Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menua (menjadi tua) adalah suatu proses secara perlahan–lahan kemampuan


jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi
normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki
kerusakan yang diderita. Proses menua merupakan proses yang terus menerus
berlanjut secara alamiah. Dimulai sejak lahir dan umumnya dialami pada semua
makhluk hidup.

Menua bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan proses berkurangnya daya


tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam maupun luar tubuh. Walaupun
demikian, memang harus diakui bahwa ada berbagai penyakit yang sering
menghinggapi kaum lanjut usia. Proses menua sudah mulai berlangsung sejak
seseorang mencapai usia dewasa, misalnya dengan terjadinya kehilangan jaringan
pada otot, susunan saraf, dan jaringan lain sehingga tubuh mati sedikit demi sedikit,
dan terjadi juga pada sistem pencernaan.

Inkontinensia urin merupakan salah satu manifestasi penyakit yang sering


ditemukan pada pasien geriatri. Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin berkisar
antara 15–30% usia lanjut di masyarakat dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat di
rumah sakit mengalami inkontinensia urin, dan kemungkinan bertambah berat
inkontinensia urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun.

Ketidakmampuan mengontrol pengeluaran urin atau inkontinensia jarang


dikeluhkan oleh pasien atau keluarga karena dianggap sesuatu yang biasa, malu atau
tabu untuk diceritakan pada orang lain maupun pada dokter, dianggap sesuatu yang
wajar tidak perlu diobati. Inkontinensia urine bukan penyakit, tetapi merupakan gejala
yang menimbulkan gangguan kesehatan, sosial, psikologi serta dapat menurunkan
kualitas hidup (Rochani, 2002).

1
Inkontinensia urin yang dialami oleh pasien dapat menimbulkan dampak yang
merugikan pada pasien, seperti gangguan kenyamanan karena pakaian basah terus,
risiko terjadi dekubitus (luka pada daerah yang tertekan), dan dapat menimbulkan rasa
rendah diri pada pasien. Inkontinensia urin yang tidak segera ditangani juga akan
mempersulit rehabilitasi pengontrolan keluarnya urin (Hariyati, 2000).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah yang dimaksud dengan inkontinensia urine pada lansia ?
2. Apa sajakah etiologi dari inkontinensia pada lansia ?
3. Apa sajakah faktor predisposisi atau faktor pencetus inkontinensia urin pada lanjut
usia ?
4. Bagaimanakah patofisiologi inkontinensia urin pada lanjut usia?
5. Bagaimanakah tanda dan gejala inkontinensia urin pada lanjut usia?
6. Apa sajakah pemeriksaan penunjang inkontinensia urin pada lanjut usia?
7. Bagaimanakah pathway inkontinensia urin pada lanjut usia?
8. Bagaimanakahasuhan keperawatan inkontinensia urin pada lanjut usia?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui dan memahami mengenai definisi inkontinensia urin pada lanjut usia.
2. Mengetahui dan memahami mengenai etiologi inkontinensia urin pada lanjut usia.
3. Mengetahui dan memahami mengenai faktor predisposisi atau faktor pencetus
inkontinensia urin pada lanjut usia.
4. Mengetahui dan memahami mengenai patofisiologi inkontinensia urin pada lanjut
usia.
5. Mengetahui dan memahami mengenai tanda dan gejala inkontinensia urin pada
lanjut usia.
6. Mengetahui dan memahami mengenai pemeriksaan penunjang pada lanjut usia.
7. Mengetahui dan memahami mengenai pathway inkontinensia urin pada lanjut usia.
8. Mengetahui dan memahami mengenai asuhan keperawatan inkontinensia urin pada
lanjut usia.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Inkontinensia Urine

Inkontinensia urin merupakan eliminasi urin dari kandung kemih yang tidak
terkendali atau terjadi diluar keinginan. Jika inkontinensia urin terjadi akibat kelainan
inflamasi (sistitis), mungkin sifatnya hanya sementara. Namun, jika kejadian ini
timbul karena kelainan neurologi yang serius (paraplegia), kemungkinan besar
sifatnya akan permanen.

Lebih dari 10 juta penduduk dewasa di Amerika serikat menderita


inkontinensia urin (AHCPR, 1992). Keadaan ini mengenai individu dengan segala
usia meskipun paling sering dijumpai diantara para lansia. Dilaporkan bahwa lebih
dari separuh penghuni panti lansia menderita inkontinensia urin. Meskipun
inkontinensia urin bukan konsekuensi normal dari proses penuaan, namun perubahan
traktus urinarius yang berkaitan dengan usia merupakan predisposisi bagi lansia untuk
mengalami inkontinensia urin.

Usia, jenis kelamin serta jumlah persalinan pervaginam yang pernah dialami
sebelumnya merupakan faktor resiko yang sudah dipastikan dan secara parsial
menyebabkan peningkatan insidensnya pada wanita. Faktor resiko lain yang
diperkirakan merupakan penyebab gangguan ini adalah infeksi saluran kemih ,
menopause, pembedahan urogenital, penyakit kronis dan penggunaan berbagai obat.
Gejala ruam, dekubitus, infeksi kulit serta saluran kemih dan pembatasan aktivitas
merupakan konsekuensi dari inkontinensia urin.

Biaya perawatn bagi pasien inkontinensia urin diperkirakan lebih dari 10,3
milyar US $ pertahunnya (AHCPR, 1992). Biaya psikososial dari inkontinensia urin
sangat besar, yaitu: perasaan malu, kehilangan kepercayaan diri dan isolasi sosial
merupakan hasil yang umumnya terjadi. Inkontinensia urin pada lansia sering
menyebabkan perlunya perawatan dalam lembaga perawatan.

3
2.2 Etiologi Inkontinensia Urine

Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan
fungsi organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan
berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan
seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan)
abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi
sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin berkemih. Penyebab Inkontinensia Urine (IU)
antara lain terkait dengan gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan,
produksi urin meningkat atau adanya gangguan kemampuan/keinginan ke toilet.

Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi infeksi
saluran kemih, maka tatalaksananya adalah terapi antibiotika. Apabila vaginitis atau
uretritis atrofi penyebabnya, maka dilakukan tertapi estrogen topical. Terapi perilaku
harus dilakukan jika pasien baru menjalani prostatektomi. Dan, bila terjadi impaksi
feses, maka harus dihilangkan misalnya dengan makanan kaya serat, mobilitas,
asupan cairan yang adekuat, atau jika perlu penggunaan laksatif. Inkontinensia Urine
juga bisa terjadi karena produksi urin berlebih karena berbagai sebab. Misalnya
gangguan metabolik, seperti diabetes melitus, yang harus terus dipantau. Sebab lain
adalah asupan cairan yang berlebihan yang bisa diatasi dengan mengurangi asupan
cairan yang bersifat diuretika seperti kafein.

Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi urin
meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai. Gangguan kemampuan ke
toilet bisa disebabkan oleh penyakit kronik, trauma, atau gangguan mobilitas. Untuk
mengatasinya penderita harus diupayakan ke toilet secara teratur atau menggunakan
substitusi toilet. Apabila penyebabnya adalah masalah psikologis, maka hal itu harus
disingkirkan dengan terapi non farmakologik atau farmakologik yang tepat.

Pasien lansia, kerap mengonsumsi obat-obatan tertentu karena penyakit yang


dideritanya. Jika kondisi ini yang terjadi, maka penghentian atau penggantian obat
jika memungkinkan, penurunan dosis atau modifikasi jadwal pemberian obat.
Golongan obat yang berkontribusi pada IU, yaitu diuretika, antikolinergik, analgesik,
narkotik, antagonis adrenergic alfa, agonic adrenergic alfa, ACE inhibitor, dan
kalsium antagonik.

4
Golongan psikotropika seperti antidepresi, antipsikotik, dan sedatif hipnotik juga
memiliki andil dalam IU. Kafein dan alcohol juga berperan dalam terjadinya
mengompol. Selain hal-hal yang disebutkan diatas inkontinensia urine juga terjadi
akibat kelemahan otot dasar panggul, karena kehamilan, pasca melahirkan,
kegemukan (obesitas), menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi vagina.

Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan


melemahnya otot dasar panggul karena ditekan selama sembilan bulan. Proses
persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat regangan otot dan
jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan risiko
terjadinya inkontinensia urine.

Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia menopause


(50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran
kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya inkontinensia urine. Faktor risiko
yang lain adalah obesitas atau kegemukan, riwayat operasi kandungan dan lainnya
juga berisiko mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua seseorang semakin besar
kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi perubahan struktur
kandung kemih dan otot dasar panggul (Darmojo, 2009).

2.3 Patofisiologi

Pada lanjut usia inkontinensia urin berkaitan erat dengan anatomi dan
fisiologis juga dipengaruhi oleh faktor fungsional, psikologis dan lingkungan. Pada
tingkat yang paling dasar, proses berkemih diatur oleh reflek yang berpusat di pusat
berkemih disacrum.Jalur aferen membawa informasi mengenai volume kandung
kemih di medulla spinalis (Darmojo, 2000). Pengisian kandung kemih dilakukan
dengan cara relaksasi kandung kemih melalui penghambatan kerja syaraf parasimpatis
dan kontraksi leher kandung kemih yang dipersarafi oleh saraf simpatis serta saraf
somatic yang mempersyarafi otot dasar panggul (Guyton, 1995).

Pengosongan kandung kemih melalui persarafan kolinergik parasimpatis yang


menyebabkan kontraksi kandung kemih sedangkan efek simpatis kandung kemih
berkurang.

5
Jika kortek serebri menekan pusat penghambatan, akan merangsang timbulnya
berkemih. Hilangnya penghambatan pusat kortikal ini dapat disebabkan karena usia
sehingga lansia sering mengalami inkontinensia urin. Karena dengan kerusakan dapat
mengganggu kondisi antara kontraksi kandung kemih dan relaksasi uretra yang mana
gangguan kontraksi kandung kemih akan menimbulkan inkontinensia (Setiati, 2001).

2.4 Tanda dan Gejala Inkontinensia Urine pada Lansia

Tanda dan gejala yag ditemukan pada pasien dengan retensi urin menurut
Uliyah (2008) yaitu:

1. Ketidaknyamanan daerah pubis


2. Distensi vesika urinaria
3. Ketidak sanggupan untuk berkemih
4. Sering berkemih, saat vesika urinaria berisi sedikit urine. ( 25-50 ml)
a. Ketidakseimbangan jumlah urine yang dikeluarkan dengan asupannya
b. Meningkatkan keresahan dan keinginan berkemih
c. Adanya urine sebanyak 3000-4000 ml dalam kandung kemih.

2.5 Tipe Inkontinensia Urine

1. Inkontinensia akibat stres


merupakan eliminasi urin diluar keinginan melalui uretra sebagai akibat dari
peningkatan mendadak pada tekanan intra-abdomen.
Tipe inkontinensia ini paling sering ditemukan pada wanita dan dapat disebabkan oleh
cedera obstetrik, lesi kolum vesika urinaria, kelainan ekstrinsik pelvis, fistula,
disfungsi detrusor dan sejumlah keadaan lainnya. Disamping itu, gangguan ini dapat
terjadi akibat kelainan kongenital (ekstrofi vesika urinaria, ureter ektopik).
2. Urge incontinence
Terjadi bila pasien merasakan dorongan atau keinginan untuk urinasi tetapi tidak
mampu menahannya cukup lama sebelum mencapai toilet. Pada banyak kasus,
kontraksi kandung kemih yang tidak dihambat merupakan faktor yang menyertai;
keadaan ini dapat terjadi pada pasien disfungsi neurologi yang mengganggu
penghambatan kontraksi kandung kemih atau pada pasien dengan gejala lokal iritasi
akibat infeksi saluran kemih atau tumor kandung kemih.

6
3. Overflow incontinence
Ditandai oleh eliminasi urin yang sering dan kadang-kadang terjadi hampir terus
menerus dari kandung kemih. Kandung kemih tidak dapat mengosongkan isinya
secara normal dan mengalami distensi yang berlebihan. Meskipun eliminasi urin
terjadi dengan sering, kandung kemih tidak pernah kosong. Overflow inkontinence
dapat disebabkan oleh kelainan neurologi (yaitu, penggunaan obat-obatan, tumor,
striktur dan hiperplasia prostat). Kandung kemih neurogenik dibahas secara terpisah
dalam bagian berikutnya.
4. Inkontinensia fungsional
Merupakan inkontinensia dengan fungsi saluran kemih bagian bawah yang utuh tetapi
ada faktor lain, seperti gangguan kognitif berat yang membuat pasien sulit untuk
mengidentifikasi perlunya urinasi (misalnya, demensia Alzheimer) atau gangguan
fisik yang menyebabkan pasien sulit atau tidak mungkin menjangkau toilet untuk
melakukan urinasi.
5. Bentuk-Bentuk Inkontinensia Urin Campuran, yang mencakup ciri-ciri
inkontinensia seperti yang baru disebutkan, dapat pula terjadi. Selain itu inkontinensia
urin dapat terjadi akibat interaksi banyak faktor.

Dengan pengenalan permasalahan yang tepat, pemeriksaan dan perujukan


untuk evaluasi diagnostik secara terapi, maka prognosis inkontinensia dapat
ditentukan. Semua pasien inkontinensia harus diperhatikan untuk mendapatkan
pemeriksaan evaluasi dan terapi.

2.6 Pemeriksaan penunjang


a. Urinalisis
Digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah dan glukosa dalam urine.
b. Uroflowmeter
Digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan menunjukkan obstruksi pintu
bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran ketika pasien berkemih.
c. Cysometry
Digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuskular kandung kemih dengan
mengukur efisiensi refleks otot destrusor, tekana dan kapasitas intravesikal, dan
reaksi kandung kemih terhadap rangsangan panas.

7
Urografi ekskretori bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran ketika
pasien berkemih.
d. Urografi ekskretori
Disebut juga pielografi intravena, digunakan untuk mengevaluasi struktur dan
fungsi ginjal, ureter dan kandung kemih.
e. Kateterisasi residu pascakemih
Digunakan untuk menentukan luasnya pengosongan kandung kemih dan jumlah
urine yang tersisa dalam kandung kemih setelah pasien berkemih.

Adapun penatalaksanaan medis inkontinensia urin menurut Muller adalah


mengurangifaktor resiko, mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia
urin, modifikasi lingkungan,medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan. Dari
beberapa hal tersebut di atas, dapat dilakukan sebagai berikut :
1. Pemanfaatan kartu catatan berkemih
Yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih dan jumlah urin yang
keluar,baik yang keluar secara normal, maupun yang keluar karena tak tertahan,
selain itudicatat pula waktu, jumlah dan jenis minuman yang diminum.
2. Terapi non farmakologi
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya inkontinensia
urin,seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi,
dan lain-lain.Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah :
 Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu
berkemih)dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi berkemih
6-7 x/hari.
 Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum
waktunya.
 Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula
setiap jam, selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin
berkemih setiap 2-3 jam.
 Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai
dengankebiasaan lansia.

8
 Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal kondisi
berkemih mereka serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila
ingin berkemih.Teknik ini dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi
kognitif (berpikir).
3. Terapi farmakologi
Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urine adalah:
 Antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine
 Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu
pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra.
 Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau
alfa kolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan
terapi diberikan secara singkat.
4. Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila
terapinon farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow
umumnyamemerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin.
Terapi inidilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan
prolaps pelvic(pada wanita).
5. Modalitas lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang
menyebabkaninkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi
lansia yang mengalamiinkontinensia urin, diantaranya adalah pampers, kateter, dan
alat bantu toilet sepertiurinal, komod dan bedpan
 Kelainan neurologi (medulla spinalis)
 Penyumbatan saluran urin (obat2an, tumor)
 Otot detrusor tdk stabil/ bereaksi berlebihan
 Ingin kencing mendadak, dimalam hari
 Disfungsi neurologi
 Kontraksi kandung kemihterhambat

9
2.7 Pathway

Perubahananatomi& Penyakit kronis,


fungsitubuh ETIOLOGI
imobilisasi, DM, gagal
jantung

Neurogenic, berkurangnya kadar estrogen dan


melemahnya jaringan/otot-otot Fungsi korteks serebri
panggul,pembesarankelenjarprostat , kontraksi
otot involunteer , kontraksi abnormal di
dinding VU, penurunan hormon

Gangguan aktifitas
kolinergik Tahanan uretra

Kegagalan uretra

Keluar urin tnp


disadari

Inkontinensia pd lansia

Tekanan abdomen Sensasi utk berkemih Output berlebih

Pengeluaran urin Toileting Iritasi kulit


saat aktivitas inadequate

Tertawa, batuk MK : Inkontinensia MK : Resiko kerusakan


& mengejan urinarius dorongan integritas kulit
10
Rembesan urin
involunteer G3an psikiatrik

MK : Inkontinensia MK :
urinarius stres Resikoisolasisosial
.

2.8 Evaluasi Diagnostik

Setelah adanya inkontinensia dikenali, anamnesis riwayat sakit yang cermat


diperlukan. Tindakan ini mencakup uraian yang rinci mengenai masalah tersebut dan
riwayat penggunaan obat-obatan. Riwayat urinasi, catatan eliminasi urin dan hasil-
hasil tes bedside (yaitu, volume urin sisa sesudah urinasi, manuver stres) dapat
digunakan untuk membantu menentukan tipe inkontinensia urin. Evaluasi diagnostik
urodinamik yang lebih ekstensif dapat dilakukan.

2.9 Penatalaksanaan

Penanganan inkontinensia urin bergantung pada faktor penyebab yang


mendasarinya, sebelum terapi yang tepat dapat dimulai, munculnya masalah ini harus
diidentifikasi dahulu dan kemungkinan keberhasilan terapi diakui. Jika perawat dan
petugas kesehatan lainnya menerima inkontinensia sebagai bagian yang tidak
terelakan dari proses penuaan dan perjalanan penyakitnya atau menganggap
inkontinensia tidak dapat dipulihkan dan tidak dapat diterapi pada usia berapa un,
maka keadaan tersebut tidak akan dapat diterapi dengan hasil yang baik. Upaya yang
bersifat interdisipliner dan kolaboratif sering sangat penting dalam mengkaji dan
mengatasi inkontinensia urin secara efektif.

Penatalaksanaan yang berhasil bergantung pada tipe inkontinensia urin dan


faktor penyebabnya. Inkontinensia urin dan faktor penyebabnya. Inkontinensia urin
dapat bersifat sepintas atau reversibel; setelah penyebab yang mendasari berhasil
diatasi, pola urinasi pasien akan kembali normal.

Penyebab yang bersifat reversibel dan sering terjadi secara singkat dapat
diingat melalui singkatan DIAPPERS . penyebab ini mencakup keadaan berikut:
delirium, infeksi saluran kemih, atrofik vaginitis atau uretritis, pharmacologic agents
( agens farmakologi; preparat antikolinergik, sedatif, alkohol, analgesik, diuretik,

11
relaksan otot, preparat adrenergik), psichologic factors (faktor psikologis; depresi,
regresi), excessive urin production (asupan cairan yang berlebihan, kelainan endokrin
yang menyebabkan diuresis), restricted activity (aktivitas yang terbats), dan stool
impaction (impaksi fekal) (AHCPR, 1992), setelah semua ini berhasil diatasi, pola
urinasi pasien biasanya kembali normal.

2.10 Intervensi Keperawatan

Bergantung pada hasil-hasil evaluasi mungkin diperlukan penanganan


keperawatan dan medik. Tindakan keperawatan yang efektif sering hanya berupa
tindakan sederhana seperti menciptakan lingkungan yang memudahkan pasien untuk
ke kamar mandi; meletakkan pispot atau urinal dalam jangkauan pasien;
menganjurkan kepada pasien untuk membiarkan lampu menyala di kamar tidur yang
gelap; dan menasihati pasien agar memilih pakaian yang mudah ditanggalkan ketika
ingin menggunakan kloset.

Perawat dapat pula menganjurkan dan mendorong pasien untuk


mempraktikkan latihan Kegel yang dapat membantu pasien wanita dengan segala usia
untuk mengendalikan inkontinensia. Latihan ini menguatkan otot-otot dasar panggul
yang akan memperbaiki resistensi uretra dan pengendalian urinarius.

Tindakan lain yang dapat dilakukan perawat untuk membantu pasien dalam
mengatasi inkontinensia adalah membantu pasien dalam mengatasi inkontinensia
adalah dengan memulai program prompted voiding atau habit training dan
mendorong pasien untuk meningkatkan asupan cairan untuk mencegah konstipasi
serta pengerasan feses yang sering menjadi faktor penyebab inkontinensia urin pada
seorang pasien yang sedentarik. Latihan kandung kemih yang mencakup penggunaan
strategi perilaku atau biofeedback mungkin juga bermanfaat.

2.11 Penatalaksanaan Bedah

Koreksi dengan pembedahan mungkin diperlukan untuk mengatasi


inkontinensia stres. Ada berbagai macam tindakan bedah yang dapat dilakukan:
perbaikan vagina, suspensi kandung kemih pada abdomen dan elevasi kolum vesika
urinaria. Sfingter artifisial yang dimodifikasi dengan menggunakan balon karet-
silikon sebagai mekanisme penekanan swa-regulasi dapat digunakan untuk menutup
uretra.

12
Metode lain untuk mengontrol inkontinensia stres adalah aplikasi stimulasi elektronik
pada dasar panggul dengan bantuan pulsa generator miniatur yang dilengkapi
elektrode yang dipasang pada sumbat intra-anal.

Untuk tipe-tipe inkontinensia yang lain, tindakan keperawatan seperti yang dijelaskan
diatas biasanya lebih tepat.

2.12 Asuhan Keperawatan Inkontinensia Urine pada Lansia

1. Pengkajian
1) Identitas klien
Inkontinensia pada umumnya biasanya sering atau cenderung terjadi pada lansia
(usia ke atas 65 tahun), dengan jenis kelamin perempuan, tetapi tidak menutup
kemungkinan lansia laki-laki juga beresiko mengalaminya.
2) Riwayat kesehatan
 Riwayat kesehatan sekarang.
Meliputi gangguan yang berhubungan dengan gangguan yang dirasakan saat
ini. Berapakah frekuensi inkonteninsianya, apakah ada sesuatu yang
mendahului inkonteninsia (stres, ketakutan, tertawa, gerakan), masukan cairan,
usia/kondisi fisik,kekuatan dorongan/aliran jumlah cairan berkenaan dengan
waktu miksi. Apakah ada penggunaan diuretik, terasa ingin berkemih sebelum
terjadi inkontenin, apakah terjadi ketidakmampuan.
 Riwayat kesehatan masa lalu
Tanyakan pada klien apakah klien pernah mengalami penyakit serupa
sebelumnya, riwayat urinasi dan catatan eliminasi klien, apakah pernah terjadi
trauma/cedera genitourinarius, pembedahan ginjal, infeksi saluran kemih dan
apakah dirawat dirumah sakit.
 Riwayat kesehatan keluarga
Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit serupa
dengan klien dan apakah ada riwayat penyakit bawaan atau keturunan,
penyakit ginjal bawaan/bukan bawaan.
3) Pemeriksaan fisiK
a. Keadaan umum.
Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan karena respon
dari terjadinya inkontinensi.

13
b. Pemeriksaan Sistem
 B1 (breathing).
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena
suplai oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada
perkusi.
 B2 (blood)
Peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah
 B3 (brain).
Kesadaran biasanya sadar penuh
 B4 (bladder).
Inspeksi: periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat
karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih
serta disertai keluarnya darah apabila ada lesi pada bladder, pembesaran
daerah supra pubik lesi pada meatus uretra,banyak kencing dan nyeri
saat berkemih menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah klien
terpasang kateter sebelumnya.
Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis, seperti
rasa terbakar di urera luar sewaktu kencing / dapat juga di luar waktu
kencing.
 B5 (bowel)
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan
abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan
palpasi pada ginjal.
 B6 (bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ekstremitas
yang lain, adakah nyeri pada persendian.

4) Data penunjang

 Urinalisis
 Hematuria.
 Poliuria
 Bakteriuria.

14
5) Pemeriksaan Radiografi

a. IVP (intravenous pyelographi), memprediksi lokasi ginjal dan ureter


b. VCUG (Voiding Cystoufetherogram), mengkaji ukuran, bentuk, dan fungsi
VU, melihat adanya obstruksi (terutama obstruksi prostat), mengkaji PVR
(Post Voiding Residual).

6) Kultur Urine

 Steril.
 Pertumbuhan tak bermakna ( 100.000 koloni / ml).
 Organisme.

2. Diagnosa
1) Inkonteninsia stress berhubungan dengan kelemahan otot pelvis dan struktur
dasar penyokongnya, perubahan degenaratif pada otot-otot pelvis, defisiensi
sfingter uretr intrinsik.
2) Resiko Kerusakan Integitas kulit berhubungan dengan irigasi konstan oleh
urine
3) Resiko Isolasi Sosial berhubungan dengan keadaan yang memalukan akibat
mengompol di depan orang lain atau takut bau urine.
3. Intervensi
a. Inkonteninsia stress berhubungan dengan kelemahan otot pelvis dan struktur
dasar penyokongnya, perubahan degenaratif pada otot-otot pelvis, defisiensi
sfingter ureter intrinsik
Tujuan :Klien akan melaporkan suatu pengurangan / penghilangan
inkonteninsia, klien dapat menjelaskan penyebab

Intervensi Rasional

1. Kaji kebiasaan pola berkemih dan dan Mengetahui perubahan pola berkemih
gunakan catatan berkemih sehari.
2. Pertahankan catatan harian untuk Mengetahui efektifitasprogram yang
mengkaji efektifitas program yang direncanakan untuk merubah pola
direncanakan. berkemih.

15
3. Observasi meatus perkemihan untuk
memeriksa kebocoran saat kandung Mengetahui adakah obstruksi atau
kemih. kerusakan pada organ kemih
Mengetahui bagian mana yang mengalami
4. Intruksikan klien batuk dalam posisi
kebocoran pada organ perkemihan
litotomi, jika tidak ada kebocoran,
ulangi dengan posisi klien
membentuk sudut 45, lanjutkan
dengan klien berdiri jika tidak ada
kebocoranyang lebih dulu. Mengobservasi input dan output urine
5. Pantau masukan dan pengeluaran, pasien, dan memaksimalkan input yang
pastikan klien mendapat masukan harus diberikan/ sesuai kebutuhan
cairan 2000 ml, kecuali harus
dibatasi.
Untuk mengidentifikasi kekuatan otot
6. Ajarkan klien untuk mengidentifikasi
otot dinding pelvis dan kekuatannya panggul pasien dan meminimalisir
dengan latihan terjadinya penurunan kekuatan otot
7. Kolaborasi dengan dokter dalam Untuk menentukan pengobatan yang tepat
mengkaji efek medikasi dan tentukan diberikan pada pasien
kemungkinan perubahan obat, dosis /
jadwal pemberian obat untuk
menurunkan frekuensi inkonteninsia.

b. Resiko Kerusakan Integitas kulit berhubungan dengan irigasi konstan oleh


urine
Tujuan : Jumlah bakteri < 100.000 / ml, Kulit periostomal tetap utuh, Suhu
37° C, Urine jernih dengan sedimen minimal.

Intervensi Rasional
1. Pantau penampilan kulit Untuk mengidentifikasi kemajuan atau
periostomal setiap 8jam. penyimpangan dari hasil yang
diharapkan.

2. Ganti wafer stomehesif setiap Peningkatan berat urine dapat merusak


minggu atau bila bocor terdeteksi. segel periostomal, memungkinkan

16
Yakinkan kulit bersih dan kering kebocoran urine. Pemajanan menetap
sebelum memasang wafer yang pada kulit periostomal terhadap asam
baru. Potong lubang wafer kira- urine dapat menyebabkan kerusakan kulit
kira setengah inci lebih besar dar dan peningkatan resiko infeksi.
diameter stoma untuk menjamin
ketepatan ukuran kantung yang
benar-benar menutupi kulit
periostomal. Kosongkan kantung
urostomi bila telah seperempat
sampai setengah penuh.

c. Resiko Isolasi Sosial berhubungan dengan keadaan yang memalukan akibat


mengompol di depan orang lain atau takut bau urine.

Intervensi Rasional
1. Yakinkan apakah konseling Memberikan informasi tentang tingkat
dilakukan dan atau perlu diversi pengetahuan pasien / orang terdekat tentang
urinaria, diskusikan pada saat situasi individu dan Pasien
pertama. menerimanya(contoh; inkontinensia tak
sembuh, infeksi)

Memberikan kesempatan menerima isu /


2. Dorong pasien / orang terdekat salah konsep. Membantu pasien / orang
untuk mengatakan perasaan. terdekat menyadari bahwa perasaan yang
Akui kenormalan perasaan dialami tidak biasa dan bahwa perasaan
marah, depresi, dan kedudukan bersalah pada mereka tidak perlu /
karena kehilangan. Diskusikan membantu. Pasien perlu mengenali perasaan
“peningkatan dan penurunan” sebelum mereka dapat menerimanya secara
tiap hari yang dapat terjadi efektif.
setelah pulang.
Dugaan masalah pada penyesuaian yang
memerlukan evaluasi lanjut dan terapi lebih
efektif. Dapat menunjukkan respon kedukaan

17
3. Perhatikan perilaku menarik diri, terhadap kehilangan bagian / fungsi tubuh
peningkatan ketergantungan, dan kawatir terhadap penerimaan orang lain,
manipulasi atau tidak terlibat juga rasa takut akan ketidakmampuan yang
pada asuhan. akan datang / kehilangan selanjutnya pada
hidup karena kanker.

Meskipun integrasi stoma ke dalam citra


tubuh memerlukan waktu berbulan-bulan /
tahunan, melihat stoma dan mendengar
komentar (dibuat dengan cara normal, nyata)
4. Berikan kesempatan untuk pasien dapat membantu pasien dalam penerimaan
/ orang terdekat untuk ini. Menyentuh stoma meyakinkan klien /
memandang dan menyentuh orang terdekat bahwa stoma tidak rapuh dan
stoma, gunakan kesempatan sedikit gerakan stoma secara nyata
untuk memberikan tanda positif menunjukkan peristaltic normal.
penyembuhan, penampilan,
normal, dsb. Kemandirian dalam perawatan memperbaiki
harga diri.

Membantu pasien / orang terdekat menerima


perubahan tubuh dan menerima akan diri
5. Berikan kesempatan pada klien
sendiri. Marah paling sering ditunjukkan
untuk menerima keadaannya
pada situasi dan kurang kontrol terhadap apa
melalui partisipasi dalam
yang terjadi (tidak terduga), bukan pada
perawatan diri.
pemberi asuhan.

6. Pertahankan pendekatan positif,


selama aktivitas perawatan,
Meningkatkan rasa kontrol dan memberikan
menghindari ekspresi menghina
pesan bahwa pasien dapat mengatasinya,
atau reaksi mendadak. Jangan
meningkatkan harga diri.
menerima ekspresi kemarahan
pasien secara pribadi.

18
Pasien mengalami ansietas diantisipasi, takut
gagal dalam hubungan seksual setelah
7. Rencanakan / jadwalkan aktivitas pembedahan, biasanya karena pengabaian,
asuhan dengan orang lain. kurang pengetahuan. Pembedahan yang
mengangkat kandung kemih dan prostat
(diangkat dengan kandung kemih) dapat
mengganggu syaraf parasimpatis yang
8. Diskusikan fungsi seksual dan mengontrol ereksi pria, meskipun teknik
implan penis, bila ada dan terbaru ada yang digunakan pada kasus
alternatif cara pemuasan seksual. individu untuk mempertahankan syaraf ini.

19
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Inkontinensia urin merupakan eliminasi urin dari kandung kemih yang tidak
terkendali atau terjadi diluar keinginan. Jika inkontinensia urin terjadi akibat kelainan
inflamasi (sistitis), mungkin sifatnya hanya sementara. Namun, jika kejadian ini
timbul karena kelainan neurologi yang serius (paraplegia), kemungkinan besar
sifatnya akan permanen.

Usia lanjut adalah tahap akhir dari siklus hidup manusia, merupakan bagian
dari proses alamiah kehidupan yang tidak dapat dihindarkan dan akan dialami oleh
setiap individu. Penuaan adalah normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku
yang dapat diramalkan terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai usia
tahap perkembangan kronologis tertentu. Ini merupakan suatu fenomena yang
kompleks dan multi dimensional yang dapat diobservasi di dalam satu sel dan
berkembang pada keseluruhan sistem. Walaupun hal itu terjadi pada tingkat kecepatan
yang berbeda, di dalam parameter yang cukup sempit, proses tersebut tidak
tertandingi.

3.2 Saran

Dengan dibuatnya makalah ini, diharapkan nantinya akan memberikan


manfaat bagi para pembaca terutama pemahaman yang berhubungan dengan
bagaimana memberikan asuhan keperawatan pada klien Lanjut usia dengan masalah
Inkontinensia urin.

Namun penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu saran maupun kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan
demi kesempurnaan penulisan makalah ini, dengan demikian penulisan makalah ini
bisa bermanfaat bagi penulis atau pihak lain yang membutuhkannya.

20
DAFTAR PUSTAKA

Alimul, Aziz. 2006. Pengantar Kebutuhan DasarManusia. Jakarta :Salemba Medika


Potter, Perry. 2006. Fundamental Keperawatan. Jakarta : EGC

21

Anda mungkin juga menyukai