Anda di halaman 1dari 3

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Manusia pada usia dewasa memiliki 32 gigi permanen yang terdiri atas
masing-masing 16 gigi pada maksila dan mandibula. Setiap rahangnya memiliki 4
gigi insisivus, 2 gigi kaninus, 4 gigi premolar dan 6 gigi molar . Masing-masing dari
gigi tersebut erupsi secara wajar dan sangat jarang menimbulkan masalah bagi
kesehatan gigi dan mulut seseorang. Terkecuali pada gigi molar yang terakhir
bererupsi yaitu umur 17-21 tahun yang disebut gigi molar ke tiga. Erupsinya gigi
molar ke tiga sering menimbulkan masalah dalam kesehatan gigi dan mulut. Salah
satu adalah terjadinya Impaksi. Frekuensi gangguan erupsi terbanyak pada gigi molar
ketiga baik di rahang atas maupun di rahang bawah diikuti gigi kaninus rahang atas.
Di Indonesia frekuensi yang paling sering terjadi impaksi adalah gigi molar ke
tiga mandibula. Pertumbuhan gigi molar tersebut dimulai pada usia 17-21 tahun, 9-
24% kasus melaporkan bahwa pertumbuhan gigi tersebut mengalami impaksi tetapi
ada juga yang melaporkan bahwa 13-15% gigi tersebut tidak mengalami
pertumbuhan. Gigi dinyatakan impaksi apabila setelah mengalami pembentukan akar
sempurna, gigi mengalami kegagalan erupsi ke bidang oklusal. Berdasar teori
filogenik, gigi impaksi terjadi karena proses evolusi mengecilnya ukuran rahang
sebagai akibat dari perubahan perilaku dan pola makan pada manusia. Beberapa
faktor yang diduga juga menyebabkan impaksi antara lain perubahan patologis gigi,
kista, hiperplasi jaringan atau infeksi local. Keadaan Impaksi yang disebabkan gigi
mandibula tersebut merupakan salah satu etiologi terjadinya infeksi orofacial, yaitu
terjadinya perikoronitis (Dwipayanti, 2009).
Perikoronitis merupakan infeksi non spesifik pada jaringan lunak disekitar
mahkota gigi yang erupsinya tidak sempurna. Peradangan ini disebabkan oleh infeksi
bakteri yang berkembang biak akibat retasi makanan dibawah operculum molar
dibawah, karena pada saat erupsi, gingival yang menutupi gigi yang menjadi media
pertumbuhan bakteri yang baik. Prevlensi terjadinya perikoronitis bervariasi antara 8-
59%. Perikoronitis dapat ditemukan dalam kondisi akut dengan disertai tanda-tanda
keterlibatan sistemik seperti demam dan malaise maupun dalam kondisi kronik yang
berkembang selama beberapa minggu atau bulan. Hal tersebut mungkin berhubungan
dengan kondisi kebersihan mulutnya, stress dan adanya infeksi saluran nafas bagian
atas. Pericoronitis dapat ditangani dengan melakukan irigasi pada daerah di bawah
jaringan yang meradang, pemberian antibiotic dan eksisi ketika kondisi akut telah
teratasi. Perawatan pericoronitis tergantung pada tingkat keparahan peradangan,
komplikasi sistemik, dan kelayakan untuk mempertahankan gigi yang terlibat
(Kadaryati, 2007).
Kondisi akut merupakan kontraindikasi dilakukan operkulektomi
Operkulektomi adalah prosedur bedah untuk menghilangkan operkulum, atau
lipatan gusi yang menutupi gigi. Pasien dengan riwayat penyakit sistemik
merupakan kontraindikasi untuk dilakukan prosedur bedah. Salah satu penyakit
sistemik adalah diabetes mellitus. Diabetes mellitus adalah penyakit endokrin yang
ditandai oleh naiknya kadar glukosa dalam darah. Peningkatan kadar glukosa ini
terjadi karena: defisiensi insulin yang bersifat relatif ataupun absolut, atau akibat
adanya peningkatan resistensi sel terhadap kerja insulin. Prevalensi diabetes pada
kelompok usia 45-54 tahun untuk daerah perkotaan di Indonesia menduduki
peringkat ke-2 yaitu 14,7%. Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan
penyandang diabetes di Indonesia pada tahun 2030 akan mencapai21,3 juta
jiwa(Cawson dan Odell, 2008; Wilkins, 2009).
Defisiensi insulin yang terjadi menimbulkan gangguan pada metabolisme
karbohidrat, lemak dan protein. Pada penderita diabetes mellitus ditemukan
mikroangiopati akibat adanya penebalan yang terjadi pada membran basalis. Selain
itu juga terjadi atherosklerosis karena peningkatan kadar kolesterol dan trigliserida di
dalam serum. Gangguan metabolism dan mikroangiopati tersebut menimbulkan
berbagai kelainan yang dapat ditemukan dalam mulut (Guyton and Hall, 2016).
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis akan melaporkan kasus
penatalaksanaan perikoronitis pada penderita diabetes mellitus di Puskesmas Pakis
Kecamatan Pakis Kabupaten Malang.
1.2 Tujuan Umum
Mempelajari penyebab, gejala, diagnosis dan penatalaksanaan pericoronitis
pada penderita diabetes mellitus sehingga didapatkan pelayanan dan tata laksana yang
tepat.
1.2.1 Tujuan Khusus
1. Menjelaskan konsep dasar tentang pericoronitis pada penderita diabetes
mellitus.
2. Menjelaskan rencana perawatan dan penatalaksanaan pericoronitis pada
penderita diabetes mellitus.
1.3 Sasaran
Salah satu pasien pericoronitis disertai diabetes mellitus.
1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi Pasien
Dapat memberikan tambahan pengetahuan pasien tentang permasalahan rongga
mulut terutama mengenai pericoronitis pada penderita diabetes mellitus
1.4.2 Bagi Mahasiswa
Dapat menambah ilmu dan wawasan tentang pericoronitis pada penderita
diabetes mellitus.
1.4.3 Bagi Puskesmas
Dapat memberikan informasi dan masukan dalam pelayanan yang
berhubungan dengan pericoronitis pada penderita diabetes mellitus.

Anda mungkin juga menyukai