Tugas B.indonesia Vii A
Tugas B.indonesia Vii A
BAHASA INDONESIA
DISUSUN OLEH:
HELLBI THORIQOTUNNAJIAH
KELAS VII-A
TAHUN PELAJARAN 2018 - 2019
ORATOR CILIK
Public speaking itu…
Klak!Klik! jemariku menari-nari di atas keyboard laptop hitam pribadiku. Aku sedang
browsing, mencari-cari tips, pengetahuan, hiburan, dan segala yang berbau public
speaking. Sering kutonton video para tokoh-tokoh terkenal yang bisa bicara dengan lancar,
percaya diri, dan lantang.
Kalau menurutku, public speaking itu benar-benar sesuatu yang sangat baik kalau
kita bisa menanamkannya. Jadi, kalau suruh bicara didepan umum, enggak usah pakai
acara ngumpet di kolong meja segala! Bisa melatih kepercayaan diri kita, lagi!
Sebenarnya, kuakui aku ini juga kegandrungan internet. Tetapi, aku juga enggak
lupa belajar dan beribadah. Aku mempunyai sahabat dunia maya, namanya Mayra, Mayra
Aufa Azzahra. Aku dan Mayra bersahabat karena kami juga pecinta public speaking.
Beruntung sekali hari ini masih pagi, dan semua PR yang sudah disusun guruku
sedemikian banyaknya, sudah ku kerjakan sepulang sekolah itu juga.
Oh, iya,nanti sore, Miss Runi akan datang. Beliau adalah guru les privatku. Mata
pelajaran yang dia ajarkan macam-macam, Matematika, IPS, dan sebagainya. Tetapi, yang
istimewa dari Miss Runi adalah, beliau menguasai berbagai bahasa mancanegara.
Misalnya Indonesia, Inggris, Arab, Jepang, Cina, Maroko, Spanyol, Prancis, dan Rusia.
Segelintir penghargaan diberikan kepadanya karena kemampuannya itu. Miss Runi juga
teladanku dalam menguasai public speaking yang baik.
Sebenarnya, hari ini aku meminta Miss Runi datang untuk memberi komentar
terhadap pidatoku. Lusa, aku dan teman-teman sekelas diminta berpidato dalam rangkaian
ujian praktik.
Bertiga
“Assalamu’alaikum! Tadaima, eh, maksudku,aku pulang! Seruku setelah melepas sepatu
dan meletakannya di teras. Aku masuk ke rumah. Setelah berganti baju dan shalat zuhur,
aku menyalakan laptop. Ini memang belum pukul dua, tetapi, aku harus meng-instal ini-itu
dulu untuk video call bersama Mayra. Ah, laptop ini benar-benar kurang update! Ternyata,
Mayra sudah online. Tiba-tiba, Mayra menyambungkan video call bersamaku. Wajahnya
tampil di layar laptopku.
“Assalamu’alaikum. AAA! Hilya,” Mayra sedikit histeris. Aku tertawa.
“Wa’alaikum salam. Wajahmu tetap sama, ya, kayak yang dulu! Video call kali ini pasti
seru, deh,” jaminku. Aku benar-benar tidak melewatkan kesempatan emas seperti ini.
Bagaimana pidatonya,Ya?”
“Alhamdulillah, sukses. Huwaaa, kata Miss Alma, nilai praktikku kali ini di atas rat-rata dan
paling tinggi dari teman-temanku,” jelasku malu-malu.
“Cieee, selamat, ya! Sebenarnya, hari ini aku mau memperkenalkan seseorang kepadamu.
Yang jelas dia bukan Hulk. Dia sebaya kita, namanya Hara. Hara sudah online, nih, nanti
kuminta dia meng-add facebook-mu, ya!” kata Mayra sambil tersenyum. Aku mengangguk
menyetujui.
Aku membuka facebook atas saran Mayra. Benar saja. Ada permintaan, username-
nya Haira Tsurayya. Aku jadi tidak yakin apa itu benar-benar Hara.
“Sedang apa, Hilya? Hara Tsurayya itu Hara,” aku mendengar suara Mayra karena jendela
video-call-nya sengaja ku sisipkan.
“Oh, begitu. Kukira itu bukan Hara,” Setelah kuterima permintaan pertemanannya, aku
membuka kembali jendela video call.
Bip!
“Mayra, ini apa? Video call tiga orang, kan? Satu lagi siapa?” Suara asing memenuhi indra
pendengaranku, walau ku tahu itu suara perempuan. Sebuah wajah baru muncul di layar
laptopku.
“Aku, kan, sudah bilang, mau mengenalkan seseorang kr kamu!” tukas Mayra,” nah, itu
Hilya, pecinta public seaking yang baru saja berpidato untuk ujian praktik di sekolahnya
dengan very absolute dan dapat nilai tertinggi. O iya, Hara dari Malang,”
“Halo, Hilya! Wah, cantik ya,” sapa Hara dengan senyum mengembang. Setidaknya, dia
kelihatan senang berkenalan denganku.
“Hehehe, halo juga, Hara! Salam kenal, ya,” jawabku ramah.
“Sedang apa?” Tanya bunda ketika selesai membenahi seprai tempat tidurku
(membetulkan seprai kasur adalah hal yang paling sulit!).
“Bunda masih bertanya sekalipun sudah melihatnya sendiri dari tadi?” jawabku sambil
cengar-cengir
“Kamu itu, cuek bebek banget, ya! Main laptop jangan lama-lama. Kamu ini sudah kelas
enam, Hilya. Sebentar lagi mau ujian. Mata kamu juga bisa minus, lho!” nasihat bunda.
“Aku terkikik, “Iya, Bun. Aku akan berhenti kelamaan main laptop, internet, dan sejenisnya
itulah ketika pertengahan semester nanti. Lagi pula, ini, kan, baru beberapa minggu masuk
kelas enam.”
Bunda hanya geleng-geleng kepala.
“Apa itu?” bunda menunjuk sebuah grup yang tengah kubuka. YaMaHa!. “YaMaHa itu grup
persahabtanku, Bun. Singkatan dari Hilya-Mayra-Hara. Kami semua pecinta public
speaking, Bunda tahu, kan?” jelasku.
Saat istirahat, aku sedang ngobrol sambil ketawa-ketiwi bersama Nada. Tiba-tiba,
Thara menghampiriku.
“Miss Alma memanggilmu ke kantornya,” kata Thara.
Aku langsung beranjak menuju ruang guru sambil bertanya dalam hatiku mengapa Miss
Alma memangggilku.
Aku masuk ke dalam ruang guru sambil mengucapkan salam. Di dalam, Miss Alma
menyambutku dengan senyuman lembut.
“Hilya, ada lomba berpidato tingkat nasional yang di selenggarakan oleh Kemendikbud dan
organisasi public speaking, Public Kids. Alur lombanya seperti Olimpiade MIPA waktu itu,
Jadi, di babak penyisihan, anak-anak yang terpilih akan diundang ke Jakarta, menjadi
delegasi. Kami pihak sekolah, sepakat mengikutkanmu. Kamu, sanggup, Hilya?” Tanya
Miss Alma.
Aku mengangguk mantap, “insya Allah, Miss.”
“Kami memilihmu karena penampilan public speaking-mu benar-benar bagus. Semoga
berhasil, Hilya!” ujar Miss Alma menanamkan sugesti kuat untukku. Aku tersenyum haru,
dan mengangguk mantap.
Aku berlari kencang, masuk ke dalam kelas dengan super cepat laksana kilat.
Hampr saja aku bertabrakan dengan Nada yang hendak keluar kelas. Selama waktu
istirahat, aku menghabiskannya dengan memikirkan lomba pidato itu. Tingkat nasional?
Astaga! Berarti kalau nanti aku lolos babak penyisihan dan diundang ke Jakarta, aku bisa
berteman dengan anak-anak dari Jawa, Sumatera, Bali, Kalimantan, dan sebagainya. Ya
ampun, very good chance!
Sepulang sekolah, aku akan menyampaikan berita gembira ini kepada bunda. Aku
masuk ke dapur karena feeling-ku mengatakan bunda ada di sana. Dan benar.
“Bunda…,” panggilku ragu, “A-ku… punya se-buah ka-bar…,” ucapku lambat-lambat.
Bunda memasang tatapan mmenuntut penjelasan
“Miss Alma memberiku amanah untuk mengikuti perlombaan pidato tingkat nasional.
Penyelenggaraannya Kemendikbud dan organisasi Public Kids. Bunda, aku boleh ikut, ya?
Pasti seru kalau aku terpilih jadi delegasi, kemudian diundang ke Jakarta? Kesempatan
berlian, Bunda!” celotehku panjang lebar dengan nada merayu.
Bunda kaget lalu tersenyum. “Ada informasi yang lebih jelas?” Tanya bunda.
Aku langsung menggandeng bunda ke kamarku. Lalu aku menyalakan laptop dan
menunggu internetnya tersambung. Buru-buru, kubuka page Public Kids, www.public-
speakkids.com. Ada poster informasi lomba ini secara lengkap. Mau lihat?
“Hilya, sehebat apa kamu sampai diberi amanah seperti ini?” Tanya bunda dengan nada
bahagia dan mengedipkan matanya kepadaku.
Aku hanya cengar-cengir bahagia bercampur malu.
“Boleh, ya, Buuun?” rajukku.
Ayolaah, Bun, tinggal katakana boleh atau tidak, batinku geregetan.
Bunda mengangguk dan aku langsung bersorak ria sambil memeluk bunda.
Ajang Bergengsi
Aku diminta mengikuti ini, nih, Miss,” terangku sambil menunjukkan poster yang ku
print dari page Public Kids. Miss Runi meraihnya, membaca dengan saksama.
“Oh, kalau ini, Insya Allah Miss Runi bisa bantu. Ehm, Miss akan telepon nomornya dulu,”
Miss Runi mencari ponselnya.
“Eeeh, untuk apa?” tanyaku bingung.
“Miss mau menanyakan apa boleh campur menggunakan bahasa asing juga atau tidak,”
jelasnya. Aku hanya bengong.
Setelah percakapan yang agak lama oleh Miss Runi dan penerima telepon,
akhirnya sambungan diputuskan. Miss Runi tersenyum,”Alhamdulillah, boleh, Hilya.”
“Boleh apanya? Apa yang diperbolehkan? Bahasa apa?” tanyaku bingung.
Miss runi tertawa,”Begini, ya. Berpidato dengan bahasa mancanegara itu, misalnya, pada
awalnya kamu berpidato menggunakan Bahas Indonesia, sampai selesai. Setelah itu,
anggap saja kamu men-translate-kan pidato Bahasa Indonesia tadi ke bahasa asing yang
lain, tapi teks dan maknanya tetap sama,” terang Miss Runi panjang lebar.
Aku mengangguk dan ber-oh panjang. Lalu aku bertanya,” Mengapa Miss Runi
menanyakan itu? Aku tidak mungkin bisa berpidato mancanegara, kan?”
“Tentu saja kamu bisa! Kamu akan berpidato dengan macam-macam bahasa,” terang Miss
Runi dengan wajah berbinar.
Jadi, intinya, impian lama yang nyaris mustahil ku wujudkan, akan segera terwujud dan aku
akan berpidato dengan tiga atau empat bahasa.
Miss Runi, semua berkat dirimu! Thank you very much! Bagaimana tidak? Beliau
membantuku menyusun teks pidato, menerjemahkannya dalam bahasa lain, dan
membantuku melafalkan bahasa asing yang s-u-s-a-h.
Siang hari ini, aku dan bunda akan menyiapkan rekaman untuk pidato. Kalau
rekamannya siap, langsung kami jadikan CD dan…dikirim! Bahasa yang kugunakan dalam
pidatoku ini adalah Indonesia (Tentu saja!), Inggris, dan Jepang dengan durasi delapan
belas menit.
Aku menarik lengan Nada yang mencoba kabur karena enggan menemaniku
masuk ke ruang guru.
“Kamu begitu amat sih, Nad! Sebenarnya, ikhlas enggak sih, membantuku?” Aku sedikit
kesal, kemudian melepaskan tangan Nada.
“Eeeh, kapan aku enggak ikhlas sama kamu? Ya ssudah, aku ngalah. Ayo masuk!” Aku
cekikikan dan tertawa kecil. Kami masuk ke ruang guru, menemui Miss Alma yang menagih
pidatoku dari kemarin. Hari ini, aku membawa CD berisi videoku berpidato. Setelah
berbasi-basi, kami berdua keluar dengan perasaan lega,”Terima kasih, sobat!” Aku
menepuk pundak Nada dua kali. Nada tersenyum.
Hari selasa, pukul 10.25 pagi, kutatap jendela, lautan biru murni membentang, indah
tak terhingga. Aku masih tidak percaya, bahkan bisa berteriak dipesawat ini. Aku bersyukur
diizinkan ke Jakarta mengikuti ajang bergengsi itu oleh ayah dan bunda. Pemenangnya
diberi penghargaan pembinaan tingkat Nasional oleh Kemendikbud dan Public Kids.
“Penumpang diharapkan bersiap karena pesawat akan segera mendarat.” Akhirnya,
setelah landing yang ribet dan bikin pusing, kami-penumpang pesawat dipersilakan untuk
turun.
Sesampainya di pintu keluar ternyata ada panitia Public Kids yang memang
menantiku, kubawa koper dan masuk ke mobil khusus yang disediakan panitia. Aku
memang satu-satunya perwakilan Sumatera Utara.
“Hilya, kita sudah sampai,” kata Ibu Asma dari Dinas Pendidikan Sumatera Utara.
Aku mengangguk sambil tersenyum hormat.
Aku diantar masuk oleh Bu Asma. Aku dan Bu Asm menghampiri kakak panitia untuk
registrasi.
“Hilya Granada Hanifah,” kata Bu Asma kepada kakak panitia di meja pendaftaran.
Kakak panitia itu bernama Mira, ada di name tag-nya
Aku menerima semua barang yang diberikan Kak Mira, tak lupa berterima kasih. Bu Asma
pamit kepadaku untuk bergabung dengan panitia lainnya.
Seseorang laki-laki mengajak aku dan beberapa anak lainnya menaikki lift, dia mengantar
kami ke kamar masing-masing. Ternyata, dia panitia juga, namanya Kak Andra.
Kami berhenti di lantai tujuh. Kucari-cari kamar nomor 712, dan … ketemu! Letaknya cukup
dekat dari lift dan tangga darurat.
Tok! Tok! Tok!
Pintu kamar itu terbuka, seorang gadis kecil seumuranku menyambut kedatanganku
dengan senyum manisnya, seolah tahu bahwa aku akan menempati kamar itu juga.
“Halo, namaku Hara. Aku …,” ujarnya memperkenalkan diri.
Deg. Aku menelan ludah, tidak percaya
“AH, YA AMPUN!” soraku bahagia. Entah bagaimana kulukiskan kegembiraan ini.
“Aku Hilya!” seruku riang.
Hara langsung menggandeng tanganku dan berteriak seperti ada orang lain di sana
“Masya Allah, Hilya! YaMaHa … sekamar? Aku enggak percaya!” seru seorang gadis kecil
berkulit sawo matang yang langsung menghampiriku dan mencubit pipinya sendiri. Aku
mengolongo,”May … Mayra?”
Gadis itu mengangguk.
Sore ini, setiap kamar diberikan jadwal kegiatan selama empat hari. Nanti malam,
tepatnya pukul tujuh, acara pembukaan resmi Konferensi Public Speaker Indonesia
dimulai.
“Hilya!” Mayra menepuk pundakku pelan. Pasti dia sudah selesai mandi, soalnya,
penampilannya benar-benar rapi, “mandi dulu,sana! Hara sudah selesai, lho.”
Aku mengangguk, kemudian kuambil handuk ungu dari tas, dan segera mandi.
A Miracle
Aku sangat berterimakasih kepada beker terbentuk keroppi yang kubawa dari
rumah. Berkat jasanya, aku bisa bangun pukul setengah lima pagi. Acara pembukaan
dimulai pukul tujuh dan selesai pukul sebelas malam!
Kubangunkan Mayra dan Hara.
“Eh, ayo sholat subuh. Lalu kita siap-siap dan nanti barengan aja turun untuk sarapanya,”
Tadi, juri mengumumkan kalau aku dapat nomor urut 15.
Nomor sebelas … tiga belas … empat belas … Tiba juga giliranku.
“Baiklah, nomor urut lima belas, Hilya Granada Hanifah,” seru sang pembawa acara.
Aku mengucap basmallah. Aku percaya sebuah moto,
‘Aku yakin, aku bisa!’.
“Assalamu’alaikum …,” aku memberi salam. Lalu dengan penuh percaya diri aku mulai
melafalkan pidato yang sudah kuhafal luar kepala tanpa rasa gugup sedikit pun.
Pagi ini adalah acara puncak alias hari pengumuman pemenang lomba pidato.
Seluruh peserta berangkat ke gedung Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
menggunakan bus.
Setibanya di gedung Kemendikbud, kami turun dari bus. Tidak lama acara pun
dimulai. Pembukaan diiringi dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Akhirnya, acara yang ditunggu-tunggu peserta konferensi
Public Speaker Cilik pun tiba.
Kak Elva yang membacakan nama pemenang. Bapak Menteri telah hadir dan bersiap
memberikan penghargaan. Dimulai dari juara harapan. Oke, namaku tidak ada dan aku
tidak berharap lebih. “Juara dua, dengan total poin 1.457 …,” seru Kak Elva lambat-lambat.
“adalaaah wakil … dari … Sumatera Utara kita, HILYA GRANADA HANIFAH!”
Aku kaget dan bengong sejenak. Lalu aku tersenyum malu. Aku langsung maju ke
podium.
Kuterima piala kaca berukir yang cukup berat dan berkilau, kemudian berfoto bersama
Bapak Menteri dan juara-juara lainnya.
Kami turun dari panggung dari sisi panggung, di sana kakak-kakak panitia menyiapkan
kotak untuk menyimpan piala kami.
“Two thumbs up, Hilya!” puji Bu Asma sambil mengacungkan dua jempol
Aku hanya tersenyum sambil tak henti mmengucapkan terima kasih. Lalu, Mayra dan
Hara menghampiriku. Mereka bersorak dan mengucapkan selamat tanpa henti, sampai-
sampai aku kewalahan.
Aku berterima kasih sambil tersenyum malu.
Acara Konferensi Public Speaker Cilik sudah selesai. Besok kami sudah boleh pulang,
termasuk aku.
Esok paginya.
Hari ini adalah hari terakhir konferensi.
Akhirnya kami sampai juga di Bandara Soekarno-Hatta.
“Hilya, Boarding pass-nya sudah di ibu, tidak usah khawatir,” kata Bu Asma.
Satu setengah jam berlalu. Terdengarlah pengumuman agar penumpang yang bertujuan
ke Kualanamu Medan untuk segera menuju pesawat.
Selamat tinggal, Jakarta! I will miss you!
Pindah ke Solo
Perasaanku sepulang dari Jakarta tidak karuan. Aada senang, sedih, dan terbebani.
Aku sedih karena meninggalkan teman-temanku, khususnya YaMaHa yang entah kapan
kami bisa bertemu lagi. Satu lagi yang membuatku pusing adalah dua hari setelah
kepulanganku dari Jakarta, ayah dan bunda mengajakku bicara serius. Ayah mendapat
tawaran untuk pindah kerja ke Solo sebagai kepala cabang di sana. Sepertinya ayah setuju
untuk mengambil tawaran itu karena keluargaku juga banyak yang menetap di Semarang.
Jadi, kami lebih mudah bersilaturahim.
Ayah setuju pindah karena aku masih kelas enam awal. Andai saja itu pada pertengahan
semester, mungkin aku tidak ikut pindah.
“Enggak main laptop?” Besok, kan, kamu libur?”Tanya bunda ketika melihatku sedang
bengong di sofa.
Aku menggeleng, kemudian mengangguk, seperti orang aneh.
“Gimana, Kak Ya?” Tanya bunda.
“Apanya?” jawabku balik bertanya.
“Keputusanmu? Pilihanmu bagaimana? Mumpung semester satu baru sebentar,
lho,”Tanya bunda lagi.
“Bunda membicarakan soal pindah rumah itu, kan?” tebakku.
“iya, jawab bunda.
Kuhela napas berat. Aku tidak ingin menjawab. Iya, tidak, iya, tidak, iya, tidak … iya atau
tidak? Pening rasanya kalau terus-terusan memikirkan itu. Aku belum tahu sisi positifnya,
tetapi aku belum tahu sisi negatifnya.
“Aku enggak tahu, Bun,”jawabku lirih,” bukannya nanti administrasi pindah rayonnya,
repot, Bun,”lanjutku.
“Masalah itu, Bunda dan Ayah yang mengurus. Itu gampang. Sekarang, kamu bulatkan
dulu keputusanmu, mau ikut pindah atau tidak?”Tanya bunda menegaskan
“Kenapa Bunda hanya bertanya kepadaku? Syahla yang cengeng itu, gimana? Enggak
mungkin, kan, kita membawa sekolah dan teman-teman Syahla ke Solo?”aku balik
bertanya.
“Syahla mau, lagi pula dia masih kecil dan belum tahu menahu soal seperti ini,”jawab
bunda.
“Jadi, maksud Bunda, aku sudah dewasa dan harus memilih keputusan sematang
mungkin? Bun, Syahla itu sudah kelas dua! Argumennya keren sekali!’ jawabku sedikit
ngotot.
“Kak Ya, kata bunda menggangtung,” kami minta kakak yang memutuskan karena
merasa terpaksa. Kakak, kan, mengerti kalau keterpaksaan adalah hal kedua paling bruk
setelah ketidakpastian,” pungkus bunda.
Setelah menimbang begitu banyak hal, akhirnya ak setuju untuk pindah ke Solo. Hal yang
memberatkanku adalah aku harus berpisah dengan Nada, sahabatku yang ceriwis tapi baik
hati itu. Seminggu sebelum kami berangkat ke Solo, Nada mampir ke rumahku sambil
membawa kotak cukup besar yang saaangat berat, berisi kado dan kenang-kenangan
kami. Hari keberangkatan pun tiba. Aku kembali terbang bersama orangtua dan adikku
menggunakan pesawat terbang dari salah satu maskapai besar di Indonesia.
“Kak, sampainya kapan?”Tanya Syahla yang asyik memandangi pemandangan luar
jendela.
“Tahun depan,”jawabku sekenannya. Syahla diam saja, tidak menghiraukan.
Sebenarnya, hal lain yang membuatku ke Solo adalah karena ayah sudah menjamin
sekolah, rumah, fasilitas kami ketika di sana.
“Kak, Kak Ya, bangun! Sudah sampai, ayo kita turun,” Syahla menggoyang-goyangkan
tubuhku. Aku, yang sempat tidur karena mengantuk, terbangun pelan. Bandara Adi
Sumarmo memenuhi pandanganku.
Aku dan keluargaku turun dari pesawat, masuk ke ruang troli dan mencari-cari barang
bawaan kami. Perabotan rumah sudah dibawa oleh truk-truk besar melalui jalur darat,
beberapa hari yang lalu.
Ayah memanggilkan becak! Becak Solo. Aku baru melihatnya dan aku belum pernah
menaikinya. Belum pernah.
“Ayo, naik! Rumah baru kita enggak jauh-jauh amat.
Aku dan Hara menghabiskan banyak waktu untuk mengobrol. Teman-teman yang
lain hanya mengira kami akrab karena sesame murid baru. Tetapi sebenarnya, kami
memang sudah bersahabat baik!Hihihi.
Tiba-tiba, seorang gadis cilik dengan kursi roda mendekati kami. Wajahnya akrab tapi
aku tidak bisa menebaknya. Jilbab putihnya membuatnya tampak anggun. Aku dan Hara
baru sadar kalau di kelas ini ada yang menggunakan kursi roda.
“Assalamu’alaikum,”sapa gadis itu ramah
“Wa’alaikum salam,”aku dan Hara menjawab salamnya kompak.
“Kenalkan, namaku Mayra. Selamat datang di sini, semoga kalian betah,”sapanya
memperkenalkan diri.
Senyum dan mata sayunya mengingatkanku kepada seseorang.
Aku menatap Hara sejenak, “Salam kenal, Mayra. Terima kasih, ya,”balasku seperlunya.
Lalu gadis itu pamit karena merasa seperti tamu tak diundang.
“Mayra … namanya seperti sahabat kita, ya,” celetuk Hara yang kusambut dengan
anggukan.
“Hei, kawan!” sapa seseorang. “Aku Victori, panggil saja Vic. Uhm, soal anak bernama
Mayra tadi … yah, dia anak aneh, memang. Mayra menderita lumpuh sampai harus
memakai kursi roda. Dia bukan murid pindahan, melainkan murid lama. Tetapi, sampai saat
ini, dia begitu misterius dan jarang berbaur bersama kami,” cerita Vic panjang lebar.
“Oh, begitu. Bagaimana kalian tahu kalau dia misterius?” tanyaku penasaran
“Dia penyendiri dan suka bertingkah aneh pada orang yang dia ingin orang itu jadi
shabatnya. Orangnya sok akrab gitu dan suka cari perhatian. Karena sikap sok ramahnya
itu rasanya kurang tulus makanya banyak yang tidak suka dengannya,”jelas Viv
“Kamu tahu, Vic? Aku dan Hilya bersahabat sudah lama. Kami sahabat pena. Sampai
akhirnya, kami dipertemukan di Konferensi Public Speaker kemarin. Kami bahkan
membentuk grup namanya YaMaHa, singkatan dari Hilya-Mayra-Hara. Mayra sahabat kami
juga, dia tinggal di Solo. Anak berkursi roda tadi mengingatkanku tentang Mayra. Iya kan,
Hilya?”kata Hara yang kusambu dengan anggukan.
Victoria bersedia mengantar kami berkeliling sekolah. Tujuan terakhir adalah kantin
karena aku sudah lapar. Seseorang menyapa kami tiba-tiba.
Hai, bolehkah aku bergabung?” Tanya Mayra sopan mendekat ke meja kami.
MAYRA! Serius, deh! Kali ini, aku benar-benar merasa pernah melihat wajah manis itu.
Apa Mayra punya kembaran yang pernah kukenal sebelumnya, ya?
“Aku duluan, ya! Bye!” pamit Victoria sambil langsung beranjak, aku dan Hara hanya
saling berpandangan, salah tingkah.
“Hilya, Hara,” kata Mayra.
Suasana berubah canggung.
“Ya,”sahutku datar.
“Maukah kalian jadi sahabatku?” Tanya Mayra tulus.
Aku tidak menjawab, hanya tersenyum pura-pura tulus, ekor mataku mengerling Hara
berisyarat tanya, harus gimana ini? Sunyi menggantung, suassana antar kami semakin
canggung. Untunglah bel segera berbunyi memecahkan kecanggungan itu. Kami bertiga
pun bersama teman-teman lain segera masuk ke kelas masing-masing.
Aku betah di sekolah baruku ini ditambah lagi aku satu kelas dengan Hara. Semakin
hari, aku dan Hara merasa kalau Mayra itu menyebalkan. Kami tidak suka sikapnya yang
sok akrrab.
Kami rindu Mayra. Mayra Aufa Azzahra, sahabat kami, yang kini sulit dilacak
keberadaanya. Kemana, sih, jejaknya? Apalagi, saat teman sekelasku yang aneh itu
menawarkan diri untuk menggantikan Mayra dalam YaMaHa.
Selama ini kami hanya bersikap sopan saja kepada Mayra. Dia mungkin
menganggap kami sahabatnya, tapi kami hanya menganggapnya sebagai teman.
“Halooo Hilya, Hara!”sapa Mayra ceria, “aku punya kabar, lho!”lanjutnya sambil tersenyum
sumringah..
“Kabar apa? Please, jangan soal kartun lagi,”kata Hara.
Mayra ini kekanakkan sekali, semua topic pembicaraannya pasti selalu dikaitkan dengan
kartun yang dia tonton di saluran favoritnya. Dia mirip Mayra Aufa Azzahra yang juga
penggemar saluran itu.
“Bukan, kok,” jeda Mayra pelan, “Kalian ingat, seminggu lagi, presentasi IPA, lho,”
terangnya dengan wajah serius.
Kita harus presentasi tentang bel listrik yang sudah kelompok kita kerjakan beberapa
minggu lalu? Hari Rabu depan, setiap kelomok harus presentasi alat yang dibuatnya,”jelas
Mayra bersemangat.
“Oh, begitu,”katakku dingin.
“Tentu saja! Apalagi, bisa melatih kemampuan public speaking-ku! Kan a … ku …,”
Tiba-tiba dia berhenti, Mayra seperti orang keceplosan yang takut kalau rahasianya
terbongkar.
“Berarti, kita harus latihan.. Kumpulkan Hasna, Karima, dan Elsa juga!”tambahku
Akhirnya, aku dann teman-teman kelompok belajarku berkumpul. Seperti kelompok lain,
kami berkompromi membicarakan presentasi ini karena Miss Tsabita baru saja
mengumumkannya.