Anda di halaman 1dari 23

Nama : Hanifah Lismaningtias

NIM : 190311615239
Jurusan/Offering : Matematika/B
Mata Kuliah : Dasar-Dasar Sains

BAB X

POSITIVISME AUGUSTE COMTE

A. Riwayat Hidup Auguste Comte


Auguste Comte dilahirkan di Montpellier, Perancis, tahun 1798. Dia mendapat
pendidikan di Ecole Polytechnique di Paris dan lama hidup di sana. Auguste Comte memulai
karir profesionalnya dengan memberi les dalam bidang matematika, namun meskipun
demikian perhatian yang sebenarnya adalah pada masalah-masalah kemanusiaan dan sosial.
Karya Comte di bawah asuhan Saint Simon terlihat sangat meyakinkan, dia memiliki
kecemerlangan intelektual dan ketekunan untuk membuat dirinya menjadi seorang tokoh yang
terpandang di kalangan intelektual Perancis. Namun, setelah hubungannya dengan Saint
Simon retak, dia tetap sebagai orang luar akademi. Sebagian hal ini mungkin disebabkan oleh
sifat-sifat tertentu dari kepribadiannya. Dia menderita gejala paranoid yang kadang-kadang,
dengan kasar, kegilaannya itu diarahkan kepada teman-teman dan lawannya. Pada suatu waktu
segera usai awal serangkaian kuliahnya dalam suatu kasus privat, dia menderita gangguan
mental yang serius dan dimasukkan ke rumah sakit karena penyakit “keranjingan”(mania).
Tak lama setelah dipulangkan dari rumah sakit (tanpa sembuh), dia gagal merenggut
nyawanya sendiri dengan membuang diri ke Sungai Seine dan sesudahnya terus berada dalam
suatu keadaan hati yang remuk redam.
Sementara Comte mengembangkan filsafat positifnya, Ia menikah dengan Caroline
Massin,seorang wanita yang telah lama menderita dan menanggung beban ekonomi dan
emosional bersama Comte. Ia dengan sabar merawat Comte, memenuhi kebutuhan Comte,
dan merawatnya sampai sembuh meskipun kadang-kadang memperoleh perlakuan kasar oleh
Comte. Setelah berpisah, istrinya pergi dan membiarkan dia sengsara dan gila (Paul Jhonson,
Robert MZ, Lawang, 1986 : 77)
Tahun 1844, dua tahun setelah dia menyelesaikan enam jilid karya besarnya yang
berjudul Course of Positive Philosophy, Comte bertemu dengan Clothilde de Vaux, seorang
ibu yang mengubah kehidupan Comte. Walaupun saling berkirim surat cinta beberapa kali,
namun Clothilde menganggap hubungan itu hanyalah persaudaraan saja namun, romantika ini
tidak berlangsung lama. Clothilde de Laux mengidap penyakit TBC dan hanya beberapa bulan
setelah bertemu dengan Comte ia meninggal. Kehidupan Comte lalu tergoncang, dia
bersumpah untuk membaktikan hidupnya untuk mengenang “bidadari”-nya itu.
Sifat tulisan Comte berubah secara mencolok setelah menjalin hubungan dengan
Clothilde de Laux. Dia memulai karya bagian kedua, yakni System of Positive Politics yang
menjadi suatu bentuk perayaan cinta, tetapi dengan keinginan besar yang sama, yakni
membangun sistem menyeluruh.
Karena untuk mengenang "bidadari"-nya itu, karya Comte didasarkan pada gagasan
bahwa kekuatan yang sebenarnya mendorong orang dalam kehidupannya adalah perasaan.
Dia mengusulkan reorganisasi masyarakat untuk membangkitkan cinta murni dan tidak
egoistis, demi "kebesaran kemanusiaan". Tujuannya mengembangkan agama baru -agama
Humanitas- yang merupakan sumber bagi perasaan manusia dan mengubahnya dari cinta diri
dan egoisme menjadi altruisme dan cinta.
Humanitas merupakan objek utama pemujaan dalam agama baru itu, tetapi
konsepnya terlalu kabur untuk masyarakat biasa. supaya lebih jelas, wanita atau kewanitaan
akan disembah sebagai perwujudan perasaan dan pernyataan paling lengkap dari cinta dan
altruisme. Dalam kehidupannya Clothilde de Laux menggantikan bunda perawan maria dan
menjadi simbol wanita ideal. Hubungan Comte dan Clothilde merupakan hubungan cinta
murni tanpa hubungan fisik (menyebabkan Comte sangat frustasi). Sesudah kematian istrinya
Comte menyembah roh wanita yang dia temukan sedemikian indah. Comte sangat terpikat
oleh pandangannya mengenai masyarakat positivis masa depan sehingga dia membayangkan
kelahiran akan keluar begitu saja dari wanita tanpa hubungan seks.
Perubahan dalam tulisan Comte membingungkan kalangan cendekiawan Perancis.
Menurut mereka pemujaan terhadap perasaan menyangkal tulisan Comte dalam buku Course
of Positive Philosophy dan kepercayaan akan kemajuan dari pikiran manusia. Namun proyek
penelitian ilmiah harus tunduk pada kemudian apakah meningkatkan kebahagiaan manusia
dan cinta. Comte menjadi sangat otoriter. Ia menyatakan dirinya sebagai "pendiri agama
universal, Imam agung humanitas". Untuk mengimbangi berkurangnya dukungan intelektual,
dia beralih ke masyarakat luas dan pimpinan politik. Comte mengharapkan ahli sosiologi
mengikuti bimbingannya sebagai penjaga moral dan iman, dengan memberikan pengarahan
pada pemimpin industri dan politik. Inilah gagasan misi Comte pada 1857 saat dia mendapat
serangan kanker dan meninggal. Tahun-tahun sesudah revolusi Perancis berkaitan dengan
kehidupan Comte sangat penting. Kehancuran akibat revolusi itu adalah awal dari masyarakat
baru yang didasarkan pada prinsip hukum alam mengenai persamaan dan kebebasan. Revolusi
perancis merupakan tuntutan moralitas intelektual dan kemerdekaan filosofis. Kepercayaan
ahli flsafat pencerahan pada kemampuan mengubah masyarakat sesuai prinsip ilmiah tidak
terbatas sehingga Comte memiliki cukup alasan untuk melakukan pencarian kebenaran dalam
pijakan filosofia. Kehidupan cintanya telah memengaruhi altruisme filosofinya, yakni
perasaan bersumber dari wanita.
Optimisme intelektual tidak hanya pada jiwa Comte. Saint simon memperhatikan
optimisme pencerahan ini. Kelompok rasional memiliki pandangan tentang masyarakat
dimana aristokrasi diganti tahayul, dominasi agama diganti ilmu pengetahuan, paksaan diganti
sukarela. Pintu masuk yang dibuka rasionalitas manusia menjamin masyarakat yang cerah dan
lebih manusiawi. Sumbangan Comte terhadap perkembangan filsafat dibarengi
sumabngannya terhadap sosiologi. Seperti dapam positivismenya, Ia menerima pandangan
dunia ilmiah dan strategi pembaharuan masyarakat.
Perspektif organik menekankan masyarakat sebagai organisme. Bagi Comte
masyarakat yang benar hanya dapat mempertahankan kebenaran jika senantiasa memahami
fungsi sosial sebagaimana fungsi biologis. Dalam perspektif organik ada bahaya bahwa usaha
membentuk pembaharuan mungkin mengganggu keutuhan masyarakat sehingga masyarakat
tersebut hancur. Mereka yang menerima pandangan ini takut bahwa tekanan positivis pada
pembaharuan akan mengahncurkan dasar-dasar tatanan sosial dengan merombak konsensus
moral. Kaum organisis juga lebih menyukai masyarakat hierarkis radisional daripada tekanan
positivis, karena masyarakat organik berlandas pada pergantungan antara individu.

B. Pengertian Positivisme
Positivisme diperkenalkan oleh Auguste Comte (1798-1857) yang tertuang dalam
karyanya Course de Philosophic Positive, yaitu kursus tentang filsafat positif (1830-1842)
yang diterbitkan dalam enam jilid. Selain itu karyanya Discour Lesprit Positive (1844) yang
artinya Pembicaraan tentang Jiwa Positif. Dalam karya inilah, Comte menguraikan secara
singkat pendapat-pendapat positivis, hokum tiga stadia, klasifikasi ilmu-ilmu pengetahuan,
dan bagian mengenai tatanan dan kemajuan. (Juhaya S. Pradja, 2000 : 89)
Positivisme berasal dari kata “positif” yang artinya faktual, yaitu apa yang
berdasarkan fakta-fakta. Menurut positivism pengetahuan tidak boleh melebihi fakta-fakta.
Positivisme menolak cabang filsafat metafisika. Menanyakan “hakikat” benda-benda atau
“penyebab yang sebenarnya” bagi positivisme tidaklah mempunyai arti apa-apa. Positivisme
tidak menerima sumber pengetahuan melalui pengalaman batiniah, Ia hanya mengandalkan
fakta-fakta belaka.

C. Perspektif Positivistik tentang Masyarakat

Kaum positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dan bahwa
metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum hukum yang
sudah tersebar luas lingkungan intelektual pada masa Comte. Tetapi, kebanyakan kelompok
positivis berasal dari kalangan orang orang yang progresif, yang bertekad mencampakkan
tradisi tradisi irasional dan memperbarui sehingga menjadi lebih rasional. Comte percaya
bahwa penemuan hukum alam akan membukakan batas batas yang pasti dalam kenyataan
sosial, dan jika melampaui batas batas itu, usaha pembaharuan akan merusakkan dan
menghasilkan yang sebaliknya.

Comte melihat masyarakat sebagai suatu keseluruhan organik yangkenytaannya


lebih daripada sekedar jumlah bagian bagian yang saling bergantung , tetapi untuk mengerti
kenyataan ini, metode penelitian empitris harus digunakan dengan keyakinan bahwa
masyarakat merupakan bagian dari alam. Andreski berpendapat, pemikiran Comte tersebut
merupakan sumbangan yang tak terhingga nilainya terhadap perkembangan sosisologi.

Comte melihat perkembangan ilmu tentang masyarakat yang bersifat alamiah sebagai
puncak suatu proses kemajuan intelektual yang logis yang telah dilewati oleh ilmu ilmu
lainnya. Kemajuan ini mencakup perkembangan dari bentuk pemikiran teologis purba,
penjelasan metafisik, dan akhirnya sampai terbentuknya hukum hukum ilmiah yang positif.
Bidang sosiologi(fisika sosial) adalah paling akhir melewati tahap tahap ini, karena pokok
permasalahannya lebih kompleks daripada yang terdapat pada ilmu fisika dan biologi.

Mengatasi cara cara berpikir mutlak yang terdapat dalam tahap tahap pra-positif,
menerima kenisbian pengetahuan kita serta terus menerus terbuka terhadap kenyataan
kenyataan baru, merupakan ciri khas yang membedakan pendekatan positif yang digambarkan
Comte. Dia menulis :

"Kalau kita memandang semangat positif itu dalam hubungannya dengan konsepsi
ilmiah, kita akan menemukan bahwa filsafat ini dibedakan dari metafisika-teologis oleh
kecenderungan untuk menisbikan ide ide yang tadinya dipandang mutlak.... Dalam suatu
pandangan ilmiah, pertentangan antara yang nisbi dan yang mutlak dapat dilihat sebagai
perwujudan yang menentukan dari perselisihan antara filsafat modern dan kuno. Semua
penelitian mengenai hakikat dari segala yang ada serta sebab sebab pertama dan terakhir,
harus selalu ilmiah, sedangkan studi mengenai hukum hukum gejala harus bersifat nisbi,
karena studi ini mengandalkan suatu kemajuan pemikiran terus menerus, yang tunduk pada
penyempurnaan pengamatan secara bertahap, tanpa pernah akan membukakan secara penuh
kenyataan setepat tepatnya. Jadi sifat nisbi konsepsi ilmiah tidak terpisahkan dari pengertian
yang tepat mengenai hukum hukum alam, seperti halnya kecenderungan, khayali akan
pengetahuan mutlak yang menyertai setiap penggunaan fiksi teologis dan hal hal
metafisik".(Johnson,82-83)

Sesudah menentukan sifat epistemologi umum (seperangkat gagasan) dari


pendekatan positif, Comte menunjukkan metode khusus penelitian empiris yang sama untuk
semua ilmu : pengamatan, eksperimen, dan perbandingan. Tetapi, Comte mengakui bahwa
tidak mungkin menunggu semua, fakta tersedia sebelum merumuskan suatu hukum teoritis,
sekurang kurangnya untuk sementara, dalam pengamatan, suatu metode yang paling kurang
canggih, tidak sekedar mencakup pendaftaran semua fakta itu. Sebaliknya, pengamatan
diarahkan oleh semacam teori implisit yang memberikan arah kepada si pengamat gejala
empiris yang patut dicatat. Eksperimen sebagai suatu metode, lebih terbatas daripada dua
lainnya, karena sulit melaksanakan eksperimen ilmiah dalam kehidupan sosial. Eksperimen
alamiah dapat terjadi apabila suatu perkembangan sosial teologis mengganggu hukum hukum
yang normal dalam masyarakat.

Analisis komperatif dapat mencakup perbandingan antara rumpun manusia dan


bukan manusia, antara masyarakat yang berbeda dan hidup berdampingan ,serta antara tahap
yang berbeda dalam masyarakat tertentu. Tipe perkembangan yang terakhir ini melahirkan
metode keempat yaitu analisis historis, suatu metode yang khusus untuk gejala sosial yang
memungkinkan suatu pemahaman mengenai hukum dasar perkembangan sosial.

Gagasan untuk menggunakan metode metode penelitian empiris yang sama seperti
yang digunakan dalam ilmu fisika dan biologi untuk menganalisis gejala sosial sejalan dengan
pandangan Comte mengenai kesatuan filosofis dari semua ilmu. Sesungguhnya, salah satu
tujuan utama dari bukunya Course of Positive Philosophy adalah menunjukkan kesatuan ini
dengan menganalisis dasar dasar filosofis dari semua ilmu, dari matematika dan astronomi,
sampai sosiologi. (Paul Jhonson,83)

Menurut Comte, semua ilmu itu memperlihatkan hukum perkembangan intelektual


yang sama, seperti tampak dalam perkembangan melalui tiga tahap pemikiran yakni, teologis,
metafisik, dan positif. Gagasan dasar bahwa manusia dan gejala sosial merupakan bagian dari
alam dan dapat dianalisis dengan metode ilmu alam, sumbangan Comte memberikan suatu
analisis komprehensif mengenai kesatuan filosofis dan metodologis yang menjadi dasar antara
apa yang disebut ilmu alam dan ilmu sosial. Topik topik yang dibahas dalam buku Course of
Positive Philosophy meliputi matematika, astronomi, fisika, kimia, biologi, dan fisika sosial
(sosiologi), yang diperinci lagi misalnya dalam fisika, Comte memasukkan barologi,
termologi, akustik, optik, dan elektrologi. Untuk setiap spesialisasi yang berbeda itu, Comte
menunjukka pembagian dasar antara statik dan dinamika gejala yang bersangkutan.

D. Hukum Tiga Tahap


Hukum tiga tahap merupakan suatu usaha Comte untuk menjelaskan kemajuan
evolusioner umat manusia dan masa primitif sampai peradapan Perancis kesembilan belas
yang sangat maju. Comte menjelaskan hukum tiga tahap sebagai berikut.
“Dari studi mengenai perkembangan inteligensi manusia, dan melalui segala
zaman, penemuan muncul dari suatu hukum dasar yang besar. Inilah hukumnya: bahwa
setiap konsepsi kita yang paling maju- setiap cabang pengetahuan kita –berturut-turut
melewati tiga kondisi teoritis yang berbeda: teologis atau fiktif, metafisik atau abstrak, positif
atau ilmiah. Dengan kata lain, pikiran manusia pada dasarnya, dalam pembangunannya
menggunakan tiga metode berfilsafat yang karakternya sangat berbeda dan malah saling
bertentangan. Yang pertama merupakan titik tolak yang harus ada dalam pemahaman
manusia, Yang kedua hanya suatu keadaan peralihan, dan yang ketiga adalah pemahaman
dalam keadaannya yang pasti dan tidak tergoyahkan.”
Karakteristik yang khusus dari ketiga tahap itu disajikan secara singkat sebagai
berikut.
“Dalam fas teologis, akal budi manusia yang mencari kodrat dasar manusia, yakni
sebab pertama dan sebab akhir (asal dan tujuan) dari segala akibat –singkatnya pengetahuan
absolut mengandaikan bahwa semua gejala dihasilkan oleh tindakan langsung dari hal-hal
supranatural. Dalam fase metafisik, yang hanya merupakan suatu bentuk lain dari yang
pertama, akal budi mengandaikan bukan hal supranatural, melainkan kekuatan abstrak, hal-
hal yang benarnyata melekat pada semua benda, dan yang mampu menghasilkan semua
gejala. Dalam fase positif, akal budi sudah meninggalkan pencarian yang sia-sia terhadap
pengertian-pengertian absolut, asala dan tujuan alam semesta, serta sebab-sebab gejala, dan
memusatkan perhatiannya pada studi tentang hukum-hukumnya –yakni hubungan-hubungan
urutan dan persamaannya yang tidak berubah. Penalaran dan pengamatan, digabungkan
secara tepat, merupakan sarana-sarana pengetahuan ini”
Tahap teologis merupakan periode yang paling lama dalam sejarah manusia. Comte
membaginya kedalam periode fetisisme, politeisme, dan monoteisme. Tahap metafisis ditandai
oleh suatu kepercayaan akan hukum-hukum alam yang asasi yang dapat ditemukan dengan
akal budi. Protestantisme dan Deisme memperlihatkan penyesuaian yang berturut-turut dari
semangat telogis kepada munculnya semangat metafisis yang mantap. Tahap positif ditandai
oleh kepercayaan akan data empiris sebagai sumber pengetahuan akhir. Akan tetapi,
penegtahuan selalu bersifat sementara dan tidak mutlak.
Misalnya, pada awal masa fetisisme, usaha-usaha untuk menjelaskan gejala dengan
takhayul primitif membantu timbulnya pemikiran spekulatifdan mendorong peralihan dari
cara hidup berpindah-pindah ke pertanian menetap. Kemudian dalam tahap politeistik,
munculnya kependetaan mendorong timbulnya kelas spekulatif yang dapat menyumbangkan
tenaganya untuk menguraikan dan meneruskan tradisi-tradisi. Dalam tahap monoteistik di
bawah katolisisme, uraian mengenai sistem kepercayaan abstrak dan transdental
mempermudah pemisahan kekuasaan rohani dan duniawi, yang pada gilirannya membuat
moral itu melebihi politik.

Organisasi sosial, struktur politik, cita-cita moral, dan kondisi-kondisi material


memperlihatkan suatu tingkat saling ketergantungan harmonis yang tinggi. Sebaliknya,
periode-periode dengan perubahan yang pesat dari satu tahap ke tahap berikutnya sedang
terjadi, ditandai oleh kekacauan intelektual dan sosial. Makin besar kekacauan dalam masa
peralihan dan makin lama berlangsungnya, makin menunjukkan terjadinya pergeseran dari
satu tahap evolusi ke tahap berikutnya (Doylr Paul Jhonson, Robert MZ,. Lawang, 88-89)

Meskipun hukum kemajuan menjamin evolusi jangka panjang dari satu tahap ke
tahap berikutnya, berbagai faktor sekunder dapat mempercepat atau menghambat
perkembangan evolusi ini. Pertumbuhan penduduk, misalnya, dapat mempercepat proses itu.
Sebagian dengan yang bertambah dalam kehidupan meningkatkan pengaruh intelektual dan
moral, yang perlu untuk mengontrol ancaman individualisme yang semakin bertambah, dan
sebagian lagi dengan merangsang meningkatnya pembagian pekerjaan. Proses evolusi dapat
dihambat oleh dominasi filsafat kolot yang berkepanjangan, yang merupakan akibat dari
usaha-usaha kelompok konservatif untuk mengatasi kekacauan suatu periode transisi dengan
mengemukakan kembali tipe yang cocok dengan periode sebelumnya. Juga dapat dihalangi
oleh usaha untuk mengadakan perubahan yang demikian radikalnya sehingga mereka
menhancurkan keteraturan, sosial yang mendasar yang perlu untuk memajukan intelektual
atau sosial.

Comte sangat tajam dalam mencela mereka yang bermaksud mengubah masyarakat
tanpa secukupnya sadar akan batas-batas yang diberikan oleh hukum-hukum dasar mengenai
kemajuan atau akan sumbangan-sumbangan yang bernilai secara sosial dan tahap-tahap
sebelumnya. Baik keteraturan maupun kemajuan adalah hakiki. Mereka yang hendak
meningkatkan kemajuan tanpa menyadari persyaratan-persyaratan keteraturan, sebenarnya
mendukung bertahannya keadaan transisi anarkis. (Doylr Paul Jhonson, Robert MZ,. Lawang,
86)
E. Prinsip-Prinsip Keteraturan Sosial
Analisis Comte mengenai keteraturan sosial dapat dibagi menjadi dua fase. Pertama,
usaha untuk meenjelaskan keteraturan sosial secara empiris dengan menggunakan metode
positif. Kedua, usaha untuk meningkatkan keteraturan sosial sebagai suatu cita-cita yang
normatif dengan menggunakan metode-metode yang bukan tidak sesuai dengan positivisme,
tetapi yang menyangkut perasaan juga intelek. Akhirnya Comte lebih tertarik untuk
menjelaskan perkembangan evolusi daripada menjelaskan stabilitas keteraturan sosial,
khususnya pada bagian pertama dari karirnya. Satu sumbangan sosial yang penting dari tahap
perkembangan pra-positif adalah bahwa mereka mementingkan consensus intelektual.
Sesungguhnya, dalam pandangan Comte, individu sedemikian besarnya dipengaruhi
dan dibentuk oleh lingkungan sosial, sehingga satuan masyarakat yang asasibukanlah
individu-individu, melainkan keluarga-keluarga. Dalam keluargalah individu itu
diperkenalkan kepada masyarakat. Karena tingkat keakraban dalam keluarga deikian
tingginya, insting-insting dasar individu dibentuk oleh perasaan sosial yang dominan dalam
keluarga.
Keteraturan sosial juga bergantung pada pembagian pekerjaan dan kerja sama
ekonomi. Begitu pembagian pekerjaan muncul, partisispasi individu dalam kegiatan ekonomi
menghasilkan kerjasama, kesadaran akan saling ketergantungan dan ikatan-ikatan sosial baru
atas dasar itu. Jadi, keteraturan yang stabil dalam masyarakat yang kompleks berbeda dengan
masyarakat primitif yang berstruktur longgar dan berdiri sendiri, bersandar pada saing
ketergantungan itu yang perkembangannya dibantu oleh pembagian pekerjaan yang sangat
tinggi. Di pihak lain ada bahaya bahwa individualisme yang meningkat karena pembagian
kerja yang tinggi, akan sangat ditekankan dengan merugikan solidaritas sosial.
Comte mengemukakan bahwa pemerintah merupakan suatu gejala sosial alamiah
yang dapat dirunut bentuk dasarnya, sampai pada masyarakat-masyarakat primitif. Namun,
kekuasaan pemerintah akan meluas, begitu masyarakat menjadi lebih kompleks karena
bertambahnya pembagian kerja. Meluasnya pemerintah ini peru diimbangi individualism yang
semakin bertambah yang muncul karena meningkatnya pembagian kerja. Dalam analisisnya
mengenai pembagian kerja dan analisisnya mengenai fungsi agama yang bersifat interogatif,
Comte mendahului beberapa sumbangan utama dari Durkheim.
F. Agama Humanitas
Wawasan Comte terhadap konsekuensi agama yang menguntungkan dan ramalannya
mengenai tahap positif postreligus dalam evolusi manusia menghadapkan dia pada masalah
rumit. Comte menekankan perhatiannya pada keteraturan sosial. Dia kuatir bahwa anarki
intelektual dan sosial pada zamannya akan menghancurkan basis untuk kemajuan yang
mantap. Begitu melihat sejarah, dia mengakui bahwa agama pada masa lampau sudah menjadi
tonggak keteraturan sosial yang utama. Agama merupakan dasar untuk "konsensus universal"
dalam masyarakat, dan juga mendorong identifikasi emosional individu dan meningkatkan
altruisme. Akan tetapi, kalau dilihat dalam perspektif ilmiah, agama didasarkan pada
kekeliruan intelektual asasi yang mula-mula sudah berkembang pada saat-saat awal
perkembangan intelektual manusia. Lalu pertanyaan rumit yang dihadapi Comte adalah
bagaimana keteraturan sosial itu dapat dipertahankan.
Comte mengemumakan gagasan untuk mengatasi masalah ini dalam tahap kedua
karirnya, dengan mendirikan satu agama baru yaitu agama humanitas dan mengangkat dirinya
sebagai imam agung. Ada dua aspek yang diperhatikan, yang pertama meliputi suatu analisis
objektif mengenai sumber-sumber stabilitas dalam masyarakat, yang kedua meliputi usaha
meningkatkan keteraturan sosial dengan agama. Ini merupakan pokok permasalahan utama
dalam buku yang berjudul System of Positive Poltics. Banyak ahli yang mengkritik bahwa
Comte sudah gila ketika memulai karya ini. Lewis Coser sebagaimana diuraikan Jhonson,
melihatkan bahwa suatu perubahan besar sudah terjadi dalam emosi Comte, yang sangat
merugikan mutu karya intelektualnya. Dalam menggambarkan System of Positive Politics,
Coser menulis, "Pada halaman-halamannya, Comte sekarang mengagungkan emosi lebih
daripada intelek, perasaan melebihi akal budi; terus menerus mengemukakan kekuasaan yang
menyembuhkan dari kehangatan wanita untuk humanitas yang terlalu lama didominasi oleh
kekasaran intelek pria". Sedangkan Manuel terang-terangan mempertentangkan kedua
bukunya.
Tentu saja perubahan penekanan dan nadanya tidak dapat disangkal. Perubahan itu
sangat merugikan Comte sehubungan dengan rasa hormat pengagum-pengagum cendikiawan
serta pengikut-pengikutnya. Comte berusaha untuk membela dirinya dengan mempertahankan
bahwa karyanya yang terakhir ini tidak bertentangan dengan yang terdahulu. Meskipun ada
usaha Comte untuk membeli dirinya, pekerjaan pada tahap kedua dan karyanya ini umumnya
ditolak, baik oleh rekan-rekan semasanya maupun oleh banyak kaum intelektual sejak itu,
sebagai karya orang gila. Disini Becker membelanya sebagai satu usaha yang serius untuk
mengembangkan satu sistem moral atas suatu dasar ilmiah.
Becker, menurut Jhonson, terus memperlihatkan bahwa posisi Comte secara
keseluruhan, termasuk tekanan yang harus ada pada perasaan dan moralitas, sudah tampak
pada awal karir Comte. Namun maksud Becker bukan untuk membela agama Humanitas
Comte yang sangat terperinci itu. Sebaliknya, dia tertarik pada tunduknya ilmu pada moral.
Gagasan Comte mengenai satu masyarakat positivis dibawah bimbingan moral agama
Humanitas makin lama makin terperinci. Misalnya, dia menyusun satu kalender baru dengan
hari-hari tertentu untuk menghormati ilmuwan-ilmuwan besar dan lain-lain, yang sudah
bekerja demi kemanusiaan dan kemajuan manusia. Hal-hal yang terperinci ini
memperlihatkan kepribadian Comte yang suka memaksa dan otoriter. Akan tetapi, ingatlah
bahwa dia melihat suasana sosial dan intelektual pada masa hidupnya sebagai terancam anarki,
dan seperti banyak kaum intelektual lainnya dengan perspektif organik, dia benci dan takut
akan anarki.
Apapun kekurangan dan akses gagasan Comte yang terperinci mereorganisasi
masyarakat dan mendirikan agama baru, masalah yang dihadapi sungguh penting. Masalah ini
adalah dilema antara akal budi dan emosi, pemahaman intelektual dan tanggung jawab moral,
keteraturan dan kemajuan. Di kalangan ahli filsafat ilmu pengetahuan sekarang ini sangat
populer untuk mempertahankan bahwa pernyataan "seharusnya" tidak dapat ditarik dan
pernyataan "adanya". Banyak ahli ilmu sosial terlibat dalam mendorong pelaksanaan praksis
dan implikasi kebijaksanaan yang mereka tarik dari analisis ilmiahnya. Moralitas dan nilai
sosial yang muncul dalam bagian kedua karir Comte, tidak dapat dijawab dari suatu perspektif
ilmiah saja. Ahli ilmu sosial sekarang berpegang pada cita cita ilmu sosial yang bersifat
objektif, analitis, didasarkan pada data empiris, ditunjuk dan diilhami nilai nilai moral
Soerjono Soekanto mengatakan bahwa Auguste Comte yang pertama memakai
istilah sosiologi adalah orang pertama yang membedakan ruang lingkup dengan isi sosiologi
dari ruang lingkup dengan isi lainnya. Menurut Comte, ada tiga tahap perkembangan
intelektual. Tahap pertama yaitu, tahap teologis atau vektif dimana manusia menafsirkan
gejala di sekelilingnya secara teologis untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dan
melindungi dirinya. Tahap kedua yaitu tahap metafisik. Pada tahap ini manusia menganggap
terdapat kekuatan dalam setiap gejala. Manusia masih terikat oleh cita cita tanpa verifikasi
karena cita cita terkait pada realitas tertentu dan tidak ada usaha menemukan hukum alam
yang seragam. Inilah tugas ilmu pengetahuan positif dan merupakan tahap ketiga dari
perkembangan manusia.
Gagasan ketiga tahap tersebut memberi penerangan terhadap pikiran manusia. Tahap
tersebut memenuhi pikiran manusia yang kadang menimbulkan pertentangan sehingga timbul
ketidakserasian. Mengaitkan industrialisasi dengan tahap ketiga, disimpulkan pada industri
tersebut akan terjadi perdamaian yang kekal karena menurut Comte pada tahap sebelumnya
ditandai banyak pertikaian.
Menurut Comte, ilmu pengetahuan bersifat positif jika memusatkan perhatian pada
gejala yang nyata dan konkret. Dengan demikian, ada kemungkinan untuk memberikan
penilaian terhadap berbagai cabang ilmu pengetahuan dengan mengukur isinya yang positif.
Hirarki ilmu pengetahuan menurut tingkat pengurangan generalisasi dan penambahan
kompleksitasnya adalah sebagai berikut:
1. Matematika
2.Astronomi
3.Fisika
4.Ilmu Kimia
5.Biologi
6. Sosiologi
Hal yang menonjol dari sistematika Comte adalah penilaiannya terhadap sosiologi,
yang merupakan ilmu pengetahuan paling kompleks dan akan berkembang dengan pesat.
Comte membedakan sosiologi statis dengan sosiologi dinamis. Sosiologi statis memusatkan
perhatian pada hukum statis, yang menjadi dasar adanya masyarakat. Studi ini mempelajari
aksi dan reaksi sistem sistem sosial. Cita cita dasar sosiologi statis adalah bahwa semua gejala
sosial saling berkaitan. Unit sosial yang penting bukan individu, tetapi keluarga yang bagian
bagiannya terikat simpati. Sosiologi dinamis merupakan teori tentang perkembangan dalam
arti pembangunan. Ilmu ini menggambarkan cara cara pokok dalam hal terjadinya
perkembangan manusia, dari tingkat intelegensia yang rendah ke tingkat yang tinggi. Comte
yakin bahwa masyarakat akan berkembang menuju kesempurnaan. Walaupun demikian ia
lebih mementingkan perkembangan cita cita daripada bentuk.
Gagasan Comte tentang masyarakat dan keteraturan sosial dipicu oleh kehidupan
sosial politik pada saat itu. Comte menghasilkan positivisme sebagai bagian dari berfikir
filsafatinya yang mendalam, kemudian dikaitkan dengan kehidupan masyarakat dengan
situasi politik saat itu. Secara sistematis, filsafatinya menuai banyak pujian, meskipun pada
karya berikutnya telah mengundang pandangan miring sehingga ada yang menganggap bahwa
Comte gila. Gagasan positivisme Comte diuraikan oleh Juhaya Tradja dalam beberapa jaman
berikut ini.

G. Tiga Zaman Perkembangan Pemikiran Manusia


1. Zaman Teologis
Pada zaman teologis manusia percaya bahwa di belakang gejala-gejala alam terdapat
kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Zaman teologis
dibagi menjadi tiga yaitu :
a. Animisme, merupakan tahapan paling primitif karena benda-benda dianggap
mempunyai jiwa.
b. Politeisme, pada tahap ini manusia percaya pada dea yang masing-masing menguasai
suatu lapangan tertentu; dewa laut, dewa gunung, dewa halilintar, dan sebagainya.
c. Monoteisme, pada tahap ini manusia hanya memandang satu Tuhan sebagai penguasa.

2. Zaman Metafisis
Pada zaman ini kuasa-kuasa adikodrati diganti dengan konsep dan prinsip yang
abstrak.

3. Zaman Positif
Pada zaman ini tidak ada lagi usaha manusia unruk mencari penyebab-penyebab yang
terdapat dibelakang fakta-fakta. Hukum tiga zaman tidak saja berlaku pada manusia sebagai
anak manusia berada pada zaman teologis, pada masa remaja memasuki zaman metafisis, dan
saat dewasa memasukizaman positif. Demikian juga ilmu pengetahuan berkembang
mengikuti tiga zaman tersebut yang akhirnya mencapai puncak kematangannya pada zaman
positif.
4. Altruisme
Merupakan ajaran Comte sebagai kelanjutan dari ajarannya tentang tiga zaman.
Altruisme diartikan sebagai “menyerahkan diri kepada keseluruhan masyarakat”. Bahkan,
bukan “salah satu masyarakat”, melainkan I’humanite –“suku bangsa manusia” – pada
umumnya.
Altruisme Comte merupakan paradoksal dari hukum tiga zamannya karena ia
meninggakkan agama. Bila paham altruisme dibandingkan dengan filsafat Islam, akan tampak
dalam pemikiran yang dikembangkan oelh parafilosof hukum Islam yang membagi
duamacam hak.
1. Hak Haqqullah (Hak Allah), digunakan untuk menjelaskan kepentngan bersama, baik
masyarakat maupun negara yang merupakan simbol kehendak Allah.
2. Hak Adamyy (Hak Manusia), melambangkan kebebasan individu untuk
menggunakan hak pribadinya.
Ujung pencarian kebenaran Comte adalah falsafahnya tentang hidup manusia yang
membutuhkan hubungan dengan zat yang sempurna, yang diwujudkan dalam bingkai teori
sosiologinya.

H. Susunan Ilmu Pengetahuan


Comte membedakan enam ilmu pengetahuan pokok, yaitu: ilmu pasti, astronomi,
fisika, kimia, biologi, dan puncaknya pada sosiologi. Semua ilmu pengetahuan dapat
dijabarkan kepada salah satu dari enam ilmu tersebut. Ilmu pasti merupakan ilmu yang paling
fundamental dan menjadi pembantu bagi semua ilmu lainnya. Selain relasi-relasi matematis,
astronomi membicarakan juga tentang gerak. Dalam fisika ditambah lagi dengan penelitian
tentang materi. Selanjutnya kimia, membahas proses perubahan yang berlangsung dalam
materi yang telah dibicarakan dan dikupas dalam fisika. Perkembangan selanjutnya menjelma
dalam biologi yang membicarakan tentang kehidupan. Dan puncaknya ilmu pengetahuan yang
diberi nama sosiologi yang mengambil objek penyelidikan gejala kemasyarakatan yang
terdapat dalam makhluk hidup.
Dengan demikian, positivisme adalah aliran filsafat yang berpangkal dari fakta yang
positif sesuatu yang di luar fakta atau kenyataan dikesampingkan dalam pembicaraan filsafat
dan ilmu pengetahuan.
Menurut Comte, indra sangat penting dalam memperoleh pengetahuan, tetapi harus
dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan eksperimen. Kekeliruan indra akan dapat
dikoreksi melalui eksperimen. Eksperimen memerlukan ukuran-ukuran yang jelas.
Positivisme bukan aliran khas berdiri sendiri. Ia hanya menyempurnakan empirisme
dan rasionalisme yang bekerja sama. Dengan kata lain, Ia menyempurnakan metode ilmiah
dengan memasukkan perlunya eksperimen dan ukuran-ukuran. Jadi pada dasarnya positivisme
sama dengan empirisme plus rasionalisme.
BAB XI

PRAGMATISME

A. Terminologi Pragmatisme

Pragmatisme berasal dari kata "progma" (bahasa Yunani) yang berarti tindakan,
perbuatan. Pragmatisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa kriteria
kebenaran sesuatu ialah apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata.
Pragmatisme berpandangan bahwa substansi kebenaran adalah jika segala sesuatu memiliki
fungsi dan manfaat bagi kehidupan.

Filosof yang terkenal sebagai tokoh filsafat pragmatisme adalah Wiliam James dan
John Dewey.

1. Wiliam James (1842 - 1910 M)

James lahir di New York City pada tahun 1842 M, putra dari Henry James, Sr.
Pendidikan formalnya mula-mula tidak teratur lalu ia mendapatkan tutor berkebangsaan
Inggris, Prancis, Swiss, Jerman, dan Amerika. Pada tahun 1864 ia memasuki Harvard Medical
School dan memperoleh gelar M.D-nya pada tahun 1869. Namun, ia kurang tertarik pada
praktik pengobatan dan lebih menyenangi fungsi alat-alat tubuh. Oleh karena itu, ia
mengajarkan anatomi dan fisiologi di Harvard. Pada tahun 1875 ia mulai tertarik pada
psikologi dan fungsi pikiran manusia. Ia bergabung dalam Metaphysical Club bersama Peirce,
Chauncy Wright, Oliver Wendel Holmes, Jr., dan lainnya untuk berdiskusi masalah-masalah
filsafat dengan topik-topik metode ilmiah agama dan revolusi. Di sinilah, ia mulai
mendapatkan pengaruh Peirce dalam metode pragmatisme.

Pandangan filsafatnya, di antaranya menyatakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak,


berlaku umum, bersifat tetap, berdiri sendiri lepas dari akal yang mengenal. Sebab,
pengalaman kita berjalan terus dan segala yang kita anggap benar dalam perkembangan
pengalaman akan senantiasa berubah. Hal itu karena di dalam praktik, apa yang kita anggap
benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Nilai konsep atau pertimbangan kita,
bergantung pada akibatnya, pada kerjanya. Artinya bergantung pada keberhasilan perbuatan
yang disiapkan oleh pertimbangan itu. Pertimbangan itu benar apabila bermanfaat bagi
pelakunya, memperkaya hidup dan kemungkinan-kemungkinannya.

Menurut James, dunia tidak dapat diterangkan dengan berpangkal pada satu asas saja.
Dunia adalah dunia yang terdiri dari banyak hal yang saling bertentangan. James
membawakan pragmatisme. Isme ini diturunkan kepada Dewey yang mempraktikkannya
dalam pendidikan.

2. John Dewey (1859 M)

John Dewey menyatakan bahwa tugas filsafat adalah memberikan pengarahan bagi
perbuatan nyata. Filsafay tidak boleh larut dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang kurang
praktis. Oleh karena itu, filsafat harus berpijak pada pengalaman dan mengolahnya secara
kritis.

Menurutnya, tak ada sesuatu yang tetap. Jika mengalami kesulitan harus segera
berpikir untuk mengatasinya, sehingga berpikir merupakan alat untuk bertindak. Kebenaran
dari pengertian ditinjau dari berhasil tidaknya memengaruhi kenyataan dengan metode
induktif. Metode ini tidak hanya berlaku bagi ilmu fisika namun juga sosial dan moral. Secara
umum, pragmatisme berarti hanya idea yang dipraktikkan yang benar dan berguna. Idea-idea
yang hanya ada di dalam idea, juga kebimbangan terhadap realitas objek indra, semua itu
nonsense bagi pragmatisme.
BAB XII

FENOMENOLOGISME

Seorang ahli berpendapat bahwa fenomenologi hanya suatu gaya berpikir, bukan
mazhab filsafat. Ahli lain lebih mengartikan fenomenologi sebagai metode dalam mengamati,
memahami, mengartikan, dan memaknai sesuatu sebagai pendirian atau suatu aliran filsafat.
Dalam pengertian aliran filsafat, beberapa ahli berpendapat bahwa fenomenologi sebagai
mazhab filsafat telah terjadi inkonsistensi. Sebagai mazhab filsafat, fenomenologi memiliki
asumsi-asumsi sebagai dasarnya

Edmund Husserl, seorang filosof dan matematikus melahirkan filsafat fenomenologi


berdasarkan pemikiran Brentano. Sebagai metode, Kant dan Husserl mengatakan apa yang
diamati hanya fenomena. Artinya terdapat hal-hal yang membuat pengamatannya tidak murni
sehingga perlu ada reduksi. Untuk mendapatkan kebenaran murni, hal yang harus dilakukan
pertama adalah reduksi fenomenologi atau reduksi epochal, menjadikan apa yang bukan
bagian saya menjadi bagian saya. Hal yang perlu disisihkan dari usaha menginginkan
kebenaran murni, yaitu :

 membebaskan diri dari anasir atau unsur subjektif,


 membebaskan diri dari kungkungan teori, dan hipotesis, serta
 membebaskan diri daro doktrin-doktrin tradisional.

Setelah mengalami reduksi fenomenologi/epochal, fenomena menjadi murni namun


belum mencapai makna sebenarnya sehingga perlu dilakukan reduksi kedua yaitu reduksi
eiditis agar fenomena yang dihadapi mampu mencapai puncak/esensi.

Selain fenomenologi Edmund Husserl, ahli filsafat yang dapat diajukan sebagai
eksponennya yaitu Max Scheler dan Edith Stein.

Eksistensialisme hasil pemikiran Soren Kierkegaard dikenal sebagai perlawanan


terhadap materialisme ataupun idealisme. Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang
memandang segala hal berpangkal pada eksistensinya. Artinya eksistensialisme merupakan
cara manusia berada, atau lebuh tepat mengada di dunia. Tokoh-tokoh yang banyak
dibicarakan yaitu Kierkegaard, Sartre, dan Heidegger. Tokoh lainnya, Albert Camus dan
Simon Beauvoir.

Hal pertama yang harus dilihat adalah bagaimana eksistensialisme menentang


materialisme. Selain itu eksistensialisme juga menentang idealisme. Pada prinsipnya,
materialisme dan idealisme dinilai tidak lengkap. Secara materialisme, manusia hanya
resultante atau akibat dari proses unsur-unsur kimia. Materialisme memandang manusia
seperti memandang bahan yang tunduk pada hukum-hukum alam, fisika, kima, dan biologi.
Sartre menyebutnya sebagai en-soi, suatu bahan yang bukan subjek. Sedangkan secara
idealisme, manusia cukup diwakili oleh kesadarannya. Berdasarkan idealisme, manusia hanya
dapat berdiri sebagai subjek karena menghadapi objek.

Demikianlah prinsip perlawanan eksistensialisme terhadap materialisme maupun


idealisme. Manusia bukan hanya objek ataupun kesadaran. Manusia adalah eksistensi. Pada
dasarnya, manusia menyebut dirinya “aku”. Dengan demikian, manusia dapat menentukan
apa yang akan dilakukan, dipilih, diselenggarakan, dan dipertanggungjawabkannya. Ia adalah
ia sendiri yang mengalami sendiri sebagai pribadi. Meskipun demikian, manusia tidak berdiri
sendiri, melainkan senantiasa sibuk dengan pikiran dan kehendaknya sendiri.

Setelah masa modernisme, datang masa pascamodern pada 1950. Istilah


pascamodernisme tampil dalam konteks yang luas. Kapasitas pascamodernisme yang luas
menyangkut ruang lingkup perubahan kultural. Kvale mengatakan bahwa pascamodernisme
mulai menjadi wacana di Amerika Serikat untuk bidang arsitektur, kritik sastra, dan sosiologi.
Pada 1970-an, pascamodernisme berkembang di Perancis sebelum 1980-an hingga menjadi
wacana mondial. Ia juga menyatakan tidak ada filsafat pascamodern yang koheren, tetapi
pemikiran-pemikiran sekitar kondisi posmodern. Misalnya, di Perancis, Lyotard menganalisis
status pengetahuan. Foucault menekankan jaringan kekuasaan dan pengetahuan dalam studi
sejarah. Baudlillard memfokuskan pikirannya pada girah, rayuan, dan penciptaan sebuah
hiperrealitas simulacra oleh media. Di Amerika Serikat, Jamesru menganalisis pascamodern
sebagai logika kapitalisme terkini sedangkan Rorty mengembangkan sebuah pendekatan
neopragmatik taerhadap pascamodernitas. Namun yang paling penting dalam memahami
pascamodern adalah pemakaian atas adanya tiga pengertian berbeda, yaitu pascamodernitas,
pascamodernisme, dan pemikiran pascamodern.

Pascamodernitas adalah era yang menampilkan ketidakpercayaan mumpuninya


pengetahuan dan penelitian ilmiah. Terdapat kecenderungan disentralisasi menuju konteks
sosial yang heterogen dengan ciri fleksibilitas dan perubahan.

Pascamodernisme merupakan ekspresi kultural di mana terjadi penjabaran antara


realitas dan fiksi oleh media. Tema-tema labirin dalam cerita Borges dan Umberto Eco yang
seolah-olah menjadi pengikut interpretasi penelitian modern dalam mencari makna.

Pemikiran pascamodern adalah pemikiran yang mengganti konsepsi


ketidakbergantungan realitas dari peneliti dengan ide-ide tentang bahasa sebagai hal yang
sebenarnya mengandung struktur realitas sosial yang perspektial. Namun pada dasarnya,
pascamodern merupakan sangkalan atas beberapa keyakinan abad modern, khususnya
menyangkut filsafat (epistemologi), ilmu pengetahuan, dan nasionalitas.

Meskipun bermacam-macam dan bersifat eklektis, pascamodernisme dikenal dalam


dua asumsi kunci. Asumsi pertama bahwa tidak ada denominator umum dalam “alam”,
kebenaran, Tuhan atau “masa depan” jaminan, baik kesatuan dunia maupun kemungkinan
pikiran netral atau objektif. Asumsi kedua bahwa semua sistem manusia beroperasi, seperti
bahasa lebih bersifat self refleksif daripada sistem referensial. Adapun sistem-sistem fungsi
diferensial sangat kuat, tetapi terbatas yang membangun, serta memelihara makna dan nilai.

Pascamodernisme merupakan aliran filsafat yang lahir pada awal abad ke-20 atau
pertengahan abad ke-20. Menurut Hergenhahn, pascamodernisme mengacu pada keyakinan
yang prevalen, seperti semua hal, termasuk pendapat sepanjang abad pertengahan. Orang-
orang seperti Newton, Bacon, dan Descartes memperlihatkan keterangan tentang kekuatan
bernalar yang tidak terbebani oleh kekuasaan dan bias. Istilah modern sering disamakan
artinya dengan pencerahan. Gagasan-gagasan pencerahan mulai ditantang oleh filosof-filosof,
seperti Hume dan Kant yang memperlihatkan keterbatasan rasionalitas manusia. Romantisme
dan Eksistensialisme dapat dipandang sebagai reaksi terhadap keyakinan pencerahan bahwa
perilaku manusia dapat diterangkan dengan pengertian-pengertian hukum yang abstrak.
Kierkkegaard mengklaim bahwa kebenaran adalah subjektivitas. Pendapat Nietsche mengenai
perfektivisme merupakan dua contoh nyata oposisi. Selanjutnya, konsep William James
mengenai empirisme dan pragmatisme radikal memperlihatkan peremehan serupa untuk
universalisme. Pada kenyataannya, James mengacu pada absolutisme sebagai “penyakit besar
pemikiran filosofis”.

Sejak 1960-an, pascamodernisme, baik konstruksinisme atau dekonstruksinisme telah


memperbaiki serangan terhadap gagasan-gagasan pencerahan. Intinya, para pascamodernis
meyakini bahwa “realitas” diciptakan manusia dalam berbagai konteks pribadi, historis, dan
kultural. Hal ini kontras dengan keyakinan modernis (pencerahan) bahwa kenyataan
merupakan beberapa kebenaran yang abadi dan ditemukan melalui pengalaman, nalar tidak
bias, atau metode ilmiah. Pascamodernisme juga memiliki kesamaan terhadap filsafat-filsafat
dari kelompok sofis dan skeptis.

Kaum Sofis berpendapat tidak hanya terdapat satu kebenaran. Kebenaran ini terkait
pengalaman individual. Protagoras mengatakan bahwa manusia merupakan alat ukur segala
hal. Sofis kontemporer disebut pascamodernisme. Kaum skeptis mempertanyakan semua
dogmatisisme, yakni ajuan mengenai kebenaran yang tidak dapat disangkal. Eksistensi
kebenaran universal dilahirkan kembali dalam filsafat romantis dan eksistensial yang telah
diabadikan dalam psikologi kontemporer dengan “third force” psychology atau psikologi
humanistik. Sumbangan pascamodernisme terhadap sofis, skeptis, romantis, eksistensialis,
dan psikolog humanistik adalah keyakinan bahwa “kebenaran” selalu bersifat relatif secara
kultura, kelompok, atau perspektif personal. Kenyataannya, pascamodernisme telah menjadi
acuan bagi relativisme radikal.

Penganut pascamodernisme mendapat dukungan untuk relativisme dalam konsep


permainan bahasa seperti diajukan filosof yang berpengaruh, Ludwig Wittgenstein (1889-
1895). Ia menyatakan bahwa satu-satunya makna yang terdapat dalam istilah dan konsep yang
dimiliki diperuntukkan bagi mereka yang berada dalam suatu komunitas. Setiap komunitas
menciptakan permainan bahasa sendiri, dan menciptakan “bentuk hidup” sendiri. Menurut
Wittgenstein, salah jika melihat bahasa sebagai cermin dari realitas. Masalah komunikasi
terjadi jika permainan bahsa dari berbagai komunitas bercampur atau disalahgunakan.
Wittgenstein berpendapat bahwa orang dapat melakukan dan memberikan pengalaman-
pengalaman dengan varietas makna yang luas. Slug dan Stern memberi contoh “koin adalah
pembayaran, namun tidak merusak realitasnya sebagai piring metal”.

Mengacu pada pendapat Wittgenstein, diskusi antara filosofis dan psikologis dapat
diputuskan dengan cara memahami paradigma filosofis dan psikologis yang berbeda. Debat
filosofis yang hebat selama berabad-abad tidak menyangkut masalah konflik realitas, namun
permainan bahasa. Sebaliknya, debat-debat tradisional memperbincangkan materialisme vs
idealisme, kemauan bebas vs determinisme, rasionalisme vs empirisme, dan lain-lain
menyangkut masalah hubungan jiwa-badan. Hal tersebut merupakan debat mengenai praksis
linguistik. Apa peranan filsafat? Filsafat adalah perang melawan pesona inteligensi kita
dengan alat bahasa.

Pemahaman teoretis mengenai dunia, bukan sebagai cemin refleksi dunia melainkan
tindakan diskursif dalam suatu komunitas. Filsafat ilmu dari Kuhn memiliki banyak kesamaan
dengan Wittgenstein. Khun membuat kesimpulan revolusi struktur ilmu yang sangat
berpengaruh. Pada 1996, Wittgenstein mengemukakan bahwa pengetahuan ilmiah merupakan
perlengkapan biasa suatu kelompok atau apapun. Dalam memahaminya, orang perlu
mengetahui karakteristik khusus kelompok yang menciptakan dan menggunakannya.

Dengan demikian, terdapat banyak hal di antara konsep permainan bahasa


Wittgenstein dan relativisme pascamodernisme. Ketegangan antara modernisme dan
pascamodernisme berlanjut dalam psikologi kontemporer. Saat psikologi menajdi ilmu
pengetahuan pada akhir abad ke-19, terlihat hukum yang mengatur jiwa manusia. Teknik dan
teori telah berubah, namun pencarian terhadap hukum umum yang mengatur tindakan manusia
tidak pernah pudar. Berdasarkan cara i;miah psikologi, metode yang digunakan untuk
memahami perilaku manusia sama dengan yang digunakan ahli ilmu alam untuk memahami
dunia fisik. Pascamodernisme menolak model ilmu alam ini.

Cara lain dalam memahami perbedaan-perbedaan kultural dalam psikologi,


seyogianya didiskusikan dulu dalam lingkup modernisme dan pascamodernisme. Psikolog
merangkul nilai metode-metode ilmu alam dalam pencarian hukum-hukum umum yang
mengatur perilaku manusia, psikolog merangkul pascamodernisme di anatra banyak
pendekatan untuk memahami kemanusiaan. Argumen yang paling disukai dalam
pascamodernisme adalah argumentasi Gergen, sedangkan yang melawan pascamodernisme
misalnya Smith.

Beberapa kasus sekarang ini, terutama masalah dikotomi dalam sejarah psikologi,
beberapa kata sepakat telah banyak dilakukan antara modernisme dan pascamodernisme.
Usulan mengenai unsur isi terlihatb pada Fishman yang menampilkan pragmatisisme dalam
kata sepakatnya, dan Schmaide yang menampilkan romantisme. Begitu juga pendekatan untuk
menyatukan psikologi didiskusikan terlebih dahulu, juga studi psikologi yang disarankan
pascamodernisme. Keduanya mengajukan bahwa masalah-masalah psikologi paling baik
diselesaikan dengan pendekatan perspektif multiple.

John Lechte mengambil pengertian pascamodernisme dari buku-buku karya Jean-


Francois Lyotard dan Jean Baudrillard. Keduanya menyatakan bahwa pascamodernitas
merupakan upaya mempertanyakan epistemologi modernis yang berdasar pada perbedaan
subjek dan objek secara jelas. Hal lain adalah ketidakpercayaan terhadap metanarasi. Artinya,
tidak adanya penjelasan global tentang perilaku yang dapat dipercaya pada zaman rasionalitas
yang bermuatan tujuan. Teknologi dianggap bertentangan dengan paradigma produksi
modernis karena menitikberatkan pada reproduksi. Beberapa nama komponen
pascamodernisme, yaitu Jean Baudrillard, Marguerite Duras, Frans Kafka, dan Jean Francois
Lyotard.

Anda mungkin juga menyukai