Four
Permasalahan Audit
Skandal Enron, tak bisa dimungkiri, merupakan kejahatan ekonomi multidisiplin.
Segelintir penguasa informasi telah menipu banyak pihak yang sangat awam tentang
seluk-beluk transaksi keuangan perusahaan. Mereka terdiri dari para professional-
CEO, akuntan, auditor, pengacara, bankir, dan analis keuangan yang telah
mengkhianati tugas mulianya sebagai penjaga kepentingan publik yang tak berdosa.
Meskipun bangkrutnya sebuah usaha menjadi tanggung jawab banyak pihak,
dalam kedudukannya sebagai auditor, tanggung jawab Arthur Andersen dalam kasus
Enron sangatlah besar. Berbeda dengan profesi lainnya, auditor independen
bertanggung jawab memberikan assurance services. Sementara manajeman, dibantu
pengacara, penasihat keuangan, dan konsultan, menyajikan informasi keuangan,
akuntan publik bertugas menilai apakah informasi keuangan itu dapat dipercaya atau
tidak. Laku tidaknya informasi tentang kinerja suatu perusahaan sangat bergantung
pada hasil penilaian akuntan publik itu. Kata “publik” yang menyertai akuntan
menunjukkan bahwa otoritasnya diberikan oleh publik dan karena itu tanggung
jawabnya pun kepada publik (guarding public interest). Sementara itu, kata “wajar
tanpa pengecualian”, yang menjadi pendapat akuntan publik, mengandung makna
bahwa informasi keuangan yang telah diauditnya layak dipercaya, tidak mengandung
keragu-raguan. Karena itu, dalam menjalankan audit, akuntan wajib mendeteksi
kemungkinan kecurangan dan kekeliruan yang material. Kalau saja auditor Enron
bekerja dengan penuh kehati-hatian (due professional care), niscaya manipulasi yang
dilakukan manajemen dapat dibongkar sejak dulu dan kerugian yang lebih besar dapat
dicegah lebih dini. Buktinya, Watskin dengan mudah dapat menemukan manipulasi
itu.
Sebaliknya, hilangnya obyektivitas dan independensi dapat membuat penglihatan
auditor menjadi kabur. Penyimpangan (irregularities) dan kecurangan (fraud) akan
dianggap sebagai kelaziman. Kegagalan untuk bersikap obyektif dan independensi
sama artinya dengan hilangnya eksistensi profesi. Membenarkan, bahkan menutupi,
perilaku manajemen yang manipulatif jelas-jelas merupakan pengkhianatan terhadap
tugas “suci” profesi akuntan publik. Karena itu, sangat wajar jika, dalam kasus Enron,
auditor paling dipersalahkan karena telah gagal melindungi kepentingan publik-sang
pemberi otoritas.
Dalam hal ini, Arthur Andersen LPP salah satu firma akuntansi di Amerika
Serikat telah melakukan pelanggaran etika dalam pelaksanaan pengauditan. Hal ini
dapat dibuktikan dengan hal – hal berikut :
· Adanya praktik discrimination of information/unfair discrimination, terlihat dari
tindakan dan perilaku yang tidak sehat dari manajemen yang berperan besar pada
kebangkrutan perusahaan, terjadinya pelanggaran terhadap norma etika corporate
governance dan corporate responsibility oleh manajemen perusahaan, dan
perilaku manajemen perusahaan merupakan pelanggaran besar-besaran terhadap
kepercayaan yang diberikan kepada perusahaan.
· Adanya penyesatan informasi. Dalam kasus Enron misalnya, pihak manajemen
Enron maupun Arthur Andersen mengetahui tentang praktek akuntansi dan bisnis
yang tidak sehat. Tetapi demi mempertahankan kepercayaan dari investor dan
publik kedua belah pihak merekayasa laporan keuangan mulai dari tahun 1985
sampai dengan Enron menjadi hancur berantakan. Bahkan CEO Enron saat
menjelang kebangkrutannya masih tetap melakukan Deception dengan
menyebutkan bahwa Enron secara berkesinambungan memberikan prospek yang
sangat baik. Andersen tidak mau mengungkapkan apa sebenarnya terjadi dengan
Enron, bahkan awal tahun 2001 berdasarkan hasil evaluasi Enron tetap
dipertahankan.
· Arthur Andersen, merupakan kantor akuntan publik tidak hanya melakukan
manipulasi laporan keuangan, Andersen juga telah melakukan tindakan yang
tidak etis, dalam kasus Enron adalah dengan menghancurkan dokumen-dokumen
penting yang berkaitan dengan kasus Enron. Arthur Andersen memusnahkan
dokumen pada periode sejak kasus Enron mulai mencuat ke permukaan, sampai
dengan munculnya panggilan pengadilan. Walaupun penghancuran dokumen
tersebut sesuai kebijakan internal Andersen, tetapi kasus ini dianggap melanggar
hukum dan menyebabkan kredibilitas Arthur Andersen hancur. Disini Andersen
telah ingkar dari sikap profesionallisme sebagai akuntan independen dengan
melakukan tindakan menerbitkan laporan audit yang salah dan meyesatkan.
Dari kasus ini banyak terjadi perilaku tidak etis. Perilaku tidak etis paling paling
mengemuka disini adalah adanya manipulasi laporan keuangan untuk menunjukkan
seolah-olah kinerja perusahaan baik. Andersen telah menciderai kepercayaan dari
pihak stock holder untuk memberikan suatu informasi yang adil mengenai
pertanggungjawaban dari pihak agen dalam mengemban amanah.
Dalam kasus Andersen diketahui terjadinya perilaku moral hazard diantaranya
manipulasi laporan keuangan dengan mencatat keuntungan padahal perusahaan
mengalami kerugian. Manipulasi keuntungan disebabkan keinginan perusahaan agar
saham tetap diminati investor. Ini merupakan salah satu contoh kasus pelanggaran
etika profesi Auditor yang terjadi di Amerika Serikat, sebuah negara yang memiliki
perangkat Undang-undang bisnis dan pasar modal yang lebih lengkap. Hal ini terjadi
akibat keegoisan satu pihak terhadap pihak lain, dalam hal ini pihak-pihak yang
selama ini diuntungkan atas penipuan laporan keuangan terhadap pihak yang telah
tertipu. Hal ini buah dari sebuah ketidakjujuran, kebohongan atau dari praktik bisnis
yang tidak etis yang berakibat hutang dan sebuah kehancuran yang menyisakan
penderitaan bagi banyak pihak disamping proses peradilan dan tuntutan hukum
Untuk itulah kode etik profesi harus dibuat untuk menopang praktik yang sehat
bebas dari kecurangan. Kode etik mengatur anggotanya dan menjelaskan hal apa yang
baik dan tidak baik dan mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan sebagai anggota
profesi baik dalam berhubungan dengan kolega, klien, publik dan karyawan sendiri.
Yang harus menjadi sebuah pelajaran bahwa sesungguhnya suatu praktik atau perilaku
yang dilandasi dengan ketidakbaikan maka akhirnya akan menuai ketidakbaikan pula
termasuk kerugian bagi banyak pihak.
The Big Four adalah kelompok empat firma jasa profesional dan akuntansi
internasional terbesar, yang menangani mayoritas pekerjaan audit untuk perusahaan
publik maupun perusahaan tertutup. Firma Empat Besar adalah sebagai berikut:
1. Deloitte Touche Tohmatsu, yang berkantor pusat di Amerika Serikat.
2. PricewaterhouseCoopers, yang berkantor pusat di Britania Raya
3. Ernst & Young, yang berkantor pusat di Britania Raya
4. KPMG, yang berkantor pusat di Belanda
Kelompok ini sempat dikenal sebagai "Delapan Besar", dan berkurang menjadi
"Lima Besar" melalui serangkaian kegiatan merger. Lima Besar menjadi Empat Besar
setelah keruntuhan Arthur Andersen pada 2002, karena keterlibatannya dalam Skandal
Enron.
Sejak tahun 1898, merger dan satu skandal besar yang melibatkan Arthur
Andersen telah mengurangi jumlah firma akuntansi besar dari delapan menjadi empat.
Awal Kemunculan The Big Four
Sebelum menjadi The Big Four (4 Besar), dahulunya dikenal dengan Big Eight
pada tahun 1979 - 1989, yang merupakan dominasi Internasional dari delapan kantor
akuntan terbesar, diantaranya:
1. Arthur Andersen
2. Arthur Young & Co.
3. Coopers & Lybrand (aslinya Lybrand, Ross Bros., & Montgomery)
4. Ernst & Whinney (hingga 1979 Ernst & Ernst di AS dan Whinney Murray di
Britania Raya)
5. Deloitte Haskins & Sells (hingga 1978 Haskins & Sells di AS dan Deloitte & Co.
di Britania Raya)
6. Peat Marwick Mitchell (selanjutnya menjadi Peat Marwick, kemudian KPMG)
7. Price Waterhouse
8. Touche Ross
Kemudian pada tahun 1989, Big Eight berubah menjadi Big Six saat Ernst &
Whinney bergabung dengan Arthur Young membentuk Ernst & Young di bulan Juni
dan Deloitte, Haskins & Sells bergabung dengan Touche Ross membentuk Deloitte &
Touche di bulan Agustus. Big Six mencakup :
1. Arthur Andersen
2. Peat Marwick Mitchell
3. Coopers & Lybrand
4. Price Waterhouse
5. Ernst & Young
6. Deloitte & Touche
Selanjutnya Big Six berubah menjadi Big Five di bulan Juli 1998 pada saat Price
Waterhouse bergabung dengan Coopers & Lybrand
membentuk PricewaterhouseCoopers. Big Five mencakup:
1. Arthur Anderson
2. Erns & Young
3. Deloitt & Touche
4. Peat Marwick Mitchell
5. PricewaterhouseCoopers
Big Five akhirnya menjadi Big Four setelah keruntuhan Arthur Andersen pada
2002, karena keterlibatannya dalam Skandal Enron. Kantor akuntan Arthur
Andersen didakwa melawan hukum karena menghancurkan dokumen-dokumen yang
berkaitan dengan pengauditan Enron, dan menutup-nutupi kerugian jutaan dolar
dalam Skandal Enron yang meledak pada tahun 2001. Hasil keputusan hukum secara
efektif menyebabkan kebangkrutan global dari bisnis Arthur Andersen. Kantor-kantor
koleganya di seluruh dunia yang berada di bawah bendera Arthur Andersen
seluruhnya dijual dan kebanyakan menjadi anggota kantor akuntan internasional
lainnya. Di Britania Raya, para partner Arthur Andersen setempat kebanyakan
bergabung dengan Ernst & Young dan Deloitte Touche Tohmatsu. Di Indonesia, para
partner Arthur Andersen pada akhirnya bergabung dengan Ernst & Young.
Bangkrutnya Arthur Andersen meninggalkan hanya empat kantor akuntan
internasional di seluruh dunia, yang menyebabkan masalah besar bagi perusahaan-
perusahaan internasional besar, karena mereka diharuskan untuk menggunakan kantor
akuntan yang berbeda untuk pekerjaan audit perusahaan dan layanan non-auditnya.
Karena itu, hilangnya salah satu kantor akuntan besar itu telah menurunkan tingkat
kompetisi di antara kantor-kantor akuntan dan menyebabkan meningkatnya beban
akuntansi bagi banyak klien.