Anda di halaman 1dari 217

KATALOG DALAM TERBITAN

Perpustakaan Nasional RI

213 hlm; 14,5 x 21 cm.


1. Fiqh I. Judul

ISBN : 978-602-50927-6-3

Judul :
STUDI SYARIAT ISLAM DI ACEH

Penulis :
Dr. Sulaiman, MA

Editor :
Dr. Anton Widyanto, M. Ag

Sambutan :
Prof. Dr. Syahrizal Abbas, MA
Guru Besar UIN Ar-Raniry

Layout & Desain Cover :


Muhammad Sufri, S. Pd

Penerbit :
Madani Publisher
Anggota IKAPI
Banda Aceh, 23115
08116888292 | madanipublisher@gmail.com

Cetakan pertama, Januari 2018


Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk
dan dengan cara apapun tanpa izin dari penerbit.
Pengantar
Prof. Dr. Syahrizal Abbas, MA

Puji dan syukur dipersembahkan ke hadirat Allah SWT,


atas anugerah iman dan ilmu kepada manusia. Dua unsur ini
memiliki makna penting bagi manusia dalam menata kehidupan
di dunia yang bersifat sementara, menuju kehidupan hari
akhir yang kekal dan abadi. Kemudian selawat beserta salam,
disampaikan ke pangkuan alam Nabi Besar Muhammad SAW,
yang telah membawa syariat Islam sebagai rahmat bagi seluruh
alam (rahmatan lil ’alamin). Syariat Islam yang bersumber pada al-
Qur’an dan al-Sunnah, akan menjadi petunjuk dan pembimbing
bagi manusia, bila ia dipelajari, dipahami dan diamalkan
berdasarkan iman dan ilmu.

Ketika saudara Dr. Sulaiman, MA menyodorkan draf

Dr. Sulaiman, MA | i
buku Studi Syariat Islam di Aceh kepada saya dan meminta saya
memberikan pengantar pada buku ini, saya sangat bergembira,
karena masih saja bermunculan sarjana dan peneliti yang
menaruh perhatiannya terhadap syariat Islam di Aceh. Syariat
Islam di Aceh telah menjadi objek studi dan area penelitian
ilmiah menarik, tidak hanya peneliti dalam negeri, tetapi juga
peneliti luar negeri. Pelaksanaan syariat Islam di Aceh merupakan
ladang luas yang sudah seharusnya diteliti, dikaji dan dieksplorasi
secara mendalam dengan berbagai pendekatan disiplin ilmu
(interdisipliner).

Objek riset tentang syariat Islam di Aceh, dapat didekati


dari sisi ajaran normatif, maupun implementasinya melalui proses
taqnin dan aktualisasi syariat Islam dalam kehidupan masyarakat
Aceh. Riset terhadap syariat Islam, bertujuan memastikan
pelaksanaan syariat Islam di Aceh berada dalam kerangka ilmu
pengetahuan yang shahih, dan syariat Islam mampu menghadirkan
kemaslahatan kepada seluruh umat manusia.

Saya memberikan apresiasi terhadap karya Dr. Sulaiman,


MA, karena karya ini dapat menambah informasi bagi mahasiswa
dan masyarakat, yang ingin mengetahui perkembangan syariat
Islam di Aceh. Buku ini tentu akan menjadi referensi mahasiswa
dalam melakukan kajian lebih lanjut tentang syariat Islam di
Aceh. Apalagi, Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda
Aceh, telah menetapkan Studi Syariat Islam di Aceh, sebagai Mata
Kuliah Dasar Umum (MKDU), yang diberlakukan kepada seluruh
fakultas dan program studi di Lingkungan UIN Ar-Raniry.

Ada beberapa catatan yang dapat saya berikan terhadap


buku ini :

1. Buku ini cukup lengkap dan komprehensif menggambarkan


syariat Islam di Aceh. Deskripsi tentang konsep dasar syariah,
sejarah perjalanan syariat dari masa awal Islam, hingga negara

ii | Studi Syariat Islam di Aceh


muslim modern dan pergumulannya dalam negara bangsa
seperti Indonesia. Informasi ini sangat penting dipahami oleh
para mahasiswa dan masyarakat, agar mereka mengatahui
dinamika perjalanan syariat dan interaksinya dengan
kekuasaan negara. Banyak pihak masih mengasumsikan
bahwa syariah tidak dapat berjalan dengan baik dalam negara
bangsa (nation state), dan sistem politik yang berbeda dengan
masa dinasti-dinasti Islam masa dahulu.

2. Buku ini memuat informasi mutakhir tentang pelaksanaan


syariat Islam di Aceh. Hal ini cukup penting, mengingat
dalam tatanan teoritis diskursus syariat Islam di Aceh terus
berkembang secara dinamis, baik dalam kerangka ilmu
pengetahuan maupun dalam kerangka kebijakan politik
hukum negara. Upaya dan proses taqnin hukum syariah akan
terus berjalan di masa mendatang, dan upaya penerapan
syariat Islam akan berjalan terus dalam seluruh aspek
kehidupan masyarakat.

3. Sistematika penulisan materi buku ini cukup runut, karena


mengikuti sillabi Mata Kuliah Studi Syariat Islam di Aceh,
meskipun sillabi mata kuliah tersebut belum baku. Demikian
juga mengenai referensi dan rujukan dalam buku ini cuku
memadai, guna memastikan konsep, pandangan dan analisis
penulis dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Buku ini
akan membantu berbagai pihak yang ingin mendalami studi
syariat Islam di Aceh, melalui buku referensi yang tersedia dan
dirujuk dalam karya ini.

4. Perlu diperkokoh kerangka teori pelaksanaan syariat Islam


di Aceh dalam kaitan dengan negara bangsa Indonesia dan
sistem politik di Indonesia. Demikian juga mengenai syariat
Islam dan isu-isu kontemporer, hukum syariah dan Hak Asasi
Manusia (HAM) dan kedudukannya dalam kerangka sistem
hukum nasional.

Dr. Sulaiman, MA | iii


Demikian beberapa catatan kecil, yang dapat saya berikan
terhadap buku ini, semoga bermanfaat kepada seluruh pembaca.
Selamat saya ucapkan kepada Dr. Sulaiman, MA yang telah berhasil
menulis karya ini, semoga menjadi amal salih. Kita berharap, dari
sentuhan pena Dr. Sulaiman, MA akan lahir sejumlah karya lain
yang akan menambah khazanah intelektual di Aceh.

Banda Aceh, 22 Oktober 2017

Prof. Dr. Syahrizal Abbas, MA


Guru Besar UIN Ar-Raniry

iv | Studi Syariat Islam di Aceh


Pengantar
Penulis
Puji syukur dipanjatkan ke Hadirat Allah SWT., atas
segala limpahan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya, sehingga
penulisan buku Studi Syariat Islam di Aceh dapat diselesaikan
sebagai salah satu sumber dan referensi belajar mata kuliah Studi
syariat Islam di Aceh di Universitas UIN Ar-Raniry dan semoga
saja masa mendatang mata kuliah ini juga dapat diintegrasikan
dalam kurikulum PTKIN/PTKIS serta Perguruan Tinggi Umum
yang ada di provinsi Aceh untuk memberikan wawasan tentang
penerapan syariat Islam kepada mahasiswa di Aceh.

Penerapan syariat Islam di Aceh merupakan keinginan


kuat dari masyarakat Aceh yang telah lama didamba-dambakan,
kemudian direspons oleh pemerintah pusat dengan Undang-
Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan

Dr. Sulaiman, MA | v
Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, pada Bab I Pasal
I di tetapkan bahwa Keistimewaan adalah kewenangan khusus
untuk menyelenggarakan kehidupan beragama, adat, pendidikan,
dan peran ulama dalam penetapan kebijakan Daerah. Inilah
kebijakan pertama penerapan syariat Islam di tanah serambi
Mekkah (Aceh).

Penerapan syariat Islam di Aceh tentu harus diformulasikan


secara bijak dan humanis dengan kebijakan Qanun Aceh. Sejalan
dengan penerapannya, syariat Islam di Aceh menuai pro dan
kontra, khususnya dari pihak yang kontra/tidak setuju dengan
alasan melanggar HAM. Ini pandangan yang keliru karena mereka
tidak paham dengan syariat Islam. Namun sebaliknya, penerapan
syariat Islam di Aceh untuk melindungi hak-hak manusia, sejalan
dengan konsep Islam yaitu Rahmatan lil’alamin.

Penulisan buku ini, bukan hanya untuk menambah sumber


referensi mata kuliah Studi Syariat Islam di Aceh, namun sebagai
bentuk partisipasi terhadap dakwah syiar Islam dan bentuk
partisipasi penulis terhadap sosialisasi penerapan syariat Islam di
provinsi Aceh. Semoga buku ini bermanfaat dan menjadi informasi
pendukung terhadap mahasiswa khususnya, masyarakat, dan
pemerintah Aceh dalam penerapan syariat Islam di Aceh.

Selanjutnya, tulisan sederhana ini penulis persembahkan


untuk Istri tercinta Jabaliah. S. Pd.I, juga untuk ananda Nuruzzahri
dan adinda Aisha Syakira Sulaiman. Terimakasih atas dukungannya
dan ayahanda mohon maaf jika dalam proses penulisan buku
ini sedikit menyita waktu kebersamaan ananda Nuruzzahri dan
ananda Aisha Syakira Sulaiman, semoga semuanya sehat dan
sukses dalam semua urusan, Amin ya Allah.

Penulis menyadari, penulisan buku ini masih terdapat


kekurangan. Oleh karena itu, masukan dari para pembaca tentu
bermanfaat untuk penyempurnaan. Akhirnya kami ucapkan

vi | Studi Syariat Islam di Aceh


terimakasih kepada penerbit Madani Publisher yang telah
membantu menerbitkan buku ini.
Banda Aceh, 1 Januari 2018

Dr. Sulaiman, MA

Dr. Sulaiman, MA | vii


viii | Studi Syariat Islam di Aceh
Daftar Isi
Pengantar Prof. Dr. Syahrizal Abbas, MA | i
Pengantar Penulis | v
Daftar Isi | ix

BAB I : PENGERTIAN, PRINSIP DAN TUJUAN


PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM DI ACEH
A. Pengertian Syariat Islam | 1
B. Prinsip Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh | 5
C. Tujuan Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh | 8

BAB II : LANDASAN HISTORIS, FILOSOFIS, SOSIOLOGIS


SERTA YURIDIS PENERAPAN SYARIAT ISLAM DI ACEH
A. Landasan Historis Penerapan Syariat Islam di Aceh | 11
B. Landasan Filosofis Penerapan Syariat Islam di Aceh | 15

Dr. Sulaiman, MA | ix
C. Landasan Sosiologis Penerapan Syariat Islam di Aceh | 16
D. Landasan Yuridis Penerapan Syariat Islam di Aceh | 19

BAB III: PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM DALAM


LINTASAN SEJARAH ISLAM
A. Masa Tasyri’ Zaman Nabi | 25
B. Pelaksanaan Syariat Islam di Mekkah | 27
C. Pelaksanaan Syariat Islam di Madinah | 30
D. Pelaksanaan Syariat Islam Masa Khulafaur-Rasyidin | 32

BAB IV: SEJARAH BERLAKUNYA SYARIAT ISLAM DI


ACEH
A. Syariat Islam pada Masa Kerajaan Aceh | 35
B. Syariat Islam pada Masa Penjajahan dan Pasca Kemerdekaan | 42
C. Syariat Islam pada Masa UUPA | 50

BAB V: DINAMIKA PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM DI


ACEH DALAM KONTEKS HUKUM NASIONAL
A. Kedudukan Syariat Islam di Aceh dalam Sistem
Hukum Nasional | 53
B. Pro dan Kontra Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh | 56
C. Kendala Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh | 61

BAB VI: POKOK-POKOK PEMBAHASAN SYARIAT ISLAM


DI ACEH
A. Pokok-Pokok Penerapan Syariat Islam di Aceh Perspektif UU
dan Qanun | 67

x | Studi Syariat Islam di Aceh


B. Pokok-Pokok Penerapan Syariat Islam Perspektif Qanun Nomor
8 Tahun 2014 | 70
C. Tanggung Jawab Pemerintah Aceh terhadap Penerapan Syariat
Islam di Aceh | 72

BAB VII: QANUN SYARIAT ISLAM: DEFINISI, EKSISTESI


DAN ESENSINYA
A. Definisi Qanun | 75
B. Qanun Syariat Islam di Aceh | 80
C. Eksistensi dan Esensi Qanun Syariat Islam | 88
D. Kedudukan Qanun Nomor 6 Tahun 2014 terhadap Pelaksanaan
Syariat Islam | 91

BAB VIII: PILAR-PILAR PENDUKUNG SYARIAT ISLAM;


EKSEKUTIF, LEGISLATIF DAN LEMBAGA-LEMBAGA
SOSIAL KEAGAMAAN SEPERTI MEUNASAH DAN
MESJID
A. Eksekutif | 95
B. Legislatif | 100
C. Lembaga-Lembaga Sosial Keagamaan; Meunasah dan Mesjid |
106

BAB IX: LIMA SASARAN UTAMA PELAKSANAAN


SYARIAT ISLAM DI ACEH
A. Menghidupkan Meunasah | 111
B. Lingkungan Kantor dan Sekolah yang Islami | 116
C. Pemberdayaan Zakat | 121
D. Pengawasan Pelaksanaan Syariat Islam | 124
E. Perluasan Kewenangan Mahkamah Syar’iyyah | 126

Dr. Sulaiman, MA | xi
BAB X: INSTITUSI-INSTITUSI YANG TERKAIT DENGAN
PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM DI ACEH
A. Dinas Syariat Islam | 129
B. Wilayatul Hisbah (WH): Tugas Dan Kewenangan | 133
C. Mahkamah Syar’iyyah | 138
D. Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) | 141
E. Baitul Mal | 145

BAB XI: SYARIAT ISLAM DAN ADAT ACEH: RELASI


LEMBAGA-LEMBAGA PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM
DENGAN LEMBAGA ADAT ACEH
A. Majelis Adat Aceh (MAA) | 151
B. Peran Majelis Adat Aceh (MAA) dalam Penerapan Syariat Islam |
154
C. Sifat dan Kewenangan Lembaga Adat | 157

BAB XII: ISU-ISU DALAM PELAKSANAAN SYARIAT


ISLAM DI ACEH
A. Syariat Islam dan Non Muslim di Aceh | 165
B. Syariat Islam dan HAM | 169
C. Syariat Islam dan Gender | 171
D. Syariat Islam dan Penguatan Akidah | 175

Daftar Pustaka | 179


Lampiran Silabus | 189
Profil Penulis | 195

xii | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

Bab I:
Pengertian, Prinsip Dan Tujuan
Pelaksanaan Syariat Islam Di Aceh

A. Pengertian Syariat Islam


Istilah tentang syariat Islam bukan hal yang langka
dan bukan istilah yang asing di kalangan umat Islam. Namun
demikian, tidak tertutup kemungkinan masih ada sebagian umat
Islam yang belum mengerti tentang syarat Islam.
Upaya memperjelas tentang Istilah tersebut dan untuk
memberikan penjelasan kepada pembaca, berikut diuraikan
secara detil tentang pengertian syariat Islam.
1. Etimologi Syariat
Secara etimologi istilah syariah berasal bahasa Arab
‫ رشيعة‬memiliki arti undang-undang. Selain itu, istilah Syariah
juga disebut ‫(قانون إسالمي‬Qānūn Islami) adalah kode moral dan

Madani Publisher | 1
Pengertian, Prinsip Dan Tujuan Pelaksanaan Syariat Islam Di Aceh

hukum Islam.1 Selanjutnya, Syafaul merujuk pada penjelasan


Irshad Abdal-Haqq bahwa para ahli juga menjelaskan bahwa
kata syariah )‫ (رشيعة‬berasal dari bahasa Arab kuno yang berarti
jalan yang harus diikuti, atau bagian menuju lubang
air. Lebih lanjut Syafaul merujuk pada penjelasan Weiss bahwa
2

definisi yang terakhir berasal dari fakta bahwa jalan menuju air
adalah seluruh cara hidup di lingkungan padang pasir gersang.3
Sejalan dengan penjelasan tersebut, mengacu pada
penjelasan Azman. Dkk, setidaknya terdapat tiga istilah penting
yang saling berhubungan dengan kata syariat Islam, yaitu; syaria’ah,
fiqh,4 dan tasyri’5 atau hukum Islam.6 Selanjutnya, merujuk pada
pendapat Syu,bah dan Kamil Musa, Jaih Mubarak dalam Azman.
Dkk, menjelaskan pengertian syariat Islam secara etimologi berarti
al-‘utbah (lekuk-liku lembah), al-‘atabah (ambang pintu dan
tangga), mawrid al-syaribah (jalan tempat mencari air munim),
dan al-tharaqah al-mustaqimah (jalan yang lurus).7
2. Terminologi Syariat Islam
Secara terminologi syariat Islam memiliki beberapa
pengertian. Hal ini merujuk pada penjelasan Azman. Dkk, sebagai
1
Syafaul Mudawam, Syari’ah-Fiqih-Hukum Islam Studi tentang
Konstruksi Pemikiran Kontemporer. Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum. Vol. 46
No. II, Juli-Desember 2012, hlm 405.
2
Syafaul Mudawam, Syari’ah-Fiqih-Hukum Islam..., hlm 406.
3
Syafaul Mudawam, Syari’ah-Fiqih-Hukum Islam..., hlm 406.
4
Fiqh adalah hukum Islam yang merupakan produk pemikiran ulama
secara individual yang terhimpun dalam kitab-kitab fiqh. Lihat Azman Ismail.
Dkk, Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam. Cet. I. (Banda Aceh; Dinas
Syariat Islam, 2011), hlm, 85.
5
Tasyri’ adalah proses pembentukan fiqh atau peraturan perundang-
undangan. Lihat Azman Ismail. Dkk, Syariat Islam di Nanggroe Aceh
Darussalam. Cet. I. (Banda Aceh; Dinas Syariat Islam, 2011), hlm, 85.
6
Azman Ismail. Dkk, Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam. Cet. I.
(Banda Aceh; Dinas Syariat Islam, 2011), hlm, 85.
7
Azman Ismail. Dkk, Syariat Islam di..., hlm 85.

2 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

berikut:
1) Syariat bearti jalan, misalnya sebagaimana firman Allah
dalam Q.S al-Jaatsiyah: 18.

          

  
Artinya:
            Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu
syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah
syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-
orang yang tidak Mengetahui. (045. Al Jaatsiyah: 18).
2) Syariat berarti agama (al-din) yang ditetapkan oleh Allah
yang terdiri dari berbagai hukum dan ketentuan yang
beragam. Dengan demikian, syariat dan agama memiliki
konotasi yang sama. pengertian ini sebagaimana penjelasan
Hizbut Tahrir.
3) syariat adalah segala yang diturunkan Allah kepada Nabi
Muhammda berupa wahyu, baik yang terdapat dalam Al-
Qur’an maupun sunnah nabi (al-Nushush al-Muqaddasah).
4) Syariat adalah peraturan yang ditetapkan Allah, dimana
ditetapkan dasar-dasarnya saja, agar manusia dapat menjaga
hubungan manusia dengan Tuhan-Nya, saudaranya sesama
muslim, sesama manusia dan dengan kehidupan sekitarnya
dan hubungan dengan kehidupan ini.
5) Segala peraturan yang ditetapkan Allah untuk hambanya-
Nya melalui Al-Qur’an dan Sunnah baik yang menyangkut
hukum-hukum ‘aqidah, yang secara khusus menjadi objek
kajian ilmu kalam atau ilmu tauhid, atau hukum-hukum

Madani Publisher | 3
Pengertian, Prinsip Dan Tujuan Pelaksanaan Syariat Islam Di Aceh

yang bersifat praktis (al-Ahkam al-‘Amaliyyah), yang secara


khusus menjadi objek kajian ilmu fiqih. Pengertian ini
merujuk pada penjelasan Wahbah al-Zuhaily.
6) Syariat adalah “apa yang ditetapkan Allah untuk hamba-
Nya, baik dalam bidang aqidah atau keyakinan, bidang
amaliyah dan bidang akhlaq”. Demikian menurut penjelasan
Muhammad Ismail Sya’bah.8 Pengertian ini memberikan
pengertian syariat secara luas, mencakupi tiga aspek;
keyakinan atau tauhid, amaliyah atau fikih, dan akhlaq atau
tasawuf.
Syariat sebagai jalan atau aturan, di dalamnya memuat
peraturan dan ketentuan yang telah diatur oleh Allah terhadap
manusia agar mereka dapat berpegang teguh dalam menjalani
kehidupan di bumi Allah menuju hari akhirat kelak. Ketetapan
syariat menjadi kewajiban bagi setiap muslim untuk mematuhinya.
Muhammad Hendra menjelaskan, Syariat Islam adalah tata cara
pengaturan tentang sikap perilaku manusia guna mencapai ridha
Allah.9
Berdasarkan berbagai pengertian syariat yang telah
disebutkan tersebut, baik secara etimologi maupun terminologi
dapat disimpulkan bahwa syariat Islam adalah aturan atau ketapan
hukum Allah yang menjadi pedoman hidup terhadap manusia.
Pedoman tersebut menjadi tuntunan hidup terhadap manusia
menuju kebaikan, kesuksesan dan keselamatan hidup di dunia
dan akhirat.
Pengertian syariat Islam sebagai pedoman hidup juga
sejalan dengan ketetapan Qanun Nomor 11 tahun 2002 tantang
pelaksanaan bidang Aqidah, Ibadah dan Syi’ar Islam Bab I
8
Azman Ismail. Dkk, Syariat Islam di..., hlm 68.
9
Muhammad Hendra, Pendidikan Agama Islam. Cet. I. (Yogyakarta:
Deepublish, 2014), hlm 101.

4 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

ketentuan umum Pasal 1 poin ke 6 ditetapkan bahwa syariat Islam


adalah tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan.

B. Prinsip Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh


Pelaksanaan syariat Islam di provinsi Aceh mendapat
sambutan positif dari masyarakat Aceh sebagai upaya untuk
mewujudkan keadilan. Hal ini sejalan dengan penjelasan
Sirajuddin bahwa secara umum masyarakat NAD menyambut
positif terhadap pemberlakuan syariat Islam di NAD sebagai upaya
dalam mewujudkan keadilan dan mewujudkan kemaslahatan
sosial. Meskipun demikian, implementasi syariat Islam ini
masih diwarnai dengan kecenderungan formalistik-pragmatis,
parsialistik-disintegratif dan reaktif. Akibatnya, kesadaran hukum
masyarakat yang terbangun dengan formalisasi syariat Islam
sepertinya masih kesadaran semu. Masyarakat lebih takut kepada
hukuman manusia dari pada hukuman Allah. Bukan bermaksud
menafikan upaya-upaya amar-makruf melalui penerapan syariat
Islami, namun diperlukan strategi yang lebih komprehensif
sehingga mental masyarakat terbangun dengan kesadarannya
akan hakikat syariat Islam itu sendiri.10
Upaya pelaksanaan syariat Islam secara positif di provinsi
Aceh perlu didukung dengan prinsip keadilan, tanpa dikuasai
oleh kepentingan politik yang dapat menyebabkan kecacatan
pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Oleh karena itu, pelaksanaan
syariat Islam di provinsi Aceh harus berlandaskan pada prinsip
keadilan.
Hasanuddin Yusuf Adan menjelaskan bahwa prinsip
pemberakukan syariat Islam di Aceh adalah untuk:
1. Mengajak semua manusia beriman kepada Allah,
10
Sirajuddin M, Legitimasi Pemberlakuan Syari’at Islam di NAD:
Analisis Prinsip-prinsip dan Peluang Yuridis Konstitusional. SOSIO-
RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari 2012, hlm, 74.

Madani Publisher | 5
Pengertian, Prinsip Dan Tujuan Pelaksanaan Syariat Islam Di Aceh

bertuhan kepada Allah, dan mencari ridha Allah (Al-


Qur’an surat An-Nisak ayat 6).
2. Menjalankan semua perintah Alllah (Al-Qur’an surat
An-Nisak ayat 59).
3. Meninggalkan segala larangan Allah (Al-Qur’an surat
Ali Imran ayat 104).
4. Mengamalkan, menyebarkan, dan memajukan semua
hukum-hukum Allah (Al-Qur’an surat Al-Jatsiyah
ayat18).
5. Memenuhi panggilan Allah untuk mendiami syurga-
Nya dengan menjauhkan neraka-Nya (Al-Qur’an surat
Al-Fajr ayat 30).11
Isyarat Prinsip pelaksanaan syariat Islam di Aceh
berdasarkan qanun nomor 11 Tahun 2002 tentang pelaksanaan
syariat Islam bidang aqidah, Ibadah dan syi’ar Islam, menetapkan
bawha;
a. Bahwa aqidah dan ibadah merupakan bagian pokok
pengamalan Syariat Islam yang perlu mendapat
perlindungan dan pembinaan sehingga terbina
dan terpelihara dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
b. bahwa kehidupan masyarakat Aceh yang Islami dan
menjunjung tinggi ajaran Islam merupakan landasan
untuk mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin,
baik pribadi, keluarga dan masyarakat.

11
Hasanuddin Yusuf Adan. Syari’at Islam Dan Politik Lokal Di Aceh.
Cet. I. (Banda Aceh: ‘Adnin Foundation Group, 2016), hlm 27.

6 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

Selain prinsip-prinsip tersebut menurut penulis terdapat


pula prinsip lain yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan
syariat Islam di provinsi Aceh:
1. Berlandaskan pada Al-Qur’an dan Hadis.
Pelaksanaan syariat Islam di provinsi Aceh mengacu
pada landasan dasar ajaran Islam, yaitu Al-Qur’an dan
hadis.
2. Menjamin keadilan hukum.
Pelaksanaan syariat Islam di provinsi Aceh untuk
memberikan jaminan hukum yang adil kepada
masyarakat Aceh berdasarkan hukum Islam.
3. Pertumbuhan ekonomi masyarakat.
Pelaksanaan syariat Islam di provinsi Aceh tidak
hanya mengacu pada pemberian hukuman bagi yang
melanggar syariat Islam di Aceh. Nunukan, status
otonomi khusus dalam bidang syariat Islam yang
diberikan oleh pemerintah pusat memiliki sasaran
untuk pertumbuhan perekonomian masyarakat Aceh.
4. Politik yang Islami. Sebagai provinsi yang memiliki
otoritas syariat Islam, provinsi Aceh memiliki hak-
hak untuk mengatur sistem politik yang Islami untuk
mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran, dan
keadilan bagi masyarakat Aceh.
5. Sosio-kultural yang masyarakat Aceh.
Salah satu pertimbangan penting dalam penerapan
syariat Islam di provinsi Aceh adalah sosio-kultural.
Oleh karena itu, kebijakan pemerintah Aceh terkait
dengan penerapan syariat Islam di provinsi Aceh
untuk memberikan jaminan terhadap pemeliharaan
kultur keacehan yang kental dengan syariat Islam.

Madani Publisher | 7
Pengertian, Prinsip Dan Tujuan Pelaksanaan Syariat Islam Di Aceh

C. Tujuan Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh


Syariat Islam bertujuan untuk membentuk muslim ideal
yang menjunjung tinggi perintah Allah dan senantiasa mengabdi
diri kepada jalan agama Allah. Penarapan syariat Islam juga
memiliki tujuan umum yaitu rahmatan lil ‘alamin.
Azman menjelaskan, tujuan yang ingin dicapai dari
pelaksanaan syariat Islam adalah:
1. Untuk menjadikan kehidupan muslim lebih sempurna,
lebih dekat kepada Allah SWT.
2. Masyarakat muslim merasa lebih aman dan tenteram.
3. Masyarakat muslim hidup dalam aturan yang sesuai
dengan kesadaran hukum dan ras keadilan.
4. Masyarakat muslim hidup lebih sejahtera dari segi
sosial dan ekonomi.12
Sementara ketetapan Qanun Nomor 11 Tahun 2002
pada Bab II Pasal 2 menetapkan tujuan dan fungsi pengaturan
pelaksanaan syariat Islam bidang aqidah, ibadah dan syi’ar Islam
bertujuan untuk:
a. Membina dan memelihara keimanan dan ketaqwaan
individu dan masyarakat dari pengaruh ajaran sesat;
b. Meningkatkan pemahaman dan pengamalan ibadah serta
penyediaan fasilitasnya;
c. Menghidupkan dan menyemarakkan kegiatan-kegiatan
guna menciptakan suasana dan lingkungan yang Islami.

12
Azman Ismail. Dkk, Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam.
Cet. I. (Banda Aceh; Dinas Syariat Islam, 2011), hlm, 12.

8 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

Berdasarkan penjelasan tersebut tersirat bahwa penerapan


syariat Islam memiliki tujuan yang komprehensif untuk
membentuk muslim yang memberikan rahmat terhadap makhluk
yang lain. Manusia yang taat akan hukum Allah dan menghargai
akan hak-hak sesama manusia, sehingga akan memberikan
kedamaian terhadap kehidupan di dunia.
Mewujudkan tujuan tersebut tidaklah mudah tentu harus
dilengkapi dengan tata aturan hukum dan kepatuhan muslim
terhadap ketetapan aturan Islam oleh setiap muslim. Tanpa
kesadaran terhadap kepatuhan tata aturan hukum tidak mungkin
akan terwujud masyarakat muslim yang bermanfaat bagi yang
lain.
Penerapan syariat Islam pada dasarnya sejalan dengan
tujuan penciptaan manusia, yaitu untuk beribadah kepada Allah.
Sebagaimana firman Allah.

      

Artinya:

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan


supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (Q.S. Adz Dzariyaat:
56).
Tujuan dasar penciptaan manusia adalah untuk
menyembah Allah. Melakukan ibadah artinya manusia melakukan
peran dan fungsinya sebagai hamba Allah yang dituntut untuk
melaksanakan perannya secara optimal, yaitu ‘abdullah.

Madani Publisher | 9
Pengertian, Prinsip Dan Tujuan Pelaksanaan Syariat Islam Di Aceh

10 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

Bab II
Landasan Historis, Filosofis, Sosiologis
serta Yuridis Penerapan Syariat Islam
di Aceh

A. Landasan Historis Penerapan Syariat Islam di Aceh


Penerapan syariat Islam di provinsi Aceh pada dasarnya
sangat mengakar. Hal ini dapat ditelusuri berdasarkan historisnya.
Abdul Gani Isa menjelaskan peluang bagi rakyat Aceh menerapkan
hukum syariat Islam, tidak terlepas dari wujud hasil perjuangan
dalam rentang waktu yang lama, dan melelahkan yaitu semenjak
pra dan pasca kemerdekaan Republik Indonesia sama era
reformasi 1998.1
Rentang waktu yang begitu panjang menurut Abdul Gani
Isa diperkuat dengan empat argumen berikut:
Abdul Gani Isa. Formalisasi Syariat Islam Di Aceh (Pendekatan Adat,
1

Budaya Dan Hukum). Cet. I. (Banda Aceh: Pena, 2013), hlm 6.

Madani Publisher | 11
Landasan Historis, Filosofis, Sosiologis serta Yuridis Penerapan Syariat Islam di Aceh

1. Polemik Soekarno-Natsir pada tahun 40-an, ketika


membicarakan hubungan antara negara dengan agama.
2. Keinginan umat Islam Aceh menjalankan syariat Islam,
seperti yang dimintakan Abu Beureueh kepada pemerintahan
pusat, pada tahun 1948, tidak pernah diberikan.
3. Pemberian daerah “istimewa” melalui misi Hardi dalam
tiga bidang (agama, pendidikan, dan peradatan) pada tahun
1959, tidak pernah diaplikasikan, bahkan pada masa Orde
Baru, Islam semakin dimarjinalkan.
4. Hak dan kewenangan diberikan kepada Aceh, untuk
menjalankan syariat Islam setelah 40 tahun misi Hardi,
dengan disahkannya UU Nomor 44 tahun 1999.2
Keinginan masyarakat Aceh untuk menerapkan hukum
Syariat Islam di provinsi Aceh telah lama. Hal ini dapat dilihat
dari permintaan Abu Beureueh kepada pemerintahan pusat, pada
tahun 1948, tidak pernah kunjung diberikan. Hal ini sebagaimana
penjelasan Rizki, bahwa bagi daerah Aceh semangat pelaksanaan
syariat Islam sudah pernah ditunjukkan sejak tahun 1948, di mana
ketika Presiden pertama Republik Indonesia, Ir Soekarno telah
berjanji pada saat terjadi dialog dengan Tgk. Daud Beureueh,
di mana kepada daerah Aceh nanti akan diberikan hak untuk
menyusun rumah tangganya sendiri sesuai dengan syariat Islam.
ia melanjutkan, saya akan mempergunakan pengaruh saya agar
masyarakat Aceh benar-benar dapat melaksanakan syariat Islam.3
Berdasarkan lintasan sejarah Soekarno tidak pernah menepati
janji tersebut, meskipun demikian masyarakat Aceh sangat
bersemangat untuk mewujudkan penerapan syariat Islam di Aceh.

Abdul Gani Isa. Formalisasi Syariat Islam Di Aceh..., hlm 6.


2

Rizki Ridyasmara. Gerilya Salib Serambi Mekkah; Dari Zaman


3

Portugis Hingga Pasca Tsunami. Cet. I. (Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2006),


hlm 103-104.

12 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

Semangat terhadap syariat islam kembali bergelora pada


tahun 1999 sampai tahun 1968 bersama dengan perjuangan
untuk memperoleh otonomi daerah bersama dan status istimewa
bagi Aceh yang kemudian diberikan pada tanggal 26 Mei 1959.
Rencana pemberlakuan syariat Islam pada waktu itu dilakukan
dalam rangka rehabilitasi sosial pasca berakhirnya perlawanan
Aceh terhadap pemerintah pusat.4 Akan tetapi setelah pelaksanaan
unsur-unsur syariat Islam, ternyata masalah semangat dan rencana
itu berangsur-angsur surut. Kini setelah 30 tahun surutnya
semangat tersebut, maka pada tahun 1999, melalui Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1999semangat
pemberlakuan syariat Islam di provinsi Daerah Istimewa Aceh
dicetuskan kembali.5
Selanjutnya Abdul Gani Isa menjelaskan bahwa dari sudut
pandang historis, tidak berlebihan bila dikatakan syariat Islam
sudah sedemikian berakar dalam kehidupan masyarakat Aceh,
karena pengalamannya sudah dimulai sejak hadirnya Islam di
Nusantara.6
Perkembangan dan pelaksanaan syariat Islam di Aceh
menurut sejarah telah mencapai puncak pada kerajaan Sultan
Iskandar Muda. Hal ini sebagaimana penjelasan Abdul Gani Isa
bahwa sebagian ahli sejarah menyebutkan bahwa kondisi tersebut
telah mencapai puncak keemasannya di bawah Sultan Iskandar
Muda (1607-1636). Aceh pada saat itu tak ubah sebuah miniatur
kehidupan Jaziarah Arab di Timur yang kental dengan budaya
Islam, karena itu Aceh dinamakan “Serambi Makkah”. Nilai Islam
bukan hanya dogma yang ada dalam Al-Qur’an dan Hadis, akan
tetapi terjelma dalam perkataan dan perbuatan.7 Abdul Gani Isa
merujuk pada T. Djunet menjelaskan, atas dasar itu pula Van
4
Azman Ismail. Dkk, Syariat Islam di..., hlm 22.
5
Azman Ismail. Dkk, Syariat Islam di..., hlm 22.
6
Abdul Gani Isa. Formalisasi Syariat Islam Di Aceh..., hlm 7.
7
Abdul Gani Isa. Formalisasi Syariat Islam Di Aceh..., hlm 7.

Madani Publisher | 13
Landasan Historis, Filosofis, Sosiologis serta Yuridis Penerapan Syariat Islam di Aceh

Vollenhoven mengatakan “Of The World Religian Islam Is Found


Here And Professed Of All Achehnese”.8
Keterangan tersebut menunjukkan titik terang bahwa
pelaksanaan syariat Islam di Aceh telah dilaksanakan secara resmi
oleh kerajaan Iskandar Muda pada masa kerajaannya. Hal tersebut
menurut Abdul Gani Isa, tidak berlebihan bila dikatakan hukum
syariat Islam menjadi sistem hukum yang digunakan di kerajaan
Aceh Darussalam. Dengan kata lain Abdul Gani Isa menjelaskan
bahwa jauh sebelum Belanda memasuki wilayah Aceh, hukum
syariat Islam menjadi hukum “positif ” di Aceh.9
Lebih lanjut Abdul Gani Isa menjelaskan bahwa syariat
Islam mulai terganggu dan tidak terkendali, sejak Belanda
melancarkan agresinya secara brutal terhadap kedaulatan Aceh
pada tahun 1873. Belanda menjadi sumber utama hancurnya
peradaban Aceh, yang sebelumnya sudah berjalan dengan baik.
Sekalipun rakyat Aceh, menghadapi beragi ujian silih berganti,
tetapi tidak perah melemahkannya semangat perjuangan mereka
terhadap pemberlakuan syariat Islam.10
Setelah rentang waktu empat puluh tahun pasca misi Hardi,
pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun
1999. Undang-Undang ini dapat dikatakan sebagai kontribusi
kuat bagi Aceh untuk menerapkan pemberlakuan syariat Islam
secara penuh tanpa perlu ikut campur tangan pemerintah. Secara
Yuridis formal diberikan kewenangan yang luas untuk mengatur
daerahnya serta memiliki otoritas menjalankan hukum syariat
islam secara kaffah.11

8
Abdul Gani Isa. Formalisasi Syariat Islam Di Aceh..., hlm 8.
9
Abdul Gani Isa. Formalisasi Syariat Islam Di Aceh..., hlm 8
10
Abdul Gani Isa. Formalisasi Syariat Islam Di Aceh..., hlm 9.
11
Abdul Gani Isa. Formalisasi Syariat Islam Di Aceh..., hlm 9.

14 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

B. Landasan Filosofis Penerapan Syariat Islam di Aceh


Pelaksanaan syariat Islam di provinsi Aceh tidak terlepas
dari keimanan yang diyakini oleh masyarakat Aceh yaitu Islam
yang dijadikan sebagai tuntunan dan pedoman hidup sebagaimana
hukum yang ditetap oleh Allah. Dasar keyakinan dan keimanan
inilah yang menjadi landasan dasar filososif penerapan syariat
Islam di provinsi Aceh.
Ali menjelaskan, dasar filosofis pelaksanaan Syariat Islam
di Aceh adalah pandangan hidup masyarakat Aceh yang meyakini
keberadaannya di bumi ini tidak terlepas dari aturan yang
ditetapkan oleh Allah SWT. Dalam ketatanegaraan Indonesia,
pandangan hidup tersebut dituangkan ke dalam sila pertama
Pancasila: ”Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ali merujuk pada
penjelasan Bismar Siregar menyatakan, ”Telah tegas disebutkan
bahwa berdasarkan Tap MPRS/XX/1966, ditetapkan Pancasila
sebagai sumber dari segala sumber hukum, telah tegas pula
disepakati bahwa bangsa dan Negara merdeka bukan hanya atas
jasa dan perjuangan manusia, melainkan yang menentukan adalah
Allah. Pancasila yang terdiri atas sila pertama tauhid, empat sila
lainnya muamalat, dijadikan sumber dari segala sumber hukum,
sesuai dengan Syariat.12
Status syariat Islam yang diberikan oleh pemerintah
pusat kepada provinsi Aceh menjadi sebagai pendorong terhadap
harapan masyarakat Aceh yang ingin menerapkan syariat Islam
dan menerapkan hukum Islam berdasarkan keyakinan yang
dianut oleh masyarakat Aceh yaitu Islam.
Selanjutnya penerapan syariat Islam di provinsi Aceh
tidak terlepas dari filosofi dasar negara yaitu Pancasila, yang
mengakui dan memberikan hak kebebasan kepada setiap
masyarakat Indonesia dalam beragama dan beribadah sesuai
12
Ali. Kedudukan Syariat Islam Dalam Tata Negara Indonesia. jurnal.
ar-raniry.ac.id/index.php/legitimasi/article/download/343/322. hlm 514.

Madani Publisher | 15
Landasan Historis, Filosofis, Sosiologis serta Yuridis Penerapan Syariat Islam di Aceh

dengan keyakinannya masing-masing. Hal ini berlandaskan pada


Sila pertama “ketuhanan yang Maha Esa.”
Landasan filosofis tersebut (ideologi Pancasila) menjadi
salah satu fondasi kuat terhadap pelaksanaan syariat Islam
di provinsi Aceh. Landasan filosofis tersebut juga menjadi
pertimbangan penting pemberlakuan syariat Islam di provinsi
Aceh oleh pemerintah pusat. Oleh karenanya, pemberian syariat
Islam kepada provinsi Aceh merupakan kebijakan tepat yang
diambil oleh perintah pusat untuk memfasilitasi pemberlakuan
syariat Islam di provinsi Aceh.
C. Landasan Sosiologis Penerapan Syariat Islam di Aceh
Syariat Islam telah lama ada dan dipraktekkan oleh
masyarakat Aceh di nusantara. Ali menjelaskan, Secara sosiologis,
sebelum kemerdekaan, banyak wilayah Nusantara sudah
melaksanakan Syariat Islam bahkan secara legal formal. Dikatakan
demikian karena ditemukan naskah undang-undang dari beberapa
kerajaan Islam Nusantara yang diadopsi dari fikih. Yang paling
tua adalah Undang-Undang Melaka yang berlaku di Kesultanan
Melaka. Menurut Jamil Mukmin, Undang-undang Melaka telah
mempengaruhi kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara abad ke-16,
17, dan 18. Undang-undang ini tersebar luas ke daerah taklukan
Melaka di wilayah Indonesia sekarang. Undang-undang Simbur
Cahaya pada masa Ratu Simehun (1639-1650M) di Kesultanan
Palembang, Undang-undang Riau pada masa Sultan Sulaiman
(1722-1730), Papakem Cirebon (Pedoman Cirebon) dan Surya
Alam diyakini berasal dari Kesultanan Demak abad ke-16 yang
dipengaruhi oleh Undang-undang Melaka. Seperti Riau, Patani.
Pada masa Kesultanan Aceh, Adat Aceh, Adat Mahkota Alam,
Kanun Mahkota Alam ataupun Kanun al-Asyi yang disusun pada
masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636) banyak dipengaruhi oleh
Undang-Undang Melaka.13
13
Ali. Kedudukan Syariat Islam..., hlm 515.

16 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

Ali, menjelaskan Sebagai daerah yang pernah menjadi


sebuah kerajaan besar, Aceh mempunyai tatanan hukum untuk
mengatur kehidupan dalam masyarakat. Aturan tersebut adalah
Syariat Islam. Banyak kata-kata hikmah atau pepatah-petitih
menunjukkan hal tersebut, misalnya Adat ngon hukom lage zat
ngon sifeut yang mengandung pengertian bahwa gerak gerik
perilaku keseharian masyarakat Aceh, yang kemudian menjadi
kebiasaan dan selanjutnya menjadi adat, tidak terlepas dari napas
Syariat Islam. Pepatah lain adalah: Adat bak Po Teumereuhom,
Hukom bak Syiah Kuala, Kanun bak Putro Phang, Reusam bak
Laksamana, yang menunjukkan pelaksanaan Syariat Islam di
Aceh sudah sampai pada tingkat menjadikannya hukum positif
dan kemudian menjadi hukum yang hidup dalam masyarakat.
Bahkan ada dokumen tertulis Qanun Syarak Kerajaan Aceh pada
masa Sultan Alauddin Mansur Syah pada tahun 1270 H dan Qanun
Al-Asyi Ahlul Sunnah wal Jamaah (Qanun Meukuta Alam. Sultan
Iskandar Muda) yang ditulis pada tahun 1310 H.14
Sejak masa kerajaan Iskandar muda Aceh telah menerapkan
hukum Islam. Oleh karena itu, secara sosiologis penerapan syariat
Islam di provinsi Aceh dapat sebutkan sebagai hukum yang telah
mendasar dianut, diikuti, dan ditaati oleh masyarakat Aceh. Ali
menjelaskan bahwa Syariat Islam adalah hukum yang hidup (living
law) dalam masyarakat Aceh sejak masa Kesultanan Aceh.15
Syariat Islam sebagai hukum yang hidup (living law) dalam
masyarakat Aceh dijadikan dasar hukum untuk mewujudkan
keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat. Hal ini telah terbukti
pada masa kerajaan Iskandar Muda yang memberlakukan hukum
Islam. Masa kerajaan Iskandar muda, beliau dikenal sebagai
pemimpian yang adil, taat akan hukum, dan telah berhasil
mewujudkan kesejahteraan terhadap rakyatnya pada masa itu.

14
Ali. Kedudukan Syariat Islam..., hlm 515.
15
Ali. Kedudukan Syariat Islam..., hlm 516.

Madani Publisher | 17
Landasan Historis, Filosofis, Sosiologis serta Yuridis Penerapan Syariat Islam di Aceh

Secara sosiologis, penting digaris bawahi bahwa penerapan


syariat Islam di provinsi Aceh bukanlah hal yang baru. Namun,
penerapan syariat Islam telah diterapkan sejak masa kerajaan
Iskandar Muda (1607-1636). Aceh pernah mencapai masa
gemilang dengan hukum yang adil di bawah kerajaan Iskandar
Muda.
Ali menjelaskan, Sebelum kedatangan Belanda ke
nusantara, masyarakat Aceh sudah berhukum dengan hukum
Syariat, namun kedatangan Belanda menyebabkan sebagian
dari ketentuan tersebut tidak dapat dilaksanakan. Penghalangan
terhadap berlakunya Syariat Islam di Aceh berlanjut setelah
Indonesia merdeka. Ini menyebabkan terjadinya gejolak di Aceh
yaitu karena tuntutan masyarakat Aceh terhadap pemberlakuan
Syariat Islam.16 Ini salah satu faktor dasar yang menyebabkan
penerapan syariat Islam dan hukum Islam di Aceh menjadi pudar.
Kedatangan Belanda pada tahun (1873) dan perang pecah
untuk melawan Belanda.17 Sejak saat itu konsentrasi terhadap
penerapan hukum Islam di Aceh terganggu karena masyarakat
dan ulama-ulama di Aceh lebih fokus terhadap perlawanan
melawan Belanda.
Penerapan syariat Islam di Aceh tidak berjalan mulus,
sejak Indonesia merdeka 1945. Namun keinginan masyarakat
Aceh untuk penerapan syariat Islam tidak pernah surut. Hal ini
sebagaimana penjelasan Mohd Din, terdapat pula dokumen-
dokumen penting tentang ini menunjukkan perjuangan sudah
dimulai tahun 1948 ketika muncul Maklumat bersama Ulama-
ulama seluruh Aceh, pengurus-pengurus agama, hakim-hakim
agama dan pemimpin-pemimpin sekolah Islam keresidenan
Aceh.18 Secara umum melalui maklumat tersebut masyarakat Aceh
Ali. Kedudukan Syariat Islam..., hlm 516.
16

Abdul Hadi. Dinamika Sistem Institusi Pendidikan di Aceh. Jurnal


17

Ilmiah Peuradeun. Vol. 2, No. 3. September 2014, hlm 183.


18
Mohd. Din. Eksistensi Ketentuan Pidana Qanun Syariat

18 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

menuntut pada pemerintah pusat terhadap keinginan masyarakat


Aceh.
Perlu dipertegas bahwa secara sosiologi penerapan syariat
Islam di provinsi Aceh sudah sangat mendasar dan mendarah
daging bagi masyarakat Aceh. Artinya, penerapan Syariah Islam
di provinsi Aceh bukanlah hal yang baru terhadap masyarakat
Aceh. Sementara, keberadaan qanun-qanun yang ada sekarang
berfungsi untuk mempertegas tata laksana penerapan syariat
Islam di provinsi Aceh.
D. Landasan Yuridis Penerapan Syariat Islam di Aceh
Aceh adalah bagian dari negara republik Indonesia yang
memiliki keunikan tersendiri yaitu mayoritas penduduknya
beragama Islam, tentu sangat berbeda dengan provinsi-provinsi
lain. Aceh terkenal dengan syariat Islam dan masyarakat yang taat
akan hukum syariat.
Tuntutan masyarakat di provinsi Aceh terhadap
penerapan syariat Islam sangat beralasan dan memiliki landasan
yang mendasar. Alasan tersebut secara yuridis, Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) memberi peluang dan membenarkan
terhadap semua warga negara, daerah, dan provinsi untuk
menganut ajaran agama berdasarkan keyakinannya dan termasuk
menjalankan hukum agama yang dianut masyarakat. Sehingga
tidak ada alasan pemerintah pusat menolak penerapan syariat
Islam di Aceh.
Selanjutnya keinginan masyarakat Aceh untuk menerapkan
hukum Islam tidak bertentangan dengan ideologi negara, bahkan
ideologi Pancasila, yaitu sila pertama Ketuhanan Yang Maha
Esa,19 memberi peluang untuk masyarakat Aceh menerapkan
Islam di Aceh. Jurnal Media Syariah, Vol. X, No. 21, Juli-Desember 2009.
19
Sulaiman. Pendidikan Warganegaraan untuk Perguruan Tinggi.
Cet. I. (Banda Aceh: Pena, 2016), hlm 3.

Madani Publisher | 19
Landasan Historis, Filosofis, Sosiologis serta Yuridis Penerapan Syariat Islam di Aceh

hukum syariat Islam selama tidak bertentangan dengan Ideologi


Pancasila.
Penerapan syariat Islam di Provinsi Aceh, secara yuridis
mengacu pada UUD 1945 Pasal 29 ayat (2) menetapkan bahwa
negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agama dan kepercayaannya itu.
Menurut Syahrizal Abbas sebagaimana dikutip Ali
menjelaskan, makna “menjamin“ dalam pasal tersebut jelas
bermakna imperatif, artinya negara berkewajiban melakukan
upaya-upaya agar tiap penduduk memeluk agama dan beribadat
menurut agama dan kepercayaannya itu. Ini merupakan pengakuan
konstitusi UUD 1945 terhadap satuan-satuan pemerintahan
daerah yang bersifat khusus atau istimewa.20
Pelaksanaan syariat Islam di provinsi Aceh secara
konstitusional merupakan hak masyarakat Aceh yang didasarkan
pada UUD 1945 dan berdasarkan ideologi Pancasila, yaitu sila
pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”. negara memberikan
kesempatan berupa hak kepada setiap penduduk negara untuk
memeluk agama berdasarkan keyakinannya masing-masing. Oleh
karena itu, penerapan syariat Islam di provinsi Aceh merupakan
hak masyarakat Aceh.
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh,
pada Bab I Pasal I di tetapkan bahwa Keistimewaan adalah
kewenangan khusus untuk menyelenggarakan kehidupan
beragama, adat, pendidikan, dan peran ulama dalam penetapan
kebijakan Daerah. Inilah bentuk keistimewaan yang diberikan
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah provinsi Aceh.
Masih berdasarkan ketetapan Undang-Undang Nomor
20
Ali. Kedudukan Syariat Islam..., hlm 516.

20 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi


Daerah Istimewa Aceh, pada bab III Ayat (2) ditetapkan
penyenggaraan keistimewaan meliputi:
a. Penyelenggaraan kehidupan beragama;
b. penyelenggaraan kehidupan adat;
c. penyelenggaraan pendidikan; dan
d. peran ulama dalam penetapan kebijakan Daerah.
Empat keistimewaan yang diberikan pusat kepada
provinsi Aceh berdasarkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun
1999 tersebut, ketika itu belum bisa diimplementasikan dengan
optimal. Hal ini disebabkan pemerintah pusat terkesan masih
setengah hati memberikan keistimewaan kepada provinsi Aceh,
di samping juga masalah politik di Aceh.
Keistimewaan dalam bidang kehidupan agama di provinsi
Aceh merupakan kewenangan pemerintah daerah Aceh untuk
mengatur dan mengelola secara baik. Hal ini sebagaimana
ketetapan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999, pada bagian
kedua terkait dengan penyelenggaraan kehidupan bersama,
pasal 4 Ayat (1) bahwa penyelenggaraan kehidupan beragama di
Daerah diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan syariat Islam bagi
pemeluknya dalam bermasyarakat.21
Selain keistimewaan dengan Undang-Undang Nomor 44
Tahun 1999, pemerintah pusat kembali memberikan otonomi
khusus kepada pemerintahan daerah provinsi Aceh berdasarkan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang otonomi
khusus bagi provinsi daerah keistimewaan Aceh sebagai provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam.
21
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.

Madani Publisher | 21
Landasan Historis, Filosofis, Sosiologis serta Yuridis Penerapan Syariat Islam di Aceh

Status otonomi khusus yang diberikan pemerintah pusat


kepada Aceh, dapat juga menjadi salah satu landasan penerapan
syariat Islam di provinsi Aceh. Aspek hukum misalnya, dalam
ketetapan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001, Bab XII
terkait dengan Mahkamah Syar’iyah provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, Pasal 25 ayat:
(1) Peradilan Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam sebagai bagian dari sistem peradilan nasional
dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah yang bebas dari
pengaruh pihak manapun.
(2) Kewenangan Mahkamah Syar’iyah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), didasarkan atas syariat Islam dalam sistem
hukum nasional, yang diatur lebih lanjut dengan Qanun
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
(3) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diberlakukan bagi pemeluk agama Islam.22
Kewenangan penyelesaian sengketa hukum di provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam di dilaksanakan pada Peradilan
Syariat Islam. inilah salah satu bentuk otoritas khusus yang
diberikan melalui undang-undang ini.
Mengacu pada UU No. 44 Tahun 1999 tentang
keistimewaan Aceh, pada dasarnya jika pelaksanaan syariat
Islam di Aceh dapat dilaksanakan secara optimal oleh pemerintah
pusat dan pemerintah daerah sudah memadai, tentu tidak
perlu lagi undang-undang selanjutnya untuk mengatur tentang
pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Namun untuk kelancaran dan
pengoptimalan pelaksanaan Syariat Islam di Aceh secara kaffah,
kemudian lahirlah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
22

bagi Provinsi Daerah Keistimewaan Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh


Darussalam.

22 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11


Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh atau lebih femiliyar
disebut dengan UUPA. Sehubungan dengan syariat Islam dan
pelaksanaannya di tetapkan pada Bab XVII Pasal 125 ayat:
(1) Syari’at Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi aqidah,
syar’iyah dan akhlak.
(2) Syari’at Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi ibadah, ahwal alsyakhshiyah (hukum keluarga),
muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana),
qadha’ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar,
dan pembelaan Islam.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan syari’at
Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
qanun Aceh.23
Pemberlakuan UUPA tersebut memberikan semangat baru
kepada pemerintah daerah provinsi Aceh terhadap penerapan dan
menjadi landasan yang kuat terhadap pelaksanaan syariat Islam
di Provinsi Aceh. Semangat tersebut dapat dilihat pada Ayat ke 3
yang memberikan kewenangan secara penuh kepada pemerintah
Aceh untuk mengatur pelaksanaan dengan Qanun Aceh.
Selanjutnya berikut disajikan landasan filosofi dan
undang-undang yang menjadi landasan yuridis penerapan syariat
Islam di provinsi Aceh:
1. Landasan filosofi/falsafah Pancasila
2. Undang-Undang Dasar 1945
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun
1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi
23
Undang-Undang Republik Nomor 11 Tahun 2006 Tentang
Pemerintahan Aceh.

Madani Publisher | 23
Landasan Historis, Filosofis, Sosiologis serta Yuridis Penerapan Syariat Islam di Aceh

Daerah Istimewa Aceh.


4. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Keistimewaan
Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
5. Undang-Undang Republik Nomor 11 Tahun 2006
Tentang Pemerintahan Aceh.

24 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

Bab III
Pelaksanaan Syariat Islam Dalam
Lintasan Sejarah Islam

A. Masa Tasyri’ Zaman Nabi


Masa tasyrik pertama syariat Islam berada pada masa
Nabi Muhammad Saw, masa tasyrik ini sejalan dengan dakwah
Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Syamsul rijal. Dkk,
merujuk pada Mun’in A. Sirry menjelaskan bahwa periode Babi
Saw adalah suatu masa di mana Nabi Muhammad Saw beserta
dengan para sahabat hidup yang dimulai dari turunnya wahyu
pertama dan berakhir dengan wafatnya Nabi Saw pada tahun 11
H.1
Masa Nabi Saw merupakan masa tasyrik’ atau pembentukan
hukum Islam berdasarkan wahyu Allah yang diturunkan kepada
1
Syamsul Rijal. Dkk. Dinamika Dan Problematika Penerapan Syariat
Islam. Cet. II. (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam, 2007), hlm 4.

Madani Publisher | 25
Pelaksanaan Syariat Islam dalam Lintasan Sejarah Islam

Nabi Muhammad Saw yang berisi syariat atau perintah. Setelah


wahyu diterima Nabi Muhammad Saw, selanjutnya disampaikan
kepada para sahabat atau umat untuk di amalkan. Masa inilah
masa tasyari’ pada zaman Nabi Saw.
Masih terkait dengan masa tasyri’ zaman Nabi Saw,
menurut Azman Ismail. Dkk, menjelaskan bahwa sejak
kelangsungan dakwah Islam di zaman Nabi Muhammad Saw di
sebut masa tasyri’ atau masa pembentukan syariat. Pada masa
Nabi yang disebut dengan masa tasyri’ tersebut sumber yang
dipergunakan untuk penetapan hukum (Masadir Al-Syari’ah)
dan untuk menjawab berbagai persoalan keutamaan senantiasa
berpedoman dan sumber rujukannya adalah pada wahyu Allah.
Adapun fase sahabat Nabi, Tabi’in dan tabi’-tabi’in, di samping
berpedoman pada wahyu juga menjadi keputusan, ungkapan,
perbuatan dan takrir atau yang disebut dengan sunnah Nabi
sebagai rujukan (marja’) dalam menghadapi dan menyelesaikan
berbagai persoalan mereka.2
Masa awal tasyri’ Islam, segala persoalan sosial yang timbul;
alhklak, aqidah, dan amaliah dari kalangan sahabat, pengikut atau
umat Islam langsung merujuk atau menanyakan secara langsung
kepada Nabi Muhamad Saw guna menemukan solusi yang tepat.
Nabi Muhammad Saw merupakan sumber hukum Islam.
Hal ini sejalan dengan penjelasan Syamsul rijal. Dkk, bahwa
Nabi Saw menjadi satu-satunya sumber hukum. Memang secara
lahiriahnya pembuat hukum adalah Nabi Muhammad Saw, tetapi
secara hakikat hukum-hukum tersebut dibuat oleh Allah Swt. Nabi
Muhammad Saw bertugas menyampaikan dan mengajarkannya
kepada umat melalui sunnah.3
Terkait dengan sumber hukum pada masa tasyri’ zaman
2
Azman Ismail. Dkk, Syariat Islam di..., hlm 46.
3Syamsul Rijal. Dkk. Dinamika Dan Problematika..., hlm 5.

26 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

Nabi Saw terdapat dua sumber hukum utama, yaitu Al-qur’an


dan sunnah. Demikian penjelasan singkat masa tasyrik atau
pembentukan syariat Islam pada zaman Nabi Muhammad Saw.
B. Pelaksanaan Syariat Islam di Mekkah
Ajaran Islam mulai pertama disyariatkan di Mekkah
mukarramah. Kota kelahiran Nabi Muhammad Saw. Sebagaimana
penjelasan dalam sejarah bahwa dakwah atau penyebaran Islam
yang dilakukan Nabi Muhammad Saw dibagi dalam dua periode;
Mekkah dan Madinah.
Periode Mekkah berlangsung selama 13 tahun, dimulai
ketika Muhammad di angkat menjadi Nabi dengan diterimanya
wahyu pertama hingga hijrah ke Madinah pada tanggal 16 Rabiu’ul
Awwal/20 September 622 M, dalam usia beliau 53 tahun.4
Demikian proses pewahyuan, di Mekkah selama 13 tahun
sebelum hijrah ke Madinah.5 Pewahyuan Al-quran tidak sekaligus
tetapi secara periodik atau bertahap. Pewahyuannya sangat
tergantung pada lingkup persoalan yang ada ketika itu. Dalam
hal ini, Wahyu yang diturun tersebut menjadi jawaban terhadap
semua persoalan, baik berkaitan aqidah, tauhid dan amaliah.
Azman Ismail. Dkk, menjelaskan menurut Ahli
menyebutkan bahwa ketika Wahyu yang pertama, Nabi
Muhammad Saw belum dilantik menjadi rasul Allah. Dengan
turun Wahyu pertama, Nabi Muhammad saw belum diperintahkan
untuk menyampaikan seruan-seruan kepada manusia sebagai
tugas agama. Baru setelah turunnya Wahyu kedua, dengan firman
Allah:

     


4
Azman Ismail. Dkk, Syariat Islam di..., hlm 47.
5
Atang ABD. Hakim. Dkk. Metodologi Studi Islam. Cet. XIII.
(Bandung: Remaja Rosdakarya Offset, 2011), hlm 73.

Madani Publisher | 27
Pelaksanaan Syariat Islam dalam Lintasan Sejarah Islam

Artinya:
Hai orang yang berkemul (berselimut). Bangunlah, lalu
berilah peringatan (Q.S. Al Muddatstsir: 1-2).
Dengan turun ayat ini beliau baru ditugaskan untuk
menyampaikan dakwah, seruan kepada umat manusia.6 Sehingga
Nabi Muhammad Saw memulai dakwah untuk menyaru umat
manusia di Mekkah.
Pada periode Mekkah, Nabi Muhammad Saw pertama
melakukan dakwah secara sembunyi-sembunyi selama tiga tahun
melalui orang perorang dan keluarganya. Setelah tiga tahun baru
Nabi Muhammad Saw melakukan dakwahnya secara terbuka dan
terang-terangan, kemudian mendapat tantangan dari kaum kafir
Quraisy di Mekkah. Fokus dakwah pada periode ini adalah tauhid.
Mengacu pada penjelasan Azman Ismail. Dkk, penulis
merincikan di antara beberapa hukum syariat pada periode
Mekkah, yaitu:
1. Aqidah, beberapa hukum yang disyariatkan pada periode
Mekkah juga dimaksudkan untuk mewujudkan revolusi
aqidah, misalnya seperti firman Allah QS. Al-An’am: 145:
Katakanlah, Tiadalah Aku peroleh dalam wahyu yang
diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi
orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan
itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi -
Karena Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang
disembelih atas nama selain Allah. Barang siapa yang dalam
keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan
tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu
Maha Pengampun lagi Maha penyayang. Kelihatannya
hukum-hukum yang dinyatakan dalam secara eksplisit
dalam ayat ini sebenarnya juga berkaitan dengan nilai-nilai
6
Azman Ismail. Dkk, Syariat Islam di..., hlm 47.

28 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

akhlak dan aqidah untuk mengubah tradisi Arab Jahiliyah


yang menyembelih binatang atas nama Tuhan mereka yang
sesat.
2. Pensyariatan shalat yang merupakan dasar kepatuhan
seseorang kepada Allah juga berlangsung pada periode
Mekkah.
3. Zakat, yang merupakan landasan untuk membentuk
masyarakat yang gotong royong, pensyariatannya di
ditetapkan pada periode Mekkah.7
Ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw pada
periode Mekkah telah merubah tradisi Arab Jahiliyah. Azman
Ismail. Dkk, menjelaskan bahwa mencermati syariat Islam pada
periode awal Mekkah dan bagaimana merubah tradisi Jahiliyah
menjadi ajaran dalam Islam, perihal pergaulan hidup misalnya,
masyarakat Arab Jahiliyah juga mempunyai hukum perkawinan,
hukum waris, hukum perdagangan dan lainnya. Hanya saja
hukum perkawinan dan waris mereka telah menempatkan wanita
sebagai “barang” tidak berharga. Pria dibolehkan menikahi
wanita sebanyak-banyaknya tanpa mahar (maskawin), wanita
tidak mempunyai hak untuk menerima bagian harta warisan, dan
malah wanita menjadi bagian dari warisan. Akan tetapi kehadiran
Islam dirubah semuanya, yaitu pria harus membatasi perkawinan
dan dengan menyediakan maskawin; dan wanita juga memiliki
hak dari harta warisan orang tua dan keluarga.8
Syariat Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw pada
periode Mekkah mendapat berbagai reaksi dari masyarakat
Quraisy Mekkah kala itu, ada yang menerima dan ada pula yang
menolok karena dianggap bertolokkan dari ajaran nenek moyang
7
Khusus penjelasan terkait dengan pelaksanaan syariat Islam Pada
periode Mekkah dalam hal hampir semua penulis mengutip dari Azman Ismail.
Dkk, Syariat Islam di..., hlm 47.
8
Azman Ismail. Dkk, Syariat Islam di..., hlm 50.

Madani Publisher | 29
Pelaksanaan Syariat Islam dalam Lintasan Sejarah Islam

mereka kaum Jahiliyah sebagai penyembah berhala.


C. Pelaksanaan Syariat Islam di Madinah
Wahyu turun yang berisikan perintah, lalu Nabi kepada
Nabi Muhammad Saw bersama sahabat hijrah ke Madinah.
Azman Ismail. Dkk, menjelaskan periode Madinah, periode di
mana Rasulullah dan para sahabat sejak berpindah dari Mekkah
ke Yatsrib (Madinah), pada tanggal 16 Rabiul Awwal atau 20
September 622 M hingga Nabi Muhammad Saw wafat pada
tanggal 13 Rabiul Awwal tahun 11 H/8Juni 632 M. Hijrah Nabi
dan kaum muslimin ke Madinah bukan inisiatif beliau semata,
tetapi keinginan penduduk Madinah sendiri yang begitu besar,
karena diketahui bahwa Muhammad merupakan Nabi yang
disebut-sebut dalam kitab suci mereka, seperti dalam Taurat dan
Injil yang terbukti kebenarannya.9
Nabi Muhammad Saw ternyata sudah dikenal oleh
masyarakat Madinah dan mereka sangat mendambakan
kedatangannya ke Madinah sebagai pemimpian yang dapat
menyatukan mereka. Masyarakat Madinah saat itu terdiri dari
beberapa suku dengan keragaman ras, agama, budaya dan adat
istiadat.
Husnul Khatimah dalam Azman Ismail. Dkk, menjelaskan
bahwa suku masyarakat Madinah saat itu terdiri dari bangsa Arab
dan Yahudi yang masing-masing memiliki sukunya pula. Suku
yang terkenal dari bangsa Arab dalah ‘Aus dan Khazraj, sedangkan
Yahudi seperti Bani Khainukaqak, Tsa’labah, Quraidhat, Nadhir
dan beberapa suku lain yang mencapai lebih dari 20 bani atau
suku.10 Penduduk Madinah sangat merindukan pemimpin yang
dapat mengayomi mereka dalam satu kendali kepemimpinan,
di mana kehidupan mereka sebelumnya tidak pernah bersatu,
mereka saling bermusuhan antar suku.
9
Azman Ismail. Dkk, Syariat Islam di..., hlm 51.
Azman Ismail. Dkk, Syariat Islam di..., hlm 52.
10

30 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

Selanjutnya pada tahun 620 M, 621 M, dan 622 M orang


Arab dari suku Khazraj yang selalu datang ke Mekkah pada musim
haji untuk melaksanakan ibadah haji, di sana mereka bertemu
dengan Nabi Muhammad Saw dan Nabi memperkenalkan ajaran
Islam kepada suku Khazraj dengan membaca ayat-ayat Al-Qur’an
dan mereka menyakini ini Nabi yang disebut-sebut oleh seorang
Yahudi, dan mereka harus mendahului Yahudi lain yang selalu
mencarinya. Mereka berjanji (bai’ah) di Aqabah (sehingga lebih
dikenal dengan bai’ah Aqabah), bahwa Muhammad adalah Nabi
dan berjanji tentang kesetiaan mereka untuk mengikuti sebagai
pemimpin dan melindungi beliau dan pengikut; Nabi pun berjanji
akan memerangi musuh-musuh mereka dan berdamai dengan
pihak yang mengajak mereka berdamai.11
Setelah hijrah ke Madinah, di sana Nabi Muhammad Saw
berhasil mempersatukan kaum muhajirin yang datang bersama
Nabi, kaum ‘Anshar, dan Yahudi Madinah dengan membuat
piagam Madinah yang menjadi sebagai peraturan yang dipatuhi
oleh semua kaum yang hidup di kota Madinah.
Azaman Islam. Dkk, lebih lanjut menjelaskan, setelah
kaum muslimin mencapai kehidupan yang normal, dan membina
masyarakat yang mempunyai ragam kehidupan yang berbeda
sesuai dengan ragamnya masyarakat Madinah, maka Nabi
Muhammad sebagai pemimpian saat itu “membumikan ” syariat
Allah yang mengatur kehidupan mereka secara menyeluruh
dan terperinci, sebagai penyempurnaan dari segala aturan dan
ketentuan yang telah disyariatkan secara global pada periode
Mekkah. Oleh karenanya antara periode Mekkah dan periode
Madinah adalah memiliki hubungan integral dan tidak dapat
dipisahkan satu sama lain dalam membumikan syariat Islam.12
Periode Madinah selama 10 tahun, Nabi Muhammad
11
Azman Ismail. Dkk, Syariat Islam di..., hlm 52.
12
Azman Ismail. Dkk, Syariat Islam di..., hlm 53.

Madani Publisher | 31
Pelaksanaan Syariat Islam dalam Lintasan Sejarah Islam

membuahkan hasil yang luar biasa dan kemajuan dalam


menyebarkan Islam dan juga penyatuan penduduk Madinah.
Di samping itu pada periode ini banyak diturunkan ayat-ayat
Al-Qur’an yang terkait dengan hukum syara’ yang mencakupi
segala aspek; aqidah, ibadah, mu’amalah, mewaris, jihad, jinayat,
munakahad, dan lain-lain. Jadi, periode Madinah dapat disebut
sebagai kelanjutan dari periode Mekkah dan periode Madinah
sebagai penyempurna terhadap periode Mekkah.
D. Pelaksanaan Syariat Islam pada Masa Khulafaur-Rasyidin
Azaman Islam. Dkk, menjelaskan sejak negara Islam
pertama kalinya berdiri di Madinah pada tahun 622 M hingga
runtuhnya pada 28 Rajab 1342 H bertepatan 3 Maret 1924 M,
praktik syariat Islam ditemukan dalam kehidupan private dan
publik umat Islam. praktik syariat Islam pada periode-periode
dimaksud dilembagakan oleh negara (khalifah), sebagaimana
yang dipraktikkan pada zaman khulafaur-rasyidin (masa khalifah
Abu Bakar), Umar bin Khattab, Amawiyah, daulah Abbasyiah,
dan hingga Zaman Daulah Utsmaniyah atau Turki Usmani.13
Kepemimpinan Islam setelah Nabi Muhammad Saw
wafat (11H/632M) berada di bawah kepemimpinan khulafaur-
rasyidin. Khalifah yang pertama adalah Abu Bakar Siddiq, pada
awal kepemimpinannya di warnai dengan berbagai kekacauan,
pemberontakan, munculnya orang-orang murtad, dan orang-
orang yang mengaku diri nabi, serta banyaknya orang-orang yang
ingkar membayar zakat.
Muhammad Rahmatulla merujuk pada penjelasan A.
Syalabi bahwa dalam kesulitan yang memuncak inilah terlihat
kebesaran jiwa dan ketabahan hati Abu Bakar, dengan tegas
dinyatakannya seraya bersumpah, bahwa beliau akan memerangi
semua golongan yang telah menyeleweng dari kebenaran, kecuali

Azman Ismail. Dkk, Syariat Islam di..., hlm 55.


13

32 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

mereka yang kembali kepada kebenaran, meskipun beliau harus


gugur dalam memperjuangkan kemuliaan agama Allah.14 Inilah
gagasan besar Abu Bakar Siddiq sebagai upaya untuk menegakkan
syariat Islam di bawah kepemimpinannya.
Umar bin Khatab adalah khalifah kedua (634-644 M),
beberapa kebijakan yang mendapat perhatian serius di antaranya;
pengembangan daerah kekuasaan Islam, pembenahan birokrasi
pemerintahan dan pemberbentukan lembaga kepolisian.15 Inilah,
bagian dari pada penegakan syiar Islam dan perluasan kawasan
Islam.
Hasan Basri M. Nur. Dkk, merujuk pada penjelasan
Badri Yatim, bahwa masa Usman Bin Affan (644-655 M), kaum
muslimin telah memiliki angkan laut, sehingga perluasan wilayah
juga dilakukan melalui jalur laut Armenia, Tunsia, Ciprus, Rhodes
dan bagian yang tersisa dari persia, Transoxania dan Tabaristan
berhasil direbut. Ekspansi Islam pertama terhenti sampai di
sini.16 Sementara masa Ali BIN Abi Thaleb banyak terjadi gejolak
politik, sehingga tidak terjadi perluasan wilayah.17 Pelaksanaan
syariat Islam pada masa sahabat (Khulafaur-rasyidin) merupakan
kelanjutan setelah wafat Nabi Muhammad Saw, di lakukan oleh
para sahabat sejalan dengan perluasan wilayah Islam.

14
Muhammad Rahmatulla. Kepemimpinan Khalifah Abu Bakar Al-
Shiddiq. Jurnal Khatulistiwa-Journal of Islamic Studies, Volume 4 Nomor 2
September 2014, hlm 200.
15
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/18197/1/
LISTIANA%20DWI%20NUSANTI-FSH.pdf. Online. Tanggal 9 Juni 2017.
16
Hasan Basri M. Nur. Dkk. Geografi Islam. Cet. I. (Banda Aceh:
Yayasan Al-Mukarramah, 2015), hlm 60.
17
Hasan Basri M. Nur. Dkk. Geografi Islam..., hlm 60.

Madani Publisher | 33
Pelaksanaan Syariat Islam dalam Lintasan Sejarah Islam

34 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

Bab IV
Sejarah Berlakunya Syariat Islam
di Aceh

A. Syariat Islam pada Masa Kerajaan Aceh


Syariat Islam bagi masyarakat Aceh bukan hal yang baru,
hal ini disebabkan masyarakat Aceh telah lama memberlakukan
dan menjalankan syariat Islam. Penerapan syariat Islam di Aceh
sejalan dengan masuk Islam Nusantara. Menurut Daudi Ali
sebagaimana dikutip oleh Teuku Zulkhairi bahwa sejak abad VII H,
agama Islam telah masuk ke daerah ini dan telah tumbuh menjadi
kerajaan Islam dan berkembang sampai abad ke XIV M. Hal itu
sejalan dengan pandangan bahwa dai peneliti sejarah, hukum
Islam (syariat Islam) telah ada di Indonesia sejak bermukimnya
orang Islam di Indonesia.1

Teuku Zulkhairi. Syariat Islam Membangun Peradaban (Sebuah


1

Pengantar Studi Syariat Islam Di Aceh). Cet. I. (Banda Aceh: Pena, 2017),
hlm 61.

Madani Publisher | 35
Sejarah Berlakunya Syariat Islam di Aceh

Syariat Islam di Aceh telah ada dan digunakan sebagai


norma hukum oleh masyarakat Aceh sejak masa kerajaan Islam
Aceh.2 Upaya menelusuri jejak penerapan syariat Islam di Aceh,
kita dapat menelusurinya melalui kerajaan-kerajaan berikut:
1) Kerajaan Islam di Pasai
Hasbi Amiruddin menjelaskan sejak berdirinya kerajaan
Islam di Pasai (1270), ulama Aceh mulai memegang peran
penting dalam kerajaan tersebut. Mereka mengabdi sebagai
penasihat raja yang mengurusi bidang keagamaan. Karena
itu, keterlibatan ulama sebagai penasehat keagamaan sultan
Pasai, menjadi posisi sentral di antara kerajaan Islam. setiap
masalah yang tidak jelas atau dalam masalah tersebut ada
perbedaan pandangan tentang ajaran dan praktik Islam
diserahkan untuk diputuskan di Pasai. Malik al-Zahir
(wafat 1326), raja Pasai dan anak dari Malik al-Shahih,
yang mendirikan Kerajaan Pasai, pernah meminta untuk
menghadirkan beberapa ulama dari Mekkah dan tempat-
tempat lain yang untuk mengajarkan ajaran Islam untuk
rakyat. Di istana sering berdiskusi dengan ulama dari
Mekkah, Persia, dan India, serta memilih salah satu dari
mereka sebagai penasihat kerajaan.3
2) Kerajaan Islam Aceh Darussalam
Hasbi Amiruddin merujuk pada Teuku Iskandar
menjelaskan, Ketika Iskandar muda memerintahkan
Kerajaan Islam Aceh Darussalam (1607-1636), dia memilih
Syekh Syams Al-Din al-Sumatrani sebagai penasihat dan
2
Wilayah pertama masuk Islam adalah pesisir Sumatera (Samudra
Pasai atau Peurelak/Perlak), setelah terbentuk masyarakat Islam maka raja
Islam pertama berada di Aceh. lihat Hasanuddin Yusuf Adan. Islam Dan Sistem
Pemerintahan Aceh Masa Kerajaan Aceh Darussalam. Cet. I. (Banda Aceh:
NASA, 2013), hlm 22.
3
Hasbi Amiruddin. Ulama Dayah Pengawal Agama Masyarakat
Aceh. Cet. IV. (Banda Aceh: LSAMA, 2017), hlm 9

36 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

sebagi mufti (disebut syekh al-Islam), bertangung jawab


dalam urusan agama. Meski demikian, al-Sumatrani tidak
hanya sebagai penasihat agama tetapi juga terlibat dalam
urusan politik. Al-Sumatrani juga pernah mengabdi pada
Sultan Ali Mugyhayat Syah (1589-1602), merupakan raja
Sebelum Sultan Iskandar Mudah.4
Dua kerajaan Islam Aceh tersebut merupakan bukti
sejarah bahwa syariat Islam menjadi sebagai sumber hukum
bagi masyarakat Aceh, bahkan pihak kerajaan melibatkan para
ulama sebagai pemangku posisi strategis di kerajaan sebagaimana
keterlibatan Syekh Syams Al-Din al-Sumatrani sebagai penasihat
dan sebagi mufti di kerajaan Sultan Iskandar Muda dalam bidang
urusan agama.
Syariat Islam di Aceh mengalami perkembangan yang luar
biasa pada masa kerajaan Islam di Pasai (1270), dan kerajaan Islam
Aceh Darussalam mulai dari masa Sultan Ali Mugyhayat Syah
(1589-1602), sultan Iskandar Muda (1607-1636) hingga sampai
kepada kerajaan Islam Aceh dipimpin selama empat periode
oleh Sultanah (ratu). Sebagaimana penjelasan Hasbi Amiruddin
merujuk pada A. Hasjimy bahwa kerajaan Islam Aceh selama
periode empat ratu (1641-1699), sebagai berkut:
1) Sultanah Tajul Alam Safiatuddin (1641-1675), istri dan
pengganti Iskandar Tsani dan merupakan ratu pertama di
Aceh.
2) Sultanah Nurul Alam Naqiyyatuddin, berdasarkan
informasi yang diperoleh ratu Nurul Alam Naqiyyatuddin
hanya memimpin kerajaan selama tiga tahun, dan mangkat
pada tanggal 23 januari 1678.
3) Sultanah Inayah Syah Zakiyyatuddin, merupakan anak
dari ratu Nurul Alam Naqiyyatuddin. Ratu Inayah Syah
4
Hasbi Amiruddin. Ulama Dayah Pengawal..., hlm 9-10.

Madani Publisher | 37
Sejarah Berlakunya Syariat Islam di Aceh

Zakiyyatuddin memimpin kerajaan Aceh selama 10 tahun


dan berakhir pada tahun 1688.
4) Sultanah Keumalat Syah, memimpin kerajaan Islam Aceh
selama lebih kurang 10 tahun, kemudian di Keumalat
diturunkan pada tahun 1699.5 Keumalat Syah merupakan
sultanah/ratu yang terakhir dari kerajaan Islam Aceh.
Kerajaan Islam Aceh Darussalam mengalami masa
kejayaan pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636), yang
menerapkan hukum Islam sebagai pedoman dalam sistem hukum
di kerajaan. Demikian juga pada masa kerajaan Islam Aceh
Darussalam selama di bawah kepemimpinan empat ratu (1641-
1699).
Wujud pelaksanaan syariat Islam pada masa kerajaan Islam
Aceh di bawah kepemimpinan empat ratu (1641-1699) tersebut
dapat dilihat dari pelibatan ulama, yaitu Syaekh Abdurrauf
al-Singkili ditetapkan sebagai Mufti dan Qadhi Malik al-Adil
Kerajaan Islam Aceh.6 Inilah salah satu indikator bahwa syariat
Islam di Aceh telah ada sejak masa kerajaan Islam Aceh.
Upaya untuk mencari jejak sejak kapan syariat Islam telah
ada di Aceh dan dianut oleh masyarakat, penulis juga menelusuri
berbagai referensi yang sudah pernah ditulis oleh para penulis
sebelumnya. Berdasarkan berbagai referensi yang ditemukan
menunjukkan bahwa Syariat Islam di Aceh sudah ada sejak
masa kerajaan Islam di Aceh. Hal ini diperkuat dengan berbagai
referensi yang di temukan oleh penulis.
Misran merujuk pada penjelasan Luthfi Aunie bahwa,
menurut para ahli sejarah, kerajaan Aceh Darussalam didirikan
oleh Sultan Ali Mughayat Syah (1516-1530). Beliau berhasil
menyatukan kerajaan-kerajaan Islam lainnya yang sebelumnya
5
Hasbi Amiruddin. Ulama Dayah Pengawal..., hlm 11.
6
Hasbi Amiruddin. Ulama Dayah Pengawal..., hlm 11.

38 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

telah ada seperti kerajaan Peureulak, Samudera Pasai, Pidie,


Daya, dan Linge. Pada perkembangan selanjutnya kerajaan Aceh
Darussalam tercatat sebagai salah satu kerajaan Islam terbesar di
dunia. Masa keemasan kerajaan Aceh Darussalam berada pada
masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Pada
masa ini, Aceh mencapai kemajuan luar biasa dalam bidang sosial,
ekonomi, politik, dan agama. Sultan Iskandar Muda berhasil
menjadikan ibu kota kerajaan Aceh Darussalam sebagai kota
kosmopolitan.7
Keterangan tersebut mengisyaratkan bahwa Aceh di pada
masa kerajaan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) telah memiliki
sistem peradaban yang baik dalam aspek; sosial, ekonomi, politik,
dan bahkan agama. Sistem hukum Islam menjadi bagian penting
yang digunakan untuk mengatur kerajaan untuk mewujudkan
keadilan bagi masyarakat.
Sejalan dengan penjelasan tersebut di atas, syariat Islam
di Aceh sudah mulai dilaksanakan masyarakat sejak zaman
kesultanan pada abad ke 17. Hal ini, sebagaimana penjelasan
Rusydji Ali Muhammad bahwa seorang antropolog Belanda B. J.
Boland, setelah membuat penelitian di Aceh: being an Acehnese is
equivlent to being a muslim (menjadi orang Aceh identik dengan
muslim). Sejak Zaman Kesultanan, abad ke-17, Nanggroe Aceh
telah menjadikan syariat Islam sebagai landasan bagi Undang-
Undang yang diterapkan untuk masyarakatnya. Undang-Undang
itu disusun atas oleh ulama atas perintah atau kerja sama dengan
umara, nyakni penguasa atau sultan. Lahirnya karya-karya besar
berupa kitab-kitab yang menjadi rujukan para hakim dan semua
aparat penegakan hukum di Nanggroe Aceh pada waktu itu. Di
antara ulama yang berkiprah pada waktu itu adalah Nurdin Ar-
Raniry (w. 1658 M) Syamsuddin al-Sumatrani (w. 1661 M) dan

Misran. Pelaksanaan Syari’at Islam Di Aceh Analisis Kajian Sosiologi


7

Hukum. Jurnal LEGITIMASI, Vol.1 No. 2, Januari-Juni 2012, hlm 159.

Madani Publisher | 39
Sejarah Berlakunya Syariat Islam di Aceh

Abdurrauf al-Singkili (1615-1691 M).8


Rusydji Ali Muhammad menambahkan bahwa terdapat
sebuah karya yang lebih akhir adalah Safinat al-Hukkam yang
ditulis oleh Jalal al-Din al-Tarusani. Kitab ini ditulis secara khusus
atas perintah Sultan Alaiddin Johansyah (1735-1760 M/1147-
1174 M) dan isi kitab ini adalah aturan-aturan hukum perdata
dan pidana serta berbagai penjelasan tentang ihwal penyelesaian
perkara dan pokoo-pokok hukum acara dalam sebuah peradilan.9
Masih menurut Rusdji Ali Muhammad bahwa sasaran
utama buku ini sangat jelas yaitu untuk menjadikan pegangan
para hakim. Judul lengkap kitab tersebut adalah: Safinat al-
Hukkamfi Takhlish al Khashsham, artinya bahtera para hakim
dalam menyelesaikan perkara segala orang yang bertikai. Di
samping itu, terkenal pula Qanun al-Asyi (Adat Meukuta Alam)
yang mengandung hukum-hukum Dussturiyyat dan ‘Alaqah
Dauliyyah yang ditulis dalam huruf jawi yang menjadi Undang-
Undang Kerajaan.10
Misran menjelaskan, Pada waktu itu di kerajaan Aceh
telah berlaku hukum Islam, sesuai dengan agama yang dianut oleh
masyarakat Aceh. Hal ini dapat dilihat dengan adanya kodifikasi
hukum-hukum Islam yang dibuat oleh para ulama yang kemudian
ditetapkan menjadi Undang-Undang (Qanun) yang berlaku di
kerajaan Aceh Darussalam. Di antara Qanun tersebut adalah
Qanun al-Asy yang disebut juga Adat Meukuta Alam, Sarakata
Sultan Syamsul Alam, dan Kitab Safînah al-Hukkâm fî Takhlîsh
al-Khashshâm.11
Karya atau kitab tersebut merupakan bukti terhadap
8
Rusdji Ali Muhammad. Revitalisasi Syariat Islam Di Aceh. Cet. I.
(Jakarta: Logos, 2003), hlm 48.
9
Rusdji Ali Muhammad. Revitalisasi Syariat Islam Di Aceh..., hlm 48.
10
Rusdji Ali Muhammad.Revitalisasi Syariat Islam Di Aceh..., hlm 49.
11
Misran. Pelaksanaan Syari’at Islam Di Aceh..., hlm 160.

40 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

penerapan syariat Islam di Aceh semenjak zaman kesultanan.


Kitab “Safinat al-Hukkam” karangan Jalal al-Din al-Tarusani
yang dijadikan sebagai acuan penyelesaian hukum di Aceh untuk
mewujudkan keadilan dalam hal proses hukum di Aceh.
Misran merujuk T. Juned menjelaskan bahwa dalam
masyarakat Aceh dikenal empat istilah yang berkaitan dengan
hukum yaitu: hukum, adat, uruf dan reusam. Hukum adalah hukum
Islam, adat diartikan sebagai hukum tidak tertulis dan mempunyai
sanksi, berlaku untuk siapa saja dengan tanpa pandang bulu, uruf
adalah pendapat ulama dalam menjalankan negara, namun tidak
disandarkan kepada agama, akan tetapi disandarkan kepada adat,
sedangkan reusam diartikan sebagai bekas hukum.12
Lebih lanjut Misran dengan mengutip penjelasan Mustafa
Ahmad bahwa berjalannya adat pada masa kerajaan Aceh
Darussalam dapat dilihat sewaktu Sultan Iskandar muda (1607-
1636) menghukum mati anaknya Meurah Peupok anak lelaki
satu-satunya yang telah diangkat sebagai putera mahkota, karena
berbuat zina dengan istri seorang pejabat (1621), maka para ulama
ketika itu memprotesnya, karena berlawanan dengan hukum
Islam. Sultan dengan tegas menjawabnya: “matee aneuk muphat
jeurat, matee adat ho tamita”. Jadi istilah adat dalam ungkapan
tersebut tidak bisa diartikan lain, selain dari suatu hukum.13
Sultan Iskandar muda (1607-1636) sangat tegas dalam
penerapan syariat Islam pada masa itu. Hal ini dapat dilihat dari
sisi pemutusan hukum berupa hukuman mati diberikan kepada
putra mahkota oleh sang Raja dan tanpa memandang dia sebagai
pewaris kerajaan.
Syariat Islam yang dijadikan sebagai dasar hukum pada
zaman kesultanan/kerajaan Aceh telah membawa nama kerajaan
Aceh terkenal di dunia. Bahkan lebih dari itu, masyarakat dunia
12
Misran. Pelaksanaan Syari’at Islam Di Aceh..., hlm 160.
13
Misran. Pelaksanaan Syari’at Islam Di Aceh..., hlm 160.

Madani Publisher | 41
Sejarah Berlakunya Syariat Islam di Aceh

mengenal Aceh dengan peradaban Islam yang cukup kuat.


B. Syariat Islam pada Masa Penjajahan dan Pasca Kemerdekaan
Sejarah syariat Islam di Aceh dapat dilihat sejak awal masa
perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan Belanda dan
juga setelah kemerdekaan Indonesia. Syariat Islam bagi orang Aceh
tidak hanya sebagai ajaran agama yang mengandung perintah
Allah. Namun Syariat Islam telah menyatu dalam masyarakat dan
menjadi spirit perjuangan terhadap melawan penjajahan.
Sejarah telah membuktikan bahwa perlawanan terhadap
penjajahan Belanda di Aceh dengan dilakukan dengan semangat
jihad dan agama. Namun terkait dengan periode pelaksanaan
syariat Islam di Aceh setelah kemerdekaan Indonesia dapat dilihat
dalam empat periode.
Sejalan dengan empat periode tersebut, Al Yasa Abubakar
menjelaskan, sejarah pelaksanaan syari`at Islam di Aceh sejak
awal kemerdekaan sampai saat sekarang. Sekiranya jika dibuat
pentahapan atau perioderisasi, dapat dibagi sebagai berikut:
1. Masa awal kemerdekaan sampai tahun 1959, yang dapat
kita sebut sebagai tahap perjuangan untuk mengupayakan
pengakuan dari pemerintah pusat.
2. Setelah ini tahun 1959 sampai tahun 1999 yang dapat kita
sebut sebagai tahap adanya pengakuan politis, tetapi tidak
dilanjutkan dengan kebijakan untuk mengaplikasikannya.
3. Tahap berikutnya 1999 sampai tahun 2006 tahap pemberian
izin pelaksanaan secara terbatas atau upaya mencari bentuk.
4. Setelah itu tahap terakhir mulai 2006 sampai sekarang,
tahap pelaksanaan secara relatif luas, diberi pengakuan
sebagai sub sistem dalam sistem hukum nasional.14
14
Al Yasa Abubakar. Sejarah Pelaksanaan Syari`at Islam Di Aceh.
http://alyasaabubakar.com/2013/07/sejarah-pelaksanaan-syariat-islam-di-

42 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

Masyarakat Aceh sangat identik dengan syariat Islam, hal


dapat dilihat dari keinginan masyarakat Aceh dalam hal penerapan
syariat Islam di Aceh sejak awal Indonesia merdeka. Hal ini dapat
dilihat dari tuntutan masyarakat Aceh kepada pemerintah pusat
untuk pelaksanaan syariat Islam di Aceh.
Al Yasa Abubakar menjelaskan bahwa upaya pelaksanaan
syariat Islam di Aceh, dapat dikatakan bahwa pemimpin Aceh
sejak awal kemerdekaan sudah meminta izin kepada Pemerintah
untuk melaksanakan syariat Islam di Aceh, dan bahkan Presiden
Soekarno sudah pernah berjanji kepada para ulama dan pemimpin
rakyat Aceh bahwa di Aceh akan diberlakukan syariat Islam.15
Itulah, harapan besar masyarakat Aceh kepada presiden Soekarno.
Pelaksanaan syariat Islam di Aceh setelah kemerdekaan
Indonesia telah mendapat persetujuan dari presiden Soekarno.
Izin tersebut dapat dilihat dari janji Soekarno kepada masyarakat
Aceh, sebagaimana penjelasan Al Yasa Abubakar merujuk pada
Amran Zamzami, bahwa izin ini diberikan secara lisan oleh
Presiden Soekarno ketika beliau berkunjung ke Aceh pada tahun
1948.16 Al Yasa Abubakar menambahkan bahwa menurut referensi
dari buku-buku, janji tersebut diberikan bersamaan waktu dengan
permintaan beliau (Soekarno) kepada para saudagar Aceh agar
mereka bersedia membeli pesawat terbang sebagai hadiah untuk
membantu Pemerintah Pusat.17
Berikut historis kedatangan Soekarno ke Aceh, menurut
Amran Zamzami sebagaimana dikutip oleh Al Yasa Abubakar,
aceh/. (Online). Tanggal 11 April 2017.
15
Al Yasa Abubakar. Sejarah Pelaksanaan Syari`at Islam Di Aceh.
http://alyasaabubakar.com/2013/07/sejarah-pelaksanaan-syariat-islam-di-
aceh/. (Online). Tanggal 11 April 2017.
16
Al Yasa Abubakar. Sejarah Pelaksanaan Syari`at Islam Di Aceh
(Upaya Penyusunan Fiqih dalam Negara Bangsa). Cet. I. (Banda Aceh; Dinas
Syariat Islam Aceh, 2013) hlm 12.
17
Al Yasa Abubakar. Sejarah Pelaksanaan Syari`at..., hlm 12.

Madani Publisher | 43
Sejarah Berlakunya Syariat Islam di Aceh

bahwa:
1) Soekarno tiba di Lapangan terbang Loknga Banda Aceh
pada tanggal 16 Juni 1948. Setelah kedatangan ini, dalam
suatu pertemuan dengan beberapa tokoh Aceh, atas
permintaan Abu Beureueh, Soekarno menyatakan: “Biarlah
rakyat Aceh mengatur daerahnya sendiri berdasarkan
syariat Islam”. Tetapi ketika Abu Beureueh meminta
beliau menuliskan pernyataan atau keizinan ini, Soekarno
keberatan dan menetekkan air mata, karena Abu Bereueh
karena meragukan ketulusan beliau.
2) Dalam kunjungan ini pula Soekarno meminta agar Saudagar
Aceh untuk membeli pesawat terbang dan menghadiahkan
kepada pemerintah, yang langsung dipenuhi oleh saudagar
Aceh dengan menghadiahkan emas seberat 50 kg. Untuk
membeli dua pesawat terbang Dakota. Pada waktu ini pula
Soekarno menyebut Aceh sebagai daerah modal, yang sering
digunakan sampai sekarang.
3) Abu Beureueh dalam pernyataannya bertanggal 4 November
1961, yang berjudul “DA’WAH” (pernyataan ini merupakan
lampiran dari surat yang beliau tulis dalam kedudukan
sebagai wali Negara Republik Islam Aceh, dan dikirimkan
kepada Jenderal A. H Nasution, menteri keamanan Nasional/
KASAD) secara jelas menyatakan bahwa Soekarno sebagai
presiden pernah menyampaikan janji tersebut. Adapun isi
janji Soekarno adalah “ janji Presiden/Panglima tertinggi di
hadapan para ulama Aceh di Kutaraja pada tahun 1947, yang
akan memberikan kesempatan bagi rakyat Aceh Untuk hidup
dan mengatur kehidupan masyarakatnya sesuai dengan
syariat agama mereka”.18
18
Al Yasa Abubakar. Sejarah Pelaksanaan Syari`at..., hlm 13. Penjelasan
tersebut penulis mengutip secara utuh dari Al Yasa Abubakar. Sejarah
Pelaksanaan Syari`at. Selanjutnya, terkait dengan tahun janji tersebut dalam hal
ini terdapat perbedaan, tahun yang termuat pada isi janji tersebut 1947 dalam

44 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

Janji presiden Soekarno terhadap pelaksanaan syariat Islam


di Aceh menjadikan masyarakat Aceh lebih bersemangat dalam
hal pelaksanaan syariat Islam. Namun sayang, janji tersebut tidak
terealisasi dan membuat masyarakat Aceh menuntut terhadap
janji itu.
Lebih lanjut tentang pelaksanaan syarat Islam di Aceh
berdasarkan referensi yang ditemukan menunjukkan bahwa,
sebelum janji Presiden Soekarno terhadap izin pelaksanaan
syariat Islam untuk Aceh, Residen Aceh sudah membentuk
Mahkamah Syar’iyah di seluruh kewedanaan yang ada di Aceh
yang dilakukan atas izin (perintah) Gubernur Sumatera (waktu itu
Aceh merupakan sebuah keresidenan dalam Provinsi Sumatera)
melalui Surat Kawat nomor 189 tanggal 13 Januari 1947.19
Keinginan masyarakat Aceh terhadap pelaksanaan syariat
Islam sangat kuat. Hal ini sebagaimana penjelasan Al-Yasa’
Abubakar bahwa rakyat Aceh sudah berjuang secara sungguh-
sungguh untuk melaksanakan syariat Islam di Aceh paling kurang
sejak saat kemerdekaan, tahun 1945. Pada tahun 1946 Gubernur
Sumatera, atas permintaan rakyat Aceh, memberi izin kepada
keresidenan Aceh untuk membentuk mahkamah syar’iyyah dan
melaksanakan syariat Islam. Izin ini direalisasikan pada tahun
1947 dan berlanjut sampai tahun 1950, yaitu saat provinsi Aceh
dibubarkan, dilebur masuk ke dalam provinsi Sumatera Utara.
Masyarakat Aceh sangat kecewa karena mahkamah syar’iyyah
yang mereka bentuk dengan sungguh-sungguh menjadi bubar
dengan begitu saja karena provinsi Aceh bubar. Bahkan lebih
menyakitkan, ketika rakyat Aceh meminta agar lembaga ini tidak
dibubarkan, ada pihak yang menyatakan sebagai peradilan swasta
hal ini penjelasan Abu Beureueh (sebutan untuk Muhammad Daud Beureueh)
adalah secara umum. Namun dalam banyak referensi lain menuliskan tahun
1948 Soekarno datang ke Aceh.
19
Al Yasa Abubakar. Sejarah Pelaksanaan Syari`at Islam Di Aceh.
http://alyasaabubakar.com/2013/07/sejarah-pelaksanaan-syariat-islam-di-
aceh/. (Online). Tanggal 11 April 2017.

Madani Publisher | 45
Sejarah Berlakunya Syariat Islam di Aceh

yang berbahaya sekiranya dilanjutkan.20


Keseriusan masyarakat Aceh terhadap pelaksanaan syariat
Islam di Aceh dapat pula dilihat dari kegigihan masyarakat Aceh
dalam menuntut kepada pemerintah pusat untuk memberikan
izin untuk melaksanakan syariat Islam di bumi Aceh.
Keseriusan dan kegigihan tersebut kemudian berbuah
hasil dengan dibentuknya kembali mahkamah syar’iyyah di
Aceh pada tahun 1957. hal ini sebagaimana penjelasan Al-Yasa’
Abubakar bahwa permintaan dan perjuangan rakyat Aceh yang
terus-menerus, mahkamah syar’iyyah kembali dibentuk di Aceh
pada tahun 1957, yaitu dengan Peraturan Pemerintah Nomor
29 tahun 1957. Hanya saja berselang satu bulan PP ini dicabut
ditukar dengan PP Nomor Tahun 1957 yang isinya persis sama
tetapi wilayah berlakunya adalah seluruh Indonesia kecuali Jawa,
Madura, dan Kalimantan selatan. Peraturan pemerintah ini
tidak terlalu memuaskan Rakyat Aceh karena kewenangannya
sangat terbatas dan tidak mempunyai kewenangan untuk
melaksanakan putusannya. Putusan mahkamah syar’iyyah baru
dapat dilaksanakan apabila telah dikukuhkan oleh Pengadilan
Negeri dan peradilan itu pula yang melaksanakannya. Rakyat
terus menerus menuntut agar syariat Islam dapat berlaku secara
sempurna di daerah Aceh, bukan hanya di bidang peradilan tetapi
juga di bidang pendidikan dan tata pemerintahan.21
Pelaksanaan syariat Islam di Aceh dapat disebutkan tidak
berjalan dengan mulus karena disebabkan dengan kebijakan
pemerintah pusat berubah-ubah, sebagaimana penjelasan tersebut
di atas. Meskipun demikian, semangat terhadap pelaksanaan
syariat Islam bagi masyarakat Aceh menjadi hal terpenting.
20
Al-Yasa’ Abubakar. Bunga Rampai Pelaksanaan Syariat Islam
(Pendukung Qanun Pelaksanaan Syariat Islam). Cet. I. (Banda Aceh: Dinas
Syariat Islam Aceh, 2009), hlm 157.
21
Al-Yasa’ Abubakar. Bunga Rampai Pelaksanaan Syariat Islam..., hlm
157.

46 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

Al-Yasa’ Abubakar menjelaskan lebih lanjut bahwa pada


tahun 1959, sebagai dari upaya menyelesaikan konflik Aceh yang
telah pecah sejak tahun 1953, Wakil Perdana Menteri Mr. Hardi
memberikan keistimewaan kepada Aceh dalam tiga hal, yaitu
pengamalan agama, penyelenggaraan pendidikan dan pelaksanaan
adat. Tetapi keistimewaan ini hanya ada di atas kertas, tidak
ada tindak lanjut dalam perundangan, dan karena itu tidak ada
realisasinya di lapangan. Bahkan lebih dari itu, dengan Undang-
Undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah,
keistimewaan Aceh tersebut hanyalah sekedar nama dan sebutan.
Mengenai isi tidak diakui lagi karena peraturan yang berlaku di
Aceh harus sama dengan daerah lain, tidak ada perbedaan atau
keistimewaan apapun dengan wilayah Indonesia lainnya.22
Kebijakan tersebut menjadi pukulan terhadap masyarakat
Aceh, dalam satu sisi kebijakan Hardi menjadi harapan. Namun
di sisi kebijakan tersebut dapat disebutkan sebagai taktik manis
pemerintah pusat dalam redam konflik di Aceh, karena kebijakan
Hardi tidak terlokalisasi di Aceh.
Lama setelah kebijakan Mr. Hardi terhadap keistimewaan
Aceh, baru kemudian keinginan masyarakat Aceh kembali disauti
oleh pemerintah pusat dengan Undang-Undang Nomor 44 tahun
1999 tentang Penyelenggaraan keistimewaan Aceh.
Kebijakan tersebut sebagaimana penjelasan Al-Yasa’
Abubakar bahwa empat puluh tahun sesudah ini (kebijakan Mr.
Hardi), pada tahun 1999 DPR dengan usulan inisiatif mensahkan
Keistimewaan Aceh. Dalam Undang-Undang ini Aceh diberikan
22
Al-Yasa’ Abubakar. Bunga Rampai Pelaksanaan Syariat Islam...,
hlm 158. Misi Hardi merupakan Kebijakan Wakil Perdana Menteri Republik
Indonesia mengeluarkan Keputusan Perdana Menteri Nomor 1/Missi/1959,
mulai berlaku pada 26 Mei Tahun 1959, kemudian di kenal dengan “Keputusan
Missi Hardi”. Keputusan ini memuat tiga aspek keistimewaan kepada Aceh;
keistimewaan agama, pendidikan dan peradatan. Sejak keputusan ini, Aceh
mendapat sebutan Daerah Istimewa Aceh.

Madani Publisher | 47
Sejarah Berlakunya Syariat Islam di Aceh

izin melaksanakan syariat Islam bagi pemeluknya dalam


bermasyarakat. Sedangkan syariat Islam didefinisikan sebagai
tuntutan agama Islam dalam semua aspek kehidupan. Pengaturan
lebih lanjut pelaksanaan syariat Islam tersebut akan ditangkan
langsung melalui peraturan daerah, sesuai dengan perundangan
yang berlaku. Jadi tidak perlu menunggu peraturan pemerintah.23
Kebijakan pemerintah dengan melahirkan Undang-
Undang Nomor 44 tahun 1999 tentang penyelenggaraan
keistimewaan Aceh, membuat masyarakat Aceh merasa lega dan
sekaligus legalitas pelaksanaan syariat Islam di Aceh menjadi
kebanggaan bagi masyarakat Aceh. Namun demikian masih
terdapat sisi kekurangan terkait dengan mekanisme pelaksanaan
syariat Islam yang tidak cukup jelas.
Al-Yasa’ Abubakar menjelaskan masyarakat kurang
puas dengan capaian ini karena rumusan yang ada tentang
pelaksanaan syariat Islam tidak cukup jelas. Beberapa bagian dari
teks Undang-Undang ini dapat ditafsirkan secara berbeda, dan
begitu juga sekiranya Perda tentang syariat sudah dibuat, rakyat
tidak yakin bahwa jaksa dan hakim pengadilan negeri akan mau
melaksanakannya.24
Akhirnya setelah UU nomor 18 tahun 2001 tentang
otonomi khusus diberikan pusat bagi provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, pelaksanaan syariat Islam di Aceh mengacu pada
otonomi khusus yang diberikan pusat. Hal ini juga merujuk pada
penjelasan Al-Yasa’ Abubakar bahwa saat ini Aceh melaksanakan
syariat Islam atas kewenangan otonomi khusus.25

Al-Yasa’ Abubakar. Bunga Rampai Pelaksanaan Syariat Islam...,


23

hlm 158.
Al-Yasa’ Abubakar. Bunga Rampai Pelaksanaan Syariat Islam...,
24

hlm 158.
Al-Yasa’ Abubakar. Bunga Rampai Pelaksanaan Syariat Islam...,
25

hlm 159.

48 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

Demikian ulasan singkat terkait pelaksanaan syariat Islam


di Aceh sejak masa penjajahan Belanda sampai kemerdekaan
Indonesia. Aceh sejak perang melawan Belanda telah kuat dengan
syariat Islam, hal ini dapat dilihat dari semangat juang melawan
penjajahan Belanda di Aceh di hadapi Masyarakat Aceh dengan
semangat jihad. Kemudian, setelah Indonesia merdeka keinginan
masyarakat Aceh untuk melaksanakan syariat Islam di Aceh masih
mengakar dan kuat. Hal ini dapat di telusuri melalu:
1) Janji presiden Soekarno ketika datang ke Aceh pada tahun
1948 dan memberi izin kepada masyarakat Aceh terhadap
pelaksanaan syariat Islam, meskipun tidak direalisasikan.
2) Pada tahun 1959, sebagai dari upaya menyelesaikan
konflik Aceh yang telah pecah sejak tahun 1953, Wakil
Perdana Menteri Mr. Hardi memberikan keistimewaan
kepada Aceh dalam tiga hal, yaitu pengamalan agama,
penyelenggaraan pendidikan dan pelaksanaan adat.
Tetapi keistimewaan ini hanya ada di atas kertas, tidak
ada tindak lanjut dalam perundangan, dan karena itu
tidak ada realisasinya di lapangan.
3) Kemudian, lahir UU nomor 44 tahun 1999 tentang
keistimewaan provinsi Aceh, barulah syariat Islam
terealisasi di Aceh.
4) Otonomi khusus untuk Aceh dengan kebijakan
pemerintah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi
Keistimewaan Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam. Kebijakan ini memberikan warna khas
terhadap Aceh terutama dalam aspek pelaksanaan syariat
Islam di Aceh.

Madani Publisher | 49
Sejarah Berlakunya Syariat Islam di Aceh

C. Syariat Islam pada Masa UUPA


Penerapan syariat Islam di Aceh terus mengalami
perkembangan sejalan dengan kebijakan pemerintah terkait
Undang-Undang pemerintah Aceh (UUPA) dan semangat
masyarakat Aceh yang sangat besar terhadap syariat Islam.
Kebijakan pemerintah pusat dengan menetapkan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh
memberikan implikasi besar terhadap penerapan syariat Islam di
Aceh. Implikasi besar tersebut terdapat pada aspek produk qanun
untuk mengatur tentang pelaksanaan syariat Islam, misalnya
Qanun Jinayat dan lain-lain.
Jummaidi Saputra menjelaskan, kekhususan dan
keistimewaan dalam otonomi daerah seluas-luasnya di Aceh
diperkuat setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh. Undang-Undang ini mempertegas
penerapan Syariat Islam di Aceh.26
Penegasan terhadap penerapan syariat Islam di Aceh
dapat dilihat dalam ketetapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh, Bab XVII Syari’at Islam Dan
Pelaksanaannya, pasal 125, 126, dan 127. Berikut penulis mengutip
secara utuh terhadap pasal-pasal tersebut:
Pasal 125
(1) Syari’at Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi aqidah,
syar’iyah dan akhlak.
(2) Syari’at Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi ibadah, ahwal al syakhshiyah (hukum keluarga),
26
Jummaidi Saputra. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Anggota
TNI Yang Melanggar Syariat Islam Di Aceh. Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana
Universitas Syiah Kuala. Volume 2, No. 2, November 2013, hlm 11.

50 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana),


qadha’ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar,
dan pembelaan Islam.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan syari’at
Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Qanun Aceh.
Pasal 126
(1) Setiap pemeluk agama Islam di Aceh wajib menaati dan
mengamalkan syari’at Islam.
(2) Setiap orang yang bertempat tinggal atau berada di Aceh
wajib menghormati pelaksanaan syari’at Islam.
Pasal 127
(1) Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota
bertanggung jawab atas penyelenggaraan pelaksanaan
syari’at Islam.
(2) Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota
menjamin kebebasan, membina kerukunan, menghormati
nilai-nilai agama yang dianut oleh umat beragama dan
melindungi sesama umat beragama untuk menjalankan
ibadah sesuai dengan agama yang dianutnya.
(3) Pemerintah, Pemerintahan Aceh dan pemerintahan
kabupaten/kota mengalokasikan dana dan sumber daya
lainnya untuk pelaksanaan syari’at Islam.
(4) Pendirian tempat ibadah di Aceh harus mendapat izin dari
Pemerintah Aceh dan/atau pemerintah kabupaten/kota.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian izin
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan qanun

Madani Publisher | 51
Sejarah Berlakunya Syariat Islam di Aceh

yang memperhatikan peraturan perundang-undangan.27


Pemerintah Aceh dengan berpedoman kepada UUPA
memiliki kewenangan penuh untuk mengatur sistem pelaksanaan
syariat Islam di provinsi Aceh. Kewenangan tersebut dapat dilihat
dari ketetapan Pasal 125 ayat (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
pelaksanaan syari’at Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Qanun Aceh.
UUPA memberi legalitas kepada pemerintah Aceh
untuk mengatur mekanisme pelaksanaan syariat Islam di Aceh,
sebagaimana ketetapan Pasal 127 ayat (1). Selanjutnya, sebagai
upaya untuk mendukung pelaksanaan syariat Islam secara kaffah
di Aceh, pemerintah provinsi Aceh dan kabupaten kota diberikan
legalitas untuk menyediakan atau mengalokasikan dana.
Mekanisme lebih lanjut terkait pelaksanaan syariat di
provinsi Aceh diatur dalam Qanun. Adapun yang dimaksud dengan
Qanun, berdasarkan UU No. 18 Tahun 2001, Bab I ketentuan
umum, Pasal 1 Angka 8 ditetapkan bahwa Qanun Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam adalah Peraturan Daerah sebagai
pelaksanaan undang-undang di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus.28
Mengacu pada ketetapan tersebut qanun dapat diartikan
sebagai peraturan daerah provinsi Aceh yang mengatur
penyelenggaraan pemerintahan, kehidupan masyarakat Aceh dan
ketentuan pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Misalnya qanun
nomor 10 tahun 2002 tentang peradilan syariat Islam, dan lain-
lain.

27
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 Tentang
Pemerintahan Aceh.
28
Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 18 Tahun 2001,
Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

52 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

Bab V
Dinamika Pelaksanaan Syariat Islam di
Aceh dalam Konteks Hukum Nasional

A. Kedudukan Syariat Islam di Aceh dalam Sistem Hukum


Nasional
Pelaksanaan syariat Islam di Aceh mengacu pada sistem
hukum nasional. Prof. Syahrial Abbas, Kepala Dinas Syariat
Islam Aceh, juga menyinggung masalah ini saat memberi
pengantar untuk buku Qanun Aceh No. 7 Tahun 2013 tentang
Hukum Acara Jinayat. “Penyusunan produk hukum syariah dan
pemberlakuannya di Aceh berada dalam bingkai sistem hukum
nasional. Positivikasi norma hukum dari al-Qur’an dan as-Sunnah
ke dalam Qanun Aceh dilakukan melalui proses legislasi (taqnin),
yang melibatkan Gubernur Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat
Aceh (DPRA) sebagai pemegang otoritas pembentuk Qanun
Aceh,” tulisnya.1
1
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54d80e8854ee1/qanun-
hukum-jinayah--kitab-pidana-ala-serambi-mekkah. diakses 1 Mei 2017.

Madani Publisher | 53
Dinamika Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh dalam Konteks Hukum Nasional

Abdul Gani Isa menjelaskan bahwa sistem hukum adalah


seperangkat unsur yang terdiri atas sub-sub sistem yang memiliki
fungsi dan bekerja dalam rangka mencapai tujuan sistem.
Sedangkan formulasi syariat adalah upaya mentransformasikan
materi fikih oleh negara menjadi peraturan perundang-undangan
atau qanun menjadi hukum positif. Pengertian ini dipahami
ada keterlibatan dan campur tangan pemerintah baik proses
pembuatannya, pelaksanaan maupun pengawasan jalannya
peraturan perundang-undangan atau qanun tersebut. Di sisi lain,
formulasi syariat Islam di Aceh dalam sistem hukum Indonesia,
objeknya adalah fiqh yang dilegalisasi menjadi hukum positif,
baik dalam bentuk kodifikasi, maupun kompilasi hukum Islam.2
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 Ayat (3) menetapkan
bahwa Indonesia adalah negara hukum.3 Sejalan dengan ketetapan
tersebut Ali Geno Berutu menjelaskan bahwa Indonesia adalah
negara hukum, yaitu mendasarkan semua tatanan kehidupan
berbangsa dan bernegara pada suatu hukum. Dalam suatu tatanan
hukum tersebut terdapat suatu sistem hukum. Sistem hukum yang
dianut di Indonesia merupakan Mix Law System yang mana di
samping berlakunya hukum perundang-undangan juga berlaku
hukum Islam.4
Ali Geno Berutu menambahkan dengan merujuk pada
Rasyid Rizani bahwa eksistensi hukum Islam termanifestasi di
dalam Konstitusi Negara Indonesia yang lazim dikenal dengan
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). UUD
ini merupakan hukum dasar yang mengatur kehidupan berbangsa
dan bernegara guna terwujudnya suatu pemerintahan yang adil
dan rakyat yang sejahtera. Dalam kaitan kehidupan berbangsa
2
Abdul Gani Isa. Formalisasi Syariat Islam Di Aceh..., hlm 63.
3
Sulaiman. Pendidikan Warganegaraan ..., hlm 93.
4
Ali Geno Berutu. Aceh dan Syariat Islam. https://www.academia.
edu/7475125/ACEH_DAN_SYARIAT_ISLAM?auto=download. (Onlen).
Tanggal 28 April 2017, hlm 15.

54 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

dan bernegara, konstitusi mengatur kehidupan beragama, yaitu


sebagaimana tercantum pada alinea keempat pada Pembukaan
UUD 1945 yang berbunyi, “Ketuhanan Yang Maha Esa”.5
Dasar legislasi hukum Islam dalam UUD 1945 adalah
pada pasal 29 ayat(1) dan Perubahannya. Hukum Islam
merupakan sumber pembentukan hukum nasional di Indonesia.
Dalam Negara Republik Indonesia tidak dibenarkan terjadinya
pemberlakuan peraturan perundang-undangan yang bertentangan
dengan hukum Islam bagi umat Islam, demikian juga bagi umat-
umat agama lain, peraturan perundang-undangan tidak boleh
bertentangan dengan hukum agama-agama yang berlaku di
Indonesia bagi umat masing-masing agama bersangkutan.6 Dari
itu, pelaksanaan syariat Islam di Aceh memiliki dasar hukum yang
kuat sebagaimana ketetapan UUD 1945 Pasal 29.
Pelaksanaan syariat Islam di Aceh merupakan realisasi
dari UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Provinsi
Nanggroe Aceh dan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh. Abdullah Gani Isa menjelaskan bahwa upaya
ini dilakukan dengan jalan melegislasikan materi-materi hukum
Islam yang terdapat dalam kitab fiqh ke dalam qanun, sehingga
menjadi hukum positif Aceh. Peng-kanunan yang dilakukan
pemerintah Aceh, tidak sekaligus, tetapi secara bertahap
(tadarruj), disesuaikan dengan tuntutan , ‘uruf dan hukum-
hukum yang hidup dalam masyarakat Aceh.7
Selanjutnya, pengaturan lebih lanjut tentang pelaksanaan
syariat Islam di Aceh dalam konteks hukum nasional terdapat
dalam UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
UU ini menghendaki adanya sejumlah peraturan perundang-
undangan organik lainnya, terutama qanun Aceh dalam rangka
5
Ali Geno Berutu. Aceh dan Syariat Islam..., hlm 15.
6
Ali Geno Berutu. Aceh dan Syariat Islam..., hlm 16.
7
Abdul Gani Isa. Formalisasi Syariat Islam Di Aceh..., hlm 69.

Madani Publisher | 55
Dinamika Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh dalam Konteks Hukum Nasional

pelaksanaan syariat Islam. Qanun berfungsi sebagai peraturan


perundang-undangan operasional dalam rangka menjalankan
amanat UU pemerintahan Aceh. Dalam rangka menjadikan
hukum syariat sebagai materi hukum positif harus melalui proses
legislasi yang menghasilkan qanun Aceh. Qanun-qanun inilah
yang akan menjadikan hukum materi dan hukum formil syariat
Islam di Aceh.8
Pelaksanaan syariat Islam di Aceh di dasar pada konstitusi
dasar, yaitu UUD 1945 Pasal 29. Selanjutnya, bagaimana teknik
penerapan syariat Islam di atur dan ditetapkan ke dalam qanun
Aceh. Hal ini, menunjukkan bahwa secara konstitusional
pelaksanaan syariat di provinsi Aceh tetap berada dalam konteks
hukum Nasional.

B. Pro dan Kontra Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh


Pelaksanaan syariat Islam di Aceh telah mewarnai tata
kehidupan masyarakat Aceh sejak masa kerajaan Aceh, masa
penjajahan, dan bahkan sampai setelah Indonesia merdeka.
Bahkan jika kita melihat sejarah bagian dari pada tuntutan utama
terhadap pemerintah pusat adalah syariat Islam.
Pelaksanaan syariat Islam di provinsi Aceh kini telah
berjalan 18 tahun sejak tahun 1999-2017. Dalam masa tersebut,
pelaksanaan syariat Islam di Aceh telah muncul berbagai
argumen, baik dari masyarakat nasional maupun internasional.
Argumennya ada yang mendukung (pro) dan ada yang tidak
setuju (kontra).
Reaksi pro dan kontra tersebut bukanlah suatu penghalang
terhadap pemerintah Aceh karena pelaksanaan syariat Islam
merupakan tekat dan keinginan masyarakat Aceh dalam wilayah
Syahrizal. Dimensi Pemikiran Hukum Dalam Implementasi Syariat
8

Islam Di Aceh. Cet. II. (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam, 2010), hlm 11.

56 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

yang miliki khas syariat Islam. pelaksanaan syariat Islam secara


kaffah adalah hak masyarakat Aceh yang tidak boleh diganggu
oleh masyarakat luar Aceh.
1. Masyarakat Aceh pro syariat Islam
Sebagaimana telah disebutkan bahwa pelaksanaan syariat
Islam di Aceh merupakan keinginan penuh dari masyarakat Aceh.
Syariat Islam bagi masyarakat Aceh tidak hanya sebagai ajaran
agama tauhid tapi telah menjadi bagian yang mengakar dari pada
sistem budaya.
Secara umum bentuk dari pada semangat dan dukungan
masyarakat terhadap syariat Islam di provinsi Aceh dapat dilihat
dari:
1) Peran akademisi, intelektual, dan ulama bersama-
sama masyarakat terlibat terhadap pengawasan syariat
Islam di Aceh.
2) Peran DPRA (legislatif) dalam melahirkan qanun-
qanun penerapan syariat Islam.
3) Peran gubernur Aceh (eksekutif) dalam pelaksanaan
syariat Islam di Aceh.
Dukungan DPRA (legislatif) dan gubernur Aceh
(eksekutif) dalam pengoptimalan pelaksanaan syariat Islam
di Aceh dapat juga lihat dari keseriusan masing-masing pihak
tersebut dalam membuat qanun-qanun dan mengsahkan qanun.
Misalnya Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat,
yang sempat tertunda akhirnya disahkan pada tahun 2014.
Meskipun secara umum masyarakat Aceh pro dan sangat
menghormati terhadap pelaksanaan syariat Islam di Aceh, sejauh
ini masih juga ditemukan kasus-kasus pelanggaran syariat Islam,

Madani Publisher | 57
Dinamika Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh dalam Konteks Hukum Nasional

di antara:
1) Maisir (judi).
2) Khamar (minuman yang memabukkan).
3) Khalwat (mesum, berdua-duaan dengan non-muhrim).
Demikian dinamika pelaksanaan dan pelanggaran
syariat Islam di provinsi Aceh. Selanjutnya, ditegaskan bahwa
pelaksanaan bukan hanya di aspek tersebut di atas saja. Pelaksanaan
syariat Islam memiliki peran terhadap pengembangan ekonomi
masyarakat Aceh, selama ini belum mendapat perhatian penuh
dari pemerintah karena masih fokus pada sosialisasi dan
penerapan qanun terkait dengan tiga aspek tersebut.
2. Kritik terhadap syariat Islam di Aceh

Dinamika pro dan kontra kritik terhadap pelaksanaan


syariat Islam di Aceh saat ini muncul dari berbagai kalangan,
baik masyarakat Aceh maupun internasional. Misalnya, kritik
Human Rights Watch (HRW) menyebut bahwa pelaksanaan
syariat Islam di Aceh melanggar nilai-nilai pokok dalam standar
Hak Asasi Manusia (HAM) internasional. Peneliti lembaga ini
juga menambahkan bahwa penerapan syariat Islam di Aceh sudah
tidak sesuai dengan kesepakatan yang tertuang dalam MOU
(Memorandum of Understanding) Helsinski.9

Perwakilan HRW untuk wilayah Asia Phelim Kine,


9
Febriana Firdaus&Nurdin Hasan. Syariat Islam di Aceh: HRW Sebut
Penerapannya Langgar HAM. http://www.rappler.com/world/regions/asia-
pacific/indonesia/84749-kontroversi-syariat-islam-di-aceh. (Online). tanggal
1 Mei 2017.

58 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

mengatakan penerapan syariat Islam di Aceh tidak memenuhi


standar internasional. Salah satunya dengan penerbitan dua
hukum baru pada September 2014 yang mengikat warga non-
muslim, peminum alkohol, dan kaum homoseksual, serta semua
pihak yang memiliki hubungan di luar nikah.10

Berikut penulis merincikan empat kritikan Human Rights


Watch (HRW) terhadap pelaksanaan syariat Islam di Aceh:
1) Pelaksanaan syariat Islam di Aceh melanggar HAM,
berupa hak individu.
2) Pelaksanaan syariat Islam di Aceh bagian dari tindakan
diskriminasi terhadap masyarakat.
3) Pelaksanaan syariat Islam di Aceh tidak adil.
4) Pelaksanaan syariat Islam di Aceh melanggar hak sipil, hak
politik, hak ekonomi, dan budaya.11
Human Rights Watch (HRW) merupakan organisasi asing
nonpemerintah yang berpusat di New York City, Amerika Serikat,
dengan lancang mengintervensi pelaksanaan syariat Islam di Aceh
terkait dengan kasus homo atau liwath. Kasus hubungan sesama
jenis (homoseksual) yang terungkap di Rukoh, Kecamatan Syiah
Kuala, Banda Aceh, pada 29 Maret 2017.12
10
Febriana Firdaus&Nurdin Hasan. Syariat Islam di Aceh: HRW Sebut
Penerapannya Langgar HAM. http://www.rappler.com/world/regions/asia-
pacific/indonesia/84749-kontroversi-syariat-islam-di-aceh. (Online). tanggal
1 Mei 2017.
11
Poin-poin kritikan terhadap pelaksanaan syariat Islam di Aceh
sebagaimana di tersebut di atas penulis kutip dari Febriana Firdaus&Nurdin
Hasan. Syariat Islam di Aceh: HRW Sebut Penerapannya Langgar HAM. http://
www.rappler.com/world/regions/asia-pacific/indonesia/84749-kontroversi-
syariat-islam-di-aceh. (Online). Tanggal 1 Mei 2017.
12
Serambi Indonesia. Lembaga Asing Intervensi Kasus Homo .http://

Madani Publisher | 59
Dinamika Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh dalam Konteks Hukum Nasional

Intervensi Human Rights Watch (HRW) terhadap


penghentian penyelidikan kasus homoseksual tersebut yang
sedang di tangani oleh Wiyatul Hisbah (WH) dan Polisi Pamong
Praja (Satpol PP), di akui oleh Kasi Penyelidikan dan Penyidikan
Satpol PP dan WH Aceh, Marzuki.13
Lebih lanjut Marzuki menjelaskan, HRW juga salah satu
lembaga asing yang sejak awal menolak diberlakukannya Qanun
Jinayat di Aceh. Bahkan lembaga internasional yang concern
terhadap pembelaan HAM tersebut bersikukuh agar jangan
ada pemberlakuan Qanun Jinayat di Aceh.14 inilah satu contoh
dinamika intervensi lembaga asing terhadap penerapan syariat
Islam di Aceh.
Kritikan-kritikan tersebut kemungkinan hanya bentuk
dari kekhawatiran pihak-pihak non-muslim dan mereka yang
tidak senang terhadap pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Marzuki
Abubakar, Pada mulanya, umat non-muslim memang sangat kuatir
dengan legalitas Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh. Kekhawatiran
ini memang lumrah terjadi, karena kebanyakan umat non-muslim
belum memahami esensi dari pelaksanaan Syariat Islam tersebut.
Apalagi ditambah dengan adanya berbagai isu dan wacana-
wacana yang disebarkan oleh beberapa pihak, bahwa Syari’at
Islam melanggar HAM dan anti kesetaraan gender.15
Penting untuk diingat bahwa kritikan Human Rights Watch
(HRW) tersebut tidak mendasar dan tidak memamahi tentang
aceh.tribunnews.com/2017/04/20/lembaga-asing-intervensi-kasus-homo.
(Online). Tanggal 1 Mei 2017.
13
Serambi Indonesia. Jangan Gadaikan Syariat Islam ke Lembaga
Asing. http://aceh.tribunnews.com/2017/04/21/jangan-gadaikan-syariat-islam-
ke-lembaga-asing. (Online). Tanggal 1 Mei 2017.
14
Serambi Indonesia. Lembaga Asing Intervensi...t.h.
15
Marzuki Abubakar. Syariat Islam di Aceh: Sebuah Model Kerukunan
dan Kebebasan Beragama. Media syari’ah Jurnal Hukum Islam Dan Pranata
Sosial. Volume XIII No. 1 Januari-Juni 2011, hlm 158.

60 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

kekhasan Aceh. Aceh memiliki hak penuh untuk melaksanakan


syariat Islam dan menjatuhi hukuman jinayat bagi pelanggaran
syariat Islam di Aceh, baik bagi warga muslim dan non-muslim
yang menetap di Aceh, berdasarkan Qanun Nomor 6 tahun 2006
Tentang Hukum Jinayat.
Menurut penulis, apa yang dituduhkan oleh Human
Rights Watch (HRW) bahwa pelaksanaan syariat Islam di Aceh
melanggar HAM, merupakan penghinaan terhadap masyarakat
Aceh yang memiliki hak penuh untuk melaksanakan syariat Islam.
Oleh karena itu, masyarakat dunia harus menghargai terhadap
pelaksanaan syariat Islam di Aceh dengan tidak memberikan
komentar-komentar yang dapat mengganggu penerapan syariat
Islam di Aceh.
C. Kendala Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh
Pelaksanaan syariat Islam di Aceh telah berjalan berkisar
18 tahun sejak tahun 1999 sampai tahun 2017. Rentang waktu
relatif lama tersebut, pelaksanaan syariat Islam di Aceh masih
menuai kendala yang dapat menyebabkan terhadap lambatnya
laju pelaksanaan syariat Islam di Aceh.
Kendala tersebut ada yang menjelaskan karena provinsi
Aceh merupakan satu-satunya provinsi yang melaksanakan
syariat Islam di negara Indonesia, sehingga belum ada format.
Sebagaimana penjelasan Syamsul Bahari bahwa penerapan Syariat
Islam di Aceh merupakan yang pertama di Indonesia, hal ini
menjadi sebuah kendala tersendiri dalam mencari format ideal
dalam menjalankan proses penerapannya.16
Teuku Saiful merujuk pada penjelasan Muslim Ibrahim
menyatakan pelaksanaan syariat secara kaffah pasti akan
Syamsul Bahri. Konsep Implementasi Syari’at Islam Di Aceh:
16

Sharia Law Implementation Concept In Aceh. Kanun Jurnal Ilmu Hukum No.
60, Th. XV (Agustus, 2013), hlm 317.

Madani Publisher | 61
Dinamika Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh dalam Konteks Hukum Nasional

berhadapan dengan sejumlah hambatan, faktor tersebut, di


antaranya situasi Aceh yang masih belum kondusif, namun
demikian agaknya upaya ke arah penerapannya wajib terus
dilaksanakan karena pelaksanaan syariat itu sendiri. Bila
dilaksanakan dengan ikhlas mudah-mudahan dapat dijadikan
sekelumit penawar bagi kondisifitas keadaan di Aceh. Perangkat
lunak berupa materi dan panduan penerapan belum semuanya
mungkin sampai ratusan qanun terumus secara amat rinci.17
Merujuk pada penjelasan tersebut, bahwa ada benarnya
jika disebutkan bahwa penerapan syariat Islam di Aceh masih
terkendala karena Aceh bekas daerah konflik yang mempengaruhi
perilaku masyarakat. Kemudian, untuk pelaksanaan syariat Islam
secara kaffah tentu harus didukung dengan qanun pendukung
dan penyempurnaan qanun, seperti qanun nomor 6 tahun 2014
tentang Hukum Jinayat. Semoga saja dengan qanun pemberlakuan
qanun ini penerapan syariat Islam di Aceh tidak terkendala lagi
dapat terlaksana secara optimal.
Penulis mencoba merincikan terkait dengan kendala
terhadap penerapan syariat Islam di Aceh disebabkan oleh dua
faktor:
1) Faktor dari pemerintah Aceh. Faktor ini terkait dengan
berbagai kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah Aceh
dalam rangka penerapan syariat Islam masih belum optimal.
Pemerintah masih setengah-setengah dalam pelaksanaan
syariat Islam. Disebutkan setengah-setengah terutama sekala
dalam aspek anggaran. Pelaksanaan syariat Islam mulai dari
tingkat provinsi sampai ke tingkat daerah kabupaten kota
banyak program yang tersendat karena terkendala anggaran
di samping banyak faktor lain.
Teuku Saiful. Penerapan Syariat Islam di Aceh dalam Konteks Negara
17

Kesatuan Republik Indonesia. fhunilak.ac.id/downlot.php?file=Teuku%20


Saiful%20Penerapan% 20Syariat%20di%20Aceh.pdf. (Online). Tanggal 1
Mei 2017, hlm 15.

62 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

2) Faktor dari masyarakat. Pengetahuan masyarakat terhadap


syariat Islam masih dangkal sehingga menimbulkan
kekeliruan terhadap pemahaman terhadap syariat. Di
samping ini, juga terdapat faktor kesadaran masyarakat
terhadap penerapan syariat yang masih relatif rendah
sehingga menimbulkan pelanggaran-pelanggaran.
Sufi Abdul Muthalib menjelaskan menjelaskan bahwa
penerapan syariat Islam di Aceh ternyata terbelenggu oleh berbagai
hambatan. Pejabat-pejabat yang terkait dengan pelaksanaan
dan pengawasan pernah menyampaikan berbagai keluhan
dalam Rapat Koordinasi (Rakor) Pelaksanaan Dinul Islam yang
berlangsung di Banda Aceh awal nopember 2013 lalu. Dalam
pertemuan tersebut Gubernur Aceh mengungkapkan adanya
empat hambatan dalam pelaksanaan dinul Islam di Aceh, yaitu:
adanya upaya pendangkalan akidah, munculnya berbagai aliran
sesat, semakin terbukanya aksi-aksi pelanggaran syariat Islam di
Aceh, dan adanya pertentangan antar umat Islam di Aceh.18
Lebih lanjut Sufi Abdul Muthalib menjelaskan dalam rapat
tersebut sejumlah kepala Dinas Syariat Islam (DSI) kabupaten/
kota mengeluhkan banyak hal. Antara lain ketiadaan dana untuk
menjalankan program-program terkait penerapan Syariat Islam.
Karena itu, mereka mengusulkan adanya sharing dana/ pembiayaan
syariat Islam yang jelas antara provinsi dengan kabupaten/kota.
Para Kepala DSI pun mengaku susah memberantas judi (maisir),
minuman keras (khamar), keyboard, bahkan sabung ayam di
daerah jika di belakangnya ada oknum polisi atau tentara sebagai
beking. Bahkan razia pakaian ketat pun sering terkendala apabila
yang terkena razia itu adalah istri aparat keamanan.19
Beking dan membeking terhadap pelaksanaan syariat juga
18
M. Sufi Abdul Muthalib. Dakwah Kolaboratif Dalam Sosialisasi
Syariat Islam Di Kota Langsa. Jurnal Al-Bayan / VOL. 22 NO. 33 JANUARI -
JUNI 2016, hlm 55.
19
M. Sufi Abdul Muthalib. Dakwah Kolaboratif Dalam..., hlm 55.

Madani Publisher | 63
Dinamika Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh dalam Konteks Hukum Nasional

menjadi satu masalah dalam penerapan syariat Islam di Aceh.


Berikut dipaparkan secara rinci tentang kendala pelaksanaan
syariat Islam di Aceh yang di kutip dari hasil penelitian Sufi Abdul
Muthalib, sebagai berikut:

1) Masalah Dana. Keterbatasan dana yang dialokasikan


untuk menyukseskan pelaksanaan syariat Islam di Aceh
merupakan hambatan yang cukup serius. Karena hal ini
mengakibatkan minimnya sarana dan prasarana yang
dibutuhkan oleh instansi yang bergerak dalam bidang
penerapan syariat Islam. Pihak legislative juga terkesan
melakukan diskriminasi anggaran yang menomorduakan
syariat Islam dan lembaga yang bergerak di bidang agama
menambah hambatan pelaksanaan syariat Islam menjadi
lebih serius.

2) Pro-kontra terhadap qanun syariat. Tarik-ulur pembahasan


dan pengesahan beberapa qanun syariat membuat
implementasi syariat Islam berjalan di tempat, seperti tarik-
ulur pengesahan Qanun Jinayah. Padahal kebutuhan akan
adanya sebuah qanun Jinayah dan Qanun Acara Jinayah di
Aceh sejak dari dulu disuarakan oleh masyarakat yang peduli
syariat Islam, tetapi kenyataannya sampai saat ini belum
mencapai hasil seperti yang diinginkan untuk mengurangi
berbagai bentuk pelanggaran terhadap syariat, disamping
sebagai payung hukum bagi WH agar dapat bertindak secara
profesional dan proporsional. Selain itu, qanun yang sudah
disahkan pun terlihat belum optimal karena kenyataannya
tidak menyentuh hal-hal yang begitu subtantif dan juga
belum menyeluruh. Hal ini mengakibatkan kepada lahirnya
persepsi masyarakat tentang kurang relevansinya penerapan
syariat Islam.

3) Pengaruh Media Massa. Pengaruh media massa di Kota

64 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

Langsa, yang lebih sering mengangkat isu negatif tentang


pelaksanaan syariat Islam telah menimbulkan stigmatisasi
negatif terhadap proses penegakan syariat Islam. Padahal
idealnya, media massa dalam konteks ke-Aceh-an mampu
menjadi saluran yang mendukung penerapan syariat Islam.
Di samping itu, media massa juga kerap menampilkan berita-
berita yang tidak mendidik seperti pemberitaan kronologi
pemerkosaan, publikasi gambar berbau pornografi dan
pemberitaan asusila lainnya.

4) Intervensi Asing. Tekanan dan pengaruh negara dan


budaya barat untuk menyerang ideologi Islam dengan
menyebarluaskan ideologi SEPILIS (sekularisme,
pluralisme dan liberalisme) telah membuat penerapan
syariat Islam di Aceh tidak berjalan sempurna, seperti
desakan Organisasi Amnesti International agar hukum
cambuk di Aceh dihentikan karena di pandang sebagai
suatu pelanggaran terhadap HAM. Kondisi ini diperparah
lagi oleh kekhawatiran pemerintah terhadap kekuatan asing
yang sering berdalih atas nama pertimbangan investasi.

5) Kurang selektif penempatan SDM. Penempatan sumber daya


manusia dalam bidang pelaksanaan syariat Islam yang tidak
linear dengan keahliannya merupakan hambatan tersendiri.
Di mana, pelaksana dan petugas yang menempati bidang
syariat Islam tidak memahami secara utuh konsep syariat
Islam dan metode implementasinya. Idealnya mereka
adalah orang-orang yang berkompetensi dalam hal ini agar
langkah kerja dan kebijakannya lebih terarah.

6) Kurangnya sinergi antar instansi pemerintahan. Setelah


di bentuknya dinas Syariat Islam sebagai instansi resmi
yang menjalankan pelaksanaan syariat Islam, seolah-olah
instansi-instansi yang lain tidak punya hubungan sama

Madani Publisher | 65
Dinamika Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh dalam Konteks Hukum Nasional

sekali dalam pelaksanaan syariat Islam. Akibatnya muncul


sebuah asumsi bahwa penegakan syariat Islam tidak ada
korelasi di antara unsur-unsur pemerintahan. Sebagai
contoh, perizinan sebuah badan usaha yang hanya melihat
kepada aspek legalitas semata tanpa mempertimbangkan
nilai-nilai syariat.

7) Ketidakseriusan pemerintah. Pada satu sisi Pemerintah


Aceh merupakan lembaga yang paling bertanggung jawab
terhadap terlaksananya syariat Islam kaffah di Aceh, karena
tentang pelaksanaan syariat Islam di Aceh telah disahkan
sebagai undang-undang yang mesti dilaksanakan. Pada sisi
lain, langkah yang telah diambil oleh pemerintah dalam
mengimplementasikannya terkesan setengah hati atau
untuk kepentingan politik semata. Hal ini dibuktikan oleh
kurangnya perhatian pemerintah terhadap anggaran yang
memadai dalam bidang pelaksanaan syariat Islam. Yang
lebih ironis lagi, pemerintah sekarang malah memangkas
anggaran yang mendukung pelaksanaan syariat Islam,
seperti memangkas anggaran untuk Badan Pembinaan
dan Pendidikan Dayah (BPPD) Aceh. Kenyataan ini makin
menambah hambatan yang dialami dalam penegakan
syariat Islam kaffah di Aceh.20
Demikian beberapa kendala umum terhadap pelaksanaan
syariat Islam di Aceh. Namun, sebagai solusi keluar untuk
keberhasilan penerapan syariat Islam di Aceh butuh kesinergisan
dan kekompakan masyarakat Aceh secara bersama-sama
mendukung terhadap pemerintah Aceh terkait dengan program
syariat Islam di Aceh.

20
M. Sufi Abdul Muthalib. Dakwah Kolaboratif Dalam..., hlm 56-57.

66 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

Bab VI
Pokok-Pokok Pembahasan
Syariat Islam di Aceh

A. Pokok-Pokok Penerapan Syariat Islam di Aceh Perspektif


UU dan Qanun

Islam adalah agama rahmatan lil’alamin dan panduan


hidup terhadap umat manusia. Syariat Islam di dalamnya terdapat
pokok-pokok penting yang menjadi panutan hidup bagi manusia.
Muhibbuthabry merujuk pada penjelasan Syaltut, dan Azyumardi
Azra, dkk, bahwa syariat Islam memuat aturan-aturan Allah bagi
umat manusia yang tercermin-paling tidak pada aspek–aspek
akidah, ibadah dan mu’amalat.1

Sejalan dengan tiga aspek syariat Islam tersebut


1
Muhibbuthabry Kelembagaan Wilāyat Al-Ĥisbah Dalam Konteks
Penerapan Syariat Islam Di Provinsi Aceh. Jurnal ilmiah Peuradeun. JIP-
International Multidisciplinary. Vol. II, No. 02, Mei 2014, hlm 62.

Madani Publisher | 67
Pokok-Pokok Pembahasan Syariat Islam di Aceh

Muhibbuthabry menjelaskan bahwa:


1) Aspek pertama merupakan aspek yang paling prinsip yang
harus dijiwai oleh manusia sebagai pernyataan sikap dan
komitmen terhadap Tuhannya.

2) Aspek kedua adalah realisasi dari sikap dan pernyataan


manusia yang berwujud pada kesediaan untuk melakukan
pengabdian kepada Allah melalui cara-cara atau amaliah
yang telah mendapat justifikasinya dalam syariat.

3) Aspek ketiga (mu’amalat) merupakan aspek yang paling


luas, karena di dalamnya berisikan tema-tema humanisme,
seperti pentingnya menciptakan rasa kemaslahatan
bagi manusia dan perlunya menolak kemudaratan atau
marabahaya dan tata cara lain yang berwujud pada interaksi
terhadap sesama manusia dan alam sekitarnya.2

Implementasi ketiga aspek tersebut perlu didukung dengan


keseriusan berbagai komponen dalam sistem pemerintahan
Aceh. di samping itu juga, penting untuk Memfungsikan semua
elemen struktur pemerintahan Aceh. misalnya lembaga Wilayatul
al-Haisba (WH) sebagai lembaga bertugas pengawas terhadap
pelaksanaan syariat Islam di Aceh.

Penerapan syariat Islam secara efektif didukung dengan


roadmap yang memuat pemetaan pokok-pokok penting penerapan
syariat Islam di Aceh. Roadmap ini bertujuan agar pelaksanaan
syariat tersistematis dan tertruktur. Di samping itu, roadmap juga
memiliki tujuan untuk mendukung kesuksesan program syariat
Islam yang di programkan pemerintah Aceh, khususnya dinas
syariat Islam.

Berikut penulis mengutip pokok-pokok penerapan syariat


2
Muhibbuthabry Kelembagaan Wilāyat Al-Ĥisbah..., hlm 62.

68 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

Islam di provinsi Aceh berdasarkan ketetapan Undang-Undang,


sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 Tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa
Aceh. Bab III penyelenggaraan keistimewaan, Pasal 3
menetapkan bahwa:

(1) Keistimewaan merupakan pengakuan dari bangsa


Indonesia yang diberikan kepada Daerah karena
perjuangan dan nilai-nilai hakiki masyarakat yang
tetap dipelihara secara turun temurun sebagai landasan
spiritual, moral, dan kemanusiaan.

(2) Penyelenggaraan Keistimewaan meliputi :

a. Penyelenggaraan kehidupan beragama;


b. Penyelenggaraan kehidupan adat;
c. Penyelenggaraan pendidikan; dan
d. Peran ulama dalam penetapan kebijakan Daerah.

2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi


Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam. Bab I ketentuan umum, Pasal 1
poin nomor 2 menetapkan bahwa, Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam adalah Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang
diberi otonomi khusus dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia.

3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang


Pemerintahan Aceh. Bab XVII syariat Islam dan pelaksanaan,
Pasal 125 menetapkan:

(1) Syari’at Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi aqidah,


syar’iyah dan akhlak.

Madani Publisher | 69
Pokok-Pokok Pembahasan Syariat Islam di Aceh

(2) Syari’at Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


meliputi ibadah, ahwal alsyakhshiyah (hukum keluarga),
muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana),
qadha’ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar,
dan pembelaan Islam.

Pokok-pokok yang menjadi bagian dalam pelaksanaan


syariat Islam di Aceh sudah cukup jelas berdasarkan ketetapan UU
Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan
Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU Nomor 11 Tahun 2006
Tentang Pemerintahan Aceh.

Sementara dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001


Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh
sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, tidak ditetapkan
tentang pokok-pokok syariat Islam. Namun, dengan status
otonomi khusus, Aceh memiliki hak untuk melaksanakan syariat
Islam di Aceh secara kaffah.

B. Pokok-Pokok Penerapan Syariat Islam Perspektif Qanun


Nomor 8 Tahun 2014

Penerapan syariat Islam secara kaffah merupakan bagian


dari tanggung jawab dan tugas pemerintah daerah provinsi Aceh.
Oleh karena itu, DPRA dan gubernur Aceh telah bekerja sama
dalam menyusun dan mengesahkan Qanun Nomor 8 Tahun 2014
Tentang Pokok-Pokok Syariat Islam di provinsi Aceh sebagai
realisasi dari UU Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan
Aceh.

Zulkhairi menjelaskan dalam rangka menyukseskan


agenda penegakan syariat Islam di Aceh serta memudahkan untuk
memahami ruang lingkupnya, pemerintah Aceh telah menetapkan
pokok-pokok syariat Islam untuk diberlakukan.3 Pokok-pokok
3
Teuku Zulkhairi. Syariat Islam Membangun..., hlm 115.

70 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

tersebut kemudian ditetapkan dalam qanun pemerintahan Aceh.


Adapun pokok-pokok penerapan syariat Islam di provinsi
Aceh merujuk pada Qanun Nomor 8 Tahun 2014 Tentang Pokok-
Pokok Syariat Islam. Bab II Ruang Lingkup, Tujuan Dan Fungsi
Pelaksanaan Syariat Islam, Pasal 2 menetapkan:

(1) Syariat Islam mencakup seluruh aspek kehidupan


masyarakat dan aparatur di Aceh yang pelaksanaannya
meliputi:

a. Aqidah;
b. Syariah; dan
c. Akhlak.

(2) Pelaksanaan Syariat Islam bidang Syariah sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:

a. ibadah;
b. ahwal al-syakhshiyah (hukum keluarga);
c. muamalah (hukum perdata);
d. jinayat (hukum pidana);
e. qadha’ (peradilan);
f. tarbiyah (pendidikan); dan
g. pembelaan Islam.

(3) Pelaksanaan Syariat Islam bidang Akhlak sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:

a. syiar; dan
b. dakwah.

Madani Publisher | 71
Pokok-Pokok Pembahasan Syariat Islam di Aceh

C. Tanggung Jawab Pemerintah Aceh terhadap Penerapan


Syariat Islam di Aceh
Penerapan syariat Islam di Aceh adalah tanggung jawab
bersama, masyarakat dan pemerintah daerah provinsi Aceh. Oleh
karena itu, keberhasilan dan kegagalan terhadap penerapan syariat
di Aceh tanggung jawab bersama.

Sehubungan dengan tanggung jawab pemerintah terhadap


penerapan syariat Islam di Aceh merujuk pada ketetapan Qanun
Nomor 8 Tahun 2014 Tentang Pokok-Pokok Syariat Islam, Bab IV,
Pasal 5, menetapkan bahwa Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan
Kabupaten/Kota bertanggung jawab atas penyelenggaraan
pelaksanaan Syariat Islam.

Selain tanggung jawab pemerintah provinsi Aceh,


penerapan syariat Islam di Aceh juga tanggung jawab masyarakat
Aceh. Di samping itu, setiap orang yang menetap di Aceh wajib
menghormati pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Hal ini, juga
mengacu pada ketetapan Qanun Nomor 8 Tahun 2014 Tentang
Pokok-Pokok Syariat Islam, Bab IV, Pasal 7, menetapkan:

(1) Setiap orang beragama Islam di Aceh wajib mentaati dan


mengamalkan Syariat Islam.

(2) Setiap orang atau badan hukum yang berdomisili atau


berada di Aceh wajib menghormati pelaksanaan Syariat
Islam.

Kesuksesan penerapan syariat Islam mulai dari tingkat


provinsi hingga sampai tingkat kabupaten/kota di Aceh butuh
pada sosialisasi secara terus menerus. Aspek ini juga menjadi
tanggung jawab pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/
kota, sebagaimana ketetapan Qanun Nomor 8 Tahun 2014
Tentang Pokok-Pokok Syariat Islam, Bab IV, Pasal 6, menetapkan

72 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

bahwa “Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota


berkewajiban mengembangkan, meningkatkan pemahaman
aparatur pemerintahan dan masyarakat, membimbing dan
mengawasi pelaksanaan Syariat Islam dengan sebaik-baiknya”.
Demikian, tanggung jawab terhadap pelaksanaan syariat Islam di
provinsi Aceh.

Madani Publisher | 73
Pokok-Pokok Pembahasan Syariat Islam di Aceh

74 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

Bab VII
Qanun Syariat Islam:
Definisi, Eksistesi dan Esensinya

A. Definisi Qanun
Qanun pada umumnya dipahami dengan peraturan.
Namun untuk mencari kejelasan pengertian tentang qanun berikut
di paparkan pengertian qanun secara termonilogi, padangan
tokoh, dan Undang-Undang, sebagai berikut:
1. Etimologi Qanun
Istilah qanun dalam bahasa Arab ditulis ‫ قانون‬m e r u p a k a n
bentuk kata kerja dari ‫( قان‬dibaca qanna). Hal ini sebagaimana
penjelasan Ridwan, dalam bahasa Arab kata kerja qanun adalah
qanna yang artinya membuat hukum yang artinya membuat
hukum (to make law, to legislate). Dalam perkembangannya, kata
qanun berarti hukum (law), peraturan (rule, regulation), Undang-

Madani Publisher | 75
Qanun Syariat Islam: Definisi, Eksistesi dan Esensinya

Undang (statute, code).1


Sumber lain, Efendi merujuk pada Mohd. Din, menjelaskan
bahwa kanon berasal dari kata Yunai kuno, yang berarti buluh.
Oleh karenanya pemakaian “buluh” dalam kehidupan sehari-hari
pada zaman itu adalah untuk mengukur, maka kanon juga berarti
sebatang tongkat atau kayu pengukur atau penggaris.2
Lebih lanjut Ridwan merujuk pada A. Qodri Azizy
menjelaskan, istilah qanun sebagai sebuah terminologi hukum
sudah dipakai oleh al-Mawardi dalam kitabnya al-Ahkam al-
Sultaniyah. Dalam praktiknya, penggunaan kata qanun digunakan
untuk menunjukkan hukum yang berkaitan dengan masyarakat (
mu’amalat bayna al-nas) bukan ibadah.3
Selain itu, istilah qanun dipakai juga untuk dokumen-
dokumen yang bernuansa hukum, seperti daftar (list), rekaman
pajak tanah (register and list recording land taxes). Mahmassani
dalam bukunya menyebutkan tiga macam makna qanun:
1) Kodifikasi hukum (kitab undang-undang) seperti qanun
pidana Libanon (KUHP Turki Usmani, KUH Perdata
Libanon, dll).
2) Sebagai istilah padanan untuk hukum ilmu qanun berarti
ilmu mengenai qanun, qanun Islam berarti hukum Islam.
Qanun NAD berarti Peraturan Daerah (Perda) Nanggroe
1
Ridwan. Positivisasi Hukum Pidana Islam (Analisis Atas Qanun
No: 14/2003 Tentang Khalwat/Mesum Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam).
http:// download.portalgaruda.org/article.php?article=402867&val=3907&t
itle=POSITIVISASI HUKUM PIDANA ISLAM (Analisis atas Qanun No:
14/2003 Tentang Khalwat/Mesum Provinsi Nangroe Aceh Darussalam).
(Online). Tanggal 3 Mei 2017.
2
Efendi. Kedudukan Qanun Bidang Sumberdaya Alam Dalam Sistem
Hukum Nasional. Jurnal Dinamika Hukum. Vol. 14. No. 1 Januari 2014, hlm
30.
3
Ridwan. Positivisasi Hukum Pidana Islam..., t.h.

76 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

Aceh Darussalam.
3) Undang-Undang. Apa bedanya yang pertama dengan
yang ketiga ini? Yang pertama itu sifatnya lebih umum
sedangkan yang ketiga ini sifat lebih khusus, misalnya
khusus UU perkawinan saja.4
Secara terminologi sebagaimana disebutkan di atas, qanun
merupakan ketetapan hukum yang berlaku dalam masyarakat
dan digunakan untuk kemaslahatan masyarakat. Qanun dalam
tinjauan istilah, sebagaimana penjelasan tersebut bukan aturan
terhadap ibadah saja, tetapi termasuk aspek mu’amalah antar
sesama manusia yang ditetapkan oleh pemerintah.
2. Terminologi Qanun
Berikut terminologi qanun dalam beberapa penjelasan,
berdasarkan referensi yang ditemukan:
1) Al-Yasa’ Abubakar, Qanun adalah peraturan daerah
yang setingkat dengan peraturan pemerintah untuk
melaksanakan otonomi khusus di Aceh.5
2) Qanun merupakan produk hasil ijtihad yang menjadi
sebagai hukum untuk diterapkan dalam wilayah tertentu.
Salah satu sumber menjelaskan qanun adalah kumpulan
kaidah mengatur dasar dan hubungan kerja sama antara
sesama anggota masyarakat dalam sebuah negara, baik
secara tertulis maupun secara tidak tertulis.6 Dalam
pengertian ini, memaknakan qanun dalam arti yang luas
yaitu mencakup segala peraturan.
4
M. Solly Lubis. Aceh Mencari Format Khusus. Jurnal Hukum. Vol.
01. No. 1 Tahun 2005, hlm 6.
5
Marzuki Abubakar. Syariat Islam di Aceh..., hlm 157.
6
http://digilib.uinsby.ac.id/10810/5/Bab%202.pdf. (Oline). Tanggal 5
Mei 2017.

Madani Publisher | 77
Qanun Syariat Islam: Definisi, Eksistesi dan Esensinya

3) Sumber dari Jabbar Sabil merujuk pada penjelasan Al-


Najjar dan Abdul Allah Mubruk secara terminologi
kata qanun berati kumpulan kaedah yang mengatur
hubungan masyarakat-di mana jika diperlukan seseorang
akan dipaksa oleh pemerintah untuk mengikuti aturan
tersebut.7
4) Sebutan qanun atau al-qanun tertuju pada hukum
yang dibuat oleh manusia atau disebut juga hukum
konvensional. Abdul Kareem menyebutkan, hukum
konvensional/al-qanun al-wadh’iy adalah hukum yang
dihasilkan oleh (kehendak) manusia, sebagai lawan
dari hukum yang bersumber dari Tuhan/al qawaaniin/
al syara’i ilahiyyah. Namun dalam perkembangannya
mengarah pada hukum yang sedang berlaku di suatu
negara pada waktu tertentu, atau menunjuk pada hukum
positif.8
Merujuk pada penjelasan tersebut, menurut penulis qanun
adalah ketentuan hukum berdasarkan fiqh yang diperoleh melalui
ijtihad ulama atau fuqaha’ yang berfungsi sebagai aturan atau
hukum untuk wilayah tertentu. Hal ini sejalan dengan penjelasan
Rusdji Ali Muhammad bahwa qanun dihasilkan melalui proses
metode pemilihan hukum dari khazanah pemikiran dan ijtihad
para fuqaha’. Selain itu juga harus dibuka peluang penemuan
hukum atau ijtihad baru dalam hal-hal yang dibutuhkan pada
masa kini.9
Penetapan hukum syariat Islam dalam qanun sebagai
upaya mengaktualisasikan program syariat Islam yang diterapkan
pada suatu daerah, seperti daerah Aceh, sehingga memberikan
7
Jabbar Sabil. Peran Ulama Dalam Taqnin Di Aceh. Jurnal
Transformasi Administrasi. Vol. 02. NO. 01. Tahun 2012, hlm 201.
8
Efendi. Kedudukan Qanun Bidang Sumber Daya Alam Dalam Sistem
Hukum Nasional. Jurnal dinamika hukum. vol. 14. No. 1 Januari 2014, hlm 30.
9
Rusdji Ali Muhammad. Revitalisasi Syariat Islam Di Aceh..., hlm 8.

78 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

kejelasan aspek-aspek hukum dalam penerapannya.


3. Qanun dalam ketetapan Undang-Undang
Istilah qanun menjadi populer di Aceh sejalan dengan
penerapan syariat Islam. Namun demikian, masih ada juga
yang belum tahu pasti pengertian qanun berdasarkan ketetapan
Undang-Undang. Untuk itu, berikut ditulis pengertian qanun
berdasarkan ketetapan Undang-Undang:
1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh
sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Bab I
ketentuan umum, Pasal 1 poin nomor 8 menetapkan
bahwa, Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
adalah Peraturan Daerah sebagai pelaksanaan undang-
undang di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus.
2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh. Bab I ketentuan umum, Pasal 1
menetapkan, poin nomor:

21. Qanun Aceh adalah peraturan perundang-


undangan sejenis peraturan daerah provinsi yang
mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan
kehidupan masyarakat Aceh.
22. Qanun kabupaten/kota adalah peraturan
perundang-undangan sejenis peraturan daerah
kabupaten/kota yang mengatur penyelenggaraan
pemerintahan dan kehidupan masyarakat
kabupaten/kota di Aceh.

Madani Publisher | 79
Qanun Syariat Islam: Definisi, Eksistesi dan Esensinya

Dilihat dari aspek pengertiannya qanun Aceh sama


dengan peraturan provinsi atau kabupaten/kota lainnya yang
ada di Indonesia, akan tetapi penyamaan qanun Aceh dengan
Peraturan Daerah (Perda) tidak tepat. Disebutkan tidak tepat
karena qanun Aceh memiliki khas bernuansa Islam. Perbedaan
mendasar qanun Aceh dengan Perda daerah lain berupa; qanun
Aceh terdapat tuntunan terhadap pelaksanaan syariat Islam di
Aceh, sementara Perda tidak terdapat unsur kewajiban terhadap
pelaksanaan syariat Islam.
Selain itu, terdapat pula perbedaan lain, sebagaimana
penjelasan Jum Anggraini dalam Ali Geno Berutu, perbedaan
tersebut adalah qanun Aceh dapat berisikan aturan-aturan tentang
hukum acara materil dan formil.10 Demikian sekilas perbedaan
qanun Aceh dengan Perda Daerah lain.

B. Qanun Syariat Islam di Aceh


1. Qanun pada masa Kerajaan Aceh Darussalam
Qanun memiliki artinya undang-undang. Istilah qanun
ternyata telah digunakan sejak lama. Hal ini sebagaimana
penjelasan Al-Yasa’ Abubakar, istilah qanun sudah digunakan sejak
lama sekali dalam bahasa atau budaya Melayu. Kitab “Undang-
Undang Melaka” yang disusun pada abad ke lima belas atau enam
belas Masehi telah menggunakan Istilah ini. Menurut Liaw Yock
Fang dalam Al-Yasa’ Abubakar, Istilah ini dalam budaya Melayu
digunakan semakna dengan adat dan biasnya dipakai ketika ingin
membedakan antara hukum yang tertera dalam adat dengan
hukum yang tertera dalam kitab fiqih.11
10
Ali Geno Berutu. Penerapan Syariat Islam Dalam Lintasan Sejarah
Aceh. Jurnal Hukum, Vol. 13, No. 2, Tahun 2016, hlm 183.
11
Al-Yasa’Abubakar. Dkk. Hukum Pidana Islam Di Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam. Cet. II. (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi NAD,
2007), hlm 6.

80 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

Al-Yasa’ Abubakar melanjutkan, kuat dugaan istilah qanun


masuk ke dalam budaya Melayu dan berbahasa Arab karena
mulai digunakan bersamaan dengan kehadiran agama Islam dan
dipergunakan bahasa Arab Melayu di Nusantara. Bermanfaat
disebut, dalam literatur Barat pun istilah ini sudah digunakan
sejak lama, di antaranya merujuk kepada hukum Kristen (canon
law) yang sudah ada sejak sebelum zaman Islam.12
Penggunaan istilah qanun di Aceh telah pakai sejak masa
Sultan Alauddin Mansur Syah, pada masa ini terdapat sebuah
naskah berjudul “Qanun Syara’ Kerajaan Aceh” di tulis oleh
Teungku di Mulek pada tahun 1257 H atas perintah Sultan Alauddin
Mansur Syah yang wafat tahun 1870 M.13 Isi naskah ini memuat
cakupan pembahasan; bidang hukum tata negara, pembagian
kekuasaan, badan peradilan dan kewenangan mengadili, fungsi
kepolisian dan kejaksaan, serta aturan protokoler dalam berbagai
upacara kenegaraan.
Suatu sumber menyebutkan bahwa sebelum kerajaan
Aceh dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda, lembaga pemerintah
untuk membuat qanun belum ada/ belum dibuat di kerajaan Aceh
Darussalam. Qanun dibuat berdasarkan saran dan prakarsai oleh
Putroe Phang (Putri Pahang), nama aslinya Putri Kamaliyah, beliau
adalah istri/permaisuri Sultan Iskandar Muda, berasal dari Negeri
Pahang Malaysia. Suatu hari Putri memberi/menyampaikan
kepada Sultan, bahwa ada baiknya di Kerajaan Aceh Darussalam
dibentuk Mahkamah Rakyat. Guna mahkamah rakyat sebagai
salah satu Lembaga Tinggi Kerajaan (Negara). Tempat perwakilan
rakyat bermusyawarah/bersidang mencari solusi agar mendapat
kesepakatan membuat undang-undang dalam pemerintahan
Aceh, maka dibuatlah qanun.14
12
Al-Yasa’ Abubakar. Dkk. Hukum Pidana Islam..., hlm 6.
13
Al-Yasa’ Abubakar. Dkk. Hukum Pidana Islam..., hlm 6.
14
Muhammad Umar. Peradaban Aceh (Tamadun). Diterbitkan Oleh:
CV. Boebon Jaya, 2008, hlm 73.

Madani Publisher | 81
Qanun Syariat Islam: Definisi, Eksistesi dan Esensinya

Qanun ini menjadi peraturan yang berlaku dikalangkan


kerajaan Aceh Darussalam kala itu. Di samping itu, qanun juga
bertujuan untuk memberikan keadilan bagi rakyat Aceh dan
sekaligus menjadi wadah/tempat menampung aspirasi masyarakat
yang datang dari seluruh wilayah Kerajaan Aceh Darussalam.
Sultan Iskandar muda memenuhi permintaan terhadap
permaisuri Putroe Phang (Putri Pahang) untuk membentuk
Mahkamah Rakyat, setelah itu dibangun juga tempat
bermusyawarah yang disebut Balee Rakyat.15 Hal ini menunjukkan
bahwa pada Mahkamah Rakyat dan Balee Rakyat telah ada pada
masa sultan Iskandar Muda dan digunakan sebagai tempat
musyawarah.
Keberhasilan Putroe Phang (Putri Pahang) dalam
memprakarsai terhadap pembentukan Mahkamah Rakyat.
Kemudian, untuk mengingat jasanya, Putroe Phang (Putri Pahang)
di jadikan sebagai simbol qanun. Akhirnya lahirlah ungkapan
QANUN BAK PUTROE PHANG.16 Demikian andil Putroe Phang
(Putri Pahang) dalam pembentukan Mahkamah Rakyat.
Sebagaimana pada disinggung pada penjelasan
sebelumnya bahwa Masa keemasan kerajaan Aceh Darussalam
berada pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-
1636). Saat itu kerajaan Aceh Darussalam telah berlaku hukum
Islam, sesuai dengan agama yang dianut oleh masyarakat Aceh.
Hal ini dapat dilihat dengan adanya kodifikasi hukum-hukum
Islam yang dibuat oleh para ulama yang kemudian ditetapkan
menjadi Undang-Undang (Qanun) yang berlaku di kerajaan Aceh
Darussalam. Di antara Qanun tersebut adalah Qanun al-Asy yang
disebut juga Adat Meukuta Alam, Sarakata Sultan Syamsul Alam,
dan Kitab Safînah al-Hukkâm fî Takhlîsh al-Khashshâm.17
15
Muhammad Umar. Peradaban Aceh (Tamadun)..., hlm 73.
16
Muhammad Umar. Peradaban Aceh (Tamadun)..., hlm 74.
17
Misran. Pelaksanaan Syari’at Islam Di Aceh..., hlm 160.

82 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

Qanun kerajaan Aceh Darussalam sangat populer dengan


sebutan “Adat Meukeuta Alam”.18 Hal ini dikarenakan oleh
sebagian dari qanun tersebut dijadikan sebagai peraturan atau
adat kerajaan. Hal ini juga yang membuat istilah tersebut tertukar-
tukar penyebutannya dikalangkan masyarakat Aceh. Terkadang
kedua kata tersebut “Adat dan Qanun” diartikan sama dengan
peraturan.
Penting untuk diketahui bahwa kejayaan Kerajaan
Aceh Darussalam dan qanun Aceh kala itu telah diketahui oleh
semua bangsa se-Asia tenggara sampai ke Eropa.19 Qanun Aceh
sangat berpengaruh dan menjadi contoh terhadap kerajaan di
Asia tenggara, termasuk di sekitarnya. Hal tersebut disebabkan
karena kerajaan yang ada di Asia tenggara belum memiliki sistem
pemerintahan seperti Aceh. Bahkan kala itu kerajaan Aceh
Darussalam sudah mempunyai sistem pemerintahan demokrasi
federal.
Sistem pemerintahan demokrasi federal tersebut
sebagaimana terungkap dalam hadis maja yang sangat populer
bagi masyarakat Aceh, sebagai berikut:
Adat Bak Poteu Meureuhom
Hukum Bak Syiah Kuala
Qanun Bak Potroe Phang
Reusam Bak Laksamana
Berikut penjelasan terkait dengan arti dari kata-kata hadis
maja tersebut penulis mengutip dari Muhammad Umar, sebagai
berikut:
1) Adat adalah pelaksana pemerintah/ kekuasaan. Sebagai
simbol kekuasaan itu ialah Alm. Sultan Iskandar Muda.
Muhammad Umar. Peradaban Aceh (Tamadun)..., hlm 85.
18

Muhammad Umar. Peradaban Aceh (Tamadun)..., hlm 86.


19

Madani Publisher | 83
Qanun Syariat Islam: Definisi, Eksistesi dan Esensinya

Menurut teori demokrasi namanya eksekutif.


2) Hukom adalah pelaksana/pemegang kekuasaan bidang
hukum. sebagai simbol tersebut diambil ulama besar
dizamannya, yaitu Alm. Syiah Kuala. Nama aslinya Sech
Abdurrauf, sekarang disebut yudikatif.
3) Qanun mempunyai arti sebagai undang-undang.
Undang-undang (qanun) itu dirancang/dibuat dan
dimusyawarahkan melalui sidang mahkamah rakyat, di
zaman demokrasi sekarang namanya Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR). Oleh karena yang memprakarsai
pembentukan Mahkamah Rakyat Putroe Phang, maka
untuk mengenang jasanya, sebagai simbol dari Mahkamah
Rakyat diambil nama Putroe Phang sebagai simbol
Legeslatif.
4) Reusam, arti reusam apabila ditafsirkan sesuai dengan
maksud isi reusam itu adalah adab. Dikatan adab karena
maksud reusam itu sekarang terkandung tiga unsur, yaitu
diplomasi, keprotokolan, dan etika. Dalam ketiga unsur
itulah terkandung adab (peradaban) suatu bangsa, karena
yang berperan sebagai pelaksana itu ada dua; Laksaeumana
dan Bintara. Sebagai simbol reusam disebut Laksamana
dan Bintara.20
Kejayaan kerajaan Aceh Darussalam mencapai puncak
pada masa Iskandar Muda (1607-1636 M) dan qanun Al-Asyi
sebagai peraturan yang diterapkan dalam sistem pemerintahan.
Di samping itu, qanun Al-Asyi juga menjadi pedoman terhadap
kerajaan-kerajaan pada zaman itu.
Qanun Al-Asyi tersebut bersumber dari Al-Qur’an
dan Hadis, ijmak Ulama dan qiyas. Aspek ini menandakan
bahwa penerapan peraturan, hukum atau Undang-Undang
20
Muhammad Umar. Peradaban Aceh (Tamadun)..., hlm 86.

84 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

di kerajaan sangat identik dengan hukum Islam. Muhammad


Umar menjelaskan, atas dasar empat sumber tersebut, kemudian
dibentuklah empat jenis hukum, yaitu:
1) Kekuasaan adat (eksekutif) dipegang oleh Sultan
Malikul Adil.
2) Kekuasaan hukum (yudikatif) dipegang oleh Kadhi
Malikul Adil.
3) Kekuasaan Qanun (legeslatif) dipegang oleh Mahkamah
Rakyat (sekarang DPR).
4) Kekuasaan Reusam (Adab, Tertib) dipegang oleh
Lakseumana dan bila Kerajaan dalam keadaan darurat,
Sultan memberi kuasa pada Lakseumana untuk
bertindak.21
Demikian penjelasan Qanun Aceh pada masa Kerajaan
Islam Aceh Darussalam. Historis tersebut semoga menjadi
inspirasi terhadap masyarakat Aceh dewasa ini dalam penerapan
qanun syariat Islam untuk menciptakan kembali kejayaan Islam
yang sudah pernah mencapai kejayaan pada masa Sultan Iskandar
Muda.
2. Qanun syariat Islam di provinsi Aceh.
Qanun syariat Islam yang ada di provinsi Aceh saat ini
merupakan kebijakan dan manifestasi atau lahir setelah kebijakan
pemerintah pusat berupa; Undang-Undang Nomor 44 Tahun
1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah
Istimewa Aceh, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang
otonomi khusus bagi provinsi daerah keistimewaan Aceh sebagai
provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan
21
Muhammad Umar. Peradaban Aceh (Tamadun)..., hlm 87.

Madani Publisher | 85
Qanun Syariat Islam: Definisi, Eksistesi dan Esensinya

Aceh atau lebih dikenal dengan sebutan UUPA.


Realisasi UU tersebut, pelaksanaan keistimewaan Aceh dan
otonomi khusus, termasuk pelaksanaan syariat Islam di provinsi
Aceh tentu perlu didukung dengan peraturan pelaksanaan syariat
Islam (qanun). Untuk itu, perancangan qanun pelaksanaan syariat
Islam ini diberi kewenangan kepada pemerintah Aceh untuk
membuat qanun tersebut.
Penerapan syariat Islam di provinsi Aceh mulai sejak
kebijakan UU tersebut diberikan oleh pemerintah pusat. Mulai
sejak itu, penerapan syariat Islam di provinsi Aceh telah melahirkan
sejumlah qanun. Adapun qanun tersebut sebagai berikut:
1) Peraturan daerah Nomor 5 Tahun 2000 tentang
pelaksanaan syariat Islam di provinsi Daerah Istimewa
Aceh.
2) Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat
Islam
3) Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan
Syariat Islam bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam.
4) Qanun Nomor 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar
dan Sejenisnya.
5) Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Mesir (Perjudian).
6) Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum).
7) Qanun Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat.
8) Qanun Nomor 11 Tahun 2004 tentang Tugas Fungsional
Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam.
9) Qanun Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata Cara
Pembentukan Qanun.
10) Qanun nomor 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal.

86 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

11) Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.


12) Qanun Nomor 8 Tahun 2014 tentang Pokok-Pokok
Syariat Islam.
13) Qanun Nomor 7 Tahun 2015 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan Yang Berkaitan Dengan Syariat
Islam Antara Pemerintahan Aceh Dan Pemerintahan
Kabupaten/Kota.
14) Qanun Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan
Atas Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2014 Tentang
Penyelenggaraan Pendidikan.
Selain qanun tersebut di atas terdapat pula qanun lain,
misalnya Qanun Nomor 7 Tahun 2004 tentang pengelolaan zakat,
yang telah diubah dengan qanun nomor 10 tahun 2007 tentang
Baitul Mal.
Pemberlakuan qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Hukum Jinayat pada poin 8 di atas, merupakan penyempurnaan
terhadap; (1) Qanun Nomor 12 Tahun 2003 tentang Minuman
Khamar dan Sejenisnya, (2) Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Mesir (Perjudian), dan (3) Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang
Khalwat (Mesum). Fauzi menjelaskan, qanun jinayat tersebut
menjadi landasan pelaksanaan jinayat di Aceh.22
Kepala Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh, Prof. Syahrizal
Abbas, mengatakan, qanun tentang hukum jinayah23 Ini menjadi
payung hukum baru sebagai penguatan penerapan syariat Islam
di Aceh. Qanun ini akan berlaku mulai Jumat 23 Oktober 2015
besok. “Dalam qanun ini selain hukuman 100 kali cambuk, juga
diatur tentang denda bagi pelanggar. Selain itu, qanun Jinayah
juga mengatur tujuh hukuman pidana baru yakni bagi pelaku
22
Fauzi. Hak Asasi Manusia Dan Penerapan Syariat Islam Di Aceh.
Cet. I. (Banda Aceh: NASA, 2017), hlm 234.
23
Qanun jinayat merupakan peraturan pemerintah daerah di Aceh
tentang hukum pidana pelaksanaan syariat Islam.

Madani Publisher | 87
Qanun Syariat Islam: Definisi, Eksistesi dan Esensinya

zina, liwath (praktik homo seksual), musahaqah (praktik lesbian),


ikhtilat (bercumbu tanpa ikatan nikah), qadzaf (menuduh orang
lain berzina tanpa bisa menunjukkan bukti dan empat saksi),
pelecehan seksual dan pemerkosaan.24
Qanun-qanun tersebut pada dasarnya berfungsi sebagai
peraturan perundang-undangan untuk pelaksanaan syariat Islam
di Aceh secara kaffah, yang merupakan amanat dari Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh.

C. Eksistensi dan Esensi Qanun Syariat Islam


1. Eksistensi qanun terhadap pelaksanaan syariat Islam di Aceh
Eksistensi qanuan yang dimaksudkan di pada bahasan
ini adalah kedudukan qanun pelaksanaan syariat Islam di Aceh
dan sistem hukum nasional. Qanun Aceh merupakan perundang-
undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh
(DPRA) provinsi Aceh dan disahkan oleh Gubernur Aceh
sebagai kepala pemerintahan Aceh setelah mendapat persetujuan
bersama.
Qanun pelaksanaan syariat Islam Aceh memiliki
kedudukan hukum sebagai dari pada sistem hukum nasional.
Jika ditelusuri dalam tata urutan peraturan Perundang-Undangan
Negara Republik Indonesia, sebagaimana ketetapan MPR
Nomor III/MPR/2000 tentang Peraturan tata urutan peraturan
Perundang-Undangn Negara Republik Indonesia, sebagai berikut:
1) Undang-Undang Dasar 1945.
2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik
Indonesia (Ketetapan MPR).
3) Undang-Undang.
24
http://news.detik.com/berita/3050578/hukum-jinayah-berlaku-gay-
dan-lesbi-di-aceh-bakal-dihukum-cambuk-100-kali. (Online). Tanggal 1 Mei
2017.

88 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang


(Perpu).
5) Peraturan Pemerintah.
6) Keputusan Presiden.
7) Peraturan Daerah.25
Qanun syariat Islam provinsi Aceh berdasarkan tata
urutan ketetapan tersebut berada pada urutan ketujuh, yaitu
Peraturan Daerah (Perda). Hal ini menunjukkan bahwa
qanun memiliki kedudukan sebagai sub-sistem tata peraturan
Perundang-Undangan nasional, bahkan sistem hukum nasional
pada umumnya. Karena itu qanun sebagai peraturan daerah
“plus” tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi tingkatannya.26
Eksistensi dan kedudukan qanun sangat kuat kedudukannya
terhadap pelaksanaan syariat Islam di Aceh, sehingga penerapan
syariat Islam di Aceh sepenuhnya diatur dalam ketetapan qanun
Aceh. Qanun pelaksanaan syariat Islam di Aceh memiliki
kedudukan yang setara dengan Perda dan merupakan bagian
dari sub-sistem peraturan perundang-undangan nasional.

2. Esensi qanun terhadap pelaksanaan syariat Islam di Aceh


Pelaksanaan syariat Islam di provinsi Aceh didukung
dengan qanun Aceh sebagai pengaturan hukum dan memiliki
kedudukan yang kuat berdasarkan azas lex spesialis. Al-Yasa’
Abubakar, Qanun Aceh merupakan peratuaran Daerah yang setara
dengan peraturan pemerintah (PP) untuk melaksanakan otonomi
khusus di Aceh, atau paling kurang merupakan Perda “Plus”.
Karena dapat melaksanakan Undang-Undang secara langsung
25
Syahrial Syarbaini. Pendidikan Pancasila (Implementasi Nilai-Nilai
Karakter Bangsa) Di Perguruan Tinggi. Cet. IV. (Bogor: Ghalia Indonesia,
2011), hlm 110.
26
Al-Yasa’ Abubakar. Dkk. Hukum Pidana Islam..., hlm 8.

Madani Publisher | 89
Qanun Syariat Islam: Definisi, Eksistesi dan Esensinya

dan dapat mengesampingkan peraturan lain berdasarkan azas lex


spesialis.27
Pandangan hampir sama juga dijelaskan Abdul Gani
Isi dalam disertasinya menjelaskan bahwa qanun Aceh yang
mengatur tentang syariat Islam, berbeda dengan perda di provinsi
lain, karena di Aceh di samping daerah bersifat “istimewa” juga
diberikan “otonomi khusus”, yang seluas-luasnya untuk mengatur
daerahnya sebdiri. Pengaturan materi qanun jinayat, tidak
mungkin sama dengan ketentuan dalam hukum positif. Materi
qanun jinayat bersumber Al-Quran, Al-sunnah dan pendapat
para ulama, sedangkan materi pidana umum sumber hukumnya
KUHP. Dengan demikian qanun Aceh dapat mengesampingkan
peraturan yang lebih tinggi sesuai azas lex spesialis derogate lex
generalis. Dan kalaupun ada materi yang bertentangan, maka yang
berhak mengujinya adalah mahkamah Agung bukan menteri
dalam negeri dan presiden.28
Terkait dengan eksistensi qanun Aceh juga dapat dari
penjelasan Sehat Ihsan Shadiqin bahwa setelah keluar UU No. 11
Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, UU No. 18 Tahun 2001
tersebut di atas tidak berlaku lagi. UU ini menegaskan keniscayaan
lahirnya perundang-undangan organik lain yang mengatur
syariat Islam dalam tataran operasional di Aceh yang disebut
qanun. Qanun lahir melalui proses legislasi di DPRA selayaknya
peraturan daerah yang lain. Qanun inilah yang kemudian menjadi
hukum materil dan hukum formal syariat Islam di Aceh. Pada
umumnya, qanun berisi formalisasi hukum fiqh Islam yang
memang sudah sejak lama. Tidak semua ketentuan yang ada
dalam fiqh Islam dapat menjadi qanun syariat Islam di Aceh;
pemilihannya disesuaikan dengan konteks dan kepentingan Aceh
27
Abdul Gani Isa. Formulasi Syariat Islam Di Aceh Dan Perwujudannya
Dalam Sistem Hukum Indonesia. Penelitian Disertasi, Banda Aceh: Program
Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Ar-Raniry, 2012, hlm 147.
28
Abdul Gani Isa. Formulasi Syariat Islam Di Aceh..., hlm 151.

90 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

dan hukum nasional Indonesia. Demikian juga beberapa hukum


yang ada dalam fiqh Islam disesuaikan dengan perkembangan
masyarakat di Aceh.29
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat diuraikan bahwa
esensi atau peran qanun Aceh terhadap pelaksanaan syariat Islam
di Aceh, sebagai berikut:
1) Pemerintah Aceh memiliki kewenangan penuh
terhadap pelaksanaan syariat Islam.
2) Qanun Aceh dapat mengesampingkan peraturan yang
lebih tinggi sesuai azas lex spesialis.
3) Ketetapan pelaksanaan syariat Islam dalam qanun di
sesuaikan dengan konteks dan kebutuhan masyarakat
Aceh.

D. Kedudukan Qanun Nomor 6 Tahun 2014 terhadap


Pelaksanaan Syariat Islam
Pembentukan dan pemberlakuan qanun Nomor 6 Tahun
2014 tentang Hukum Jinayat, merupakan penyempurnaan
terhadap; (1) Qanun Nomor 12 Tahun 2003 tentang Minuman
Khamar dan Sejenisnya, (2) Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Mesir (Perjudian), dan (3) Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang
Khalwat (Mesum).
Penerapan qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum
Jinayat sempat tertunda, namun akhirnya disahkan oleh
pemerintah Aceh pada tahun 2015. Pemberlakuan qanun ini
diharapkan pelaksanaan syariat Islam di Aceh dapat berjalan
secara kaffah.
29
Sehat Ihsan Shadiqin. Islam dalam Masyarakat Kosmopolit: Relevankah
Syariat Islam Aceh untuk Masyarakat Modern?. Jurnal Kontekstualita, Vol. 25,
No. 1, 2010, hlm 31.

Madani Publisher | 91
Qanun Syariat Islam: Definisi, Eksistesi dan Esensinya

Kedudukan qanun ini pada dasarnya untuk memberikan


ketetapan hukum jinayat terhadap pelaku jarimah di provnisi
Aceh. adapun yang dimaksud dengan hukum jinayat dan jarimah
berdasarkan qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.
Bab I ketentuan umum, Pasal 1, menetapkan poin nomor:

15. Hukum Jinayat adalah hukum yang mengatur tentang


Jarimah dan ‘Uqubat.
16. Jarimah adalah perbuatan yang dilarang oleh Syariat Islam
yang dalam Qanun ini diancam dengan ‘Uqubat Hudud
dan/atau Ta’zir.
17. ‘Uqubat adalah hukuman yang dapat dijatuhkan oleh
hakim terhadap pelaku Jarimah.
Hukum jinayat berlaku untuk semua orang yang melakukan
jarimah, baik Islam dan non-Islam Islam di Aceh, sebagaimana
ketetapan qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.
Bab II asas dan ruang lingkup, Pasal 5 menetapkan, qanun ini
berlaku untuk:

a. Setiap Orang beragama Islam yang melakukan Jarimah di


Aceh;
b. Setiap Orang beragama bukan Islam yang melakukan
Jarimah di Aceh bersama-sama dengan orang Islam dan
memilih serta menundukkan diri secara sukarela pada
Hukum Jinayat;
c. Setiap Orang beragama bukan Islam yang melakukan
perbuatan Jarimah di Aceh yang tidak diatur dalam Kitab

92 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau ketentuan


pidana di luar KUHP, tetapi diatur dalam Qanun ini; dan
d. Badan Usaha yang menjalankan kegiatan usaha di Aceh.

Adapun ruang lingkup pengaturannya, sebagaimana


ketetapan Bab II bagian kedua ruang lingkup, Pasal 2 menetapkan:

(1) Qanun ini mengatur tentang:

a. Pelaku Jarimah;
b. Jarimah; dan
c. ‘Uqubat.

(2) Jarimah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. Khamar;
b. Maisir;
c. khalwat;
d. Ikhtilath;
e. Zina;
f. Pelecehan seksual;
g. Pemerkosaan;
h. Qadzaf;
i. Liwath; dan
j. Musahaqah.

Madani Publisher | 93
Qanun Syariat Islam: Definisi, Eksistesi dan Esensinya

Pelaku jarimah akan dijatuhi konsekuensi hukum yang


sangat tegas, tujuannya untuk memberikan efek jera, penyadaran,
dan pembelajaran terhadap pelaku, misalnya pelaku khamar akan
dicambuk 40 kali, sebagaimana ketetapan qanun Nomor 6 Tahun
2014 tentang Hukum Jinayat. Bab IV, Pasal 15 menetapkan:

(1) Setiap Orang yang dengan sengaja minum Khamar


diancam dengan ‘Uqubat Hudud cambuk 40 (empat
puluh) kali.

(2) Setiap Orang yang mengulangi perbuatan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) diancam dengan ‘Uqubat Hudud
cambuk 40 (empat puluh) kali ditambah ‘Uqubat Ta’zir
cambuk paling banyak 40 (empat puluh) kali atau denda
paling banyak 400 (empat ratus) gram emas murni atau
penjara paling lama 40 (empat puluh) bulan.

Konsekuensi ‘uqubat hudud cambuk akan dijatuhi


terhadap pelaku jarimah di wilayah hukum provinsi Aceh yang
memberlakukan syariat Islam. konsekuensi tersebut sangat
tergantung jenis pelanggaran (jarimah) yang dilakukan oleh
pelaku dan akan dijatuhi ‘uqubat hudud cambuk berdasarkan
ketetapan qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.
Untuk lebih rinci tentang ‘uqubat tersebut disarankan pembaca
untuk melihat qanun jinayat.

94 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

Bab VIII
Pilar-Pilar Pendukung Syariat Islam:
Eksekutif, Legislatif dan Lembaga-
Lembaga Sosial Keagamaan seperti
Meunasah dan Mesjid

A. Eksekutif

Penerapan syariat Islam di provinsi Aceh secara resmi


ditetapkan dimuali kebijakan pemerintah pusat Undang-Undang
nomor 44 tahun 1999 tentang keistimewaan provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam. Syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam
(NAD) sudah diisytiharkan secara sah dan resmi semenjak
tanggal 1 Muharram 1423 H/15 Maret 2002 M.1 Hitungan sejak
saat itu sampai dengan sekarang (2017) pelaksanaan syariat
1
Kewajiban Eksekutif dan Legislatif dalam Menegakkan Syari’at
Islam di  Aceh. https://ummahonline.wordpress.com/2008/11/10/kewajiban-
eksekutif-dan-legislatif-dalam-menegakkan-syari%E2%80%99at-islam-di-
aceh/. (Online). Tanggal 10 Mei 2017.

Madani Publisher | 95
Pilar-Pilar Pendukung Syariat Islam; Eksekutif, Legislatif dan Lembaga-Lembaga Sosial
Keagamaan seperti Meunasah dan Mesjid
Islam di provinsi Aceh telah terlaksana selama 15 tahun, tentu ini
merupakan waktu yang panjang.
Eksekutif (pemerintah) merupakan elemen atau pilar
utama terhadap pelaksanaan kebijakan yang telah dibuat legislatif
(DPR). Kedua pilar tersebut, eksekutif dan legislatif memiliki
cakupan tugas pokok masing-masing di negara.

Cakupan tugas eksekutif sebagai pelaksana kebijakan yang


dihasilkan atau dibuat oleh legislatif. hal ini mengacu pada teori
tris politika mulanya diangkat oleh John Locke (1632-1784) dan
Montesquieu (1689-1755) yang menjelaskan tentang pembagian
atau pembatasan tugas tata negara.

Pembagian atau pembatasan tugas ketatanegaraan, jika


merujuk pada Montesquieu dengan teori trias politica-nya,
yang terkenal; legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Merujuk pada
teori tersebut, maka pembagian atau pembatasan tugas dalam
negara mencakupi; eksekutif (pemerintah), legislatif (MPR), dan
yudikatif. Pembatasan tugas tersebut memiliki tujuan agar sistem
negara dapat terlaksana dengan efektif.2

Mengacu pada teori tersebut, gubernur Aceh sebagai


pemerintah daerah Aceh merupakan pilar eksekutif yang
bertanggung jawab terhadap pelaksanaan syariat Islam di Aceh.
Gubernur Aceh memiliki peran strategis dalam penerapan syariat
Islam di Aceh.

1. Gubernur Aceh sebagai pilar eksekutif

Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat memiliki


peran penting dalam sistem pemerintah daerah. Edi Sutrisno
menjelaskan gubernur sebagai kepala provinsi berfungsi selaku
wakil pemerintah pusat di daerah, dalam pengertian untuk
menjembatani dan memperpendek rentang kendali pelaksanaan
2
Sulaiman. Pendidikan Warganegaraan ..., hlm 72.

96 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

tugas dan fungsi pemerintahan guna mencapai keterpaduan baik


perencanaan maupun pelaksanaan tugas agar tercapai efektivitas
dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan karena peran
gubernur sangat signifikan bagi keberhasilan pembangunan
nasional.3

Gubernur Aceh sebagai pilar eksekutif pelaksanaan


pemerintahan daerah Aceh memiliki peran penting terhadap
pencapaian pembangunan di Aceh, termasuk sebagai penggerak
utama pelaksanaan syariat Islam di provinsi Aceh.

Peran strategis gubernur Aceh terhadap pelaksanaan dan


realisasi syariat Islam di Aceh dapat ditelusuri dalam ketetapan
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang pemerintahan
Aceh, Bab VIII Pemerintah Aceh Dan Pemerintah Kabupaten/
Kota, bagian kedua tentang tugas dan wewenang, pasal 42
menetapkan sebagai berikut:

(1) Gubernur atau bupati/walikota mempunyai tugas dan


wewenang:

a. Memimpin penyelenggaraan pemerintahan


berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama antara
Gubernur dan DPRA atau bupati/walikota dan DPRK;
b. Mengajukan rancangan qanun;
c. Menetapkan qanun yang telah mendapat persetujuan
bersama antara Gubernur dan DPRA, atau bupati/
walikota dan DPRK;
d. Menyusun dan mengajukan rancangan qanun tentang
APBA kepada DPRA dan APBK kepada DPRK untuk
3
Edy Sutrisno. Gubernur Sebagai Wakil Pemerintahan Pusat Dalam
Sistem Pemerintahan Daerah Di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Disertasi. (Jakarta: Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu
Politik Departemen Ilmu Administrasi Program Pasca Sarjana, 2015) hlm 86.

Madani Publisher | 97
Pilar-Pilar Pendukung Syariat Islam; Eksekutif, Legislatif dan Lembaga-Lembaga Sosial
Keagamaan seperti Meunasah dan Mesjid
dibahas, disetujui, dan ditetapkan bersama;
e. Melaksanakan dan mengoordinasikan pelaksanaan
syari’at Islam secara menyeluruh;
f. Memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban
mengenai penyelenggaraan pemerintahan kepada
DPRA atau DPRK;
g. Memberikan laporan penyelenggaraan Pemerintahan
Aceh kepada Pemerintah;
h. Memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan
kabupaten/kota kepada Gubernur selaku wakil
Pemerintah;
i. Menyampaikan informasi penyelenggaraan
Pemerintahan Aceh/ kabupaten/kota kepada
masyarakat;
j. Mengupayakan terlaksananya kewenangan
pemerintahan;
k. Mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan
dan dapat menguasakan kepada pihak lain sebagai
kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan; dan
l. Melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.

Gubernur sebagai penerima wewenang dari pemerintah


pusat.4 Dari itu, pelaksanaan UUPA dan pelaksanaan syariat Islam
di Aceh merupakan tugas gubernur Aceh yang dipertanggung
jawabkan kepada pemerintah pusat dan kepada masyarakat Aceh.

Eko Noer Kristiyanto. Pemilihan Gubernur Tak Langsung Sebagai


4

Penegasan Eksistensi Gubernur Sebagai Wakil Pemerintahan Di Daerah.


Jurnal Rechts Vinding, Vol. 1, No. 3, Desember 2012, hlm 400.

98 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

Peran strategis gubernur dalam pelaksanaan pemerintahan


daerah Aceh sebagai pilar yang memiliki kewenangan terhadap
pelaksana pemerintahan Aceh yang berbasis pada syariat Islam.
Pelaksanaan syariat Islam di provinsi Aceh merupakan tanggung
jawab gubernur sebagai pemerintah daerah Aceh.

Peran strategis gubernur Aceh (eksekutif) dalam penetapan


atau pengesahan qanun tentang syariat Islam Aceh. Qanun syariat
Islam sebagai landasan hukum pelaksanaan syariat di Aceh tidak
bisa diberlakukan tanpa pengesahan gubernur, karena penatapan
qanun merupakan kewenangan gubernur sebagai pilar atau
elemen eksekutif di Aceh.

Contohnya, penetapan qanun jinayat yang sempat tertunda


pada era gubernur Aceh Irwandi Yusuf dan wakilnya Muhammad
Nazar periode 2007-2012, dianggap waktu itu masih ada yang
harus disempurnakan. Selanjutnya qanun jinayat baru disahkan
atau ditetapkan oleh gubernur berikutnya yaitu Zaini Abdullah
pada tanggal 22 Oktober 2014. Aspek Ini merupakan bagian dari
peran gubernur sebagai pilar eksekutif, tentu masih banyak peran-
peran strategis lain yang terkait dengan pelaksanaan syariat Islam
di provinsi Aceh.

2. Bupati/walikota sebagai pilar eksekutif

Pelaksanaan syariat islam di tingkat daerah kabupaten/


kota merupakan tugas dan tanggung jawab bupati/walikota di
provinsi Aceh. Hal ini, sebagaimana dalam ketetapan Undang-
Undang nomor 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh, yang
telah disebut di atas.

Kewenangan pemerintah Aceh, bupati/walikota secara


keseluruhan mencakupi semua aspek pelaksanaan syariat Islam
di Aceh. Hal tersebut dapat ditelusuri dalam ketetapan Qanun
Nomor 8 Tahun 2014 tentang Pokok-Pokok Syariat Islam, BAB

Madani Publisher | 99
Pilar-Pilar Pendukung Syariat Islam; Eksekutif, Legislatif dan Lembaga-Lembaga Sosial
Keagamaan seperti Meunasah dan Mesjid
VIII, Pasal 39 menetapkan:
(1) Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/
Kota bertanggung jawab mensosialisasi, membina,
mengawasi, dan menegakkan Qanun ini dan Qanun
lainnya mengenai pelaksanaan Syariat Islam.

(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


dilaksanakan oleh Satuan Kerja Perangkat Aceh
(SKPA)/ Satuan Kerja Perangkat Kabupaten/Kota
(SKPK) sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-
masing.

Demikian peran strategis gubernur Aceh dan bupati/


walikota Aceh dalam sebagai pilar eksekutif (pelaksana) syariat
Islam di provinsi Aceh.

B. Legislatif

Legislatif dan eksekutif dua pilar utama pendukung


terhadap pelaksanaan dan pembuat kebijakan pemerintahan.
Kedua pilar tersebut memiliki tugas dan kewenangan yang berbeda
dalam sistem pemerintahan. Pemerintah (eksekutif) sebagai
pelaksana pemerintah, sementara DPR (legeslatif) memiliki tuga
dan kewenangan sebagai pembuat undang-undang.

Dewan perwakilan Rakyat (DPR) sebagai pilar legislatif,


menurut Syahrial Syarbaini secara umum memiliki tugas dan
wewenang sebagai berikut:

a. Bersama-sama dengan presiden membentuk undang-


undang.

b. Bersama dengan presiden menetapkan anggaran


pendapatan dan belanja negara.

100 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-


undang, APBN, dan kebijakan pemerintah.
d. Membahas untuk meratifikasi dan atau memberikan
persetujuan atas pernyataan perang, pembuatan
perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain yang
dilakukan oleh presiden.

e. Membahas hasil pemeriksaan keuangan negara yang


diberitahukan oleh BPK.

f. Melakukan hal-hal yang ditugaskan oleh ketetapan


MPR kepada DPR.5

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki wewenang


yang luas, di antara wewenang tersebut adalah membentuk
undang-undang. Demikian juga, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh
(DPRA) memiliki wewenang terhadap pembuatan kebijakan
daerah berupa Perda atau qanun untuk di Aceh.

Selanjutnya, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)


sebagai pilar legislatif, memiliki wewenang untuk mendesak
(eksekutif) pemerintah Aceh untuk melaksanakan syariat Islam
kaffah berdasarkan ketetapan qanun. Di samping itu, Dewan
Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) memiliki wewenang pengawasan
terhadap pelaksanaan syariat Islam di provinsi Aceh. Demikian
pula wewenang DPRK di provinsi Aceh.

1. Wewenang DPRA terhadap pembentukan qanun syariat Islam

Wewenang pembentukan qanun syariat Islam ada pada


DPRA sebagai pilar legislatif di provinsi Aceh. Secara rinci tugas
DPRA terdapat dalam ketetapan Undang-Undang Nomor 11
tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh, Bab VII Bagian Kedua
Tugas dan Wewenang, Pasal 23, menetapkan:
5
Syahrial Syarbaini. Pendidikan Pancasila..., hlm 134.

Madani Publisher | 101


Pilar-Pilar Pendukung Syariat Islam; Eksekutif, Legislatif dan Lembaga-Lembaga Sosial
Keagamaan seperti Meunasah dan Mesjid
(1) DPRA mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut:
a. Membentuk Qanun Aceh yang dibahas dengan
Gubernur untuk mendapat persetujuan bersama;
b. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan
Qanun Aceh dan peraturan perundang-undangan lain;
c. Melaksanakan pengawasan terhadap kebijakan
Pemerintah Aceh dalam melaksanakan program
pembangunan Aceh, pengelolaan sumber daya alam
dan sumber daya ekonomi lainnya, serta penanaman
modal dan kerja sama internasional;
d. Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian
Gubernur/Wakil Gubernur kepada Presiden melalui
Menteri Dalam Negeri;
e. Memberitahukan kepada Gubernur dan KIP tentang
akan berakhirnya masa jabatan Gubernur/Wakil
Gubernur;
f. Memilih Wakil Gubernur dalam hal terjadinya
kekosongan jabatan Wakil Gubernur;
g. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama
internasional yang dilakukan oleh Pemerintah Aceh;
h. Memberikan pertimbangan terhadap rencana kerja
sama internasional yang dibuat oleh Pemerintah yang
berkaitan langsung dengan Aceh;
i. Memberikan pertimbangan terhadap rencana bidang
legislasi Dewan Perwakilan Rakyat yang berkaitan
langsung dengan Pemerintahan Aceh;
j. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja
sama antardaerah dan/atau dengan pihak ketiga yang
membebani masyarakat dan daerah;

102 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

k. Meminta laporan keterangan pertanggungjawaban


Gubernur dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk
penilaian kinerja pemerintahan;
l. Mengusulkan pembentukan KIP Aceh dan Panitia
Pengawas Pemilihan; dan
m. Melakukan pengawasan dan meminta laporan
kegiatan dan penggunaan anggaran kepada KIP Aceh
dalam penyelenggaraan pemilihan Gubernur/Wakil
Gubernur.

(2) DPRA melaksanakan kewenangan lain yang diatur dalam


peraturan perundang-undangan.

(3) Tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) dan kewenangan lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dalam peraturan tata tertib
DPRA dengan berpedoman pada peraturan perundang-
undangan.

2. Wewenang DPRK terhadap pelaksanaan syariat Islam di Aceh

Dewan perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota di provinsi


Aceh juga merupakan pilar penting terhadap pelaksanaan syariat
Islam di tingkat daerah kabupaten kota di Aceh. DPRK memiliki
wewenang dengan DPRA sebagai legislatif, yaitu pembuat
kebijakan atau qanun. Namun DPRK membuat qanun untuk
tingkat kabupaten/kota di Aceh. Adapun wewenang DPRKA di
provinsi Aceh sebagaimana ketetapan Undang-Undang 11 Tahun
2006 tentang pemerintah Aceh, Bab VII Bagian Kedua Tugas dan
Wewenang, Pasal 24, menetapkan:

(1) DPRK mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut:

a. Membentuk qanun kabupaten/kota yang dibahas

Madani Publisher | 103


Pilar-Pilar Pendukung Syariat Islam; Eksekutif, Legislatif dan Lembaga-Lembaga Sosial
Keagamaan seperti Meunasah dan Mesjid
dengan bupati/walikota untuk mendapat persetujuan
bersama;
b. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan
qanun kabupaten/kota dan peraturan perundang-
undangan lain;
c. Melaksanakan pengawasan terhadap kebijakan
pemerintah kabupaten/kota dalam melaksanakan
program pembangunan kabupaten/kota, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lain, serta
penanaman modal dan kerja sama internasional;
d. Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian
bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota
kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur;
e. Memberitahukan kepada bupati/walikota dan KIP
kabupaten/kota mengenai akan berakhirnya masa
jabatan bupati/wakil bupati dan walikota/wakil
walikota;
f. Memilih wakil bupati/wakil walikota dalam hal
terjadinya kekosongan jabatan wakil bupati/wakil
walikota;
g. Memberikan pendapat, pertimbangan, dan persetujuan
kepada pemerintah kabupaten/kota terhadap rencana
kerja sama internasional di kabupaten/kota yang
bersangkutan;
h. Memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap
rencana kerja sama antardaerah dan/atau dengan pihak
ketiga yang membebani masyarakat dan kabupaten/
kota;
i. Mengusulkan pembentukan KIP kabupaten/kota dan
membentuk Panitia Pengawas Pemilihan;

104 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

j. Melakukan pengawasan dan meminta laporan kegiatan


dan penggunaan anggaran kepada KIP kabupaten/kota
dalam penyelenggaraan pemilihan bupati/wakil bupati
dan walikota/wakil walikota; dan
k. Meminta laporan keterangan pertanggungjawaban
bupati/walikota dalam penyelenggaraan pemerintahan
untuk penilaian kinerja pemerintahan.

(2) DPRK melaksanakan kewenangan lain yang diatur dalam


peraturan perundang-undangan.

(3) Tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) dan kewenangan lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dalam peraturan tata tertib
DPRK dengan berpedoman pada peraturan perundang-
undangan.

Pelaksanaan syariat Islam di provinsi Aceh merupakan


tanggung jawab pemerintah Aceh (eksekutif) mulai dari tingkat
provinsi sampai di tingkat kabupaten kota, juga DPRA dan
DPRK sebagai pilar pembuat kebijakan dan pengawasan terhadap
gubernur Aceh sebagai pelaksana qanun syariat Islam di provinsi
Aceh.

Dukungan dalam bentuk kerja sama eksekutif dan


legislatif sangat menentukan terhadap kesuksesan pelaksanaan
syariat Islam di Aceh.Wahid Abdulrahman menjelaskan, sinergi
gubernur dan DPRD sangat diperlukan dalam perencanaan
pembangunan.6

Ungkapan hampir sama juga terdapat dalam penjelasan


Nina Andriana, yang mengisyaratkan tentang relasi eksekutif-

Wahid Abdulrahman. Membangun Sinergitas Eksekutif-Legislatif Di


6

Jawa Tengah. Jurnal Ilmu Sosial. Vol 15. No. 1. Februari 2016, hlm 5.

Madani Publisher | 105


Pilar-Pilar Pendukung Syariat Islam; Eksekutif, Legislatif dan Lembaga-Lembaga Sosial
Keagamaan seperti Meunasah dan Mesjid
legeslatif.7
Eksekutif (gubernur) Aceh dan legislatif (DPRA)
diharapkan dapat membangun relasi yang kuat untuk membangun
Aceh sebagai daerah yang memiliki otonomi khusus dalam
melaksanakan syariat Islam. Kesinergian kedua pilar eksekutif
(gubernur) dan legislatif (DPRA) merupakan pendukung utama
dalam pembentukan qanun dan pelaksanaan syariat Islam di
Aceh.

C. Lembaga-Lembaga Sosial Keagamaan; Meunasah dan


Mesjid

Gubernur Aceh (eksekutif) dan DPRA (legislatif),


keduanya merupakan pilar utama pelaksanaan syariat Islam dan
pembentukan qanun syariat Islam di provinsi Aceh. di samping
kedua pilar tersebut, pelaksanaan syariat Islam di provinsi Aceh
di dukung pula oleh lembaga-lembaga sosial yang ada di Aceh,
seperti meunasah dan mesjid.

1. Meunasah di Aceh

Meunasah merupakan central peradaban Islam pada


tingkat gampong (desa) di Aceh. Setiap desa di Aceh memiliki
satu meunasah berfungsi sebagai tempat ibadah shalat jamaah
bagi masyarakat desa, di samping sebagai tempat kegiatan soial.
Khairuddin menjelaskan, Setiap kampung di Aceh dibangun
meunasah yang berfungsi sebagai center of culture (pusat
kebudayaan) dan center of education (pusat pendidikan) bagi
masyarakat. Dikatakan center of culture, karena meunasah
ini memang memainkan peranan yang sangat penting dalam
kehidupan orang Aceh dan disebutkan center of education,
7
Nina Andriana. Pemilu Dan Relasi Eksekutif Dan Legislatif General
Election And Executive-Legislative Relations. urnal Penelitian PolitikVolume 11
No. 2 Desember 2014, hlm105.

106 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

karena secara formal anak-anak masyarakat Aceh memulai


pendidikannya di lembaga ini.8
Taqwaddin Husin. Dkk, dalam artikelnya menjelaskan
bahwa, a meunasah or masjid also serves as the center for gampong
government. In this case, other than for congregational prayer
purposes, it is used as an office for keuchik, the secretariat for tuha
peut, a venue for community discussion and deliberation, Islamic
boarding school/Quran reading training center, and other social
events of gampong.9 Artinya “Sebuah meunasah atau masjid juga
berfungsi sebagai pusat pemerintahan gampong. Di dalam Kasus
ini, selain untuk tempat berdoa berjamaah, digunakan sebagai
kantor untuk keuchik, Sekretariat untuk tuha peut, tempat diskusi
dan musyawarah masyarakat, Islam Asrama/pusat pelatihan
membaca Quran, dan acara sosial gampong lainnya.”

Sejalan dengan penjelasan tersebut, Umaimah Wahid juga


menjelaskan bahwa Besides as learning and community center,
meunasah is also as gampong government center.10 Artinya “Selain
sebagai pusat pembelajaran dan masyarakat, meunasah juga
sebagai pusat pemerintahan gampong.

Keberadaan meunasah pada setiap desa di Aceh sebagai


sentral lembaga agama sudah terkenal sejak zaman dulu. Mujianto
Solichin menjelaskan, pada abad ke 17 merupakan puncak
kemajuan kebudayaan Islam, khususnya pada masa kerajaan Aceh
Darussalam diperintah oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636),
8
KM. Akhiruddin. Lembaga Pendidikan Islam di Nusantara. Jurnal
Tarbiya. Volume: 1 No: 1 Tahun 2015, hlm 213.
9
Taqwaddin Husin. Dkk. Role of Community and Communal Law of
Aceh in the Great Sumatra Earthquake and Tsunami Recovery: A Case Study
in Lambada Lhok Village, Aceh Besar District, Aceh, Indonesia. Journal of
International Cooperation Studies,Vol.21, No.2&3 Tahun 2014, hlm 65.
10
Umaimah Wahid. Meunasah, Power And Self-Critics Towards
Government And Aceh Political Elite On Aceh Women Political Struggle.
Journal of Asian Scientific Research, 2015, 5(8):385-393 , hlm 386.

Madani Publisher | 107


Pilar-Pilar Pendukung Syariat Islam; Eksekutif, Legislatif dan Lembaga-Lembaga Sosial
Keagamaan seperti Meunasah dan Mesjid
Sultan Iskandar Thani (1636-1641), dan Sulthanah Syafiatuddin
(16-1636). Pada masa pusat-pusat pengembangan kebudayaan
Islam tersebar di seluruh kerajaan, seperti meunasah pada
tingkat gampong “gampong/kampung” (wilayah terkecil yang
diperintahkan oleh seorang keuchik), Mesjid dan Dayah pada
tingkat Mukim (gabungan beberapa gampong diperintahkan
oleh imum mukim), Nanggro (gabungan beberapa mukim
diperintahkan oleh seorang Uleebalang), Sagi (gabungan beberapa
Nanggroe diperintahkan oleh panglima Sagi) dan terutama sekali
ibu kota kerajaan Bandar Aceh Darussalam.11

Institusi Meunasah di Aceh memiliki multi fungsi, Sabirin


menjelaskan, meunasah juga dapat difungsikan seluas-luasnya,
meliputi segenap aktivitas masyarakat gampong.12 Multi fungsi
institusi meunasah di Aceh dapat disebutkan sebgai berikut:

1. Meunasah sebagai sentral agama di Aceh.


2. Meunasah sebagai sentral pembinaan Syariat Islam bagi
generasi muda di Aceh.
3. Muenasah sebagai sentral shalat berjamaah di gampong
(desa) di Aceh.
4. Meunasah sebagai sentral tempat pengajian (dalam
bahasa Aceh disebut seumubeut) pada tingkat desa di
Aceh.
5. Meunasah sebagai senter penyelesaian masalah/rapat,
dan pembuatan qanun dan reusam gampong.
6. Meunasah sebagai sentral kegiatan sosial di Aceh.
11
Mujianto Solichin. Perkembangan Pendidikan Meunasah Dan
Dayah Di Aceh. Jurnal Manajemen&pendidikan Islam. DIRASAT. Vol. 1. No.
1. Juli-2015, hlm 129.
12
Sabirin. Meunasah Dan Ketahanan Masyarakat Gampong (Kajian
Kritis Terhadap Power Of Local Wisdom). Jurnal Ilmiah Peuradeun, Vol. II, No.
02, Mei 2014, hlm 109.

108 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

Instistusi meunasah pada tingkat desa di Aceh merupakan


sentral pembinaan agama Islam terhadap masyarakat pada
umumnya dan sentral pembinaan syariat Islam terhadap generasi
muda. Fungsi ini tentunya harus dapat dioptimalkan secara terus
menerus oleh perangkat dan tokoh agama yang terdapat pada
tingkat desa.

Meunasah sebagai lembaga sosial di tingkat desa memiliki


peran penting terhadap pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Selain
itu, Keeksistensialan masyarakat dalam menghidupkan meunasah
sebagai senter syariat Islam di tingkat desa perlu di dukungan
dan perhatian serius dari pemerintah agar semangat pelaksanaan
syariat Islam di tingkat desa berjalan dengan efektif.

Bentuk dukungan tersebut, pertama, bisa dalam bentuk


program pengembangan kompetensi tokoh agama di tingkat desa
dengan pelatihan-pelatihan, tujuannya untuk mengembangkan
kompetensi tokoh agama seperti iman meunasah (imum
meunasah). Kedua, pemberian insentif kepada iman meunasah
untuk mendorong peran mereka agar lebih efektif.

2. Mesjid di Aceh

Mesjid merupakan tempat paling mulai dalam Islam.


Kedudukan mesdji dalam Islam sebagai sentral tempat Ibadah.
Demikian halnya, kedudukan mesjid bagi masyarakat Aceh.
Azman Ismail merujuk pada penjelasan A. Hasjmy bahwa mesjid
adalah pusat kegiatan agama umat Islam di tingkat mukim dan
meunasah di tingkat desa (gampong), baik kegiatan keagamaan,
kegiatan pendidikan, kegiatan ekonomi, kegiatan politik, dan
kegiatan seni budaya ataupun kegiatan-kegiatan lainnya.13

Selain meunasah, Mesjid juga menjadi pilar sentral tempat


ibadah bagi masyarakat Aceh, khususnya ibadah shalat. Di samping
13
Azman Ismail. Dkk, Syariat Islam di..., hlm 131.

Madani Publisher | 109


Pilar-Pilar Pendukung Syariat Islam; Eksekutif, Legislatif dan Lembaga-Lembaga Sosial
Keagamaan seperti Meunasah dan Mesjid
itu, mesjid juga digunakan sebagai sentral kegiatan keagamaan
dan kegiatan sosial di Aceh. Ibnu Mujib. Dkk, menjelaskan bahwa
di Aceh hubungan meunasah dengan mesjid dalam patron simbol
budaya adat Aceh, telah dimaknai dengan narit maja (hadih maja)
“Agama ngon Adat (hukom ), lagei dzat ngon sifeut”.14

Selanjutnya, sejalan dengan penerapan syariat di provinsi


Aceh, kedudukan mesjid di Aceh telah menjadi sentral pelaksanaan
syariat Islam, sebagai berikut:

1. Mesjid sebagai sentral tempat ibadah.

2. Mesjid sebagai sentral kegiatan keagamaan.

3. Mesjid sebagai sentral kegiatan sosial.

4. Mesjid sebagai sentral edukasi Islam.

5. Mesjid sebagai sentral pembinaan syariat Islam


terhadap masyarakat dan generasi muda.

6. Mesjid sebagai sentral pelaksanaan syariat Islam.

Pelaksanaan syariat Islam di provinsi Aceh tentu harus


didukung oleh semua pusat kegiatan yang ada di Aceh, termasuk
mesjid sebagai sentral kegiatan keagamaan di Aceh. Fungsi Mesjid
sebagai pilar sentral pelaksanaan syariat Islam di tingkat mukim
di Aceh telah memberikan kontribusi yang bersifat progresif
terhadap kemajuan dan perkembangan pelaksanaan syariat Islam
yang sedang di laksanakan oleh pemerintah provinsi Aceh.

Ibnu Mujib. Dkk. Gagasan Aceh Baru: Pembentukan Identitas Aceh


14

Dari Dalam Reaktualisasi Ruang Publik Bagi Aksi Pengelolaan Kearifan


Lokal Pasca-Konflik Dan Tsunami. Jurnal Kawistara, Vol. 4, No. 1, April 2014,
hlm 54.

110 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

Bab IX
Lima Sasaran Utama Pelaksanaan
Syariat Islam di Aceh

A. Menghidupkan Meunasah
Pelaksanaan syariat Islam di Aceh tentu harus dilaksanakan
secara integral, mulai dari tingkat gampong (desa) sampai pada
tingkat pemerintahan provinsi. Sulaiman Tripa merujuk pada
Sufi. Dkk, menjelaskan Konsep gampong terkait dengan proses
pembentukan masyarakat yang berbasis teritorial keagamaan di
Aceh. Menurut sejarahnya, gampong terbentuk pada masa Sultan
Iskandar Muda (1607-1636), yakni bentuk teritorial yang terkecil
dari susunan pemerintahan di Aceh. Pada masa itu, sebuah
gampong terdiri dari kelompok rumah yang letaknya berdekatan
satu sama lain. Pimpinan gampong disebut keuchik, yang dibantu
seseorang yang mahir dalam masalah keagamaan dengan sebutan

Madani Publisher | 111


Lima Sasaran Utama Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh

teungku meunasah.1
Sulaiman Tripa menambahkan menjelaskannya bahwa,
pelaksanaan syariat Islam menjadi salah satu kewenangan dalam
gampong. Konsep ini dapat dilihat sejak dari konsep gampong
sebagaimana disebut UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang UU
Otonomi Khusus bagi Provinsi DI Aceh sebagai Provinsi NAD
dan Qanun Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong
dalam Provinsi NAD, yang menyebutkan bahwa, “Gampong atau
nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang merupakan
organisasi Pemerintah terendah langsung di bawah Mukim atau
nama lain yang menempati wilayah tertentu, yang dipimpin oleh
Geuchik2 atau nama lain dan berhak menyelenggarakan rumah
tangganya sendiri.” (Pasal 14 ayat (2) Qanun Nomor 11 Tahun
2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam bidang Aqidah, Ibadah,
dan Syiar Islam).3
Meunasah yang berada pada setiap desa di Aceh menjadi
senter pelaksanaan syariat Islam. Semangat pelaksanaan syariat
Islam di Aceh dapat dibangun melalu kegiatan keagamaan di
meunasah yang terdapat pada setiap desa di Aceh.
Menghidupkan meunasah sebagai senter pelaksanaan
syariat Islam di Aceh dapat dilakukan melalui:
1) Mengoptimalisasikan meunasah sebagai senter/pusat
ibadah di tingkat desa.
2) Shalat berjamaah di meunasah.
3) Kegiatan sosial dan keagamaan dilakukan di meunasah.
4) Kegiatan zikir atau dalail khairat dilakukan pada setiap
malam jum’at atau malam lain yang telah disepakati.
1
Sulaiman Tripa. Otoritas Gampong Dalam Implementasi Syariat
Islam Di Aceh. Media Syariah, Vol. XIV. NO. I Januari-Juni 2012, hlm 47.
2
Geusyik adalah sebutan untuk kepada desa di Aceh.
3
Sulaiman Tripa. Otoritas Gampong Dalam..., hlm 49.

112 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

5) Meunasah sebagai institusi pengawasan syariat Islam,


dll.
Selain lima sentral meunasah terhadap pelaksanaan syariat
Islam di Aceh sebagaimana tersebut. Berikut juga, penulis uraikan
tiga aspek menghidupkan meunasah pada tingkat gampong (desa)
dalam pelaksanaan syariat Islam di provinsi Aceh:
1. Menghidupkan meunasah sebagai sentral sosialisasi syariat
Islam di Aceh.
Meunasah di Aceh tidak hanya sebagai institusi ibadah
shalat, namun juga digunakan sebagai sentral sosialisasi syariat
Islam di Aceh. Penggunaan meunasah sebagai sentral sosialisasi
syariat Islam bertujuan mendukung pelaksanaan syariat Islam di
Aceh.
Meunasah bagi masyarakat desa adalah sentral
perkumpulan masyarakat dan sentral tempat ibadah shalat
termasuk kegiatan-kegiatan sosial keagamaan. Oleh karena itu,
meunasah sangat tepat digunakan sebagai sentral sosialisasi
syariat Islam di Aceh.
2. Menghidupkan meunasah sebagai sentral zakat gampong di
Aceh.
Membayar zakat hukumnya wajib jika yang telah mencapai
haul atau hisab. Sudah menjadi kebiasaan bagi masyarakat Aceh
jika mau mengeluarkan zakat harta, maka masyarakat langsung
mengantarkan ke meunasah atau memintakan pada tungku imum
(iman) untuk mengambil zakat di rumah atau dimintakan untuk
diambil ke sawah langsung. Misalnya, ketika masyarakat panen
padi.
Sejalan dengan pelaksanaan syariat Islam di Aceh,
pembayaran dan pengelolaan zakat di Aceh dilakukan oleh Baitul

Madani Publisher | 113


Lima Sasaran Utama Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh

Mal, baik di tingkat provinsi maupun di tingkat gampong (desa).


Kewenangan Baitul Mal pada tingkat desa sebagaimana ketetapan
qanun nomor 10 tahun 2007 tentang Baitul Mal, Bab II, Pasal 3
poin nomor 4, menetapkan bahwa Baitul Mal Gampong adalah
Lembaga Gampong Non Struktural yang dalam melaksanakan
tugasnya bersifat independen sesuai dengan ketentuan syariat,
dan bertanggung jawab kepada Baitul Mal Kabupaten/Kota.
Aktivitas pengelolaan zakat pada tingkat desa di Aceh saat
ini dikelola oleh Baitul Mal yang di bentuk di gampong (desa) dan
sentral pelaksanaannya masih di meunasah di bawah tanggung
jawab penitia yang dibentuk atau tungku imum (imam) meunasah.
Pembentukan Baitul Mal pada tingkat gampong (desa)
bagian upaya pemerintah untuk mengoptimalkan pengelolaan
zakat di Aceh dan memberi kemudahan bagi masyarakat
dalam melaksanakan syiar agama dan syariat Islam di provinsi
Aceh, khususnya terkait dengan membayar zakat. Selanjutnya
pembentukan Baitul Mal pada tingkat di desa diharapkan dapat
mendorong semangat masyarakat Aceh terhadap kewajiban zakat
sebagaimana ketetapan dalam Islam.
3. Menghidupkan meunasah sebagai sentral adat penyelesaian
konflik
Meunasah sebagai lembaga sosial di Aceh telah berperan
sejak zaman kejayaan kerajaan Aceh Darussalam. Meunasah
menjadi tempat penyelesaian hukum adat di tingkat desa di Aceh.
Sejak dulu meunasah di Aceh telah menjadi pusat penyelesaian
konflik atau perselisihan yang terjadi di tingkat desa.
Media penyelesaian konflik yang terjadi pada tingkat desa
dilakukan di meunasah dengan menggunakan hukum adat yang
di anut oleh desa di Aceh dan tentunya mengedepankan hukum
syariat. Kasus yang di mediasi tersebut bermacam-macam, seperti
kasus warisan, pernikahan, dan lain-lain. sejalan dengan

114 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

kasus tersebut, fungsi meunasah sebagai institusi penyelesaian


kasus, sebagaimana penjelasan Muhammad Ansor dalam
penelitiannya, bahwa meunasah di bawah kepemimpinan tungku
imam melakukan mediasi berbagai kasus yang terjadi di desa,
termasuk kasus poligami.4 Ini hanya sebagai contoh kasus.
Meunasah, sasaran pelaksanaan syariat Islam di Aceh
memiliki maksud sebagai pengoptimalan institusi meunasah
pada tingkat desa terhadap pelaksanaan kegiatan syariat Islam.
Meunasah menjadi basis utama pelaksanaan syariat Islam di Aceh.
Meunasah menjadi pusat semua kegiatan masyarakat dan
juga pelaksanaan syariat Islam. Oleh karena itu, pemberdayaan
para tokoh agama, tokoh masyarakat, para generasi muda, dan
semua unsur masyarakat pada tingkat desa harus dilakukan
pemerintah untuk mengoptimalkan peran mereka terhadap syiar
agama dan pelaksanaan syariat Islam di meunasah yang terdapat
pada setiap desa di Aceh.
Syiar agama dan syariat Islam di meunasah pada tingkat
desa dapat dilakukan dengan pemberdayaan sumber daya manusia
(SDM) yang ada pada tingkat desa, sebagai berikut:
1) Pemberdayaan tokoh desa sebagai penggerak
pelaksanaan syariat Islam di desa.
2) Pemberdayaan tungku imum gampong (imam desa)
sebagai SDM pelaksanaan syariat Islam di institusi
meunasah.
3) Pemberdayaan para pemuda gampong (desa) sebagai
penggerak dan potensi pelaksanaan syariat Islam di
munasah.
4
Muhammad Ansor. Berbagi Suami Atas Nama Tuhan: Pengalaman
Keseharian Perempuan Di Poligami Di Langsa. Ijtihad, Jurnal Wacana Hukum
Islam dan Kemanusiaan. Volum 14, No. 1, Juni 2014, hlm 45.

Madani Publisher | 115


Lima Sasaran Utama Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh

4) Pemberdayaan masyarakat gampong (desa) sebagai


pelaksana dan pengawas syariat Islam di tingkat desa.
Pemanfaat Sumber Daya Manusia (SDM) yang terdapat di
tingkat desa merupakan salah satu strategi yang dapat digunakan
pemerintah untuk memakmurkan meunasah sebagai tonggak
implementasi syariat Islam pada tingkat desa di Aceh.
Selanjutnya, menghidupkan meunasah sebagai sentral
pelaksanaan syariat Islam di Aceh dapat disebutkan sebagai
salah strategi implementasi syariat Islam dengan memanfaatkan
institusi meunasah dan semua unsur perangkat meunasah sebagai
penggerak syariat Islam di Aceh. Demikian, penjelasan terkait
meunasah sebagai sasaran pelaksanaan syariat Islam di Aceh.

B. Lingkungan Kantor dan Sekolah yang Islami


Pelaksanaan syariat Islam melibatkan berbagai sektor,
termasuk lingkungan kantor pemerintah, swasta, dan sekolah.
Setiap unit kantor pemerintah di Aceh wajib melaksanakan syariat
Islam sebagai bentuk dukungan terhadap penerapan syariat Islam
di Aceh. Lingkungan kantor dan sekolah tentu harus menjadi
cerminan sistem islami terhadap masyarakat.
1. Lingkungan Kantor Islami
Menciptakan lingkungan kantor Islam menjadi kunci
kesuksesan pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Pemerintah
Aceh idealnya dapat mendorong Satuan Kerja Perangkat Aceh
(SKPA)/ Satuan Kerja Perangkat Kabupaten/Kota (SKPK) sebagai
penggerak utama pelaksanaan syariat Islam di Aceh dengan
mengedepankan kedisiplinan, jujur, amanah, tanggungjawab
dalam bekerja, serta tanggap dan responsif terhadap suasana di
sekitar.
Kewajiban pelaksanaan syariat Islam di setiap SKPA/

116 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

SKPK di Aceh sebagaimana ditetapkan dalam Qanun Nomor 8


Tahun 2014 Tentang Pokok-Pokok Syariat Islam, Bab VIII pasal
39, menetapkan poin nomor:
(1) Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota
bertanggung jawab mensosialisasi, membina, mengawasi,
dan menegakkan Qanun ini dan Qanun lainnya mengenai
pelaksanaan Syariat Islam.
(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA)/
Satuan Kerja Perangkat Kabupaten/Kota (SKPK) sesuai
dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing.
Membangun lingkungan kantor pemerintah Islami dapat
dilakukan dengan menciptakan birokrasi yang bersih, transparan,
dan akuntabel. Sistem birokrasi kantor yang dapat dipertanggung
jawabkan kepada Allah5 dan kepada publik atau masyarakat
umum.
Membangun birokrasi kantor pemerintah Aceh yang
Islami, maka kerangka dasar dari sifat Rasulullah saw mestilah
dipahami dan diamalkan sepenuhnya. Empat sifat yang wajib ada
pada Rasulullah tersebut adalah; siddiq, amanah, tabliq, fathanah.
Keempat sifat tersebut telah menghantarkan Rasulullah saw ke
tampuk keberhasilan dalam perjuangannya yang panjang untuk
menegakkan agama Allah, memperkuat kekompakan kaum
muslimin dan memperluas wilayah kekuasaan Islam.6
Idealnya, empat sifat yang ada pada Rasullah saw
harus menjadi patron dan sikap kinerja para pegawai kantor
5
Harus dipertegaskan bahwa setiap aktivitas yang dilakukan manusia
semua akan dipertanggung jawabkan kepada Allah kelak hari yaumil mahsyar.
6
Misri A. Muhsin. Dkk. Buku Panduan Pelaksanaan Syariat Islam
Bagi Birokrasi. Cet. I. (Banda Aceh: Kerja Sama Antara IAIN Ar-Raniry dan
Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh, 2007), hlm 59.

Madani Publisher | 117


Lima Sasaran Utama Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh

di pemerintahan Aceh dalam memberikan pelayanan kepada


masyarakat. Bagaimana implementasi empat sifat dalam biokrasi
kantor pegawai pemerintah, dapat dilihat pada penjelasan berikut:
1) Siddiq (jujur). Maksudnya, apa pun yang disampaikan
Rasulullah saw adalah benar dan disampaikannya dengan
jujur. Tiak mungkin Rasullah berdusta (kizb). Sifat jujur yang
ada pada Rasulullah saw agar dapat diterapkan sebagai sikap
para birokrasi kantor pemerintahan Aceh dan melaksanakan
tugas sesuai dengan poksi tugas yang diberikan serta tidak
melalukan penyalah gunaan wewenang.
2) Amanah (dapat dipercaya). Maksudnya, apa pun yang
di sampaikan Rasulullah saw baik melalui ucapan
dan perbuatan, sekalipun hanya dengan memberikan
contoh pasif, dapat dipercaya, dan diyakini serta dapat
dipertanggungjawabkan sebagai sesuatu yang datang dari
Allah. Semuanya disampaikan secara utuh dan mustahil
beliau khianat (mengingkari kepercayaan). Sifat ini pula, agar
dapat dipraktekkan oleh semua kalangan birokrasi kantor
pemerintah di Aceh, sehingga tugas yang dipercayakan
dapat dilaksanakan dengan efektif.
3) Tabliqh (menyampaikan). Maksudnya, bagi seorang nabi
sekaligus sebagai Rasul, apa pun yang diberikan kepadanya
yang pantas disampaikan, sekalipun ia tidak diperintahkan
untuk menyampaikannya, pasti disampaikannya setidak-
tidaknya dengan memberi contoh teladan. Umpamanya,
apabila ia diberi petunjuk dan bimbingan berakhlak mulia,
maka petunjuk dan bimbingan itu dilaksanakan secara
utuh untuk dicontohkan oleh umat. Sifat tabligh ini dalam
implentasinya terhadap sifat birokrasi kantor pemerintahan
Aceh, terhadap individu, atasan dan bawhan, diharapkan
saling menyampaikan, teguran dan saran perbaikan untuk
memberikan pelayanan yang optimal. perlu diperhatikan

118 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

bahwa dalam setiap individu terdapat peran tabligh


dicontohkan Rasulullah saw.
4) Fathanah, (cerdik, pintar dan bijaksana). Maksudnya,
seorang Nabi haruslah seorang cerdik dan pinter, memiliki
wawasan yang luas, pemikiran yang mendalam dan pandai
memilih secara tepat dan bijaksana. Seorang Nabi mustahil
memiliki sifat bodoh dan dungu (biladah).7 Sifat ini pun
harus terdapat pada setiap pegawai kantor pemerintah,
cerdik, cerdas, dan bijaksana dalam pengambilan keputusan.
Meskipun cerdik, cerdas, dan bijaksana kita manusia
biasa tidak bisa setingkat Rasulullah saw, namun itu bisa
dilakukan dengan usaha keras dari setiap individu untuk
beroboh menjadi lebih baik guna memberikan pelayanan
dan menampilkan perilaku layanan yang Islami.
Menciptakan lingkungan kantor pemerintah Aceh yang
Islam, sudah sepantasnya empat sifat Rasulullah saw, sebagaimana
tersebut di atas diimplementasikan sebagai perilaku layanan di
kantor pemerintahan Aceh; Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA)
dan Satuan Kerja Perangkat Kabupaten/Kota (SKPK) untuk
memberikan pelayanan yang optimal kepada masyarakat.
2. Lingkungan sekolah Islami
Sekolah memiliki peran penting dalam penerapan syariat
Islam di Aceh. untuk menciptakan generasi Aceh yang Islami
tentu harus didukung dengan sistem layanan sekolah yang Islami
pula. Oleh karena itu, sekolah bertanggung jawab terhadap
pembentukan generasi Aceh yang Islami, kelak kepada merekalah
bangsa ini kita wariskan.
7
Empat sifat Rasulullah saw, sebagaimana tersebut di atas penulis
merujuk pada penjelasan Misri A. Muhsin. Dkk. Buku Panduan Pelaksanaan
Syariat Islam..., hlm 59-70. Penulis hanya menambah penjelasan terkait
implementasi empat sifat Rasulullah saw dalam kinerja pegawai pemerintah
Aceh saja.

Madani Publisher | 119


Lima Sasaran Utama Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh

Lingkungan sekolah yang Islami dapat dibangun melalui


manajemen sekolah Islami, sebagai berikut:
1) Program atau kurikulum Islami sesuai dengan konteks
ke-Acehan yang berdaya saing internasional.
2) Menciptakan lingkungan sekolah/madrasah yang
kondusif. Situasi lingkungan tempat belajar memberi
pengaruh terhadap pembentukan kepribadian peserta
didik. Oleh karena itu, untuk menciptakan generasi
Islami harus didukung dengan lingkungan belajar
yang kondusif.
3) Wujudkan perilaku guru yang dapat digugu peserta
didik. Guru sebagai tenaga edukatif di sekolah/
madrasah tidak hanya mengajar sekedar kewajiban jam
mengajar. Namun, keberadaan guru sangat penting
terhadap pembentukan perilaku peserta didik.
Mulyasa menjelaskan guru yang dapat digugu dan ditiru
merupakan faktor penting yang besar pengaruhnya, bahkan sangat
menentukan keberhasilan peserta didik.8 Keberhasilan terhadap
pembentukan peserta didik sebagai generasi penerus yang Islami
sangat ditentukan oleh guru. Di samping itu, guru juga menjadi
model (uswatun hasan) terhadap peserta didik di sekolah.
Membangun lingkungan sekolah Islami juga bisa dilakukan
dengan budaya sekolah Islami untuk membentuk kepribadian
peserta didik. Syahrizal Abbas. Dkk, menjelaskan budaya sekolah
Islami berpengaruh signifikan terhadap kepribadian anak.9
Budaya sekolah Islami, sebagai berikut:
8
E. Mulyasa. Manajemen Pendidikan Karakter. Cet. I. (Jakarta: Bumi
Aksara, 2011), hlm 31.
9
Syahrizal Abbas. Persepsi Masyarakat Terhadap Pelaksanaan
Syariat Islam Di Aceh. Cet. I. (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam, 2014), hlm
157.

120 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

1) Budaya memberi salam,


2) Budaya disiplin
3) Budaya bersih
4) Budaya berpakaian syar’i (Islami)
5) Budaya shalat berjamaah, dll.
Membangun lingkungan sekolah yang Islami butuh kerja
sama antar semua pihak yang ada dan berhubungan dengan
pendidikan di Aceh, mencakupi; institusi sekolah, keluarga, dan
masyarakat. Dengan kerja sama semua unsur tersebut sangat
mungkin membangun lingkungan sekolah Islami di Aceh.
Namun sebaliknya, jika keinginan pihak pengelola sekolah untuk
mewujudkan lingkungan sekolah Islami tidak didukung oleh
unsur lain tentu akan sulit membangun suasana lingkungan
sekolah Islami di Aceh, sebagai bagian untuk mendukung terhadap
pelaksanaan syariat Islam di provinsi Aceh.

C. Pemberdayaan Zakat
1. Wajib zakat
Mengeluarkan zakat hukumnya wajib bagi muslim, jika
sudah sampai haul atau hisabnya. Dasar hukum perintah wajib
zakat terdapat dalam firman Allah.

       

Artinya:

Dan Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah


beserta orang-orang yang ruku’ (Q.S. Al-Baqarah: 43).

Madani Publisher | 121


Lima Sasaran Utama Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh

Ajaran Islam memerintahkan bagi setiap muslim untuk


mengeluarkan zakat dari harta yang mereka miliki jika sudah
mencapai standar ketentuan wajib zakat. Adapun harta benda
wajib zakat di antaranya; usaha perdagangan, hasil usaha tani, dan
usaha ternak (kambing, kerbau, dan sapi).
2. Pengelolaan zakat di Aceh
Pengelolaan zakat dalam Islam diserahkan kepada
waliyul amr, dalam hal ini adalah pemerintah. Perintah terhadap
pengelolaan zakat dalam Islam sebagaimana firman Allah Swt.

           

      


Arinya:

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat


itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan
mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu
(menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha
mendengar lagi Maha Mengetahui. (Qs. At-Taubah: 103).

Para fuqaha memahami ayat tersebut sebagai dasar hukum


terhadap pemungutan zakat Mal (harta) dan pihak yang berhak
mengelola zakat adalah Negara atau pemerintah. Pengelolaan
zakat di negara Islam saat ini memiliki bermacam bentuk yang
beragam; sistem pengelolaan zakat dilakukan pemerintah, sistem
pengelolaan zakat dilakukan masyarakat langsung, dan sistem
pengelolaan zakat yang dilakukan oleh badan atau lembaga yang
dibentuk masyarakat dan dikukuhkan oleh pemerintah, seperti di
Indonesia ada BAZNAS, sebagaimana ketetapan Undang-Undang

122 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan


Zakat, Bab I, Pasal 1, pion nomor 7, menetapkan bahwa Badan
Amil Zakat Nasional yang selanjutnya disebut BAZNAS adalah
lembaga yang melakukan pengelolaan zakat secara nasional.
Sementara di Aceh pengelolaan zakat dilakukan oleh
Baitul Mal, merupakan Lembaga Daerah Non Struktural yang
diberi kewenangan untuk mengelola dan mengembangkan zakat,
wakaf, harta agama dengan tujuan untuk kemaslahatan umat serta
menjadi wali/wali pengawas terhadap anak yatim piatu dan/atau
hartanya serta pengelolaan terhadap harta warisan yang tidak ada
wali berdasarkan Syariat Islam.10
Zakat yang terkumpul pada Baitul Mal Aceh selanjut
disalurkan kepada mustahiq (penerima). Di samping itu,
Baitul Mal Aceh memiliki peran terhadap pengembangan/
memberdayakan zakat menjadi zakat produktif sebgaimana
ketetapan Qanun Nomor 10 Tahun 2007 Tentang Baitul Mal,
Bab VI, Pasal 39 menetapkan bahwa zakat didayagunakan
untuk mustahik baik yang bersifat produktif maupun konsumtif
berdasarkan ketentuan syari’at.
Dasar ketentuan qanun tersebut, pengembangan zakat
produktif sangat mungkin dilakukan untuk pengembangan
perekonomian masyarakat. Nasrullah menjelaskan, upaya
pengembangan zakat menjadi sesuatu yang amat penting,
karena zakat tidak hanya sebagai masalah konsumtif, namun
juga memperhatikan masalah yang produktif. Dalam arti bahwa
harta zakat itu tidak hanya semata-mata untuk konsumtif saja,
tetapi juga dapat dikembangkan dalam bentuk produktif lainnya,
misalnya dijadikan suatu modal usaha agar dapat dimanfaatkan
lebih luas dalam proses pengembangan masyarakat ke depan
secara menyeluruh.11
10
Qanun Nomor 10 Tahun 2007 Tentang Baitul Mal.
11
Nasrullah. Regulasi Zakat Dan Penerapan Zakat Produktif Sebagai

Madani Publisher | 123


Lima Sasaran Utama Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh

Pemberdayaan zakat yang terkumpul di Baitul Mal


Provinsi Aceh sekarang digunakan untuk program berikut:
1) Modal usaha.
2) Fakir miskin.
3) Membangun rumah dhuafa.
4) Beasiswa prestasi, miskin, penyelesaian tugas akhir/
skripsi.
5) Beasiswa tahfid Al-Qur’an.
Anton widyanto merujuk pada penjelasan Afzalur
Rahman dalam karyanya Economic doctrines of Islam berpendapat
bahwa pemberdayaan zakat akan dapat memberikan dorongan
yang sangat kuat kepada banyak orang untuk melakukan investasi
modal sehingga mampu menumbuhkan dan meningkatkan
kekayaan total selurah masyarakat.12 Jadi, urgensi pemberdayaan
zakat dapat memperbaiki dan menumbuhkan perekonomian
masyarakat. Demikian juga jika zakat di Aceh dapat dikelola
secara efektif tentu juga akan menumbuhkan perekonomian
masyarakat Aceh.

D. Pengawasan Pelaksanaan Syariat Islam


Pengawasan terhadap pelaksanaan syariat Islam di
Aceh bertujuan agar implementasinya berjalan dengan efektif.
Pengawasan terhadap pelaksanaan syariat Islam di Aceh
merupakan tanggung jawab bersama masyarakat Aceh dan
pemerintah Aceh.
Penunjang Pemberdayaan Masyarakat (Studi Kasus Pada Baitul Mal Kabupaten
Aceh Utara). INFERENSI, Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan.Vol. 9, No. 1,
Juni 2015, hlm 4.
12
Anton Widyanto. Dkk. Menyorot Nanggroe (Refleksi Kegaduhan
Atas Fenomena Keagamaan, Pendidikan, Politik, Kepemerintahan, Gender
Dan Sosial-Budaya Aceh). Cet. I. (Banda Aceh: Pena, 2007), hlm 114.

124 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

Setiap unsur lembaga, kantor pemerintah/swasta, dan


masyarakat Aceh pada umumnya menjadi pengawas terhadap
pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Demikian juga, setiap
individu masyarakat Aceh memiliki kewajiban terhadap aktivitas
pengawasan syariat Islam di Aceh.
Tanggung jawab pengawasan pelaksanaan syariat Islam
di Aceh merupakan tanggung jawab bersama. Tanggung jawab
tersebut tidak hanya menjadi kewajiban pemerintah, akan tetapi
kewajiban bersama. Oleh karena itu, keberhasilan pelaksanaan
syariat Islam pula merupakan hasil kerja sama pemerintah dan
masyarakat.
Ketetapan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tantang
pemerintah Aceh terhadap pengawasan syariat Islam, sebagai
berikut:
1) Gubernur atau bupati/walikota mempunyai tugas dan
wewenang: melaksanakan dan mengoordinasikan
pelaksanaan syari’at Islam secara menyeluruh. Lihat
UUPA, Bab VIII Pasal 42, Poin nomor 1 huruf e.
2) Dewan Perwakilan Rakyar (DPRA), melaksanakan
pengawasan terhadap pelaksanaan Qanun Aceh dan
peraturan perundang-undangan lain. lihat UUPA, Bab
VII Pasal 23, Poin nomor 1 huruf b.
Selanjutnya, Qanun Nomor 8 Tahun 2014 Tentang
Pokok-Pokok Syariat ISLAM, Bab VIII Pasal 39 Poin Nomor 1
menetapkan: Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota
bertanggung jawab mensosialisasi, membina, mengawasi, dan
menegakkan Qanun ini dan Qanun lainnya mengenai pelaksanaan
Syariat Islam.
Berdasarkan ketetapan tersebut, wewenang pengawasan
pelaksanaan syariat Islam di Aceh ada di pihak pemerintah

Madani Publisher | 125


Lima Sasaran Utama Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh

dan DPRA. Namun bukan berarti masyarakat tidak memiliki


wewenang, dalam hal ini masyarakat juga memiliki wewenang
karena masyarakat Aceh merupakan bagian dari sistem
pemerintahan Aceh. karena itu, masyarakat Aceh semua memiliki
wewenang terhadap pelaksanaan syariat Islam di provinsi Aceh.

E. Perluasan Kewenangan Mahkamah Syar’iyyah


Penerapan syariat Islam di provinsi Aceh berimplikasi
terhadap semua aspek yang terkait dengan syariat Islam, termasuk
aspek hukum. Pemutusan perkara terkait dengan pelanggaran
syariat Islam di selesaikan melalui peradilan syariat Islam. Qanun
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002
Tentang Peradilan Syariat Islam, Bab I Pasal 1, Poin Nomor 2
menetapkan: peradilan syariat Islam adalah bagian dari sistem
peradilan nasional yang diakukan oIeh Mahkamah Syar’iyah yang
bebas dari pengaruh pihak manapun.
Pembentukan Mahkamah syar’iyyah di Aceh wujud
perubahan dari pengadilan Agama. Qurrotul Aina. Dkk,
menjeaskan bulan Maret 2003, Pengadilan Agama di NAD
dikonversi menjadi Mahkamah Syar’iyyah. Lebih lanjut Qurrotul
Aina. Dkk, merujuk pada Amal dan Penggabean bahwa,
mahkamah ini dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor
11 Tahun 2003 dan Jumlah Mahkamah Syar’iyyah yang diresmikan
di bulan ini ada 20 buah: Mahkamah Syar’iyyah Provinsi, Banda
Aceh, Janto, Sigli, Lhoksukon, Lhoksumawe, Calang, Meulaboh,
Kutacane, Tapak Tuan, Bireun, Pidie, Kuala Simpang, Sinabang,
Singkil, Meuredu, Langsa, Takengon, Sabang, dan Blangkajeren.13
Kewenangan mahkamah syar’iyyah mencakup segala hal
yang termasuk dalam konteks penerapan syariat Islam di Aceh.
13
Qurrotul Aini. Dkk. Mahkamah Syari’ah di Nanggroe Aceh
Darussalam: Dalam Lintas Sejarah dan Eksistensinya. Yudisia, Vol. 7, No. 1,
Juni 2016, hlm 112.

126 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

Rusjdi menjelaskan bahwa kewenangan mahkamah syar’iyyah


lebih luas dari pada sebelumnya. Jika sebelumnya peradilan
agama hanya berwewenang menyelesaikan perkara sekitar hukum
privasi semacam perkawinan, warisan dan wakaf maka kini perlu
mencakup kewenangan dan bidang hukum publik, terutama
hukum pidana.14
Kewenangan mahkamah syar’iyyah dalam penerapan
syariat Islam di Aceh telah memiliki kewenangan yang luas,
mencakupi bidang; ahwal al– syakhshiyah (hukum keluarga),
mu’amalah (perdata), dan jinayah (pidana). Kewenangan terkait
bidang-bidang tersebut, sebagaimana ketetapan Qanun Nomor
10 tahun 2002 tentang peradilan syariat, Bab III kekuasaan dan
kewenangan Mahkamah, menetapkan:
Pasal 49
Mahkamah Syar’iyah bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus dan menyelesaikan perkara-perkara pada tingkat
pertama, dalam bidang :
a. Ahwal al – syakhshiyah;
b. Mu’amalah;
c. Jinayah
Teuku Zulkhairi menjelaskan kekuasaan dan kewenangan
tersebut akan dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan
kemampuan kompetensi dan ketersediaan sumber daya manusia
dalam rangka sistem peradialan nasional.15
Keluasan kewenangan mahkamah syar’iyyah dalam
memutuskan perkara-perkara sebagaimana ketetapan qanun
tersebut bertujuan agar penerapan syariat Islam di provinsi Aceh
14
Rusdji Ali Muhammad. Revitalisasi Syariat Islam Di Aceh...,hlm 52.
15
Teuku Zulkhairi. Syariat Islam Membangun..., hlm 104.

Madani Publisher | 127


Lima Sasaran Utama Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh

dapat terlaksana dengan efektif dan sebagai bentuk penegakan


hukum syariat di Aceh.

128 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

Bab X
Institusi-Institusi yang Terkait dengan
Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh

A. Dinas Syariat Islam


1. Kedudukan Dinas syariat Islam
Dinas syariat Islam merupakan lembaga yang dibentuk
oleh perintah Aceh. Muhibuththabary merujuk pada penjelasan
Al Yasa Abubakar menjelaskan Dinas Syariat Islam adalah
suatu birokrasi yang terkait dengan penerapan Syariat Islam
yang dibentuk berdasarkan Perda Nomor 33 Tahun 2001 di
mana pembentukan Organisasi dan tata kerja serta pelantikan
pejabatnya dilakukan pada akhir Februari 2002.1
Dinas Syariat Islam di provinsi Aceh secara resmi
1
Muhibbuthabry Kelembagaan Wilāyat Al-Ĥisbah..., hlm 75.

Madani Publisher | 129


Institusi-Institusi yang Terkait dengan Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh

dibentuk oleh pemerintah Aceh beserta susunan tata kerja dan


pelantikan pejabat yang pertama pada tahun 2002. Pembentukan
Dinas syariat Islam pada saat itu, merupakan langkah tepat untuk
mempercepat keefektifan penerapan syariat Islam di Aceh.
Kedudukan Dinas Syariat Islam sebagai lembaga resmi
yang mengurus bidang penerapan syariat Islam di Aceh yang
bertanggung Jawab kepada gubernur Aceh. Lembaga Dinas syariat
Islam berdasarkan tata organisasi pemerintahan Aceh berada di
bawah tanggung jawab gubernur Aceh. Kedudukan Dinas syariat
Islam sebagai lembaga atau unsur pelaksana syariat Islam di
Aceh, sebagaimana ketetapan Peraturan Daerah Provinsi Daerah
Istimewa Aceh Nomor 33 Tahun 2001 Tentang Pembentukan
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Syariat Islam Provinsi
Daerah Istimewa Aceh, Bab II, Pasal 2, menetapkan:
(1) Dinas Syariat Islam adalah perangkat daerah sebagai unsur
pelaksana Syariat Islam di lingkungan Pemerintah Daerah
Istimewa Aceh yang berada di bawah Gubernur.
(2) Dinas Syariat Islam dipimpin oleh seorang Kepala Dinas
yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada
Gubernur melalui Sekretaris Daerah.
Dinas Syariat Islam adalah perangkat pemerintah provinsi
Aceh yang bertanggung jawab terhadap pemerintahan Aceh. Tata
organisasi Dinas Syariat Islam Aceh pada tingkat provinsi berada
di bawah gubernur Aceh dan Dinas Syariat Islam di tingkat
kabupaten kota berada di bawah bupati/walikota.

2. Tugas dan Kewenangan dalam pelaksanaan syariat Islam di


Aceh
Dinas syariat Islam mengemban tugas sebagai pelaksanaan
syariat Islam di Aceh. Muhibuththabary merujuk pada penjelasan
Al Yasa Abubakar menjelaskan, Dinas syariat Islam mengemban

130 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

tugas sebagai penanggung jawab perencanaan dan pelaksanaan


Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, terutama
dalam kaitannya dengan rancangan qanun, penyiapan tenaga dan
sarana, membantu dan menata penyelenggaraan peribadatan,
mengawasi pelaksanaan Syariat Islam serta memberikan
bimbingan dan penyuluhan.2
Tugas Dinas syariat Islam mencakupi tugas umum dan
tugas khusus, terkait dengan apa saja tugas Dinas Syariat Islam
di provinsi Aceh, merujuk pada ketetapan Peraturan Daerah
Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 33 Tahun 2001 Tentang
Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Syariat
Islam Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Bab II, Pasal 3, menetapkan:
Dinas Syariat Islam mempunyai tugas melaksanakan tugas
umum dan khusus Pemerintah Daerah dan Pembangunan serta
bertanggung jawab di bidang pelaksanaan Syariat Islam.
Dinas syariat Islam di samping memiliki/mengembang
tugas sebagaimana ketetapan tersebut juga memiliki fungsi
sebagai; pelaksana qanun syariat Islam, pembinaan/bimbingan,
penyuluhan, dan pengawasan. Fungsi-fungsi tersebut sebagaimana
ketetapan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh
Nomor 33 Tahun 2001 Tentang Pembentukan Susunan Organisasi
dan Tata Kerja Dinas Syariat Islam Provinsi Daerah Istimewa
Aceh, Bab II, Pasal 4, menetapkan: Untuk menyelenggarakan
tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Dinas Syariat Islam
mempunyai fungsi:
a. Pelaksanaan tugas yang berhubungan dengan
perencanaan, penyiapan qanun yang berhubungan dengan
pelaksanaan Syariat Islam serta mendokumentasikan dan
menyebarluaskan hasil-hasilnya;
b. Pelaksanaan tugas yang berhubungan dengan penyiapan
2
Muhibbuthabry Kelembagaan Wilāyat Al-Ĥisbah..., hlm 75.

Madani Publisher | 131


Institusi-Institusi yang Terkait dengan Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh

dan pembinaan sumber daya manusia yang berhubungan


dengan pelaksanaan Syariat Islam;
c. Pelaksanaan tugas yang berhubungan dengan kelancaran
dan ketertiban pelaksanaan peribadatan dan penataan
sarananya serta penyemarakan Syiar Islam;
d. Pelaksanaan tugas yang berhubungan dengan bimbingan
dan pengawasan terhadap pelaksanaan Syariat Islam di
tengah-tengah masyarakat; dan
e. Pelaksanaan tugas yang berhubungan dengan
pembimbingan dan penyuluhan Syariat Islam;
Secara umum Dinas Syariat Islam provinsi Aceh memiliki
fungsi sebagai pelaksana syariat Islam berdasarkan pada ketetapan
qanun yang sudah disepakati. Berdasarkan ketetapan tersebut
Dinas syariat Islam memiliki fungsi yang luas dalam pelaksanaan
tugas.
Sementara kewenangan Dinas syariat Islam, juga
berdasarkan ketetapan Peraturan Daerah Provinsi Daerah
Istimewa Aceh Nomor 33 Tahun 2001 Tentang Pembentukan
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Syariat Islam Provinsi
Daerah Istimewa Aceh, Bab II, Pasal 5, menetapkan: Untuk
melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Dinas
Syariat Islam mempunyai kewenangan sebagai berikut :
a. Merencanakan program, penelitian dan pengembangan
unsur-unsur Syariat Islam;
b. Melestarikan nilai-nilai islam;
c. Mengembangkan dan membimbing pelaksanaan Syariat
Islam yang meliputi bidang-bidang aqidah, ibadah,
mu’amalat, akhlak, pendidikan dan dakwah Islamiah,

132 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

amar makruf nahi mungkar, baitalmal, kemasyarakatan,


Syiar Islam, pembelaan Islam, qadha, jinayat, munakahat
dan mawaris;
d. Mengawas terhadap pelaksanaan Syariat Islam; dan
e. Membina dan mengawasi terhadap Lembaga
Pengembangan Tilawatil Quran (LPTQ);
Pembentukan Dinas syariat Islam di provinsi Aceh dapat pula
disebutkan sebagai wadah fasilitator pelaksanaan syariat Islam.
Hal ini sebagaimana terdapat dalam penjelasan RENJA Dinas
Syariat Islam tahun 2016, bahwa keinginan untuk melaksanakan
syariat Islam secara kaffah di Aceh dapat diwujudkan dengan
membentuk sebuah lembaga/institusi yang mempunyai tugas
dan kewenangan sebagai fasilitator, koordinator dan regulator
pelaksanaan syariat Islam.3 Demikian kewenangan Dinas Syariat
Islam provinsi Aceh terhadap pelaksanaan syariat Islam di Aceh.

B. Wilayatul Hisbah (WH): Tugas Dan Kewenangan


1. Dasar pembentukan Wilayatul Hisbah (WH)
Wilayatul Hibsah (WH) merupakan unit organisasi
yang memiliki peran penting terhadap pengawasan pelaksanaan
syariat Islam di provinsi Aceh. hal ini sejalan dengan penjelasan
Zulkarnaini. Dkk, menjelaskan bahwa lembaga Wilayatul Hibsah
adalah sebuah lembaga yang memiliki fungsi dan tugas pokok
perilaku masyarakat agar sejalan dengan nilai-nilai Islam.4
Wilayatul Hibsah (WH) terbentuk berdasarkan
Peraturan Pemeintah Daerah Nomor 5 Tahun 2000 tentang
Pelaksanaan syariat Islam Bab VI Pasal 20 Ayat (1) menetapkan
3
Revisi Rencana Kerja (Renja) Dinas Syariat Islam Tahun 2016. Banda
Aceh: Dinas Syariat Islam Aceh, 2015, hlm 1.
4
Zulkairnaini. Dkk. Catatan Penting Penyuluhan Islam. Cet. I.
(Banda Aceh: Nasa, 2012), hlm 82.

Madani Publisher | 133


Institusi-Institusi yang Terkait dengan Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh

bahwa Pemerintah Daerah berkewajiban membentuk badan


yang berwenang mengontrol/mengawasi (walayatul hisbah)
pelaksanaan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Daerah ini
sehingga dapat berjalan dengan sebaik-baiknya.
Kelanjutan dari kebijakan tersebut, maka keluarlah
kebijakan berupa Keputusan Gubernur Aceh Nomor 1 Tahun
2004 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Wilayatul
Hisbah, Bab II Pasal 3 menetapkan:
(1) Susunan Wilayatul Hisbah tingkat provinsi, kabupaten/
kota dan kecamatan terdiri atas ketua, wakil ketua
dan sekretaris serta Muhtasib, yang diangkat oleh
Gubernur, Bupati/Walikota.
(2) Susunan Wilayatul Hisbah Tingkat Kemukiman
terdiri dari seorang koordinator dan beberapa orang
Muhtasib, yang bertugas di Gampong-Gampong dan
diangkat oleh Bupati/Walikota.
(3) Pengangkatan Muhtasib sebagaimana yang dimaksud
pada ayat (1) dan (2), terlebih dahulu dikonsultasikan
kepada MPU setempat.5
2. Tugas dan Kewenangan wilayatul hisbah (WH)
Hasanuddin Yusuf Adnan menjelaskan Wilayatul Hisbah
(WH) adalah lembaga yang bertugas mengawasi, pembinaan, dan
melakukan advokasi terhadap pelaksanaan peraturan perundang-
undangan bidang syariat Islam dalam rangka melaksanakan amar
ma’ruf nahi mungkar.6
5
Muhibbuththabary. Wilayatul Hisbah Di Aceh (Konsep Dan
Inplementasi). Cet. I. (Banda Aceh: Pena, 2010), hlm 86.
6
Hasanuddin Yusuf Adan. Refleksi Implementasi Syariat Islam Di
Aceh. Cet. I. (Banda Aceh: Adnin Foundation Publisher Bekerja Sama Pena,
2009), hlm 29.

134 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

Berdasarkan ketetapan Keputusan Gubernur Aceh Nomor


1 Tahun 2004 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja
Wilayatul Hisbah, menetapkan pada Pasal 4:
(1) Wilayatul Hisbah mempunyai tugas;
a. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan dan
pelanggaran peraturan Perundang-undangan di
bidang syariat Islam.
b. Melakukan pembinaan dan advokasi spritual
terhadap setiap orang yang berdasarkan bukti
permulaan patut diduga telah melakukan
pelanggaran terhadap peraturan perundang-
undangan di bidang syariat Islam.
c. Pada saat tugas pembinaan mulai dilakukan
muhatsib perlu memberitahukan hal itu kepada
penyelidik terdekat atau kepada Keuchik/Kepala
Gampong atau keluarga pelaku.
d. Melimpahkan perkara pelanggaran peraturan
perundang-undangan di bidang syariat Islam
kepada penyidik.
(2) Pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a meliputi;
a. Memberitahukan kepada masyarakat tentang
adanya peraturan perundang-undangan di bidang
syariat Islam.
b. Menemukan adanya perbuatan pelanggaran
terhadap ketentuan syariat Islam.
(3) Pelaksanaan tugas pembinaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b meliputi;

Madani Publisher | 135


Institusi-Institusi yang Terkait dengan Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh

a. Menegur, memperingatkan dan menasihati


seseorang yang patut diduga telah melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan syariat Islam.
b. Berupaya untuk menghentikan kegiatan/
perbuatan yang patut diduga telah melanggar
peraturan perundang-undangan di bidang syariat
Islam.
c. Menyelesaikan perkara pelanggaran tersebut
melalui rapat adat gampong.
d. Memberitahukan pihak terkait tentang adanya
dugaan telah terjadi penyalahgunaan izin
penggunaan suatu tempat atau sarana.
Sementara kewenangan Lembaga Wilayatul Hisbah
(WH) dalam pelaksanaan syarait Islam di Aceh yang diatur
dalam Keputusan Gubernur Aceh Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Wilayatul Hisbah, adalah
sebagai berikut:
(1) Wilayatul Hisbah mempunyai kewenangan;
a. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan
peraturan dan perundang-undangan di bidang syariat
Islam.
b. Menegur, menasihati, mencegah, dan melarang
setiap orang yang patut diduga telah, sedang atau
akan melakukan pelanggaran terhadap peraturan
perundang-undangan di bidang syariat Islam.
(2) Muhtasib berwenang;
a. Menerima laporan pengaduan dari masyarakat.

136 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

b. Menyuruh berhenti seseorang yang patut diduga


sebagai pelaku pelanggaran.
c. Meminta keterangan identitas setiap orang yang patut
diduga telah dan sedang melakukan pelanggaran.
d. Menghentikan kegiatan yang patut diduga melanggar
peraturan perundnag-undangan.
(3) Dalam proses pembinaan, Muhtasib berwenang meminta
bantuan kepada Keuchik dan Tuha Peut setempat.
(4) Muhtasib dalam menjalankan tugas pembinaan terhadap
seseorang minimal 3 kali dalam masa tertentu.
(5) Setiap orang yang pernah mendapatkan pembinaan
petugas muhtasib, tetapi masih melanggar diajukan kepada
penyidik.7
Sejalan dengan ketetapan tersebut, kewenangan Lembaga
Wilayatul Hisbah (WH) juga terdapat dalam Qanun Nomor 11
Tahun tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah,
dan Syariat Islam, Bab VI Pasal 14 menetapkan:
(1) Untuk terlaksananya Syariat Islam di bidang aqidah,
ibadah dan syi’ar Islam, Pemerintah Provinsi, Kabupaten
/Kota membentuk Wilayatul Hisbah yang berwenang
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Qanun ini.
(2) Wilayatul Hisbah dapat dibentuk pada tingkat gampong,
kemukiman, kecamatan atau wilayah / lingkungan lainnya.
(3) Apabila dari hasil pengawasan yang dilakukan oleh
Wilayatul Hisbah sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) pasal ini terdapat cukup alasan telah terjadinya
pelanggaran terhadap Qanun ini, maka pejabat pengawas
7
Muhibbuththabary. Wilayatul Hisbah Di Aceh..., hlm 87-88.

Madani Publisher | 137


Institusi-Institusi yang Terkait dengan Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh

(Wilayatul Hisbah) diberi wewenang untuk menegur/


menasehati si pelanggar.
(4) Setelah upaya menegur / menasehati dilakukan sesuai
dengan ayat (3) di atas, ternyata perilaku sipelanggar tidak
berubah, maka pejabat pengawas menyerahkan kasus
pelanggaran tersebut kepada pejabat penyidik.
(5) Susunan organisasi Kewenangan dan tata kerja Wilayatul
Hisbah diatur dengan Keputusan Gubernur setelah
mendengar pertimbangan MPU.
Demikian tugas dan kewenangan Wilayatul Hisbah (WH)
secara formal berdasarkan ketetapan qanun terhadap pelaksanaan
syariat Islam di provinsi Aceh.

C. Mahkamah Syar’iyyah
1. Eksistensi Mahkamah Syar’iyyah dalam pelaksanaan syariat
Islam di Aceh
Mahkamah Syar’iyyah di Aceh saat ini merupakan
perubahan dari peradilan Agama yang telah ada di Aceh, sama
dengan provinsi lain. Namun khusus untuk provinsi Aceh karena
dalam konteks pelaksanaan syariat Islam berdasarkan kebijakan
pemerintah UU Nomor 44 tahun1999 tentang keistimewaan
Aceh dan UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus,
maka, peradilan Agama tersebut di rubah menjadi Mahkamah
Syar’iyyah.
Ridwan menjelaskan, pada awal pembentukan Mahkamah
Syar’iyyah belum sepenuhnya dapat melaksanakan sesuai dengan
qanun-qanun syariat Islam, karena tidak ada hukum acaranya.
Keberadaan Mahkamah syar’iyyah yang dituangkan dalam
Undang-Undang Nomor 18 tahun 2001 itu apakah juga berada
pada lingkup peradilan yang ada di Indonesia, tidak disebut

138 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

dengan jelas oleh Undang-Undang ini.8


Ridwan menambahkan bahwa, menghadapi keadaan yang
demikian, maka pemerintah Aceh menyikapi dan mensahkan
qanun Provinsi Aceh Nomor 10 tahun 2002 tang Mahkamah
Syar’iyyah, yang menetapkan kewenangan Mahkamah Syar’iyyah,
kedudukan Mahkamah Syar’iyyah, dan organisasi Mahkamah
Syar’iyyah. Namun setelah keluar Keputusan Presiden Nomor
11 tahun 2003 tentang Mahkamah Syar’iyyah yang memperkuat
kembali kedudukan Mahkamah Syar’iyyah di Aceh. Akan tetapi
keputusan Presiden ini lebih sempit dari kewenangan yang ada
dalam qanun Aceh. ini merupakan suatu kendala bagi Mahkamah
Syar’iyyah dalam melaksanakan tugasnya.9 Eksistensi atau
kedudukan Mahkamah Syar’iyyah terhadap pelaksanaan syariat
Islam di provinsi Aceh.

2. Kewenangan Mahkamah syar’iyyah dalam pelaksanaan syariat


Islam di Aceh
Kewenangan Mahkamah Syar’iyyah, UU No. 18 Tahun
2001 menyarankan pada qanun provinsi Aceh.10 Kemudian,
Kewenangan Mahkamah Syar’iyyah dalam pelaksanaan syariat
Islam di Aceh ditetapkan dalam ketetapan Qanun Nomor 10
tahun 2002 tentang peradilan syariat, Bab III kekuasaan dan
kewenangan Mahkamah, menetapkan:
Pasal 49
Mahkamah Syar’iyah bertugas dan berwenang memeriksa,
8
Ridwan M. Hasan. Modernisasi Syariat Islam Di Aceh. Cet.II.
(Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Aceh, 2013), hlm 102.
9
Ridwan M. Hasan. Modernisasi Syariat Islam Di Aceh..., h 102.
10
A. Baihaqi Djalil. Peradilan Agama Di Indonesia: Gemeruhnya
Politik Hukum (Hukum Islam, Hukum Barat, Hukum Adat) Dalam Tentang
Sejarah Bersama Pasang Surut Lembaga Peradilan Agama Hingga Lahirnya
Peradilan Syariat Islam Di Aceh. Cet. I. (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2006), hlm 170.

Madani Publisher | 139


Institusi-Institusi yang Terkait dengan Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh

memutus dan menyelesaikan perkara-perkara pada tingkat


pertama, dalam bidang :
a. Ahwal al-syakhshiyah;
b. Mu’amalah;
c. Jinayah
Pasal 50
(1) Mahkamah Syar’iyah Provinsi bertugas dan berwenang
memeriksa dan memutuskan perkara yang menjadi
kewenangan Mahkamah Syar’iyah dalam tingkat banding.
(2) Mahkamah Syar’iyah Provinsi juga bertugas dan
berwenang mengadili dalam tingkat pertama dan terakhir
sengketa kewenangan antar Mahkamah Syar’iyah di
Nanggroe Aceh Darussalam.
Pasal 51
Selain tugas dan kewenangan sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 49 dan Pasal 50, Mahkamah dapat diserahi tugas
dan kewenangan lain yang diatur dengan Qanun.
Berdasarkan ketetapan qanun 10 Tahun 2002 Tentang
Peradilan Syariat Islam ini, Mahkamah Syar’iyyah memiliki dua
tugas dan fungsi yaitu justisial dan non justisial. Pertama fungsi
bidang Justisial, Mahkamah Syar’iyah mempunyai tugas untuk
menerima, memeriksa dan menyelesaikan perkara antar orang
Islam di bidang ahwal al-syakshiyah (hukum keluarga), Muamalah
(perdata) dan Jinayah (pidana). Lihat ketetapan pasal 49 qanun
Nomor 10 Tahun 2002. Kedua fungsi di bidang non yudisial
meliputi pengawasan terhadap jalannya Mahkamah Syar’iyah
(Pasal 52 Qanun Nomor 10 Tahun 2002).11 Demikian terkait tugas
Teuku Saiful. Penerapan Syariat Islam di Aceh Dalam Konteks
11

Negara Kesatuan Republik Indonesia. fhunilak.ac.id/downlot.

140 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

dan fungsi justisial dan non justisial.

D. Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU)


Pembentukan MPU Aceh, sebagai pengganti MUI di
provinsi Aceh. Ali Geno Berutu merujuk pada penjelasan Taufik
dkk, Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 2000 tentang Pembentukan
Organisasi dan Tata Kerja MPU NAD merupakan penjabaran
keistimewaan daerah Aceh di bidang Peran Ulama dalam
Penetapan Kebijakan Daerah. Lembaga MPU ini sebagai pengganti
lembaga Majlis Ulama Indonesia Provinsi Daerah Istimewa Aceh
yang telah ada sebelumnya. Menurut PERDA tersebut, lembaga
MPU ini merupakan suatu badan yang independen dan bukan
unsur pelaksana Pemerinta Daerah dan DPRD. MPU merupakan
mitra sejajar Pemerintah Daerah dan DPRD.12 Perda Nomor
3 tahun 2000 kemudian direvisi dengan Qanun nomor 2 tahun
2009 tentang Majlis Permusyawaran Ulama (MPU).
Majlis Permusyawaratan Ulama (MPU) memiliki peran
penting dalam penerapan syariat Islam di Aceh. Peran tersebut
sebagai mana terdapat dalam penjelasan Qanun Aceh tahun
Nomor 8 tahun 2014, bahwa dalam perjalanan sejarah mulai
abad ke-17 sampai dengan pertengahan abad ke-19, Aceh
mencapai puncak kejayaannya dalam bidang ilmu pengetahuan,
politik, hukum, pertahanan dan ekonomi. Puncak keemasan
Aceh tersebut berkaitan erat dengan pemberlakuan Syariat Islam
secara kaffah sebagai pedoman hidup rakyat Aceh dalam segala
aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Kondisi tersebut tercermin dalam ungkapan bijak “Adat bak
Poteumeurhom, Hukum bak Syiah Kuala Qanun bak Putroe Phang,
Reusam bak Laksamana”. Ungkapan itu adalah pencerminan
bahwa Syariat Islam telah menyatu dan menjadi pedoman hidup
php?file=Teuku%20Saiful%20Penerapan%20Syariat%20di%20Aceh.pdf.
(Online). Tanggal 1 Mei 2017, hlm14
12
Ali Geno Berutu. Aceh dan Syariat Islam..., hlm 8.

Madani Publisher | 141


Institusi-Institusi yang Terkait dengan Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh

bagi masyarakat Aceh melalui peranan para ulama, sebagai


pewaris para rasul. Islam telah menjadi bagian dari kehidupan
masyarakat Aceh, tunduk dan taat kepada ajaran Islam serta
memperhatikan fatwa ulama.13 Penghayatan terhadap ajaran
Islam kemudian melahirkan budaya Aceh yang tercermin dalam
kehidupan adat. Adat tersebut hidup dan berkembang dalam
kehidupan masyarakat.
1. Fungsi MPU dalam pelaksanaan syariat Islam di Aceh
Majlis Permusyawaratan Ulama (MPU) dapat disebutkan
wadah atau tempat bernaung seluruh ulama Aceh dalam berbagai
perspektif keilmuan, seperti; ulama fiqih dan ulama tasuf secara
umum yang terkenal di Aceh. Upaya memperjelas apa yang
dimaksud dan siapa yang dimaksud MPU di Aceh, penulus
merujuk pada ketetapan Qanun Nomor 2 Tahun 2009 Tentang
Majelis Permusyawaratan Ulama, Bab I Pasal 1, Poin Nomor 10
menetapkan bahwa Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh yang
selanjutnya disingkat MPU Aceh adalah majelis yang anggotanya
terdiri atas ulama dan cendekiawan muslim yang merupakan
mitra kerja Pemerintah Aceh dan DPRA.
Majlis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh memiliki
fungsi strategis dalam penerapan syariat Islam di Aceh, terutama
sekali dalam aspek memberikan pertimbangan terhadap
pemerintah daerah di Aceh dalam menetapkan kebijakannya. Di
samping itu, MPU Aceh memiliki fungsi sebagai lembaga yang
memberikan bimbingan kepada masyarakat Aceh termasuk
pemerintah Aceh.
Fungsi MPU Aceh secara formal telah ditetap dalam
Qanun Nomor 2 Tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan
13
Ulama berperan tidak hanya dalam dakwah saja tetapi juga
berperan dalam berbagai kehidupan masyarakat Aceh termasuk fatwa. Lihat
Mujiburrahman. Ulama Di Bumi Syariat. Cet. I. (Banda Aceh: Ar-Raniry
Press, 2014), hlm 228.

142 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

Ulama, Bab II Pasal 4 menetapkan: MPU dan MPU kabupaten/


kota berfungsi:
a. Memberikan pertimbangan terhadap kebijakan daerah,
meliputi bidang pemerintahan, pembangunan, ekonomi,
sosial budaya dan kemasyarakatan;
b. Memberikan nasehat dan bimbingan kepada masyarakat
berdasarkan ajaran
Husni menjelaskan, Dengan demikian, fungsi MPU ada dua
yaitu sebagai penasehat yang memberi saran, pertimbangan
kepada pemerintahan daerah (eksekutif dan legislatif) dan
sebagai pengawas terhadap pelaksanaan kebijakan daerah,
baik bidang pemerintahan, pembangunan maupun pembinaan
kemasyarakatan serta tatanan hukum dan tatanan ekonomi yang
Islami.14 MPU Aceh sebagi mitra pemerintah dan DPRA dalam
penerapan syariat Islam di Aceh.
2. Kedudukan dan kewenangannya dalam pelaksanaan syariat
Islam di Aceh
MPU memiliki kedudukan dan kewenangan penting
dalam penerapan syariat Islam di Aceh, terutama sekali dalam
aspek fatwa. Abidin Nurdin menjelaskan, MPU memiliki peran
memberikan pertimbangan dalam bentuk fatwa, tausyiah atau
rekomendasi. Bahkan tidak hanya terbatas pada pihak eksekutif
dan legislatif saja, terkait dengan pembangunan di Aceh tetapi
semua aspek dan kepada semua stakeholder di Aceh.15
Kewenangan MPU secara formal berdasarkan ketetapan
14
Husni Jalil . Fungsi Majelis Permusyawaratan Ulama Dalam
Pelaksanaan Otonomi Khusus di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Jurnal
Equality, Vol. 12 No. 2 Agustus 2007, hlm 133.
15
Abidin Nurdin.Reposisi Peran Ulama Dalam Penerapan Syariat Islam
di Aceh. Jurnal “Al-Qalam” Volume 18 Nomor 1 Januari - Juni 2012, hlm 60.

Madani Publisher | 143


Institusi-Institusi yang Terkait dengan Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh

Qanun Nomor 2 Tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan


Ulama, Bab II:
Pasal 5
(1) MPU mempunyai kewenangan:
a. Menetapkan fatwa terhadap masalah pemerintahan,
pembangunan, ekonomi, sosial budaya dan
kemasyarakatan;
b. Memberikan arahan terhadap perbedaan pendapat
dalam masalah keagamaan baik sesama umat Islam
maupun antar umat beragama lainnya.
(2) MPU kabupaten/kota mempunyai kewenangan:
a. Melaksanakan dan mengamankan fatwa yang
dikeluarkan oleh MPU sebagaimana dimaksud pada
ayat (1);
b. Memberikan pertimbangan dan masukan kepada
pemerintah kabupaten/kota yang meliputi bidang
pemerintahan,
Pasal 6
(1) MPU mempunyai tugas :
a. Memberikan masukan, pertimbangan, dan saran
kepada Pemerintah Aceh dan DPRA dalam menetapkan
kebijakan berdasarkan syari’at Islam;
b. Melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan
pemerintahan, kebijakan daerah berdasarkan syariat
Islam;
c. Melakukan penelitian, pengembangan, penerjemahan,
penerbitan, dan pendokumentasian terhadap naskah-

144 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

naskah yang berkenaan dengan syariat Islam;


d. Melakukan pengkaderan ulama.
(2) MPU kabupaten/kota mempunyai tugas :
a. Memberikan masukan, pertimbangan, dan saran
kepada Pemerintah Kabupaten/kota dan DPRK dalam
menetapkan kebijakan berdasarkan syari’at Islam;
b. Melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan
pemerintahan, kebijakan daerah berdasarkan syariat
Islam;
c. Melakukan pengkaderan ulama;
d. Melakukan pemantauan dan kajian terhadap dugaan
adanya penyimpangan kegiatan keagamaan yang
meresahkan masyarakat serta melaporkannya kepada
MPU.
Peran lembaga MPU Aceh juga terdapat dalam ketetapan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan
Aceh, BAB XIX Majelis Permusyawaratan Ulama, Pasal 139 Poin
nomor (1) menetapkan bahwa MPU berfungsi menetapkan fatwa
yang dapat menjadi salah satu pertimbangan terhadap kebijakan
pemerintahan daerah dalam bidang pemerintahan, pembangunan,
pembinaan masyarakat, dan ekonomi.

E. Baitul Mal
1. Pembentukan Baitul Mal di Aceh
Baitul Mal dapat sebutkan badan atau lembaga
pengempulan dan pengelolaan zakat di Aceh. Dalam ketetapan
Qanun Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Pengelolaan Zakat, Bab
V Pasal 11, Poin Nomor (1) menetapkan, Badan Baitul Mal
merupakan Lembaga Daerah yang berwenang melakukan tugas

Madani Publisher | 145


Institusi-Institusi yang Terkait dengan Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh

pengelolaan zakat, infaq dan harta Agama lainnya di Provinsi


Nanggroe Aceh Darussalam.
Baitul Mal di Aceh secara resmi berdiri pada tanggal
13 Januari 2004.16 Pembentukan lembaga Baitul Mal di Aceh
berlandasan pada Qanun Nomor 7 Tahun 2004 Tentang
Pengelolaan Zakat, kemudian Qanun ini direvisi dengan Qanun
Nomor 10 Tahun 2007 Tentang Baitul Mal.
Hasanuddin Yusuf Adan menjelaskan terdapat beberapa
perbedaan prinsipil di antaranya; adanya pengurangan PPh
bagi pembayaran zakat, adanya aturan tentang wakaf produktif,
perwalian, harta tak bertuan (seperti harta tsunami) dan adanya
kewenangan Baitul Mal kemungkinan untuk mengelola wakaf.
Sebelumnya Aceh memiliki banyak nama Badan Harta Agama
(BHA), Badan Amil Zakat Infak dan sadakah (BAZIS), Lembaga
Amil Zakat dan Sadakah (LAZIS), dan sekarang Baitul Mal.17
Sekarang Baitul Mal Aceh sudah terbentuk mulai tingkat
provinsi sampai pada tingkat Kabupaten/kota dan bahkan sampai
pada tingkat gampong/desa di Aceh. Keberadaan lembaga Baitul
Mal ini sebagai pengelola zakat yang dikeluar oleh masyarakat
Aceh. Adapun ruang lingkup pengelolaan zakat yang dilakukan
lembaga Baitul Mal berdasarkan ketetapan Qanun Nomor 7
Tahun 2004 Tentang Pengelolaan Zakat Bab II Pasal 2 Poin
Nomor 1 menetapkan bahwa Ruang lingkup pengelolaan zakat
meliputi seluruh harta yang dimiliki oleh orang Islam dan atau
harta badan yang dimiliki oleh orang Islam yang telah memenuhi
syarat sebagai muzakki dalam wilayah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
Setiap orang yang beragama Islam dan atau setiap badan
Hasanuddin Yusuf Adan. Refleksi Implementasi Syariat Islam ...,
16

hlm 71.
Hasanuddin Yusuf Adan. Refleksi Implementasi Syariat Islam..., hlm
17

72.

146 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

yang berdomisili atau melakukan kegiatan usaha dalam Provinsi


Nanggroe Aceh Darusalam, yang memenuhi syarat sebagai
muzakki, wajib membayar zakat melalui Badan Baitul Mal.
Demikian berdasarkan ketetapan qanun nomor 7 Tahun 2004
Tentang Pengelolaan Zakat.
2. Fungsi dan perannya dalam pelaksanaan syariat Islam di Aceh
Nasrullah merujuk pada http://baitulmal-bandaaceh
bahwa, Baitul Mal Aceh merupakan sebuah lembaga daerah
nonstruktural yang diberi kewenangan untuk mengelola dan
mengembangkan zakat, wakaf, dan harta agama lainnya dengan
tujuan untuk kemaslahatan umat serta menjadi wali/wali pengawas
terhadap anak yatim piatu dan/atau hartanya serta pengelolaan
terhadap harta warisan yang tidak ada wali berdasarkan Syariat
Islam.18
Legalisasi pengelolaan zakat di Aceh ada pada Baitul Mal
Aceh, Baitul Mal Kabupaten/kota, baitulmal Mukim, dan Baitul
Mal gampong. Kewenangan tersebut sebagaimana ketetapkan
dalam Qanun Nomor 10 Tahun 2007 Tentang Baitul Mal, Bab II,
Pasal 3, menetapkan:
(1) Baitul Mal Aceh adalah Lembaga Daerah Non Struktural
yang dalam melaksanakan tugasnya bersifat independen
sesuai dengan ketentuan syariat, dan bertanggung jawab
kepada Gubernur.
(2) Baitul Mal Kabupaten/Kota adalah Lembaga Daerah
Non Struktural yang dalam melaksanakan tugasnya
bersifat independen sesuai dengan ketentuan syariat, dan
bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota.
(3) Baitul Mal Mukim adalah Lembaga Kemukiman Non
Struktural yang dalam melaksanakan tugasnya bersifat
18
Nasrullah. Regulasi Zakat Dan Penerapan Zakat..., hlm 4.

Madani Publisher | 147


Institusi-Institusi yang Terkait dengan Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh

independen sesuai dengan ketentuan syariat, dan


bertanggung jawab kepada Baitul Mal Kabupaten/Kota.
(4) Baitul Mal Gampong adalah Lembaga Gampong Non
Struktural yang dalam melaksanakan tugasnya bersifat
independen sesuai dengan ketentuan syariat, dan
bertanggung jawab kepada Baitul Mal Kabupaten/Kota.
Sementara peran Baitul Mal dalam hal ini dilihat dari aspek
kewenangan berdasarkan ketetapan qanun. Kewenangan dan
kewajiban Baitul Mal Aceh berdasarkan ketetapan Qanun Nomor
10 Tahun 2007 Tentang Baitul Mal, Bab III, Pasal 8, menetapkan:
(1) Baitul Mal mempunyai fungsi dan kewenangan sebagai
berikut:
a. Mengurus dan mengelola zakat, wakaf, dan harta
agama;
b. Melakukan pengumpulan, penyaluran dan
pendayagunaan zakat;
c. Melakukan sosialisasi zakat, wakaf dan harta agama
lainnya;
d. Menjadi wali terhadap anak yang tidak mempunyai
lagi wali nasab, wali pengawas terhadap wali nashab,
dan wali pengampu terhadap orang dewasa yang tidak
cakap melakukan perbuatan hukum;
e. Menjadi pengelola terhadap harta yang tidak diketahui
pemilik atau ahli warisnya berdasarkan putusan
Mahkamah Syari’ah; dan
f. membuat perjanjian kerjasama dengan pihak ketiga
untuk meningkatkan pemberdayaan ekonomi umat
berdasarkan prinsip saling menguntungkan.

148 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

Kemudian kewenangan dan kewajiban Baitul Mal Aceh


juga di tetapkan dalam Qanun Nomor 10 Tahun 2007 Tentang
Baitul Mal, Bab III Pasal 10 menetapkan:
(1) Baitul Mal Aceh sebagaimana dimaksud pada Pasal 4
berwenang mengumpulkan, mengelola dan menyalurkan :
a. Zakat Mal pada tingkat Provinsi meliputi : BUMN,
BUMD Aceh dan Perusahaan swasta besar;
b. Zakat Pendapatan dan Jasa/Honorium dari :
1. Pejabat/PNS/TNI-POLRI, Karyawan Pemerintah
Pusat yang berada di Ibukota Provinsi;
2. Pejabat/PNS/Karyawan lingkup Pemerintah Aceh;
3. Pimpinan dan anggota DPRA;
4. Karyawan BUMN/BUMD dan perusahaan swasta
besar pada tingkat Provinsi; dan
5. Ketua, anggota dan karyawan lembaga dan badan
daerah tingkat provinsi.
c. Harta Agama dan harta waqaf yang berlingkup provinsi.

Kewenangan Baitul Mal sebagai pengelola zakat di Aceh


juga terdapat dalam ketetapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2006 tentang pemerintahan Aceh, Pasal 19 menetapkan bahwa
Zakat, harta wakaf, dan harta agama dikelola oleh Baitul Mal Aceh
dan Baitul Mal kabupaten/kota.

Madani Publisher | 149


Institusi-Institusi yang Terkait dengan Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh

150 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

Bab XI
Syariat Islam dan Adat Aceh:
Relasi Lembaga-Lembaga Pelaksanaan
Syariat Islam dengan Lembaga Adat Aceh

A. Majelis Adat Aceh (MAA)

Masyarakat Aceh memiliki keunikan tersendiri jika


dibandingkan dengan suku atau masyarakat lain dari berbagai
provinsi yang ada di Indonesia. Keunikan masyarakat Aceh
terdapat pada aspek adat-istiadatnya yang khas.

Adat-istiadat1 tersebut menjadi identitas bagi


1
Adat-istiadat (ceremonial) adalah tata cara kehidupan masyarakat
yang dilakukan pada tempat dan waktu yang telah ditentukan terlebih
dahulu untuk mengesahkan atau meresmikan hal tertentu dalam kehidupan
pemerintahan dan masyarakat di Aceh. lihat Qanun Nomor 8 Tahun 2012
Tentang Lembaga Wali Nanggroe, Bab I Pasal 1 Poin Nomor 9.

Madani Publisher | 151


Syariat Islam dan Adat Aceh: Relasi Lembaga-Lembaga Pelaksanaan Syariat Islam
dengan Lembaga Adat Aceh
masyarakat Aceh. Oleh karena itu, tentu harus ada upaya untuk
melestarikannya baik secara individu, kelompok masyarakat dan
secara kelembagaan. Salah satu lembaga yang bertanggung jawab
terhadap pelestarian adat-istiadat Aceh adalah Majelis Adat Aceh
(MAA).

Dalam ketetapan Qanun Nomor 10 Tahun 2008 Tentang


Lembaga Adat, Bab I Pasal 1 Poin Nomor 10 Menetapkan bahwa
Majelis Adat Aceh yang selanjutnya disebut MAA adalah sebuah
majelis penyelenggara kehidupan adat di Aceh yang struktur
kelembagaannya sampai tingkat gampong.

Majelis Adat Aceh (MAA) saat ini, pada dasarnya


perubahan dari Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh yang telah
ada di Aceh sejak tahun 1986. Hal ini sebagaimana penjelasan
Juhari, bahwa secara umum perkembangan Majelis Adat Aceh
dapat dikelompokkan ke dalam dua fase, yaitu; zaman Orde Baru
dan zaman reformasi. Kemudian Juhari menjelaskan kedua fase
tersebut sebagi berikut:

1. Zaman Orde Baru, era yang berada di bawah


kepemimpinan Soeharto. Saat ini, di Aceh telah
terbentuk sebuah organisasi yang diberi nama Lembaga
Adat dan Kebudayaan Aceh di singkat dengan LAKA.
Lembaga ini dibentuk dan dikukuhkan dengan surat
keputusan gubernur kepada daerah Istimewa Aceh
nomor:431/5431986 tanggal 9 Juli 1986. Dalam Surat
Keputusan (SK) tersebut, ditetapkan prof H Ali Hasjmy
sebagai ketua umum pertama. Tidak lama setelah
pembentukan lembaga LAKA muli mengembangkan
sayapnya hingga merata ke seluruh Kabupaten/kota
bahkan ke kecamatan di wilayah Provinsi Daerah
Istimewa Aceh, bahkan di beberapa provinsi lain di
Indonesia yang di dalamnya terdapat komunitas Aceh.

152 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

2. Zaman reformasi. Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh


(LAKA) pun ikut beradaptasi mengikuti tahap demi
tahap dari perubahan dan dinamika sosial yang ada dalam
rangka menyesuaikan diri dengan tingkat perkembangan
yang ada. Salah satu perubahan yang terjadi dalam
tubuh LAKA adalah perubahan status dan peran serta
pergantian nama dari Lembaga Adat dan Kebudayaan
Aceh (LAKA) menjadi Majelis Adat Aceh. Perubahan
tersebut bermula dari dikeluarkannya Undang-Undang
Nomor 44 Tahun 1999 tentang keistimewaan Aceh.
Undang-Undang ini telah memberi peluang yang
lebih besar dalam hal penyelenggaraan adat yang ada
dalam masyarakat Aceh. karena itu LAKA menentukan
langkah-langkah strategis agar mampu mengisi UU
tersebut dalam rangka memperkaya khazanah budaya
Aceh sebagai bagian dari budaya nasional. Untuk maksud
tersebut maka LAKA melaksanakan kongres pada
tanggal 25-27 September 2002 yang dibuka langsung
oleh presiden republik Indonesia ke-5 (Megawati
Soekarno Putri). Salah satu keputusan yang disepakati
dalam kongres tersebut adalah menggantikan Lembaga
Adat dan Kebudayaan Aceh dengan Majelis Adat Aceh
(MAA). Perubahan nama tersebut tertuang dalam
surat keputusan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam
nomor: 430/066/2003 tanggal 8 Januari 2003 sekaligus
membentuk kepengurusan MAA priode 2003-2008 yang
diketuai oleh Prof. H. Hakim Nya’ Pha, SH, DEA.2

Sama seperti LAKA, MAA juga sudah terbentuk mulai dari


tingkat provinsi sampai pada tingkat gampong/desa. Keberadaan
MAA sebagai penyelenggara adat dan sekaligus sebagai lembaga
2
Juhari. Peran Majelis Adat Aceh Dalam Menghadapi Perubahan
Sosial Di Aceh. Jurnal. Ar-Raniry. Edisi 1, No. 87 Januari-Juni 2011, hlm 87-
89.

Madani Publisher | 153


Syariat Islam dan Adat Aceh: Relasi Lembaga-Lembaga Pelaksanaan Syariat Islam
dengan Lembaga Adat Aceh
yang bertanggung jawab terhadap pelestarian adat Aceh dan
syariat Islam yang sedang berlangsung di Aceh.

B. Peran Majelis Adat Aceh (MAA) dalam Penerapan Syariat


Islam

Merujuk pada sebuah hadih maja yang sangat populer


terkait dengan hukum adat yang berbunyi: “Lampoh meu pageue
umong meu ateueng (kebun berpagar sawah berpematang);
Nanggroe meu syara’, maseng-maseng na Raja (Negeri mempunyai
peraturan dan masing-masing mempunyai Raja)” artinya tiap
hal ada adat lembaganya, dan tiap-tiap bidang pekerjaan itu
mempunyai aturan-aturan tertentu menurut bidangnya masing-
masing.3 Inilah gambaran umum dari kewenangan lembaga Adat/
MAA, termasuk membuat kebijakan adat yang relevan dengan
syariat Islam yang berlaku di provinsi Aceh.

Majelis Adat Aceh memiliki peran yang besar dalam


membantu pemerintah daerah untuk mewujudkan kesejahteraan
perekonomian, pembangunan, dan pelaksanaan syariat Islam di
Aceh. Majelis Adat Aceh merupakan salah satu lembaga Adat Aceh
memiliki fungsi dan peran sebagai wahana partisipasi masyarakat
dalam penyelenggaraan pemerintahan. Selain itu, menurut Tim
peneliti IAIN Ar-Raniry dan Biro keistimewaan Aceh bahwa
keberadaan lembaga adat lebih berasas pada alat ukur, pemersatu,
dan badan penyelesaian berbagai konflik secara kekeluargaan dan
bersahabat dalam masyarakat.4

Fungsi dan peran Majelis Adat Aceh sebagaimana


3
Yusni Amdani. Proses Pelaksanaan Penyelesaian Perselisihan di
Lembaga Peradilan Adat Aceh Tingkat Gampong (Desa). Asy-Syir’ah Jurnal
Ilmu Syari’ah dan Hukum. Vol. 48, No. 1, Juni 2014, hlm 234.
4
Tim peneliti: IAIN Ar-Raniry dan Biro keistimewaan Aceh.
Kelembagaan Adat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Cet. I. (Banda Aceh:
Ar-Ranir Press), hlm135.

154 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

ditetapkan dalam ketetapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun


2006 tentang pemerintahan Aceh, Bab XIII lembaga Adat, Pasal
98 menetapkan:

(1) Lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai wahana


partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan
Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota
di bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan
ketertiban masyarakat.

(2) Penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat


ditempuh melalui lembaga adat.

(3) Lembaga adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan


ayat (2), meliputi:

a. Majelis Adat Aceh;


b. Imeum mukim atau nama lain;
c. Imeum chik atau nama lain;
d. Keuchik atau nama lain;
e. Tuha peut atau nama lain;
f. Tuha lapan atau nama lain;
g. Imeum meunasah atau nama lain;
h. Keujreun blang atau nama lain;
i. Panglima laot atau nama lain;
j. Pawang glee atau nama lain;
k. Peutua seuneubok atau nama lain;
l. Haria peukan atau nama lain; dan
m. Syahbanda atau nama lain.

Madani Publisher | 155


Syariat Islam dan Adat Aceh: Relasi Lembaga-Lembaga Pelaksanaan Syariat Islam
dengan Lembaga Adat Aceh
Lembaga adat tersebut sebagian besar derada pada tinggkat
gampong/desa. Kamaruddin. Dkk, menjelaskan, sebagian besar
lembaga adat tersebut berada di tingkat gampong, mukim dan
sebagian kecil di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Lembaga
adat yang berada di tingkat gampong adalah keuchik, tuha peut,
tuha lapan dan imeum meunasah. Lembaga adat tingkat mukim
meliputi imeum mukim, imeum chik,dan tuha lapan. Sedangkan
lembaga adat keujruen blang, panglima laot, pawang glee/uteun,
petua seuneubok, haria peukan dan syahbandar ada yang berada
di tingkat gampong dan ada juga di mukim tetapi lembaga ini
hanya memiliki kewenangan pada wilayah yang khusus. Sedang
lembaga adat tingkat provinsi dan kabupaten/kota adalah Majelis
Adat Aceh yang menaungi semua lembaga adat lainnya.5

Unsur-unsur lembaga adat tersebut tidak hanya berfungsi


sebagai penyelenggara aktivitas pemerintahan dan lembaga
menyelesaikan konflik yang terjadi di wilayah kewenangannya,
misalnya di desa. Namun unsur-unsur lembaga adat tersebut
juga berfungsi sebagai lembaga pendukung terhadap pelaksanaan
syariat Islam di Aceh. Hal ini sebagaimana penjelasan Kamaruddin.
Dkk, bahwa unsur-unsur lembaga adat inilah yang berwenang
untuk menjalankan segala fungsi dan peran yang tercantum dalam
Qanun tentang Lembaga Adat.6 Penjelasan hampir senada juga
dijelaskan oleh Syamsul Rizal. Dkk, bahwa sehubungan dengan
pelaksanaan syariat Islam lembaga adat tersebut memiliki peran
besar dalam menjaga dan mengawasi pola kehidupan keseharian
di tingkat gampong.7

Majelis Adat Aceh pada tingkat provinsi memiliki peran


dan fungsi sebagai pembinaan kehidupan adat-istiadat sejalan
5
Kamaruddin. Dkk. Model Penyelesaian Konflik Di Lembaga Adat.
Walisongo, Volume 21, Nomor 1, Mei 2013, hlm 52.
6
Kamaruddin. Dkk. Model Penyelesaian Konflik..., hlm 52.
7
Samsul Rizal. Dkk. Dinamika Sosial Keagamaan Dalam Penerapan
Syariat Islam. Cet. I. (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam, 2007), hlm 128.

156 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

dengan pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Fungsi ini sebagaimana


ketetapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
pemerintahan Aceh, Bab XIII lembaga Adat, Pasal 99 menetapkan
bahwa pembinaan kehidupan adat-istiadat dilakukan sesuai
dengan perkembangan keistimewaan dan kekhususan Aceh yang
berlandaskan pada nilai-nilai syari’at Islam dan dilaksanakan oleh
Wali Nanggroe.

C. Sifat dan Kewenangan Lembaga Adat

Lembaga Adat Aceh termasuk Majelis Adat Aceh


(MAA) dan unsur adat yang terdapat di tingkat kabupaten/
kota dan gampong/desa merupakan lembaga non struktural di
pemerintahan Aceh berkedudukan sebagai mitra pemerintah
yang bersifat otonom. Hal ini, merujuk pada ketetapan Qanun
Nomor 10 Tahun 2008 lembaga Adat, Bab III Pasal 3 menetapkan,
bahwa Lembaga adat bersifat otonom dan independen sebagai
mitra Pemerintah sesuai dengan tingkatannya.

Lembaga Adat Aceh dalam menjalankan fungsinya


memiliki wewenang untuk membantu pemerintah Aceh untuk
mewujudkan pembangunan, kesejahteraan, menjaga keamanan,
ketenteraman, menyelesaikan perkara yang terjadi di wilayah
lembaga adat, dan membantu pemerintah Aceh terhadap
pelaksanaan syariat Islam di Aceh.

Secara formal kewenangan Lembaga Adat Aceh dapat


dilihat dalam ketapan Qanun Nomor 10 Tahun 2008 tentang
lembaga Adat, Bab III Pasal 4 menetapkan, bahwa dalam
menjalankan fungsinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) lembaga adat berwenang:

a. Menjaga keamanan, ketentraman, kerukunan, dan


ketertiban masyarakat;

Madani Publisher | 157


Syariat Islam dan Adat Aceh: Relasi Lembaga-Lembaga Pelaksanaan Syariat Islam
dengan Lembaga Adat Aceh
b. Membantu Pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan;
c. Mengembangkan dan mendorong partisipasi masyarakat;
d. Menjaga eksistensi nilai-nilai adat dan adat istiadat yang
tidak bertentangan dengan syari’at Islam;
e. Menerapkan ketentuan adat;
f. Menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan;
g. Mendamaikan sengketa yang timbul dalam masyarakat;
dan
h. Menegakkan hukum adat.

Majelis adat Aceh dan unsur lembaga adat lain yang


umumnya terdapat pada tingkat gampong/desa di Aceh memiliki
peran dan fungsi pembinaan syariat Islam terhadap masyarakat.
Bagian kedua Pasal 8 menetapkan Imeum Mukim atau Nama Lian
bertugas:

a. Melakukan pembinaan masyarakat;


b. Melaksanakan kegiatan adat istiadat;
c. Menyelesaikan sengketa;
d. Membantu peningkatan pelaksanaan syariat Islam;
e. Membantu penyelenggaraan pemerintahan; dan
f. Membantu pelaksanaan pembangunan.

Selanjutnya pada bagian ketiga Imeum Chik atau Nama


Lain, Pasal 11 menetapkan, Imeum Chik atau Nama Lain bertugas:

a. Mengkoordinasikan pelaksanaan keagamaan dan


peningkatan peribadatan serta pelaksanaan Syari’at Islam
dalam kehidupan masyarakat;
b. Mengurus, menyelenggarakan dan memimpin seluruh

158 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

kegiatan yang berkenaan dengan pemeliharaan dan


pemakmuran masjid; dan
c. menjaga dan memelihara nilai-nilai adat, agar tidak
bertentangan dengan Syari’at Islam.

Kemudian, bagian keempat Keuchik atau Nama Lain Pasal


15 menetapkan:

(1) Keuchik atau nama lain bertugas:

a. Membina kehidupan beragama dan pelaksanaan


Syari’at Islam dalam masyarakat;
b. Menjaga dan memelihara adat dan adat istiadat yang
hidup dan berkembang dalam masyarakat;
c. Memimpin penyelenggaraan pemerintahan gampong;
d. Menggerakkan dan mendorong partisipasi masyarakat
dalam membangun gampong;
e. Membina dan memajukan perekonomian masyarakat;
f. Memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup;
g. Memelihara keamanan, ketentraman dan ketertiban
serta mencegah munculnya perbuatan maksiat dalam
masyarakat;
h. Mengajukan rancangan qanun gampong kepada Tuha
Peut Gampong atau nama lain untuk mendapatkan
persetujuan;
i. Mengajukan rancangan anggaran pendapatan belanja
gampong kepada tuha peut gampong atau nama lain
untuk mendapatkan persetujuan;
j. Memimpin dan menyelesaikan masalah sosial
kemasyarakatan; dan

Madani Publisher | 159


Syariat Islam dan Adat Aceh: Relasi Lembaga-Lembaga Pelaksanaan Syariat Islam
dengan Lembaga Adat Aceh
k. Menjadi pendamai terhadap perselisihan antar
penduduk dalam gampong.
(2) Keuchik atau nama lain sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf k dibantu oleh Imeum Meunasah atau nama lain
dan Tuha Peut Gampong atau nama lain.

Bagian Ketujuh Imeum Meunasah, Pasal 23 menetapkan


bahwa Imeum Meunasah atau nama lain mempunyai tugas:

a. Memimpin, mengkoordinasikan kegiatan peribadatan,


pendidikan serta pelaksanaan Syari’at Islam dalam
kehidupan masyarakat;
b. Mengurus, menyelenggarakan dan memimpin seluruh
kegiatan yang berkenaan dengan pemeliharaan dan
pemakmuran meunasah atau nama lain;
c. Memberi nasehat dan pendapat kepada Keuchik atau
nama lain baik diminta maupun tidak diminta;
d. Menyelesaikan sengketa yang timbul dalam masyarakat
bersama pemangku adat; dan
e. Menjaga dan memelihara nilai-nilai adat, agar tidak
bertentangan dengan Syari’at Islam.

Bagian kedelapan Keujreun Blang atau Nama Lain Pasal 24


menetapkan bahwa Keujreun Blang atau Nama Lain mempunyai
tugas:

a. Menentukan dan mengkoordinasikan tata cara turun ke


sawah;
b. Mengatur pembagian air ke sawah petani;
c. Membantu pemerintah dalam bidang pertanian;
d. Mengkoordinasikan khanduri atau upacara lainnya yang

160 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

berkaitan dengan adat dalam usaha pertanian sawah;


e. Memberi teguran atau sanksi kepada petani yang
melanggar aturan-aturan adat meugoe (bersawah)
atau tidak melaksanakan kewajiban lain dalam sistem
pelaksanaan pertanian sawah secara adat; dan
f. Menyelesaikan sengketa antar petani yang berkaitan
dengan pelaksanaan usaha pertanian sawah.
Bagian kesembilan Panglima Laot atau Naman Lain,
Paragraf 2 wewenang, tugas dan fungi Pasal 28, menetapkan:

(1) Panglima Laot atau nama lain berwenang :

a. Menentukan tata tertib penangkapan ikan atau


meupayang termasuk menentukan bagi hasil dan hari-
hari pantang melaut;
b. Menyelesaikan sengketa adat dan perselisihan yang
terjadi di kalangan nelayan;
c. Menyelesaikan sengketa adat yang terjadi antar
Panglima Laot lhok atau nama lain; dan
d. Mengkoordinasikan pelaksanaan hukum adat laot,
peningkatan sumber daya dan advokasi kebijakan
bidang kelautan dan perikanan untuk peningkatan
kesejahteraan nelayan.

Bagian Kesepuluh Pasal 31, menetapkan; Pawang Glee


atau nama lain memiliki tugas sebagai berikut:

a. Memimpin dan mengatur adat-istiadat yang berkenaan


dengan pengelolaan dan pelestarian lingkungan hutan;
b. Membantu pemerintah dalam pengelolaan hutan;
c. Menegakkan hukum adat tentang hutan;

Madani Publisher | 161


Syariat Islam dan Adat Aceh: Relasi Lembaga-Lembaga Pelaksanaan Syariat Islam
dengan Lembaga Adat Aceh
d. Mengkoordinir pelaksanaan upacara adat yang berkaitan
dengan hutan; dan
e. Menyelesaikan sengketa antara warga masyarakat dalam
pemanfaatan hutan.

Bagian Kesebelas Pasal 33, menetapkan:

(1) Petua Seuneubok atau nama lain mempunyai tugas:

a. Mengatur dan membagi tanah lahan garapan dalam


kawasan Seuneubok atau nama lain;
b. Membantu tugas pemerintah bidang perkebunan dan
kehutanan;
c. Mengurus dan mengawasi pelaksanaan upacara adat
dalam wilayah Seuneubok atau nama lain;
d. Menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam wilayah
Seuneubok atau nama lain; dan
e. Melaksanakan dan menjaga hukum adat dalam wilayah
Seuneubok atau nama lain.

Bagian Keduabelas Haria Peukan atau nama lain Pasal 36,


menetapkan:

a. Membantu pemerintah dalam mengatur tata pasar,


ketertiban, keamanan, dan melaksanakan tugas-tugas
perbantuan;
b. Menegakkan adat dan hukum adat dalam pelaksanaan
berbagai aktivitas peukan;
c. Menjaga kebersihan peukan atau nama lain; dan
d. Menyelesaikan sengketa yang terjadi di peukan atau nama
lain.

162 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

Bagian Ketigabelas Syahbanda Atau nama Lain Pasal 40,


menetapkan bahwa Syahbanda atau nama lain mempunyai tugas:
a. Mengelola pemanfaatan pelabuhan rakyat;
b. Menjaga ketertiban, keamanan di wilayah pelabuhan
rakyat;
c. Menyelesaikan sengketa yang terjadi di wilayah pelabuhan
rakyat; dan
d. Mengatur hak dan kewajiban yang berkaitan dengan
pemanfaatan pelabuhan.

Semua unsur adat tersebut memiliki peran dan fungsi


berdasarkan kapasitasnya masing-masing dalam membantu
pemerintah daerah provinsi Aceh terhadap pelaksanaan syariat
Islam di Aceh, terutama sekali dalam hal pengaturan hukum adat
pada wilayah adat agar tetap memperhatikan nilai-nilai syariat
Islam.

Abidin Nurdin dalam penelitiannya melakukan wawancara


dengan Badruzzaman Ismail, Ketua Majelis Adat Provinsi Aceh
menjelaskan bahwa adat Aceh sangat kental dengan warna Islam.
Nilai-nilai Islam seperti humainisme, persamaan, perdamaian,
kebersamaan teraplikasi dalam adat, budaya masyarakat Aceh.
Misalnya, konflik yang terjadi dalam didamaikan dengan
pendekatan adat yang dikenal dengan suloh. Suloh berasal dari
Islam yaitu islah, artinya damai.8 Demikian, peran lembaga adat
Aceh dalam penerapan syariat Islam di provinsi Aceh.

Abidin Nurdin. Integrasi Agama dan Budaya: Kajian Tentang Tradisi


8

Maulod Dalam Masyarakat Aceh. el Harakah Vol.18 No.1 Tahun 2016, hlm
50.

Madani Publisher | 163


Syariat Islam dan Adat Aceh: Relasi Lembaga-Lembaga Pelaksanaan Syariat Islam
dengan Lembaga Adat Aceh

164 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

Bab XII
Isu-Isu alam Pelaksanaan Syariat Islam
di Aceh

A. Syariat Islam dan Non Muslim di Aceh


1. Syariat Islam bukan bagi non muslim di Aceh
Pelaksanaan syariat Islam di Aceh merupakan otoritas
dan hak pemerintah daerah Aceh beserta masyarakat Aceh, yang
berlandasan pada Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang
keistimewaan Aceh, di susul dengan Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2001 tentang otonom khusus, dan juga Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh.
Syariat Islam hanya untuk umat muslim. Demikian halnya
dengan pelaksanaan syariat Islam di tanah serambi makkah
(Aceh). Artinya, syariat Islam tidak berlaku bagi pemeluk agama

Madani Publisher | 165


Isu-Isu dalam Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh

selain agama Islam, misalnya; pemeluk agama hindu, budha, dan


kristen yang ada di Aceh.
Pemberlakuan syariat Islam di Aceh khusus terhadap
warga muslim yang menetap di Aceh. Hal ini ditegaskan dalam
ketetapan:
1. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus, Bab I Pasal, Poin Nomor 7, menetapkan
bahwa Mahkamah Syar’iyah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam adalah lembaga peradilan yang bebas dari
pengaruh dari pihak mana pun dalam wilayah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam yang berlaku untuk pemeluk
agama Islam.
2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh, Bab VXIII Pasal 128, Poin Nomor
2, menetapkan bahwa Mahkamah Syar’iyah merupakan
pengadilan bagi setiap orang yang beragama Islam dan
berada di Aceh.
Masyarakat non muslim yang menetap di Aceh tidak perlu
takut dengan penerapan syariat Islam di Aceh karena syariat Islam
tidak berlaku bagi kalangan masyarakat non muslim. Hal ini,
sejalan dengan penjelasan Al Yasa’ Abubakar bahwa syariat Islam
tidak akan diberlakukan atas orang yang tidak beragama Islam.1
Agama lain (non-Islam) yang ada di Aceh setelah
penerapan syariat Islam tetap diakui dan bagi pemeluknya dapat
melaksanakan ibadah berdasarkan agama yang mereka ikuti.
Penjelasan ini terdapat dalam ketetapan Peraturan Pemerintah
Daerah Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam
Bab II Pasal 2 Poin Nomor 2 menetapkan bahwa Keberadaan
1
Al Yasa’ Abubakar. Syari’at Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, Paradigma, Kebijakan Dan Kegiatan. Cet. I. (Banda Aceh: Dinas
Syariat Islam, 2008), hlm 145.

166 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

agama lain di luar agama Islam tetap diakui di daerah ini,


pemeluknya dapat menjalankan ajaran agamanya masing-masing.
Pelaksanaan syariat Islam di Aceh tidak membatasi
terhadap aktivitas agama lain. Pemerintah Aceh memberikan
melalui Perda tersebut menghormati terhadap kebebasan terhadap
pemeluk agama lain (nom-Islam) yang berada di Aceh.
Selanjutnya dalam Perda Nomor 5 Tahun 2000 tentang
pelaksanaan syariat Islam, Bagian ketujuh Pasal 15, Poin Nomor
4, menetapkan bahwa Setiap pemeluk agama selain agama Islam
diharapkan menghormati dan rnenyesuaikan pakaian/busananya
sehingga tidak melanggar tata krama dan kesopanan dalam
masyarakat.
Ketapan tersebut bukan untuk membatasi non muslim di
Aceh. Namun menurut Marzuki, Ayat tersebut bukan bertujuan
untuk membatasi umat non Muslim, tetapi hal tersebut diatur
untuk terciptanya masyarakat lebih teratur dan rapi serta penuh
dengan kesopanan, sesuai dengan tata krama. Bagi umat non
muslim tetap diberikan kebebasan untuk berpakaian tidak sama
dengan umat Muslim, tetapi disyaratkan dapat mengikuti tata
karma dalam masyarakat.2 Demikian, pelaksanaan syariat Islam
membatasi terhadap non muslim yang berada di Aceh.
2. Qanun jinayat juga bisa berlaku bagi non muslim di Aceh
Hukum jinayat tidak hanya berlaku bagi kalangan muslim
di Aceh. Namun juga berlaku bagi non muslim yang melakukan
pelanggaran atau perbuatan yang dilarang dalam pelaksanaan
syariat Islam di Aceh yang disebut dengan jarimah. Dalam
ketetapan Qanun Jinayat Nomor 6 Tahun 2014 tetantang Hukum
Jinayat, Bab I I Pasal 1 Ayat 16 menetapkan bahwa Jarimah adalah
perbuatan yang dilarang oleh Syariat Islam yang dalam Qanun ini
diancam dengan ‘Uqubat Hudud dan/atau Ta’zir.
2
Marzuki Abubakar. Syariat Islam di Aceh..., hlm 156.

Madani Publisher | 167


Isu-Isu dalam Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh

Qanun jinayat berlaku terhadap pelaku pidana (jarimah)


di Aceh termasuk non muslim. Dalam ketetapan Qanun Jinayat
Nomor 6 Tahun 2014 tetantang Hukum Jinayat, Bab II Bagian
kedua Pasal 5 menetapkan bahwa Qanun ini berlaku untuk:
a. Setiap Orang beragama Islam yang melakukan Jarimah di
Aceh;
b. Setiap Orang beragama bukan Islam yang melakukan
Jarimah di Aceh bersama-sama dengan orang Islam dan
memilih serta menundukkan diri secara sukarela pada
Hukum Jinayat;
c. Setiap Orang beragama bukan Islam yang melakukan
perbuatan Jarimah di Aceh yang tidak diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau ketentuan
pidana di luar KUHP, tetapi diatur dalam Qanun ini; dan
d. Badan Usaha yang menjalankan kegiatan usaha di Aceh.
Berdasarkan ketetapan tersebut, bagi non muslim pelaku
jarimah di Aceh bersama-sama dengan orang muslim. Dalam
hal ini, non muslim tersebut dapat memilih dan menyatakan
tunduk secara sukarela pada hukum jinayat. Contoh kasus yang
dikutip dari salah satu sumber berita on line, L Liu alias YM.
Warga kota Sigli beragama Budha ini dituduh menyimpan dan
memperdagangkan khamar. Liu akhirnya diadili di Mahkamah
Syar’iyah Sigli. Dalam putusan perkara ini terungkap demikian.3
Penundukan diri secara sukarela dan memilih dibolehkan, namun
tidak boleh memaksa.
Selanjutnya, dalam ketetapan Setiap orang yang beragama
bukan Islam melakukan perbuatan jinayah yang tidak diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau ketentuan
Dua Kategori Non-Muslim yang Bisa Terjerat Qanun Jinayah. http://
3

www.hukumonline.com/berita/baca/lt54da9dfa18fc9/dua-kategori-non-
muslim-yang-bisa-terjerat-qanun-jinayah. (Online). Tanggal 27 Mei 2017.

168 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

pidana di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana berlaku


hukum jinayah. Demikian menurut ketetapan UU No. 11 Tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh, Pasal 129 Ayat 2. Ketetapan ini
juga diatur dalam qanun jinayat, sebagaimana tersebut di atas.

B. Syariat Islam dan HAM


Syariat Islam ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad
Saw menjadi sebagai ajaran Rahmatan lil’alamin. Hal ini
sebagaimana terdapat dalam firman Allah.

     

Artinya:

Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk


(menjadi) rahmat bagi semesta alam. (Q.S. Al Anbiyaa’:
107).

Islam ajaran, di dalamnya terkandung tata aturan yang


mengatur tentang kehidupan manusia agar manusia hidup di muka
bumi Allah saling menghargai satu sama lainnya. Ajaran Islam
yang dibawa Nabi Muhammad Saw mengandung tujuan untuk
mengangkat harkat dan martabat manusia sebagi makhluk Allah
yang mulai. Islam sangat menghargai nilai-nilai kemanusiaan.
Oleh karena itu, ajaran Islam melarang keras terhadap segala
bentuk kekerasan terhadap manusia.
Penerapan syariat Islam di Aceh merupakan bagian dari
semangat untuk memberi rasa aman, pengangkatan harkat dan
martabat manusia menjunjung tinggi nilai-nilai kemanisan
sejalan dengan konsep ajaran Islam yang rahmatan lil’alamin.

Madani Publisher | 169


Isu-Isu dalam Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh

Isu-isu HAM berkembang hangat sejalan dengan


penerapan syariat Islam di Aceh, terutama sekali dari kalangan
yang menantang terhadap penerapan syariat Islam di Aceh dengan
mengatakan penerapan syariat Islam di Aceh melanggar HAM.
Yusdani merujuk pada Silahuddin Hamid menyebutnya
dengan kalangan anti HAM. Hal ini berkaitan dengan hukum-
hukum pidana Islam yang berseberangan dengan HAM, seperti
potong tangan, rajam, hukum gantung dan lain-lain. Selanjutnya,
Yusdani merujuk Zuhairi menjelaskan, sedangkan kelompok
formalisasi syariat menganggap bahwa hukum pidana Islam (al-
hudud) merupakan hukum Tuhan. Karenanya, dalam hukum
pidana Islam tidak ada tawar-menawar untuk menafsirkan syariat
yang emansipatoris.4
Penerapan syariat Islam di Aceh dan memberlakukan
qanun Jinayat pada dasarnya bertujuan untuk menghargai nilai-
nilai kemanusiaan di Aceh agar tidak tertindas. Qanun jinayat
justru bertujuan untuk memberi perlindungan kepada masyarakat
Aceh, muslim dan setiap orang yang berada di Aceh dijamin hak-
hak kemanusiaannya dengan qanuan jinayat tersebut.
Ketegasan hukum yang diberikan kepada pelaku pidana
atau jarimah berupa perbuatan yang dilarang dalam qanun
jinayat dengan memberikan ‘ukubat ta’zir berupa; cambuk,
denda, penjara, dan restitusi. Inilah bentuk ketegasan syariat Islam
terhadap hak-hak manusia agar tidak tertindas dan dilecehkan
oleh sesama manusia.
Penting dipertegas bahwa jika ada pendapat atau
argumen yang menyatakan penerapan syariat Islam melanggar
HAM, maka argumen tersebut keliru dan salah besar. Misalnya,
Dalmeri mengutip laporan penelitian Center for the Study of
Religion and Culture (CSRC) dan Konrad Adenauer Stiftung
4
Yusdani. Formalisasi Syariat Islam Dan Hak Asasi Manusia Di
Indonesia. Al-Mawarid Edisi XVI Tahun 2006, hlm 206.

170 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

bahwa pemberlakuan regulasi syariat Islam justru menghambat


bagi akselerasi demokrasi dan tumbuhnya bibit-bibit demokrasi
serta rawan terhadap pelanggaran HAM. Pada titik inilah
sesungguhnya fenomena maraknya pemberlakuan regulasi
syariat Islam ternyata telah gagal menjadi fondasi utama bagi
persemaian demokrasi dalam konteks desentralisasi dan otonomi
daerah. Kondisi dilematis seperti ini justru sangat potensial
menumbuhkan benih-benih konflik antar sesama anak bangsa,
serta menggerus nilai-nilai toleransi serta meretakkan bangunan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.5 Jika argumen ini ditujukan
terhadap penerapan syariat Islam di Aceh sungguh keliru.

C. Syariat Islam dan Gender


Salah satu Isu yang marak diperbincangkan dalam
berbagai kesempatan adalah gender6. Dalam sebuah penelitian
menjelaskan bahwa tidak ada konsep yang final mengenai
kesetaraan gender.7 Isu kesetaraan gender dalam Islam belum
5
Dalmeri. Prospek Demokrasi: Delima Antara Penerapan Syariat
Islam Dan Penegakan Hak Asasi Manusia Di Indonesia. Volume 15 Nomor 2
Desember 2012, hlm 230.
6
Gender adalah istilah yang diperkenalkan oleh para ilmuwan sosial
untuk menjelaskan perbedaan antara perempuan dan laki-laki yang bersifat
bawaan sebagai ciptaan Tuhan dan yang bersifat bentukan budaya yang
dipelajari dan disosialisasikan sejak kecil. Pembedaan ini dinilai penting,
karena selama ini sering sekali mencampur adukan ciri-ciri manusia yang
bersifat kodrati dan yang bersifat bukan kodrati (gender). Perbedaan peran
gender dan peran kodrat ini sangat membantu kita untuk memikirkan kembali
tentang pembagian peran yang selama ini dianggap telah melekat pada manusia
perempuan dan laki-laki untuk membangun gambaran relasi gender yang
dinamis dan tepat serta cocok dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat.
Lihat T. Saiful. Gender Perspektif Dalam Formalisasi Syariat Islam Di Aceh.
Kanun Jurnal Ilmu Hukum. Vol. 18, No. 2, (Agustus, 2016), hlm 249.
7
Hulwati. Memahami Kesetaraan Gender Dalam Fiqh: Analisis Teori
Evolusi Kontinuitas Fiqh. Kafa‟ah : Jurnal Ilmiah Kajian Gender Vol. V No. 1
Tahun 2015, hlm 23.

Madani Publisher | 171


Isu-Isu dalam Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh

terdapat suatu kesepakan dan masih terjadi perdebatan. Namun,


satu hal yang harus diperhatikan bahwa Islam datang sebagai
ajaran rahmatan lil’alamin.
Hulwati menambahkan, munculnya istilah kesetaraan
gender dalam Islam juga karena beberapa pemikir liberal yang
menggagas, sebagian besar umat Islam tidak sepakat adanya
konsep kesetaraan gender. Kesetaraan gender dalam Islam
beorientasi kepada berkeadilan, yang merupakan perbincangan
dari pemikiran liberal, karena satu sisi umat Islam tidak sepakat
dengan istilah kesetaraan gender.8
Meskipun terjadi perselisihan terhadap kesetaraan gender
di kalangan umat Islam. Namun, jika kita merujuk konsep dasar
ajaran Islam dan tujuan diutuskan Nabi Muhammad Swa sebagai
Rasul menjadi rahmatallil’alamin adalah untuk mengangkat harkat
martabat dan derajat kaum perempuan. Hulwati menjelaskan,
ada beberapa bukti sejarah yang menunjukan Islam sangat respon
pada permasalahan gender. Diantaranya ketika Nabi Muhammad
SAW belum diutus sebagai Rasul di tanah Arab kaum perempuan
merupakan warganegara tidak berarti, bahkan memiliki anak
perempuan menjadi aib, perempuan tidak mendapatkan warisan.
Namun tradisi ini langsung dihapuskan setelah Islam datang,
menjadikan kaum perempuan yang bermartabat, mendapatkan
warisan. Di samping itu Islam mewajibkan perempuan menutup
aurat, pembatasan laki-laki menikahi perempuan dan masih
banyak lagi.9 Secara normatif, Islam memposisikan perempuan
sama dengan laki-laki. Kesamaan tersebut dapat dilihat dari tiga
Hal, yaitu:
1. Dari hakikat kemanusiaannya. Islam memberikan
sejumlah hak kepada perempuan dalam rangka
peningkatan kualitas kemanusiaannya. Adapun hak
8
Hulwati. Memahami Kesetaraan Gender..., hlm 23.
9
Hulwati. Memahami Kesetaraan Gender..., hlm 24.

172 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

yang dimaksud adalah warisan, aqiqah dan sebagianya.


2. Islam mengajarkan laki-laki dan perempuan
mendapatkan pahala yang sama atas segala amalan
salehnya.
3. Islam tidak mentolerir adanya perbedaan dan
perlakuan yang tiak adil antar umat manusia.10
Komposisi yang sama terhadap semua manusia,
sebagaimana terdapat dalam firman Allah, berikut ini.

           

          

Artinya:

Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari


seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang
paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. Al Hujuraat: 13).

Penerapan syariat Islam di Aceh telah menarik perhatian


dunia, organisasi dan LSM terkait berbagai isu termasuk isu gender.
Sebagaimana penjelasan tersebut di atas bahwa kesetaraan gender
dalam Islam masih terjadi perdebatan dan belum terdapat suatu
kesepakan dari kalangan umat Islam sampai dengan sekarang.
Demikian juga, isu gender di Aceh sejalan dengan penerapan
Abidin Nurdin. Dkk. Syariat Islam Dan Isu-Isu Kontemporer. Cet.
10

I. (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam, 2011) hlm 86.

Madani Publisher | 173


Isu-Isu dalam Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh

syariat Islam, belum terdapat suatu kesepakatan tentang konsep


kesetaraan gender.
Menurut hemat penulis, meskipun kesetaraan gender
masih terdapat pro dan kontra seiring dengan pelaksanaan syariat
Islam di Aceh. Namun, dalam pelaksanaannya, kesetaraan gender
bisa kita temukan dalam syariat Islam di Aceh.
Keterlibatan perempuan dalam pelaksanaan syariat Islam
di Aceh dapat dilihat dari aspek berikut:
1. Pelibatan perempuan dalam semua sektor pekerjaan.
2. Pelibatan perempuan dalam sistem pemerintah Aceh.
3. Pelibatan perempuan sebagai pengawal syariat Islam di
Aceh; polisi syariat Islam (Wilayatul Hisbah di singkat
dengan WH).
4. Pelibatan perempuan dalam TNI dan Polri.
5. Pelibatan perempuan dalam struktur Dinas syariat
Islam. dll.
Qanun-qanun yang terkait dengan pelaksanaan syariat
Islam di Aceh juga bersifat universal dan berlaku untuk semua
kalangan laki-laki dan perempuan. Misalnya, Qanun Nomor 6
Tahun 2014 tentang hukum Jinayat, bukan untuk mendiskriditkan
perempuan, malah sebaliknya yaitu untuk memberi perlindungan
terhadap perempuan dan seluruh masyarakat Aceh.
Isu perempuan memang selalu di diperbincangkan oleh
berbagai kalangan sejalan dengan penerapan syariat Islam di Aceh.
Khususnya terkait dengan tata berbusana bagi perempuan muslim
di Aceh haruslah Islami. Ini sudah syar’i bukan hanya terhadap
perempuan muslim di Aceh tetapi untuk semua perempuan
muslim di negara manapun.

174 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

Kesalahan besar jika disebutkan pemaksaan jilbab


terhadap muslim di Aceh, sebagaimana terdapat dalam
penjelasan T. Saiful bahwa yang menonjol di Aceh pasca Otonomi
Khusus yang memberikan hak keistimewaan kepada Aceh
untuk menyelenggarakan kehidupan beragama dalam bentuk
pelaksanaan syariat Islam adalah pemaksaan penggunaan jilbab
bagi perempuan; pengekangan kebebasan beraktivitas bagi
perempuan di ranah publik; pemasangan tulisan-tulisan Arab
di instansi pemerintah dan swasta dan fasilitas publik lainnya;
pemasangan tulisan Al-Qur’an di sepanjang jalan-jalan protokol
dan pemasangan papan iklan yang berisi peringatan supaya
menjalankan ibadah ritual.11 Argumen ini keliru, menyatakan
bahwa terjadi pemaksaan berjilbab terhadap perempuan di Aceh
dengan membawa isu gender, itu salah besar. Berjilbab sudah
ketentuan agama yang sifatnya wajib bagi perempuan untuk
menutupi aurat dan dalam ranah ini tidak bisa menuntut untuk
kesetaraan gender (menuntut sama laki-laki dengan perempuan)
karena sudah ketetapan hukum Islam demikian.

D. Syariat Islam dan Penguatan Akidah


Aqidah komponen penting dalam Islam dan menjadi
fondasi dasar dalam hal keimanan. Soufyan Ibrahim. Dkk,
merujuk pada Mahmud Syaltut dalam karangannya yang bejudul
al-Islam baina al-syariah mengatakan, dari Al-qur’an diketahui
bahwa Islam memiliki dua cabang dasar (aqidah dan syariah), tidak
akan ada hakikat dan berimplementasi kandungan Islam kecuali
dua cabang itu direalisasi dan eksis. Lebih detil Mahmud Syaltut
menjelaskan al-‘aqidah merupakan sisi nadhar (penalaran) yang
diawali dengan keimanan (keyakinan), yang tidak mengandung
keraguan dan menimbulkan subhat. Sementara, syari’ah adalah
aturan-aturan yang Allah tetapkan atau Dia tetapkan dasar-

T. Saiful. Gender Perspektif Dalam Formalisasi Syariat Islam Di


11

Aceh. Kanun Jurnal Ilmu Hukum. Vol. 18, No. 2, (Agustus, 2016), hlm 224.

Madani Publisher | 175


Isu-Isu dalam Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh

dasarnya agar manusia menjadikannya (sebagai pedoman) bagi


dirinya dalam berhubungan dengan Tuhannya, atau sesama
saudaranya yang muslim atau sesama saudaranya manusia dan
hubungannya dengan kehidupan.12
Aqidah unsur utama terkait keimanan dalam Islam,
kekuatan aqidah tauhid yang tertanam dalam hati manusia akan
mendorong terhadap aktualisasi syariah yang merupakan hukum
ketetapan Allah. Jadi, kedua aspek tersebut saling keterkaitan.
Setiap manusia yang beraqidah dengan aqidah tauhid maka
baginya berlaku syariah Islam.
Ketatapan Qanun Nomor 8 Tahun 2014 tentang pokok-
pokok syariat Islam, Bab I Pasal 1, menetapkan pada Poin Nomor
15, Syariat Islam adalah tuntunan dan aturan hukum Islam dalam
semua aspek kehidupan. Sementara aqidah yang diikuti oleh
masyakarat Aceh adalah aqidah ahlussunah wal jamaah. Hal ini
sebagaimana dalam ketetapan Poin Nomor 16, Aqidah adalah
aqidah ahlussunah wal jamaah berdasarkan Al-Quran dan As-
Sunnah yang menjadi keyakinan keagamaan yang dianut oleh
seseorang dan menjadi landasan segala bentuk aktifitas, sikap,
pandangan, dan pegangan hidupnya.
Upaya mewujudkan masyarakat Aceh yang beraqidah
ahlussunah wal jamaah tentu harus didukung dengan sosialisasi
dan pendidikan tentang aqidah sejalan dengan penerapan
syariat Islam di Aceh. Pembentukan terhadap masyarakat dan
kepada generasi mudah Aceh dalam rangka penerapan syariat
Islam secara kaffah merupakan komponen pokok yang menjadi
tanggung jawab bersama; pemerintah, ‘alim ulam, dan msyarakat
Aceh.
Penguatan aqidah ahlussunah wal jamaah bertujuan
12
Soufyan Ibrahim. Dinamika Sosial Keagamaan Dalam Pelaksanaan
Syariat Islam. Cet. I. (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam, 2007), hlm 45-46.

176 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

untuk memperkuat aqidah masyarakat Aceh agar tidak mudah


terpengaruh dengan isu-isu aqidah sesat yang sempat melanda
Aceh. Ketua DPRA Muharuddin menjelaskan, dengan
disahkannya Qanun Aceh tentang Pembinaan dan Perlindungan
Aqidah diharapkan menjadi produk hukum yang dapat
membentengi warga Aceh dari upaya-upaya penyesatan dan
pendangkalan akidah sebagaimana yang marak terjadi di Aceh
beberapa waktu terakhir.13
Ketetapan Qanun Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pembinaan
Dan Perlindungan Aqidah, Bab I Pasal 3 menetapkan bahwa
Pembinaan dan Perlindungan Aqidah bertujuan:
a. Membina tegaknya Syariat Islam yang berlaku di Aceh;
b. Melindungi masyarakat dari berbagai bentuk upaya dan/
atau kegiatan yang merusak dan/atau keluar dari Aqidah
Islam;
c. Mengawasi dan mencegah anggota masyarakat sedini
mungkin untuk mengikuti pemahaman dan perbuatan
yang mengarah pada Aliran Sesat;
d. Meningkatkan peran masyarakat dalam upaya mencegah
perbuatan yang mengarah pada upaya pemurtadan dan
penyebaran Aliran Sesat; dan
e. Menutup semua peluang dan aktivitas yang mengarah
pada penyebaran Aliran Sesat.
Pencegahan terhadap pendangkalan aqidah tanggung
jawab bersama pemerintah Aceh dan masyarakat yang harus
dilakukan secara integral antara pemerintah dan masyarakat
13
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/daerah/15/12/24/
nzuwhc384-aceh-kini-punya-qanun-pembinaan-dan-perlindungan-aqidah.
(Online). Tanggal 3 Juni 2017.

Madani Publisher | 177


Isu-Isu dalam Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh

Aceh. Secara formal tunggang jawab dan kewajiban terhadap


pembinaan aqidah adalah tanggung jawab pemerintah Aceh,
kabupaten/kota, pemerintah mukim dan pemerintah gampong
(kepala desa), setiap orang, dan setiap orang tua yang beragama
Islam. Demikian pula terhadap perlindungan aqidah masyarakat
Aceh. Lebih lanjut dapat dilihat kembali dalam Qanun Nomor 8
Tahun 2015 tentang Pembinaan Dan Perlindungan Aqidah.

178 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

Daftar Pustaka
A. Baihaqi Djalil. Peradilan Agama Di Indonesia: Gemeruhnya
Politik Hukum (Hukum Islam, Hukum Barat, Hukum
Adat) Dalam Tentang Sejarah Bersama Pasang Surut
Lembaga Peradilan Agama Hingga Lahirnya Peradilan
Syariat Islam Di Aceh. Cet. I. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2006.
Abdul Gani Isa. Formalisasi Syariat Islam Di Aceh (Pendekatan
Adat, Budaya Dan Hukum). Cet. I. Banda Aceh: Pena,
2013.
............... Formulasi Syariat Islam Di Aceh Dan Perwujudannya
Dalam Sistem Hukum Indonesia. Penelitian Disertasi,
Banda Aceh: Program Pascasarjana Institut Agama Islam
Negeri Ar-Raniry, 2012.
Abdul Hadi. Dinamika Sistem Institusi Pendidikan di Aceh. Jurnal
Ilmiah Peuradeun. Vol. 2, No. 3. September 2014.
Abidin Nurdin. Dkk. Syariat Islam Dan Isu-Isu Kontemporer. Cet.
I. Banda Aceh: Dinas Syariat Islam, 2011.

Madani Publisher | 179


Daftar Pustaka

Abidin Nurdin. Integrasi Agama dan Budaya: Kajian Tentang


Tradisi Maulod Dalam Masyarakat Aceh. el Harakah
Vol.18 No.1 Tahun 2016.
............... Reposisi Peran Ulama Dalam Penerapan Syariat Islam di
Aceh. Jurnal “Al-Qalam” Volume 18 Nomor 1 Januari-
Juni 2012.
Al Yasa’ Abubakar. Bunga Rampai Pelaksanaan Syariat Islam
(Pendukung Qanun Pelaksanaan Syariat Islam). Cet. I.
(Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Aceh, 2009), hlm 157.
............... Dkk. Hukum Pidana Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam. Cet. II. Banda Aceh: Dinas Syariat Islam
Provinsi NAD, 2007.
............... Sejarah Pelaksanaan Syari`at Islam Di Aceh (Upaya
Penyusunan Fiqih dalam Negara Bangsa). Cet. I. Banda
Aceh; Dinas Syariat Islam Aceh, 2013.

............... Sejarah Pelaksanaan Syari`at Islam Di Aceh. http://


alyasaabubakar.com/2013/07/sejarah-pelaksanaan-
syariat-islam-di-aceh/. (Online). Tanggal 11 April 2017.
............... Syari’at Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,
Paradigma, Kebijakan Dan Kegiatan. Cet. I. Banda Aceh:
Dinas Syariat Islam, 2008.
Ali Geno Berutu. Aceh dan Syariat Islam. https://www.
academia.edu/7475125/ACEH_DAN_SYARIAT_
ISLAM?auto=download. (Onlen). Tanggal 28 April 2017.
Ali Geno Berutu. Penerapan Syariat Islam Dalam Lintasan Sejarah
Aceh. Jurnal Hukum, Vol. 13, No. 2, Tahun 2016.
Ali. Kedudukan Syariat Islam Dalam Tata Negara Indonesia.
Jurnal. ar-raniry.ac.id/index.php/legitimasi/article/
download/343/322.
Anton Widyanto. Dkk. Menyorot Nanggroe (Refleksi Kegaduhan
Atas Fenomena Keagamaan, Pendidikan, Politik,
Kepemerintahan, Gender Dan Sosial-Budaya Aceh). Cet.
I. Banda Aceh: Pena, 2007.

180 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

Atang ABD. Hakim. Dkk. Metodologi Studi Islam. Cet. XIII.


Bandung: Remaja Rosdakarya Offset, 2011.
Azman Ismail. Dkk, Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam.
Cet. I. Banda Aceh; Dinas Syariat Islam, 2011.
Dalmeri. Prospek Demokrasi: Delima Antara Penerapan Syariat
Islam Dan Penegakan Hak Asasi Manusia Di Indonesia.
Volume 15 Nomor 2 Desember 2012.
Dua Kategori Non-Muslim yang Bisa Terjerat Qanun Jinayah. http://
www.hukumonline.com/berita/baca/lt54da9dfa18fc9/
dua-kategori-non-muslim-yang-bisa-terjerat-qanun-
jinayah. (Online). Tanggal 27 Mei 2017.
E. Mulyasa. Manajemen Pendidikan Karakter. Cet. I. Jakarta: Bumi
Aksara, 2011.
Edy Sutrisno. Gubernur Sebagai Wakil Pemerintahan Pusat Dalam
Sistem Pemerintahan Daerah Di Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Disertasi. Jakarta: Universitas Indonesia,
Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Departemen Ilmu
Administrasi Program Pasca Sarjana, 2015.
Efendi. Kedudukan Qanun Bidang Sumber Daya Alam Dalam
Sistem Hukum Nasional. Jurnal dinamika hukum. Vol.
14. No. 1 Januari 2014.
Eko Noer Kristiyanto. Pemilihan Gubernur Tak Langsung
Sebagai Penegasan Eksistensi Gubernur Sebagai Wakil
Pemerintahan Di Daerah. Jurnal Rechts Vinding, Vol. 1,
No. 3, Desember 2012.
Fauzi. Hak Asasi Manusia Dan Penerapan Syariat Islam Di Aceh.
Cet. I. Banda Aceh: NASA, 2017.

Febriana Firdaus&Nurdin Hasan. Syariat Islam di Aceh: HRW Sebut


Penerapannya Langgar HAM. http://www.rappler.com/
world/regions/asia-pacific/indonesia/84749-kontroversi-
syariat-islam-di-aceh. (Online). tanggal 1 Mei 2017.
Hasan Basri M. Nur. Dkk. Geografi Islam. Cet. I. Banda Aceh:
Yayasan Al-Mukarramah, 2015.

Madani Publisher | 181


Daftar Pustaka

Hasanuddin Yusuf Adan. Islam Dan Sistem Pemerintahan Aceh


Masa Kerajaan Aceh Darussalam. Cet. I. Banda Aceh:
NASA, 2013.
............... Refleksi Implementasi Syariat Islam Di Aceh. Cet. I. Banda
Aceh: Adnin Foundation Publisher Bekerja Sama Pena,
2009.
............... Syari’at Islam Dan Politik Lokal Di Aceh. Cet. I. Banda
Aceh: ‘Adnin Foundation Group, 2016.
Hasbi Amiruddin. Ulama Dayah Pengawal Agama Masyarakat
Aceh. Cet. IV. Banda Aceh: LSAMA, 2017.
http://digilib.uinsby.ac.id/10810/5/Bab%202.pdf. (Oline). Tanggal
5 Mei 2017.
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/daerah/15/12/24/
nzuwhc384-aceh-kini-punya-qanun-pembinaan-dan-
perlindungan-aqidah. (Online). Tanggal 3 Juni 2017.
http://news.detik.com/berita/3050578/hukum-jinayah-berlaku-
gay-dan-lesbi-di-aceh-bakal-dihukum-cambuk-100-
kali. (Online). Tanggal 1 Mei 2017.
http : / / re p o s itor y. u i nj kt . a c . i d / dsp a c e /
bitstream/123456789/18197/1/LISTIANA%20DWI%20
NUSANTI-FSH.pdf. Online. Tanggal 9 Juni 2017.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54d80e8854ee1/
qanun-hukum-jinayah--kitab-pidana-ala-serambi-
mekkah. (Online). Tanggal 1 Mei 2017.
ht t p : / / w w w. r app l e r. c om / w or l d / re g i on s / a s i a - p a c i f i c /
indonesia/84749-kontroversi-syariat-islam-di-aceh.
(Online). Tanggal 1 Mei 2017.
Hulwati. Memahami Kesetaraan Gender Dalam Fiqh: Analisis
Teori Evolusi Kontinuitas Fiqh. Kafa’ah : Jurnal Ilmiah
Kajian Gender Vol. V No. 1 Tahun 2015.
Husni Jalil . Fungsi Majelis Permusyawaratan Ulama Dalam
Pelaksanaan Otonomi Khusus di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam. Jurnal Equality, Vol. 12 No. 2 Agustus 2007.

182 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

Ibnu Mujib. Dkk. Gagasan Aceh Baru: Pembentukan Identitas


Aceh Dari Dalam Reaktualisasi Ruang Publik Bagi Aksi
Pengelolaan Kearifan Lokal Pasca-Konflik Dan Tsunami.
Jurnal Kawistara, Vol. 4, No. 1, April 2014.
Jabbar Sabil. Peran Ulama Dalam Taqnin Di Aceh. Jurnal
Transformasi Administrasi. Vol. 02. NO. 01. Tahun 2012.
Juhari. Peran Majelis Adat Aceh Dalam Menghadapi Perubahan
Sosial Di Aceh. Jurnal. Ar-Raniry. Edisi 1, No. 87 Januari-
Juni 2011.
Jummaidi Saputra. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Anggota
TNI Yang Melanggar Syariat Islam Di Aceh. Jurnal Ilmu
Hukum Pascasarjana Universitas Syiah Kuala. Volume 2,
No. 2, November 2013.
Kamaruddin. Dkk. Model Penyelesaian Konflik Di Lembaga Adat.
Walisongo, Volume 21, Nomor 1, Mei 2013.
Kewajiban Eksekutif dan Legislatif dalam Menegakkan Syari’at
Islam di  Aceh. https://ummahonline.wordpress.
com/2008/11/10/kewajiban-eksekutif-dan-legislatif-
dalam-menegakkan-syari%E2%80%99at-islam-di-
aceh/. (Online). Tanggal 10 Mei 2017.
KM. Akhiruddin. Lembaga Pendidikan Islam di Nusantara. Jurnal
Tarbiya. Volume: 1 No: 1 Tahun 2015.
M. Solly Lubis. Aceh Mencari Format Khusus. Jurnal Hukum. Vol.
01. No. 1 Tahun 2005
M. Sufi Abdul Muthalib. Dakwah Kolaboratif Dalam Sosialisasi
Syariat Islam Di Kota Langsa. Jurnal Al-Bayan / VOL. 22
NO. 33 JANUARI - JUNI 2016.
Marzuki Abubakar. Syariat Islam di Aceh: Sebuah Model Kerukunan
dan Kebebasan Beragama. Media syari’ah Jurnal Hukum
Islam Dan Pranata Sosial. Volume XIII No. 1 Januari-
Juni 2011.
Misran. Pelaksanaan Syari’at Islam Di Aceh Analisis Kajian
Sosiologi Hukum. Jurnal LEGITIMASI, Vol.1 No. 2,
Januari-Juni 2012.

Madani Publisher | 183


Daftar Pustaka

Misri A. Muhsin. Dkk. Buku Panduan Pelaksanaan Syariat Islam


Bagi Birokrasi. Cet. I. Banda Aceh: Kerja Sama Antara
IAIN Ar-Raniry dan Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh,
2007.
Mohd. Din. Eksistensi Ketentuan Pidana Qanun Syariat Islam di
Aceh. Jurnal Media Syariah, Vol. X, No. 21, Juli-Desember
2009.
Muhammad Ansor. Berbagi Suami Atas Nama Tuhan: Pengalaman
Keseharian Perempuan Di Poligami Di Langsa. Ijtihad,
Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan. Volum
14, No. 1, Juni 2014.
Muhammad Hendra, Pendidikan Agama Islam. Cet. I. Yogyakarta:
Deepublish, 2014.
Muhammad Rahmatulla. Kepemimpinan Khalifah Abu Bakar Al-
Shiddiq. Jurnal Khatulistiwa-Journal of Islamic Studies,
Volume 4 Nomor 2 September 2014.
Muhammad Umar. Peradaban Aceh (Tamadun). Diterbitkan Oleh:
CV. Boebon Jaya, 2008.
Muhibbuthabry Kelembagaan Wilāyat Al-Ĥisbah Dalam Konteks
Penerapan Syariat Islam Di Provinsi Aceh. Jurnal ilmiah
Peuradeun. JIP-International Multidisciplinary. Vol. II,
No. 02, Mei 2014.
.............. Wilayatul Hisbah Di Aceh (Konsep Dan Inplementasi).
Cet. I. Banda Aceh: Pena, 2010.
Mujianto Solichin. Perkembangan Pendidikan Meunasah Dan
Dayah Di Aceh. Jurnal Manajemen&pendidikan Islam.
DIRASAT. Vol. 1. No. 1. Juli-2015.
Mujiburrahman. Ulama Di Bumi Syariat. Cet. I. Banda Aceh: Ar-
Raniry Press, 2014.
Nasrullah. Regulasi Zakat Dan Penerapan Zakat Produktif Sebagai
Penunjang Pemberdayaan Masyarakat (Studi Kasus Pada
Baitul Mal Kabupaten Aceh Utara). INFERENSI, Jurnal
Penelitian Sosial Keagamaan.Vol. 9, No. 1, Juni 2015.

184 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

Nina Andriana. Pemilu Dan Relasi Eksekutif Dan Legislatif General


Election And Executive-Legislative Relations. Jurnal
Penelitian PolitikVolume 11 No. 2 Desember 2014.
Qanun Nomor 10 Tahun 2007 Tentang Baitul Mal.
Qanun Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Lembaga Wali Nanggroe.
Qurrotul Aini. Dkk. Mahkamah Syari’ah di Nanggroe Aceh
Darussalam: Dalam Lintas Sejarah dan Eksistensinya.
Yudisia, Vol. 7, No. 1, Juni 2016.
Revisi Rencana Kerja (Renja) Dinas Syariat Islam Tahun 2016.
Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Aceh, 2015.
Ridwan M. Hasan. Modernisasi Syariat Islam Di Aceh. Cet.II.
Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Aceh, 2013.
Ridwan. Positivisasi Hukum Pidana Islam (Analisis Atas Qanun
No: 14/2003 Tentang Khalwat/Mesum Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam). http://download.portalgaruda.org/
article.php?article=402867&val=3907&title=POSITIV
ISASI HUKUM PIDANA ISLAM (Analisis atas Qanun
No: 14/2003 Tentang Khalwat/Mesum Provinsi Nangroe
Aceh Darussalam). (Online). Tanggal 3 Mei 2017.
Rizki Ridyasmara. Gerilya Salib Serambi Mekkah; Dari Zaman
Portugis Hingga Pasca Tsunami. Cet. I. Jakarta: Pustaka
Al-Kausar, 2006.
Rusdji Ali Muhammad. Revitalisasi Syariat Islam Di Aceh. Cet. I.
Jakarta: Logos, 2003.
Sabirin. Meunasah Dan Ketahanan Masyarakat Gampong (Kajian
Kritis Terhadap Power Of Local Wisdom). Jurnal Ilmiah
Peuradeun, Vol. II, No. 02, Mei 2014.
Samsul Rizal. Dkk. Dinamika Sosial Keagamaan Dalam Penerapan
Syariat Islam. Cet. I. Banda Aceh: Dinas Syariat Islam,
2007.
Sehat Ihsan Shadiqin. Islam dalam Masyarakat Kosmopolit:
Relevankah Syariat Islam Aceh untuk Masyarakat
Modern?. Jurnal Kontekstualita, Vol. 25, No. 1, 2010.

Madani Publisher | 185


Daftar Pustaka

Serambi Indonesia. Jangan Gadaikan Syariat Islam ke Lembaga


Asing. http://aceh.tribunnews.com/2017/04/21/jangan-
gadaikan-syariat-islam-ke-lembaga-asing. (Online).
Tanggal 1 Mei 2017.
Serambi Indonesia. Lembaga Asing Intervensi Kasus Homo .http://
aceh.tribunnews.com/2017/04/20/lembaga-asing-
intervensi-kasus-homo. (Online). Tanggal 1 Mei 2017.
Sirajuddin M, Legitimasi Pemberlakuan Syari’at Islam di
NAD: Analisis Prinsip-prinsip dan Peluang Yuridis
Konstitusional. SOSIO-RELIGIA, Vol. 10, No.1, Februari
2012.
Soufyan Ibrahim. Dinamika Sosial Keagamaan Dalam Pelaksanaan
Syariat Islam. Cet. I. Banda Aceh: Dinas Syariat Islam,
2007.
Sulaiman Tripa. Otoritas Gampong Dalam Implementasi Syariat
Islam Di Aceh. Media Syariah, Vol. XIV. NO. I Januari-
Juni 2012.
Sulaiman. Pendidikan Warganegaraan untuk Perguruan Tinggi.
Cet. I. Banda Aceh: Pena, 2016.
Syafaul Mudawam, Syari’ah-Fiqih-Hukum Islam Studi tentang
Konstruksi Pemikiran Kontemporer. Jurnal Ilmu Syari’ah
dan Hukum. Vol. 46 No. II, Juli-Desember 2012.
Syahrial Syarbaini. Pendidikan Pancasila (Implementasi Nilai-Nilai
Karakter Bangsa) Di Perguruan Tinggi. Cet. IV. Bogor:
Ghalia Indonesia, 2011.
Syahrizal Abbas. Persepsi Masyarakat Terhadap Pelaksanaan
Syariat Islam Di Aceh. Cet. I. Banda Aceh: Dinas Syariat
Islam, 2014.
Syahrizal. Dimensi Pemikiran Hukum Dalam Implementasi Syariat
Islam Di Aceh. Cet. II. Banda Aceh: Dinas Syariat Islam,
2010.
Syamsul Bahri. Konsep Implementasi Syari’at Islam Di Aceh: Sharia
Law Implementation Concept In Aceh. Kanun Jurnal Ilmu
Hukum No. 60, Th. XV. Agustus, 2013.

186 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

Syamsul Rijal. Dkk. Dinamika Dan Problematika Penerapan


Syariat Islam. Cet. II. Banda Aceh: Dinas Syariat Islam,
2007.
T. Saiful. Gender Perspektif Dalam Formalisasi Syariat Islam Di
Aceh. Kanun Jurnal Ilmu Hukum. Vol. 18, No. 2, Agustus,
2016.
T. Saiful. Gender Perspektif Dalam Formalisasi Syariat Islam Di
Aceh. Kanun Jurnal Ilmu Hukum. Vol. 18, No. 2, Agustus,
2016.
Taqwaddin Husin. Dkk. Role of Community and Communal Law
of Aceh in the Great Sumatra Earthquake and Tsunami
Recovery: A Case Study in Lambada Lhok Village, Aceh
Besar District, Aceh, Indonesia. Journal of International
Cooperation Studies,Vol.21, No.2&3 Tahun 2014.
Teuku Saiful. Penerapan Syariat Islam di Aceh dalam Konteks
Negara Kesatuan Republik Indonesia. fhunilak.ac.id/
downlot.php?file=Teuku%20Saiful%20Penerapan%
20Syariat%20di%20Aceh.pdf. (Online). Tanggal 1 Mei
2017.
Teuku Saiful. Penerapan Syariat Islam di Aceh Dalam Konteks
Negara Kesatuan Republik Indonesia. fhunilak.ac.id/
downlot.php?file=Teuku%20Saiful%20 Penerapan%20
Syariat%20di%20Aceh.pdf. (Online). Tanggal 1 Mei
2017.
Teuku Zulkhairi. Syariat Islam Membangun Peradaban (Sebuah
Pengantar Studi Syariat Islam Di Aceh). Cet. I. Banda
Aceh: Pena, 2017.
Tim Peneliti: IAIN Ar-Raniry dan Biro keistimewaan Aceh.
Kelembagaan Adat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Cet. I. Banda Aceh: Ar-Ranir Press.
Umaimah Wahid. Meunasah, Power And Self-Critics Towards
Government And Aceh Political Elite On Aceh Women
Political Struggle. Journal of Asian Scientific Research,
2015.
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006

Madani Publisher | 187


Daftar Pustaka

Tentang Pemerintahan Aceh.


Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
bagi Provinsi Daerah Keistimewaan Aceh sebagai
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah
Istimewa Aceh.
Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 18 Tahun 2001,
Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa
Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Undang-Undang Republik Nomor 11 Tahun 2006 Tentang
Pemerintahan Aceh.
Wahid Abdulrahman. Membangun Sinergitas Eksekutif-Legislatif
Di Jawa Tengah. Jurnal Ilmu Sosial. Vol 15. No. 1. Februari
2016.
Yusdani. Formalisasi Syariat Islam Dan Hak Asasi Manusia Di
Indonesia. Al-Mawarid Edisi XVI Tahun 2006.
Yusni Amdani. Proses Pelaksanaan Penyelesaian Perselisihan di
Lembaga Peradilan Adat Aceh Tingkat Gampong (Desa).
Asy-Syir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum. Vol. 48, No.
1, Juni 2014.
Zulkairnaini. Dkk. Catatan Penting Penyuluhan Islam. Cet. I.
(Banda Aceh: Nasa, 2012.

188 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

SILABUS MATA KULIAH


STUDI SYARIAT ISLAM DI ACEH

Mata kuliah : Studi Syariat Islam di Aceh


Komponen : UN
Fakultas : Semua Fakultas
Program studi : Semua Program Studi
Program : S1
Bobot : 2 SKS
Kode : UN 1108

Deskripsi Mata Kuliah:


Mata studi syariat Islam di Aceh ini secara umum membahas
tentang studi syariat Islam di Aceh. fokus bahasannya mencakupi;
pengertian, prinsip dan tujuan pelaksanaan syariat Islam di Aceh,
landasan historis, filosofis, sosiologis dan yuridis pelaksanaan
syariat Islam di Aceh, sejarah pemberlakukan pelaksanaan syariat
Islam di Aceh, aspek-aspek pemberlakuan pelaksanaan syariat
Islam di Aceh, pilar-pilar pelaksanaan syariat Islam di Aceh,
Lembaga-lembaga yang terkait dengan pelaksanaan syariat Islam
di Aceh serta isu-isu tentang pelaksanaan syariat Islam di Aceh.

Madani Publisher | 189


Lampiran

Standar Kompetensi:
Mahasiswa memiliki wawasan tentang syariat Islam yang berlaku
di Ace, baik secara teoritis maupun praktis. Serta dapat memahami
dan merespon isu-isu aktual yang berkaitan dengan pelaksanaan
syariat Islam di Aceh.
Pokok Bahasan/Materi:
1. Pengertian, prinsip dan tujuan pelaksanaan syariat Islam di
Aceh.
2. Landasan historis, filosofis, sosiologis serta yuridis berlakunya
syariat Islam di Aceh.
3. Pelaksanaan syariat Islam dalam lintasan sejarah Islam.
4. Sejarah berlakunya syariat Islam Di Aceh.
• Syariat Islam pada masa kerajaan Aceh.
• Syariat Islam pada masa dan pasca kemerdekaan.
• Syariat Islam pada masa UUPA.
5. Dinamika pelaksanaan syariat Islam di Aceh dalam konteks
hukum nasional.
6. Pokok-pokok pembahasan syariat Islam di Aceh.
7. Qanun syariat Islam: definisi, eksistensi dan esensinya.
8. Pilar-pilar pendukung syariat Islam: eksekutif, legislatif dan
lembaga-lembanga sosial keagamaan seperti meunasah dan
mesjid.
9. Lima sasaran utama pelaksanaan syariat Islam di Aceh
• Menghidup meunasah
• Lingkungan kantor dan sekolah yang Islami
• Pemberdayaan zakat.
• Pengawasan pelaksanaan syariat Islam
• Perluasan kewenangan Mahkamah Syar’iyyah
10. Institusi-institusi yang terkait dengan pelaksanaan syariat
Islam di Aceh.
• Dinas Syariat Islam: kedudukan, tugas dan kewenangan

190 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

dalam pelaksanaan syariat Islam di Aceh.


• Wilayatul Hisbah (WH): Tugas dan kewenangan
• Mahkamah Syar’iyyah, eksistensi dan kewenangannya
dalam pelaksanaan syariat Islam di Aceh.
• Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU): fungsi,
kedudukan dan kewenangannya dalam pelaksanaan
syariat Islam di Aceh.
• Baitul Mal: fungsi dan perannya dalam pelaksanaan
syariat Islam di Aceh.
11. Syariat Islam dan Adat Aceh: relasi lembaga-lembaga
pelaksanaan syariat Islam dengan lembaga Adat Aceh.
12. Isu-isu dalam pelaksanaan syariat Islam di Aceh
• Syariat Islam dan non muslim di Aceh
• Syariat Islam dan HAM
• Syariat Islam dan Gender
• Syariat Islam dan penguatan Akidah.

REFERENSI
A. Baihaqi Djalil. Peradilan Agama Di Indonesia: Gemeruhnya
Politik Hukum (Hukum Islam, Hukum Barat, Hukum
Adat) Dalam Tentang Sejarah Bersama Pasang Surut
Lembaga Peradilan Agama Hingga Lahirnya Peradilan
Syariat Islam Di Aceh. Cet. I. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2006.
Abdul Gani Isa. Formalisasi Syariat Islam Di Aceh (Pendekatan
Adat, Budaya Dan Hukum). Cet. I. Banda Aceh: Pena,
2013.
Abidin Nurdin. Dkk. Syariat Islam Dan Isu-Isu Kontemporer. Cet.
I. Banda Aceh: Dinas Syariat Islam, 2011.
Al Yasa’ Abubakar. Bunga Rampai Pelaksanaan Syariat Islam
(Pendukung Qanun Pelaksanaan Syariat Islam). Cet. I.
(Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Aceh, 2009), hlm 157.
............... Sejarah Pelaksanaan Syari`at Islam Di Aceh (Upaya
Penyusunan Fiqih dalam Negara Bangsa). Cet. I. Banda
Aceh; Dinas Syariat Islam Aceh, 2013.

Madani Publisher | 191


Lampiran

............... Syari’at Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,


Paradigma, Kebijakan Dan Kegiatan. Cet. I. Banda Aceh:
Dinas Syariat Islam, 2008.
Ali Geno Berutu. Penerapan Syariat Islam Dalam Lintasan Sejarah
Aceh. Jurnal Hukum, Vol. 13, No. 2, Tahun 2016.
Anton Widyanto. Dkk. Menyorot Nanggroe (Refleksi Kegaduhan
Atas Fenomena Keagamaan, Pendidikan, Politik,
Kepemerintahan, Gender Dan Sosial-Budaya Aceh). Cet.
I. Banda Aceh: Pena, 2007.
Azman Ismail. Dkk, Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam.
Cet. I. Banda Aceh; Dinas Syariat Islam, 2011.
Fauzi. Hak Asasi Manusia Dan Penerapan Syariat Islam Di Aceh.
Cet. I. Banda Aceh: NASA, 2017.
Hasan Basri M. Nur. Dkk. Geografi Islam. Cet. I. Banda Aceh:
Yayasan Al-Mukarramah, 2015.
Hasanuddin Yusuf Adan. Islam Dan Sistem Pemerintahan Aceh
Masa Kerajaan Aceh Darussalam. Cet. I. Banda Aceh:
NASA, 2013.
............... Syari’at Islam Dan Politik Lokal Di Aceh. Cet. I. Banda
Aceh: ‘Adnin Foundation Group, 2016.
Hasbi Amiruddin. Ulama Dayah Pengawal Agama Masyarakat
Aceh. Cet. IV. Banda Aceh: LSAMA, 2017.
Hulwati. Memahami Kesetaraan Gender Dalam Fiqh: Analisis
Teori Evolusi Kontinuitas Fiqh. Kafa’ah : Jurnal Ilmiah
Kajian Gender Vol. V No. 1 Tahun 2015.
Marzuki Abubakar. Syariat Islam di Aceh: Sebuah Model Kerukunan
dan Kebebasan Beragama. Media syari’ah Jurnal Hukum
Islam Dan Pranata Sosial. Volume XIII No. 1 Januari-
Juni 2011.
Muhibbuththabary. Wilayatul Hisbah Di Aceh (Konsep Dan
Inplementasi). Cet. I. Banda Aceh: Pena, 2010.
Ridwan M. Hasan. Modernisasi Syariat Islam Di Aceh. Cet.II.
Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Aceh, 2013.
Rusdji Ali Muhammad. Revitalisasi Syariat Islam Di Aceh. Cet. I.
Jakarta: Logos, 2003.
Sulaiman. Pendidikan Warganegaraan untuk Perguruan Tinggi.
Cet. I. Banda Aceh: Pena, 2016.

192 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

Syahrizal Abbas. Persepsi Masyarakat Terhadap Pelaksanaan


Syariat Islam Di Aceh. Cet. I. Banda Aceh: Dinas Syariat
Islam, 2014.
Teuku Zulkhairi. Syariat Islam Membangun Peradaban (Sebuah
Pengantar Studi Syariat Islam Di Aceh). Cet. I. Banda
Aceh: Pena, 2017.
Zulkairnaini. Dkk. Catatan Penting Penyuluhan Islam. Cet. I.
(Banda Aceh: Nasa, 2012.

Madani Publisher | 193


Lampiran

194 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

Profil Penulis
Dr. Sulaiman, MA merupakan anak
ketiga dari pasangan M. Yusuf dan Habibah,
yang lahir di desa Hagu. Kec. Meureudu. Kab.
Pidie Jaya. Provinsi Aceh, pada tanggal 3 Juni
1984. Pendidikan yang ditempuh, pendidikan
dasar lulus tahun 1996, SLTP lulus tahun 2000,
MAN tahun 2003. Penulis juga merupakan
alumni Dayah/Pesantren Ummul Ayman Samalang Kabupaten
Aceh Utara. Menyelesaikan pendidikan sarjana (S1) pada tahun
2007, jurusan pendidikan B. Arab di Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-
Raniry Banda Aceh. Menyelesaikan pendidikan Master (S2) pada
tahun 2010, konsentrasi Pendidikan Agama Islam di Program
Pascasarjan IAIN Ar-Raniry Banda Aceh. Menyelesaikan doktor
(S3) konsentrasi Pendidikan Agama Islam pada 6 Desember 2016
di UIN Ar-Raniry) Banda Aceh.

Penulis aktif mengajar sebagai dosen pada STAI-PTIQ

Madani Publisher | 195


Profil Penulis

Banda Aceh, Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda


Aceh, Universitas Serambi Makkah Banda Aceh, dan Akademi
Analis Banda Aceh dalam mata kuliah Pendidikan Pancasila
dan Pendidikan Kewarganegaraan. Penulis juga aktif menulis
diberbagai jurnal, baik nasional maupun internasional. Di
antara tulisan yang telah dipublikasikan adalah: (1) Metodologi
Pengajaran Menurut Perspektif Filosofis Konservatif Dan
Liberal, diterbitkan pada Azkia: Jurnal Aktualisasi Pendidikan
Islam, 2010; (2) Kompetensi Pedagogik Dosen, diterbitkan
dalam Sintesa: Media Kajian Keagamaan Dan Ilmu Sosial, 2011;
(3) Kurikulum dan metodologi pengajaran Islam Versi Aliran
Filsafat Progresivisme, diterbitkan dalam Sintesa: Media Kajian
Keagamaan Dan Ilmu Sosial, 2012; (4) Pendidikan Versi Aliran
Filsafat Perennialisme, diterbitkan dalam Serambi Tarbawi: Jurnal
Studi Pemikiran, Riset Dan Pengembangan Pendidikan Islam,
2013; (5) Pertimbangan Pengorganisasian Kurikulum Pendidikan
(suatu Kajian teoritis), diterbitkan dalam Sintesa: Media Kajian
Keagamaan Dan Ilmu Sosial, 2013; (6) Pola Modern Organisasi
Pengembangan Kurikulum, diterbitkan dalam Didaktika,
2013; (7) Tantangan Fakuktas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry dalam
Membangun Karakter Mahasiswa. Dalam buku “ Membangun
Paradigma UIN Ar-Raniry”, diterbitkan oleh Ar-Raniry Press,
2013; (8) Dinamika Akademik Pengembangan Profesi Guru
PAI di Aceh, diterbitkan dalam Jurnal Visipena, 2014; (9) Model
Pembelajaran Cooperative Learning (Suatu Analisis Psikologis
Dalam Pembelajaran), diterbitkan dalam Jurnal Visipena,Vol. V.
No. 2 Tahun 2014; (10) Menjadi guru PAI yang dirindukan peserta
didik dalam kelas. Proceedings seminar 1st Annual International
seminar on education 2015 Faculty of Tarbiyah and Teacher’s
Training State Islamic University of Ar-Raniry Banda Aceh, 2015;
(11) The Implementation Or Humanistis Learning Darul Aman
Islamic High Shool In Aceh Besar. Jurnal Ulumuna, Vol. 21, No.
1 (Juni) 2017; dan (12) Metodologi Pembelajaran Pendidikan

196 | Studi Syariat Islam di Aceh


Dr. Sulaiman, MA

Agama Islam (PAI) (Kajian Teori dan Aplikasi Pembelajaran PAI),


Cet. I Banda Aceh: Pena, 2017.

Madani Publisher | 197

Anda mungkin juga menyukai