau denda kategori II.
(2) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan
penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, Orang Tua, atau anaknya.
(3) Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30.
(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan
belum dimulai.
2. Pasal 418
(1) Setiap Orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar
perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan
atau pidana denda paling banyak kategori II.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan
penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, Orang Tua atau anaknya.
(3) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat juga diajukan oleh
kepala desa atau dengan sebutan lainnya sepanjang tidak terdapat keberatan
dari suami, istri, Orang Tua, atau anaknya.
(4) Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku
ketentuan Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30.
(5) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan
belum dimulai.
3. Pasal 419
Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan seseorang yang
diketahuinya bahwa orang tersebut merupakan anggota keluarga sedarah dalam
garis lurus atau ke samping sampai derajat ketiga dipidana dengan pidana
penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.
11

2.3.2 Pemerkosaan
A. KUHP
1. Pasal 285
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang
wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam karena
melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun
penjara.
2. Pasal 286
Barang siapa yang bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan,
padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak
berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
3. Pasal 287
(1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan,
padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya
belum lima belas tahun, atau kalau umumnya tidak jelas, bahwa belum
waktunya untuk dikawinkan, diancam dengan pidana penjara paling
lama sembilan tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umur wanita
belum sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal berdasarkan
pasal 291 dan pasal 294.
B. RKUHP
1. Pasal 479
(1) Setiap Orang yang dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan memaksa
seseorang bersetubuh dengannya dipidana karena melakukan perkosaan,
dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.
(2) Termasuk Tindak Pidana perkosaan dan dipidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi perbuatan:
a. persetubuhan dengan seseorang dengan persetujuannya, karena orang
tersebut percaya bahwa orang itu merupakan suami/istrinyayang sah;
b. persetubuhan dengan Anak; atau
c. persetubuhan dengan seseorang, padahal diketahui bahwa orang lain
tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya.
12

(3) Dianggap juga melakukan Tindak Pidana perkosaan, jika dalam keadaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan perbuatan
cabul berupa:
a. memasukkan alat kelamin ke dalam anus atau mulut orang lain;
b. memasukkan alat kelamin orang lain ke dalam anus atau mulutnya
sendiri; atau
c. memasukkan bagian tubuhnya yang bukan alat kelamin atau suatu
benda ke dalam alat kelamin atau anus orang lain.
(4) Dalam hal Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3)
adalah Anak dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun.
(5) Dalam hal Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Anak dan
dipaksa untuk melakukan persetubuhan dengan orang lain dipidana dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
(6) Jika salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai
dengan ayat (3) mengakibatkan Luka Berat dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
(7) Jika salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai
dengan ayat (3) mengakibatkan matinya orang, pidana ditambah 1/3 (satu
per tiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
(8) Jika Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah Anak kandung,
Anak tiri, atau Anak dibawah perwaliannya, pidana ditambah 1/3 (satu per
tiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (4).

2.3.3 Pencabulan
A. KUHP
1. Pasal 289

Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang


untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena
perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana pejara paling
lama sembilan tahun.
13

2. Pasal 290
Diancam dengan pidana paling lama tujuh tahun:
1. barang siapa melakukan perbuatan cabul, dengan seorang padahal
diketahui, bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya;
2. barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal
diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima
belas tahun atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu
dikawin.
3. barang siapa membujuk seorang yang diketahui atau sepatutnya harus
diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalu umurnya
tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin, untuk melakukan atau
membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh di luar
perkawinan dengan orang lain.
3. Pasal 292
Orang yang cukup umur, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang
lain sama kelamin, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa
belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun.
4. Pasal 293
(1) Barang siapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang,
menyalahgunakan perbawa yang timbul dari hubungan keadaan,
atau dengan menyesatkan sengaja menggerakkan seorang belum
cukup umur dan baik tingkahlakunya, untuk melakukan atau
membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang
belum cukup umurnya itu diketahui atau selayaknya harus diduga,
diancam dengan pidana penjara lima tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakuan atas pngaduan orang yang
terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu.
(3) Tenggang tersebut dalam pasal 74, bagi pengaduan ini adalah masing-
masing 9 bulan dan 12 bulan.
14

5. Pasal 294
Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak
tirinya, anak angkatnya, anak di bawah pengawasannya, yang belum
cukup umur, atau dengan orang yang belum cukup umur pemeliharaannya,
pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya, diancam dengan
pidana penjarapaling lama tujuh tahun:
1: pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang
karena jabatan adalah bawahannya, atau dengan orang yang
penjagaannya dipercayakan atau diserahkan kepadanya;
2: seorang pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh
dalam penjara, tempat pekerjaan negara, tempat pemudikan, rumah
piatu, rumah sakit, rumah sakit ingatan atau lembaga sosial, yang
melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dimasukkan ke
dalamnya.

B. RKUHP

1. Pasal 420
(1) Setiap Orang yang melakukan perbuatan cabul terhadap orang lain yang
berbeda atau sama jenis kelaminnya:
a. di depan umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori III.
b. secara paksa dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan dipidana
dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.
c. yang dipublikasikan sebagai muatan pornografi dipidana dengan pidana
penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.
(2) Setiap Orang dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan memaksa orang
lain untuk melakukan perbuatan cabul terhadap dirinya dipidana dengan
pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.

2. Pasal 421
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun, Setiap Orang
yang:
15

a. melakukan perbuatan cabul dengan seseorang yang diketahui orang


tersebut pingsan atau tidak berdaya;
b. melakukan perbuatan cabul dengan seseorang yang diketahui atau patut
diduga Anak; atau
c. dengan bujuk rayu atau tipu daya menyebabkan seorang Anak
melakukan atau membiarkan dilakukan terhadap dirinya perbuatan cabul
dengan orang lain.

3. Pasal 422
(1) Jika salah satu Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 420 dan
Pasal 421 huruf a dan huruf b mengakibatkan Luka Berat dipidana dengan
pidana penjara dan paling lama 12 (dua belas) tahun.
(2) Jika salah satu Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 420 dan
Pasal 421 huruf a dan huruf b mengakibatkan matinya orang dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
4. Pasal 423
Setiap Orang yang memberi atau berjanji akan memberi hadiah
menyalahgunakan wibawa yang timbul dari hubungan keadaan atau dengan
penyesatan menggerakkan orang yang diketahui atau patut diduga Anak, untuk
melakukan perbuatan cabul atau membiarkan terhadap dirinya dilakukan
perbuatan cabul dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan)
tahun.
5. Pasal 424
(1) Setiap Orang yang melakukan percabulan dengan Anak kandung, Anak
tirinya, Anak angkatnya, atau Anak di bawah pengawasannya yang
dipercayakan padanya untuk diasuh atau dididik dipidana dengan pidana
penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.
(2) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun:
a. Pejabat yang melakukan percabulan dengan bawahannya atau dengan
orang yang dipercayakan atau diserahkan padanya untuk dijaga; atau
16

b. dokter, guru, pegawai, pengurus, atau petugas pada lembaga


pemasyarakatan, lembaga negara tempat latihan karya, rumah
pendidikan, rumah yatim dan/atau piatu, rumah sakit jiwa, atau panti
sosial yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dimasukkan
ke lembaga, rumah, atau panti tersebut.
6. Pasal 425
(1) Setiap Orang yang menghubungkan atau memudahkan orang lain berbuat
cabul atau bersetubuh dengan orang yang diketahui atau patut diduga Anak
dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.
(2) Jika Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
terhadap Anak kandung, Anak tiri, Anak angkat, atau Anak di bawah
pengawasannya yang dipercayakan padanya untuk diasuh dipidana dengan
pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.
7. Pasal 426
Setiap Orang yang menghubungkan atau memudahkan orang lain melakukan
perbuatan cabul dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun.
8. Pasal 427
Jika Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 425 atau Pasal 426
dilakukan sebagai pekerjaan, kebiasaan, atau untuk menarik keuntungan
sebagai mata pencaharian pidana ditambah 1/3 (satu pertiga).
9. Pasal 428
(1) Setiap Orang yang menggerakkan, membawa, menempatkan, atau
menyerahkan Anak kepada orang lain untuk melakukan percabulan,
pelacuran, atau perbuatan melanggar kesusilaan lainnya dipidana dengan
pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.
(2) Jika Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
menjanjikan Anak memperoleh pekerjaan atau janji lainnya dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan
1. Jumlah kekerasan tehadap perempuan saat ini semakin meningkat selain
itu dengan perkembangan IPTEK jenis kekerasan seksual juga semakin
beragam.
2. Terdapat perbedaan kekerasan seksual dari KUHP vs RKHUP.
3. RKUHP Kekerasan seksual memberikan jaminan terlaksananya kewajiban
negara, peran keluarga, partisipasi masyarakat, dan tanggung jawab
korporasi dalam mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual
3.2 Saran
1. Mendorong agar Pemerintah Indonesia segera mengesahkan RUU
Kekerasan seksual sebagai upaya untuk menyelesaikan permasalahan
kekerasan seksual dan menimalisir korban kekerasan seksual di Indonesia.
2. Selama RUU Kekerasan Seksual belum disahkan maka penegakan hukum
melalui regulasi yang ada akan tetap tidak mampu mengakomodir dan
menjamin penegakan hukum berbagai kasus kekerasan seksual yang
terjadi pada korban perempuan dan anak

17
18

DAFTAR PUSTAKA

1. Burgess AW, Marchetti CH. Contemporary issues in Hazelwood RR,


Burgess AW editors. Practical aspects of rape investigation: A
multidisciplinary approach. 4th edBoca Raton (FL): CRC press.2009.p.3-
23.

2. Komnas Perempuan. Kekerasan seksual; kenali dan tangani. Komnas


Perempuan; 2018.p15.

3. Afandi D. Medicolegal study of sexual violence cases in Pekanbaru,


Indonesia: prevalence, pattern, and Indonesian legal framework. Egyptian
Journal of Forensic Sciences. 2018 Dec 1;8(1):37.

4. Meilia PD. Prinsip pemeriksaan dan penatalaksanaan korban (P3K)


kekerasan seksual. Cermin Dunia Kedokteran. 2012;39(8):83.

5. Ginting SM, Akbari RA, dkk. Membedah Konstruksi Buku 1 Rancangan


KUHP. Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jantera. Jakarta. 2019 : p. 17-18.

6. Savino JO, Turvey BE. Defining rape and sexual assault. In: Savino JO,
Turvey BE, editors. Rape investigation handbook. USA: Elsevier Inc;
2005.p. 1-22.

7. World Health Organization. Sexual Violence. Accessed from:


http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/77434/1/WHO_RHR_12.37_eng.
pdf.
[diakses pada tanggal 31 Desember 2018]

8. Simarmata M. proses rehabilitasi terhadap anak sebagai korban kekerasan


seksual. [Jurnal]. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta: 2013.

9. Astuti R. Hubungan kesadaran anak kerentanan diri dan mekanisme


coping pada perempuan pekerja malam di tempat hiburan karaoke wilayah
Jakarta Barat. Jakarta. 2011:7(2):193-211.

10. Lestari KR. Catahu 2013. Komnas perempuan soroti tingginya kekerasan
seksual. Diunduh dari: http://www.indonesia.ucanews.com [Diakses pada
30 Desember 2018]

11. 15 bentuk kekerasan seksual. [Internet]. 2013. Diakses dari:


http://komnasperempuan.go.id/wp-content/uploads/2014/12/15-Bentuk-
Kekerasan-Seksual1.pdf. [diakeses pada tanggal 1 Januari 2019].
19

12. 15 jenis kekerasan seksual. [Internet]. 2013 [diakses pada tanggal 1


Januari 2019]. Diakses dari: http://www.komnasperempuan.or.id/wp-
content/uploads/2013/12/15-Jenis-Kekerasan-Seksual_2013.pdf.

13. KITAB LENGKAP KUHPer,KUHP,KUHAP. Jakarta. 2014:p. 492-500.

14. Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang KUHP. Jakarta.


2019.

Anda mungkin juga menyukai