Anda di halaman 1dari 18

PEMERIKSAAN CM (cross mathcing) DONOR I

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Darah selalu dihubungkan dengan kehidupan, baik berdasarkan


kepercayaan saja maupun atas dasar bukti pengamatan. Penggunaan darah
yang berasal dari individu lain dan diberikan secara langsung ke pembuluh
darah juga sudah lama pula dilakakukan, paling tidak sejak abad
pertengahan. Pada mulanya, pemberian darah seperti ini dan kini yang
dikenal sebagai transfusi tidak dilakukan dengan landasan ilmiah, tidak
mempunyai indikasi yang jelas dan dilakukan sembarang saja. Tindakan
ini lebih banyak dilakukan atas dasar yang lebih bersifat kepercayaan,
misalnya darah sebagai lambang kehidupan. Indikasi juga tidak jelas,
bukan terutama untuk mengobati penyakit atau memperbaiki keaadaan
karena perdarahan. Lebih sering hal ini dilakukan untuk tujuan seperti
peremajaan jaringan (rejuvenilisasi). Pelaksanaannya juga tidak didasarkan
atas pengetahuan yang cukup. Oleh karena itu tidak heran bila pada masa
itu banyak korban karena tindakan yang dilakukan secara sembarang ini,
baik pada donor maupun pada penerima darah. Bahkan pernah ada suatu
masa, tepatnya abad ke-17 dan 18 transfusi dilarang dilakukan di Eropa
(Sadikin, 2002).
Barulah pada akhir abad ke-19 dan di awal abad ke-20. Fenomena
ini dapat dipahami dengan jelas dan tepat, sehingga tindakan transfusi
dapat dilakukan dengan cara yang jauh lebih aman. Pada masa itu, seorang
dokter berkebangsaan Austria dan bekerja di New York, Karl Landsteiner,
menemukan melalui sejumlah besar pengamatan, bahwa darah manusia
yang berasal dari dua orang yang berbeda tidaklaah selalu dapat dicampur
begitu saja tanpa perubahan fisik apapun. Dalam kebanyakan pengamatan,
pencampuran darah yang berasal akan menyebabkan timbulnya
pegendapan sel-sel darah merah. Peristiwa mengendap sel tersebut
dinamai sebagai aglutinasi. Pengamatan selanjutnya memperlihatkan,
bahwa peristiwa ini melibatkan SDM dan bagian cair dari darah, yaitu
serum atau plasma. Serum sesorang tidak dapat mengendapkan SDM
orang itu sendiri atau SDM yang berasal dari orang lain, yang bila
darahnya dicampur dengan darah orang yang pertama, tidak menyebabkan
pengendapan. Akan tetapi, bila darah dari 2 orang berbeda dicampur dan
aglutinasi terjadi, maka bila serum dari salah satu dari orang tersebut
dicampur dengan SDM dari orang yang lainnya, akan terjadi aglutinasi
(Sadikin, 2002).
Hemolisis atau lebih dikenal dengan kejadian pecahnya sel darah
merah secara normal didalam tubuh tidak dapat dihindari apabila sel darah
merah atau eritrosit sudah mencapai usianya, dengan pecahnya sel darah
merah atau eritrosit didalam tubuh secara normal tubuh direspon untuk
membentuk sel darah merah yang baru. Haemoglobin yang keluar dari sel
darah merah atau eritrosit akan diuraikan oleh organ tubuh yang
bertanggung jawab dan bagian yang penting dari penguraian ini akan
dimanfaatkan kembali untuk pembentukan sel darah merah yang
baru. Pada kejadian yang tidak normal jumlah sel darah merah yang pecah
lebih besar dari pada pembentukan sel darah merah yang baru dan
mengakibatkan dari peruraian Hb akan membubung tinggi dan sangat
mengganggu organ lain (organ tubuh) (Ismail, 2010).
Kejadian hemolisis yang tidak normal (abnormal) bisa disebabkan
oleh beberapa faktor dari dalam tubuh (invivo) sendiri, misalnya kondisi
sel darah merah itu sendiri kurang baik, atau bisa disebabkan oleh faktor
luar (invitro), dari faktor luar bisa dijumpai akibat dari faktor transfusi
darah, karena disebabkan adanya reaksi antibodi terhadap antigen yang
masuk kedalam tubuh atau pada sel darah merah dan risikonya akan lebih
besar apabila sel darah merah donor yang ditransfusikan tidak cocok
dengan antibodi yang berada dalam plasma donor dengan sel darah merah
pasien. reaksi hemolisis in vivo karena transfusi ini disebut reaksi
hemolitik transfusi. Reaksi hemolitik bisa terjadi secara langsung (direck
or indirec) dan dapat berakibat fatal, dan bisa juga reaksinya baru muncul
beberapa waktu kemudian setelah transfusi ( delay hemolitik tarnsfution
reaction ).
Akibat yang fatal dari reaksi transfusi dikarenakan ketidak cocokan
golongan darah ABO ( antibodi-A,-B,-AB ) yang dibuat secara teratur
menurut golongan darah masing-masing. Disamping itu mungkin ada
antibodi lain yang mungkin dibentuk secara alamiah tetapi tidak beratur
( antibodi -Lewis,-A1,-P1 dll ) atau antibodi immun (Ismail, 2010).
Reaksi transfusi yang baru muncul beberapa waktu kemudian setelah
transfusi ( delay hemolitik tarnsfution reaction ) bisa disebabkan karena
darah donor sesungguhnya tidak compatible denga darah pasien, namun
dalam reaksi silang/uji silang serasi menhasilkan false-compatible (Ismail,
2010).
Reaksi silang (Crossmatch = Compatibility-test) perlu dilakukan
sebelum melakukan transfusi darah untuk melihat apakah darah penderita
sesuai dengan darah donor. Pengartian Crossmatch adalah reaksi silang in
vitro antara darah pasien dengan darah donornya yang akan di
transfusikan. Reaksi ini dimaksudkan untuk mencari tahu atau apakah
darah donor akan ditranfusikan itu nantinya akan dilawan oleh serum
pasien didalam tubuhnya, atau adakah plasma donor yang turut
ditransfusikan akan melawan sel pasien didalam tubuhnya hingga akan
memperberat anemia, disamping kemungkinan adanya reaksi hemolytic
transfusi yang biasanya membahayakan pasien.
Maka dapat disimpulkan tujuan Crossmacth sendiri yaitu
mencegah reaksi hemolitik tranfusi darah bila darah didonorkan dan
supaya darah yang ditrafusikan itu benar-benar ada manfaatnya bagi
kesembuhan pasien.
Jika pada reaksi tersebut golongan darah A,B dan O penerima dan
donor sama, baik mayor maupun minor test tidak bereaksi berarti cocok.
Jika berlainan, misalnya donor golongan darah O dan penerima golongan
darah A maka pada test minor akan terjadi aglutinasi atau juga bisa
sebaliknya berarti tidak cocok (Anonim, 2010).
Mayor Crossmatch merupakan tindakan terakhir untuk melindungi
keselamatan penerima darah dan sebaiknya dilakukan demikian sehingga
Complete Antibodies maupun incomplete Antibodies dapat ditemukan
dengan cara tabung saja. Cara dengan objek glass kurang menjaminkan
hasil percobaan. Reaksi silang yang dilakukan hanya pada suhu kamar saja
tidak dapat mengesampingkan aglutinin Rh yang hanya bereaksi pada
suhu 37 derajat Celcius. Lagi pula untuk menentukan anti Rh sebaiknya
digunakan cara Crossmatch dengan high protein methode. Ada beberapa
cara untuk menentukan reaksi silang yaitu reaksi silang dalam larutan
garam faal dan reaksi silang pada objek glass (Anonim, 2010).
Serum antiglobulin meningkatkan sensitivitas pengujian in vitro.
Antibody kelas IgM yang kuat biasanya menggumpalkan erythrosit yang
mengandung antigen yang relevam secara nyata, tetapi antibody yang
lemah sulit dideteksi. Banyak antibodi kelas IgG yang tak mampu
menggumpalkan eryhtrosit walaupun antibody itu kuat. Semua pengujian
antibodi termasuk uji silang tahap pertama menggunakan cara sentrifugasi
serum dengan eryhtrosit. Sel dan serum kemudian diinkubasi selama 15-30
menit untuk memberi kesempatan antibodi melekat pada permukaan sel,
lalu ditambahkan serum antiglobulin dan bila pendertita mengandung
antibodi dengan eryhtrosit donor maka terjadi gumpalan. Uji saring
terhadap antibodi penting bukan hanya pada transfusi tetapi juga ibu hamil
yang kemungkinan terkena penyakit hemolitik pada bayi baru lahir
(Anonim, 2010).
B. Tujuan praktikum

1. Untuk mengetahui kecocokan darah pendonor dengan darah resipien


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Transfusi darah adalah proses mentransfer darah atau darah berbasis


produk dari satu orang ke dalam sistem peredaran darah orang lain. Transfusi
darah dapat menyelamatkan jiwa dalam beberapa situasi, seperti kehilangan darah
besar karena trauma, atau dapat digunakan untuk menggantikan darah yang hilang
selama operasi.
Transfusi darah juga dapat digunakan untuk mengobati anemia berat atau
trombositopenia yang disebabkan oleh penyakit darah. Orang yang menderita
hemofilia atau penyakit sel sabit mungkin memerlukan transfusi darah sering.
Awal transfusi darah secara keseluruhan digunakan, tapi praktek medis modern
umumnya hanya menggunakan komponen darah.
Transfusi darah dapat dikelompokkan menjadi dua jenis utama tergantung
pada sumber mereka:

1. Transfusi homolog, atau transfusi darah yang disimpan menggunakan


orang lain. Ini sering disebut''''Allogeneic bukan homolog.

2. Autologus transfusi, atau transfusi menggunakan darah pasien sendiri


disimpan.

Donor unit darah harus disimpan dalam lemari es untuk mencegah


pertumbuhan bakteri dan memperlambat metabolisme sel. Transfusi harus dimulai
dalam 30 menit setelah unit telah diambil keluar dari penyimpanan dikendalikan.
Darah hanya dapat diberikan secara intravena. Karena itu membutuhkan
insersi kanula sekaliber cocok. Sebelum darah diberikan, rincian pribadi pasien
dicocokkan dengan darah untuk ditransfusikan, untuk meminimalkan risiko reaksi
transfusi. Kesalahan administrasi merupakan sumber signifikan dari reaksi
transfusi dan upaya telah dilakukan untuk membangun redundansi ke dalam
proses pencocokan yang terjadi di samping tempat tidur. Sebuah unit (hingga 500
ml) biasanya diberikan selama 4 jam. Pada pasien dengan risiko gagal jantung
kongestif, banyak dokter mengelola diuretik untuk mencegah overload cairan,
suatu kondisi yang disebut Transfusi Overload Peredaran Darah Terkait atau taco.
Acetaminophen dan / atau antihistamin seperti diphenhydramine kadang-kadang
diberikan sebelum transfusi untuk mencegah jenis lain reaksi transfusi.
Darah ini paling sering disumbangkan sebagai seluruh darah dengan
memasukkan kateter ke dalam vena dan mengumpulkan dalam kantong plastik
(dicampur dengan antikoagulan) melalui gravitasi. Darah yang dikumpulkan ini
kemudian dipisahkan menjadi komponen-komponen untuk membuat penggunaan
terbaik dari itu. Selain dari sel darah merah, plasma, dan trombosit, produk darah
yang dihasilkan komponen juga termasuk protein albumin, faktor pembekuan
konsentrat, kriopresipitat, berkonsentrasi fibrinogen, dan imunoglobulin
(antibodi). Sel darah merah, plasma dan trombosit juga dapat disumbangkan
individu melalui proses yang lebih kompleks yang disebut apheresis.
Di negara maju, sumbangan biasanya anonim kepada penerima, namun
produk dalam bank darah selalu individual dapat dilacak melalui siklus seluruh
donasi, pengujian, pemisahan menjadi komponen-komponen, penyimpanan, dan
administrasi kepada penerima. Hal ini memungkinkan pengelolaan dan
penyelidikan atas penularan penyakit transfusi diduga terkait atau reaksi transfusi.
Di negara berkembang donor kadang-kadang khusus direkrut oleh atau untuk
penerima, biasanya anggota keluarga, dan pemberian segera sebelum transfusi.

Adapun syarat-syarat pen-donor darah adalah sebagai berikut :

1. Berat badan harus lebih dari 50 Kg untuk donor standart 450 ml. donor yg
berat badannya kurang dari 50 kg hanya boleh mendonorkan sesuai dgn
berat badannya.

2. Suhu badan tidak boleh melebihi 37,5 C

3. Denyut nadi harus teratur antara 50 smp 100 x/I


4. Tekanan sistol harus diantara 90 -180 mmHg

5. Kadar Hb pd wanita paling tidak 12,5 gr/dl dan pria 13,5gr/dl

6. Usia minimal 18 thn Karena pertimbangan kebutuhan besi yg tinggi pada


akil baligh

7. Batas atas 65 thn karena meningkatnya insiden penyakit kardiovaskuler


dan serebrovaskuler

8. Pendonor harus dalam keadaan sehat dan harus bebas dari faktor dibawah
ini :

a. Riwayat hepatitis sekarang atau terdahulu / riwayat kontak dekat


dgn pasien hepatitis / dialisis dalam 6 bulan terakhir.

b. Riwayat sifilis dan malaria yg tidak diobati, karena penyakit ini


dapat ditularkan melalui transfusi meskipun sdh setahun
sebelumnya. orang yg sdh bebas gejala dan bebas terapi selama 3
thn setelah menderita malaria diperbolehkan menjadi donor.

c. Riwayat atau terdapat bukti penyalahgunaan obat dengan cara


menyuntik sendiri karena banyak pengguna obat intravena adalah
karier hepatitis dan resiko terjadi AIDS tinggi pada kelompok ini.

 Riwayat kemungkinan pajanan HIV seperti : melakukan sex


anal, kontak sex dengan banyak pasangan dan pengguna obat
intravena.
 Infeksi kulit karena kemungkinan mengkontaminasi jarum
flebotomi.
 Riwayat asma, urtikaria, alergi obat karena hipersensitif dapat
ditransmisi secara pasif ke resipien.
 Kehamilan dalam 6 bulan terakhir karena kebutuhan nutrisi yg
tinggi pada ibu hamil.
 Riwayat terpajan penyakit menular dalam 3 minggu karena ada
resiko penularan ke penerima.
 Riwayat donor darah dlm 56 hari terakhir.

Darah yang telah anda donorkan harus di simpan kedalam lemari es. Hal
ini dilakukan agar darah terhindar dari pertumbuhan bakteri dan memperlambat
metabolisme sel. Pada saat akan melakukan transfusi darah, darah harus di
keluarkan dari lemari pendingin dan harus melakukan transfusi darah 30 menit
setelah darah dikeluarkan. Darah hanya dapat diberikan secara
intravena(pemberian obat dengan cara memasukkan obat ke dalam pembuluh
darah vena secara langsung dengan menggunakan spuit). Karena itu
membutuhkan insersi kanula sekaliber cocok.

Sebelum darah diberikan, rincian pribadi pasien dicocokkan dengan darah


untuk ditransfusikan, untuk meminimalkan risiko reaksi transfusi. Kesalahan
administrasi merupakan sumber signifikan dari reaksi transfusi dan upaya telah
dilakukan untuk membangun redundansi ke dalam proses pencocokan yang terjadi
di samping tempat tidur.
BAB III

METODE KERJA

A. Metode pemeriksaan

1. Metode yang digunakan dalam pemeriksaan ini adalah metode


aglutinasi.
B. Prinsip pemeriksaan

Antibodi yang terdapat dalam serum/plasma, bila direaksikan


dengan antigen pada sel darah merah, melalui inkubasi pada suhu 37 0C
dan dalam waktu tertentu, dan dengan penambahan anti monoglobulin
akan terjadi reaksi aglutinasi.

C. Alat dan bahan


1. Alat

a. Tabung reaksi
b. Rak tabung reaksi
c. Inkubator
d. Sentrifuge
e. Botol semprot
f. Gelas 3 buah
g. Mikroskop
h. Slide
i. Pipet pasteur
j. Botol reagensia standar
2. Bahan
a. Sampel serum OS
b. Sampel plasma donor
c. Cell darah donor 5 %
d. Cell darah resipien 5 %
e. REAGENSIA
 Saline/ NaCl 0,9
 Bovine albumin 22 %
D. Cara kerja
1. CM (cross mathcing)
a. Fase saline
1) Siapkan alat dan bahan yang akan digunkan
2) Siapkan 3 tabung
3) Tabung my 1 tetes SDM 5% Dn + 2 tetes plasma Os
4) Tabung mn 1 tetes SDM 5% Os + 2 tetes plasma Dn
5) Tabung Ak 1 tetes SDM 5% Os + 2 tetes plasma Os
6) Sentrifuge selama 15 – 20 detik
7) Dibaca sendiri
b. Fase BA (Bovine albumin)
1) Siapkan tabung diisi 2 tetes BA 22%
2) Inkubasi 15 menit
3) Disentrifuge selama 15-30 detik
4) Dibaca hasilnya. Dicuci sebanyak 3 kali
5) Disentrifuge kembali selam 2 menit
c. Fase AHG
1) Masing-masing tabung di tambah 2 tetes AHG
2) Disentrifuge selam 15-30 detik
3) Dibaca hasilnya dibawah mikroskopik
BAB IV

HASIL PEMERIKSAAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil pengamatan

Tes Phase I Phase II Phase III Validitas

Mayor (-) (-) (-) (+ 2)

Minor (-) (-) (-) (+ 2)

Autocontrol (-) (-) (-) (+ 2)

Gambar pengamatan Keterangan

Mayor,minor dan
autocontrol
= negatif (-)

Validasi = positif
(+)
B. Pembahasan
Crossmatch adalah reaksi silang in vitro antara darah pasien
dengan darah donornya yang akan di transfusikan. Pemeriksaan ini
dilakukan sebelum pelaksanaan transfusi darah.
Tindakan uji silang (crossmatch) diperlukan sebelum melakukan
tranfusi darah untuk melihat apakah darah penderita sesuai dengan
donor.Untuk tujuan tersebut, golongan darah penerima resipien harus sama
dengan golongan darah pemberi donor dan uji aglutinasi antara serum
resipien dengan SDM donor dan serum donor dengan SDM resipien.
Uji crossmatch ini penting bukan hanya pada transfusi tetapi juga
ibu hamil yang kemungkinan terkena penyakit hemolitik pada bayi baru
lahir. Tujuan dilakukan periksaan uji silang adalah
1. untuk melihat apakah darah dari pendonor cocok dengan penerima
(resipien).
2. untuk konfirmasi golongan darah.
3. untuk mencari tahu atau apakah darah donor akan ditranfusikan itu
nantinya akan dilawan oleh serum pasien didalam tubuhnya, atau
adakah plasma donor yang turut ditransfusikan akan melawan sel
pasien didalam tubuhnya hingga akan memperberat anemia,
disamping kemungkinan adanya reaksi hemolytic transfusi yang
biasanya membahayakan pasien.
Maka dapat disimpulkan tujuan Crossmacth sendiri yaitu
mencegah reaksi hemolitik darah bila darah didonorkan dan supaya darah
yang ditrafusikan itu benar-benar ada manfaatnya bagi kesembuhan
pasien. Crossmatch mempunyai tiga fungsi, yaitu:
1. Konfirmasi jenis ABO dan Rh (kurang dari 5 menit)
2. Mendeteksi antibodi pada golongan darah lain.
3. Mendeteksi antibody dengan titer rendah atau tidak terjadi
aglutinasi mudah. Yang dua terakhir memerlukan sedikitnya 45
menit.
Prinsip crossmatch ada dua yaitu Mayor dan Minor, yang
penjelasnya sebagai berikut :
1. Mayor crossmatch adalah serum penerima dicampur dengan sel
donor. Maksudnya apakah sel donor itu akan dihancurkan oleh
antibody dalam serum pasien.
2. Minor crossmatch adalah plasma donor dicampur dengan sel
penerima. Yang dengan maksud apakah sel pasien akan
dihancurkan oleh plasma donor.
Jika golongan darah (system ABO) penerima dan donor sama, baik
mayor maupun minor tidak bereaksi, jika berlainan misalnya, donor
golongan O dan penerima golongan A, akan terjadi aglutinasi pada tes
minor.
Mayor Crossmatch merupakan tindakan terakhir untuk melindungi
keselamatan penerima darah dan sebaiknya dilakukan demikian sehingga
Complete Antibodies maupun incomplete Antibodies dapat ditemukan
dengan cara tabung saja. Cara dengan objek glass kurang menjaminkan
hasil percobaan. Reaksi silang yang dilakukan hanya pada suhu kamar saja
tidak dapat mengesampingkan aglutinin Rh yang hanya bereaksi pada
suhu 37OC. Pada pemeriksaan uji silang serasi ada tiga fase yaitu :
1) Fase I (fase suhu kamar, dalam medium salin)
Fase ini menilai kecocokan antibody alami dengan antigen
eritrosit antara donor dan resipien, sehingga reaksi tranfusi
hemolitik yang fatal bisa dihindari. Pada fase ini juga dapat
menentukan golongan darah.
2) Fase II (fase inkubasi pada suhu 37OC)
Fase ini untuk mendeteksi antibody anti-Rh dan
meningkatkan sensitivitas tes globulin dengan menggunakan media
bovine albumin 22%. Dilakukan inkubasi selama 15 menit pada
suhu 37OC sebagai suhu yang sama dengan suhu badan, sehingga
member kesempatan antibody untuk melekat pada sel. Inkubasi
tidak boleh lebih dari 15 menit karena ada kemungkinan terjadi
aglutinasi nonspesifik.
3) Fase III (Indirect Coomb’s Test)
Fase ini merupakan uji antiglobulin. Untuk mendeteksi IgG yang
dapat menimbulkan masalah dalam tranfusi yang tidak dapat terdeteksi
pada kedua fase sebelumnya.
Sebelum di tes, eritrosit dicuci terlebih dahulu dari globulin plasma
yang tidak bersifat antizat spesifik dan kemudian dicampur dengan
Coomb’s serum, yaitu serum hewan yang mengandung antizat spesifik
terhadap globulin human. Adanya aglutinasi menunjukan adanya antizat
yang melapisi eritrosit.
Uji validitas berfungsi untuk mengetahui, apakah uji silang yang
dilakukan sudah valid atau tidak. Hasil uji validitas pasti menunjukan hasil
positif, namun positif lemah. Pada uji validitas, tabung yang menghasilkan
hasil positif pada fase sebelumnya tidak di lakukan uji lagi, karena uji ini
untuk mengetahui validitas dari uji silang.
Jika pada reaksi tersebut golongan darah A,B dan O penerima
donor sama, baik mayor maupun minor test tidak bereaksi, berarti hasil
compatible/cocok. Jika berlainan misalnya donor golongan darah O dan
penerima golongan darah A, maka berarti incompatible/tidak cocok.
Pada praktikum ini, didapatkan hasil uji silang fase 1,2,3 dan uji
validitas sebagai berikut

Tes Phase I Phase II Phase III Validitas


Mayor - - - +
Minor - - - +
Autocontrol - - - +

Pada table dapat dilihat bahwa, hasil uji silang fase 1,2 dan 3 untuk
tabung mayor, minor ataupun autocontorl selalu menunjukan hasil negatif
(tidak terjadi aglutinasi). Hal ini berarti terjadi ketidak cocokan antara
serum pasien dengan darah donor. Dengan demikian, hasil uji silang dapat
dinyatakan compatible untuk resipien sehingga proses tranfusi dapat
dilakukan.
Karena keseluruh tabung menunjukan hasil negative, maka pada
seluruh tabung dilakukan uji validitas untuk mengetahui apakah uji silang
yang telah dilakukan valid. Tabung minor, mayor dan autocontrol
seluruhnya menunjukan hasil uji yang valid. Hasil ini ditunjukan dari
adanya aglutinasi pada tabung, namun aglutinasinya lemah. Namun pada
tabung mayor, sempat terjadi kesalahan dalam pengamatan, karena pada
uji validitas tampak tidak terjadi aglutinasi. Hal ini karena saat awal
pengamatan, tampak aglutinasi lemah, dan pengocokan tabung dipercepat
dengan maksud untuk mempertegas timbulnya aglutinasi. Hal ini justru
membuat darah bercampur dan aglutinasi tidak tampak lagi. Oleh karena
itu, teknik pengocokan tabung pada uji validitas berbeda dengan phase uji
silang. Dimana aglutinasi yang terjadi adalah aglutinasi lemah dan akan
jelas terlihat apabila di amati dengan mikroskop.

BAB V
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Hasil uji silang untuk sampel R3 sebagai resipien dan D4 sebagai


donor adalah compatible/cocok, sehingga dapat dilakukan tranfusi darah
dari donor ke resipien.
B. SARAN

Dalam mengerjakan sampel harus secara hati – hati baik dalam


proses pembuatan suspensi sel, serum, proses sentrifugasi dan pemipetan
karena bisa berpengaruh terhadap hasil.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim.2009. Makalah Transfusi Darah “Tehnik Pemeriksaan Golongan Darah


ABO Dan Syarat-Syarat Melakukan Transfusi Darah. Akademi Analis
Kesehatan Bina Husada. Kendari.
Anonim. 2010. Materi Kuliah Transfusi Darah. Akademi Analis Kesehatan Bina
Husada. Kendari.
LAMPIRAN

Gambar
Sampel hasil pengamatan Keterangan
Fase I saline Negatif
Serum/plasma (-)
my
mn
Fase II BA Negatif
Serum/plasma (-)

Fase III AHG Negatif


Serum/plasma (-)

ak

Validasi Positif
Mikroskopik (+)

Anda mungkin juga menyukai