Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mardud menurut bahasa berarti yang ditolak, yang tidak diterima.


Sedangkan menurut Muhaddisin, hadits mardud adalah hadits yang tidak
menunjuki keterangan yang kuat akan adanya dan tidak menunjuki keterangan
yang kuat atas ketidakadaannya, tetapi adanya dengan ketidakadaannya
bersamaan. Hadits mardud adalah semua hadits yang telah dihukumi dha’if.
Hadits Dha’if (lemah) ialah hadits yang sanad-nya tidak bersambung
(dapat berupa mursal, mu’allaq, mudallas, munqathi’, atau mu’zhal) dan
diriwayatkan oleh yang tidak adil atau tidak kuat ingatannya, dan mengandung
kejanggalan atau cacat.1 Oleh karena itu, ‘ilm mustalah hadits telah menetapkan
hadits semacam ini tidak dapat diterima sebagai sumber ajaran islam. Seluruh
ulama hadits sepakat menetapkan tidak boleh sekali-kali menggunakan hadits
dha’if untuk menetapkan hukum, baik hukum halal, haram, jual beli, pernikahan
dan sebagainya, walaupun banyak jalur yang meriwayatkanya, sesama hadits
dha’if tidak saling menguatkan.2
Secara umum, kecacatan hadits dha’if disebabkan oleh tiga hal. Pertama,
disebabkan terputusnya sanad yang memunculkan beberapa hadits seperti hadits
mursal, munqathi’, mu’allaq, dan hadits mudallas. Kedua, disebabkan cacatnya
matan (hadits mu’allal, mudraj, maqlub, muharraf dan mushahhaf). Ketiga,
disebabkan cacatnya perawi (hadits matruk, mubham, majhul, mukhtalith,
mudhtharib, syadz, dan hadits mungkar).
InsyaAllah, pada makalah ini, kami akan membahas mengenai klasifikasi
hadits dha’if yang disebabkan cacatnya perawinya saja yaitu hadits matruk,
mubham, majhul, mukhtalith, mudhtharib, syadz, dan hadits mungkar. Setiap
hadits akan paparkan defenisi dari segi bahasa maupun istilah, dan akan diperkuat
dengan contoh dari masing-masing hadits.

1
Abd. Wahid, Pengatar Ulumul Hadits, PeNA, Banda Aceh, 2012, hlm. 25.
2
Abdul choliq Muchtar, Hadis Nabi Dalam Teori Dan Praktik, TH-Press, yogyakarta, 2004, hlm.
85.

1
2

BAB II

PEMBAHASAN

A. Hadits Matruk
a. Pengertian Hadits Matruk
Dari segi bahasa Matruk berasal dari akar kata: ‫ ﺘﺮﻚ ﻴﺘﺮﻚ ﺘﺮﻚ‬yang artinya
tertinggal. Orang Arab menyebutkan kulit telur setelah mengeluarkan anak ayam
disebut tariikah ‫ﺘﺮﻴﻜﻪ‬, artinya tertinggal. Maksud pemberitaan seseorang tertinggal
dalam arti tidak didengar, tidak dianggap, dan tidak dipercaya karena menyangkut
pribadi yang tidak baik.3 Sedangkan dalam istilah adalah hadits yang didalam
sanad-nya terdapat seorang perawi yang dituduh berdusta.

ِ ‫ِي يَك ُْونُ أ َ َح ُد ُر َواتِ ِه ُمت َّ ِه ًما ِبا ْل َك ِذ‬


‫ب‬ ُ ‫ُه َو ا ْل َح ِد ْي‬
ْ ‫ث الَّذ‬
Yaitu hadits yang salah seorang rawinya tertuduh berdusta

Tuduhan berdusta kepada perawi karena salah satu dari dua hal berikut
ini4:
1. Hadits itu tidak diriwayatkan kecuali pada jalurnya saja, dan
bertentangan dengan kaidah-kaidah umum yang digali oleh para
ulama dari nash-nash syar’i.
2. Dikenal sebagai pendusta dalam perkataan biasa, tetapi tidak tampak
kedustaannya dalam hadits.
Yang disebut dengan rawi yang tertuduh dusta ialah seorang rawi yang
terkenal dalam pembicaraan sebagai pendusta, tetapi belum dapat dibuktikan
bahwa ia sudah pernah berdusta dalam membuat hadits. Menurut sebagian ahli
hadits menolak periwayatannya. Seperti Ibnu Hajar Al-Asqalani yang
mengurutkan hadits matruk sebagai hadits dha’if yang terburuk setelah maudhu’.
Hal itu dikarenakan tidak dapat diamalkan sama sekali karena cacat yang sangat
fatal, yaitu tertuduh dusta, yang posisinya berdekatanya dengan hadits maudhu’.

3
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, AMZAH, Jakarta, 2013, hlm. 206.
4
Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Maktabah Wahbah, 2009, hlm. 149.
3

b. Contoh Hadits Matruk5


Contohnya, hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dun-ya di dalam
Qadla’ al-Hawaij (no. 6) dengan jalan melalui:

‫صلَّى‬
َ ‫اس ع َِن النَّ ِبي‬َ َّ‫عب‬ َ ‫ ع َْن ا ْب ُن‬،‫اك‬ ِ ‫ض َح‬ َّ ‫ ع َِن ال‬،‫س ِع ْي ٍد اْأل َ ْزدِي‬ َ ‫ُج َو ْي ِب ْر ْبُن‬
،‫س ْو ِء‬
َّ ‫ع ال‬ َ ‫ف فَ ِإنَّهُ يَ ْمنَ ُع َم‬
َ ‫ص ِار‬ ِ ‫اء ا ْل ِم ْع ُر ْو‬ِ َ‫علَ ْي ُك ْم بِاص ِْطن‬ َ :‫سلَّ َم‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫هللا‬
‫ب هللاِ ع ََّز َو َج َّل‬َ ‫ض‬ َ ‫غ‬ َ ‫ئ‬ ُ ‫ص َدقَ ٍة الس ِِر فَ ِإنَّ َها ت ُ ْط ِف‬
َ ‫علَ ْي ُك ْم ِب‬
َ ‫َو‬
Juwaibir bin Sa’id al-Azdiy, dari Dhahak, dari Ibnu Abbas dari Nabi SAW, beliau
bersabda; Hendaklah kalian berbuat ma’ruf, karena ia dapat menolak kematian
yang buruk, dan hendaklah kamu bersedekah secara tersembunyi, karena sedekah
tersembunyi akan memadamkan murka Allah SWT.

Di dalam sanad ini terdapat rawi yang bernama Juwaibir bin Sa’id al-
Azdiy. an-Nasa’i Daruquthni, dan perawi lainnya. mengatakan bahwa haditsnya
ditinggalkan (matruk). Ibnu Ma’in berkata, “Ia tidak ada apa-apanya”, menurut
Ibnu Ma’in ungkapan (tidak ada apa-apanya) ini berarti ia tertuduh berdusta.

B. Hadits Mubham
a. Pengertian Hadits Mubham
Arti mubham menurut bahasa adalah samar, tidak jelas, disembunyikan
atau yang tersembunyi. Jadi, perawi-nya atau orang ketika yang menjadi objek
pembicaraan tidak dijelaskan siapa nama dan dari mana dia. Menurut istilah
adalah hadits yang di dalam matan atau sanad-nya terdapat seorang rawi yang
tidak dijelaskan apakah ia laki-laki atau perempuan.

ُّ ‫سنَ ِد ِم َن‬
‫الر َوا ِة‬ َ ُ‫ا ْل ُم ْب َه ُم َم ْن لَ ْم ي‬
َّ ‫س ِم فِي ال‬
Yang dinamakan mubham adalah rawi yang tidak disebutkan namanya di dalam
sanad.

Ke-ibham-an rawi dalam hadits mubham tersebut dapat terjadi, karena


tidak disebutkan namanya atau disebutkan namanya, tetapi tidak dijelaskan siapa
sebenarnya yang dimaksud dengan nama itu, sebab tidak mustahil bahwa nama itu
dimiliki oleh beberapa orang, atau dapat terjadi karena hanya disebutkan jenis
keluarganya, seperti ibnun (anak laki-laki), ummun (Ibu), khallun (paman), dan

5
Abdul Majid Khon, Ulumul..., hlm. 207.
4

lain sebagainya yang disebutkan tersebut belum menunjukan nama pribadi


seseorang.6

Hadits Mubham hukumnya dha’if berat, karena periwayatnya tidak dikenal,


pribadinya dan keadaannya sehingga haditsnya tidak dapat diterima dan
digunakan sebagai argumen, kecuali dapat diketahui siapa orang yang di-
mubham-kan itu. Apabila ia telah diketahui, maka dapat dinilai haditsnya sesuai
dengan kaidah-kaidah penilaian hadits. Tetapi apabila yang di-mubham-kan itu
shahabat, maka tidak berpengaruh apa-apa karena semua shahabat itu adil.

b. Contoh Hadits Mubham


Hadits mubham itu ada yang terdapat pada matan dan ada yang terdapat
pada sanad-nya.
Contoh hadits mubham yang terdapat pada sanad, ialah hadits yang
dikeluarkan oleh Abu Dawud di dalam as-Sunan (3790)7 :

ُ‫سلَ َمةَ ع َْن أَبِي ُه َر ْي َرةَ َرفَ َعاه‬ َ ‫صةَ ع َْن َر ُج ٍل ع َْن أَبِي‬
َ ِ‫ع َِن ا ْل َح َّجاجِ ْب ِن فُ َراف‬
‫سلَّ َم ا ْل ُم ْؤ ِم ُن ِغ ٌّر ك َِري ٌم‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ‫صلَّى اللَّهم‬
َ ِ‫َّللا‬
َّ ‫سو ُل‬ُ ‫َج ِميعًا قَا َل قَا َل َر‬
‫ب لَئِي ٌم‬ ِ َ‫َوا ْلف‬
ٌّ ‫اج ُر ِخ‬
Dari al-Hujjaj bin Farafshah, dari seorang laki-laki, dari Abu Salamah, dari Abu
Hurairah, ia berkata; Rasulullah saw bersabda; Mu’min itu sopan lagi mulia,
dan pendosa penipu lagi keji.

Dalam sanad hadits di atas hanya disebutkan dari “seorang laki-laki’ dari
Abu Salamah dari ... tanpa menyebutkan nama si laki-laki tersebut, maka
dinamakan mubham.

Kadang-kadang mubham terdapat di dalam matan, hal ini tidak


mempengaruhi kesahihan hadits, karena penyebutan rawi secara mubham tidak
terdapat pada sanad.
Contoh hadits mubham yang terdapat pada matan, hadits yang
dikeluarkan oleh Muslim (2/603) dengan jalur sanad dari Jabir :

6
Fatchur Rahman, Ikhtishar Mushthalahu’l Hadits, Alma’arif, Bandung, 1974, hlm.196.
7
Abdul Majid Khon, Ulumul ..., 2013, hlm. 210.
5

‫سلَّ َم‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫َّللا‬َّ ‫صلَّى‬ َ ِ‫َّللا‬
َّ ‫سو ِل‬ ُ ‫َّللاِ قَا َل ش َِهدْتُ َم َع َر‬ َّ ‫ع ْب ِد‬ َ ‫ع َْن َجا ِب ِر ْب ِن‬
‫ان َو ََل ِإقَا َم ٍة ث ُ َّم قَا َم‬ ٍ َ‫ص ََل ِة قَ ْب َل ا ْل ُخ ْطبَ ِة ِبغَ ْي ِر أَذ‬ َّ ‫ص ََلةَ يَ ْو َم ا ْل ِعي ِد فَبَدَأ َ ِبال‬ َّ ‫ال‬
‫اس‬ َ َّ‫ظ الن‬ َ ‫ع‬َ ‫ع ِت ِه َو َو‬ َ ‫علَى َطا‬ َ ‫ث‬ َّ ‫علَى ِب ََل ٍل فَأ َ َم َر ِبت َ ْق َوى‬
َّ ‫َّللاِ َو َح‬ َ ‫ُمت َ َو ِكئ ًا‬
‫ص َّد ْق َن فَ ِإ َّن‬َ َ ‫ظ ُه َّن َوذَك ََّر ُه َّن فَقَا َل ت‬ َ ‫ع‬َ ‫سا َء فَ َو‬َ ‫الن‬ِ ‫ضى َحتَّى أَتَى‬ َ ‫َوذَك ََّر ُه ْم ث ُ َّم َم‬
ْ‫س ْفعَا ُء ا ْل َخ َّد ْي ِن فَقَالَت‬َ ‫اء‬ ِ ‫س‬ َ ِ‫س َط ِة الن‬ ِ ‫ام َرأَةٌ ِم ْن‬ْ ‫ت‬ ِ ‫ب َج َهنَّ َم فَقَا َم‬ ُ ‫أ َ ْكث َ َرك َُّن َح َط‬
‫ِير قَا َل فَ َجعَ ْل َن‬ َ ‫شكَاةَ َوت َ ْكفُ ْر َن ا ْلعَش‬ َّ ‫َّللاِ قَا َل ِألَنَّك َُّن ت ُ ْكثِ ْر َن ال‬ َّ ‫سو َل‬ ُ ‫ِل َم يَا َر‬
‫ب ِب ََل ٍل ِم ْن أ َ ْق ِر َطتِ ِه َّن َو َخ َواتِ ِم ِه َّن‬ ِ ‫ين فِي ث َ ْو‬ َ ‫ص َّد ْق َن ِم ْن ُح ِل ِي ِه َّن يُ ْل ِق‬
َ َ ‫يَت‬
Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata: Aku menghadiri salat Id bersama Rasulullah
saw, beliau memulai salat sebelum khutbah, tanpa adzan dan iqamah, kemudian
berdiri bersandar pada Bilal, beliau memerintahkan untuk taqwa kepada Allah,
dan mendorongan untuk taat kepada Allah, mengajarkan kepada manusia dan
mengingatkan mereka, kemudian berlalu sehingga datang seorang perempuan,
maka beliau mengajar mereka dan mengingatkan mereka seraya bersabda;
Bersedekahlah karena kebanyakan di antara kalian akan menjadi kayu bakar api
neraka, lalu berdirilah salah seorang perempuan, yang merupakan pilihan para
wanita, yang kedua pipinya berwarna merah kehitam-hitaman, lalu ia bertanya,
“Mengapa demikian, Ya Rasulullah?” Rasulullah saw menjawab, “Engkau
banyak mengeluh dan ingkar kepada kepada suamimu. Jabir berkata; Lalu
mereka menyedekahkan sebagian perhiasan mereka yang berupa cincin dan
anting mereka dengan memasukkannya ke dalam kain Bilal.

Disembunyikannya nama wanita yang bertanya kepada Rasulullah SAW


tidak mempengaruhi kesahihan hadits, karena orang tersebut tidak terletak pada
sanad.8

C. Hadits Majhul
1. Pengertian Hadits Majhul
Kata majhul berarti tidak diketahui. Misalnya, seorang perawi hadits yang
tidak dikenal atau tidak diketahui asal usul dan latar belakangnya yang
menyangkut kepercayaan seseorang, padahal untuk menilai otentisitas hadits
diperlukan pembawanya seorang yang memiliki kredibilitas yang dapat

8
Amr Abdul Mun'im Salim, Taysir Ulum al-Hadits lil Mubtadi'in, Maktabah Ibnu Taimiyah,
Kairo, 1997, hlm. 64 – 65.
6

diandalkan. Menurut istilah, hadits majhul adalah seorang perawi yang tidak
dikenal jati diri dan identitasnya. Hadits majhul adalah hadits yang di dalam
sanad-nya terdapat seorang perawi yang tidak dikenal jati dirinya, atau dikenal
orangnya, tetapi tidak dikenal identitas atau tidak dikenal sifat-sifat keadilan dan
ke-dhabith-annya. Sebab-sebab tidak dikenal jati diri atau identitas itu (jahalah)
ada beberapa faktor penyebab, antara lain sebagai berikut9 :
1. Seseorang mempunyai banyak nama atau sifat, baik nama asli, nama
panggilan, gelar, sifat profesi, atau suku dan bangsa. Sementara orang
tersebut hanya dikenal sebagai namanya saja, tetapi kemudian
disebutkan nama atau sifat yang tidak dikenal karena ada tujuan
tertentu, maka ia diduga perawi lain.
2. Seorang perawi yang sedikit periwayatannya hadits, tidak banyak
orang mengambil perawi yang kecuali hanya satu orang saja misalnya.
3. Tidak tegas penyebutan nama perawi karena diringkas menjadi nama
kecil atau nama panggilan atau karena tujuan lain.

2. Macam-Macam Hadits Majhul 10


Adanya rawi yang tidak dikenal merupakan salah satu sebab ditolak-nya
suatu riwayat. Hadits Majhul terbagi menjadi dua bagian;
1. Majhul Al-‘Ain, yaitu sebutan khusus terhadap orang yang tidak ada
riwayat hadits darinya selain hanya satu riwayat saja, dan tak seorang pun
di antara ahli hadits yang mengemukakan jarh dan ta'd’il-nya.

Di antara orang yang masuk kategori majhul al-‘ain adalah; Hafsh bin
Hasyim bin Utbah. Rawi yang meriwayatkan hadits darinya hanyalah Abdullah
bin Luhai’ah, dan tak seorangpun menyebutkan jarh wa ta’dilnya. Al-Hafidh Ibnu
Hajar berkata di dalam Tahdzib at-Tahdzib (2/362), “Dia tidak disebutkan di
dalam kitab-kitab tarikh (rawi) apapun juga, dan juga tidak ditemukan penjelasan
bahwa Ibnu Utbah memiliki anak yang bernama Hafsh.
Contoh Majhul al-‘ain , hadits yang dikeluarkan oleh Abu Dawud (1492),

‫عتْ َب ٍة ْب ِن‬ ِ ‫س ِع ْي ٍد ثَنَا ْبنُ لُ َه ْي َعةَ ع َْن َح ْف‬


ِ ‫ص ْب ِن َها‬
ُ ‫ش ٍم ْب ِن‬ َ ‫َحدثَنَا قُت َ ْي َبةُ ْب ُن‬
9
Abdul Majid Khon, Ulumul ..., 2013, hlm. 209.
10
Amr Abdul Mun'im Salim, Taysir..., hlm. 61 – 62.
7

‫علَ ْي ِه‬
َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫ب ْب ِن يَ ِز ْي ٍد ع َْن أ َ ِب ْي ِه أ َ َّن النَّ ِب َّي‬ ِ ِ‫سائ‬َّ ‫اص ع َِن ال‬ ٍ َّ‫أ َ ِب ْي َوق‬
‫س َح َو ْج َههُ بِيَ َد ْي ِه‬ َ ‫َان ِإذَا َدعَا فَ َرفَ َع يَ َد ْي ِه َم‬
َ ‫سلَّ َم ك‬
َ ‫َو‬
Qutaibah bin Sa’id menceritakan kepada kami, Ibnu Luhai’ah menceritakan
kepada kami, dari Hafsh bin Hasyim bin Utbah bin Abu Waqqash, dari Saib bin
Yazid, dari ayahnya, Yazid bin Sa’id al-Kindi ra. Bahwa Nabi saw apabila
berdo’a beliau mengangkat kedua tangannya lalu menwajahnya dengan kedua
tangannya.

Hafsh bin Hasyim termasuk majhul al-‘ain , sebagaimana telah dijelaskan


sebelumnya.
2. Majhul Al-Hal, yaitu sebutan yang dialamatkan kepada orang yang hadits
darinya diriwayatkan oleh lebih dari seorang, tetapi ahli hadiys tidak
mengemukakan jarh wa ta’dil-nya.

Di antara orang yang disebut-sebut termasuk ke dalam golongan jahalah


macam ini adalah Yazid bin Madzkur. Diriwayatkan darinya oleh Wahb bin
Uqbah, Muslim bin Yazid -anaknya- tetapi pendapat yang mu’tabar tidak
dianggap tstiqah.
Contoh hadits Majhul al-hal, hadits yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi di
dalam as-Sunan al-Kubra, (8/232) dengan jalan dari

ُ‫ع ْنه‬ َ ‫ض قَ ْو ِم ِه أ َ َّن‬


َ ُ‫ع ِليًّا َر ِض َي هللا‬ ِ ‫س ِم ْب ِن ا ْل َو ِل ْي ِد ع َْن بَ ْع‬
ِ ‫ش َِريْكٍ ع َِن ا ْلقَا‬
‫َر َج َم لُ ْو ِطيًّا‬
Syarik dari al-Qasim bin al-Walid, dari Yazid -Arah bin Madzkur, bahwasan-nya
Ali merajam orang homoseksual
Yazid bin Madzkur majhul hal, sebagaimana telah disebutkan di muka.

Mayoritas ulama’ melarang berhujah dengan hadits Majhul, baik majhul


al-hal ataupun majhul al-‘ain . Hanya saja ada sebagian ulama’ yang
membedakan antara keduanya, dan berpendapat bahwa majhul al-hal itu lebih
ringan daripada majhul ain. hadits yang di dalam sanadnya terdapat rawi yang
majhul al-hal apabila diikuti oleh riwayat yang setingkat, atau lebih kuat, maka
hadits akan meningkat derajatnya menjadi hasan, karena berkumpulnya dua jalan
atau lebih. Adapun hadits majhul al-‘ain , maka mutaba’ah (adanya penguat)
8

tidak berguna sama sekali, karena kelemahannya termasuk ke dalam kategori


berat.

D. Hadits Mukhtalith
a. Pengertian Hadits Mukhtalith
Mukhtalith secara bahasa berarti rusak akalnya atau fikirannya atau
hafalannya.11 Sedangkan menurut istilah adalah :

‫ف ِبنَ ْوعٍ ِم ْن أ َ ْن َواعِ اْ ِإل ْختَِلَ ِط‬


َ ‫ُه َو َما يَ ْر ِو ْي ِه َم ْن ُو ِص‬
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang bersifatkan salah satu
dari jenis ikhthilath (kekacauan)

Memiliki sifat salah satu jenis ikhtilath, seperti terjadinya kekacauan ingatan
sehingga kadang-kadang mencampurkan satu hadits dengan hadits yang lain,di
antara sebabnya adalah karena usia lanjut, atau karena kitabnya terbakar.12

b. Hukum Hadits Mukhtalith


Hadits Mukhtalath dilihat dari segi dapat diterima atau tidaknya dibagi
menjadi beberapa tingkatan;
Pertama, dapat diterima hadits dari rawi yang mengalami ikhtilath,
apabila ia stiqah dan rawi yang meriwayatkan darinya telah mendengarkan hadits
tersebut sebelum terjadinya ikhtilath.

Contoh, Hadits yang diriwayatkan oleh an-Nasa’i di dalam kitab Sunan :

‫ع َطا ُء ْب ُن‬ َ ‫ب ْب ِن ع ََربي ٍ قَا َل َح َّدثَنَا َح َّما ٌد قَا َل َح َّدثَنَا‬ ِ ‫أ َ ْخبَ َرنَا يَ ْحيَى ْب ُن َح ِبي‬
‫ص ََلةً فَأ َ ْو َج َز فِي َها فَقَا َل‬
َ ‫س ٍر‬ ِ ‫ار ا ْب ُن يَا‬ َ ‫صلَّى ِبنَا‬
ُ ‫ع َّم‬ َ ‫ب ع َْن أَبِي ِه قَا َل‬ ِ ِ‫سائ‬ َّ ‫ال‬
‫علَى ذَ ِلكَ فَقَ ْد‬ َ ‫ص ََلةَ فَقَا َل أ َ َّما‬ َّ ‫ض ا ْلقَ ْو ِم لَقَ ْد َخفَّ ْفتَ أ َ ْو أ َ ْو َج ْزتَ ال‬ ُ ‫لَهُ بَ ْع‬
‫سلَّ َم فَلَ َّما‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬َّ ‫سو ِل‬ ُ ‫س ِم ْعت ُ ُه َّن ِم ْن َر‬
َ ‫ت‬ ٍ ‫َدع َْوتُ ِفي َها ِب َدع ََوا‬
‫قَا َم ت َ ِب َعهُ َر ُج ٌل ِم َن ا ْلقَ ْو ِم‬
Telah meberitakan kepada kami Yahya bin Habib bin Arabiy, ia berkata; Telah
menceritakan kepada kami Hammad, ia berkata; Telah menceritakan kepada
Kami Atha’ bin as-Sa’ib, dari ayahnya, ia berkata; Ammar bin Yasir pernah
melakukan suatu salat bersama kami dengan salat yang ringan (pendek) lalu
11
A. Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, Diponegoro, Bandung, 2007, hlm. 204.
12
Amr Abdul Mun'im Salim, Taysir ..., hlm. 64 – 65.
9

orang bertanya kepadanya, engkau telah meringankan shalatmu –atau


pendekkan– Lalu Ammar menjawab; Adapun dalam hal itu aku telah berdoa di
dalamnya dengan suatu do’a yang aku dengar dari Rasulullah saw, lalu ketika
beliau berdiri seseorang di antara kaum itu mengikutinya.

Atha’ bin Sa’ib adalah stiqah, hanya saja ia mengalami ikhtilath di akhir
usianya, dan Hammad yang meriwayatkan hadits ini darinya adalah Hammad bin
Zaid. Dia termasuk orang yang telah mendengar hadits dari Atha' sebelum ia
mengalami ikhtilath. Yahya bin Sa’id al-Qaththan berkata, "Hammad bin Zaid
telah mendengar dari Atha’ sebelum ia mengalami ikhtilath". Demikian juga
penilaian Abu hatim ar-Razi.

Kedua, Tertolak hadits dari seorang yang mengalami ikhtilath, apabila


rawi yang meriwayatkan hadits darinya mendengarkan hadits setelah ia
mengalami ikhtilath.
Contohnya, hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (2602), at-Tirmidzi
(3446) dan lain-lainnya dengan jalan:

‫ع ِليًّا َر ِضي‬ َ ‫ع ِلي ِ ْب ِن َر ِبيعَةَ ع َْن‬ َ ‫سبِ ِع ْي ا ْل َه ْمدَانِ ُّي ع َْن‬


َّ ‫ق ال‬ َ ‫س َح‬ْ ‫َح َّدثَنَا أَبُو ِإ‬
‫ع ْب ِد ِه ِإذَا قَا َل ا ْغ ِف ْر ِلي ذُنُوبِي يَ ْعلَ ُم‬ ُ ‫ع ْنهم َم ْرفُ ْوعا ً ِإ َّن َربَّكَ يَ ْع َج‬
َ ‫ب ِم ْن‬ َ ‫َّللا‬َّ
‫غ ْي ِري‬ َ ُ‫أَنَّهُ ََل َي ْغ ِف ُر الذُّن‬
َ ‫وب‬
Dari Abu Ishaq as-Sabi’iy al-Hamdani, dari Ali bin Rabi’ah al-Walibiy, dari Ali
bin Abi Thalib ra secara marfu’. Sesungguhnya Tuhanmu merasa heran kepada
hamba-Nya apabila ia mengatakan ampunilah dosa-dosaku, dan ia mengetahui
bahwasannya tidak ada yang mengampuni dosa selain diriku.

Abu Ishaq as-Sabi’iy seorang Mudallas, ia tidak mendengar hadits ini dari
Ali al-Walibiy. Al-Mizzi telah menukilkan di dalam kitab Tuhfatu al-Asyraf
(7/436) dari Abdurrahman bin Mahdi, dari Syu’bah, ia berkata “Aku bertanya
kepada Abu Ishaq, dari siapakah engkau mendengar hadits ini?” Ia menjawab,
“dari Yunus bin Khabab”. Lalu aku menjumpai Yunus bin Khabab, aku bertanya
kepadanya, “dari siapakah engkau mendengar hadits ini?” Ia menjawab, “dari
seseorang yang mendengar dari Ali bin Rabi’ah”.
Ahmad bin Mansur ar-Ramadi telah meriwayatkan dari Abdur Razaq ash-
Shan’ani, ia berkata; Telah mengkhabarkan kepadaku Ma’mar, dari Abu Ishaq,
10

telah mengkhabarkan kepadaku Ali bin Rabi’ah. Dikeluarkan oleh al-Mahamili, di


dalam kitab ad-Du’a (15) dan al-Baihaqi di dalam kitab al-Mu'jam al-Kubra.
Tetapi riwayat ini mengandung cacat. Abdur Razaq seorang yang stiqah
hafidz, hanya saja ia mengalami ikhtilath di akhir hidupnya. ar-Ramadiy belajar
kepada Abdur Razaq setelah ia mengalami ikhtilath, ketika itu ia mendiktekan
hadits. Maka tak layak ar-Ramady mengatakan dalam meriwayatkan hadits itu
dengan ungkapan "mendengar".
Khusus untuk Imam Ahmad, beliau telah meriwayatkan hadits tersbut dari
Abdur Razaq di dalam kitab Musnad-nya (1/115) tidak dengan ungkapan yang
bermakna mendengar secara langsung. Padahal Imam Ahmad termasuk orang
yang mendengar hadits dari Abdur Razaq sebelum ia mengalami ikhtilath.
Ketiga, seorang mukhtalith riwayatnya tertolak apabila ia dha’if, baik
orang yang meriwayatkannya mendengar sebelum ia mengalami ikhtilath, atau
setelahnya. Yang demikian itu karena haditsnya tertolak karena illah (sebab) yang
lain, bukan karena ikhtilath.
Contoh, Hadits Laits bin Abi Salim. Laits termasuk rijal yang dha’if lagi
Mudtharib hadits (goncang haditsnya), dan ia mengalami ikhtilath di akhir
usianya. Ibnu Hibban berkata, “Ia mengalami ikhtilath di akhir usianya, ia banyak
mebolak-balikkan sanad, dan merafa’kan riwayat yang mursal, dan membawa
riwayat dari rawi tstiqah yang bukan dari hadits mereka”
Keempat, Mendiamkan hadits rijal mukhtalith yang tsiqah, apabila riwayat
orang yang mendengarnya sebelum ikhtilath dan sesudahnya sehingga haditsnya
diketahui derajatnya. Apabila ada kesesuaian dengan para rawi yang stiqah, maka
haditsnya dapat diterima, apabila tidak sesuai maka haditsnya tertolak.
Contohnya, hadits Hammad bin Salmah dari Atha’ bin as-Saib,
sesungguhnya ia mendengar dari Atha’ sebelum dan setelah ikhtilath,
sebagaimana telah kami tegaskan di dalam kitab adl-Dha’if min Qishat al-Isra’
wa al-Mi’raj.

E. Hadits Mudhtharib
a. Pengertian Hadits Mudhtharib
Mudhtharib dari segi bahasa artinya guncang dan bergetar, seperti
goncangan ombak di laut. Keguncangan suatu hadits dikarenakan terjadi kontra
11

antara satu hadits dengan hadits lain, berkualitas sama dan tidak dapat dipecahkan
secara ilmiah.13 Sedangkan menurut istilah adalah :

َ ‫ع ْنهُ َم َّرةً ِب‬


‫سنَ ٍد‬ َ ‫سا ِن ْي ِد‬ َ َ ‫الرا ِوي الَّذِي َلَ َي ْحت َ ِم ُل ت َ َع ُّد ُد اْأل‬ َّ ‫ث الَّذِي َي ْر ِو ْي ِه‬ُ ‫ا ْل َح ِد ْي‬
‫ث َلَ يُ ْم ِكنُ ا ْل َج ْم َع بَ ْينَ ُه َما‬ َ ‫َو َم َّرةً أ ُ ْخ َرى ِب‬
ٍ ‫سنَ ٍد آ َخ ٍر ُم َخا ِل‬
ُ ‫ف ِب َح ْي‬
Yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang tidak mungkin memiliki
beberapa sanad darinya, suatu kali dengan sebuah sanad, dan lain kali dengan
sanad lainnya yang berbeda, di mana antara keduanya tidak mungkin
dikompromikan.

Hadits Mudhtharib merupakan hadits yang berlawan-lawanan riwayatnya


atau matan-nya, baik yang dilakukan oleh seorang perawi atau oleh banyak
perawi, dengan mendahulukan, mengemudiankan, menambah, mengurangi,
ataupun mengganti, serata dapat dikuatkan salah satu riwayatnya atau salah satu
matan-nya.14

b. Contoh Hadits Mudhtharib15

‫ص ِب ُح ْو َن َوقَ ْد‬ ْ ُ‫ب َولَ ْه ٍو فَي‬ ٍ ‫علَى َطعَ ٍام َوش ََرا‬ َ ‫يَ ِبيْتُ قَ ْو ٌم ِم ْن َه ِذ ِه اْأل ُ َّم ِة‬
‫اس‬ ُ َّ‫صبِ َح الن‬ ْ ُ‫ف َحتَّى ي‬ ٌ َ‫ف َوقَذ‬ ٌ ‫س‬َ ‫س ُخ ْوا قِ َر َدةً َو َخنَ ِاز ْي َر َولَيُ ِص ْيبَنَّ ُه ْم َخ‬ ِ ‫ُم‬
‫ارةً ِم َن‬ َ ‫اصبًا ِح َج‬ ِ ‫علَ ْي ِه ْم َح‬ َ ‫سلَ َّن‬ِ ‫ف اللَّ ْيلَةُ ِببَنِي فَُلَ ٍن َولَيُ ْر‬ َ ‫س‬ َ ‫فَيَقُ ْولُ ْو َن َخ‬
‫علَى د َْو ٍر ِف ْي َها‬ َ ‫علَى قَ َبا ِئ ٍل ِف ْي َها َو‬ َ ‫علَى قَ ْو ِم لُ ْو َط‬ َ ‫س َل‬ ِ ‫اء َك َما أ ُ ْْ ْر‬ ِ ‫س َم‬َّ ‫ال‬
‫الر ْي َح العَ ِق ْي َم الَّتِ ْي أ َ ْهلَكَتْ عَادًا بِش ُْربِ ِه ُم ا ْل َخ ْم َر َوأ َ ْك ِل ِه ُم‬ ِ ‫علَ ْي ِه ْم‬ َ ‫سلَ َّن‬ِ ‫َولَيُ ْر‬
‫ت َولُ ْبس ِِه ُم ا ْل َح ِر ْي َر‬ِ ‫الربَا َواتِخا ِذ ِه ُم ا ْلقَ ْينَا‬ ِ
Suatu kaum di antara ummat ini bermalam dengan makanan, minuman dan
permainan, lalu pagi harinya mereka telah diubah menjadi kera dan bab. Dan
sungguh mereka telah ditimpa kehinaan dan sehingga ketika orang-orang bangun
pagi mereka mengatakan telah terjadi semalam telah terjadi malapetaka di rumah
si fulan dan dikirimkan kepada mereka hujan batu dari langit seperti yang pernah
menimpa kaum nabi Luth, terhadap beberapa kabilah di antara mereka, beberapa
rumah di antaranya, dan dikirimkan angina rebut yang menghancurkan kaum 'Ad

13
Abdul Majid Khon, Ulumul ..., 2013, hlm. 219.
14
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits, Pustaka Rizki Putra, Semarang,
2010, hlm. 171.
15
Amr Abdul Mun'im Salim, Taysir ..., hlm. 93.
12

karena mereka meminum khamr, memakan riba, menjadikan perempuan sebagai


penyanyi-penyanyi dan memakai sutera.

Hadits ini telah diriwayatkan oleh Farqad as-Sabakhi dengan enam versi
yang berbeda-beda. Farqad adalah dikenal sebagai salah seorang rawi yang dha’if.
Karena itulah riwayatnya dikatakan idlthiraab (goncang).
Idlthirab kadang-kadang terjadi pada matan, dan kadang-kadang pula
terjadi pada sanad. Tetapi idlthirab yang terjadi pada matan jumlahnya jauh lebih
kecil dibandingkan yang terjadi pada sanad.

F. Hadits Syadz
a. Pengertian Hadits Syadz16
Secara etimologi, kata syadz adalah isim fa’il dari kata syadzdza yang
berarti menyendiri dan ganjil. Sedangkan secara terminologi, pengertian syadz
adalah :

‫ أ َ ْو َما ا ْنفَ َر َد بِ ِه َم ْن‬،ُ‫ضبَ َط ِم ْنه‬


ْ َ ‫ض ْب ِط َم ْن ُه َو أ‬
َّ ‫ف بِال‬ ُ ‫ص ْو‬ ُ ‫ف فِ ْي ِه ا ْل َم ْو‬
َ َ‫َما َخال‬
‫َلَ يَ ْحت َ ِم ُل َحالَةَ قُبُ ْو ِل تَفَ ُّر ِد ِه‬
Adalah apabila hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang bersifat dlabit
menyelisihi rawi yang lebih dabith darinya, atau apabila hadis diriwayatakan
seorang diri oleh rawi yang tidak ada kemungkinan dapat dapat diterima
riwayatnya secara kesendirian.

Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa hadits syadz adalah hadits yang
diriwayatkan oleh perawi yang maqbul, yaitu seorang yang adil dan sempurna ke-
dhabith-annya, akan tetapi hadits tersebut berlawanan dengan hadits yang
diriwayatkan oleh perawi lain yang lebih adil dan lebih dhabith dari pada perawi
pertama tadi. Hukum hadits syadz adalah Mardud,yaitu tertolak. Hadits yang
berlawanan dengan hadits syadz tersebut disebut dengan hadits Mahfuzh.
Al-Syaf’i dan sekelompok ulama hijaz mendefinisikan hadits syadz
sebagai hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi tsiqah yang periwayatannya
itu berbeda dengan periwayatan rawi-rawi lain yang lebih tsiqah darinya. Dari

16
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, Mutiara Sumber Widya, Jakarta, 2001, hlm.278.
13

definisi ii, hadits syadz tidak memasukan hadits yang tidak diriwayatkan oleh rawi
tsiqah lainnya.17

b. Contoh Hadits Syadz


Contoh pertama. Hadits dari rawi yang dhabith bertentangan dengan rawi
yang lebih dhabith daripadanya dalam hal matan-nya.18
Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam kitab Sunan (92337)
dengan jalan sebagai berikut:

َّ ‫صلَّى‬
‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬
َّ ‫سو ِل‬ ُ ‫س ُم َرةَ ع َْن َر‬ َ ‫س ِن ع َْن‬ َ ‫َح َّدثَنَا َه َّما ٌم َح َّدثَنَا قَتَا َدةُ ع َِن ا ْل َح‬
ُ َ‫سا ِب ِع َويُ ْحل‬
‫ق‬ َ ‫غ ََل ٍم َر ِهينَةٌ ِب َع ِقيقَ ِت ِه ت ُ ْذ َب ُح‬
َّ ‫ع ْنهُ يَ ْو َم ال‬ ُ ‫سلَّ َم قَا َل ُك ُّل‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬َ
ُ ْ‫َرأ‬
‫سهُ َويُ َد َّمى‬
Hammam bin Yahya berkata, Telah menceritakan kepadaku Qatadah, dari al-
Hasan, dari samurah dari Rasulullah saw, beliau bersabda, “Setiap bayi tergadai
dengan aqiqahnya yang disembelih pada hari ketujuh, kemudian dicukur rambut
kepalanya dan dialirkan darah".

Abu Dawud berkata Hammam berselisih dalam hal ini, dan dia meragukan
riwayat dari Hammam. Mereka mengatakan “Yusamma” (diberi nama), sedangkan
Hammam mengatakannya “Yudamma”.
Hammam, meskipun muridnya Qatadah, tetapi bukanlah termasuk murid
pada generasi pertama, tetapi ia seorang murid yang mengandung keraguan dalam
meriwayatkan hadits dari Qatadah, meskipun dia tstiqah. Banyak murid Qatadah
yang lainnya dan yang lebih dhabith dari Hammam meriwayatkan hadits yang
berebeda dari hadits yang diriwayatkannya. Para rawi itu menggunakan kata
'Yusamma'. Di antara mereka adalah Sa'id bin Urwah (yang merupakan murid
Qatadah yang paling kuat) dan Aban bin yazid al-'Athar.
Contoh kedua, Hadits dari rawi yang dhabith bertentangan dengan rawi
yang lebih dhabith daripadanya dalam hal sanadnya.19
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad (5:382,402), Bukhari (1:52), Muslim
1:228), Abu 'Awanah (1:198), Abu Dawud (23), at-Tirmidzi (13), an-Nasa'i

17
Imam al-Nawawi, Dasar-Dasar Ilmu Hadis, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2001, hlm.26.
18
Muhammad Gufron & Rahmawati, Ulumul Hadits:Praktis dan Mudah, Teras, Yogyakarta,
hlm.151 – 152.
19
Amr Abdul Mun'im Salim, Taysir ..., hlm. 79 – 80.
14

(1:19,25), Ibnu Majah (305), dengan jalan

‫سلَّ َم‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َّللا‬ َ ‫عَن ْاأل َ ْع َم ِش ع َْن أَبِي َوائِ ٍل ع َْن ُحذَ ْيفَةَ أ َ َّن النَّ ِب َّي‬
ُ‫ع ْنه‬ َ ‫ضوءٍ فَذَ َهبْتُ ِألَتَأ َ َّخ َر‬ ُ ‫علَ ْي َها قَا ِئ ًما فَأَت َ ْيتُهُ ِب َو‬ َ ‫س َبا َطةَ قَ ْو ٍم فَ َبا َل‬
ُ ‫أَتَى‬
‫علَى ُخفَّ ْي ِه‬ َ ‫س َح‬ َ ‫ضأ َ َو َم‬ َّ ‫ع ِق َب ْي ِه فَت َ َو‬َ ‫فَ َدعَا ِني َحتَّى ُك ْنتُ ِع ْن َد‬
Dari al-A'masy, dari Abu Wa'il, dari Hudzaifah bin al-Yaman, bahwa Nabi saw
mendatangi tempat pembuangan suatu kaum lalu beliau kencing di sana dengan
berdiri, lalu aku datang untuk berwudlu, lalu aku pergi untuk meninggalkannya,
lalu beliau memanggilku sehingga aku ada di belakang beliau, lalu beliau
berwudlu dan mengusap khufnya.

Hadits seperti ini diriwayatkan pula dari al-A'masy oleh sejumlah ulama'
seperti Ibnu 'Uyainah, Waki', Syu'bah, Abu 'Awanah, Isa bin Yunus, Abu
Mu'awiyah, Yahya bin 'Isa ar-ramly, dan Jarir bin Hazm
Tetapi Abu Bakar bin 'Iyasy menyalahi riwayat mereka. Status akurasi
Ibnu 'Iyasy adalah tstiqah tetapi memiliki beberapa kesalahan. Dia meriwayatkan
hadits tersebut dari al-A'masy, dari Abu Wa'il, dari al-Mughirah bin Syu'bah.
Abu Zur'ah ar-Razi mengatakan, "Abu Bakar bin 'Iyasy telah melakukan
kesalahan dalam hadits ini. Yang benar adalah hadits dari al-A'masy dari Abu
Wa'il, dan Hudzaifah". Dengan demikian sanad hadits yang diriwayatkan melalui
Abu Bakar bin 'Iyasy adalah syadz, Allahu a'lam.

G. Hadits Munkar
a. Pengertian Hadits Munkar
Kata munkar berasal dari kata inkar berarti menolak, tidak menerima,
lawan dari kata iqrar yang artinya mengakui atau menerima. Cacat yang ada pada
perawi itu membuat tertolak dan diingkarinya. Dalam istilah, ada beberapa
pendapat, di antaranya:

ُ ‫ أ َ ْو َما يُ َخا ِل‬،‫ف‬


‫ف ِب ِه َم ْن‬ ْ ‫ث الَّذ‬
َّ ‫ِي َي ْنفَ ِر ُد ِب ِر َوا َي ِت ِه‬
َّ ‫الرا ِوي ال‬
ِ ‫ض ِع ْي‬ ُ ‫ُه َو ا ْل َح ِد ْي‬
ُ‫ُه َو أ َ ْق َوى ِم ْنه‬
Hadis yang diriwayatkan oleh seorang diri periwayat yang dha’if, atau hadis itu
bertentangan dengan periwayat yang lebih kuat.20

20
Abdul Majid Khon, Ulumul ..., 2013, hlm. 212.
15

Dinamakan hadits munkar, karena diriwayatkan oleh perawi seorang diri


yang dha’if dari segi hafalannya, dan bertentangan dengan hadits yang
diriwayatkan oleh orang-orang yang leibh kuat, baik perbedaan sanad atau matan.
Lawan dari munkar adalah ma’ruf. Maksudnya ketika terjadi perbedaan antara
perawi yang dha’if dengan perawi yang lebih kuat. Riwayat yang lebih kuat
dinamakan ma’ruf.21

b. Contoh Hadits Munkar

Contoh pertama, hadits yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad (1/191,195),


Bukhari dalam at-Tarikh al-Kabir (4/2/88) an-Nasa’I (4/158), Ibnu Majah (1321)
al-Bazzar di dalam Musnad, Ibnu Syahin di dalam Fadla-il Syahr Ramadhan (28)
dengan jalan dari an-Nadlr bin Syaiban

‫ َح ِدثْ ِني‬،‫الر ْح َم ِن‬ َّ ‫ع ْب ِد‬َ ‫سلَ َمةَ ْب ِن‬


َ ‫ قُ ْلتُ ِأل َ ِبي‬:‫ قَا َل‬،‫ان‬ َ َ‫ش ْيب‬َ ‫ض ُر ْب ُن‬ ْ َّ‫َح َّدثَنَا الن‬
‫علَ ْي ِه‬
َ ‫َّللا‬َّ ‫صلَّى‬ َ ِ‫َّللا‬َّ ‫سو ِل‬ ُ ‫س ِمعَهُ أَبُوكَ ِم ْن َر‬ َ َ‫س ِم ْعتَهُ ِم ْن أَبِيك‬ َ ٍ‫ِبش َْيء‬
‫سلَّ َم أ َ َح ٌد فِي‬َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬
َّ ‫سو ِل‬ ُ ‫س بَ ْي َن أ َ ِبيكَ َوبَ ْي َن َر‬َ ‫ لَ ْي‬،‫سلَّ َم‬ َ ‫َو‬
َّ ‫صلَّى‬
‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫ قَا َل َر‬:‫ قَا َل‬،‫ َح َّدث َ ِني أَبِي‬،‫ نَ َع ْم‬:‫ قَا َل‬،‫ان‬ َ ‫ض‬َ ‫ش ْه ِر َر َم‬ َ
ُ‫سنَ ْنت‬َ ‫ َو‬،‫علَ ْي ُك ْم‬َ ‫ان‬َ ‫ض‬ َ ‫ض ِصيَا َم َر َم‬ َ ‫اركَ َوتَعَالَى فَ َر‬ َّ ‫ إِ َّن‬:‫سلَّ َم‬
َ َ‫َّللاَ تَب‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ
‫سابًا َخ َر َج ِم ْن ذُنُو ِب ِه َكيَ ْو ِم‬ َ ِ‫احت‬ْ ‫صا َمهُ َوقَا َمهُ إِ ْي َمانًا َو‬ َ ‫ فَ َم ْن‬،ُ‫لَ ُك ْم قِيَا َمه‬
ُ‫َولَ َدتْهُ أ ُ ُّمه‬
Telah menceritakan kepada kami an-Nadlr bin Syaiban, ia berkata: Aku berkata
kepada Abu Salamah bin Abdurrahman, Ceritakan kepadaku hadis yang engkau
dengar dari ayahmu, yang telah dia dengar dari Rasulullah saw secara langsung,
yang tidak ada orang lain di antara ayahmu dengan Rasulullah saw pada bulan
Ramadhan; Ia menjawab, Ya, telah menceritakan kepadaku ayahku, Rasulullah
saw bersabda” Sesungguhnya Allah azza wa jalla mewajibkn kalian berpuasa
pada bulan Ramadhan, dan aku sunnahkan bagi kalian qiyam pada malam
harinya. Maka barangsiapa yang berpuasa, dan mendirikan dengan penuh
keimanan dan perhitungan, maka akan keluar darinya dosa-dosa seperti hari
ketika ia dilahirkan oleh ibunya

Pada sanad ini ada rawi yang bernama Nadlr bin Syaiban. Dia adalah rawi
yang dha’if. Dalam periwayatan hadis ini pun terjadi kesalahan, yaitu ketika ia

21
Muhammad Gufron & Rahmawati, Ulumul..., hlm. 148.
16

meriwayatkan hadis dari Abu Salamah dengan ungkapan bahwa Abu Salamah
mengatakan, “Ayahku telah menceritakan kepadaku …”
Para ahli hadis menyatakan bahwa Abu Salamah tidak pernah
mendengarkan hadis dari ayahnya. Inilah segi kemunkaran yang pertama.
Yang kedua, hadis seperti itu telah diriwayatkan oleh rijal lainnya yang
stiqah (terpercaya) hafidz (banyak hafalan) atsbat (paling teguh), seperti Yahya
bin Sa’id, az-Zuhri, Yahya bin Abi Katsir dari Abu Salamah dari Abu Hurairah
secara marfu’ dengan teks;

‫ َو َم ْن قَا َم‬،‫غ ِف َر َلهُ َما تَقَ َّد َم ِم ْن ذَ ْن ِب ِه‬ ُ ‫سابًا‬ َ ‫اح ِت‬ْ ‫ان إِ ْي َمانًا َو‬
َ ‫ض‬َ ‫صا َم َر َم‬ َ ‫َم ْن‬
‫غ ِف َر لَهُ َما تَقَ َّد َم ِم ْن ذَ ْنبِ ِه‬ُ ‫سابًا‬
َ ِ‫احت‬ ْ ‫لَ ْيلَةَ ا ْلقَد ِْر إِ ْي َمانًا َو‬
Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan dengan keimanan dan
perhitungan maka Allah akan mengampuni dosanya yang telah lalu, dan
barangsiapa yang berdiri (untuk shalat malam) pada malam lailatul qadr dengan
keimanan dan perhitungan maka Akan diampuni dosanya yang telah lalu

Dengan demikian An-Nadlr bin Syaiban menyelisihi rijal yang lebih


terpercaya dan lebih banyak sanad hadis dan matannya. Dan hadis dari jalannya
adalah munkar.
Contoh kedua, hadits yang dikeluarkan oleh at-Tirmidzi di dalam Jami’
(3386) dengan jalan dari Hammad;

،ِ‫ان ا ْل ُج َم ِحي‬ ُ ‫ظ َلةَ ْب ِن أ َ ِبي‬


َ ‫س ْف َي‬ َ ‫ ع َْن َح ْن‬،‫سى ا ْل ُج َهنِ ُّي‬ َ ‫َح َّدث َ َنا َح َّما ُد ْبنُ ِعي‬
،‫ع ْنهم‬ َ ‫َّللا‬
َّ ‫ب َر ِضي‬ ِ ‫طا‬ ُ ‫ ع َْن‬،‫ ع َْن أ َ ِبي ِه‬،ِ‫َّللا‬
َّ ‫ع َم َر ْب ِن ا ْل َخ‬ َّ ‫ع ْب ِد‬ َ ‫ع َْن‬
َ ‫سا ِل ِم ْب ِن‬
ِ ‫سلَّ َم إِذَا َرفَ َع يَ َد ْي ِه فِي ال ُّدع‬
‫َاء لَ ْم‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬ َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫َان َر‬َ ‫ ك‬:‫قَا َل‬
ُ‫س َح بِ ِه َما َو ْج َهه‬ َّ ‫يَ ُح‬
َ ‫ط ُه َما َحتَّى يَ ْم‬
Telah menceritakan kepada kami Hammad bin Isa al-Juhani, dari Handhalah bin
Abu Sufyan al-Juhami, dari Salim bin Abdullah, dari ayahnya, dari Umar bin
Khaththab ra, ia berkata; Rasulullah saw apabila mengangkat kedua tangannya
dalam berdo’a, tidak menurunkannya sehingga mengusap wajah beliau dengan
kedua tangannya.

Setelah mengeluarkan hadis ini at-Tirmidzi berkata, “Ini hadis gharib, aku
tidak menjumpainya kecuali dari jalan Hammad bin Isa, dan ia meriwayatkannya
seorang diri”
Hammad bin Isa adalah dha’if hadisnya, Abu Hatim berkata, “Dia dha’if”.
17

Abu Dawud berkata, “Dia dha’if, dan ia meriwayatkan hadis-hadis munkar”. Al-
Hakim dan an-Nuqasy berkata, “Dia meriwayatkan hadis-hadis maudlu’ dari Ibnu
Juraij dan Ja’far ash-Shadiq”
Dengan demikian hadis yang diriwayatkan oleh Hammad bin Isa seorang
diri termasuk hadis munkar.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kecacatan hadits dha’if disebabkan cacatnya rawi diklasifikasikan menjadi
beberapa hadits, diantaranya :
1. Hadits Matruk, yaitu hadits yang didalam sanadnya terdapat seorang
perawi yang dituduh berdusta.
18

2. Hadits Mubham, yaitu hadits yang di dalam matan atau sanad-nya


terdapat seorang rawi yang tidak dijelaskan apakah ia laki-laki atau
perempuan.
3. Hadits Majhul, yaitu seorang perawi yang tidak dikenal jati diri dan
identitasnya. Hadits majhul terbagi dua pengertian. Pertama, Majhul Al-
Hal, yaitu sebutan yang dialamatkan kepada orang yang hadits darinya
diriwayatkan oleh lebih dari seorang, tetapi ahli hadiys tidak
mengemukakan jarh wa ta’dil-nya. Kedua, Majhul Al-‘Ain, yaitu
sebutan khusus terhadap orang yang tidak ada riwayat hadits darinya
selain hanya satu riwayat saja, dan tak seorang pun di antara ahli hadits
yang mengemukakan jarh dan ta'd’il-nya.
4. Hadits Muhktalith, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi
yang bersifatkan salah satu dari jenis ikhthilath (kekacauan)
5. Hadits Mudhtharib, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi
yang tidak mungkin memiliki beberapa sanad darinya, suatu kali dengan
sebuah sanad, dan lain kali dengan sanad lainnya yang berbeda, di mana
antara keduanya tidak mungkin dikompromikan.

6. Hadits Syadz, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang bersifat
dlabit menyelisihi rawi yang lebih dabith darinya, atau apabila hadis
diriwayatakan seorang diri oleh rawi yang tidak ada kemungkinan dapat
dapat diterima riwayatnya secara kesendirian.

7. Hadits Munkar, yaitu yang diriwayatkan oleh seorang diri periwayat


yang dla’if, atau hadis itu bertentangan dengan periwayat yang lebih
kuat.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Nawawi. (2001). Dasar-Dasar Ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Al-Qaththan, Syeikh Manna K. (2009). Pengantar Studi Ilmu Hadits. Jakarta:


Pustaka Al-Kautsar.

Ash-Shiddieqy, T. Muhammad. (2010). Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits.


Semarang: Pustaka Rizki Putra.
19

Gufron, M., & Rahmawati. (2013). Ulumul Hadits : Praktis Dan Mudah.
Yogyakarta: Teras.

Hasan, A. Qadir. (2007). Ilmu Mushthalah Hadits. Bandung: Diponegoro.

Khon, Abdul Majid. (2013). Ulumul Hadis. jakarta: AMZAH.

Muchtar, Abd. Choliq. (2004). Hadis Nabi Dalam Teori Dan Praktik.
Yogyakarta: TH-Press.

Rahman, Fatchur. (1974). ikhtishar Mushthalahu'l Hadits. Bandung: Alma'arif.

Salim, Amr Abd. Munir. (1997). Taysir Ulum al-Hadits lil Mubtadi'in. Kairo:
Maktabah Ibnu Taimiyah.

Wahid, Abd. (2012). Pengantar Ulumul Hadits. Banda Aceh: PeNA.

Yuslem, Nawir. (2001). Ulumul Hadis. Jakarta: Mutiara Sumber Widya.

Anda mungkin juga menyukai