Anda di halaman 1dari 15

TUGAS RANGKUMAN BUKU

BAHASA INDONESIA

DISUSUN OLEH:
HELLBI THORIQOTUNNAJIAH
KELAS VII-A
TAHUN PELAJARAN 2018 - 2019
ORATOR CILIK
Public speaking itu…
Klak!Klik! jemariku menari-nari di atas keyboard laptop hitam pribadiku. Aku sedang
browsing, mencari-cari tips, pengetahuan, hiburan, dan segala yang berbau public
speaking. Sering kutonton video para tokoh-tokoh terkenal yang bisa bicara dengan lancar,
percaya diri, dan lantang.
Kalau menurutku, public speaking itu benar-benar sesuatu yang sangat baik kalau
kita bisa menanamkannya. Jadi, kalau suruh bicara didepan umum, enggak usah pakai
acara ngumpet di kolong meja segala! Bisa melatih kepercayaan diri kita, lagi!
Sebenarnya, kuakui aku ini juga kegandrungan internet. Tetapi, aku juga enggak
lupa belajar dan beribadah. Aku mempunyai sahabat dunia maya, namanya Mayra, Mayra
Aufa Azzahra. Aku dan Mayra bersahabat karena kami juga pecinta public speaking.
Beruntung sekali hari ini masih pagi, dan semua PR yang sudah disusun guruku
sedemikian banyaknya, sudah ku kerjakan sepulang sekolah itu juga.
Oh, iya,nanti sore, Miss Runi akan datang. Beliau adalah guru les privatku. Mata
pelajaran yang dia ajarkan macam-macam, Matematika, IPS, dan sebagainya. Tetapi, yang
istimewa dari Miss Runi adalah, beliau menguasai berbagai bahasa mancanegara.
Misalnya Indonesia, Inggris, Arab, Jepang, Cina, Maroko, Spanyol, Prancis, dan Rusia.
Segelintir penghargaan diberikan kepadanya karena kemampuannya itu. Miss Runi juga
teladanku dalam menguasai public speaking yang baik.
Sebenarnya, hari ini aku meminta Miss Runi datang untuk memberi komentar
terhadap pidatoku. Lusa, aku dan teman-teman sekelas diminta berpidato dalam rangkaian
ujian praktik.

Pukul dua siang.


“Assalamu’alaikum! Ogenkidesuka, Hilya? (Assalamu’alaikum! Apa kabar?)” sapa
Miss Runi lembut. Aku langsung mengerti kalau dia mengucapkan bahasa Jepang.
“Wa’alaikum salam. Daijobudayo. Kangei, Miss! ( wa’alaikum salam. Aku baik-baik saja.
Selamat datang, Miss!” Aku mempersilakannya masuk. Miss Runi tertawa,
“Cieee,Hilya!Makin mahir, nih. Insya Allah bisa jadi public speaker yang keren!” puji wanita
muda berusia 25 tahun itu sambil duduk di sofa.
“Besok senin,kan,kamu ada Matematika. Jadi,hari ini Matematika,ya?” kata Miss Runi
dengan nada meledek. Setelah selesai mengerjakan Matematika, Miss Runi memintaku
mengerjakan soal Bahasa Indonesia. Ehm,memang kelihatannya mudah. Tapi otakku
selalu terkuras setiap mengerjakan soal ini! Walau pun bahasa yang ku guanakan sehari-
hari adalah Bahasa Indonesia, aku tidak tahu kenapa nilai ulangan harianku kemarin hanya
7,6!Memalukan!
“Salah lima. Nilainya 9,” kata Miss Runi. Aku cemberut. Kapan nilai Bahasa
Indonesia-ku bisa lebih dari 9?
“Ya sudah. Pidatonya sudah sap, kan? Miss mau lihat,” kata Miss Runi membuat
semangatku muncul kembali.
Aku berdiri, menampilkan pidato yang teks rumitnya sudah kuhafal sejak seminggu
lalu. Kalau menurutku, pidatoku ini berdurasi sekitar lima atau enam menit. Miss Runi
mendengarkan dan memerhatikan dengan saksama.
“Wah, ini pidato anak terbaik yang pernah Miss lihat! Kemampuan public speaking-
mu benar-benar tertanam. Hilya! Dikembangkan lagi, ya. Miss doakan semoga kamu dapat
nilai bagus, hehehe,” komentar Miss Runi sambil bertepuk tangan.
“Kritik, Miss?” pintaku. “Apa,ya?Menurut Miss, sih, enggak ada. Yaaa, mungkin
disalam penutupnya, jangan terlalu buru-buru. Sudah, itu saja,” kata Miss Runi.
Setelah Miss Runi pulang, aku kembali kepada laptop dan internet kesayanganku.
Laptopku memang sengaja tidak kumatikan dari tadi!Kalau saja bunda tahu, mungkin aku
tidak kebagian jatah yoghurt bluberi di kulkas.
Mayra masih online. Kusapa kembali dirinya. Tidak lama kemudian, terdengar lantunan
merdu azan ashar yang suci berkumandang menggetarkan jiwa dan meneguhkan hati, aku
langsung mengambil air wudhu dan shalat dengan khusyuk. Aku pamit kepada Mayra.
Pidatoku tuntas. Tepuk tangan bergemuruh. Miss Alma tersenyum secerah mentari,
kemudian beranjak, “Alhamdulillah, kita punya calon public speaker hebat seperti Presiden
Soekarno! Terima kasih, Hilya. Aku ikut tersenyum, puas, lega. Mungkin, karena hanya aku
yang antusias dengan tugas berpidato ini.
Miss Alma berkata kalau kemampuan public speaking-ku benar-benar terasah. Aku
nyaris seperti Hillary Clinton. Caraku menguasai materi pidato, kontak mata dengan
audiens, dan setiap pemenggalan kata dalam kalimat, semuanya Alhamdulillah sangat
baik.

Bertiga
“Assalamu’alaikum! Tadaima, eh, maksudku,aku pulang! Seruku setelah melepas sepatu
dan meletakannya di teras. Aku masuk ke rumah. Setelah berganti baju dan shalat zuhur,
aku menyalakan laptop. Ini memang belum pukul dua, tetapi, aku harus meng-instal ini-itu
dulu untuk video call bersama Mayra. Ah, laptop ini benar-benar kurang update! Ternyata,
Mayra sudah online. Tiba-tiba, Mayra menyambungkan video call bersamaku. Wajahnya
tampil di layar laptopku.
“Assalamu’alaikum. AAA! Hilya,” Mayra sedikit histeris. Aku tertawa.
“Wa’alaikum salam. Wajahmu tetap sama, ya, kayak yang dulu! Video call kali ini pasti
seru, deh,” jaminku. Aku benar-benar tidak melewatkan kesempatan emas seperti ini.
Bagaimana pidatonya,Ya?”
“Alhamdulillah, sukses. Huwaaa, kata Miss Alma, nilai praktikku kali ini di atas rat-rata dan
paling tinggi dari teman-temanku,” jelasku malu-malu.
“Cieee, selamat, ya! Sebenarnya, hari ini aku mau memperkenalkan seseorang kepadamu.
Yang jelas dia bukan Hulk. Dia sebaya kita, namanya Hara. Hara sudah online, nih, nanti
kuminta dia meng-add facebook-mu, ya!” kata Mayra sambil tersenyum. Aku mengangguk
menyetujui.
Aku membuka facebook atas saran Mayra. Benar saja. Ada permintaan, username-
nya Haira Tsurayya. Aku jadi tidak yakin apa itu benar-benar Hara.
“Sedang apa, Hilya? Hara Tsurayya itu Hara,” aku mendengar suara Mayra karena jendela
video-call-nya sengaja ku sisipkan.
“Oh, begitu. Kukira itu bukan Hara,” Setelah kuterima permintaan pertemanannya, aku
membuka kembali jendela video call.
Bip!
“Mayra, ini apa? Video call tiga orang, kan? Satu lagi siapa?” Suara asing memenuhi indra
pendengaranku, walau ku tahu itu suara perempuan. Sebuah wajah baru muncul di layar
laptopku.
“Aku, kan, sudah bilang, mau mengenalkan seseorang kr kamu!” tukas Mayra,” nah, itu
Hilya, pecinta public seaking yang baru saja berpidato untuk ujian praktik di sekolahnya
dengan very absolute dan dapat nilai tertinggi. O iya, Hara dari Malang,”
“Halo, Hilya! Wah, cantik ya,” sapa Hara dengan senyum mengembang. Setidaknya, dia
kelihatan senang berkenalan denganku.
“Hehehe, halo juga, Hara! Salam kenal, ya,” jawabku ramah.
“Sedang apa?” Tanya bunda ketika selesai membenahi seprai tempat tidurku
(membetulkan seprai kasur adalah hal yang paling sulit!).
“Bunda masih bertanya sekalipun sudah melihatnya sendiri dari tadi?” jawabku sambil
cengar-cengir
“Kamu itu, cuek bebek banget, ya! Main laptop jangan lama-lama. Kamu ini sudah kelas
enam, Hilya. Sebentar lagi mau ujian. Mata kamu juga bisa minus, lho!” nasihat bunda.
“Aku terkikik, “Iya, Bun. Aku akan berhenti kelamaan main laptop, internet, dan sejenisnya
itulah ketika pertengahan semester nanti. Lagi pula, ini, kan, baru beberapa minggu masuk
kelas enam.”
Bunda hanya geleng-geleng kepala.
“Apa itu?” bunda menunjuk sebuah grup yang tengah kubuka. YaMaHa!. “YaMaHa itu grup
persahabtanku, Bun. Singkatan dari Hilya-Mayra-Hara. Kami semua pecinta public
speaking, Bunda tahu, kan?” jelasku.
Saat istirahat, aku sedang ngobrol sambil ketawa-ketiwi bersama Nada. Tiba-tiba,
Thara menghampiriku.
“Miss Alma memanggilmu ke kantornya,” kata Thara.
Aku langsung beranjak menuju ruang guru sambil bertanya dalam hatiku mengapa Miss
Alma memangggilku.
Aku masuk ke dalam ruang guru sambil mengucapkan salam. Di dalam, Miss Alma
menyambutku dengan senyuman lembut.
“Hilya, ada lomba berpidato tingkat nasional yang di selenggarakan oleh Kemendikbud dan
organisasi public speaking, Public Kids. Alur lombanya seperti Olimpiade MIPA waktu itu,
Jadi, di babak penyisihan, anak-anak yang terpilih akan diundang ke Jakarta, menjadi
delegasi. Kami pihak sekolah, sepakat mengikutkanmu. Kamu, sanggup, Hilya?” Tanya
Miss Alma.
Aku mengangguk mantap, “insya Allah, Miss.”
“Kami memilihmu karena penampilan public speaking-mu benar-benar bagus. Semoga
berhasil, Hilya!” ujar Miss Alma menanamkan sugesti kuat untukku. Aku tersenyum haru,
dan mengangguk mantap.

Aku berlari kencang, masuk ke dalam kelas dengan super cepat laksana kilat.
Hampr saja aku bertabrakan dengan Nada yang hendak keluar kelas. Selama waktu
istirahat, aku menghabiskannya dengan memikirkan lomba pidato itu. Tingkat nasional?
Astaga! Berarti kalau nanti aku lolos babak penyisihan dan diundang ke Jakarta, aku bisa
berteman dengan anak-anak dari Jawa, Sumatera, Bali, Kalimantan, dan sebagainya. Ya
ampun, very good chance!
Sepulang sekolah, aku akan menyampaikan berita gembira ini kepada bunda. Aku
masuk ke dapur karena feeling-ku mengatakan bunda ada di sana. Dan benar.
“Bunda…,” panggilku ragu, “A-ku… punya se-buah ka-bar…,” ucapku lambat-lambat.
Bunda memasang tatapan mmenuntut penjelasan
“Miss Alma memberiku amanah untuk mengikuti perlombaan pidato tingkat nasional.
Penyelenggaraannya Kemendikbud dan organisasi Public Kids. Bunda, aku boleh ikut, ya?
Pasti seru kalau aku terpilih jadi delegasi, kemudian diundang ke Jakarta? Kesempatan
berlian, Bunda!” celotehku panjang lebar dengan nada merayu.
Bunda kaget lalu tersenyum. “Ada informasi yang lebih jelas?” Tanya bunda.
Aku langsung menggandeng bunda ke kamarku. Lalu aku menyalakan laptop dan
menunggu internetnya tersambung. Buru-buru, kubuka page Public Kids, www.public-
speakkids.com. Ada poster informasi lomba ini secara lengkap. Mau lihat?
“Hilya, sehebat apa kamu sampai diberi amanah seperti ini?” Tanya bunda dengan nada
bahagia dan mengedipkan matanya kepadaku.
Aku hanya cengar-cengir bahagia bercampur malu.
“Boleh, ya, Buuun?” rajukku.
Ayolaah, Bun, tinggal katakana boleh atau tidak, batinku geregetan.
Bunda mengangguk dan aku langsung bersorak ria sambil memeluk bunda.

Ajang Bergengsi
Aku diminta mengikuti ini, nih, Miss,” terangku sambil menunjukkan poster yang ku
print dari page Public Kids. Miss Runi meraihnya, membaca dengan saksama.
“Oh, kalau ini, Insya Allah Miss Runi bisa bantu. Ehm, Miss akan telepon nomornya dulu,”
Miss Runi mencari ponselnya.
“Eeeh, untuk apa?” tanyaku bingung.
“Miss mau menanyakan apa boleh campur menggunakan bahasa asing juga atau tidak,”
jelasnya. Aku hanya bengong.
Setelah percakapan yang agak lama oleh Miss Runi dan penerima telepon,
akhirnya sambungan diputuskan. Miss Runi tersenyum,”Alhamdulillah, boleh, Hilya.”
“Boleh apanya? Apa yang diperbolehkan? Bahasa apa?” tanyaku bingung.
Miss runi tertawa,”Begini, ya. Berpidato dengan bahasa mancanegara itu, misalnya, pada
awalnya kamu berpidato menggunakan Bahas Indonesia, sampai selesai. Setelah itu,
anggap saja kamu men-translate-kan pidato Bahasa Indonesia tadi ke bahasa asing yang
lain, tapi teks dan maknanya tetap sama,” terang Miss Runi panjang lebar.
Aku mengangguk dan ber-oh panjang. Lalu aku bertanya,” Mengapa Miss Runi
menanyakan itu? Aku tidak mungkin bisa berpidato mancanegara, kan?”
“Tentu saja kamu bisa! Kamu akan berpidato dengan macam-macam bahasa,” terang Miss
Runi dengan wajah berbinar.
Jadi, intinya, impian lama yang nyaris mustahil ku wujudkan, akan segera terwujud dan aku
akan berpidato dengan tiga atau empat bahasa.
Miss Runi, semua berkat dirimu! Thank you very much! Bagaimana tidak? Beliau
membantuku menyusun teks pidato, menerjemahkannya dalam bahasa lain, dan
membantuku melafalkan bahasa asing yang s-u-s-a-h.
Siang hari ini, aku dan bunda akan menyiapkan rekaman untuk pidato. Kalau
rekamannya siap, langsung kami jadikan CD dan…dikirim! Bahasa yang kugunakan dalam
pidatoku ini adalah Indonesia (Tentu saja!), Inggris, dan Jepang dengan durasi delapan
belas menit.
Aku menarik lengan Nada yang mencoba kabur karena enggan menemaniku
masuk ke ruang guru.
“Kamu begitu amat sih, Nad! Sebenarnya, ikhlas enggak sih, membantuku?” Aku sedikit
kesal, kemudian melepaskan tangan Nada.
“Eeeh, kapan aku enggak ikhlas sama kamu? Ya ssudah, aku ngalah. Ayo masuk!” Aku
cekikikan dan tertawa kecil. Kami masuk ke ruang guru, menemui Miss Alma yang menagih
pidatoku dari kemarin. Hari ini, aku membawa CD berisi videoku berpidato. Setelah
berbasi-basi, kami berdua keluar dengan perasaan lega,”Terima kasih, sobat!” Aku
menepuk pundak Nada dua kali. Nada tersenyum.

Sepulang sekolah, Miss Alma menghampiri kami diteras kelas,”Assalamu’alaikum!”


“wa’alaikum salam,” jawab kami serempak.
“Hilya, ini CD berisi pidatonya, sudah dilengkapi cap sekolah, tanda tangan Kepala
Sekolah, dan surat-surat lainnya. Untuk akta kelahiran dan kartu anggota sekolah, sudah
kami fotokopikan. Ini tinggal dikirim, ya. Semangat, Hilya! Semoga berhasil!" jelas Miss
Alma panjang lebar.
Yes!Besok Sabtu akan kukirim, semoga membuahkan hasil yang menyenangkan.

Hari ini. Satu Oktober yang benar-benar melelahkan.


“Bunda, aku tidur, ya, Ngantuk banget! Sudah mandi dan shalat Ashar, kok,” izinkanku
kepada bunda.
“Sayang, tidur menjelang Magrib, kan, dilarang,”tegur bunda lembut.
Aku langsung lunglai mendengar teguran bunda.
Aku memutuskan untuk memutuskan untuk membuka Facebook. Setelah akunku
tersambung, aku bersiap untuk menjelajah. Tiba-tiba, Hara mengirim pesan di grup
YaMaHa.
Aku kaget setengah mati, meskipun gembira juga. Hara terpilih?Keren!Ya ampun, aku
membatin iri. Akhirnya, aku baru sadar kalau sekarang sudah tanggal 1 Oktober, saatnya
setiap delegasi terpilih ditelepon untuk dikabarkan mereka terpilih atau tidak.
Hatiku dirundung kebingungan
Kutepis rasa yang membuatku semakin merasa bersalah.
“Kak Ya, sini, deh!”panggil bunda usai bertelepon cukup lama dengan seseorang. Karena
kupikir tidak ada hasil istimewa, kuhampiri bunda tanpa firasat apa pun.
“Hilya percaya, enggak?” Tanya bunda.
Aku menggeleng bingung. Bunda menghela napas kemudian tersenyum misterius. Kubalas
senyum bunda dengan tatapan datar.
“KAK HILYA TERPILIH JADI DELEGASI KONFERENSI PUBLIC SPEAKER CILIK 2013!”
pekik bunda mengagetkanku.
Ah!Lututku lemas, tetapi tak kunjung jatuh. Penglihatanku agak buram dan samar, namun
aku tidak pingsan. Aku terawa bahagia, dan langsung sujud syukur.

Hari selasa, pukul 10.25 pagi, kutatap jendela, lautan biru murni membentang, indah
tak terhingga. Aku masih tidak percaya, bahkan bisa berteriak dipesawat ini. Aku bersyukur
diizinkan ke Jakarta mengikuti ajang bergengsi itu oleh ayah dan bunda. Pemenangnya
diberi penghargaan pembinaan tingkat Nasional oleh Kemendikbud dan Public Kids.
“Penumpang diharapkan bersiap karena pesawat akan segera mendarat.” Akhirnya,
setelah landing yang ribet dan bikin pusing, kami-penumpang pesawat dipersilakan untuk
turun.
Sesampainya di pintu keluar ternyata ada panitia Public Kids yang memang
menantiku, kubawa koper dan masuk ke mobil khusus yang disediakan panitia. Aku
memang satu-satunya perwakilan Sumatera Utara.
“Hilya, kita sudah sampai,” kata Ibu Asma dari Dinas Pendidikan Sumatera Utara.
Aku mengangguk sambil tersenyum hormat.
Aku diantar masuk oleh Bu Asma. Aku dan Bu Asm menghampiri kakak panitia untuk
registrasi.
“Hilya Granada Hanifah,” kata Bu Asma kepada kakak panitia di meja pendaftaran.
Kakak panitia itu bernama Mira, ada di name tag-nya
Aku menerima semua barang yang diberikan Kak Mira, tak lupa berterima kasih. Bu Asma
pamit kepadaku untuk bergabung dengan panitia lainnya.
Seseorang laki-laki mengajak aku dan beberapa anak lainnya menaikki lift, dia mengantar
kami ke kamar masing-masing. Ternyata, dia panitia juga, namanya Kak Andra.
Kami berhenti di lantai tujuh. Kucari-cari kamar nomor 712, dan … ketemu! Letaknya cukup
dekat dari lift dan tangga darurat.
Tok! Tok! Tok!
Pintu kamar itu terbuka, seorang gadis kecil seumuranku menyambut kedatanganku
dengan senyum manisnya, seolah tahu bahwa aku akan menempati kamar itu juga.
“Halo, namaku Hara. Aku …,” ujarnya memperkenalkan diri.
Deg. Aku menelan ludah, tidak percaya
“AH, YA AMPUN!” soraku bahagia. Entah bagaimana kulukiskan kegembiraan ini.
“Aku Hilya!” seruku riang.
Hara langsung menggandeng tanganku dan berteriak seperti ada orang lain di sana
“Masya Allah, Hilya! YaMaHa … sekamar? Aku enggak percaya!” seru seorang gadis kecil
berkulit sawo matang yang langsung menghampiriku dan mencubit pipinya sendiri. Aku
mengolongo,”May … Mayra?”
Gadis itu mengangguk.

Sore ini, setiap kamar diberikan jadwal kegiatan selama empat hari. Nanti malam,
tepatnya pukul tujuh, acara pembukaan resmi Konferensi Public Speaker Indonesia
dimulai.
“Hilya!” Mayra menepuk pundakku pelan. Pasti dia sudah selesai mandi, soalnya,
penampilannya benar-benar rapi, “mandi dulu,sana! Hara sudah selesai, lho.”
Aku mengangguk, kemudian kuambil handuk ungu dari tas, dan segera mandi.

A Miracle
Aku sangat berterimakasih kepada beker terbentuk keroppi yang kubawa dari
rumah. Berkat jasanya, aku bisa bangun pukul setengah lima pagi. Acara pembukaan
dimulai pukul tujuh dan selesai pukul sebelas malam!
Kubangunkan Mayra dan Hara.
“Eh, ayo sholat subuh. Lalu kita siap-siap dan nanti barengan aja turun untuk sarapanya,”
Tadi, juri mengumumkan kalau aku dapat nomor urut 15.
Nomor sebelas … tiga belas … empat belas … Tiba juga giliranku.
“Baiklah, nomor urut lima belas, Hilya Granada Hanifah,” seru sang pembawa acara.
Aku mengucap basmallah. Aku percaya sebuah moto,
‘Aku yakin, aku bisa!’.
“Assalamu’alaikum …,” aku memberi salam. Lalu dengan penuh percaya diri aku mulai
melafalkan pidato yang sudah kuhafal luar kepala tanpa rasa gugup sedikit pun.
Pagi ini adalah acara puncak alias hari pengumuman pemenang lomba pidato.
Seluruh peserta berangkat ke gedung Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
menggunakan bus.
Setibanya di gedung Kemendikbud, kami turun dari bus. Tidak lama acara pun
dimulai. Pembukaan diiringi dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Akhirnya, acara yang ditunggu-tunggu peserta konferensi
Public Speaker Cilik pun tiba.
Kak Elva yang membacakan nama pemenang. Bapak Menteri telah hadir dan bersiap
memberikan penghargaan. Dimulai dari juara harapan. Oke, namaku tidak ada dan aku
tidak berharap lebih. “Juara dua, dengan total poin 1.457 …,” seru Kak Elva lambat-lambat.
“adalaaah wakil … dari … Sumatera Utara kita, HILYA GRANADA HANIFAH!”
Aku kaget dan bengong sejenak. Lalu aku tersenyum malu. Aku langsung maju ke
podium.
Kuterima piala kaca berukir yang cukup berat dan berkilau, kemudian berfoto bersama
Bapak Menteri dan juara-juara lainnya.
Kami turun dari panggung dari sisi panggung, di sana kakak-kakak panitia menyiapkan
kotak untuk menyimpan piala kami.
“Two thumbs up, Hilya!” puji Bu Asma sambil mengacungkan dua jempol
Aku hanya tersenyum sambil tak henti mmengucapkan terima kasih. Lalu, Mayra dan
Hara menghampiriku. Mereka bersorak dan mengucapkan selamat tanpa henti, sampai-
sampai aku kewalahan.
Aku berterima kasih sambil tersenyum malu.
Acara Konferensi Public Speaker Cilik sudah selesai. Besok kami sudah boleh pulang,
termasuk aku.
Esok paginya.
Hari ini adalah hari terakhir konferensi.
Akhirnya kami sampai juga di Bandara Soekarno-Hatta.
“Hilya, Boarding pass-nya sudah di ibu, tidak usah khawatir,” kata Bu Asma.
Satu setengah jam berlalu. Terdengarlah pengumuman agar penumpang yang bertujuan
ke Kualanamu Medan untuk segera menuju pesawat.
Selamat tinggal, Jakarta! I will miss you!

Pindah ke Solo
Perasaanku sepulang dari Jakarta tidak karuan. Aada senang, sedih, dan terbebani.
Aku sedih karena meninggalkan teman-temanku, khususnya YaMaHa yang entah kapan
kami bisa bertemu lagi. Satu lagi yang membuatku pusing adalah dua hari setelah
kepulanganku dari Jakarta, ayah dan bunda mengajakku bicara serius. Ayah mendapat
tawaran untuk pindah kerja ke Solo sebagai kepala cabang di sana. Sepertinya ayah setuju
untuk mengambil tawaran itu karena keluargaku juga banyak yang menetap di Semarang.
Jadi, kami lebih mudah bersilaturahim.
Ayah setuju pindah karena aku masih kelas enam awal. Andai saja itu pada pertengahan
semester, mungkin aku tidak ikut pindah.

“Enggak main laptop?” Besok, kan, kamu libur?”Tanya bunda ketika melihatku sedang
bengong di sofa.
Aku menggeleng, kemudian mengangguk, seperti orang aneh.
“Gimana, Kak Ya?” Tanya bunda.
“Apanya?” jawabku balik bertanya.
“Keputusanmu? Pilihanmu bagaimana? Mumpung semester satu baru sebentar,
lho,”Tanya bunda lagi.
“Bunda membicarakan soal pindah rumah itu, kan?” tebakku.
“iya, jawab bunda.
Kuhela napas berat. Aku tidak ingin menjawab. Iya, tidak, iya, tidak, iya, tidak … iya atau
tidak? Pening rasanya kalau terus-terusan memikirkan itu. Aku belum tahu sisi positifnya,
tetapi aku belum tahu sisi negatifnya.
“Aku enggak tahu, Bun,”jawabku lirih,” bukannya nanti administrasi pindah rayonnya,
repot, Bun,”lanjutku.
“Masalah itu, Bunda dan Ayah yang mengurus. Itu gampang. Sekarang, kamu bulatkan
dulu keputusanmu, mau ikut pindah atau tidak?”Tanya bunda menegaskan
“Kenapa Bunda hanya bertanya kepadaku? Syahla yang cengeng itu, gimana? Enggak
mungkin, kan, kita membawa sekolah dan teman-teman Syahla ke Solo?”aku balik
bertanya.
“Syahla mau, lagi pula dia masih kecil dan belum tahu menahu soal seperti ini,”jawab
bunda.
“Jadi, maksud Bunda, aku sudah dewasa dan harus memilih keputusan sematang
mungkin? Bun, Syahla itu sudah kelas dua! Argumennya keren sekali!’ jawabku sedikit
ngotot.
“Kak Ya, kata bunda menggangtung,” kami minta kakak yang memutuskan karena
merasa terpaksa. Kakak, kan, mengerti kalau keterpaksaan adalah hal kedua paling bruk
setelah ketidakpastian,” pungkus bunda.

Setelah menimbang begitu banyak hal, akhirnya ak setuju untuk pindah ke Solo. Hal yang
memberatkanku adalah aku harus berpisah dengan Nada, sahabatku yang ceriwis tapi baik
hati itu. Seminggu sebelum kami berangkat ke Solo, Nada mampir ke rumahku sambil
membawa kotak cukup besar yang saaangat berat, berisi kado dan kenang-kenangan
kami. Hari keberangkatan pun tiba. Aku kembali terbang bersama orangtua dan adikku
menggunakan pesawat terbang dari salah satu maskapai besar di Indonesia.
“Kak, sampainya kapan?”Tanya Syahla yang asyik memandangi pemandangan luar
jendela.
“Tahun depan,”jawabku sekenannya. Syahla diam saja, tidak menghiraukan.
Sebenarnya, hal lain yang membuatku ke Solo adalah karena ayah sudah menjamin
sekolah, rumah, fasilitas kami ketika di sana.
“Kak, Kak Ya, bangun! Sudah sampai, ayo kita turun,” Syahla menggoyang-goyangkan
tubuhku. Aku, yang sempat tidur karena mengantuk, terbangun pelan. Bandara Adi
Sumarmo memenuhi pandanganku.
Aku dan keluargaku turun dari pesawat, masuk ke ruang troli dan mencari-cari barang
bawaan kami. Perabotan rumah sudah dibawa oleh truk-truk besar melalui jalur darat,
beberapa hari yang lalu.
Ayah memanggilkan becak! Becak Solo. Aku baru melihatnya dan aku belum pernah
menaikinya. Belum pernah.
“Ayo, naik! Rumah baru kita enggak jauh-jauh amat.

Kejutan di Sekolah Baru


“Assalamu’alaikum, namaku Hilya Granada Hanifah. Lahir di Surakarta, dan aku
pindahan dari Pematang Siantar, Sumatera Utara. Jazakumullah,” kataku memperkenalkan
diri di kelas baruku.
Wanita dengan sorot mata lembut mengangguk-angguk, kemudian mempersilakanku
duduk. Kami memanggilnya dengan sebutan Miss Tsabita Amirah.
Hari ini, hari pertamaku bersekolah. Ayah mendaftarkanku di An-Najma, seperti boarding
school.
Sekolah An-Najma Ciri khasnya adalah dinding abu-abu, tetapi lebih dominan kepada
warna putihnya. Disini, ada beberapa lapangan, yaitu lapangan upacara, lapangan futsal,
voli, badminton, dan lapangan olahraga biasa. Seragam pokoknya adalah kemeja putih
lengan panjang, di pinggirnya ada ukiran kaligrafi berwarna ungu seperti batik, dipadu
rompi bercorak dan rok panjang yang warnanya senada. Kalau untuk akhwat, sih,
diwajibkan mengenakan hijab.
Di kelas ini, ada sekitar dua puluh murid, dengan Miss Tsabita sebagai wali kelasnya.
Formasi tempat duduknya sendiri-sendiri.
Miss Tsabita mengalihkan perhatian lagi, “Tunggu sebentar, Anak-anak! Hari ini, adda
satu murid baru lagi yang masuk kelas kita,”
Miss Tsabita keluar, kemudian masuk lagi bersama seorang gadis cilik yang cantik,
matanya bulat besar dan alisnya tebal. Hah?
“Namaku Madeline Haira Athifah Tsurayya, kalian bisa memanggilku Hara.
“HARA!”Aku tidak sengaja berteriak, membuat seluruh mata menoleh kepadaku.
Hara langsung tersenyum riang ketika melihatku, tanpa canggung dia langsung
melanjutkan perkenalannya,
“… aku berasal dari Malang, Jawa Timur. Semoga kalian menyukaiku di sini.”
Aku ini benar-benar yakin kalau dia adalah Hara, Hara sahabatku. Miss Tsabita
mempersilakan Hara duduk di bangku sebelahku. Yeaaay!
“Kamu Hara sahabatku, kan?”tanyaku agak ragu.
“Iya, Hilya! Allah menghendaki kita bertemu lagi,” jawabnya sambil tersenyum semanis
bidadari.

Aku dan Hara menghabiskan banyak waktu untuk mengobrol. Teman-teman yang
lain hanya mengira kami akrab karena sesame murid baru. Tetapi sebenarnya, kami
memang sudah bersahabat baik!Hihihi.
Tiba-tiba, seorang gadis cilik dengan kursi roda mendekati kami. Wajahnya akrab tapi
aku tidak bisa menebaknya. Jilbab putihnya membuatnya tampak anggun. Aku dan Hara
baru sadar kalau di kelas ini ada yang menggunakan kursi roda.
“Assalamu’alaikum,”sapa gadis itu ramah
“Wa’alaikum salam,”aku dan Hara menjawab salamnya kompak.
“Kenalkan, namaku Mayra. Selamat datang di sini, semoga kalian betah,”sapanya
memperkenalkan diri.
Senyum dan mata sayunya mengingatkanku kepada seseorang.
Aku menatap Hara sejenak, “Salam kenal, Mayra. Terima kasih, ya,”balasku seperlunya.
Lalu gadis itu pamit karena merasa seperti tamu tak diundang.
“Mayra … namanya seperti sahabat kita, ya,” celetuk Hara yang kusambut dengan
anggukan.
“Hei, kawan!” sapa seseorang. “Aku Victori, panggil saja Vic. Uhm, soal anak bernama
Mayra tadi … yah, dia anak aneh, memang. Mayra menderita lumpuh sampai harus
memakai kursi roda. Dia bukan murid pindahan, melainkan murid lama. Tetapi, sampai saat
ini, dia begitu misterius dan jarang berbaur bersama kami,” cerita Vic panjang lebar.
“Oh, begitu. Bagaimana kalian tahu kalau dia misterius?” tanyaku penasaran
“Dia penyendiri dan suka bertingkah aneh pada orang yang dia ingin orang itu jadi
shabatnya. Orangnya sok akrab gitu dan suka cari perhatian. Karena sikap sok ramahnya
itu rasanya kurang tulus makanya banyak yang tidak suka dengannya,”jelas Viv
“Kamu tahu, Vic? Aku dan Hilya bersahabat sudah lama. Kami sahabat pena. Sampai
akhirnya, kami dipertemukan di Konferensi Public Speaker kemarin. Kami bahkan
membentuk grup namanya YaMaHa, singkatan dari Hilya-Mayra-Hara. Mayra sahabat kami
juga, dia tinggal di Solo. Anak berkursi roda tadi mengingatkanku tentang Mayra. Iya kan,
Hilya?”kata Hara yang kusambu dengan anggukan.
Victoria bersedia mengantar kami berkeliling sekolah. Tujuan terakhir adalah kantin
karena aku sudah lapar. Seseorang menyapa kami tiba-tiba.
Hai, bolehkah aku bergabung?” Tanya Mayra sopan mendekat ke meja kami.
MAYRA! Serius, deh! Kali ini, aku benar-benar merasa pernah melihat wajah manis itu.
Apa Mayra punya kembaran yang pernah kukenal sebelumnya, ya?
“Aku duluan, ya! Bye!” pamit Victoria sambil langsung beranjak, aku dan Hara hanya
saling berpandangan, salah tingkah.
“Hilya, Hara,” kata Mayra.
Suasana berubah canggung.
“Ya,”sahutku datar.
“Maukah kalian jadi sahabatku?” Tanya Mayra tulus.
Aku tidak menjawab, hanya tersenyum pura-pura tulus, ekor mataku mengerling Hara
berisyarat tanya, harus gimana ini? Sunyi menggantung, suassana antar kami semakin
canggung. Untunglah bel segera berbunyi memecahkan kecanggungan itu. Kami bertiga
pun bersama teman-teman lain segera masuk ke kelas masing-masing.

Aku betah di sekolah baruku ini ditambah lagi aku satu kelas dengan Hara. Semakin
hari, aku dan Hara merasa kalau Mayra itu menyebalkan. Kami tidak suka sikapnya yang
sok akrrab.
Kami rindu Mayra. Mayra Aufa Azzahra, sahabat kami, yang kini sulit dilacak
keberadaanya. Kemana, sih, jejaknya? Apalagi, saat teman sekelasku yang aneh itu
menawarkan diri untuk menggantikan Mayra dalam YaMaHa.
Selama ini kami hanya bersikap sopan saja kepada Mayra. Dia mungkin
menganggap kami sahabatnya, tapi kami hanya menganggapnya sebagai teman.
“Halooo Hilya, Hara!”sapa Mayra ceria, “aku punya kabar, lho!”lanjutnya sambil tersenyum
sumringah..
“Kabar apa? Please, jangan soal kartun lagi,”kata Hara.
Mayra ini kekanakkan sekali, semua topic pembicaraannya pasti selalu dikaitkan dengan
kartun yang dia tonton di saluran favoritnya. Dia mirip Mayra Aufa Azzahra yang juga
penggemar saluran itu.
“Bukan, kok,” jeda Mayra pelan, “Kalian ingat, seminggu lagi, presentasi IPA, lho,”
terangnya dengan wajah serius.
Kita harus presentasi tentang bel listrik yang sudah kelompok kita kerjakan beberapa
minggu lalu? Hari Rabu depan, setiap kelomok harus presentasi alat yang dibuatnya,”jelas
Mayra bersemangat.
“Oh, begitu,”katakku dingin.
“Tentu saja! Apalagi, bisa melatih kemampuan public speaking-ku! Kan a … ku …,”
Tiba-tiba dia berhenti, Mayra seperti orang keceplosan yang takut kalau rahasianya
terbongkar.
“Berarti, kita harus latihan.. Kumpulkan Hasna, Karima, dan Elsa juga!”tambahku
Akhirnya, aku dann teman-teman kelompok belajarku berkumpul. Seperti kelompok lain,
kami berkompromi membicarakan presentasi ini karena Miss Tsabita baru saja
mengumumkannya.

Terbongkarnya Rahasia Mayra


Alhamdulillah, presentasi alat kami tadi sangat memuaskan. Mayra mempresentasikan alat
kami dengan baik dan kami dapat nilai tertinggi untuk teknik public speaking kami.
Seusai pelajaran IPA, kami diperbolehkan pulang. Sambil menunggu bel pulang, kami
semua riuh di kelas. Tiba-tiba, Miss Tsabita masuk ke kelas memecah keriuhan itu menjadi
sunyi mendadak.
“Anak;anak, setelah bel tanda pulang, kalian boleh pulang. Hari ini kegiatan belajar
mengajar dan les di- tiadakan,”terang Miss Tsabita. Miss pamit, Assalamu’alaikum,”ditutup
dengan ucapan salam.
Setelah Miss Tsabita keluar, tidak lama kemudian bel pun berbunyi. Kami segra
berhamburan keluar. Aku dan kelompok IPA-ku rencananya akan mampir ke rumah Mayra
untuk menitipkan bel listrik buatan kelompok kami. Rumah Mayra paling dekat dengan
sekolah.
“Masih pukul Sembilan lebih. Oke, kita langsung ke rumah Mayra,”celetuk Karima.
Kami mengangguk tanda setuju.Suasana hatiku sedang baik dan entah kenapa Mayra
tampak menyenangkan hari ini.
Rumah Mayra berada di jalan Apel, nomor 23. Ini alamat yang tidak asing.
“Kita sudah sampai. Mendingan, kalian main dulu, deh, di rumahku!” ajak Mayra ramah
sambil membuka gerbang rumahnya.
Aku dan teman-temanku memutuskan untuk bermain di rumah Mayra, berhubungan
gerimis jug d luar dan kami tidak ada yang membawa payung. Troli berisi bel listril sudah
dimasukkan ke garasi rumah Mayra sebelum kami masuk ke ruang tamu.
Tidak lama kemudian, mamanya Mayra menyambut kami dengan suka cita. Setelah
menyambut kami, mamanya Mayra pamit ke belakang. Mayra mengajak kami ke ruang
atas di perpustakaan miliknya.
“Kita k eats saja, yuk, main di perpustakaan. Nanti mama akan membawakan camilan
kue untuk kita. Nanti kita makan di sana, ya,”ajak Mayra tulus.
“Kami mereotkan, ya?”tanyaku canggung.
Mayra tertawa, “Enggak sama sekali! Mamaku malah senang banget kalian main, aku
juga begitu.”
“Ngomong-ngomong, kita naik pakai tangga? Lalu, kamu bagaimana?” tanya Hara.
“Aku minta tolong, bantu aku naik lewat tangga sebelahnya. Ayah membuatkanku tangga
khusus,”jawab Mayra sambil menunjuk sebuah bidang miring yang rata. Seperti tangga,
tetapi permukaanya lurus. Aku dan teman-temanku melongo melihatnya.
Baiklah, aku akan membantumu. Tapi, aku enggak bakal terpeleset di situ, kan? Eh, ini
seperti escalator di Grand Mall, ya,” kataku sambil memicingkan mata yang dijawab Mayra
dengan anggukan.
Semua teman sudah naik ke perpustakaan, tinggal aku dan Mayra masih di bawah. Aku
menunggu Mayra yang ke toilet dulu.
“Maaf, aku membuatmu menunggu. Kita naik, yuk. Terima kasih sudah mau membantuku
mendorongkan kursi rodaku, Ya,”kata Mayra riang.
Aku tertegun. Mayra memanggilku dengan sebutan Ya?
“Ng … sama-sama. Aku senang bisa membantumu,” jawabku sambil tersenyum
canggung.
“Hilya, semisal, kamu bertemu dengan Mayra teman yang kamu rindukan itu di dunia
nyata dan ternyata keadaanya seperti ini, cacat, ditambah lagi teman-teman selalu
mengatakan hal yang buruk tentang aku, seperti orangnya sok akrab, lah, sok cari
perhatian, lah, dan julukan buruk lainnya, apakah kamu masih mau berteman dengan
Mayra yang kenyataanya tidak seperti dalam bayanganmu,” tanya Mayra panjang lebar.
Aku berhenti mendorong kursi roda. Aku terhenyak mendengar pertanyaan Mayra.
“Kamu ini bicara apa, sih?”tanyaku bingung.
“Duh, ini rumit. Aku yakin kamu tidak akan percaya, Hara juga. Mumpung kita sedang
berdua, aku akan menjelaskan sesuatu,” jawab Mayra misterius.
Belum sempat aku bertanya lagi, tiba-tiba pintu kamar yang ada di dekat tangga terbuka.
Aku kaget. Ada Mayra yang lain, yang sempurna dan bisa berjalan. Dia …
“Mayra …,”seruku kaget.
Bukankah dia Mayra? Mayra Aufa Azzahra, sahabatku yang benar-benar kurindukan.
“Aku bukan Mayra,”katanya ketus.
Aku membeku.
Mayra ‘Kursi Roda’ menepuk tanganku yang memegang erat dorongan kursi rodanya.
“Dia Muthia, saudara kembarku, akulah Mayra Aufa Azzahra yang sebenarnya,”kata
Mayra lirih.
Tiba-tiba Hara turun. Dia segera menyambangiku. Lalu dia kaget melihat ada dua Mayra!
Satu Mayra yang kami kenal dan tinggal sekamar bersama semasa Konferensi Public
Speaker.
“Kamu, kan …” kata Hara sambil menunjuk ke arah Mayra yang berdiri.
“Dia Muthia, saudara kembarku, aku Mayra,”terang Mayra kepada Hara.
Mayra menghela napas, “Aku Mayra, Mayra Aufa Azzahra, yang sebenarnya.
Penyamaran Muthia benar-benar berhasil. Tapi kenapa setelah Konferensi kalian malah
melupakanku?”tanya Mayra sambil menahan tangis.
Aku dan Hara melongo. Drama banget, sih.
“Kamu menyalahkanku? Wajar mereka menganggap ku Mayra, Mayra yang tergabung
dalam YaMaHa atau apalah itu! Kamu yang memintaku menggatikanmu, kan. Aku sudah
menolak, tetapi kamu memaksa. Sekarang, jadi runyam begini, kamu malah
menyalahkanku,”sambar Muthia dengan wajah bersungut-sungut.
Duh, rumit sekali.
“Iya, aku salah. Tapi kamu juga tega. Hadiah dari Hilya yang seharusnya buatku, malah
kamu sembunyikan,”balas Mayra sengit.
Aku dan Hara hanya bengong melihat pertengkaran mereka.
Suasana semakin panas.
“STOP! Kalian ini ngomong, apa sih,”seru Hara dengan nada kesal.
Mayra tersenyum getir, “Hara, akulah Mayra Aufa Azzahra, Mayra yang ASLI! Aku adalah
bagian dari YaMaHa. Aku ingin memperbaiki persahabatan kita kembali. Persahabatan
yang sudah kurusakk dengan perbuatanku,”terang Mayra penuh sesal.
“Muthia adalah saudara kembarku. Aku meminta tolong kepadanya untuk berpura-pura
menjadi aku selama acara Konferensi Public Speaker di Jakarta. Aku kaget karena aku
bisa lolos di acara tersebut. Karena aku tidak ped dengan keadaanku, maka aku meminta
Muthia untuk menggantikanku. Karena mama memaksa, akhirnya Muthia mau
menggantikanku. Meskipun kembar, kami tetap berbeda. Karena aku tahu kalian juga
peserta maka aku mengajari Muthia tentang kalian supaya penyamarannya
sempurna,”terang Mayra.
Tanpa kami sangka, Muthia buka suara, Aku terbebani. Mayra memberiku tugas yang
sangat berat! Ah, jujur saja, aku enggak menikmati semua itu. Aku enggak suka public
speaking. Tapi, Mayra memaksaku! Mayra tidak percaya diri, hanya karena lumpuh yang
dideritanya.
“HP yang kuikhlaskan untuk dia bawa, supaya bisa memfoto kalian, malah
disalahgunakannya. Dia bahkan sama sekali tidak memfoto kalian. Dan satu lagi, hadiah
yang kamu berikan ke Muthia itu sebenarnya untukku, kan, Hilya?”terang Mayra sambil
diakhiri dengan bertanya kepadaku.
“Niatku, ya, untukmu. Kan, aku tidak tahu kalau itu ternyata Mayra gadungan,”jelasku
sambil mencoba mencerna semua pembicaraan ini.
“Benar, kan, Muth, Itu untukku,”kata Mayra menegaskan,”kau tahu, Hilya, Muthia sama
sekali tidak memberitahukan soal hadiahmu. Dia menyimpan hadiah itu untuk dirinya
sendiri. Ketika kutanya, Muthia selalu berpura-pura tidak tahu. Suatu hari, ketika dia les
privat, aku masuk ke kamarnya untuk pembolong kertas. Tanpa sengaja, aku lihat
hadiahmu, dan surat-surat dengan tulisanmu yang cantik, Hilya! Aku lihat scrapbook keren
yang kamu buat, isinya foto-foto YaMaHa. Ada diari juga. Saat kubuka, semuanya penuh
dengan tulisan dan curhatanmu.MUTH, KAMU TEGA!”lanjut Mayra panjang lebar sambil
bercucuran air mata.
Aku dan Hara hanya berpandangan. Dua saudara ini, konfliknya, rumit banget.
Rasanya terlalu mengada- ngada.
“Kamu yang menyalahkanku terus. Aku sengaja tertutup kepada Hara dan Hilya, karena
aku iri pada persahabatan kalian dan juga karena aku kesal pada tugas yang diberikan
Mayra kepadaku. Jadi, kalian paham, kan?Aku ini bukan Mayra. Dia yang Mayra. Aku
memang saudara kembar Mayra, tapi kami berbeda,”terang Muthia membela diri.
Aku dan Hara tidak pernah menyangka. Kami tidak pernah berpikiran begitu rumit.
“Jadi, intinya, kamu bukan Mayra, tetapi kamu adalah saudara kembarnya. Dan Mayra,
kamu tidak berani ke Konferensi Public Speaker itu karena kamu tidak pede, dan malu
karena kamu lumpuh?Kenapa? Aku tidak keberatan bersahabat denganmu, bagaimana
pun kondisimu,”terangku kepada Mayra.
“Sekarang sudah jelas, ya. YaMaHa, Seharusnya bersyukur karena sekarang bisa
bertemu secara nyata. Kita baikan, yaa,”kata Muthia sambil tersenyum manis dan
mendekati Mayra.
“Baiklah, Muth. Aku juga salah. Maafin aku juga, ya. Alhamdulillah Allah mempertemukan
kita di sekolah yang sama. Dan kini, semuanya terungkap sudah. YaMaHa utuh kembali,
Aku menyayangi kalian,”sahut Mayra sambil tersenyum manis, wajahnya sudah sumringah
lagi.
Aku terharu. Kejadian ini benar-benar di luar dugaanku. Kami semua, aku, Hara,
Muthia, dan Mayra saling berpegangan tangan. Salah paham sudah sirna.
“Heiiiii, please, deh!Kalian hobi atau gimna, sih?Bikin orang nyaris mati penasaran!”
gerutu Karima.
“Kami mau kasih tau, asal kamu traktir mi ayam dulu. Aku lapar, kalau masih harus cerita,
energiku habis, deh. Oke, setuju, ya?!”pinta Muthia.
“Eh, Muth, mama, kan, udah masak sup jamur dan ayam bakar. Kita makan dirumah
saja, setelah itu, ayo kita nonton video Hilya berpidato sewaktu di Jakarta?”timpal Mayra
tersenyum jahil.
Teman-temanku bersorak setuju. Yah, mereka yang senang, aku yang malu. Aku
tahu, Mayra pasti tahu dari video yang diunggah Public Kids ke YouTube.
Kali ini aku mengerti satu hal. Persahabatan yang penuh lika-liku. Aku juga sadar,
kalau semua ini takkan terjadi jika kami tidak mengenal … public speaking.
Pagi yang cerah, karena hari ini, dan seterusnya, YaMaHa akan utuh kembali tanpa ada
halangan apa pun. Janji tetaplah janji. Kami telah berjanji untuk tetap bersahabat
selamanya. Happily ever after!

Anda mungkin juga menyukai