Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa1. Perjanjian perkawinan menurut Soetojo
Prawirohamidjojo ialah perjanjian (persetujuan) yang dibuat oleh calon suami isteri sebelum
atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap
harta kekayaan mereka2. Untuk mewujudkan keluarga yang harmonis, sejahtera, bahagia dan
kekal untuk selama-lamanya dalam suatu pertalian lahir dan batin antara dua pribadi, maka
pada dasarnya setiap perkawinan diperlukan harta yang menjadi dasar materiil bagi
kehidupan berkeluarga.
Di dalam suatu perkawinan masalah harta perkawinan sering kurang mendapat
perhatian oleh sepasang suami isteri. Dikarenakan mereka dalam menjalankan sebuah
perkawinan akan berlangsung selama-lamanya dan tidak akan terjadi suatu masalah, sehingga
mereka tidak mempersoalkan hak yang satu terhadap hak yang lain. Pembatasan mengenai
apa yang menjadi milik suami, apa yang menjadi milik isteri, dan apa yang menjadi milik
mereka bersama belum menjadi perhatian mereka. Tetapi bila ternyata perkawinan tidak
berjalan sesuai dengan keinginan dan terjadinya perceraian, mereka baru mempersoalkan hak
dari masing-masing, terutama mengenai pembagian harta perkawinan.
Permasalahan ini akan berbeda apabila suami istri pada saat sebelum melangsungkan
perkawinan membuat perjanjian pranikah terlebih dahulu. Sehingga akan lebih jelas
mengenai pembagian-pembagiannya, mengurangi permasalahan atau konflik yang biasanya
timbul pada saat perceraian. Biasanya perjanjian pra nikah dibuat untuk kepentingan
perlindungan hukum terhadap harta bawaan masing-masing, suami ataupun istri. Di
Indonesia perjanjian pranikah ini belum menjadi sesuatu yang hal yang lazim dikalangan
masyarakat, karena perjanjian pranikah dianggap suatu hal yang tabu, materialistik, egois,
tidak etis, dan lain sebagainya.

1
Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, LN No. 1 Tahun 1974. TLN No.
3019, pasal 1.
2
Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam perundang-undangan perkawinan di Indonesia,
(Airlangga University Press: Surabaya, 1986), hlm.57.

1
Mengenai perjanjian perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan (“Undang-Undang Perkawinan”) di sebutkan di dalam Pasal 29
yang berbunyi :
1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas
persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh
pegawai pencatatan perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak
ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut;
2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum,
agama dan kesusilaan;
3. Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan,
4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah kecuali bila
dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak
merugikan pihak ketiga.
Akan tetapi pada tanggal 27 Oktober 2016 terdapat putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015
merubah isi pasal 29 Undang-Undang Perkawinan yang menyebutkan sebagai berikut:
1. Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama
dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat
mengajukan perjanjian tertulis yang di sahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau
notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut”.
2. Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang Perkawinan, tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang tidak dimaknai “perjanjian tersebut mulai berlaku sejak
perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”.
3. Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang Perkawinan, tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang tidak dimaknai “selama perkawinan berlangsung, perjanjian
perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat
diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk
mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak
ketiga”.
Sebagaimana telah disebutkan di dalam pasal 29 Undang-Undang Perkawinan dan putusan
MK Nomor 69/PUU-XIII/2015, bahwa perjanjian kawin harus disahkan oleh pegawai
pencatat perkawinan. Di dalam prakteknya masih terdapat perjanjian kawin yang tidak
memenuhi ketentuan pasal 29 Undang-Undang Perkawinan. Ada beberapa perjanjian
perkawinan yang dibuat secara sah, tetapi tidak didaftarkan atau disahkan oleh petugas yang
berwenang.

2
Perjanjian perkawinan ini merupakan perjanjian pemisahan harta perkawinan secara
bulat. Segala harta bawaaan yang diperoleh sebelum perkawinan berlangsung oleh masing-
masing pihak, akan tetap menjadi milik dan dikuasai penuh oleh masing-masing pihak,
demikian pula dengan harta benda yang diperoleh selama perkawinan berlangsung akan
menjadi milik dan dikuasai sepenuhnya oleh para pihak. Perjanjian Perkawinan ini tidak
hanya memuat mengenai pemisahan harta benda perkawinan, namun memuat pula mengenai
pemisahan untung rugi. Para pihak akan bertanggung jawab masing-masing sepenuhnya
terhadap segala utang yang diperoleh sebelum dan selama perkawinan berlangsung, sehinga
apabila salah satu pihak dianggap pailit karena tidak mampu memenuhi kewajibannya
melunasi segala utang, maka harta pihak lainnya dalam Perjanjian Perkawinan tersebut tidak
akan terusik dan akan tetap aman.
Hal ini tentunya memberi perlindungan bagi para pihak akan terjadinya hal-hal yang
tidak diinginkan selama perkawinan berlangsung, dan di dalam menjalankan perkawinan
terjadi dimungkinkan terjadinya konflik rumah tangga yang mengakibatkan terjadinya
perceraian, maka status tentang perjanjian perkawinan yang telah dibuat akan tetapi belum di
sahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan sangatlah penting. Dengan begitu muncul
permasalahan yaitu tentang keabsahan perjanjian perkawinan apabila tidak disahkan oleh
Pegawai Pencatat Perkawinan.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan apa yang telah diuraikan dalam latar belakang permasalahan tersebut
diatas maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana keabsahan perjanjian perkawinan yang tidak disahkan oleh Pegawai
Pencatat Perkawinan apabila terjadi putusnya perkawinan?
2. Bagaimana akibat hukum perjanjian perkawinan yang tidak disahkan oleh
Pegawai Pencatat Perkawinan apabila terjadi putusnya perkawinan?

BAB II
KERANGKA TEORITIS

3
2.1 Pengertian Perkawinan
Setia manusia dalam kehidupan bermasayarakat dicipatkan dalam hidup berpasang-
pasangan, laki-laki dan perempuan dengan kodratnya diciptakan oleh Tuhan untuk menikah
menurut hukum dari agama, adat maupun negara. Dalam suatu hubungan antara seorang laki-
laki dan seorang perempuan yang ingin menikah pastilah mempunyai tujuan yang mulia
dalam membentuk keluarga yang rukus, salinng mempercayai, dan menghormati satu sama
lain.
Syarat dan ketentuan mengenai perkawinan di Indonesia secara umum diatur dalam
Undang-Undang Perkawinan yang mengatur mengenai perkawinan secara khusus.
Ketentuan-ketentuan hukum yang ada di dalam Undang-Undang tersebut menjadi acuan yang
pasti dalam menjalankan proses hukum yang terkait dengan perkawinan di negara Indonesia.
Di dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan mendefinisikan bahwa:
“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan wanita sebagai
suami isteri dengan tiujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”3 Berdasarkan definisi perkawinan
yang terkandung dalam Pasal 1 ayat (1) tersebut diatas yang jelas menyatakan bahwa
perkawinan dilakukan dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal, artinya tujuan dari perkawinan tersebut yaitu agar keluarga yang dibentuk oleh
pasangan suami isteri menjadi keluarga yang bahagia dan diajuhkan dari perceraian
yang sering terjadi pada masa sekarang akibat dar konflik-konflik selama perkawinan.
Undang-undang jelas mengharapkan agar perkawinan itu menjadi janji antara sepasang
manusia agar selalu bersama sehidup semati, dijauhkan dari perceraian diantara pasangan
yang membina keluarga.

2.2 Syarat-Syarat Perkawinan


Dalam pelaksanaannya, agar perkawinan tersebut dianggap sah secara hukum, maka
harus memenuhi syarat-syarat yang telah diatur di dalam sistem perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia.
2.2.1 Undang-Undang Perkawinan
Syarat-syarat perkawinan berdasarkan Pasal 6-7 Undang-Undang Perkawinan, yaitu:
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai, maksudnya
bahwa karena tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal dan sesuai pula dengan hak-hak asasi manusia, maka para calon yang akan
melangsungka perkawinan, haruslah atas dasar keingingan mereka, tanpa ada
paksaan dari pihak manapun.
3
Indonesia I, Undang-Undang Perkawinan, op. cit.

4
2. Seorang pria yang belum mencapai usia 21 tahun harus mendapat izin kedua orang
tuanya dalam melangsungkan perkawinan.
3. Apabila salah seorang dari orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan
tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin melangsungkan perkawinan
cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu
menyatakan kehendak.
4. Apabila kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu
menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara
atau keluarga yang mempunyai hubungan dari dalam garis keturunan lurus ke atas.
Selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendak.
5. Apabila terdapat perbedaan pendapat antara orang-orang yang member persetujuan
dalam melangsungkan perkawinan, atau salah seorang atau lebih diantaranya
mereka tidak menyatakan pendapat, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat
tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang
tersebut, dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang
tersebut.
6. Perkawinan hanya diijinkan jika pria sudah mencapai umuy 19 tahun dan pihak
wanita sudah mencapai umut 16 tahun. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga
kesehatan daripada suami isteri serta keturunannya, perlu ditentukan batas-batas
umur.
7. Penyimpangan dalam umur dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau
pejabat lain yang ditunjul oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita.

2.2.2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan


Undang-Undang Perkawinan
Syarat-syarat formil yang harus dipenuhi sebelum perkawinan berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 09 Tahun 1975 terdiri dari 3 (tiga) tahap, sebagai
berikut:
a. Pendaftaran atau pemberitahuan kepada Pegawai Catatan Sipil
b. Penelitian dan pengecekan terhadap syarat-syarat perkawinan yang
didaftarkan
c. Pengumuman tentang pemberitahuan untuk dilangsungkannya
perkawinannya
Syarat-syarat formil diatas harus dipenuhi guna untuk memenuhi prosedur dan
demi keabsahan dalam melakukan perkawinan yang telah ditentukan oleh hukum
yang berlaku di Indonesia.
Berdasarkan syarat-syarat perkawinan yang diuraikan diatas, kita dapat
melihat bahwa di dalam Undang- Perkawinan memandang sahnya perkawinan bukan

5
hanya dari segi formilnya saja tetapi ahrus sesuai dengan ketentuan agama dan
kepercayaan pihak-pihak didalamnya (vide Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan).

2.3 Perjanjian Perkawinan


2.3.1 Pengertian Perjanjian Perkawinan
Pengertian perjanjian perkawinan dapat dikaji menjadi 2 (dua) bagian, yakni
perjanjian perkawinan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(“KUHPerdata”) dan perjanjian perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan.

A. Perjanjian Perkawinan Menurut KUHPerdata


Pengertian perjanjian perkawinan yang dibuat oleh dua orang, yaitu calon suami
dan isteri sebelum dilangsungkan perkawinan, yaitu untuk mengatur akibat
perkawinan terhadap harta kekayaan. Perjanjian ini dibuat pada dasarnya menurut
Pasal 147 KUHPerdata untuk menghindari sistem yang diatur dalam KUHPerdata,
yang menganut sistem pencampuran harta kekayaan dalam perkawinan. Jadi
perjanjian perkawinan pada KUHPerdata ini merupakan penyimpangan asas harta
kekayaan/milik bersama, karena untuk menghindari adanya jumlah harta yang
berlebih dari satu pihak dibanding dengan pihak yang lain dalam suatu perkawinan.4
Perjanjian kawin menurut Pasal 147 KUHPerdata harus dibuat:
a. Dengan akta notaris, hal ini untuk keabsahan dan kepastian hukum;
b. Dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan.
Perjanjian kawin menurut KUHPerdata bertujuan untuk mengadakan
penyimpangan terhadap ketentuan tentang persatuan harta kekayaan sebagaimana
diatur Pasal 119 KUHPerdata, dimana sejak perkawinan dilangsungkan maka terjadi
persatuan atau pencampuran harta kekayaan.
Calon suami isteri bebas menentukan isi perjanjian kawin yang dibuatnya, namun
kebebasan itu dibatasi:5
a. Perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang,
kesusilaan dan ketertiban umum;
b. Perjanjian tersebut tidak boleh memuat perjanjian yang menyimpang dari
kekuasaan suami, orang tua;
c. Tidak boleh dibuat janji yang mengandung pelepasan hak atas harta
peninggalan orang-orang dari Pewaris;
Perjanjian perkawinan menurut KUHPerdata tidak dapat diubah selama
perkawinan berlangsung (vide Pasal 149 KUHPerdata).

B. Perjanjian Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan

4
Wienarsih Imam Subekti, Sri Soesilowati Mahdi, Hukum Perorangan Dan Kekeluargaan Perdata
Barat, (Gitama Jaya Jakarta: Jakarta, 2005), hlm. 101.
5
Ibid., hlm. 103.

6
Pengertian perjanjian perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan ini adalah
perjanjian yang dibuat calon suami isteri sebelum perkawinan dilangsungkan, dengan
maksud untuk kelangsungan kehidupan dan penghidupan pada umumnya, tidak secara
khusus mengatur harta kekayaan akibat dilangsungkannya perkawinan. Bentuk
perjanjian adalah tertulis yang disahkan Pejabat Pencatat Perkawinan. Perjanjian
kawin dalam Undang-Undang Perkawinan diatur dalam Pasal 29 sebagai berikut:
1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas
persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan
pegawai pencatat perkawinan, yang mana isinnya berlaku juga terhadap pihak
ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bila melanggar batas-batas hukum
agaman dan kesusilaan.
3. Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

Perbandingan perjanjian perkawinan menurut KUHPerdata dengan perjanjian


perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan:

No. KUHPerdata Undang-Undang Perkawinan


1. Perjanjian perkawinan tidak dapat Perjanjian perkawinan masih bisa
diubah setelah perkawinan diubah bila ada persetujuan suami
berlangsung. isteri untuk mengubah dan tidak
merugikan pihak ketiga
2. Perjanjian perkawinan hanya dibuat Perjanjian perkawinan dibuat
dihadapan Notaris dihadapan Notaris dan dicatatkan
pada Pejabat Pencatat Perkawinan

2.3.1 Syarat Sahnya Perjanjian Perkawinan Terkait Mengenai Usia Dewasa


A. Usia Dewasa
Perjanjian perkawinan merupakan suatu bentuk perjanjian yang syarat
sahnya mengacu pada ketentuan Pasal 1320 juncto Pasal 1338
KUHPerdata. Dewasa merupakan salah satu persyaratan yang diutamakan
bagi seseorang yang ingin melakukan perbuatan hukum, maka dari itu
pengaturan mengenai kedewasaan seseorang diatur di dalam peraturan
perundang-undangan.

7
Terdapat perbedaan pengaturan mengenai kedewasaan dalam
perbuatan hukum menurut peraturan perundangan yang berlaku di
Indonesia, yaitu:
1. Berdasarkan Pasal 330 KUHPerdata, menyebutkan seseorang
belum dewasa jika usianya belum genap 21 tahun dan belum
menikah sebelumnya.
2. Ketentuan lain menyebutkan bahwa seseorang dianggap dewasa
setelah mencapai usia 18 tahun atau sebelumnya telah melakukan
perkawinan. Hal ini sebagaimana diatur dalam:
a. Pasal 50 Undang-Undang Perkawinan;
b. Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
juncto Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan
Notaris;
Terkait mengenai usia dewasa dalam pembuatan perjanjian
perkawinan, pada Pasal 66 Undang-Undang Perkawinan diatur bahwa
segala peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
perkawinan sepanjang belum atau tidak diatur dalam Undang-Undang
Perkawinan dianggap masih berlaku. Oleh dikarenakan pada Pasal 50
Undang-Undang Perkawinan telah diatur batasan umur yang dianggap
telah dewasa adalah 18 tahun atau telah melakukan perkawinan
sebelumnya, maka Pasal 50 Undang-Undang Perkawinan ini yang harus
dijadikan acuan batasan umur yang dianggap telah dewasa dalam
pembuatan perjanjian perkawinan.

B. Belum Dewasa
Mengenai hal seorang pria atau seorang wanita yang belum mencapai
batas usia kedewasaan di dalam Pasal 47 juncto Pasal 50 Undang-Undang
Perkawinan menjelaskan bahwa:
1. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah
menikah berada dibawah kekuasaan orang tua atau walinya.
2. Orang tua mewakili anak-anak tersebut dalam segala perbuatan
hukum dan perwalian meliputi baik mengenai pribadi anak maupun
hartanya.
Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan:
1. Apabila calon suami dan isteri sudah mencapai umur 18 tahun atau
sebelumnya telah menikah, maka mereka boleh membuat perjanjian
perkawinan sendiri;

8
2. Dalam hal calon isteri telah mencapai umur untuk menikah tetapi belum
genap 18 tahun dan sebelumnya belum menikah, maka ia harus diwakili
atau paling tidak didampingi oleh orang tuanya atau walinya.

2.3.2 Berlakunya Perjanjian Perkawinan


Mengacu kepada Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan, dapat disimpulkan
berlakunya perjanjian perkawinan adalah sebagai berikut:
a. Perjanjian perkawinan mulai berlaku diantara suami isteri pada saat perkawinan
telah berlangsung yang mana perjanjian perkawinan tersebut keberlakuannya
hanya kepada para pihak didalamnya saja dalam artian hanya berlaku terhadap
suami isteri yang terikat dalam perkawinan;
b. Perjanjian perkawinan berlaku terhadap pihak ketiga ketika calon suami isteri
yang ingin menikah mendaftarkan atau mencatatkan perjanjian perkawinan yang
mereka buat sebelum perkawinan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan dan
disahkan olehnya dan keberlakuan perjanjian perkawinan tersebut terhadap pihak
ketiga dimulai dari setelah perkawinan tersebut berlangsung.
Jadi dapat dikatakan bahwa, apabila perjanjian perkawinan belum dicatat dan
disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, maka keberlakuan perjanjian
perkawinan tersebut hanyalah terhadap para pihaknya saja yaitu suami isteri. Setelah
perjanjian perkawinan tersebut dicatat dan disahkan oleh Pegawai Pencatat
Perkawinan, maka keberlakuannya mengikat bagi pihak ketiga juga.

2.4 Harta Benda Dalam Perkawinan


Perkawinan yang dilangsungkan antara pasangan suami-isteri mengakibatkan
timbulnya salah satu akibat hukum dalam hal ini akibat hukum terhadap harta benda dalam
perkawinan.
Harta benda/harta kekayaan merupakan hal yang sangat sensitif dalam menjalani
kehidupan perkawinan. Hal tersebut kerap menimbulkan perselisihan di antara pasangan
suami isteri dewasa ini dan juga merupakan salah satu pokok permasalahan penyebab
hancurnya kehidupan rumah tangga.
Dalam Undang-Undang Perkawinan, pengaturan penempatan mengenai Perjanjian
Perkawinan diatur mendahulu Harta Benda Perkawinan, dimana Perjanjian Perkawinan diatur
dalam Bab V Undang-Undang sedangkan mengenai Hak dan Kewajiban Suami Isteri diatur
pada Bab VI. Dilihat dari penempatan Perjanjian Perkawinan yang didahulukan daripada Hak
dan Kewajiban Suami-Isteri dan Harta Benda dalam perkawinan, dapat diartikan seolah-olah
Undang-Undang Perkawinan tersebut lebih mengutamakan perjanjian perkawinan daripada
Hak Kewajiban Suami-Isteri dan Harta Benda Perkawinan.

9
Namun sesungguhnya tidak demikian. Berdasarkan bunyi pasal 29 ayat (1) Undang-
Undang Perkawinan “Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua pihak atas
persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai
pencatat perkawinan …”, diartikan bahwa calon mempelai dapat membuat perjanjian
perkawinan dalam hal pengaturan pengurusan harta kekayaan mereka kelak dengan
dilangsungkannya perkawinan yang mereka rencanakan itu.
Harta benda berdasarkan Pasal 35 Undang-Undang Perkawinan dapat diklasifikasikan
menjadi:6
1. Harta Bersama
Yang termasuk dalam harta bersama adalah:
a. harta benda yang diperoleh sepanjang perkawinan berlangsung
b. harta yang diperoleh sebagai hadiah/pemberian atau warisan apabila
ditentukan demikian
c. hutang-hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung, kecuali yang
merupakan hutang pribadi masing-masing suami-isteri.
2. Harta Pribadi
Yang termasuk harta pribadi dari masing-masing suami dan isteri adalah:
a. harta yang dibawa masing-masing ke dalam perkawinan termasuk di
dalamnya hutang-hutang yang belum dilunasi.
b. Harta benda yang diperoleh sebagai hadiah/pemberian, kecuali ditentukan
lain.
c. Warisan yang diperoleh masing-masing, kecuali ditentukan lain.
d. Hasil-hasil dari milik pribadi masing-masing sepanjang perkawinan
berlangsung, termasuk hutang-hutang yang ditimbulkan dalam melakukan
pengurusan harta milik pribadi tersebut.
Pengurusan harta benda perkawinan diatur dalam Pasal 36 ayat (1) dan (2) Undang-
Undang Perkawinan, yang berbunyi sebagai berikut:
“mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan
kedua belah pihak (ayat 1), mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan
istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai
harta bendanya (ayat 2).”
Dari ketentuan ayat 1 tersebut, terkait pengurusan harta bersama dilakukan oleh suami
maupun isteri setelah memperoleh persetujuan dari isteri atau suami dengan
dilangsungkannya perkawinan itu. Namun untuk perbuatan-perbuatan hukum yang sifatnya
mengakibatkan berpindahnya harta benda tersebut pada pihak ketiga harus memperoleh
persetujuan dari pihak suami atau pihak isteri. Jika isteri yang akan melakukan perbuatan

6
Wahyono Darmabrata, Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan Dan Keluarga Di Indonesia, (Rizkita:
Jakarta, 2002), hlm. 66.

10
tersebut, maka ia harus memperoleh persetujuan dari suaminya dan apabila suami yang
melakukan perbuatan hukum, harus mendapat persetujuan isterinya.
Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya
untuk melakukan perbuatan hukum mengenai bendanya. Dengan demikian tidak diperlukan
adanya persetujuan dari pihak lain suami/isteri itu apabila ia akan melakukan perbuatan
hukum mengenai harta bendanya tidak sebagaimana halnya harta bersama.

2.5 Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan


Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur secara rinci mengenai akibat yang timbul
setelah dibuatnya perjanjian perkawinan oleh calon suami istri sebelum dilangsungkannya
perkawinan. Apabila dilihat dari penafsiran rumusan Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan,
perjanjian perkawinan hanya dimaksudkan untuk mengatur hak dan kewajiban di bidang
hukum harta kekayaan menyimpang dari ketentuan undang-undang (sebatas dimungkinkan
undang-undang) atau mengenai pemisahan harta perkawinan secara bulat.7
Apabila dihubungkan dengan harta benda perkawinan, dengan adanya perjanjian
perkawinan, dapat terjadi perubahan dalam hal calon suami isteri melakukan tindakan
terhadap harta kekayaan mereka baik mengenai harta bawaan, atau harta yang didapatkan
sebelum perkawinan, dan/atau sesudah perkawinan berlangsung. Perjanjian perkawinan
tersebut bertujuan untuk memisahkan harta bersama, dimana dengan adanya perjanjian
perkawinan tersebut tidak ada lagi harta bersama karena harta asal atau bawaan suami isteri
tetap terpisah. Hal tersebut mengakibatkan harta yang diperoleh suami selama perkawinan
adalah milik suami dan harta yang diperoleh istri selama perkawinan adalah milik istri. Selain
itu, karena tidak ada harta bersama, baik suami maupun istri tidak membutuhkan persetujuan
pasangan mereka masing-masing dalam melakukan perbuatan hukum terhadap harta pribadi
mereka.8

2.6 Putusnya Perkawinan


Terputusnya suatu perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan tercantum pada
Pasal 38, dimana perkawinan dapat putus karena:
1) Kematian
Kematian sesuatu hal yang tidak dapat dihindari oleh manusia. Kematian
menimbulkan akibat hukum. Kematian dalam hal perkawinan merupakan suatu
peristiwa meninggalnya salah satu pihak atau kedua pihak yang menjadi subjek
hukum dalam perkawinan. Jika salah satu pihak baik suami atau istri meninggal dunia

7
Wahyono Darmabrata, Tinjauan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
Pelaksanaannya, (CV Gitama Jaya Jakarta: Jakarta, 2003), hlm. 91.
8
Erdhyan Paramita dan Irnawan Darori, “Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan yang Tidak Disahkan
oleh Pegawai Pencatat Perkawinan” Jurnal Repertorium. Vol. 6 No. 2 Juli-Desember 2017, hlm. 35-36.

11
dengan sendirinya perkawinan itu terputus, pihak yang masih hidup diperbolehkan
kawin lagi, apabila segala persyaratan yang telah di tentukan oleh ketentuan yang
berlaku di penuhi sebagaimana mestinya. Undang-Undang Perkawinan tidak
menyebutkan berapa lama jangka waktu untuk menetapkan hilangnya atau dianggap
meninggalkan seseorang itu, berdasarkan KUHPerdata Pasal 493, apabila selain
terjadinya meninggalkan tempat tinggal dengan sengaja, seorang diantara suami istri
selama genap sepuluh tahun tidak hadir di tempat tinggalnya, sedangkan kabar
tentang hidup atau matinya pun tidak pernah diperolehnya, maka istri atau suami yang
ditinggalkannya atas izin dari Pengadilan Negeri tempat tinggal suami istri bersama
berhak memanggil pihak yang tidak hadir tadi dengan tiga kali panggilan umum
berturut-turut dengan cara seperti yang di atur dalam Pasal 467 dan 468.9 Selanjutnya
menurut Lili Rasjidi, yang dimaksudkan dengan Pasal 467 KUHPerdata yang
disebutkan oleh pasal tersebut diatas ialah ketentuan yang berkenaan dengan di
anggap meninggalnya seseorang dimana antara lain disyaratkan paling tidak ada kabar
beritanya untuk masa lima tahun atau lebih, yakni jangka terakhir terdengar berita
orang masih hidup, pengadilan akan memanggil orang yang mengatakan hal tersebut
melalui sebaran umum untuk menghadap dalam waktu tiga bulan, panggilan ini akan
diulangi tiga kali jika panggilan yang pertama dan kedua tidak mendapatkan
sambutan maka setelah itu barulah pengadilan akan membuat suatu ketetapan tentang
telah dianggapnya meninggalnya orang itu.10 Dengan putusnya perkawinan karena
kematian maka terbukanya hak mewarisi antara suami dan istri, suami memperoleh
bagian dari harta warisan istrinya, tidak mungkin terhalang oleh siapa pun dan tidak
pernah menghalangi ahli waris lain, akan tetapi bagian suami bisa berbeda antara ada
anak dari istri atau tidak ada anak.

2) Perceraian
Perceraian adalah putusnya ikatan lahir batin antara suami dan istri yang
mengakibatkan berakhirnya hubungan keluarga (rumah tangga) antara suami dan
istri.11 Perceraian berakibat hukum putusnya perkawinan. Abdul Ghofur Anshori
menjelaskan bahwa putusnya perkawinan berarti berakhirnya hubungan suami istri.

9
Amiur Nuruddin. dkk, Hukum Perdata Islam di Indonesia studi Kristis Perkembangan hukum Islam
dari fikh, UU NO. 1 Tahun 1997 sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 216-217.
10
Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, (Bandung: Alumni,
1982) , hlm 291.
11
Muhammad Syaifuddin. dkk, Hukum Perceraian, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014) , hlm. 18.

12
Putusnya perkawinan itu tergantung kepada siapa yang menginginkannya. Dalam hal
ini ada 3 penjelasan bahwa :
1. Putusannya Perkawinan atas kehendak suami karena adanya alasan tertentu
dan dinyatakan kehendaknya itu dengan ucapan tertentu Perceraian dalam
bentuk ini disebut talak.
2. Putusnya Perkawinan atas kehendak istri karena istri melihat sesuatu yang
menghendaki putusnya perkawinan. Sedangkan suami tidak berkehendak
untuk itu. Kehendak untuk putusnya perkawinan yang di sampaikan istri
dengan cara tertentu ini diterima oleh suami dan dilanjutkan dengan
ucapannya untuk memutuskan perkawinan itu. Yang diartikan sebagai
“khulu”.
3. Putusnya Perkawinan atas kehendak hakim sebagai pihak ketiga setelah
melihat adanya sesuatu suami dan istri yang menandakan tidak dapatnya
hubungan perkawinan itu dijalankan. Yang diartikan sebagai “fasakh”.12
Berdasarkan hal tersebut terdapat tiga hal yang memerlukan penjelasan yaitu : a.)
Tidak hadirnya salah satu pihak. Apabila salah satu pihak tidak hadir baik suami
maupun istri maka terdapat beberapa ketentuan yang mengatur lebih lanjut yaitu :
(1) Berdasarkan Pasal 493 KUHPerdata yang sudah di terangkan di atas demi izin
dari pengadilan negeri tempat tinggal suami istri bersama, bentuk memanggil
tak hadir tadi dengan tiga kali panggilan umum, berturut-turut dengan cara
seperti teratur dalam Pasal 467 dan 468 KUHPerdata.
(2) Kecuali ketentuan tersebut di atas terdapat ketentuan lain di dalam pasal
berikut yang pada prinsipnya menegaskan apabila setelah panggilan yang
ketiga kali, tidak datang menghadap baik suami istri tidak hadir, maupun, yang
membuktikan tentang masih hidupnya, maka Pengadilan Negeri boleh
memberi izin kepada istri atau suami yang ditinggalkan, untuk kawin dengan
orang lain. Ketentuan-ketentuan Pasal 469 berlaku dalam hal ini.
(3) Didalam Pasal 495 KUHPerdata dinyatakan apabila setelah pemberian izin ini,
namun sebelum perkawinan berlangsung, suami istri tidak hadir kiranya
pulang kembali, atau seorang lain datang membuktikan tentang masih
hidupnya, maka izin yang telah diberikan, demi hukum tak berlaku lagi.13
Didalam Pasal 209 KUHPerdata menyebutkan alasan-alasan yang dapat
mengakibatkan perceraian adalah:
1. Zinah
2. Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan iktikad jahat.

12
Muhammad Syaifuddin, dkk, Op.Cit., hlm. 17.
13
Ibid.

13
3. Penghukuman dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atas dengan
hukuman yang lebih berat, yang diucapkan setelah perkawinan.
4. Melukai berat atau penganiaya, dilakukan oleh suami atau istri terhadap istri
atau suaminya, yang demikian, sehingga membahayakan jiwa pihak yang
dilukai atau dianiaya, atau sehingga mengakibatkan luka-luka yang
membahayakan.

3) Atas keputusan pengadilan


Putusnya perkawinan atas keputusan pengadilan juga bisa terjadi karena adanya
permohonan dari salah satu pihak suami atau istri atau para anggota keluarga. Putusan
pengadilan sangat penting karena hakim sesuai dengan kewenangan memiliki apa
yang dikonsepsikan sebagai rule of recognition yaitu kaidah yang menetapkan kaidah
perilaku mana yang di dalam masyarakat hukum tertentu harus dipatuhi.14 Putusan
pengadilan menurut Undang-Undang Perkawinan adalah sumber hukum terpenting
setelah peraturan perundang-undangan, dalam hal ini Undang-Undang Perkawinan
dan peraturan pelaksanannya yang memuat ketentuan imperatif bahwa Perceraian
hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak, ini berarti
bahwa tidak ada perceraian jika tidak ada putusan pengadilan. Sebaliknya tidak ada
putusan pengadilan jika tidak ada perkara perceraian. Putusan pengadilan mengenai
perceraian yang diharuskan oleh Undang-Undang Perkawinan dapat menjadi
yurisprudensi dalam arti jika semua hakim di pengadilan menggunakan metode
penafsiran yang sama terhadap suatu norma-norma hukum perceraian dalam peraturan
perundang-undangan dan menghasilkan kejelasan yang sama, serta diterapkan secara
terus-menerus dan teratur terhadap perkara atau kasus hukum perceraian yang serupa
maka terbentuklah hukum perceraian yang berlaku umum yang harus ditaati oleh
setiap orang, jika perlu dapat digunakan paksaan oleh alat-alat negara supaya hukum
perceraian yang dibentuk oleh hakim di pengadilan tersebut betul-betul ditaati.15
Perceraian bagi pemeluk agama Islam proses dan penyelesaiannya dilakukan di depan
Pengadilan Agama, sedangkan bagi pemeluk agama non Islam proses dan
penyelesaianya dilakukan di depan Pengadilan Negeri. Walaupun perceraian itu
adalah urusan pribadi baik atas kehendak bersama maupun kehendak salah satu pihak
yang seharusnya tidak perlu adanya campur tangan dari pemerintah, namun demi

14
Sudarso, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005) , hlm. 148-155.
15
Muhammad Syaifuddin, dkk, Op.Cit., hlm. 100-102.

14
menghindarkan tindakan sewenang-wenang terutama dari pihak suami dan juga demi
kepastian hukum maka perceraian harus melalui lembaga Pengadilan. 16 Sebenarnya
secara teori hampir tidak ada perbedaan antara perceraian dengan putusnya
perkawinan atas dasar putusan pengadilan sebab perceraian sendiri harus berdasarkan
putusan pengadilan juga, letak perbedaannya ada pada dasar bahwa:
a. Alasan yang dipergunakan untuk mencapai putusan pengadilan tersebut,
disebut pada penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan.
Dimana untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara
suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.
b. Perceraian itu merupakan proses yang memperlihatkan adanya perselisihan
antara pihak sepihak dari pihak suami atau istri.17
Tetapi pendapat di atas ditinjau dari segi teoritisnya, sehingga dalam praktek sangat
sulit membedakannya, ada dua alasan lagi yang tidak disebut dalam pasal Undang-
Undang Perkawinan yaitu:
1) Karena tidak sanggup memberi nafkah. Apabila suami tidak mampu
mencukupi nafkah istri dapat meminta kepada pengadilan agar perkawinannya
dapat batal atau putus.
2) Alasan yang benar-benar murni putusan pengadilan adalah karena suami atau
istri hilang tidak tahu kemana perginya. 18 Tapi dalam hal ini harus dibedakan
dengan alasan meninggalkan tempat kediaman bersama selama dua tahun
tanpa persetujuan izin dari salah satu pihak. Dalam hal hilang, atau perginya
dari tempat kediaman diketahui dan atas persetujuan bersama antara suami dan
istri. Tujuan tersebut diketahui karena sebab sesuatu seperti kecelakaan atau
oleh karena bencana alam, tidak lagi diketahui keberadaannya sekalipun telah
diadakan perceraian. Ukuran waktu dalam Undang-Undang Perkawinan hal itu
tidak ada diatur. Tapi sekedar orentasi hukum, hukum Islam pada umumnya
berpegang pada jangka waktu empat tahun. Akan tetapi dalam hal tersebut istri
dapat meminta putusan dari pengadilan bahwa perkawinannya telah putus
dengan suaminya berdasarkan keadaan hilangnya suami.19

2.7 Akibat Hukum Putusnya Perkawinan Karena Perceraian Terhadap Harta


Perkawinan
Dengan putusnya perkawinan yang diakibatkan oleh karena perceraian antara suami
istri, maka terjadilah pembagian harta benda perkawinan antara suami istri. Harta benda yang
16
Ibid.
17
M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm. 179.
18
Ibid.
19
Ibid., hlm. 179-180.

15
diperoleh semasa perkawinan oleh suami istri, maka harta akan menjadi milik bersama
dengan tanpa mempersoalkan siapa yang mendapatkan atau mencari nafkah. Apabila ada
harta benda yang dibawa ke dalam perkawinan oleh istri atau suami, maka harta berada
dalam kekuasaan pihak suami dan pihak istri. Harta bersama suami atau istri dapat bertindak
atas persetujuan kedua belah pihak. Suami ingin melakukan sesuatu terhadap harta bersama,
haruslah terlebih dahulu mendapat persetujuan kedua belah pihak suami istri.
Dalam Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan menentukan bahwa bila perkawinan
putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Penjelasan
Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan menentukan bahwa yang dimaksud dengan hukumnya
masing-masing adalah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya. Penjelasan
tersebut bermaksud memberikan jalan sebagai upaya hukum agar pengaturannya lebih lanjut
mengenai harta bersama apabila perkawinan suami-isteri tersebut putus karena perceraian
agar diatur menurut hukum agama, hukum adat, dan hukum-hukum lainnya, jadi diatur
menurut hukum yang ada sebelum atau pada saat peristiwa perceraian tersebut tersebut terjadi
bagi suami-isteri yang bersangkutan.
Keraguan dalam menetapkan ketentuan hukum dalam harta bersama apabila terjadi
perceraian akan banyak yang mencari dan menemukan kesadaran hukum masyarakat untuk
dituangkan sebagai hukum objektif. Dapat dilihat dari beberapa putusan pengadilan sebagai
pertimbangan Pengadilan Tinggi Medan tertanggal 30 Desember 1971 sesuai dengan
kesadaran perkembangan hukum Indonesia di pandang adil, bahwa harta bersama (syarikah),
yang harus dibagi dua antara suami istri apabila terjadi perceraian. Pembagian harta bersama
suami istri setelah terjadinya perceraian yang terdapat di dalam Undang-Undang Perkawinan
yang didukung oleh beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung yang menyebutkan bahwa20:
1. Mahkamah Agung tanggal 9 April 1960 No. 120 K/Sip/1960 yaitu apabila
perkawinan putus maka harta bersama harus dibagi rata antarna suami istri.
2. Mahkamah Agung No. 41 K/AG/1994 yaitu bahwa memutuskan menghukum dan
memerintahkan kepada Tergugat untuk membagi dan memberikan harta bersama
yaitu 50% bagian Penggugat dan 50% bagian untuk tergugat.
3. Mahkamah Agung tanggal 8 Januari 1998 No. 189 K/AG/1996 yaitu bahwa harta
bersama Tergugat dan Penggugat merupakan harta pendapatan bersama maka
harus mendapat setengah bagian.

20
Elfina Tanjung, “Dampak Perceraian Terhadap Harta Bersama Menurut Hukum Islam Dan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan” Jurnal Hukum Samudra Keadilan. Vol. 10 No. 1 Januari-
Juni 2015, hlm. 56.

16
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Kasus Posisi


- Bahwa antara Dr. Hardi Soetanto (untuk selanjutnya disebut Penggugat) dan Dr.
Fransisca Falentina Linawati (untuk selanjutnya disebut Tergugat I) telah
melangsungkan perkawinan di Kantor Catatan Sipil Kabupaten Dati II Tuban pada
tanggal 20 Juli 1994. Bahwa perkawinan Penggugat dan Tergugat I telah putus karena
perceraian sebagaimana tertuang dalam Putusan Pengadilan Negeri Nomor
203/Pdt.G/2011/PN Malang tertanggal 16 April 2012 jo. Putusan Pengadilan Tinggi
Nomor 440/PDT/2012/PT Sby tertanggal 19 November 2012 dan telah berkekuatan
hukum tetap. Sebelum perkawinan pihak penggugat dan Tergugat I telah membuat
perjanjian kawin sebagaimana tertuang dalam Akta Perjanjian Nikah Nomor 200
tertanggal 08 Juli 1994 yang dibuat dihadapan Eko Handoko Wijaya, SH. (untuk
selanjutnya disebut Perjanjian Kawin). Perjanjian Kawin yang dibuat diantara
Penggugat dan Tergugat I tidak pernah teregister di Kantor Dinas Kependudukan dan

17
Pencatatan Sipil Kabupaten Tuban maupun tidak pernah didaftarkan ke Kantor
Kepaniteraan Pengadilan Negeri Tuban Adapun dalam perkawinan Penggugat dan
Tergugat I telah menghasilkan kekayaan diantaranya :
1. Rumah yang terletak di Taman Ijen Blok B-6 Perumahan Pahlawan Trip, Klojen-
Malang
2. Rumah yang terletak di Taman Ijen Blok B-7 Perumahan Pahlawan Trip, Klojen-
Malang
3. Rumah yang terletak di Taman Ijen Blok B-8 Perumahan Pahlawan Trip, Klojen-
Malang
4. Rumah yang terletak di Taman Ijen Blok B-27 Perumahan Pahlawan Trip,
Klojen-Malang
5. Harta-harta lainnya baik bergerak maupun tidak bergerak.
Bahwa seluruh harta tersebut dikuasai oleh Tergugat I dan diatasnamakan Tergugat I
dan kedua anak kandung tergugat I.

3.2. Analisis Putusan Berdasarkan Hasil Diskusi Kelompok


- Bahwa atas kasus posisi tersebut di atas, Pengadilan Negeri Tuban telah memberikan
Putusan Nomor 25/Pdt.G/2013/PN.Tbn., tanggal 25 November 2013, dengan amar
sebagai berikut:

“Dalam Eksepsi:
1. Menolak eksepsi Tergugat I untuk seluruhnya;
2. Menyatakan batal Perjanjian Nikah Nomor 200 tertanggal 200 tertanggal 8 Juli
1994 dibuat dan ditandatangani di hadapan Turut Tergugat/Eko Handoko
Widjaja, S,H., Notaris di Malang, dengan segala akibat hukumnya;
3. Menyatakan seluruh harta yang diperoleh selama perkawinan antaa Penggugat
dengan Tergugat I menjadikan harta bersama Penggugat dan Tergugat I;
4. Menghukum Tergugat I untuk membagi harta bersama yang diperoleh selama
perkawinan Penggugat dan Tergugat I yang besarnya sama rata antara
Penggugat dan Tergugat I;

18
5. Menyatakan sita atas harta bersama yang diperoleh selama perkawinan
Penggugat dan Tergugat (marital beslag) yang telah diletakkan oleh Pengadilan
Negeri Tuban sah dan berharga;
6. Menghukum Tergugat I, Tergugat II dan Turut Tergugat untuk tunduk pada
putusan ini;
7. Menghukum Tergugat I, Tergugat II dan Turut Tergugat untuk membayar biaya
perkara yang sampai saat ini ditetapkan sebesar Rp1.172.000 (satu juta seratus
tujuh puluh dua ribu rupiah);
8. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya;”

- Selanjutnya atas Putusan Pengadilan Negeri Tuban a quo, Pengadilan Tinggi


Surabaya telah mengeluarkan Putusan Nomor 1224/PDT/PT.SBY., tanggal 17 April
2014 yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Tuban sebagai berikut:

“1. Menerima permohonan banding dari Pembanding/Tergugat I;


2. Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Tuban tanggal 25 November 2013,
Nomor 25/Pdt.G/2013/PN.Tbn yang dimohonkan banding;
3. Menghukum Pembanding/Tergugat I untuk membayar biaya perkara dalam kedua
tingkat pengadilan yang dalam tingkat banding ditetapkan sebesar Rp150.000,00
(seratus lima puluh ribu rupiah);”

- Adapun terhadap Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya selanjutnya dimohonkan


Kasasi ke Mahkamah Agung oleh Tergugat I yang atas permohonan tersebut
Mahkamah Agung RI justru membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Surabaya No.
12/Pdt.G/2013/PN.Tbn., tanggal 25 November 2013 sebagai berikut:

“- Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi Dr. F.M. Valentina, S.H.,
atau disebut Fransisca Falentina Linawati, atau disebut juga Linna, tersebut;
- Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor
124/Pdt/2014/PT.Sby, tanggal 17 April 2014, yang membatalkan Putusan
Pengadilan Negeri Tuban Nomor 25/Pdt.G/2013/PN.Tbn., tanggal 25 November
2013;
MENGADILI SENDIRI:
- Menolak gugatan Penggugat;

19
- Memerintahkan mengangkat sita atas harta bersama yang diperoleh selama
perkawinan Penggugat dan Tergugat I (marital beslag) yang telah diletakkan
oleh Pengadilan Negeri Tuban;
- Menghukum Termohon Kasasi/Penggugat/Terbanding untuk membayar biaya
perkara dalam semua tingkat peradilan yang dalam tingkat kasasi ini ditetapkan
sejumlah Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah);”

Bahwa sesudah Putusan Mahkamah Agung Nomor 503 K/Pdt./2015 tanggal 22 Juni
2015 yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tersebut, Penggugat mengajukan
permohonan peninjauan kembali pada tanggal 10 Juni 2016 dengan alasan yang pada
intinya sebagai berikut:

1. Terdapat Putusan Mahkamah Agung Dalam Perkara Pidana Yang


Bertentangan Dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 503 K/Pdt/2015
tanggal 22 Juni 2015 Yakni Putusan Mahkamah Agung Nomor 1126
K/Pid/2014 tanggal 11 Februari 2015 dimana Tergugat (Pemohon Peninjauan
Kemballi) Dr. Hardi S didakwa dengan Pasal 362 juncto 367 ayat (2) terkait
adanya pencurian dalam keluarga yakni disangka telah mengambil Sertifikat-
Sertifikat milik Tergugat Valentina Linawati yang bukan merupakan hak dari
Penggugat/Dr. Hardi karena terjadi pisah harta. Terhadap dakwaan tersebut
Mahkamah Agung telah memberikan putusan bahwa Dr. Hardi tidak bersalah dan
dibebaskan dari segala dakwaan dengan pertimbangan yang pada intinya
menyatakan bahwa:

1. Pasal 29 ayat 1 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 menghendaki


adanya perjanjian kawin harus dicatat oleh Pegawai Pencatat Perkawinan
dan pasal tersebut secara imperative agar perjanjian perkawinan tersebut
sah;
2. Dari fakta di persidangan terungkap bahwa dalam perkawinan antara Dr.
Hardi dan Valentina Linawati secara hukum tidak pernah ada perjanjian
pemisahan harta perkawinan;
3. Bahwa oleh karena perjanjian kawin tersebut ternyata tidak dicatatkan
maka perjanjian tersebut tidak sah

2. Adanya Suatu Kekhilafan Hakim Atau Suatu Kekeliruan Yang Nyata, bahwa
dua Hakim Agung telah keliru mengartikan atau menafsirkan mengenai Perjanjian
Kawin, yang dalam perkara a quo 2 (dua) Hakim Agung telah menyamakan

20
”Perjanjian” secara umum dengan ’Perjanjian Kawin’ dan dalam pertimbangannya
tidak menggunakan landasan hukum sama sekali padahal telah jelas diatur
berdasarkan Hukum Perkawinan mengenai Perjanjian Kawin secara khusus yakni
berdasarkan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta
Peraturan Pelaksananya yakni Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang
merupakan hukum khusus dalam Perkawinan. Perjanjian Kawin yang dibuat
dengan Akta Nomor 200 tanggal 8 Juli 1994 adalah jelas-jelas mengandung cacat
baik formil maupun materiil. Dari segi formil adalah bahwa akta perjanjian kawin
yang dibuat tidak pernah didaftarkan di Kantor Catatan Sipil Tuban dan tidak
pernah ada register nomor pendaftaran Perjanjian Kawin tersebut.

Bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut Mahkamah Agung RI


ternyata mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali Penggugat dengan
pertimbangan telah terdapat kekhilafan atau kekeliruan yang nyata dalam putusan
Judex Juris yang membatalkan putusan Judex Facti dengan alasan:

“- Bahwa interpretasi Judex Juris terhadap ketentuan Pasal 29 ayat (1) Undang
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa perjanjian perkawinan
yang dilakukan di hadapan Notaris sudah memenuhi syarat formil merupakan
interpretasi yang terlalu luas sehingga telah mengubah makna Pasal 29 ayat (1)
Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974. Di dalam Pasal 29 ayat (1) Undang
Undang Nomor 1 Tahun 1974 pada pokoknya menyatakan bahwa perjanjian
tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, (bukan oleh Notaris).
Oleh sebab itu penerapan Pasal tersebut harus sesuai tata bahasa Pasal tersebut
dan tidak boleh ditafsirkan lain;
- Bahwa ketentuan Pasal 29 ayat (1) Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan bersifat imperatif dan bersifat publik yang harus ditaati;”

Mahkamah Agung dalam amar Putusan Peninjauan Kembali selanjutnya menyatakan


Perjanjian Nikah Nomor 200 tanggal 8 Juli 1994 BATAL DENGAN SEGALA
AKIBAT HUKUMNYA dan menyatakan seluruh harta yang diperoleh selama
perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat I menjadikan HARTA BERSAMA
Penggugat dan Tergugat I. Mahkamah Agung selanjutnya menghukum Tergugat I
untuk membagi harta bersama yang diperoleh selama perkawinan Penggugat dan
Tergugat I yang besarnya sama rata antara Penggugat dan Tergugat I.

21
Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka menurut pendapat kami, Putusan
Mahkamah Agung dalam Peninjauan Kembali Nomor 598 PK/Pdt/2016 yang
mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali Penggugat telah tepat karena :

1. Putusan Kasasi Nomor 503 K/PDT/2015 telah mengabaikan ketentuan


dalam pasal 29 Undang-Undang Perkawinan.
Majelis Hakim Peninjauan Kembali telah tepat dengan membatalkan Putusan
Mahkamah Agung Nomor 503 K/PDT/2015 yang isinya mempertimbangkan
bahwa “sesuai hukum pendaftaran perjanjian kawin bukanlah syarat formil
suatu sahnya perjanjian, karena perjanjian tersebut telah dibuat dihadapan notaris
sehingga syarat formil telah terpenuhi”. Dalam putusan tersebut jelas Majelis
Hakim pada tingkat Kasasi tidak menerapkan asas lex specialis derougat legi
generali, yang mana terhadap perjanjian kawin berlaku undang-undang khusus
yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan
Pelaksanaan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Majelis Hakim pada tingkat Kasasi telah mengabaikan ketentuan dalam pasal 29
Undang-Undang Perkawinan bahwa perjanjian perkawinan harus disahkan oleh
pegawai pencatat perkawinan yang mana isinya baru berlaku kepada pihak ketiga
setelah perjanjian perkawinan yang tertulis tersebut disahkan oleh Pegawai
Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil).

2. Perjanjian Kawin Yang Dibuat Antara Pengugat dan Tergugat I


Mengandung Cacat Formil dan Tidak Berlaku Sah Menurut UU No. 1/1974
tentang Perkawinan
Apabila merujuk pada Pasal 29 UU No. 1/1974 tentang Perkawinan yang
menyatakan bahwa perjanjian perkawinan berlaku terhadap pihak ketiga setelah
disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, maka Perjanjian Perkawinan yang
dibuat antara Penggugat dan Tergugat I yang tidak dicatatkan oleh Pegawai
Pencatat Perkawinan dapat dikatakan cacat secara formil dan tidak berlaku secara
sah dan sehingga oleh karenanya keberadaannya pun tidak mengikat pihak ketiga.

3. Terhadap Perjanjian Perkawinan antara Penggugat dan Tergugat I Dapat


Dimintakan Pembatalan
Bahwa perjanjian kawin antara Penggugat dan Tergugat I yang tanpa pengesahan
dari pegawai pencatat perkawinan tidak memenuhi syarat formil sehingga
akibatnya dapat diajukan pembatalan yang mana dalam hal ini Mahkamah
Agung dalam Putusan Penijauan Kembali telah tepat untuk mengabulkan

22
pengajuan pembatalan yang diajukan oleh Penggugat sehingga perjanjian
perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi dan tidak mempunyai
kekuatan mengikat secara hukum.

4. Harta yang Diperoleh Sepanjang Perkawinan Penggugat dan Tergugat I


Merupakan Harta Bersama
Bahwa dengan dibatalkannya Perjanjian Kawin antara Penggugat dan Tergugat I
maka akibat hukum yang terjadi adalah keadaan dikembalikan pada saat
perjanjian itu terjadi, sehingga oleh karenanya berlaku prinsip kedudukan harta
benda dalam perkawinan dimana harta yang diperoleh Penggugat dan Tergugat I
selama perkawinan merupakan harta bersama. Sehingga terhadap harta-harta
yang disita berdasarkan Putusan pada tingkat Kasasi telah tepat untuk dilakukan
pembagian sama rata antara Penggugat dan Tergugat I, karena harta-harta
tersebut adalah harta yang diperoleh dalam perkawinan atau disebut sebagai harta
bersama sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 35 Undang-Undang
Perkawinan.

23
BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
4.1.1. Perjanjian perkawinan yang tidak disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan
tidak memenuhi ketentuan pasal 29 ayat (1) Undang- Undang Perkawinan
sehingga perjanjian tersebut tidak berlaku secara sah.
4.1.2. Akibat hukum apabila perjanjian perkawinan tidak didaftarkan pada pegawai
pencatatan perkawinan maka perjanjian perkawinan tersebut tidak mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat terhadap pihak ketiga, dan dianggap tidak ada
perjanjian perkawinan oleh pihak ketiga. Sehingga tidak ada keberlakuan
pemisahan harta bersama dalam perkawinan.

4.2. Saran
4.2.1. Menurut pandangan kami, Undang-Undang Perkawinan tersebut sebaiknya
diberikan penjelasan lebih rinci terkait pengesahan perjanjian perkawinan. Hal
ini dimaksudkan agar terjadi kesatuan dan kepastian hukum yang sama dalam
keabsahan suatu perjanjian perkawinan.
4.2.2. Dalam hal ini kami menyarakan agar para notaris memberikan penyuluhan
hukum khususnya terkait pembuatan dan pengesahan atas perjanjian
perkawinan yang dibuat oleh kedua pihak yang melakukan perkawinan, hal ini
mengingat bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-
XIII/2015, perjanjian perkawinan dapat disahkan oleh Pegawai Pencatat
Perkawinan atau Notaris.

24
DAFTAR PUSTAKA

Darmabrata, Wahyono, Surini Ahlan Sjarif. Hukum Perkawinan Dan Keluarga Di Indonesia.
Rizkita: Jakarta, 2002.
__________________. Tinjauan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
dan Pelaksanaannya. CV Gitama Jaya Jakarta: Jakarta, 2003.
Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. LN No. 1 Tahun
1974. TLN No. 3019.
Nuruddin, Amiur. dkk, Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi Kristis Perkembangan
hukum Islam dari Fikh, UU No. 1 Tahun 1997 sampai KHI. Jakarta: Kencana, 2006.
Prawirohamidjojo, Soetojo. Pluralisme dalam perundang-undangan perkawinan di
Indonesia. Airlangga University Press: Surabaya, 1986.
Paramita, Erdhyan dan Irnawan Darori. “Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan yang Tidak
Disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan” Jurnal Repertorium. Vol. 6 No. 2 Juli-
Desember 2017.
Rasjidi, Lili. Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia. Bandung:
Alumni, 1982.
Syaifuddin, Muhammad. dkk, Hukum Perceraian. Jakarta: Sinar Grafika, 2014.
Sudarso, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005) , hlm. 148-155.
Subekti, Wienarsih Imam, Sri Soesilowati Mahdi. Hukum Perorangan Dan Kekeluargaan
Perdata Barat. Gitama Jaya Jakarta: Jakarta, 2005.
Tanjung, Elfina. “Dampak Perceraian Terhadap Harta Bersama Menurut Hukum Islam Dan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan” Jurnal Hukum Samudra
Keadilan. Vol. 10 No. 1 Januari-Juni 2015.

25

Anda mungkin juga menyukai