Anda di halaman 1dari 37

TINJAUAN ULANG PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN

LENTUR JALAN RAYA


MENGGUNAKAN METODE BINA MARGA

(Studi Kasus Proyek Rekonstruksi / Peningkatan Struktur Jalan


Simpang Peut – Batas Aceh Selatan Km 337)

Tugas Akhir

Untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-syarat


Yang Diperlukan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Teknik (S-1)

Disusun Oleh :

FAJRI DEDIANSYAH

NIM : 06C10203085

Bidang : Transportasi

Jurusan : Teknik Sipil

FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS TEUKU UMAR


ALUE PEUNYARENG – MEULABOH
2014
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan jalan raya merupakan salah satu hal yang selalu


beriringan dengan kemajuan teknologi dan pemikiran manusia yang
menggunakannya, karenanya jalan merupakan fasilitas penting bagi manusia
supaya dapat mencapai suatu tujuan daerah yang ingin dicapai. Jalan raya adalah
suatu lintasan yang bertujuan melewatkan lalu lintas dari suatu tempat ke tempat
yang lain. Arti lintasan disini dapat diartikan sebagai tanah yang diperkeras atau
jalan tanah tanpa perkerasan, sedangkan lalu lintas adalah semua benda dan
makhluk hidup yang melewati jalan tersebut baik kendaraan bermotor, tidak
bermotor, manusia, ataupun hewan.
Beban berlebih, adalah salah satu faktor penyebab utama kerusakan
perkerasan jalan, juga jumlah lintasan beban berat (truk bermuatan) yang tidak
terdeteksi secara tepat dalam perhitungan lalu lintas, yang mana hal tersebut
merupakan salah satu data masukan utama pada sistem perancangan, sehingga
yang terjadi di lapangan agak berbeda dengan yang direncanakan.
Penelitian dilakukan dengan cara mengumpulkan data sekunder, berupa
data lalu lintas, tonase kendaraan, dan kondisi lapangan, yang diperoleh dari
Dinas Bina Marga Cipta Karya Kabupaten Nagan Raya serta data CBR tanah
dasar, job mix formula, shop drawing, dan data-data pendukung lainnya pada
proyek rekonstruksi / peningkatan struktur jalan simpang peut–batas Aceh Selatan
(km 337) 2 jalur yang diperoleh dari kontraktor pelaksana yaitu PT. Wirataco
Mitra Mulia. Berdasarkan data sekunder tersebut, selanjutnya untuk menentukan
tebal perkerasan yang direncanakan dengan menggunakan petunjuk perencanaan
tebal perkerasan lentur jalan raya dengan metode analisa komponen SKBI –
2.3.26.1987 Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga.

1
2

1.2 Identifikasi Masalah

Dengan berdasarkan pada latar belakang tersebut di atas, perencanaan


jalan pada tugas akhir ini, menghubungkan Barat – Selatan Aceh. Jenis kelas jalan
yang akan direncanakan adalah jalan arteri kelas II. Jalan raya arteri kelas II
adalah jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri perjalanan jarak jauh,
kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien.
Identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Lapis permukaan (Surface Course) : Laston MS 744;
2. Lapis pondasi atas (Base Course) : Agg Class ”A” CBR 90%;
3. Lapis pondasi bawah (Sub Base Course) : Agg Class “B” CBR 60 %;
4. Lalu lintas harian rata-rata (LHR) pada jalan Simpang Peut – batas Aceh
Selatan (km 337) 2 jalur;
5. Pengaruh california breating ratio (CBR) tanah dasar pada jalan Simpang Peut
– batas Aceh Selatan (km 337) 2 jalur;
6. Tingkat pertumbuhan lalu lintas pada jalan jalan Simpang Peut – batas Aceh
Selatan (km 337) 2 jalur.

1.3 Rumusan Masalah

Perumusan masalah yang menjadi permasalahan disini adalah sebagai


berikut :
1. Bagaimana menghitung lalu lintas harian rata-rata (LHR) pada jalan Simpang
Peut – batas Aceh Selatan (km 337)?
2. Bagaimana menentukan tebal perkerasan lentur yang ditinjau dari beban
operasional lalu lintas yang terjadi dengan menggunakan metode analisa
komponen SKBI – 2.3.26.1987 Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga?
3. Seberapa besar pengaruh CBR tanah dasar dan tingkat pertumbuhan lalu lintas
terhadap tebal perkerasan jalan?
3

1.4 Batasan Penelitian

Batasan masalah yang akan dibahas pada tugas akhir ini adalah :
1. Menghitung lalu lintas harian rata-rata (LHR) pada jalan Simpang Peut –
batas Aceh Selatan (km 337) 2 jalur;
2. Menghitung tebal perkerasan lentur (Flexible Pavemant) pada jalan Simpang
Peut – batas Aceh Selatan (km 337) 2 jalur;
3. Pengaruh CBR tanah dasar dan tingkat pertumbuhan lalu lintas terhadap
tebal perkerasan jalan;
4. Analisa yang digunakan berdasarkan aspek teknis dan petunjuk perencanaan
tebal perkerasan lentur jalan raya dengan metode analisa komponen SKBI –
2.3.26.1987 Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga;
5. Tidak membahas masalah rencana anggaran biaya (RAB) dan drainase jalan;

1.5 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari perencanaan tebal perkerasan lentur jalan raya


dengan menggunakan metode analisa komponen pada proyek rekonstruksi /
peningkatan struktur jalan Simpang Peut – batas Aceh Selatan (km 337) 2 jalur
adalah :
1. Dapat menghitung lalu lintas harian rata-rata (LHR) dengan mengikuti buku
petunjuk perkerasan lentur jalan raya Silvia Sukirman 1999, selama 3 x 16 jam
atau 3 x 24 jam terus menerus;
2. Dapat merencanakan dan menghitung serta mengetahui hasil nilai tebal
perkerasan lentur (Flexible Pavemant) dengan menggunakan metode analisa
komponen SKBI – 2.3.26.1987 Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga, sesuai
dengan petunjuk perencanaan tebal perkerasan lentur jalan raya;
3. Dapat mengetahui seberapa besar pengaruh CBR tanah dasar dan beban
operasional lalu lintas yang melewati jalan Simpang Peut – batas Aceh Selatan
(km 337);
4. Mengetahui CBR (California Bearing Ratio) setiap lapisan perkerasan jalan
4

(sub grade, LPB, dan LPA);


5. Dapat mengetahui dan mengevaluasi hasil perhitungan penelitian Tugas Akhir
ini dengan kondisi di lapangan.

1.6 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah :
1. Mahasiswa dapat mengetahui dan merencanakan tebal perkerasan jalan serta nilai
tebal perkerasan lentur dengan CBR (California Bearing Ratio) yang sama
seperti yang dikerjakan pada proyek rekonstruksi/peningkatan struktur jalan
Simpang Peut – batas Aceh Selatan (km 337) 2 jalur;
2. Mahasiswa dapat mendesain tebal perkerasan lentur jalan yang merujuk pada
buku petunjuk perencanaan tebal perkerasan lentur jalan raya dan literatur-
literatur buku referensi yang ada;
3. Dapat digunakan sebagai referensi untuk evaluasi perencanaan tebal
perkerasan jalan lainnya.
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Umum

Berdasarkan peraturan pemerintah nomor 34 Tahun 2006, tentang jalan


disebutkan bahwa jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala
bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang
diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas
permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan
air, kecuali (jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel).

Jalan raya adalah jalur-jalur tanah di atas permukaan bumi yang dibuat
oleh manusia dengan bentuk, ukuran-ukuran dan jenis konstruksinya sehingga
dapat digunakan untuk menyalurkan lalu lintas orang, hewan, dan kendaraan yang
mengangkut barang dari suatu tempat ke tempat lainnya dengan mudah dan cepat.
(Oglesby, 1999).
Jalan raya adalah suatu lintasan yang bertujuan melewatkan lalu lintas
dari suatu tempat ke tempat lain. Lintasan tersebut menyangkut jalur tanah yang
diperkuat (diperkeras) dan jalur tanah tanpa perkerasan. Sedangkan maksud lalu
lintas diatas menyangkut semua benda atau makhluk hidup yang melewati jalan
tersebut baik kendaraan bermotor, gerobak, hewan ataupun manusia. (Setyawan,
2003).
Perkerasan jalan adalah konstruksi yang dibangun diatas lapisan tanah
dasar (subgrade) yang berfungsi untuk menopang beban lalu lintas. (Hendarsin,
2000).
Konstruksi perkerasan lentur terdiri dari lapisan-lapisan yang diletakkan
diatas tanah dasar yang telah dipadatkan. Lapisan-lapisan tersebut menerima
beban lalu lintas dan menyebarkan ke lapisan dibawahnya. Beban kendaraan
dilimpahkan ke perkerasan jalan melalui bidang kontak roda beban berupa beban

5
6

terbagi rata. Beban tersebut berfungsi untuk diterima oleh lapisan permukaan dan
disebarkan ke tanah dasar menjadi lebih kecil dari daya dukung tanah dasar.
(Sukirman, 1999).
Data volume lalu lintas dapat di peroleh dari pos-pos rutin yang ada di
sekitar lokasi. Jika tidak terdapat pos-pos rutin di dekat lokasi atau untuk
pengecekan data, perhitungan volume lalu lintas dapat di lakukan secara manual
ditempat-tempat yang di anggap perlu. Perhitungan lalu lintas harian rata-rata
(LHR) dapat dilakukan selama 3 x 16 jam atau 3 x 24 jam terus menerus. Dengan
memperhatikan faktor hari, bulan, musim dimana perhitungan dapat diperoleh
dari data lalu lintas harian rata-rata (LHR) yang representatif. (Sukirman, 1999).

2.2 Klasifikasi Jalan

Klasifikasi jalan di Indonesia menurut Bina Marga dalam tata cara


perencanaan geometrik jalan antar kota (TPGJAK) No 038/T/BM/1997, untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran Tabel B.2.1 Halaman 69.

2.3 Konstruksi Perkerasan Jalan

Lapisan perkerasan adalah konstruksi diatas tanah dasar yang berfungsi


memikul beban lalu lintas dengan memberikan rasa aman dan nyaman. Pemberian
konstruksi lapisan perkerasan dimaksudkan agar tegangan yang terjadi sebagai
akibat pembebanan pada perkerasan ketanah dasar (subgrade) tidak melampaui
kapasitas dukung tanah dasar. Konstruksi perkerasan jalan dibedakan menjadi dua
kelompok menurut bahan pengikat yang digunakan, yaitu perkerasan lentur
(fleksible pavement) dan perkerasan kaku (rigid pavement). Perkerasan lentur
(fleksible pavement) dibuat dari agregat dan bahan ikat aspal. Lapis perkerasan
kaku (rigit pavement) terbuat dari agregat dan bahan ikat semen, terdiri dari satu
lapisan pelat beton dengan atau tanpa pondasi bawah (subbase) antara perkerasan
dan tanah dasar (subgrade).
7

Menurut petunjuk perencanaan tebal perkerasan lentur jalan raya dengan


metode Bina Marga konstruksi jalan terdiri dari :

2.3.1 Lapis permukaan (surface course)

` Menurut Sukirman 1999, Lapisan permukaan (surface course) adalah


lapisan yang terletak paling atas dan berfungsi sebagai :
a. Struktural, yaitu berperan mendukung dan menyebarkan beban kendaraan yang
diterima oleh lapis keras;
b. Non struktural, yaitu berupa lapisan kedap air untuk mencegah masuknya air
kedalam lapis perkerasan yang ada dibawahnya dan menyediakan permukaan
yang tetap rata agar kendaraan berjalan dengan lancar.

2.3.2 Lapis pondasi atas (base course)

Menurut Sukirman 1999, lapisan pondasi atas (base course) adalah


lapisan perkerasan yang terletak diantara lapis pondasi bawah dan lapis
permukaan dan berfungsi sebagai :
a. Bagian perkerasan yang menahan gaya lintang dari beban roda dan
menyebarkan beban kelapisan dibawahnya;
b. Lapisan peresapan untuk lapisan pondasi bawah;
c. Bantalan terhadap lapisan permukaan.

2.3.3 Lapis pondasi bawah (subbase course)

Menurut Sukirman 1999, lapis pondasi bawah (subbase course) adalah


lapis perkerasan yang terletak antara lapisan pondasi atas dan tanah dasar dan
berfungsi sebagai :
a. Bagian dari konstruksi perkerasan untuk menyebarkan beban roda pada tanah
dasar;
b. Efesiensi pengunaan material;
8

c. Mengurasi ketebalan lapis keras yang ada diatasnya;


d. Sebagai lapisan peresapan, agar air tanah tidak berkumpul pada pondasi;
e. Sebagai lapisan pertama agar memudahkan pekerjaan selanjutnya;
f. Sebagai pemecah partikel halus dari tanah dasar naik ke lapis pondasi atas.

2.3.4 Lapis tanah dasar (subgrade)

Menurut Sukirman 1999, tanah dasar (subgrade) adalah permukaan tanah


semula, permukaan tanah galian atau timbunan yang dipadatkan dan merupakan
dasar untuk perletakan bagian lapis keras lainnya.

2.4 Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

Perencanaan konstruksi lapisan perkerasan lentur disini untuk jalan baru


dengan metode Bina Marga. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran
Gambar A.2.1 Halaman 38.
Adapun untuk perhitungannya perlu pemahaman istilah-istilah sebagai
berikut :

2.4.1 Lalu lintas

Di dalam undang-undang nomor 22 tahun 2009, lalu lintas didefinisikan


sebagai gerak kendaraan dan orang di ruang lalu lintas jalan, sedang yang
dimaksud dengan ruang lalu lintas jalan adalah prasarana yang di peruntukkan
bagi gerak pindah kendaraan, orang, dan barang yang berupa jalan dan fasilitas
pendukung.

2.4.2 Jumlah jalur dan koefisien distribusi kendaraan

Jalur rencana merupakan salah satu jalur lalu lintas dari suatu ruas jalan
raya, yang menampung lalu lintas terbesar. Jika jalan tidak memiliki tanda batas
9

jalur, maka jumlah jalur ditentukan dari lebar perkerasan untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada Lampiran Tabel B.2.4 Halaman 70.

2.4.3 Lalu lintas harian rata-rata (LHR)

Adalah volume lalu lintas yang dua arah yang melalui suatu titik rata-rata
dalam satu hari. Lalu lintas harian rata-rata (LHR) setiap jenis kendaraan
ditentukan pada awal umur rencana, yang dihitung untuk dua arah pada jalan
tanpa median atau masing-masing arah pada jalan dengan median. Menurut
Sukirman 1999, perhitungan lalu lintas harian rata-rata (LHR) dapat dilakukan
selama 3 x 16 jam terus menerus. Dengan memperhatikan faktor hari, bulan,
musim dimana perhitungan dapat diperoleh dari data lalu lintas harian rata-rata
(LHR) yang representatif.

- Lalu lintas harian rata-rata permulaan (LHRp)

𝑛₁
𝐿𝐻𝑅𝑃 = (𝐿𝐻𝑅𝑆 ) 𝑥 1 + 𝑖1 .............................................................. 2.1

- Lalu lintas harian rata-rata akhir (LHRA)

𝑛₂
𝐿𝐻𝑅𝐴 = (𝐿𝐻𝑅𝑃 ) 𝑥 1 + 𝑖2 ............................................................... 2.2

Dimana : LHRp = Lalu lintas harian rata-rata permulaan


LHRs = Lalu lintas harian rata-rata sementara
𝐿𝐻𝑅𝐴 = Lalu lintas harian rata-rata akhir
n₁, n₂ = Masa konstruksi dan umur rencana
𝑖1 , 𝑖2 = Pertumbuhan lalu lintas masa konstruksi.

2.4.4 Rumus-rumus lintas ekuivalen

- Lintas ekuivalen permulaan (LEP)


10

𝑛
𝐿𝐸𝑃 = 𝑗 =𝑚𝑝 𝐿𝐻𝑅𝑃𝑗 𝑥 𝐶 𝑥 𝐸 ..................................................................... 2.3

- Lintas ekuivalen akhir (LEA)

𝑛
𝐿𝐸𝐴 = 𝑗 =𝑚𝑝 𝐿𝐻𝑅𝐴𝑗 𝑥 𝐶 𝑥 𝐸 ..................................................................... 2.4

- Lintas ekuivalen tengah (LET)

𝐿𝐸𝑃+𝐿𝐸𝐴
𝐿𝐸𝑇 = 2
. ......................................................................................... 2.5

- Lintas ekuivalen rencana (LER)

𝐿𝐸𝑅 = 𝐿𝐸𝑇 𝑥 𝐹𝑃 …. .............................................................................. 2.6

n2
𝐹𝑃= . .................................................................................................. 2.7
10

Dimana : j = Jenis kendaraan.


n2 = Umur rencana.
C = Koefisien distribusi kendaraan.
E = Angka ekuivalen beban sumbu kendaraan.
Fp = Faktor penyesuaian
n = Jumlah tahun pengamatan

2.5 Umur Rencana

Umur rencana perkerasan jalan ialah jumlah tahun dari saat jalan tersebut
dibuka untuk lalu lintas kendaraan sampai diperlukan suatu perbaikan yang
bersifat struktural (sampai diperlukan overlay lapisan perkerasan).
11

2.6 Koefisien Distribusi Kendaraan

Koefisien distribusi kendaraan (C) untuk kendaraan ringan dan berat


yang lewat pada jalur rencana ditentukan menurut daftar tabel koefisien distribusi
kendaraan untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran Tabel B.2.2 Halaman
69.

2.7 Angka Ekuivalen (E) Beban Sumbu Kendaraan

Angka ekuivalen (E) masing-masing golongan beban umum (setiap


kendaraan) ditentukan menurut rumus daftar sebagai berikut :

𝑏𝑒𝑏𝑎𝑛 𝑠𝑎𝑡𝑢 𝑠𝑢𝑚𝑏𝑢 𝑡𝑢𝑛𝑔𝑔𝑎𝑙 𝑑𝑙𝑚 𝑘𝑔


- 𝐸, 𝑆𝑢𝑚𝑏𝑢 𝑇𝑢𝑛𝑔𝑔𝑎𝑙 = 4
. ..................... 2.8
8160

𝑏𝑒𝑏𝑎𝑛 𝑠𝑎𝑡𝑢 𝑠𝑢𝑚𝑏𝑢 𝑔𝑎𝑛𝑑𝑎 𝑑𝑙𝑚 𝑘𝑔


- 𝐸, 𝑆𝑢𝑚𝑏𝑢 𝐺𝑎𝑛𝑑𝑎 = ⁴ . .............................. 2.9
8160

2.8 Daya Dukung Tanah Dasar (DDT dan CBR)

Daya dukung tanah dasar (DDT) ditetapkan berdasarkan grafik korelasi


DDT dan CBR. Harga CBR disini adalah harga CBR lapangan atau CBR
laboratorium. Menurut Wesley (1988), mengemukakan bahwa untuk menentukan
nilai CBR sub base atau base course suatu perkerasan secara cepat dan praktis.
Biasa dilakukan sebagai pekerjaan quality control pekerjaan pembuatan jalan
dapat menggunakan dengan alat DCP (Dynamic Cone Penetrometer).
Tujuan dari pengujian DCP adalah :
 agar dapat menyelidiki tebal dan jenis bahan untuk setiap lapis perkerasan.
 untuk mengukur pengaruh pemadatan yang disebabkan oleh lalu-lintas
normal.
California Bearing Ratio (CBR) merupakan perbandingan beban penetrasi
pada suatu bahan dengan beban standar pada penetrasi dan kecepatan pembebanan
12

yang sama. Untuk membuat suatu kontruksi yang baik dan kuat diperlukan adanya
data-data tanah yang lengkap dan teliti. Data CBR yang digunakan adalah harga-
harga CBR dari pemeriksaan lapangan dan uji laboratorium, dari data CBR
tersebut ditentukan nilai CBR terendah, kemudian ditentukan harga CBR yang
mewakili atau CBR segmen.
Metode yang digunakan untuk mengukur kekuatan daya dukung tanah
dasar dari suatu konstruksi jalan adalah dengan menggunakan penentuan
pengujian CBR dengan alat DCP (Dynamic Cone Penetrometer). Dalam penulisan
ini nilai CBR akan diuraikan secara grafis dan analitis (Sukirman 1999):
a. Secara Grafis
Menentukan data CBR dengan cara grafis adalah sebagai berikut ;
 Tentukan nilai CBR terendah;
 Tentukan berapa banyak nilai CBR yang sama atau lebih besar dari
masing-masing nilai CBR dan kemudian disusun secara tabel mulai dari
nilai CBR terkecil sampai nilai CBR terbesar;
 Angka terbanyak diberi nilai 100%, angka yang lain merupakan persentase
dari 100%;
 Dibuat grafik hubungan antara harga CBR dan persentasenya;
 Nilai CBR segmen adalah nilai pada keadaan 90%.
b. Secara Analitis
Untuk memudahkan dalam menentukan nilai CBR, maka cara
penentuannya dapat dibagi dalam beberapa segmen. Dan untuk cara ini kita dapat
menggunakan persamaan berikut :
CBRmaks  CBR min
CBRsegmen = CBR rata-rata - ……................ 2.10
R

Keterangan :
CBR segmen = CBR masing-masing segmen;
CBR rara-rata = CBR rata-rata keseluruhan;
CBR maks = Nilai CBR tertinggi;
13

R = Jumlah yang tergantung pada data CBR berdasarkan tabel


koefisien nilai R untuk perhitungan CBR segmen
(Sumber : Sukirman 1999).

2.9 Faktor Regional (FR)

Faktor regional bisa juga juga disebut faktor koreksi sehubungan dengan
perbedaan kondisi tertentu. Kondisi-kondisi yang dimaksud antara lain keadaan
lapangan dan iklim yang dapat mempengaruhi keadaan pembebanan daya dukung
tanah dan perkerasan. Dengan demikian dalam penentuan tebal perkerasan ini,
faktor regional hanya dipengaruhi bentuk alinemen (kelandaian dan tikungan).
Prosentase kendaraan berat dan yang berhenti serta iklim (curah hujan). Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran Tabel B.2.5 Halaman 71.

2.10 Indeks Permukaan (IP)

Indeks permukaan ini menyatakan nilai dari pada kerataan/kehalusan


serta kekokohan permukaan yang bertalian dengan tingkat pelayanan bagi lalu
lintas yang lewat.
Adapun beberapa nilai IP beserta artinya adalah sebagai berikut :
IP = 1,0 adalah menyatakan permukaan jalan dalam keadaan rusak berat
sehingga sangat menggangu lalu lintas kendaraan;
IP = 1,5 adalah tingkat pelayanan rendah yang masih mungkin (jalan tidak
terputus );
IP = 2,0 adalah tingkat pelayanan rendah bagi jalan yang mantap;
IP = 2,5 adalah menyatakan permukaan jalan masih cukup stabil dan baik.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran Tabel B.2.6 Halaman 71.
Dalam menentukan indeks permukaan pada awal umur rencana (IPo)
perlu diperhatikan jenis lapis permukaan jalan (kerataan/kehalusan serta
kekokohan) pada awal umur rencana. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
Lampiran Tabel B.2.7 Halaman 72.
14

2.11 Koefisien Kekuatan Relatif (a)

Koefisien kekuatan relatif (a) masing-masing bahan dan kegunaan


sebagai lapis permukaan pondasi bawah, ditentukan secara korelasi sesuai nilai
marshall test (untuk bahan dengan aspal), kuat tekan untuk (bahan yang
distabilisasikan dengan semen atau kapur) atau CBR (untuk bahan lapis pondasi
atau pondasi bawah). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran Tabel
B.2.8 Halaman 73.

2.12 Batas Minimum Tebal Perkerasan

1. Lapis permukaan
Batas-batas minimum tebal perkerasan pada lapis permukaan dapat dilihat
pada Lampiran Tabel B.2.9 Halaman 74.

2. Lapis pondasi atas


Batas-batas minimum tebal perkerasan pada lapis pondasi dapat dilihat
pada Lampiran Tabel B.2.10 Halaman 74.

3. Lapis pondasi bawah


Untuk setiap nilai ITP bila digunakan pondasi bawah, tebal minimum
adalah 10 cm.

2.13 Analisa Komponen Perkerasan

Perhitungan ini di distribusikan pada kekuatan relatif masing-masing


lapisan perkerasan jangka tertentu (umur rencana) dimana penetuan tebal
perkerasan dinyatakan oleh indeks tebal perkerasan (ITP).
Rumus :
𝐼𝑇𝑃 = 𝑎1 𝐷1 + 𝑎2 𝐷2 + 𝑎3 𝐷3 ......................................................................... 2.11
15

Dimana : ITP = Indeks tebal perkerasan;


D1 , D2 , D3 = Ketebalan masing-masing lapis perkerasan;
𝑎1 , 𝑎2 , 𝑎3 = Koefisien kekuatan relatif.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Persiapan

Tahap persiapan merupakan rangkaian kegiatan sebelum memulai


pengumpulan dan pengolahan data. Dalam tahap awal ini disusun hal-hal penting
yang harus segera dilakukan dengan tujuan untuk mengefektifkan waktu dan
pekerjaan.
Tahap persiapan ini meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
1. Studi pustaka terhadap materi desain untuk menentukan garis besarnya;
2. Menentukan kebutuhan data;
3. Survey pada instansi-instansi yang dapat dijadikan nara sumber data;
4. Pengadaan persyaratan administrasi untuk perencanaan data;
5. Survey lokasi untuk mendapatkan gambaran umum kondisi proyek;
6. Perencanaan jadwal pembuatan desain.
Persiapan diatas harus dilakukan secara cermat untuk menghindari
pekerjaan yang berulang. Sehingga tahap pengumpulan data menjadi optimal.

3.2 Pengumpulan Data

Pengumpulan data merupakan sarana pokok untuk menemukan


penyelesaian suatu masalah secara ilmiah. Dalam pengumpulan data, peranan
instansi yang terkait sangat diperlukan sebagai pendukung dalam memperoleh
data-data yang diperlukan.
Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengumpulan data adalah:
1. Jenis - jenis data;
2. Tempat diperolehnya data;
3. Jumlah data yang harus dikumpulkan agar diperoleh data yang memadai
(cukup, seimbang, dan tepat / akurat).

16
17

Data yang diperlukan untuk perencanaan jalan Simpang Peut-batas Aceh


Selatan (km 337) meliputi data primer dan data sekunder.

3.2.1 Data primer

Data primer adalah data yang diperoleh dari hasil survey dan penelitian
di lapangan. Pada penulisan Tugas Akhir ini yang merupakan data primer yaitu
data volume lalu lintas harian rata-rata (LHR), tebal perkerasan lentur jalan raya,
dan tingkat pertumbuhan lalu lintas. Data yang diperoleh dari hasil pengamatan
itu akan digunakan untuk mengestimasi jumlah lalu lintas harian rata-rata yang
melewati jalan tersebut. Menurut Sukirman 1999, perhitungan lalu lintas harian
rata-rata (LHR) dapat dilakukan selama 3 x 16 jam atau 3 x 24 jam terus menerus.
Dengan memperhatikan faktor hari, bulan, musim dimana perhitungan dapat
diperoleh dari data lalu lintas harian ratarata (LHR) yang representatif.

3.2.2 Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari instansi-instansi terkait


dari jalan yang ditinjau, adapun data sekunder disini adalah data CBR tanah dasar
yang di dapat dari kontraktor pelaksana yaitu PT. Wirataco Mitra Mulia dan
terdapat 8 (Delapan) titik pengujian sepanjang jalan Simpang Peut – batas Aceh
Selatan dari Sta 272+000 – 273+490 kiri dan kanan. Kemudian disertai dengan
peta kota Nagan Raya, layout lokasi penelitian, dan shop drawing.

3.3 Metode Pengolahan Data

Dengan berdasarkan data primer dan data sekunder tersebut, selanjutnya


untuk menentukan tebal perkerasan yang direncanakan, adalah dengan
menghitung lalu lintas harian rata-rata (LHR), pengaruh CBR tanah dasar dan
tingkat pertumbuhan lalu lintas. Pengolahan data dilakukan secara manual
berdasarkan teori-teori yang telah dikemukakan.
18

3.4 Metode Analisa Data

Adapun metode yang digunakan dalam menganalisa data penellitian ini


adalah metode analisa komponen dan petunjuk perencanaan tebal perkerasan
lentur jalan raya SKBI – 2.3.26. 1987 Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab IV ini akan dikemukakan pengolahan data-data yang diperoleh,


dengan menggunakan teori-teori dan analisa yang telah dibahas pada bab II dan
III. Hasil pengolahan ini kemudian digunakan untuk menentukan tebal lapisan
perkerasan lentur yang ditinjau.

4.1 Hasil Pengolahan Data Dengan Metode Bina Marga

Hasil pengolahan data meliputi perhitungan kekuatan tanah dasar (CBR


segmen), koefisien distribusi kendaraan, volume lalu lintas, perhitungan angka
ekuivalen kendaraan, lintas ekuivalen rencana, faktor regional, indeks permukaan
dan struktur konstruksi perkerasan.

4.1.1 Umur rencana

Pada perencanaan ini umur rencana yang diambil adalah 10 tahun. Sesuai
dengan umur rencana pihak konsultan pada saat jalan tersebut direncanakan.
Selama masa pelaksanaan pertumbuhan lalu lintas (i) = 2,88 % dan data CBR
rencana adalah 2,41 %. Untuk persentase pertumbuhan lalu lintas dapat dilihat
pada pembahasan faktor pertumbuhan lalu lintas dan CBR rencana dapat dilihat
pada Halaman 23.

4.1.2 Perhitungan CBR segmen (kekuatan tanah dasar)

Untuk menghitung CBR segmen digunakan metode Bina Marga, yaitu


metode analisa komponen SKBI 2.3.26.1987. Jumlah data CBR lapangan dapat
dilihat pada Lampiran Tabel B.4.8 Halaman 79.

19
20

Tabel perkerasan dihitung berdasarkan nilai CBR lapangan yang dibagi


dalam enam bagian segmen. CBR segmen dapat ditentukan secara analitis dan
secara grafis, dalam perencanaan ini penentuan CBR segmen ditentukan secara
analitis. Untuk menghitung nilai CBR secara analitis menggunakan persamaan
2.10 Halaman 12.

Dari tabel B.4.1 dengan jumlah titik pengamatan CBR 2 (dua), maka
diambil R = 1,41. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran Tabel B.4.1
Halaman 75.

 Segmen 1
(3,25  3,47)
CBR rata2 =
2
(6,72)
=
2
= 3,36
CBR maks. = 3,47
CBR min. = 3,25
CBR Segmen = CBRrata-rata – {(CBRmaks - CBRmin )/R}
 (3,47  3,25) 
= 3,36   
 1,41 
= 3,20 %

 Segmen 2
(2,50  3,99)
CBR rata2 =
2
(6,49)
=
2
= 3,24
CBR maks. = 3,99
CBR min. = 2,50
CBR Segmen = CBRrata-rata – {(CBRmaks - CBRmin )/R}
21

 (3,99  2,50) 
= 3,24   
 1,41 
= 2,18 %

 Segmen 3
(3,47  4,29)
CBR rata2 =
2
(7,76)
=
2
= 3,88
CBR maks. = 4,29
CBR min. = 3,47
CBR Segmen = CBRrata-rata – {(CBRmaks - CBRmin )/R}
 (4,29  3,47) 
= 3,88   
 1,41 
= 3,30 %

 Segmen 4
(3,04  2,06)
CBR rata2 =
2
(5,1)
=
2
= 2,55
CBR maks. = 3,04
CBR min. = 2,06
CBR Segmen = CBRrata-rata – {(CBRmaks - CBRmin )/R}

 (3,04  2,06) 
= 2,55   
 1,41 
= 1,85 %
22

 Segmen 5
(4,98  3,66)
CBR rata2 =
2
(8,64)
=
2
= 4,32
CBR maks. = 4,98
CBR min. = 3,66
CBR Segmen = CBRrata-rata – {(CBRmaks - CBRmin )/R}

 (4,98  3,66) 
= 4,32   
 1,41 
= 3,38 %

 Segmen 6
(1,92  3,89)
CBR rata2 =
2
(5,81)
=
2
= 2,90
CBR maks. = 3,89
CBR min. = 1,92
CBR Segmen = CBRrata-rata – {(CBRmaks - CBRmin )/R}
 (3,89  1,92) 
= 2,90   
 1,41 
= 1,50 %

 Segmen 7
(2,14  5,40)
CBR rata2 =
2
(7,54)
=
2
= 3,77
23

CBR maks. = 5,40


CBR min. = 2,14
CBR Segmen = CBRrata-rata – {(CBRmaks - CBRmin )/R}

 (5,40  2,14) 
= 3,77   
 1,41 
= 1,46 %

3,20  2,18  3,30  1,85  3,38  1,50  1,46


CBR Rencana =
7
= 2,41 %
Untuk korelasi antara nilai CBR dengan nilai DDT dapat dilihat pada
Lampiran A.4.1 sampai dengan Lampiran A.4.8 Halaman 44 sampai dengan
Halaman 51.

4.1.3 Koefisien distribusi kendaraan

Penentuan nilai dari koefisien distribusi kendaraan terhadap jalan ini


dibedakan antara kendaraan berat dan kendaraan ringan. Untuk jalan ini jumlah
jalur ditentukan 2 jalur 2 arah, dengan menggunakan Lampiran Tabel B.2.2
Halaman 69. Besarnya nilai koefisien distribusi kendaraan (c) untuk kedua jenis
tersebut adalah:
a. Untuk kendaraan ringan diambil = 0,5
b. Untuk kendaraan berat diambil = 0,5

4.1.4 Faktor pertumbuhan lalu lintas (i)

Berdasarkan tabel jumlah kendaraan yang dilampirkan, bersumber dari


Badan Pusat Statistik Nagan Raya, maka jumlah kendaraan per tahun adalah
sebagai berikut;
- Tahun 2010 = 12.775 kendaraan
- Tahun 2011 = 14.982 kendaraan
24

- Tahun 2012 = 15.938 kendaraan


- Tahun 2013 = 18.106 kendaraan
- Total jumlah kendaraan adalah 61.801 kendaraan
Untuk menghitung jumlah pertumbuhan lalu lintas (i) dengan
menggunakan rumus sebagai berikut;
12.755
- 2010 = x 100 = 20,64 %
61,801
14.982
- 2011 = x 100 = 24,24 %
61.801
15.938
- 2012 = x 100 = 25,79 %
61.801
18.106
- 2013 = x 100 = 29,30 %
61.801
Untuk mengetahui tren pertumbuhan lalu lintas adalah;
- 24,24 – 20,64 = 3,6 %
- 25,79 – 24,24 = 1,55 %
- 29,30 – 25,79 = 3,51 %
(3,6  1,55  3,51)
-  2,88%
3
Jadi angka pertumbuhan lalu lintas (i) adalah 2,88 %.

4.1.5 Faktor regional

Faktor regional dapat dilihat menurut perkiraan persentase kendaraan berat


yang melewati jalur rencana.
1360
Kendaraan berat (≥ 2 ton) = x 100 % = 14,99 %
9070
Keterangan;
Jumlah kendaraan berat = 1360 kendaraan
Jumlah total kendaraan = 9070 kendaraan
25

Dari hasil persentase kendaraan berat yang didapatkan tersebut dapat kita
tentukan besarnya faktor regional dengan menggunakan tabel. Besarnya faktor
regional untuk jalan ini adalah 1,5 dapat dilihat pada lampiran Tabel B.2.5
Halaman 71.

4.1.6 Volume lalu lintas

Pada perencanaan ini data LHR diperoleh langsung dari pengamatan di


lapangan. Jumlah keseluruhan volume inilah yang akan digunakan dalam desain,
untuk lebih jelasnya LHR yang diperoleh dari pengamatan di lapangan dapat
dilihat pada lampiran Tabel B.4.2 dan Tabel B.4.3 Halaman 75.

a. LHR pada awal umur rencana

LHR pada awal umur rencana ini dapat kita cari dengan menggunakan
persamaan berikut ini;
LHRt = (1+i)n × LHRp
Dimana:
i = Pertumbuhan lalu lintas rata-rata = 0,0288
n = Umur rencana awal = 1 tahun
LHRp = Lalu lintas harian rata-rata untuk seluruh jenis kendaraan.
LHRp diambil dari setiap jenis kendaraan adalah sebagai berikut:

Kendaraan ringan 2 ton = (1+0,0288)1 × 7710 = 7932,05 kendaraan


1
Bus as 8 ton = (1+0,0288) × 84 = 86,42 kendaraan
Truk 2 as 8 ton = (1+0,0288)1 × 841 = 837,44 kendaraan
Truk 2 as 13 ton = (1+0,0288)1 × 208 = 267,90 kendaraan
Truk 3 as 20 ton = (1+0,0288)1 × 227 = 233,54 kendaraan
Jumlah = 9357,35 kendaraan
26

b. LHR akhir umur rencana

LHR pada awal umur rencana ini dapat kita cari dengan menggunakan
persamaan berikut ini:
LHRt = (1+i)n × LHRp

Dimana:
i = Pertumbuhan lalu lintas rata-rata = 0,0288
n = Umur rencana akhir = 10 tahun
LHRp = Lalu lintas harian rata-rata untuk seluruh jenis kendaraan.
LHRp diambil dari setiap jenis kendaraan adalah sebagai berikut:
Kendaraan ringan 2 ton = (1+0,0288)10 × 7710 = 10241,51 kendaraan
Bus as 8 ton = (1+0,0288)10 × 84 = 111,58 kendaraan
10
Truk 2 as 8 ton = (1+0,0288) × 841 = 1117,13 kendaraan
Truk 2 as 13 ton = (1+0,0288)10 × 208 = 276,30 kendaraan
Truk 3 as 20 ton = (1+0,0288)10 × 227 = 301,53 kendaraan
Jumlah = 12048,05 kendaraan

4.1.7 Perhitungan angka ekuivalen kendaraan

Dari data lalu lintas yang diperoleh, dapat dilihat bahwa jenis-jenis
kendaraan yang melewati jalan tersebut adalah kendaraan ringan 2 ton, bus as 8
ton, truk 2 as 8 ton, truk 2 as 13 ton, dan truk 3 as 20 ton. Untuk mendapatkan
angka ekuivalen kendaraan, dapat dihitung dengan menggunakan persamaan
berikut ini:

E Sumbu tunggal =  Beban satu sumbu tunggal dalam Kg


4
8160

E SumbuGanda =  Beban satu sumbu ganda dalam Kg


4 x0.086
8160
a. E maks kendaraan ringan 2 ton
= E sb depan + E sb belakang
27

0,5(2000) 0,5(2000)
=( )4 + ( )4
8160 8160
= 0,0002 + 0,0002
= 0,0004
b. E maks bus as 8 ton
= E sb depan + E sb belakang
0,34(8000) 0,66(8000)
=( )4 + ( )4
8160 8160
= 0,0123 + 0,1753
= 0,1876
c. E maks truk 2 as 8 ton
= E sb depan + E sb belakang
0,34(8000) 0,66(8000)
=( )4 + ( )4
8160 8160
= 0,0123 + 0,1753
= 0,1876
d. E maks truk 2 as 13 ton
= E sb depan + E sb belakang
0,34(13000) 0,66(13000)
=( )4 + ( )4 x 0,086
8160 8160
= 0,0861 + 0,1051
= 0,1912
e. E maks truk 3 as 20 ton
= E sb depan + E sb belakang
0,25(20000) 0,25(20000)
=( )4 + ( )4 x 0,086
8160 8160
= 0,1410 + 0,9820
= 1,1229
Untuk memudahkan pengolahan data hasil perhitungan angka ekuivalen
kendaraan disajikan dalam bentuk tabel, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
Lampiran Tabel B.4.4 Halaman 76.
28

4.1.8 Lintas ekuivalen permulaan (LEP)

Untuk mendapatkan berapa besarnya lintas ekuivalen permulaan yang


terjadi pada ruas jalan Meulaboh-Banda Aceh ini diperlukan data LHR pada awal
umur rencana, data angka ekuivalenkendaraan dan data koefisien distribusi untuk
kendaraan ringan sebesar 0,5 serta koefisien distribusi untuk kendaraan berat
sebesar 0,5. Maka lintas ekuivalen permulaan dapat dihitung dengan rumus
berikut ini :
n
LEP = Σ A x E x C x (1+i)
j j j

LEP untuk masing-masing kendaraan pada awal umur rencana:

Kendaraan ringan 2 ton = 7710 × 0,5 x 0,0004 = 1,542


Bus as 8 ton = 84 × 0,5 x 0,1876 = 7,8792
Truk 2 as 8 ton = 841× 0,5 x 0,1876 = 78,8858
Truk 2 as 13 ton = 208 × 0,5 x 0,1912 = 19,8848
Truk 3 as 20 ton = 227 × 0,5 x 1,1229 = 127,449
Jumlah = 235,641

4.1.9 Lintas ekuivalen akhir (LEA)

Untuk mendapatkan berapa besarnya lintas ekuivalen akhir yang terjadi


maka dapat dihitung:
LEA untuk masing-masing kendaraan pada akhir umur rencana:
Kendaraan ringan 2 ton = 10241,51 × 0,5 x 0,0004 = 2,048
Bus as 8 ton = 111,58 × 0,5 x 0,1876 = 10,466
Truk 2 as 8 ton = 1117,13× 0,5 x 0,1876 = 104,787
Truk 2 as 13 ton = 276,30× 0,5 x 0,1912 = 26,414
Truk 3 as 20 ton = 301,53 × 0,5 x 1,1229 = 169,294
Jumlah = 313,009
29

4.1.10 Lintas ekuivalen tengah (LET)

Untuk mendapatkan berapa besarnya lintas ekuivalen tengah (LET) yang


terjadi ini diperlukan jumlah total LEP dan jumlah total LEA. Data LEP
didapatkan sebesar 208,858 dan data LEA didapatkan sebesar 263,367. Maka LET
dapat dihitung dengan persamaan berikut ini:
LEP  LEA
LET 
2
235,641  313,009
LET 
2
LET = 274,325 = 275

4.1.11 Lintas ekuivalen rencana (LER)

Untuk mendapatkan berapa besarnya lintas ekuivalen rencana (LER) yang


terjadi ini diperlukan jumlah data ekuivalen tengah (LET) yang didapat sebesar
275 dan data umur rencana selama 10 tahun. LER dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan berikut ini:

LET x FP
LER 
10
275 x10
LER 
10
LER = 275

4.1.12 Indeks permukaan (IP)

Indeks permukaan pada jalan ini dibagi dalam dua jenis yaitu, indeks
permukaan pada awal umur rencana (IPo) dan indeks permukaan pada akhir umur
rencana(IPt). Besarnya masing-masing indeks permukaan tersebut dapat
ditentukan sebagai berikut:
30

a. Indeks permukaan pada awal umur rencana (IPo) untuk jalan ini, lapisan
permukaan direncanakan dari aspal beton (LASTON), dengan menggunakan
Lampiran Tabel B.2.7 Halaman 72 tabel indeks permukaan pada awal umur
rencana (IPo) ini adalah sebesar ≥ 4.
b. Dengan menggolongkan jalan yang ditinjau adalah jalan arteri dan besarnya
lintas ekuivalen rencana yang terjadi ini sebesar 275, dengan menggunakan
Lampiran Tabel B.2.6 Halaman 71 tabel indeks permukaan pada akhir umur
rencana (IPt) diperoleh sebesar 2,0-2,5.

4.1.13 Struktur konstruksi tebal perkerasan

Tebal lapis perkerasan direncanakan terdiri dari;


a. Lapisan permukaan (surface course) dari aspal beton MS744 kg
b. Lapisan pondasi atas (base course) dari agregat kelas A
c. Lapisan pondasi bawah (subbase course) dari agregat kelas B
Besarnya nilai ITP ditetapkan dengan menggunakan grafik nomogram
penetapan ITP, dengan menggunakan nilai IPt sebesar 2,0-2,5 dan IPo sebesar ≥
4, maka nilai ITP untuk masing-masing segmen dapat dihitung dengan
memasukan nilai daya dukung tanah (DDT), nilai lintas ekuivalen rencana (LER),
dan nilai faktor regional (FR). Untuk korelasi nilai DDT dengan nilai FR dapat
dilihat pada Lampiran Gambar A.4.9 Halaman 52 sampai dengan Lampiran
Gambar A.4.16 Halaman 59.
Selanjutnya hasil perhitungan ITP untuk setiap segmen disajikan dalam
bentuk tabel. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran Tabel B.4.5
Halaman 76.

4.2 Analisa Penentuan Lapisan Perkerasan Metode Bina Marga

Perhitungan tebal tiap lapisan perkerasan dapat dihitung dengan


menggunakan persamaan berikut ini :
31

1. Segmen 1 (Sta. 272+300 L)


ITP = (a1 x D1) + (a2 x D2) + (a3 x D3)
9,9 = (0,40 x 7,5) + (0,14 x 20) + (0,12 x D3)
9,9−(3+2,8)
D3 =
0,12
D3 = 34,17 = 34 cm
Untuk hasil penggambaran sketsa susunan lapisan perkerasan bisa dilihat
pada Lampiran Gambar A.4.18 Halaman 61.

2. Segmen 2 (Sta. 272+300 R)


ITP = (a1 x D1) + (a2 x D2) + (a3 x D3)
10,8 = (0,40 x 10) + (0,14 x 20) + (0,12 x D3)
10,8−(4+2,8)
D3 =
0,12
D3 = 33,33 = 33 cm
Untuk hasil penggambaran sketsa susunan lapisan perkerasan bisa dilihat
pada Lampiran Gambar A.4.19 Halaman 61.

3. Segmen 3 (Sta. 272+500 R)


ITP = (a1 x D1) + (a2 x D2) + (a3 x D3)
9,7 = (0,40 x 7,5) + (0,14 x 20) + (0,12 x D3)
9,7−(3+2,8)
D3 =
0,12
D3 = 32,50 = 33 cm
Untuk hasil penggambaran sketsa susunan lapisan perkerasan bisa dilihat
pada Lampiran Gambar A.4.20 Halaman 61.

4. Segmen 4 (Sta. 272+700 L)


ITP = (a1 x D1) + (a2 x D2) + (a3 x D3)
11,5 = (0,40 x 10) + (0,14 x 20) + (0,12 x D3)
11,5−(4+2,8)
D3 =
0,12
32

D3 = 39,17 cm
Untuk hasil penggambaran sketsa susunan lapisan perkerasan bisa dilihat
pada Lampiran Gambar A.4.21 Halaman 62.

5. Segmen 5 (Sta. 273+100 L)


ITP = (a1 x D1) + (a2 x D2) + (a3 x D3)
9,5 = (0,40 x 7,5) + (0,14 x 20) + (0,12 x D3)
9,5−(3+2,8)
D3 =
0,12
D3 = 30,83 = 31 cm
Untuk hasil penggambaran sketsa susunan lapisan perkerasan bisa dilihat
pada Lampiran Gambar A.4.22 Halaman 62.

6. Segmen 6 (Sta. 273+300 R)


ITP = (a1 x D1) + (a2 x D2) + (a3 x D3)
12,3 = (0,40 x 10) + (0,14 x 20) + (0,12 x D3)
12,3−(4+2,8)
D3 =
0,12
D3 = 45,83 = 46 cm
Untuk hasil penggambaran sketsa susunan lapisan perkerasan bisa dilihat
pada Lampiran Gambar A.4.23 Halaman 62.

7. Segmen 7 (Sta. 273+490 L)


ITP = (a1 x D1) + (a2 x D2) + (a3 x D3)
12 = (0,40 x 10) + (0,14 x 20) + (0,12 x D3)
12−(4+2,8)
D3 =
0,12
D3 = 43,33 = 43 cm
Untuk hasil penggambaran sketsa susunan lapisan perkerasan bisa dilihat
pada Lampiran Gambar A.4.24 Halaman 63.
33

8. Segmen Rencana (Sta. 00+00 – Sta. 17+400)


ITP = (a1 x D1) + (a2 x D2) + (a3 x D3)
10,8 = (0,40 x 10) + (0,14 x 20) + (0,12 x D3)
10,8−(4+2,8)
D3 =
0,12
D3 = 33,33 = 33 cm
Untuk hasil penggambaran sketsa susunan lapisan perkerasan bisa dilihat
pada Lampiran Gambar A.4.25 Halaman 63.

Hasil perencanaan oleh pihak konsultan yang di ambil berdasarkan


perwakilan Sta berikut ini;
1. (Sta. 272+300 – Sta. 272+700).

Untuk hasil penggambaran sketsa susunan lapisan perkerasan oleh pihak


konsultan bisa dilihat pada Lampiran Gambar A.4.26 Halaman 63.

2. (Sta. 272+700 – Sta. 273+100)

Untuk hasil penggambaran sketsa susunan lapisan perkerasan oleh pihak


konsultan bisa dilihat pada Lampiran Gambar A.4.27 Halaman 64.

3. (Sta. 273+100 – Sta. 273+490)

Untuk hasil penggambaran sketsa susunan lapisan perkerasan oleh pihak


konsultan bisa dilihat pada Lampiran Gambar A.4.28 Halaman 64.

Data dari hasil perhitungan masing-masing segmen disajikan dalam


bentuk table, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran Tabel B.4.6 Indeks
Tebal Minimum Perkerasan Jalan Halaman 77.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil perhitungan perencanaan ulang tebal perkerasan jalan


dengan menggunakan metode bina marga yang telah disajikan pada Bab IV, maka
dapat dipaparkan beberapa kesimpulan dan saran sebagai berikut.

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil perencanaan ulang tebal perkerasan dengan


menggunakan metode Bina Marga pada Proyek Rekonstruksi / Peningkatan
Struktur Jalan Simpang Peut – Batas Aceh Selatan Km 337. Kecamatan Kuala
Kabupaten Nagan Raya Provinsi Aceh, dapat diambil kesimpulan yang mewakili
keseluruhan dari perencanaaan ini, antara lain sebagai berikut;
1. Hasil perencanaan ulang tebal perkerasan dengan menggunakan metode Bina
Marga dianggap lebih efesien dan lebih lengkap hasil perhitungannya dari
pada yang dilakukan oleh konsultan perencana sebelumnya.
2. Perencanaan yang dilakukan oleh konsultan perencana, jumlah volume lalu
lintas harian rata-rata atau LHR lebih sedikit dengan jumlah keseluruhan 298
kendaraan, dibandingkan dengan yang peneliti lakukan sekarang berjumlah
9070 kendaraan, sehingga sangat mempengaruhi pada perencanaan tebal lapis
perkerasan jalan tersebut.
3. Perencanaan tebal lapisan permukaan pihak konsultan perencana
mendapatkan ketebalan minimum 4 cm, sementara perhitungan yang peneliti
lakukan mendapatkan ketebalan minimum 10 cm.
4. Perencanaan tebal lapisan pondasi atas yang konsultan perencana dapatkan
ketebalan minimumnya adalah 10 cm, sementara yang peneliti dapatkan
ketebalannya adalah 20 cm.

34
35

5. Perencanaan tebal lapisan pondasi bawah pihak konsultan perencana


mendapatkan ketebalannya 0 cm, sementara ketebalan minimum lapisan
pondasi bawah yang peneliti dapatkan adalah 33 cm.

5.2 Saran

Ada beberapa saran yang dapat peneliti paparkan dalam perencanaan tebal
lapis perkerasan jalan yaitu:
1. Data lalu lintas harian rata-rata atau LHR lapangan sangat diperlukan karena
sangat mempengaruhi umur rencana dalam proses perencanaan jalan.
2. Perencanaan tebal lapisan perkerasan pada tugas akhir ini hanya sebatas
menghitung tebal dari masing-masing lapisan perkerasan saja, tidak termasuk
bahu jalan. Pada dasarnya perencanaan tebal lapis perkerasan jalan idealnya
juga harus memiliki bahu jalan dan drainase, sehingga disarankan untuk
perencanaan tebal lapisan perkerasan agar bahu jalan juga ikut direncanakan.
3. Dengan kondisi tanah dasar yang berbeda-beda, untuk perencanaan tebal
lapisan perkerasan sebaiknya dilakukan dengan membagikan kedalam
beberapa segmen, karena sangat mempengaruhi dalam mendapatkan
ketebalan masing-masing.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
.

Anonim, 2009, Undang-undang Republik Indonesi Nomor 22, Tentang Lalu


Lintas dan angkutan jalan, Jakarta.

Anonim, 2006, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34, Tentang


Jalan, Jakarta.

Anonim, 1997, Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Departeman
Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina Marga, Jakarta.

Anonim, 1987, Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya


Dengan Metode Analisa Komponen SKBI – 2.3.26.1987, Dinas
Pekerjaan Umum, Jakarta.

Budiman, 2014, Tinjauan Ulang Perencanaan Tebal Perkerasan Jalan Raya (Studi
Kasus Project Package JNB 1 Construktion of Road Kabupaten Aceh
Barat), Fakultas Teknik, Universitas Teuku Umar, Alue Peunyareng,
Meulaboh, Aceh Barat.

Baktiar Widianto, 2010, Perencanaan Tebal Perkerasan Jalan Daung-Koripan,


Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Bukhari, RA, et al, 2004, Rekayasa Lalu Lintas II, Bidang Studi Teknik Sipil,
Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh.

Clarlson H Oglesby, 1988, Teknik Jalan Raya, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Fahrurrozi, 2008, Pengaruh Nilai CBR Tanah Dasar Terhadap Tebal Perkerasan
Lentur Jalan Kaliurang dengan Metode Bina Marga 1987, Universitas
Islam Indonesia, Yogyakarta.

Hendarsin, L, Shirley, 2000, Penuntun Praktis Perencanaan Teknik Jalan Raya,


Politeknik Negeri Bandung, Jurusan Teknik Sipil, Bandung.

Sukirman, S., 1999, Perkerasan Lentur Jalan Raya, Penerbit Nova, Bandung.

36

Anda mungkin juga menyukai