BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
TINJAUAN PUSTAKA
1. Berat badan harus lebih dari 50 Kg untuk donor standart 450 ml. donor yg
berat badannya kurang dari 50 kg hanya boleh mendonorkan sesuai dgn
berat badannya.
8. Pendonor harus dalam keadaan sehat dan harus bebas dari faktor dibawah
ini :
Darah yang telah anda donorkan harus di simpan kedalam lemari es. Hal
ini dilakukan agar darah terhindar dari pertumbuhan bakteri dan memperlambat
metabolisme sel. Pada saat akan melakukan transfusi darah, darah harus di
keluarkan dari lemari pendingin dan harus melakukan transfusi darah 30 menit
setelah darah dikeluarkan. Darah hanya dapat diberikan secara
intravena(pemberian obat dengan cara memasukkan obat ke dalam pembuluh
darah vena secara langsung dengan menggunakan spuit). Karena itu
membutuhkan insersi kanula sekaliber cocok.
METODE KERJA
A. Metode pemeriksaan
a. Tabung reaksi
b. Rak tabung reaksi
c. Inkubator
d. Sentrifuge
e. Botol semprot
f. Gelas 3 buah
g. Mikroskop
h. Slide
i. Pipet pasteur
j. Botol reagensia standar
2. Bahan
a. Sampel serum OS
b. Sampel plasma donor
c. Cell darah donor 5 %
d. Cell darah resipien 5 %
e. REAGENSIA
Saline/ NaCl 0,9
Bovine albumin 22 %
D. Cara kerja
1. CM (cross mathcing)
a. Fase saline
1) Siapkan alat dan bahan yang akan digunkan
2) Siapkan 3 tabung
3) Tabung my 1 tetes SDM 5% Dn + 2 tetes plasma Os
4) Tabung mn 1 tetes SDM 5% Os + 2 tetes plasma Dn
5) Tabung Ak 1 tetes SDM 5% Os + 2 tetes plasma Os
6) Sentrifuge selama 15 – 20 detik
7) Dibaca sendiri
b. Fase BA (Bovine albumin)
1) Siapkan tabung diisi 2 tetes BA 22%
2) Inkubasi 15 menit
3) Disentrifuge selama 15-30 detik
4) Dibaca hasilnya. Dicuci sebanyak 3 kali
5) Disentrifuge kembali selam 2 menit
c. Fase AHG
1) Masing-masing tabung di tambah 2 tetes AHG
2) Disentrifuge selam 15-30 detik
3) Dibaca hasilnya dibawah mikroskopik
BAB IV
A. Hasil pengamatan
Mayor,minor dan
autocontrol
= negatif (-)
Validasi = positif
(+)
B. Pembahasan
Crossmatch adalah reaksi silang in vitro antara darah pasien
dengan darah donornya yang akan di transfusikan. Pemeriksaan ini
dilakukan sebelum pelaksanaan transfusi darah.
Tindakan uji silang (crossmatch) diperlukan sebelum melakukan
tranfusi darah untuk melihat apakah darah penderita sesuai dengan
donor.Untuk tujuan tersebut, golongan darah penerima resipien harus sama
dengan golongan darah pemberi donor dan uji aglutinasi antara serum
resipien dengan SDM donor dan serum donor dengan SDM resipien.
Uji crossmatch ini penting bukan hanya pada transfusi tetapi juga
ibu hamil yang kemungkinan terkena penyakit hemolitik pada bayi baru
lahir. Tujuan dilakukan periksaan uji silang adalah
1. untuk melihat apakah darah dari pendonor cocok dengan penerima
(resipien).
2. untuk konfirmasi golongan darah.
3. untuk mencari tahu atau apakah darah donor akan ditranfusikan itu
nantinya akan dilawan oleh serum pasien didalam tubuhnya, atau
adakah plasma donor yang turut ditransfusikan akan melawan sel
pasien didalam tubuhnya hingga akan memperberat anemia,
disamping kemungkinan adanya reaksi hemolytic transfusi yang
biasanya membahayakan pasien.
Maka dapat disimpulkan tujuan Crossmacth sendiri yaitu
mencegah reaksi hemolitik darah bila darah didonorkan dan supaya darah
yang ditrafusikan itu benar-benar ada manfaatnya bagi kesembuhan
pasien. Crossmatch mempunyai tiga fungsi, yaitu:
1. Konfirmasi jenis ABO dan Rh (kurang dari 5 menit)
2. Mendeteksi antibodi pada golongan darah lain.
3. Mendeteksi antibody dengan titer rendah atau tidak terjadi
aglutinasi mudah. Yang dua terakhir memerlukan sedikitnya 45
menit.
Prinsip crossmatch ada dua yaitu Mayor dan Minor, yang
penjelasnya sebagai berikut :
1. Mayor crossmatch adalah serum penerima dicampur dengan sel
donor. Maksudnya apakah sel donor itu akan dihancurkan oleh
antibody dalam serum pasien.
2. Minor crossmatch adalah plasma donor dicampur dengan sel
penerima. Yang dengan maksud apakah sel pasien akan
dihancurkan oleh plasma donor.
Jika golongan darah (system ABO) penerima dan donor sama, baik
mayor maupun minor tidak bereaksi, jika berlainan misalnya, donor
golongan O dan penerima golongan A, akan terjadi aglutinasi pada tes
minor.
Mayor Crossmatch merupakan tindakan terakhir untuk melindungi
keselamatan penerima darah dan sebaiknya dilakukan demikian sehingga
Complete Antibodies maupun incomplete Antibodies dapat ditemukan
dengan cara tabung saja. Cara dengan objek glass kurang menjaminkan
hasil percobaan. Reaksi silang yang dilakukan hanya pada suhu kamar saja
tidak dapat mengesampingkan aglutinin Rh yang hanya bereaksi pada
suhu 37OC. Pada pemeriksaan uji silang serasi ada tiga fase yaitu :
1) Fase I (fase suhu kamar, dalam medium salin)
Fase ini menilai kecocokan antibody alami dengan antigen
eritrosit antara donor dan resipien, sehingga reaksi tranfusi
hemolitik yang fatal bisa dihindari. Pada fase ini juga dapat
menentukan golongan darah.
2) Fase II (fase inkubasi pada suhu 37OC)
Fase ini untuk mendeteksi antibody anti-Rh dan
meningkatkan sensitivitas tes globulin dengan menggunakan media
bovine albumin 22%. Dilakukan inkubasi selama 15 menit pada
suhu 37OC sebagai suhu yang sama dengan suhu badan, sehingga
member kesempatan antibody untuk melekat pada sel. Inkubasi
tidak boleh lebih dari 15 menit karena ada kemungkinan terjadi
aglutinasi nonspesifik.
3) Fase III (Indirect Coomb’s Test)
Fase ini merupakan uji antiglobulin. Untuk mendeteksi IgG yang
dapat menimbulkan masalah dalam tranfusi yang tidak dapat terdeteksi
pada kedua fase sebelumnya.
Sebelum di tes, eritrosit dicuci terlebih dahulu dari globulin plasma
yang tidak bersifat antizat spesifik dan kemudian dicampur dengan
Coomb’s serum, yaitu serum hewan yang mengandung antizat spesifik
terhadap globulin human. Adanya aglutinasi menunjukan adanya antizat
yang melapisi eritrosit.
Uji validitas berfungsi untuk mengetahui, apakah uji silang yang
dilakukan sudah valid atau tidak. Hasil uji validitas pasti menunjukan hasil
positif, namun positif lemah. Pada uji validitas, tabung yang menghasilkan
hasil positif pada fase sebelumnya tidak di lakukan uji lagi, karena uji ini
untuk mengetahui validitas dari uji silang.
Jika pada reaksi tersebut golongan darah A,B dan O penerima
donor sama, baik mayor maupun minor test tidak bereaksi, berarti hasil
compatible/cocok. Jika berlainan misalnya donor golongan darah O dan
penerima golongan darah A, maka berarti incompatible/tidak cocok.
Pada praktikum ini, didapatkan hasil uji silang fase 1,2,3 dan uji
validitas sebagai berikut
Pada table dapat dilihat bahwa, hasil uji silang fase 1,2 dan 3 untuk
tabung mayor, minor ataupun autocontorl selalu menunjukan hasil negatif
(tidak terjadi aglutinasi). Hal ini berarti terjadi ketidak cocokan antara
serum pasien dengan darah donor. Dengan demikian, hasil uji silang dapat
dinyatakan compatible untuk resipien sehingga proses tranfusi dapat
dilakukan.
Karena keseluruh tabung menunjukan hasil negative, maka pada
seluruh tabung dilakukan uji validitas untuk mengetahui apakah uji silang
yang telah dilakukan valid. Tabung minor, mayor dan autocontrol
seluruhnya menunjukan hasil uji yang valid. Hasil ini ditunjukan dari
adanya aglutinasi pada tabung, namun aglutinasinya lemah. Namun pada
tabung mayor, sempat terjadi kesalahan dalam pengamatan, karena pada
uji validitas tampak tidak terjadi aglutinasi. Hal ini karena saat awal
pengamatan, tampak aglutinasi lemah, dan pengocokan tabung dipercepat
dengan maksud untuk mempertegas timbulnya aglutinasi. Hal ini justru
membuat darah bercampur dan aglutinasi tidak tampak lagi. Oleh karena
itu, teknik pengocokan tabung pada uji validitas berbeda dengan phase uji
silang. Dimana aglutinasi yang terjadi adalah aglutinasi lemah dan akan
jelas terlihat apabila di amati dengan mikroskop.
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Gambar
Sampel hasil pengamatan Keterangan
Fase I saline Negatif
Serum/plasma (-)
my
mn
Fase II BA Negatif
Serum/plasma (-)
ak
Validasi Positif
Mikroskopik (+)