Anda di halaman 1dari 15

FAKULTAS EKONOMI PRODI AKUNTANSI

TUGAS MAKALAH
Peran Muhammadiah dalam Kancah Politik di Indonesia

DISUSUN OLEH :

RIDWAN SAPUTRA

20130420305

KELAS E

UNIVERSITAS MUHAMMADIAH YOGYAKARTA

NOVEMBER 2014
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Muhammadiyah sebagai ormas keagamaan menyatakan tidak berpolitik praktis


artinya tidak terlibat dalam kegiatan politik yang berkaitan dengan proses perjuangan
kekuasaan sebagaimana diperankan kekuatan politik formal. Menurut Nashir (2000:49)
dalam momentum-momentum tertentu, persoalan politik pun senantiasa masuk ke
dalam gerakan organisasi Muhammadiyah baik secara langsung maupun
tidak langsung. Hal tersebut membuktikan bahwa Muhammadiyah tidak bersikap pasif
dan tidak tahu sama sekali akan politik. Muhammadiyah justru berpandangan bahwa
dengan berkiprah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan salah satu
perwujudan dari tujuan dan fungsi melaksanakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar.
Peran dalam kehidupan bangsa dan negara diwujudkan dalam langkah yang strategis
sesuai kepribadian, keyakinan dan khittah perjuangannya.

Muhammadiyah pernah beberapa kali terlibat dalam partai politik, ikut dalam
proses pembentukannya bahkan menjadi kekuatan intinya. Meski statusnya
sebagai ormas keagamaan, Muhammadiyah justru lebih banyak bersinggungan
dengan politik praktis. Kedekatan KH. Ahmad Dahlan dengan Sarekat Islam (SI) dapat
dikatakan sebagai titik awal Muhammadiyah bersinggungan dengan politik
dan mempunyai peranan dalam kancah perpolitikan di Indonesia.

Dari inilah politik Muhammadiyah seperti Muhammadiyah menjadi penggagas


lahirnya Partai Amanat Nasional (PAN) yang diketuai oleh Amien Rais. Muhammadiyah
mengambil sikap dengan berijitihad dalam menghadapi politik atau yang lebih dikenal
dengan “ijtihad politik”. Ijtihad tersebut dilakukan sebagai
bagian dari tindakan bagi umat Islam apabila ada suatu perkara yang tidak ditemukan
dalam Al-Quran dan Hadits, padahal sangat diperlukan adanya suatu sikap atau
tindakan untuk mengatasi masalah dan untuk mencapai kebaikan.
1.2 Rumusan Masalah

 Peran apa saja yang diberikan oleh Muhammadiah dalam kancah politik di
Indonesia.

1.3 Tujuan
 Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas kemuhammadiahan serta untuk
mengetahui bagaimana politik Muhammadiah dan peran yang diberikan
Muhammadiah di kancah Politik Indonesia.
BAB 2

ISI

2.1 Politik Muhammadiah

Muhammadiyah menganut prinsip netral dalam politik dan para anggotanya diberi
kebebasan untuk memilih gerakan politik yang sesuai dengan kecenderungannya. Prinsip
ini telah diputuskan dalam Kongres di Surakarta pada 1929 bahwa “Muhammadiyah tidak
mengutamakan salah satu partai politik Indonesia dan melebihkan partai lainnya; dalam hal
ini, Muhammadiyah menghormati partai-partai itu secara sepadan, tetapi Muhammadiyah
sendiri akan mengutamakan peran serta dalam melaksanakan kewajiban tertentu untuk
mempertahankan keselamatan tanah air Indonesia.”

Sejak berdiri pada 1912, Muhammadiyah telah menunjukkan partisipasi politiknya


dalam kehidupan kenegaraan. Partisipasi politik tidak dimaksudkan sebagai upaya untuk
merebut kekuasaan, tetapi memiliki makna yang luas bagi upaya gerakan ini dalam
menggarap bidang sosial kemasyarakatan. Dengan dasar tersebut, Muhammadiyah terlibat
dalam dinamika politik. Keterlibatan itu memiliki kaitan langsung dengan orientasinya pada
lapangan sosial yang digarapnya.

Ketika pemerintah Hindia Nederland mengambil kebijakan diskriminatif terhadap


Islam, Muhammadiyah merespons secara kritis dengan tetap mengedepankan sikap
moderat. Muhammadiyah memberikan reaksi keras terhadap kebijakan pemerintah yang
membiarkan kegiatan misi Katolik dan zending Protestan melakukan kegiatan di hampir
seluruh wilayah kekuasaan pemerintah dan juga terhadap kebijakan memberikan subsidi
yang tidak proporsional antara sekolah Kristen dan sekolah-sekolah yang dikelola pribumi
dan muslim. Dalam sejarahnya, Muhammadiyah mengambil kebijakan yang kontras dengan
sikap umat Islam lain, terutama dalam soal menerima subsidi pemerintah untuk sekolah-
sekolah yang dikelolanya. Ketika SI dan Taman Siswa menolak subsidi, sikap menerima
subsidi disebut “a-nasionalis".

Sikap kooperatif dan akomodatif terhadap pemerintah ditandai dengan kesediaan


Muhammadiyah menerima subsidi untuk sekolah-sekolah yang dikelolanya. Atas sikap ini,
Muhammadiyah dituduh oleh sesama gerakan Islam dan kebangsaan sebagai sikap yang a-
nasionalis atau bahkan antinasionalis.
Muhammadiyah berkeyakinan bahwa misi besar untuk mewujudkan masyarakat
Islam yang sebenar-benarnya diperlukan aliansi dengan berbagai kalangan termasuk
pemerintah. Hal ini penting mengingat aktivisme sosialnya bergantung pada regulasi dan
kebijakan pemerintah. Sikap ini berbeda dengan sikap umum kalangan SI yang
antipemerintah dan menentang sikap kooperatif Muhammadiyah.

2.2 Pembahasan Politik Muhammadiyah


a. Periode Kepemimpinan Kha Dahlan (1912 – 1923)

Periode ini merupakan masa perintisan pembentukan organisasi dan jiwa


serta amal usaha. Selain itu masa pengenalan ide-ide pembaharuan dalam metode
gerakan amaliah Islamiyah. Ahmad dahlan mengenalkan Muhammadiyah melalui
beberapa cara, antara lain silaturahmi, mujadalah (diskusi), Tausiyah-ma’idhoh
hasanah, dan memberikan keteladanan dalam praktek pengamalan ajaran Islam.
Pada periode ini dibentuk perangkat awal seperti : Majelis Tabligh, Majelis
Sekolahan 9pengajaran), Majelis Taman Pustaka, Majelis Penolong Kesengsaraan
Oemoem (PKO), ‘Aisyiyah, Kepanduan Hizbul Wathon (HW), menerbitkan majalah
“SWORO MOEHAMMADIJAH”. Selain itu mempelopori berdirinya rumah sakit umat
Islam, Rumah Miskin, dan Panti Asuhan Yatim/Piatu, serta menganjurkan dan
mempelopori hidup sederhana, terutama dalam menyelenggarakan
Walimatul’Urusy (pesta perkawinan).

Dalam mengadakan perubahan untuk meluruskan kembali ajaran Islam,


Ahmad dahlan menggunakan pendekatan pesuasif (ngemong dan memberikan
penjelasan), sehingga para para penentangnya simpati, bahkan ada yang mengikuti
gerakannya.

b. Periode Kepemimpinan Kh Ibrahim (1923 –1932)

Pada periode ini Muhammadiyah mulai berkembang meluas sampai


kedaerah-daerah luar Jawa. Perangkat yang dibentuk antara lain : Majelis Tarjih,
Nasyi’atul’Aisyiyah dan kemudian Pemuda Muhammadiyah. Adapun Aktivitas yang
menonjol antara lain :
Pada tahun 1924 mengadakan “Fonds Dachlan”, untuk membeayai sekolah anak-
anak miskin. Mengadakan khitanan massal pertama kali (1925). Pada konggres di
Surabaya tahun 1926 diputuskan Pemakaian Tahun Islam dalam catat-mencatat
termasuk surat menyurat dan Sholat Hari Raya di tanah lapang. Pada tahun 927
pada konggres di Pekalongan muncul persoalan politik dengan keputusan pokok
“Muhammadiyah TIDAK bergerak dalam bidang POLITIK, namun memperbaiki budi
pekerti yang luhur (Akhlaqul Karimah) bagi orang yang akan berpolitik (tidak
melarang anggotanya berpolitik).

Pada tahun 1928 mulai mengirim putera & puteri lulusan sekolah
Muhammadiyah (dari Mu’allimien, Muallimat, Tabigschool, Normalschool) di
benum ke pelosok tanah air, sebagai “anak panah” Muhammadiyah. Pada Konggres
di Solo tahun 1929, Muhammadiyah mendirikan Uitgeefster My (badan usaha
penerbitan buku-buku sekolah Muhammadiyah yang dikelola oleh Majelis Taman
Pustaka). Di konggres ini pula terjadi “Penurunan Gambar KHA Dahlan” (dan
dilarang untuk sementara waktu dipasang, karena ada gejala kultus). Pada Konggres
di Minangkabau tahun 1930 muncul eselon CONSUL HOFD BESTUUR
MUHAMMADIJAH (sekarang PWM). Pada konggres di Makasar 1932 antara lain
diputuskan penerbitan Koran Muhammadiyah (Dagblad Adil) dilaksanakan oleh
cabang Solo.

c. Periode Kepemimpinan Kh Hisyam (1932 – 1936)

Periode ini kegiatan pendidikan mendapatkan porsi yang mantap, selain itu
pula diadakan penerbitan administrasi organisasi. Pada konggres tahun 1934 lebih
dimantapkan pengembangan lembaga pendidikan tingkat menengah dan
mengubah sekolah dengan nama Belanda menjadi nama khas kita, seperti :
Volkschool menjadi Sekolah Rakyat. Pada Konggres tahun 1935 memutuskan
pembentukan Majelis Pimpinan Perekonomian yang tugasnya membantu perbaikan
ekonomi anggota (membentuk semacam kooperasi). Pada tahun 1936 diadadkan
Konggres Seperempat Abad (XXV) di Jakarta, diputuskan anatara lain mendirikan
sekolah Tinggi, dan mendirikan Majelis Pertolongan & Kesehatan Muhammadiyah
(MPKM) di seluruh cabangdan ranting.

d. Periode Kepemimpinan Kh Mas Mansyur (1936 – 1942)

Masa kepemimpinan KH Mas Mansyur merupakan tokoh yang kreatif dan


terkenal sikapnya yang istiqomah dan pemberani, sehingga ikut dalam pengisian
jiwa gerakan Muhammadiyah, dan penegasan kembali faham agama yang menjadi
garis besar Muhammadiyah. Pada periode ini memaksimalkan Majelis Tarjih,
sehingga menghasilkan “Masalah Lima” (Dunia, Agama, Qiyas, Sabilillah, dan
ibadah). Selain itu menggerakkan Muhammadiyah lebih dinamis dan berbobot,
dengan konsepnya yang terkenal “Langkah Dua belas”nya. Catatan kekiatan yang
menonjol saat itu antara lain :
 Membentuk Komisi Perjalanan Haji (HM Suja’, HA Kahar Mzkr & R. Sutomo)
 Pembentukan Bank Muhammadiyah (Konggres di Yogyakarta 1937)
 Menentang Ordonansi Pencatatan Perkawinan Oleh Pemerintah Belanda
 Menentang Ondewijs Ordonansi (larangan guru mengajar di Sekolah Muh.)
 Mengganti seluruh istilah Hindia Belanda dengan Indonesia
 Mengeluarkan “Franco Amal” menghimpun dana untuk kaum dhu’afa
 Mulai dirintis semacam Khittah Muhammadiyah
 Ikut mempelopori beririnya MIAI (Majelisul Islam A’la Indonesia)

e. Periode Kepemimpinan Ki Bagus Hadikusuma (1942 – 1953)

Ki Bagus Hadikusuma termasuk tokoh Muhammadiyah yang juga mengisi


dan membentuk jiwa bagi gerakan Muhammadiyah. Pada periode ini dilahirkan
Muqaddimah Anggaran dasar Muhammadiyah, sebagai rumusan singkat atas
gagasan dan pokok-pokok pikiran KHA Dahlan (melalui murid-muridnya).

Periode ini menghadapi zaman Jepang, awal kemerdekaan, masa revolusi


fisik mempertahankan Republik Indonesia. Oleh karena itu, aktivitas
Muhammadiyah banyak tersita dengan perjuangan kenegaraan, seperti
mempersiapkan kemerdekaan, mendirikan kelasykaran/badan perjuangan untuk
membela Republik Indonesia dan sebagainya.

Perlu dicatat dalam sejarah, bahwa masa periode ini Muhammadiyah berani
menentang pemerintah Dai Nippon yang mewajibkan “Syeikerai” (memuja
Amaterasu Omikami dan Tenno Haika, syirik hukumnya), dalam hal ini Jepang
mundur dan Muhammadiyah berhasil. Muhammadiyah ikut mendirikan Pasukan
Hizbullah Sabilillah, Majelis Syurau Muslimin Indonesia (Masjumi) pengganti MIAI,
dan mendirikan Asykar Perang Sabil (APS). Ketika opsir Jepang mewakili Indonesia
bagian Timur minta penghapusan 7 kata dalam Piagam Jakarta yang sudah
disepakati untuk pembukaan UUD 1945, dan mengancam akan memisahkan diri
dari RI, maka ki Bagus Hadikusuma mencarikan solusi dengan mengganti dengan
kata “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Pada Sidang Tanwir 1951 di Yogyakarta, diputuskan antara lain,


Muhammadiyah tetap konsisten tidak akan berubah menjadi partai politik, “Sekali
Muhammadiyah Tetap Muhammadiyah”. Selain itu juga menetapkan batas-batas
otonomi Aisyiyah.

Pada Sidang Tanwir di Bandung tahun 1952, ditetapkan mempertahankan


Muhammadiyah menjadi anggota Istimewa Partai Masjumi, dan mengadakan
peremajaan dilingkungan Muhammadiyah.

Pada Sidang Tanwir di Solo, 1953, diputuskan anggota Muhammadiyah


hanya boleh memasuki partai yang berdasarkan Islam.

f. Periode Kepemimpinan A.R. Sutan Mansyur (1952 – 1959)

Kepemiminan AR Sutan Mansyur dikenal sebagai masa memperkokoh Ruh


Tauhid, yaitu dengan disusunnya Khittah Palembang. Pada periode ini yang penting
dicatat sejarah antara lain :
 Sidang Tanwir di Pekajangan, 1955 membicarakan Konsepsi Negara Islam.
 Sidang Tanwir 1956 di Yogyakarta memutuskan :
- Muhammadiyah tetap bergerak dalam bidang agama & kemasyarakatan,
- Masalah politik diserahkan pada Partai Masjumi,
- Bagi warga Muhammadiyah yang aktif politik dianjurkan ke Partai Islam
- Keanggotaan Istimewa dihapus, namun tetap hubungan baik dengan
Masjumi.

g. Periode Kepemimpinan Hm Yunus Anis (1959 – 1962)

Pada periode ini situasi negara dalam goncangan sosial politik, sehingga baik
langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada gerak perjuangan
Muhammadiyah. Namun HM Yunus Anis mampu membawa Muhammadiyah untuk
tetap pada jati dirinya, yaitu tetap menempatkan kedudukannya sebagai Gerakan
Dakwah Amar Ma’ruf Nahi Mungkar dalam bidang sosial keagamaan. Selain itu,
penataan administrasi Muhammadiyah dibangun dengan baik sebagaimana
organisasi modern. Dokumentasi Muhammadiyah mulai dibenahi dan diatur rapi,
sehingga memudahkan penulisan dan penelitian dalam Muhammadiyah.
Pada periode ini Majelis Pustaka sangat berperan, baik dalam bidang
perpustakaannya, dokumentasi arsip-arsip dan penerbitan Muhammadiyah, serta
banyak menghasilkan penerbitan RIDUP (riwayat hidup) tokoh-tokoh
Muhammadiyah, dan Almanak Muhammadiyah.
h. Periode Kepemimpinan Kha Badawi (1962 – 1968)

Periode ini merupakan periode Muhammadiyah menghadapi PKI, dan


kehidupan kenegaraan yang cenderung terkontaminasi politik PKI. Situasi Sosial
Ekonomi sangat buruk, kemiskinan merajalela, gerak politik yang revolusioner yang
tidak menentu. Pimpinan Muhammadiyah periode ini bertugas terus memperkokoh
kekuatan umat Islam dalam melawan PKI dan antek-anteknya. Selain itu,
menyelamatkan negara dengan pendekatan pada presiden agar tidak terseret jauh
terpengaruh oleh politik PKI yang memusuhi umat Islam Indonesia.

Pada saatnya berhadapan dengan PKI, KHA Badawi dengan tegas


menyatakan bahwa “Membubarkan PKI adalah ibadah”. Pada saat PKI berontak
tahun 1965, Muhammadiyah telah siap menghadapinya dengan Tapak Suci (1963)
dan pasukan KOKAM (1964), sehingga Muhammadiyah ikut aktif bersama
pemerintah yang anti komunis untuk menumpak G.30 S/PKI.

Oleh pemerintah Muhammadiyah diberikan fungsi politik dapat duduk


dalam DPR GR dan MPRS, dan para fungsionarisnya juga ada yang didudukkan
dalam eksekutif. Namun kemudian, setelah situasi mereda, Muhammadiyah kembai
pada khittahnya semula sebagai organisasi sosial keagamaan.

i. Periode Kepemimpinan Kh Fakih Usman / H. Ar Fakhrudin (1968 – 1971)

Pada Muktamar ke 37 di Yogyakarta KH Fakih Usman dikukuhkan sebagai


Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, namun tiada berapa lama beliau wafat, dan
Sidang Tanwir menetapkan H. AR Fakhrudin (WK Ketua I) sebagai Ketua Pimpinan
Pusat Muhammadiyah. (1968 – 1971). Periode ini yang lebih menonjol adalah “Me-
Muhammadiyahkan kembali Muhammadiyah”. Dalam hal ini mengadakan tajdid
dalam bidang ideologinya dengan “merumuskan “Matan Keyakinan dan Cita-cita
Hidup Muhammadiyah”, dalam bidang organisasi dan usaha perjuangannya dengan
menyusun “Khittah Perjuangan Muhammadiyah”.

j. Periode Kepemimpinan H. Ar Fakhrudin (1971 – 1990)

Periode ini meneruskan sebelumnya, yaitu usaha untuk meningkatkan


kualitas persyarikatan baik pemurnian amal usaha Muhammadiyah. AR Fakhrudin
dipilih sebagai ketua Muhammadiyah pada Muktamar ke 39 di Ujung Pandang
1971, Muktamar ke 40 di Surabaya tahun 1978, dan Muktamar ke 41 di Surakarta,
1985.
Pada periode ini mengalami tantangan untuk mengubah Azas Islam dengan
Pancasila sebagai stu-satunya azaz organisasi di Indonesia. Ddengan kebijakan
“Siasat Jalur Helem” (yang artinya untuk sementara, dan tetap beraqidah Islam),
Muhammadiyah dalam selamat.
Beberapa keputusan penting antara lain :
 Mengukuhkan Khittah Muhammadiyah (Khittah Ponorogo) di Muktamar 40.
 Ikut membidani kelahiran partai Muslimin Indonesia (Parmusi)
 Tersusunnya konsep-konsep Dakwah oleh Majelis Tabligh dan tuntunan praktis
 Tersusunnya konsep kaderisasi dan pedoman praktis pembinaannya.
 Tersusunnya berbagai pedoman pendidikan oleh Majelis Dikdasmen & Dikti.
 Pengaktifan kembali Majelis Pustaka, dalam rangka penyelamatan arsip
dokumen Muhammadiyah dan penerbitan-penerbitannya.

k. Periode Kepemimpinan Kh. Ahmad Azhar Basyir (1990 – 1995)

Pada periode ini berhasil dirumuskan Program Jangka Panjang


Muhammadiyah 25 Tahun, yang meliputi Bidang Konsolidasi Gerakan, Bidang
Pengkajian dan Pengembangan, dan Bidang Kemasyarakatan. Program itu
dijabarkan secara strategis menjadi :
 Bidang Konsolidasi gerakan, meliputi antara lain Konsolidasi
Organisasi, Kaderisasi dan Pembinaan AMM, Bimbingan Keagamaan, dan
Peningkatan Hubungan Kerjasama.
 Bidang Pengkajian dan Pengembangan meliputi antara lain Pengkajian
& Pengembangan pemikiran Islam; Penelitian & pengembangan; dan
Pusat informasi Kepustakaan dan penerbitan.
 Bidang kemasyarakatan meliputi, pendidikan; penanaman keyakinan
Islam kesehatan; Pengembangan Sosial Kemasyarkaatan; Kebudayaan;
Ekonomi dan Kewiraswastaan; Partisipasi Politik; Pengembangan
General Muda; Pembinaan keluarga; Pengembangan Peranan Wanita;
Lingkungan Hidup; dan PeningkatanKualitas Sumber daya manusia.

KH Ahmad Azhar Basyir memimpin Muhammadiyah tidak


sampai akhir periode, karena Allah SWT. Memanggil untuk menghadap
keharibaannNya. Kepemimpinan PP Muhammadiyah periode ini diteruskan oleh
Dr. H. Amien Rais (yang sebelumnya sebagai staf ketua).
Pada Muktamar di Jogjakarta tahun 1995, Dr. H. Amien Rais
dipilih dan dikukuhkan kembali sebagai ketua PP Muhammadiyah
(periode 1995 sampai 2000). Namun, oleh karena Prof. Dr. H. Amien
Rais mengundurkan diri dari ketua umum PP Muhammadiyah (karena
menjadi Ketua Umum Partai Amanat Nasional), maka sebagai ketua umum PP
Muhammadiyah digantikan Prof. Dr. H. Syafi’i Ma’arief. Sampai disini dulu uraian
tentang Fragmenta Lintasan Sejarah Muhammadiyah. Untuk periode Prof. Dr. H.
Amien Rais; Prof. Dr. H. Ahmad Syafi’i Ma’arief; dan periode Prof. Dr. H. Dien
Syamsuddin.

l. Periode Kepemimpinan Prof. Dr. H. Amien Rais

PROF. DR. H. AMIEN RAIS namanya mulai mencuat ke kancah perpolitikan


Indonesia pada saat-saat akhir pemerintahan Presiden Soeharto sebagai salah satu
orang yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan Pemerintah. Setelah partai-partai
politik dihidupkan lagi pada masa pemerintahan Presiden Habibie, Amien Rais ikut
mendeklarasikan Partai Amanat Nasional (PAN). Ia menjabat sebagai Ketua Umum
PAN dari saat PAN berdiri sampai tahun 2005.

Sebuah majalah pernah menjulukinya sebagai “King Maker“. Julukan itu


merujuk pada besarnya peran Amien Rais dalam menentukan jabatan presiden
pada Sidang Umum MPR tahun 1999 dan Sidang Istimewa tahun 2001. Padahal,
perolehan suara partainya, PAN, tak sampai 10% dalam pemilu 1999. Lahir di solo
pada 26 April 1944, Amien dibesarkan dalam keluarga aktivis Muhammadiyah.
Orangtuanya, aktif di Muhammadiyah cabang Surakarta. Masa belajar Amien
banyak dihabiskan di luar negeri. Sejak lulus sarjana dari Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta pada 1968 dan lulus Sarjana
Muda Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta (1969), ia melanglang ke
berbagai negara dan baru kembali tahun 1984 dengan menggenggam gelar master
(1974) dari Universitas Notre Dame, Indiana, dan gelar doktor ilmu politik dari
Universitas Chicago, Illinois, Amerika Serikat.

Kembali ke tanah air, Amien kembali ke kampusnya, Universitas Gadjah


Mada sebagai dosen. Ia bergiat pula dalam Muhammadiyah, ICMI, BPPT, dan
beberapa organisasi lain. Pada era menjelang keruntuhan Orde Baru, Amien adalah
cendekiawan yang berdiri paling depan. Tak heran ia kerap dijuluki Lokomotif
Reformasi.
m. Periode kepimimpinan Ahmad Syafi’i Ma’arif

(lahir di Sumpurkudus, Sijunjung, Sumatera Barat, 31 Mei


1935; umur 77 tahun) adalah mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah
dan pendiri Maarif Institute, yang juga dikenal sebagai seorang tokoh dan ilmuwan
yang mempunyai komitmen kebangsaan yang kuat. Sikapnya yang plural, kritis, dan
bersahaja telah memposisikannya sebagai “Bapak Bangsa”. Ia tidak segan-segan
mengkritik sebuah kekeliruan, meskipun yang dikritik itu adalah temannya sendiri.

n. Periode Kepemimpinan Prof. Dr. Sirajuddin Syamsuddin,

Dikenal dengan Din Syamsuddin. Prof. Dr. Sirajuddin Syamsuddin (lahir di


Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat, 31 Agustus
1958; umur 54 tahun), adalah seorang politisi yang saat ini menjadi Ketua Umum
Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2005-2010. Istrinya bernama Fira
Beranata, dan memiliki 3 orang anak.

Ia menempuh pendidikan sarjana di IAIN Jakarta, dan kemudian melanjutkan


pascasarjana dan doktornya di University of California at Los Angeles (UCLA) di
Amerika Serikat. Din pernah berkarier di birokrasi menduduki jabatan sebagai
Direktur Jenderal Binapenta Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia.
Sedangkan dalam kegiatan organisasi, Din pernah menjabat sebagai Ketua DPP
Sementara Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (1985), Ketua Umum PP Pemuda
Muhammadiyah (1989-1993), Wakil Ketua PP Muhammadiyah (2000-2005),
Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Ketua Litbang Golongan
Karya.

Sebagai ketua PP Muhammadiyah, ia seringkali diundang untuk menghadiri


berbagai macam konferensi tingkat internasional berkenaan dengan masalah
hubungan antara umat beragama dan perdamaian. Baru-baru ini, misalnya, ia
diundang ke Vatican untuk memberikan ceramah umum tentang terorisme dalam
konteks politik dan idiologi. Ia memandang bahwa terorisme lebih relevan bila
dikaitkan dengan isu politik dibandingkan dengan isu idiologi. Sejalan dengan itu, ia
juga tidak senang bila sebagian kelompok umat Islam menggunakan label Islam
dalam melakukan aksi-aksi terorisme mereka. Menurutnya, aksi-aksi terorisme yang
mengatasnamakan Islam justru sangat merugikan umat Islam baik pada tingkat
internal umat Islam maupun pada skala global.
Din Syamsuddin dipandang sebagai sosok pemimpin umat Islam bukan
hanya karena dia Ketua Umum Muhammadiyah, tetapi lebih dari itu karena
kemampuannya untuk melakukan dialog dengan seluruh elemen umat beragama
baik antar sesama umat Islam, maupun dengan umat beragama lainnya.

Din Syamsuddin merupakan salah-satu penumpang dalam Garuda Indonesia


Penerbangan 200, ia mengalami luka ringan dalam penerbangan yang menewaskan
21 orang tersebu

Semua pihak mengetahui bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik


dan tidak pernah menjadi organisasi politik. Walaupun dalam Doktrin
Muhammadiyah menyebutkan bahwa “Muhammadiyah menghindari kegiatan
politik praktis” (Dr. Amien Rais : 1998: 48) dimensi politik dari gerakan
Muhammadiyah tidak dapat diabaikan. (Sudarnoto A H:kompas:83). Dalam tubuh
Muhammadiyah telah berkembang corak pemikiran yang cerdas tentang posisi
politik Muhammadiyah. Pikiran tersebut intinya menegaskan bahwa
Muhammadiyah tidak mengabaikan politik, tetapi tidak berarti bahwa
Muhammadiyah tidak mempunyai respon terhadap kondisi sosial pada masanya.

Pikiran ini pernah muncul dan diterapkan pada periode awal


Muhammadiyah, dan dikemukakan kembali oleh Amien Rais (Ketua PP
Muhammadiyah) waktu itu, pada sekitar tahun 1997, dengan istilah baru: high
politics atau politik adi luhung (tingkat tinggi).

Politik adiluhung adalah politik dimana Muhammadiyah tidak hanya peduli


dengan keagamaan tetapi juga peduli dengan realitas sosial yang terjadi.
Muhammadiyah harus sensitif dan perlu merespon berbagai isu-isu seperti: KKN,
kepemimpinan nasional, kemiskinan, ketidakadilan global, konflik dan berbagai
macam fenomena sosial di Indonesia. Sehingga Muhammadiyah dalam konteks ini
perlu memiliki kemandirian politik. Artinya organisasi Muhammadiyah lahir adalah
demi kepentingan umat, dan bukan pengabdian kepada para pemimpinnya. Atau
para elit Muhammadiyah harus tampil dalam pengabdian masyarakat tanpa beban
politik dan interest pribadi. Muhammadiyah secara konstitusi internal organisasi
mengedepankan prinsip politik untuk dakwah bukan dakwah untuk politik, hal ini
jelas tergambar dalam matan keperibadian Muhammadiyah, disamping sebagai
gerakan Islam dan gerakan Tajdid, Muhammadiyah menekankan diri sebagai
gerakan dakwah. Segala kegiatan dalam bidang pendidikan, social, termasuk politik
diselenggarakan untuk kepentingan dakwah.
Muhammadiyah memiliki slogan yang menarik “hidup hidupilah
Muhammadiyah, dan jangan mencari kehidupan di Muhammadiyah” ungkapan
KH.Ahmad dahlan ini memiliki arti yang sangat mendalam sesungguhnya bila
dikaitkan dengan isu kontemporer prinsip high politic yaitu politik tingkat tinggi
atau politik Adiluhung yang dicetuskan oleh Amien Rais sangat layak untuk
menangkal permasalahan-permasalahan intress politic dikalangan petinggi
Muhammadiyah saat ini.
BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Muhammadiyah tidak bersikap pasif dan tidak tahu sama sekali akan politik.
Muhammadiyah justru berpandangan bahwa dengan berkiprah dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara merupakan salah satu perwujudan dari tujuan dan fungsi
melaksanakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Peran dalam kehidupan bangsa dan
negara diwujudkan dalam langkah yang strategis sesuai kepribadian, keyakinan, dan
khittah perjuangannya.

Dari inilah politik Muhammadiyah seperti Muhammadiyah menjadi penggagas


lahirnya Partai Amanat Nasional (PAN) yang diketuai oleh Amien Rais. Muhammadiyah
mengambil sikap dengan berijitihad dalam menghadapi politik atau yang lebih dikenal
dengan “ijtihad politik”.

3.2 Daftar Pustaka

 http://muhammadiyahstudies.blogspot.com/2010/06/muhammadiyah-dalam-
politik-nasional.html
 http://lampost.co/berita/muhammadiyah-dalam-politik-indonesia
 http://rachmanmarangga.wordpress.com/2013/02/15/makalah-peran-politik-
muhammadiyah-dalam-kancah-politik-indonesia/

Anda mungkin juga menyukai