Anda di halaman 1dari 30

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Kejang merupakan salah satu keadaan yang merupakan suatu tanda bahaya
yang sering terjadi pada neonatus, karena kejang dapat menyebabkan hipoksia
otak yang berbahaya bagi kehidupan bayi sekaligus dapat menyebabkan
terbentuknyan sekuele yang menetap dan berakibat buruk pada kehidupan bayi di
masa depan. Selain itu, kejang dapat merupakan suatu tanda atau gejala
signifikan dari suatu masalah SSP pada neonatus. Diagnosis dan intervensi dini
sangat dibutuhkan bukan hanya karena kejang merupakan tanda suatu penyakit
serius yang tersembunyi, tapi juga dapat berpengaruh pada metode suportif seperti
alat bantu pernafasan dan perlengkapan yang dibutuhkan untuk pemberian
nutrisi.Seperti yang tertulis di buku neonatologi IDAI , saat ini diketahui neonatus
memilikidaya tahan terhadap kerusakan otak yang lebih baik, namun efek jangka
panjang berupa penurunan ambang kejang, gangguan belajar dan daya ingat tetap
dapat terjadi di masa depan3.
Sampai sekarang sangat sulit untuk mempelajari dan mengenal secara
pastiterjadinya suatu bangkitan kejang pada neonatus, sehingga insidensi dan
prevalensi yang pasti sampai sekarang belum dapat diketahui.
Gejala klinis yang terlihat pada kejang neonatus sangat terlihat berbeda
dibandingkan kejang yang terjadi pada bayi dengan umur lebih tua. Ini
dikarenakan otak pada neonatusmasih merupakan otak imatur, sehingga lebih
inkompeten dalam menyalurkan gelombang listrik secara umum atau sebagian.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan neonatal seizure ?
2. Apa saja etiologi dari neonatal seizure ?
3. Bagaimana patofisiologi dan manifestasi klinis pada neonatal seizure ?
4. Bagaimana penegakkan diagnosis pada neonatal seizure?
5. Bagaimana penatalaksanaan pasien dengan neonatal seizure ?
6. Apa komplikasi dan bagaimana prognosis dari neonatal seizure ?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui definisi neonatal seizure.
2

2. Mengetahui etiologi dan klasifikasi neonatal seizure.


3. Memahami patofisiologi dan manifestasi klinis pada neonatal seizure.
4. Mengetahui penegakkan diagnosis pada neonatal seizure.
5. Mengetahui penatalaksanaan pasien neonatal seizure.
6. Mengetahui komplikasi dan prognosis dari neonatal seizure.

1.4 Manfaat
1. Menambah ilmu pengetahuan tentang penyakit neonatal seizure baik itu
definisi, etiologi, klasifikasi, patofisiologi, manifestsi klinis, penegakkan
diagnosis, penatalaksanaannya, komplikasi, maupun prognosisnya.
2. Diharapkan dapat memberi tambahan literatur dalam menangani penyakit
pada neonatus khususnya dengan diagnosis neonatal seizure.
3

BAB II
STATUS PASIEN
2.1 Identitas Pasien
Nama : By. D
Umur : 4 hari
Alamat : Nongkojajar
Jenis kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Suku : Jawa
Tanggal pemeriksaan : 10 Agustus 2019

2.2 Anamnesis
1. Keluhan Utama : Kejang
2. Riwayat Penyakit Sekarang : Bayi lahir secara Sectio Cesaria a/i
BSC 2 tahun dan pre eklamsia pada tanggal 7 Agustus 2019, pukul 10.10
WIB. Pada saat lahir bayi langsung menangis dengan sisa ketuban jernih .
Ibu memiliki riwayat G2 P1001, UK 39-40 minggu. Saat usia 2 hari pukul
19.15 WIB By.D mengalami kejang seluruh tubuh secara terus menerus
hingga kurang lebih 5-10 menit dan berhenti setelah diberikan injeksi
sibital 20 mg/kgBB (60 mg).
3. Riwayat Penyakit Dahulu :
- Riwayat alergi obat : Disangkal
- Riwayat alergi makanan : Disangkal
- Riwayat MRS : Disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga :
- Riwayat hipertensi : Disangkal
- Riwayat diabetes melitus : Disangkal
- Riwayat sakit serupa : Disangkal
5. Riwayat Kebiasaan :-
6. Riwayat Minum :-
7. Riwayat pengobatan : Disangkal oleh keluarga
8. Riwayat Imunisasi : Pasien telah mendapatkan
imunisasi
Hepatitis B
9. Riwayat kehamilan : Saat hamil ibu pasien rutin
antenatal care (ANC) di bidan setempat dan ibu pasien pernah memiliki
tensi yang tinggi saat hamil.
10. Riwayat persalinan : Ibu pasien melahirkan saat
usia ibu 33 tahun dan usia kehamilan 39-40 minggu di rumah sakit. Lahir
secara Sectio Cesaria dan langsung menangis dengan BB lahir 2900 gram.
2.3 Pemeriksaan Fisik
4

- Keadaan Umum
Apgar Score : 6-7
Kesadaran compos mentis (GCS 456), status gizi kesan cukup. Pasien
tampak cukup.
- Tanda Vital
Nadi : 157x / menit, reguler
Frekuensi nafas : 42x /menit
Suhu : 37,0oC
SpO2 : 85 %
GDA : 77 mg/dL
BB : 2900 gram
TB : 46 cm
LK : 31,5 cm
LD : 33 cm
Status gizi : Gizi cukup
- Kulit
Turgor kulit kembali cepat, ikterik (+), sianosis (-),petechie (-), kulit
kering (-), urtikaria (-), eritema (-).
- Kepala
Bentuk normocephal, luka (-), rambut berwarna hitam tidak mudah
dicabut, keriput (-), atrofi m. temporalis (-), makula (-), papula (-),
nodula (-), kelainan mimic wajah/ bells palsy (-).
- Mata
Conjunctiva anemis (-/-), sklera ikterik (+/+).
- Hidung
Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-).
- Mulut
Bibir pucat (-), mukosa bibir kering (-), bibir sianosis (-), gusi berdarah
(-).
- Telinga
Nyeri tekan mastoid (-), sekret (-), pendengaran berkurang (-),
pembesaran kelenjar getah bening (KGB)(-)
- Tenggorokan
Tonsil membesar (-), pharing hiperemis (-), pembesaran KGB (-)
- Leher
JVP tidak meningkat, trakea ditengah, pembesaran kelenjar tiroid (-),
pembesaran KGB ± 1 cm, lesi pada kulit (-), kontraksi musculus
sternocleidomastoideus
- Thoraks
Retraksi (-)
Cor :
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis teraba kuat angkat
Perkusi : batas kiri atas : ICS II Linea Para Sternalis Synistra
5

batas kanan atas : ICS II Linea Para Sternalis Dextra


batas kiri bawah : ICS V Mid Clavicularis Synistra
batas kanan bawah : ICS IV Linea Para Sternalis Dextra
(batas jantung terkesan normal)
Auskultasi: Bunyi jantung I–II tungal, regular, Gallop (-), Murmur (-)
Pulmo :
Inspeksi : pengembangan dada simetris kanan kiri,
penggunaan otot-otot nafas tambahan (sternocleidomastoideus,
scalenus, intercostalis, diafragma)
Palpasi : Fremitus raba kanan dan kiri sama
Perkusi : sonor
Auskultasi: vesikular (+) ronkhi (-) wheezing (-)
- Abdomen:
Inspeksi : dinding perut tampak datar
Palpasi :supel, nyeri tekan (-), hepar tidak teraba,
pembesaran lien (-).
Perkusi : timpani seluruh lapang perut, meteorismus (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
- Ginjal
Palpasi : nyeri tekan (-/-)
Perkusi : nyeri ketok area flank (-/-)
- Ektremitas
Palmar eritema (-/-), CRT < 2 detik
Akral Hangat Oedem
+ + - -
+ + - -

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Hasil Pemeriksaan Darah Lengkap tanggal
10 Agustus 2019
Jenis Tes Hasil Tes Nilai Normal
Darah lengkap
HB 17,9 11,5-13,0 g/dL
HITUNG LEUKOSIT 14.800 5.500-15.500/CMM
LED/BBS # L:0-15/jam; P:0-20/jam
HITUNG JENIS -/-/-/58/36/6 0-3/0-1/5-11/23-45/35-65/3-6
ERITROSIT 4.880.000 L:4.5-6.5jt/CMM, P:3.0-
6.0jt/CMM
TROMBOSIT 259.000 250.000-550.000/cmm
HEMATOKRIT 52,1 34-39%
MCV/MCH/MCHC 106,8/36,6/34,3 80-97fL/ 27-31pg/ 32-36%
Golongan Darah B Rhesus (+)
6

11 Agustus 2019
Jenis Tes Hasil Tes Nilai Normal
Darah lengkap
HB 17,2 11,5-13,0 g/dL
HITUNG LEUKOSIT 14.800 5.500-15.500/CMM
LED/BBS # L:0-15/jam; P:0-20/jam
HITUNG JENIS -/-/-/60/35/5 0-3/0-1/5-11/23-45/35-65/3-6
ERITROSIT 4.950.000 L:4.5-6.5jt/CMM, P:3.0-
6.0jt/CMM
TROMBOSIT 388.000 250.000-550.000/cmm
HEMATOKRIT 51,1 34-39%
MCV/MCH/MCHC 103,2/34,7/33,7 80-97fL/ 27-31pg/ 32-36%
PPT 18,3 9,7 – 13,1 DETIK
INR 1,56
APTT 35,3 23,9 – 38,9 DETIK
ELEKTROLIT
NATRIUM 139,30 136 – 145 mmol/L
KALIUM 4,92 3,5 – 5,1 mmol/L
CLORIDA 105,02 98 – 106 mmol/L
CALCIUM (Ca) TOTAL 8,33 8,8 – 10,5 mg/dL

Hasil Pemeriksaan Foto Thorax AP


Kesimpulan: Bronchopneumonia

Hasil Pemeriksaan USG Kepala


Kesimpulam: Saat ini brain parenchyme kesan tak tampak kelainan dan tak
tampak perdarahan intracranial

2.5 Resume
Bayi baru lahir secara Sectio Cesaria a/i BSC 2 tahun dan pre eklamsia pada
tanggal 7 Agustus 2019, pukul 10.10 WIB. Pada saat lahir bayi langsung
menangis dengan sisa ketuban jernih . Ibu memiliki riwayat G2 P1001, UK 39-40
minggu. Saat usia 2 hari pukul 19.10 WIB By.D mengalami kejang seluruh tubuh
secara terus menerus hingga kurang lebih 5-10 menit dan berhenti setelah
diberikan injeksi sibital 20 mg/kgBB (60 mg).

2.6 Daftar Masalah


1. Bayi baru lahir secara Sectio Cesaria a/i BSC 2 tahun dan pre eklamsia
2. Kejang seluruh tubuh secara terus menerus ± 5-10 menit
7

2.7 Working diagnosis


Neonatal Seizure

2.8 Penatalaksanaan
Medikamentosa
1. Rawat Inkubator
2. IVFD D10% 6tpm
3. O2 nasal 7 lpm
4. Injeksi Phenobarbital 60 mg (20 mg/kgBB)
5. Injeksi Ampicillin 2 x 200 mg
6. Inj Gentamicin 2 x 15 mg
7. Inj Aminophylin 3x 5mg
8. Puasa

Nonmedikamentosa
KIE:
1. Menjelaskan diagnosis anak pada keluarga
2. Menjelaskan gejala neonatal seizure
3. Menjelaskan faktor resiko dan tanda neonatal seizure yang memburuk
serta tindakan yang diambil
4. Terapi rumatan dan kemungkinan efek samping obat
8

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Kejang didefinikan secara klinis sebagai perubahan paroksismal dari
fungsi neurologis seperti fungsi kebiasaan, motorik atau otonom. Neonatal adalah
bayi dengan kelahiran berumur kurang dari 28 hari.2,3

2.2 Epidemiologi
Karena sampai sekarang sangat sulit untuk mempelajari dan mengenal
secxara pasti bangkitan kejang pada neonatus, insidensi dan prevalensi yang pasti
sampai sekarang belum diketahui. Sulitnya mempelajari hal tersebut dikarenakan
banyak kejadian kejang pada neonatus yang tidak disertai manifestasi klinis yang
jelas. Meskipun demikian, menurut buku neonatologi IDAI, perkiraan angka
kejadian di Amerika Serikat berkisar antara 0.8-1.2 setiap 1000 neonatus setiap
tahun, sedang pada literatur lain menyebutkan 1-5% bayi pada bulan pertama
mengalami kejang. Insidensi meningkat kelahiran bayi kurang bulan sebesar 57.5-
132 dibanding bayi cukup bulan sebesar 0.7-2.7 setiap 1000 kelahiran hidup. Pada
kepustakaan lain menyebutkan insidensi 20% pada bayi kurang bulan dan 1.4%
pada bayi cukup bulan. Sekitar 70-80% neonatus secara klinis tidak tampak
kejang, namun pada elektrografik tampak gambaran masih kejang.3
Menurut data data dari Queensland Maternity and Neonatal clinical
guideline, kejang sangat sering terjadi dengan perkiraan 70% dari bayi kurang
bulan dengan pendarahan intraventriikular atau leukomalasia periventricular.
Kejang biasanya dikenali lebih sering dengan penggunaan monitor EEG
berkelanjutan.4

2.3 Etiologi
9

Ada banyak penyebab kejang pada neonatus, menurut buku IDAI dan
Avery’s neonatology, ada beberapa penyebab utama kejang neonatus, yaitu :
PENYEBAB KETERANGAN
Ensefalopati  Penyebab paling sering pada bayi cukup bulan (40-60%) dan
iskemik hipoksik merupakan penyebab utama dari perkembangan bayi yang
buruk
 Biasanya timbul dalam 24 jam
 Sulit dikontrol dengan medikamentosa
Pendarahan  Pendarahan intraventrikular
intrakranial  Pendarahan intracerebral
 Pendarahan subdural
 Pendarahan subarachnoid
Infeksi SSP  Meningitis bakteri
 Meningitis virus
 Encephalitis
 Intrauterine (TORCH) infections
 Bakteri patogen yang paling sering dari streptokokus
grup B, escherichia coli, listeria, staphyloccocus
Stroke perinatal  Oklusi arteri atau thrombosis vena dapat
menyebabkan stroke
 Insidensi 1 per 4000
Metabolik  Hipoglikemia
 Hipokalsemia
 Hipomagnesaemia
 Hipo/hipernatremia
 Ketergantungan pyridoxine
Kelainan  Merupakan penyebab yang jarang ditemukan,
metabolik bawaan namun tetap membutuhkan perhatian khusus untuk
menemukan penyebab yang dapat di tangani
Putus obat ibu
Kelainan otak  Anomali kromosom
kongenital  Anomali otak kongenital
 Kelainan neuro-degeneratif
Kejang neonatus  Biasanya timbul sebagai kejang tonik atau klonik
familial jinak pada hari ke 2 atau ke 3
Kejang hari  Dengan nama lain kejang neonatus jinak idiopatik
kelima  Biasanya hilang pada hari ke 15, penyebab tidak
diketahui

A. Ensefalopati iskemik hipoksik


10

Dapat terjadi pada bayi cukup bulan maupun bayi kurang bulan, terutama
yang terlahir dengan asfiksia. Bentuk kejang subtel atau multifokal klonik serta
fokal klonik. Kasus iskemik hipoksik disertai kejang, 20% akan mengalami infark
serebral. Manifestasi klinis ensefalopati hipoksik-iskemik dapat dibagi dalam 3
stadium : ringan, sedang, berat yang dimana kejang dapat timbul pada tingkat
sedang dan berat.
B. Perdarahan intrakranial
Penyebab kejang utama dan tersering pada bayi preterm. Perdarahan intra
kranial seringkali sulit disebut sebagai penyebab tunggal kejang. Biasanya
berhubungan dengan penyebab lain, yaitu :
1. Perdarahan sub arakhnoid
Perdarahan yang sering dijumpai pada neonatus, terutama sebagai
akibat dari proses partus yang lama. Awalnya bayi terlihat baik, namun
tiba-tiba timbul kejang pada hari pertama dan kedua. Pungsi lumbal
merupakan indikasi absolut untuk dilakukan untuk mengetahui adanya
darah di dalam cairan serebrospinal. Biasanya bayi ditemukan tampak
sakit berat pada 1-2 hari pertama dan timbul tanda-tanda peninggian
tekanan intrakranial seperti ubun-ubun besar yang menonjol dan
tegang, muntah memancar, menangis keras dan kejang-kejang.
2. Perdarahan sub dural
Perdarahan ini biasanya terjadi akibat robekan tentorium dekat falks
serebri. Biasanya bila ada molase berlebihan di letak verteks, letak
wajah dan partus lama. Manifestasi klinik biasanya sama dengan
ensefalopati hipoksik-iskemik ringan sedang. Dapat timbul pernapasan
yang tidak teratur apabila terjadi penekanan pada batang otak disertai
penurunan kesadaran, tangisan yang melengking dan ubun-ubun besar
tegang dan menonjol. Mortalitas tinggi, dan pada bayi yang hidup
hidup biasanya terdapat gejala sisa neurologis.
3. Perdarahan periventrikular/intraventrikular
Manifestasi klinis pperdarahan intraventrikuler tergantung pada
seberapa beratnya penyakit dan saat dimulainya perdarahan. Pada bayi
yang mengalami trauma atau asfiksia biasanya timbul pada hari
pertama dan kedua. Pada bayi kurang bulan dapat timbul gejala seperti
11

gangguan napas, kejang tonik umum, pupil terfiksasi kuadriparesis


flaksid, deserebrasi dan stupor atau koma yang dalam. Pada bayi
cukup bulan biasanya ditemukan riwayat intrapartum misalnya trauma,
pasca-pemberian cairan hpertonik secara cepat terutama natrium
bikarbonat dan asfiksia. Manifetasi klinis yang timbul biasanya
bervariasi mulai dari asimtomatik sampai gejala yang hebat. Gejala
neurologis yang paling sering ditemui adalah kjang yang bersifat fokal,
multifokal atau umum.

2.4 Patogenesis
Neuron di dalan sistem syaraf pusat mengalami depolarisasi sebagai hasil
dari perpindahan natrium ke arah dalam. Repolarisasi terjadi melalui keluarnya
kalium. Kejang terjadi apabila timbul depolarisasi yang berlebihan, sehingga
terbentuk gelombang listrik yang berlebihan. Volpe (2001) menjelaskan 4
kemungkinan alasan terjadinya depolarisasi berlebihan1 :
 Kegagalan dari pompa natrium kalium dikarenakan terganggunya
produksi energi.
 Terjadinya kelebihan relatif dari neurotransmiter eksitatorik
melawan inhibitorik
 Adanya kekurangan relatif dari neurotransmiter inhibitorik
melawan eksitatorik
 Perubahan dari membran neuron, menyebabkan inhibisi dari
pergerakan natrium.
Perubahan fisiologispada saat kejang berupa penurunan kadar glukosa otak
yang tajam dibandingkan kadar glukosa darah yang tetap normal atau meningkat
disertai peningkatan laktat. Hal ini merupakan refleksi dari kebutuhan otak yang
tidak dapat dipenuhi secara adekuat. Kebutuhan oksigen dan aliran darah ke otak
sangat esensial untuk mencukup kebutuhan oksigen dan glukosa otak. Laktat
terkumpul dan berakumulasi selama terjadi kejang, sehingga PH arteri menurun
dengan cepat. Hal inimenyebabkan tekanan darah sistemik meningkat dan aliran
darah ke otak naik.
12

Terjadinya kejang yang multifokal atau adanya perilaku yang tidak biasa
berhubungan pada kejang pada neonatus, merupakan efek dari mielinasi struktur
kortikal dan subkortikal yang masih sangat minim.
Perkembangan otak anak terjadi sangat cepat dari sejak baru lahir sampai 2
tahun yang disebut sebagai periode emas dan pembentukan sinaps dan kepadatan
dendrit pada sunsum tulang belakang terjadi sangat aktif pada sekitar kehamilan
sampai bulan pertama setelah kelahiran. Pada saat baru lahir, merupakan periode
tertinggi dari aktifitas eksitasi sinaps fisiologis dan sinaptogenesis yang terjadi
pada saat ini sepenuhnya bergantung pada aktifitas. Selain itu, menurut penelitian,
pada periode ini keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi pada sinaps cenderung
mengarah pada eksitasi untuk memberi jalan pada pembentukan sinaps yang
bergantung pada aktifitasnya5.
Beberapa mekanisme penting sehubungan dengan terjadinya kejang pada
neonatus adalah :
1. Peningkatan eksitabillitas pada neonatus
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada otak tikus yang diketahui
homolog dengan otak manusia, didapatkan bahwa jumlah neurotransmiter
seperti glutamate, α-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolepropionic acid
(AMPA) dan N-methyl-D-aspartate (NMDA) meningkat tajam pada 2
minggu awal kelahiran untuk membantu pembentukan sinaps yang
bergantung pada aktifitasnya5. Selain itu, pada periode ini merupakan saat
sesnsitifitas terhadap magnesium di titik terendah. Magnesium merupakan
penghalang reseptor endogen alamiah. Sehingga berdampak pada
meningkatnya eksitabilitas otak bayi.
2. Penurunan efektifitas inhibisi neurotansmiter pada otak imatur
Fungsi inhibisi dari reseptor GABA agonis terbentuk dan berkembang
secara perlahan-lahan. Penelitian terhadap tikus menunjukkan, fungsi
pengikatan reseptor GABA, pembentukan enzym dan ekspresi dari
reseptor lebih rendah pada masa-masa awal kehidupan5. Sehingga dengan
hubungannya terhadap aktifitas sel syaraf pada neonatus yang lebih
mengakomodasi aktifitas eksitabilitas, hal ini mendukung terjadinya
kejang.
13

3. Konfigurasi kanal ion lebih mengarah ke depolarisasi pada fase


awal kehidupan
Regulasi kanal ion juga mengatur eksitabilitas neuron dan seperti reseptor
neurotransmiter, regulasinya terbentuk dan berkembang perlahan-lahan.
Seperti yang terjadi padamutasi kanal ion K+ (KCNQ2 dan KCNQ3) yang
berhubungan dengan terjadinya kejang neonatus familial jinak,
menyebabkan proses hiperpolarisasi K+ yang berakibat terjadinya
penembakan potensial aksi yang berulang dengan cepat.
4. Peranan neuropeptida dalam terjadinya hipereksitabilitas pada otak
imatur
Sistem neuropeptida berfluktuasi secara dinamis pada periode perinatal.
Contoh penting ada pada Corticotropin releasing hormone(CRH), yang
memicu terjadinya potensi eksitasi pada neuron. Jika dbandingkan pada
fase kehidupan selanjutnya, CRH dikeluarkan pada tingkat yang lebih
tinggi pada 2 minggu awal kehidupan, seperti yang terlihat pada tikus 5.
CRH juga meningkat pada keadaan stress, yang menjelaskan mengapa
pada saat terjadi kejang pada otak yang imatur, maka akan memicu
terjadinya kejadian kejang yang berulang.

2.5 Awitan kejang


Awitan kejang yang terjadi pada kejang demam biasanya dimulai antara 12
hingga 48 jam setelah lahir, bayi jarang mengalami kejang saat berada di ruang
bersalim. Penelitian pada binatang menunjukkan bahwa kejang muncul 3-13 jam
setelah terjadi keadaan hipoksik iskemik dan sesuai dengan yang kita ketahui
tentang pelepasan dan penghancuran glutamat pada saat fase reperfusi sekunder 3.
Keadaan yang sama terjadi pada bayi. Kejang onset lanjut memberi kesan adanya
meningitis, kejang familial benigna atau hipokalsemia

2.6 Diagnosis
Diagnosis kejang pada neonatus harus dimulai dengan pemeriksaan
menyeluruh terhadap riwayat dan pemeriksaan fisik. Data-data penting seperti
riwayat penyalahgunaan narkotika dan pemakaian obat yang salah pada saat
kehamilan, infeksi intrauterus, dan kondisi metabolik harus dicatat dengan baik
dan didapat langsung dari ibu sedetail mungkin.
14

Adapun yang penting dicari melalui anamnesis adalah3 :


Faktor resiko :
 Riwayat kejang dalam keluarga
o Riwayat yang menyatakan adanya kejang pada masa
neonatus pada anak sebelumnya atau bayi meninggal pada
masa neonatal tanpa diketahui penyebabnya.
 Riwayat kehamilan /prenatal
o Infeksi – infeksi yang terjadi pada waktu hamil
o Preeklampsia, gawat janin
o Pemakaian obat golongan narkotika, metadon
o Imunisasi anti tetanus, rubela
 Riwayat persalinan
o Asfiksia, episode hipoksik
o Trauma persalinan
o Ketuban Pecah Dini
o Anestesi lokal/blok
 Riwayat pascanatal
o Infeksi neonatus, keadaan bayi tiba-tiba memburuk
o Bayi dengan pewarnaan kuning dan timbulnya dini
o Perawatan tali pusat tidak bersih dan kering, infeksi
tali pusat
o Faktor pemicu kejang oleh suara bising atau karena
prosedur perawatan
o Waktu atau awitan kejang mungkin terjadi
berhubungan dengan etiologi
o Bentuk gerakan abnormal yang terjadi
Manifestasi klinik
Kejang neonatus bisa timbul dalam beberapa tipe yang mungkin
terlihat bersamaan selama beberapa jam. Kejang diklasifikasikan
menurut manifestasi klinis yang timbul
Proporsi dari kejang
Tipe kejang Tanda klinis
neonatus
Subtle o 10-35% o Mata- melotot, mengedip,
tergantung deviasi horizontal
4 o Oral- Mencucu, mengunyah,
maturitas
o Lebih sering menghisap, menjulurkan
pada bayi cukup lidah
o Ekstremitas- memukul,
bulan
o Terjadi pada bayi gerak seperti berenang,
15

dengan gangguan mengayuh pedal


o Otonomik- apneu,
SSP berat
takikardia, tekanan darah
tidak stabil
4
Klonik o 50% o Biasanya dalam keadaan
o Lebih sering
sadar
pada bayi cukup o Gerak ritmik (1-3/detik)
o Fokus organ lokal atau 1
umur
sisi wajah atau tubuh.
Mungkin merupakan fokal
neuropathy yang
tersembunyi
o Multifokal – irregular,
terpotong-potong
Tonik  20% 4
 Mungkin meliatkan 1
 Lebih sering bagian ekstremitas atau
pada bayi seluruh tubuh
preterm  Ekstensi generalisata dari
bagian tubuh atas dan bawah
dengan postur opisthotonic
Mioklonik  5% 4
 Sentakan cepat terisolasi
(membedakan dari
mioklonik neonatus jinak)
 Fokal (1 bagian
ekstremitas) atau multifokal
(beberapa bagian tubuh)
 Ditemukan pada putus
obat (terutama gol. opiat

Harus dibedakan antara kejang dan gejala lain yang menyerupai kejang
seperti fenomena mioklonik fisiologik yang dikenal dengan nama mioklonik jinak
pada neonatus. Yang biasa terjadi pada keadaan tidur aktif (REM). Selain itu
fenomena lain yang penting adalah jitteriness.Jitteriness adalah gangguan dalam
pergerakan yang biasanya dihubungkan dengan hasil yang baik2. Jitteriness jinak
biasanya hilang dengan sendirinya dalam beberapa minggu. Adapun perbedaan
antara kejang dan jitteriness adalah :
Tanda Jitteriness Kejang
16

Membutuhkan pemicu Ya Tidak


Gerakan predominan Cepat, tremor, berosilasi Tonik, klonik
Gerakan hilang jika tubuh Ya Tidak
disentuh
Kesadaran Bangun atau tertidur Terganggu (penurunan
kesadaran)
Deviasi mata Tidak Ya

Pemeriksaan jasmani
Pemeriksaan fisis lengkap meliputi pemeriksaan pediatrik dan
neurologis, dilakukan secara sistematik dan berurutan. Kadang pemeriksaan
neurologi saat kejang dalam batas normal, namun demikian bergantung penyakit
yang mendasarinya sehingga neonatus yang mengalami kejang perlu pemeriksaan
fisis legkap secara sistematis dan berurutan :
1. Identifikasi manifestasi kejang yang terjadi, bila mungkin
melihat sendiri manifestasi kejang yang terjadi. Dengan
mengetahui bentuk kejang, kemungkinan penyebab dapat
ditemukan
2. Neonatus yang mengalami kejang biasanya tampak sakit.
Kesadaran yang tiba-tiba menurun berlanjut dengan hipoventilasi
dan berhentinya pernapasan, kejang tonik, posisi serebrasi, reaksi
pupil terhadap cahaya negatif dan terdapat kuadriparesis flaksid,
dicurigai terjadinya perdarahan intravetrikular.
3. Pantau perubahan tanda vital dengan melihat tanda seperti
sianosis dan kelainan pada jantung atau pernapasan sehingga
dapat dicurigai kemungkinian adanya iskemia otak.
4. Pemeriksaan kepala untuk mencari kemungkinan adanya
fraktur, depresi atau moulding yang berlebihan karena hal-hal
seperti trauma. Ubun-ubun besar yang tegang dan menonjol
menunjukkan adanya peningkatan tekanan intrakranial yang
disebabkan oleh perdarahan subaraknoid atau subdural serta
kemungkinan adanya meningitis
5. Pemeriksaan funduskopi dapat menunjukkan kelainan
perdarahan retina atau subhialoid yang merupakan manifestasi
patognomonik untuk hematoma subdural. Dapat ditemukan
17

korioretinitis pada toksoplasmosis, infeksi sitomegalovirus dan


rubela.
6. Pemeriksaan tali pusat untuk mengetahui apakah ada tanda-
tanda infeksi, berbau busuk, atau aplikasi dengan bahan tidak
steril pada kasus yang dicurigai spasme atau tetanus neonatorum.
Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Untuk menentukan prioritas pada pemeriksaan laboratorium,
harus digunakan informasi yang didapatkan dari riwayat dan
pemeriksaan jasmani dengan baik untuk mencari penyebab yang
lebih spesifik
 Kimia darah
Pemeriksaan kadar glukosa, kalsium, natrium, BUN dan
magnesium pada darah serta analisa gas darah harus
dilakukan.
 Pemeriksaan darah rutin
Termasuk di dalamnya pemeriksaan hemoglobin,
hematokrit, trombosit , leukosit, hitung jenis leukosit
 Kelainan metabolik
Dengan adanya riwayat keluarga kejang neonatus, bau
yang khas pada bayi baru lahir, intoleransi laktosa,
asidosis, alkalosis atau kejang yang tidak responsif
terhadap antikonvulsan, harus dicari penyebab-penyebab
metabolik yang mungkin.
o Kadar amonia dalam darah harus diperiksa
o Asam amino di plasma darah dan urin. Pada
urin sebaiknya diperiksa untuk mencari substansi
reduksi
2. Pemeriksaan radiologis
a. USG kepala dilakukan sebagai pemeriksaan lini
pertama untuk mencari adanya perdarahan intraventrikular
atau periventrikular. Perdarahan subarakhnoid atau lesi
kortikal sulit dinilai dengan pemeriksaan ini.
b. CT-scan kranium
Merupakan pemeriksaan dengan hasil mendetail mengenai
adanya penyakit intrakranial. CT scan sangat membantu
dalam menentukan bukti-bukti adanya infark, perdaraham,
18

kalsifikasi dan malformasi serebral.Melalui catatan


sebelumnya, pemeriksaan ini memberikan hasil yang
penting pada kasus kejang neonatus, terutama bila kejang
terjadi asimetris.
c. MRI
Pemeriksaan paling sensitif untuk mengetahui adanya
malformasi subtle yang kadang tidak terdeteksi dengan
CT-scan kranium..
3. Pemeriksaan lain
a. EEG(electroencephalography)
EEG yang dilakukan selama kejang akan memperlhiatkan
tanda abnormal. EEG interiktal mungkin memperlihatkan
tanda normal. Pemeriksaan EEG akan jauh lebih bernilai
pabila dilakukan pada 1-2 hari awal terjadinya kejang,
untuk mencegah kehilangan tanda-tanda diagnostik yang
penting untuk menentukan prognosis di masa depan bayi.
EEG sangat signifikan dalam menentukan prognosis pada
bayi cukup bulan dengan gejala kejang yang jelas. EEG
sangat penting untuk memeastikan adanya kejang di saat
manifestasi klinis yang timbul subtle atau apabila obat-
obatan penenang neuromuscular telah diberikan. Untuk
menginterpretasikan hasil EEG dengan benar, sangatlah
penting untuk mengetahui status klinis bayi (termasuk
keadaan tidur) dan obat-obatan yabg diberikan.
The International League Against Epilepsy
mempertimbangkan kriteria sebagai berikut :
o Non epileptikus : berdasarkan gejala
klinis kejang semata
o Epileptikus : Berdasarkan
konfirmasi pemeriksaan EEG. Secara klinis
mungkin tidak terlihat kejang, namun dari
gambaran EEG masih mengalami kejang.
 Kejang elektrografik
Kejang pada neonatus mempunyai tipe dan
lokasi onset, morfologi dan perambatan
19

yang bervariasi. Bayi preterm maupun


aterm, keduanya mempunyai kemampuan
menciptakan peristiwa ictal yang sangat
bervariasi, lokasi asal kejang yang paling
umum adalah lobus temporal. Beberapa
penelitian telah menghitung durasi kejang
pada neonatus. Umumnya digunakan
batasan 5 detik, namun Clancy dan Ledigo
menggunakan pembatasan menurut mereka
sendiri yaitu 10 detik sebagai durasi
minimal dan definisi ini juga diadopsi oleh
Sher dkk.
 Disosiasi elektroklinik
Terdapat ketidaksesuaian antara diagnosis
klinis dan gambaran EEG, hanya sepertiga
dari kasus yang dipelajari dengan rekaman
video yang manifestasi klinis dan
gelombang listriknya sesuai. Pada 349
neonatus yang diteliti oleh Mizrahi,
ditemukan 415 kejang pada 71 neonatus
secara klinis, sedangkan 11 neonatus lain
ditemukan secra elektrografis walaupun
secara klinis tidak kejang. Manifestasi
klinis timbul karena adanya gelombang
dari batang otak dan medula spinalis
dilepaskan dan kurangnya inhibisi dari
pusat yang lebih tinggi.

2.7 Tatalaksana
Manajemen
Tatalaksana kejang pada neonatus bertujuan untuk meminimalisir
gangguan fisiologis dan metabolik serta mencegah berulangnya kejang. Ini
20

melibatkan bantuan ventilasi dan perfusi, jika dibutuhkan, dan koreksi


keadaan hipoglikemia, hipocalcemia atau gangguan metabolik lainnya.
Kebanyakan bayi diterapi dan dimonitor hanya berdasarkan pada
diagnosis klinis saja, tanpa melibatkan penggunaan EEG. Penggunaan
EEG yang kontinyu menunjukkan bahwa masalah pada kejang
elektrografik adalah sering menetapnya kejang walaupun setelah
dimulainya terapi anti konvulsi.

Bagan manajemen terapi kejang pada neonatus4


21

Manajemen kejang pada neonatus


 Pengawasan jalan napas bersih dan terbuka, pemberian
oksigen
 Periksa dan catat aktivitas kejang yang terjadi
 Lakukan penilaian secepatnya apakah penyebab kejang
dapatg ditangani dengan cepat, jika tidak bisa tangani kejang
dengan fenobarbital 20 mg/kg IV 4sambil terus memonitor sistem
22

kardiovaskular dan respirasi dan lakukan teapi suportif yang


dibutuhkan.
 Hentikan semua asupan secara oral
 Usahakan tangani penyebab utama kejang sesuai tata cara
yang diindikasikan
 Jika kejang masih berlanjut, berikan dosis tambahan
fenobarbital 5 mg/kg IV 4(sampai tercapai dosis maksimal 40
mg/kgbb)
 Jika kejang masih berlanjut, berikan fenitoin 15-
20mg/kgbb4
 Kejang dapat tertangani, lanjutkan pengawasan.
Pertimbangkan untuk menghentikan obat antikonvulsan jika :
kejang terkontrol dan pemeriksaan neurologis normal atau
pemeriksaan neurologis abnormal namun EEG normal
Penggunaan obat-obatan anti konvulsi
Prinsip penatalaksaan pertama yaitu menangani penyebab yang
mendasari sangatlah penting untuk mencegah kerusakan otak yang lebih
berat.Namun, apabila penyebab yang mendasar kejang sulit untuk
ditangani dengan segera, perlu diingat untuk secepatnya menangani kejang
agar tidak terjadi kerusakan neurologis yang berat.Pada akhirnya, kejang
yang terjadi mungkin saja menjadi sulit ditangani dengan obat-obatan anti
konvulsi apabila penyebab utama yang mendasar tidak ditangani dengan
baik. (Lihat tabel penyebab utama kejang pada neonatus). Beberapa aspek
yang harus dipertimbangkan dalam menggunakan obat anti konvulsi
sebagai berikut :
- Bukti penggunaan
Sedikit bukti yang mendukung penggunaan obat anti konvulsi
yang diberikan pada neonatus saat ini dan sedikit konsensus
yang memberikan protokol penatalaksanaan optimal. Deteksi
kejang secara dini dan akurat sangat penting dalam memberikan
jalur pemberian obat anti konvulsi
i. Obat antikonvulsi mungkin tidak
menyembuhkan kejang EEG walaupun dapat
mengurangi atau menghilangkan gejala klinis.
- Administrasi
23

Pemberian obat anti konvulsi dengan prinsip :


o Intravena untuk efek yang cepat dan kadar
obat dalam darah yang dapat diprediksi
o Untuk mencapai level terapeutik dalam
serum yang tinggi
o Untuk mencapai dosis maksimum sebelum
memberikan dosis yang kedua
- Rumatan dan durasi penggunaan obat antikonvulsi
o Terapi dengan dosis rumatan mungkin tidak
dibutuhkan apabila dosis awal cukup untuk
menangani kejang secara klinis
o Bayi dengan konvulsi lama atau dengan
kesulitan dalam menangani kejang dan bayi dengan
kelainan pada EEG akan mendapat manfaat dari
pemberian obat anti konvulsi yang berkelanjutan
dengan syarat :
- Level serum harus dimonitor
- Rencana manajemen
penatalaksanaan kejang darurat harus dibuat.
Termasuk, jika dibutuhkan, rencana
penggunaan Midazolam buccal/intranasal
- Penghentian penggunaan obat-obatan anti konvulsi
Ada sedikit resiko terjadinya kejang berulang setelah pemutusan
obat anti konvulsi secara dini pada neonatus. Pertimbangkan
penghentian penggunaan obat anti konvulsi apabila :
- Setelah kejang sudah berhenti dan
pemeriksaan neurologis normal
- Setelah pemeriksaan neurologis selanjutnya
tetap tidak normal, pertimbangkan berhenti jika
EEG tampak normal.
- Jadwal pemberian obat anti konvulsi
- Phenobarbital
Phenobarbital
Dosis dan administrasi Loading dose :
- 20 mg/kg IV – selam
menit
- Dosis tambahan(pili
24

mg/kg/kali sampai k
mereda atau dosis to
mg/kg) telah tercapa
Rumatan :
- IV (perlahan-lahan –
mg/kg/menit), IM, O
- 2.5-5 mg/kg sekali s
dimulai 12-24 jam s
awal
Keterangan  Pengobatan lini pert
 Efektivitas kurang d
 Mengurangi kejang
klinis namun efek kurang
kejang EEG
 Penambahan obat ke
(contoh : fenitoin) sering
dibutuhkan
 Mungkin menyebab
apneu/depresi respiratori
dosis tinggi (40 mg/kg) d
peningkatan konsentrasi
(diatas 60 mikrogram/mL

Jangkauan terapeutik :
- Ukur level s
setelah 48 jam dari p
intravena dosis awal
- 15-40 micro
(65-170 micromol/L

- Fenitoin
Fenitoin
Dosis dan administrasi Dosis awal :
- 15-20 mg/kg IV – k
infus maksimum 0.5
mg/kg/menit(jika m
- IV atau oral
- Setelah dosis awal :
perhari
25

- Setelah umur 1 ming


sampai 8 mg/kg/kali
sampai 3 kali sehari
Keterangan  Tidak cocok dengan
intra muskular
 Pastikan keutuhan d
pembuluh darah karena
resiko radang jaringan da
apabila terjadi ekstravasa
 Berikan dengan men
filter dan diikuti bolus N
 Berikan perlahan-la
intravena untuk mencega
terjadinya aritmia jantun
 Monitor heart rate d
dan tekanan darah untuk
mengetahui apabila ada h
Jangkauan level terapeutik
- Ukur konse
dalam darah setelah
dosis awal intravena
- 6-15 mikrog
pada minggu-mingg
kehidupan dilanjutk
mikrogram/mL

- Midazolam
Midazolam
Dosis dan administrasi  0.15 mg/kg IV minimal s
menit
Infus :
 60-400 mikrogram/k
 Rekonstitusi dan dilu
 Dilusi 1 mg/k
midazolam ke
cairan 50 mL
Nacl 0.9%, gl
atau 10%
 1 ml/jam
26

mikrogra
Keterangan  Efektif pada bayi yan
kejang setelah diberikan f
dan/atau fenitoin
 Dapat menyebabkan
respiratorik dan hipotensi
disuntikkan dengan cepat
diberikan bersamaan den
golongan narkotika

Kontroversi Phenobarbital vs Phenitoin


Selama ini ada beberapa perdebatan mengenai mana yang
lebih baik digunakan terlebih dahulu untuk menangani kejang pada
neonatus. Ada beberapa pertimbangan mengenai kelebihan dan
kekurangan dari masing-masing obat.Terapi yang dulu
dipergunakan adalah fenitoin sebagai terapi awal. Namun seiring
berkembangnya waktu, banyak paradigma baru yang
mempergunakan phenobarbital sebagai terapi awal yang lebih baik.
Phenobarbital
Penggunaan fenobarbital telah lama dianggap sebagai yang utama
untuk menangani kejang pada neonatus. Pemberian secara
intravena dapa dilakukan secepatnya setelah jalur infus telah
terpasang. Konsentarsi serum dapat ditentukan dengan sangat cepat
dan dosis yang lebih jauh lagi dapat diberikan apabila diperlukan.
Absorbsi secara enteral termasuk baik, jadi memudahkan
pemindahan antara administrasi intravena ke pemberian secara oral.
Fenobarbital dimetabolismekan di hepar, sehingga dosis rumatan
biasanya harus dinaikkan 5-8 mg/kg6 karena pada beberapa kasus
asfiksia, bayi harus memulihkan diri dari disfungsi hepar akut.
Hipotermia juga menurunkan metabolisme phenobarbital.
Fenitoin
Fenitoin memiliki efektivitas yang sama dengan phenobarbital
sebagai terapi awal kejang neonatus. Namun dikarenakan sulitnya
mempertahankan dosis terapi fenitoin6, phenobarbital lebih sering
digunakan sebagai terapi awal, terutama pada kasus akut.
Kekurangan lain pada fenitoin adalah tingginya potensi interaksi
27

dengan obat-obatan yang berikatan dengan protein. Namun, dosis


awal dari fenitoin lebih rendah resikonya untuk menyebabkan efek
sedasi dibandingkan fenobarbital. Fenitoin bercampur kurang baik
pada PH netral dan juga menyebabkan presipitat jika digunakan
bersama dextrose, jadi harus diberikan dengan jalur intravena bebas
dextrose. Vehikulus yang digunakan fenitoin sangat iritatif terhadap
jaringan lunak, sehingga sering menyebabkan cedera jaringan lunak
jika terjadi jalur ekstravasasi. Fenitoin menggunakan jalur anti
kejang yang berbeda dengan phenobarbital, fenitoin menghalangi
kanal natrium sehingga mencegah tembakan neuron berulang.
Sedangkan phenobarbital meningkatkan kemampuan inhibisi.
Karen perbedaan inilah, ditarik kesimpulan fenitoin dan
phenobarbital digunakan secara berdampingan dalam menangani
kejang pada neonatus.

Obat-obatan lain
Ada beberapa laporan penggunaan obat-obatan lain dalam
menangani kejang pada neonatus. 1 yang paling diterima secara
antusias adalah levetiracetam. Levetiracetam telah digunakan
walaupun masih sedikit catatan mengenai percobaan obat ini
terhadap neonatus. Obat ini tidak memiliki interaksi dengan obat
lain. Obat ini tersedia sebagai solusi oral, sehingga memudahkan
konversi ke terapi oral. Obat ini dimetabolisme di ginjal, bukan di
hati. Mekanisme yang diketahui saat ini tidk secara langsung
melalui inhibisi atau eksitasi neutransmisi7. Dilaporkan beberapa
asus yang mengindikasikan efektifitas dan efek samping serius.
Dosis yang biasa digunakan adalah diantara 10-50 mg/kg7 dan
dosis rumatan harian dengan jumlah yang sama.
Kriteria memulangkan bayi
Sebagian besar dokter anak akan memulangkan bayi dengan
memberikan fenobarbital dosis rumatan jika ada pemeriksaan
neurologis yang abnormal. Beberapa melakukan pemeriksaan EEG
lagi dalam 1 bulan, atau sesaat sebelum keluar dari perawatan, dan
menghentikan terapi antikonvulsan jika EEGnya normal. Jika
28

keluar dari perawatan dengan tetap menggunakan obat


antikonvulsan, pertimbangkan penghentiannya jika mereka telah
bebas kejang selama 9 bulan.

2.8 Prognosis
Menurut buku neonatus IDAI, kejang pada neonatus dapat mengakibatkan
kematian, atau jika hidup dapat menderita gejala sisa atau sekuele3
Etiologi Meninggal (%) Cacat (%) Normal (%)
HIE sedang dan berat 50 25 25
Bayi kurang bulan 58 23 18
Meningitis 20 40 40
Malformasi otak 60 40
Hipokalsemia 100
Hipoglikemia 50 50

Prognosis jangka panjang sesudah kejadian kejang pada bayi berat lahir
rendah seperti pada bayi berat lahir normal berhubungan langsung dengan
penyebabnya.
Kejang awitan dini biasanya dihubungkan dengan angka kesakitan dan
kematian yang tinggi. Kejang berulang, semakin lama kejang berlangsung
semakin tinggi risiko kerusakan pada otak dan berdampak pada terjadinya
kelainan neurologik lanjut (misalnya cerebral palsy dan retardasi mental).
29

BAB IV
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kejang pada neonatus merupakan kelainan yang dapat berdampak buruk
pada masa depan bayi bahkan dapat menyebabkan kematian bayi. Angka kejadian
pasti dari kejang pada neonatus belum diketahui secara pasti karena sulitnya
mempelajari bayi yang baru lahir
Manifestasi klinis dari kejang pada neonatus dapat bermacam-macamdapat
berupa kejang tonik, klonik, subtle dan mioklonik.Selain iru bisa juga tidak
terlihat manifestasi secara klinis, namun bila diperiksa dengan menggunakan
EEG, akan terlihat tanda abnormal pada hasil pemeriksaan .
Penegakkan Diagnosis kejang pada neonatus didapat dari pemeriksaan
secara menyeluruh dan detail melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
` Tatalaksana yang digunakan merupakan manajemen terpadu yang
dilakukan untuk meminimalisir kerusakan otak bayi melibatkan penggunaan obat-
obat anti konvulsi.
Ada beberapa obat-obatan antikonvulsi yang digunakan saat ini. Yang
paling sering adalah phenobarbital dan fenitoin
30

DAFTAR PUSTAKA

1. Ghomela, Tricia.Lange Neonatology : Management, Procedures,


On-Call Problems, Diseases, Drugs.2004. edisi 5. New York : The
Mcgraw-Hills
2. Gordon B. Avery, Mhairi G. MacDonald, Mary M. K.
Seshia, Martha D. Mullett, M.D.Avery’s neonatology : Pathophysiology
And Management Of The Newborn.2005. edisi 6. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins
3. Kosim M. Sholeh,Ari Yunanto, Rizalya Dewi, Gatot Irawan
Santosa, Ali Usman.Buku Ajar Neonatologi. 2010. Jakarta: Badan Penerbit
IDAI.
4. Queensland Maternity and Neonatal Clinical Guideline.2001-
2011.Queensland(Australia): Queensland Goverment. 2011
5. Jensen MD, Frances. Neonatal Seizures : An Update on
Mechanisms and management. Clin Perinatol. 2009; 36(4): 881
6. Olson MD, Donald. Neonatal Seizures. Neoreviews 2012; 13; e213
7. Ramantani G, et al. Levetiracetam: Safety and Efficacy in neonatal
seizures, European Journal of Paediatric Neurology 2010,
doi:10.1016/j.ejpn.10.003

Anda mungkin juga menyukai