Page |i
KATA PENGANTAR
Tim Penulis
P a g e | ii
DAFTAR ISI
DAFTAR PETA
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
❑ Untuk perdagangan dan jasa yang berada di pusat lingkungan dan tersebar , yang
termasuk didalamnya seperti toko, warung, bengkel dan lain sebaginya. Arahan penataan
bangunannya adalah:
KDB : 60 – 80%
KLB : 0,5 – 1,60
TLB : 1 Lantai
2.1.2 Arahan Perpetakan Bangunan
Luas petak bangunan yang terdapat pada setiap blok peruntukan di dalam kawasan
rencana dilakukan dengan mengacu pada ketentuan Permendagri Nomor 2 tahun 1987, yang
mengatur klasifikasi luas perpetakan sebagai berikut:
Klasifikasi I : diatas 2.500 m2
Klasifikasi II : antara 1.000 – 2.500 m2
Klasifikasi III : antara 600 – 1.000 m2
Klasifikasi IV : antara 250 - 600 m2
Klasifikasi V : antara 100 - 250 m2
Klasifikasi VI : antara 50 - 100 m2
Klasifikasi VII : untuk rumah susun
A. Perpetakan Untuk Bangunan Non Rumah Tinggal
1. Perpetakan dengan ukuran besar
Yang dimaksud dengan petak ukuran besar adalah yang termasuk dalam klasifikasi
IV yaitu antara 250-2.500 m2. petak dengan ukuran besar yaitu rencana blok
perdagangan di sepanjang jalan koridor utama UP. Wonokromo.
2. Petak dengan ukuran sedang
Yang dimaksud dengan petak ukuran sedang adalah petak dengan luas lahan 250m2.
3. Petak dengan ukuran kecil
Petak dengan ukuran kecil untuk fungsi lahan ini adalah lahan perdagangan di
lingkungan permukiman penduduk. Lahan untuk kegiatan percampuran rumah dan
kegiatan komersial paling tidak memiliki lahan seluas 150m2.
2.1.3 Arahan Garis Sempadan
Garis Sempadan Bangunan (GSB) adalah jarak antara as jalan dengan dinding luar
bangunan persil. GSB bermanfaat untuk mengendalikan tata letak bangunan terhadap jalan
sehingga menciptakan keteraturan dan memberikan pandangan yang lebih luas terhadap
pemakai jalan. GSB di wilayah perencanaan ditentukan sebagai berikut:
Page |7
• Sempadan bangunan di Jalan Utama dibedakan atas bangunan untuk fasilitas dan
perumahan, sempadan untuk bangunan fasilitas lebih lebar dari bangunan perumahan.
Rencana tersebut dimaksudkan agar fasilitas mempunyai ruang yang cukup untuk parkir
kendaraan dan sirkulasi pedestrian (pejalan kaki), sehingga tidak mengganggu kelancaran
lalu lintas.
Pengaturan sempadan bangunan di kawasan UP. Wonokromo adalah sebagai berikut:
• Untuk keperluan penghitungan tinggi bangunan sempadan (D) diukur dari tembok ke as
jalan. Dalam hal 2 badan jalan yang terpisah median, untuk keperluan perhitungan
koefisien tinggi bangunan, dua jalan tersebut dihitung secara terpisah.
• Untuk bangunan di tepi jalan arteri sekunder direncanakan hanya untuk fungsi komersial,
GSB dihitung dari tembok bangunan ke as median jalan 30 m atau 10 m RUMIJA.
Penetapan garis sempadan bangunan adalah sebagai berikut:
• Untuk daerah terbangun yang kurang atau tidak teratur dan berkondisi bangunan sedang
atau buruk, maka penerapannya dilaksanakan pada saat diselenggarakan program
peremajaan atau rehabilitasi lingkungan.
• Untuk daerah terbangun yang sudah teratur dan berkondisi permanen, namun tidak
memenuhi syarat garis sempadan bangunannya, maka penerapan garis sempadan tersebut
dilakukan pada saat bangunan-bangunan tersebut melakukan perombakan, peremajaan,
rehabilitasi atau renovasi, atau pada keadaan khusus (misalnya dilakukan proyek pelebaran
jalan)
• Untuk daerah yang kosong, penerapannya ditetapkan sedini mungkin dengan cara
persyaratan tersebut dicantumkan dalam IMB.
Disamping Garis Sempadan Bangunan, juga diatur jarak antara bangunan dan batas
kapling, untuk jarak samping kiri, kanan dan belakang. Dibawah ini diatur pedoman penentuan
jarak bangunan terhadap batas kapling kiri, kanan dan belakang.
Adapun persyaratan mengenai jarak antar bangunan, adalah sebagai berikut:
1. Besarnya jarak antar bangunan dalam satu persil untuk semua klasifikasi bangunan yang
tingginya maksimum 5 meter ditetapkan sekurang-kurangnya 3 meter.
2. Jarak antar bangunan suatu persil yang sama tingginya untuk semua klasifikasi bangunan,
kecuali klasifikasi menurut kualitas konstruksi bangunan sementara dimana tinggi
bangunan tersebut minimum 8 meter ditetapkan sekurang-kurangnya:
1/2 tinggi bangunan (H) - 1 meter
Page |8
Bila bangunan yang berdampingan itu tidak sama tingginya, jarak antar bangunan
tersebut ditetapkan sekurang-kurangnya:
1/2 tinggi bangunan A + 1/2 tinggi bangunan B - 1 meter
2
Berikut adalah ketentuan penerapan Garis Sempadan Bangunan untuk UP. Wonokromo:
1. Untuk kapling pojok, salah satu sisinya, Garis Sempadan Samping Bangunan,
ditetapkan minimal 1,50 - 2,00 m untuk kapling kecil, 2,00 m untuk kapling sedang dan
2,00 – 3,00 m untuk kapling besar. Untuk Garis Sempadan Bangunan Belakang diatur
selebar 1,50 - 2,00 m.
2. Garis Sempadan Bangunan pada jalan-jalan buntu ditetapkan minimum setengah lebar
jalan atau minimum 2,00 m.
3. Untuk penetapan Garis Sempadan Bangunan samping dan belakang bangunan non
perumahan khusus untuk ukuran minimum ditentukan sebagai berikut :
a. Dikenakan satu sisi samping dan belakang jarak 2 – 3 meter untuk ukuran lebar
kapling minimum 12 meter dan panjang minimal 20 meter dengan ketentuan
bahwa bangunan lain yang bersebelahan yang berhimpit dikenakan peraturan
yang sama.
b. Dikenakan dua sisi samping untuk ukuran lebar kapling minimum 20 meter dan
panjang lebih dari 20 meter.
Semua arahan penataan bangunan tersebut di atas merupakan upaya untuk pengendalian
bentuk dan tata masa bangunan agar tercipta suatu penataan ruang yang serasi dan optimal.
Page |9
Penggunaan lahan merupakan upaya panataan secara horisontal 2 dimensi, dengan penataan
bangunan secara vertikal maka perencanaan ruang dilakukan dengan tiga dimensi.
2.1.4 Pola Lingkungan
Pola lingkungan pada sektor Perdagangan dan jasa sebagai berikut:
1. Diarahkan untuk berkembang di sepanjang koridor jalan utama kota, bukan di dalam
lingkungan permukiman
2. Membangun atau menyediakan sarana perdagangan yang memadai untuk menampung
PKL liar yang seringkali merusak wajah lingkungan dan mengganggu kelancaran lalu
lintas akibat aktifitasnya yang seringkali memakai badan jalan
3. Pengalihfungsian perumahan menjadi fungsi perdagangan dan jasa pada kawasan cagar
budaya tetap dimungkinkan, sebagai akibat dorongan tingginya nilai lahan dan lokasinya
yang strategis. Hanya perlu diatur oleh pedoman arah pembangunan yang tetap peduli
kepada kelestarian identitas kota.
4. Pengembangan pusat-pusat perdagangan dan jasa dihadirkan pada beberapa lokasi berbeda
untuk memecah atau membagi kepadatan aktifitas perdagangan dan jasa yang selama ini
terkonsentrasi pada wilayah tertentu saja.
2.1.5 Peraturan Zonasi
Peraturan zonasi merupakan ketentuan yang mengatur pemanfaatan ruang dan unsur-
unsur pengendalian yang disusun untuk setiap zona peruntukan sesuai dengan rencana rinci
tata ruang.
Peraturan zonasi berisi ketentuan yang harus, boleh, dan tidak boleh dilaksanakan pada
zona pemanfaatan ruang yang dapat terdiri atas ketentuan tentang amplop ruang (koefisien
dasar ruang hijau, koefisien dasar bangunan, koefisien lantai bangunan, dan garis sempadan
bangunan), penyediaan sarana dan prasarana, serta ketentuan lain yang dibutuhkan untuk
mewujudkan ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Ketentuan lain yang
dibutuhkan, antara lain, adalah ketentuan pemanfaatan ruang yang terkait dengan keselamatan
penerbangan, pembangunan pemancar alat komunikasi, dan pembangunan jaringan listrik
tegangan tinggi.
2.2 RTRW Kota Surabaya 2014-2034
2.2.1 Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Kawasan Budidaya
Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan perdagangan dan jasa, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 92 huruf a angka 2, meliputi:
a. Ketentuan umum peraturan zonasi pasar tradisional;
b. Ketentuan umum peraturan zonasi pusat perbelanjaan;
c. Ketentuan umum peraturan zonasi toko modern; dan
P a g e | 10
d. Ketentuan umum peraturan zonasi usaha perdagangan maupun usaha jasa komersial lainnya.
Ketentuan umum peraturan zonasi pasar tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, berisi ketentuan mengenai:
a. Pemanfaatan ruang pada pasar tradisional untuk tempat usaha berupa toko, kios, los dan
tenda serta penyediaan ruang untuk usaha sektor usaha informal;
b. Penyediaan sarana dan prasarana pelengkap pada pasar tradisional antara lain tempat
parkir, ruang terbuka hijau, jalur pejalan kaki, air bersih, sistem drainase dan pencegahan
bahaya kebakaran dan tempat pembuangan sampah;
c. Pengendalian kegiatan yang tidak sinergis dengan pasar tradisional;
d. Pemanfaatan ruang pada kawasan di sekitar pasar tradisional dengan intensitas rendah
sampai dengan sedang; dan
e. Kegiatan yang diperbolehkan, kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat dan kegiatan
yang tidak diperbolehkan akan dijabarkan dan dimuat pada rencana rinci.
Ketentuan umum peraturan zonasi pusat perbelanjaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, berisi ketentuan mengenai:
a. Pemanfaatan ruang pada pusat perbelanjaan untuk kegiatan perdagangan barang yang
berskala regional, nasional dan internasional serta penyediaan ruang untuk sektor usaha
informal;
b. Penyediaan sarana dan prasarana pelengkap pada pusat perbelanjaan antara lain tempat
parkir, ruang terbuka hijau, jalur pejalan kaki, air bersih, sistem drainase dan pencegahan
bahaya kebakaran, prasarana persampahandan prasarana transportasi massal yang
terkoneksi dengan pusat-pusat pelayanan lainnya;
c. Pengendalian kegiatan yang tidak sinergis dengan pusat perbelanjaan;
d. Pemanfaatan ruang pada kawasan pusat perbelanjaan dengan intensitas sedang sampai
dengan tinggi dan di sekitar kawasan pusat perbelanjaan dengan intensitas sedang; dan
e. Kegiatan yang diperbolehkan, kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat dan kegiatan
yang tidak diperbolehkan akan dijabarkan dan dimuat pada rencana rinci.
Ketentuan umum peraturan zonasi toko modern sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, berisi ketentuan mengenai:
a. Pemanfaatan ruang pada toko modern untuk kegiatan perdagangan dengan sistem
pelayanan mandiri yang berbentuk minimarket, supermarket, departemen store,
hypermarket ataupun grosir yang berbentuk perkulakan serta penyediaan ruang untuk
usaha sektor usaha informal;
P a g e | 11
b. Penyediaan sarana dan prasarana pelengkap pada toko modern antara laintempat parkir
dan Ruang Terbuka Hijau;
c. Pengendalian pendirian toko modern yang berdekatan dengan kegiatan usaha yang sejenis
dan pasar tradisional yang telah ada sebelumnya;
d. Pemanfaatan ruang pada kawasan di sekitar toko modern dengan intensitas sesuai
peruntukannya; dan
e. Kegiatan yang diperbolehkan, kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat dan kegiatan
yang tidak diperbolehkan akan dijabarkan dan dimuat pada rencana rinci.
Ketentuan umum peraturan zonasi usaha perdagangan maupun usaha jasa komersial
lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, berisi ketentuan mengenai:
a. Pemanfaatan ruang pada usaha perdagangan maupun usaha jasa komersial antara lain
untuk kegiatan perhotelan, restoran, dan area pameran;
b. Penyediaan sarana dan prasarana pelengkap pada usaha perdagangan maupun usaha jasa
komersial lainnya antara lain tempat parkir dan ruang terbuka hijau;
c. Pengendalian pendirian usaha perdagangan maupun usaha jasa komersial lainnyayang
berdekatan dengan kegiatan usaha yang sejenis yang telah ada sebelumnya;
d. Pemanfaatan ruang pada kawasan di sekitarusaha perdagangan maupun usaha jasa
komersial lainnyadengan intensitas sesuai peruntukannya; dan
e. Kegiatan yang diperbolehkan, kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat dan kegiatan
yang tidak diperbolehkan akan dijabarkan dan dimuat pada rencana rinci.
2.3 Transportasi
2.3.1 Metode Transportasi
a. Level of Service (LOS)
Setelah dilakukan Traffic Counting di setiap fungsi jalan dapat dilakukan perhitungan
volume lalu lintas, kapasitas sesungguhnya, derajat kejenuhan, kecepatan, hambatan samping,
Level Of Service (LOS).
1. Arus Lalu Lintas (Q)
Untuk mencari arus lalu lintas jalan maka mencari total kendaraan yang dinyatakan dalam
satuan kendaraan atau smp (satuan mobil penumpang). Berikut adalah nilainya:
• Mobil, pickup, angkot = 1 x jumlah kendaraan
• Motor = 0,25 x jumlah kendaraan
• Truck,bus = 1,3 x jumlah kendaraan
P a g e | 12
Tabel 2.5 Nilai Faktor Koreksi Kapasitas Akibat Lebar Jalan (FCw)
3. Derajat Kejenuhan
Derajat kejenuhan (DS – degree of saturation) didefinisikan sebagai perbandingan arus
terhadap kapasitas yang digunakan sebagai faktor utama dalam penentuan tingkat
kinerja simpang dan segmen jalan. DS digunakan untuk analisa perilaku lalu lintas
berupa kecepatan.
DS = Q/C
Ket:
DS = Derajat Kejenuhan
Q = Arus Lalu Lintas (smp/jam)
C = Kapasitas (smp/jam)
V = S/t
Ket:
V = Kecepatan rata-rata ruang LV (km/jam)
S = Panjang segmen (km)
C = Waktu tempuh rata-rata LV sepanjang segmen (jam)
𝒙 𝒙′
=
𝑻𝑹 𝟏𝟎𝟎 𝒎𝟐
Ket:
TR = nilai Trip Rate
X = Jumlah kendaraan yang keluar/masuk (smp/jam) pada lokasi studi
X’ = Luas bangunan lokasi studi (𝑚2 )
Kemudian, untuk menentukan nilai bangkitan atau tarikan lalu lintas pada lokasi studi
adalah sebagai berikut
𝑨
𝑶𝑫𝒊𝒋 = x TR
𝟏𝟎𝟎 𝒎𝟐
Ket:
𝑂𝐷𝑖𝑗 = Nilai bangkitan atau tarikan lalu lintas (smp/jam) pada lokasi studi
A = Luas bangunan pada lokasi studi (𝑚2 )
TR = Trip Rate pada lokasi studi (smp/jam)
P a g e | 17
BAB III
PROFIL WILAYAH PERENCANAAN DAN KARAKTERISTIK TRANSPORTASI
motor, mobil pribadi, mobil angkutan umum, dan truck atau kendaraan besar lainnya. Dominasi
kendaraan yang paling banyak melewati Koridor DTC Wonokromo adalah sepeda motor.
Khusus untuk pagi hari pada saat DTC Wonokromo akan memulai operasionalnya, jenis
kendaraan becak terlihat lebih banyak jumlahnya karena pada saat pagi hari becak-becak
tersebut membawa barang dagangan para penjual yang ada di DTC Wonokromo
3.4 Sirkulasi Lalu Lintas
Sirkulasi lalu lintas pada Jalan Stasiun Wonokromo yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu koridor jalan yang berada di depan DTC dari arah selatan ke arah utara. Selanjutnya pada
Jalan Raya Wonokromo digunakan dalam penelitian ini yaitu koridor jalan yang berada di
depan DTC dari arah utara ke selatan. Sirkulasi lalu lintas secara keseluruhan dapat dilihat pada
Peta 3.1.
P a g e | 19
DTC
Stasiun
Wonokromo
DTC
rambu lainnya yang memicu adanya kemacetan. Namun pada jalan Wonokromo juga hanya
terjadi kemacetan pada waktu tertentu.
Parkir dari Jalan Stasiun Wonokromo Parkir dari Jalan Raya Wonokromo
(rata-rata dalam 1 jam) (rata-rata dalam 1 jam)
Jenis Jumlah (Satuan) SMP Jenis Jumlah (Satuan) SMP
Motor 187 46,75
HV 2 2,6
P a g e | 26
Parkir dari Jalan Stasiun Wonokromo Parkir dari Jalan Raya Wonokromo
(rata-rata dalam 1 jam) (rata-rata dalam 1 jam)
Jenis Jumlah (Satuan) SMP Jenis Jumlah (Satuan) SMP
Total 51,25 Total 201,35
Sumber: Survei primer, 2019
P a g e | 27
BAB IV
ANALISA DAN PEMBAHASAN
Berikut merupakan hasil dari traffic counting yang dilakukan pada Jalan Stasiun Wonokromo dan Jalan Raya Wonokromo dijabarkan pada
Tabel 4.1 dan Tabel 4.2.
Tabel 4.1 Hasil Traffic Counting Jalan Stasiun Wonokromo
Berdasarkan hasil traffic counting yang dijelaskan pada Tabel 4.1 dan Tabel 4.2, maka
didapatkan hasil rata-rata traffic counting di Jalan Raya Wonokromo dan Jalan Stasiun
Wonokromo selama tiga jam (13.00-16.00) sebagai berikut:
Tabel 4.3 Hasil Rata-Rata Traffic Counting
Co 3300
FCsp 1
FCw 1
FCsf 0,88
FCcs 1,03
Capacity 2991,12
Sumber: Hasil Analisa Penulis, 2019
Setelah dilakukan tahap perhitungan diperoleh bahwa tingkat kejenuhan arah masuk
DTC dari jalan Stasiun Wonokromo sebesar 0,648. Sedangkan untuk arah keluar DTC dari
jalan Stasiun wonokromo sebesar 0,559. Dapat disimpulkan bahwa LOS jalan Raya
Wonokromo tergolong pada golongan C atau arus masih stabil, kecepatan lalu lintas ≥ 65
km/jam dan volume lalu lintas tidak melebihi 70% dari kapasitas. Selain itu, jika dikurangi
maka akan didapatkan bahwa pengaruh DTC terhadap tingkat kejenuhan jalan Stasiun
Wonokromo sebesar 0,089.
P a g e | 33
Co 3300
FCsp 1
FCw 1,08
FCsf 0,88
FCcs 1,03
Capacity 3230,4096
Sumber: Hasil Analisa Penulis, 2019
Setelah dilakukan tahap perhitungan diperoleh bahwa tingkat kejenuhan jalan arah
masuk DTC dari jalan Raya Wonokromo sebesar 0,709. Sedangkan untuk arah keluar DTC
dari jalan Raya wonokromo sebesar 0,504. Dapat disimmpulkan bahwa LOS jalan Raya
Wonokromo tergolong pada golongan C atau arus masih stabil, kecepatan lalu lintas ≥ 65
km/jam dan volume lalu lintas tidak melebihi 70% dari kapasitas. Selain itu, jika dikurangi
maka akan didapatkan bahwa pengaruh DTC terhadap tingkat kejenuhan jalan Raya
Wonokromo sebesar 0,205.
Tabel 4.9 In-Out Parkir Perbelanjaan DTC Wonokromo Jalan Stasiun Wonokromo
= 2,64%
Berdasarkan hasil dari perhitungan diatas, maka pengaruh aktivitas perbelanjaan DTC
Wonokromo terhadap jalan Stasiun Wonokromo adalah sebesar 2,64% dari total perjalanan.
Selanjutnya, berikut merupakan hasil dari analisis in-out parkir DTC Wonokromo pada Jalan
Stasiun Wonokromo yang dijelaskan pada Tabel 4.10.
Tabel 4.10 In-Out Parkir Perbelanjaan DTC Wonokromo Jalan Raya Wonokromo
= 8,78%
Berdasarkan hasil dari perhitungan diatas, maka pengaruh aktivitas perbelanjaan DTC
Wonokromo terhadap kinerja jalan Raya Wonokromo adalah sebanyak 8,78% dari total
perjalanan.
P a g e | 35
BAB V
POTENSI DAN MASALAH
5.1 Potensi
Potensi yang dapat dikembangkan pada wilayah studi antara lain:
• Adanya DTC yang merupakan fasilitas perdagangan dan jasa berskala regional yang
berpotensi sebagai daya tarik sehingga terjadi banyak mobilitas/pergerakan yang ada di
dalam Jl. Raya Wonokromo maupun Jl. Stasiun Wonokromo.
• Letak daerah yang strategis dimana wilayah Wonokromo merupakan jalur utama lalu
lintas Kota Surabaya karena merupakan jalur gerbang utama di bagian selatan.
5.2 Masalah
Adapun masalah yang terdapat pada wilayah studi antara lain:
• Volume Lalu Lintas
Berdasarkan identifikasi volume lalu lintas, yang didapatkan dengan melakukan observasi
jenis kendaraan, sirkulasi lalu lintas, bangkitan, ditemukan adanya pengaruh terhadap
kemacetan sebagai adanya Darmo Trade Center yang mana semakin menambah beban
jalan.
• Kapasitas Jalan
Dimana hambatan samping jalan seperti banyaknya angkutan umum yang melakukan
ngetem sembarangan tanpa menghiraukan rambu-rambu lalu lintas yang ada, PKL di
badan jalan dan parkir on-street, penyebab kemacetan dan tundaan lalu lintas. Serta
diperparah dengan adanya akses keluar masuk pada pusat kegiatan Darmo Trade Center
menimbulkan perlambatan. Bottle neck atau penyempitan serta hambatan samping menjadi
faktor utama penyebab kemacetan di koridor ini.
• Kinerja Jalan
Kinerja jalan koridor jalan Stasiun Wonokromo dapat dikatakan mendekati titik jenuh
sehingga apabila pada fungsi perbelanjaan DTC Wonokromo menjadi optimal, kinerja
jalan bisa bertambah buruk. Dampak langsungnya adalah kemacetan di ruas jalan tersebut.