NIM : 190311615239
Jurusan/Offering : Matematika/B
Mata Kuliah : Dasar-Dasar Sains
BAB X
B. Pengertian Positivisme
Positivisme diperkenalkan oleh Auguste Comte (1798-1857) yang tertuang dalam
karyanya Course de Philosophic Positive, yaitu kursus tentang filsafat positif (1830-1842)
yang diterbitkan dalam enam jilid. Selain itu karyanya Discour Lesprit Positive (1844) yang
artinya Pembicaraan tentang Jiwa Positif. Dalam karya inilah, Comte menguraikan secara
singkat pendapat-pendapat positivis, hokum tiga stadia, klasifikasi ilmu-ilmu pengetahuan,
dan bagian mengenai tatanan dan kemajuan. (Juhaya S. Pradja, 2000 : 89)
Positivisme berasal dari kata “positif” yang artinya faktual, yaitu apa yang
berdasarkan fakta-fakta. Menurut positivism pengetahuan tidak boleh melebihi fakta-fakta.
Positivisme menolak cabang filsafat metafisika. Menanyakan “hakikat” benda-benda atau
“penyebab yang sebenarnya” bagi positivisme tidaklah mempunyai arti apa-apa. Positivisme
tidak menerima sumber pengetahuan melalui pengalaman batiniah, Ia hanya mengandalkan
fakta-fakta belaka.
Kaum positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dan bahwa
metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum hukum yang
sudah tersebar luas lingkungan intelektual pada masa Comte. Tetapi, kebanyakan kelompok
positivis berasal dari kalangan orang orang yang progresif, yang bertekad mencampakkan
tradisi tradisi irasional dan memperbarui sehingga menjadi lebih rasional. Comte percaya
bahwa penemuan hukum alam akan membukakan batas batas yang pasti dalam kenyataan
sosial, dan jika melampaui batas batas itu, usaha pembaharuan akan merusakkan dan
menghasilkan yang sebaliknya.
Comte melihat perkembangan ilmu tentang masyarakat yang bersifat alamiah sebagai
puncak suatu proses kemajuan intelektual yang logis yang telah dilewati oleh ilmu ilmu
lainnya. Kemajuan ini mencakup perkembangan dari bentuk pemikiran teologis purba,
penjelasan metafisik, dan akhirnya sampai terbentuknya hukum hukum ilmiah yang positif.
Bidang sosiologi(fisika sosial) adalah paling akhir melewati tahap tahap ini, karena pokok
permasalahannya lebih kompleks daripada yang terdapat pada ilmu fisika dan biologi.
Mengatasi cara cara berpikir mutlak yang terdapat dalam tahap tahap pra-positif,
menerima kenisbian pengetahuan kita serta terus menerus terbuka terhadap kenyataan
kenyataan baru, merupakan ciri khas yang membedakan pendekatan positif yang digambarkan
Comte. Dia menulis :
"Kalau kita memandang semangat positif itu dalam hubungannya dengan konsepsi
ilmiah, kita akan menemukan bahwa filsafat ini dibedakan dari metafisika-teologis oleh
kecenderungan untuk menisbikan ide ide yang tadinya dipandang mutlak.... Dalam suatu
pandangan ilmiah, pertentangan antara yang nisbi dan yang mutlak dapat dilihat sebagai
perwujudan yang menentukan dari perselisihan antara filsafat modern dan kuno. Semua
penelitian mengenai hakikat dari segala yang ada serta sebab sebab pertama dan terakhir,
harus selalu ilmiah, sedangkan studi mengenai hukum hukum gejala harus bersifat nisbi,
karena studi ini mengandalkan suatu kemajuan pemikiran terus menerus, yang tunduk pada
penyempurnaan pengamatan secara bertahap, tanpa pernah akan membukakan secara penuh
kenyataan setepat tepatnya. Jadi sifat nisbi konsepsi ilmiah tidak terpisahkan dari pengertian
yang tepat mengenai hukum hukum alam, seperti halnya kecenderungan, khayali akan
pengetahuan mutlak yang menyertai setiap penggunaan fiksi teologis dan hal hal
metafisik".(Johnson,82-83)
Gagasan untuk menggunakan metode metode penelitian empiris yang sama seperti
yang digunakan dalam ilmu fisika dan biologi untuk menganalisis gejala sosial sejalan dengan
pandangan Comte mengenai kesatuan filosofis dari semua ilmu. Sesungguhnya, salah satu
tujuan utama dari bukunya Course of Positive Philosophy adalah menunjukkan kesatuan ini
dengan menganalisis dasar dasar filosofis dari semua ilmu, dari matematika dan astronomi,
sampai sosiologi. (Paul Jhonson,83)
Meskipun hukum kemajuan menjamin evolusi jangka panjang dari satu tahap ke
tahap berikutnya, berbagai faktor sekunder dapat mempercepat atau menghambat
perkembangan evolusi ini. Pertumbuhan penduduk, misalnya, dapat mempercepat proses itu.
Sebagian dengan yang bertambah dalam kehidupan meningkatkan pengaruh intelektual dan
moral, yang perlu untuk mengontrol ancaman individualisme yang semakin bertambah, dan
sebagian lagi dengan merangsang meningkatnya pembagian pekerjaan. Proses evolusi dapat
dihambat oleh dominasi filsafat kolot yang berkepanjangan, yang merupakan akibat dari
usaha-usaha kelompok konservatif untuk mengatasi kekacauan suatu periode transisi dengan
mengemukakan kembali tipe yang cocok dengan periode sebelumnya. Juga dapat dihalangi
oleh usaha untuk mengadakan perubahan yang demikian radikalnya sehingga mereka
menhancurkan keteraturan, sosial yang mendasar yang perlu untuk memajukan intelektual
atau sosial.
Comte sangat tajam dalam mencela mereka yang bermaksud mengubah masyarakat
tanpa secukupnya sadar akan batas-batas yang diberikan oleh hukum-hukum dasar mengenai
kemajuan atau akan sumbangan-sumbangan yang bernilai secara sosial dan tahap-tahap
sebelumnya. Baik keteraturan maupun kemajuan adalah hakiki. Mereka yang hendak
meningkatkan kemajuan tanpa menyadari persyaratan-persyaratan keteraturan, sebenarnya
mendukung bertahannya keadaan transisi anarkis. (Doylr Paul Jhonson, Robert MZ,. Lawang,
86)
E. Prinsip-Prinsip Keteraturan Sosial
Analisis Comte mengenai keteraturan sosial dapat dibagi menjadi dua fase. Pertama,
usaha untuk meenjelaskan keteraturan sosial secara empiris dengan menggunakan metode
positif. Kedua, usaha untuk meningkatkan keteraturan sosial sebagai suatu cita-cita yang
normatif dengan menggunakan metode-metode yang bukan tidak sesuai dengan positivisme,
tetapi yang menyangkut perasaan juga intelek. Akhirnya Comte lebih tertarik untuk
menjelaskan perkembangan evolusi daripada menjelaskan stabilitas keteraturan sosial,
khususnya pada bagian pertama dari karirnya. Satu sumbangan sosial yang penting dari tahap
perkembangan pra-positif adalah bahwa mereka mementingkan consensus intelektual.
Sesungguhnya, dalam pandangan Comte, individu sedemikian besarnya dipengaruhi
dan dibentuk oleh lingkungan sosial, sehingga satuan masyarakat yang asasibukanlah
individu-individu, melainkan keluarga-keluarga. Dalam keluargalah individu itu
diperkenalkan kepada masyarakat. Karena tingkat keakraban dalam keluarga deikian
tingginya, insting-insting dasar individu dibentuk oleh perasaan sosial yang dominan dalam
keluarga.
Keteraturan sosial juga bergantung pada pembagian pekerjaan dan kerja sama
ekonomi. Begitu pembagian pekerjaan muncul, partisispasi individu dalam kegiatan ekonomi
menghasilkan kerjasama, kesadaran akan saling ketergantungan dan ikatan-ikatan sosial baru
atas dasar itu. Jadi, keteraturan yang stabil dalam masyarakat yang kompleks berbeda dengan
masyarakat primitif yang berstruktur longgar dan berdiri sendiri, bersandar pada saing
ketergantungan itu yang perkembangannya dibantu oleh pembagian pekerjaan yang sangat
tinggi. Di pihak lain ada bahaya bahwa individualisme yang meningkat karena pembagian
kerja yang tinggi, akan sangat ditekankan dengan merugikan solidaritas sosial.
Comte mengemukakan bahwa pemerintah merupakan suatu gejala sosial alamiah
yang dapat dirunut bentuk dasarnya, sampai pada masyarakat-masyarakat primitif. Namun,
kekuasaan pemerintah akan meluas, begitu masyarakat menjadi lebih kompleks karena
bertambahnya pembagian kerja. Meluasnya pemerintah ini peru diimbangi individualism yang
semakin bertambah yang muncul karena meningkatnya pembagian kerja. Dalam analisisnya
mengenai pembagian kerja dan analisisnya mengenai fungsi agama yang bersifat interogatif,
Comte mendahului beberapa sumbangan utama dari Durkheim.
F. Agama Humanitas
Wawasan Comte terhadap konsekuensi agama yang menguntungkan dan ramalannya
mengenai tahap positif postreligus dalam evolusi manusia menghadapkan dia pada masalah
rumit. Comte menekankan perhatiannya pada keteraturan sosial. Dia kuatir bahwa anarki
intelektual dan sosial pada zamannya akan menghancurkan basis untuk kemajuan yang
mantap. Begitu melihat sejarah, dia mengakui bahwa agama pada masa lampau sudah menjadi
tonggak keteraturan sosial yang utama. Agama merupakan dasar untuk "konsensus universal"
dalam masyarakat, dan juga mendorong identifikasi emosional individu dan meningkatkan
altruisme. Akan tetapi, kalau dilihat dalam perspektif ilmiah, agama didasarkan pada
kekeliruan intelektual asasi yang mula-mula sudah berkembang pada saat-saat awal
perkembangan intelektual manusia. Lalu pertanyaan rumit yang dihadapi Comte adalah
bagaimana keteraturan sosial itu dapat dipertahankan.
Comte mengemumakan gagasan untuk mengatasi masalah ini dalam tahap kedua
karirnya, dengan mendirikan satu agama baru yaitu agama humanitas dan mengangkat dirinya
sebagai imam agung. Ada dua aspek yang diperhatikan, yang pertama meliputi suatu analisis
objektif mengenai sumber-sumber stabilitas dalam masyarakat, yang kedua meliputi usaha
meningkatkan keteraturan sosial dengan agama. Ini merupakan pokok permasalahan utama
dalam buku yang berjudul System of Positive Poltics. Banyak ahli yang mengkritik bahwa
Comte sudah gila ketika memulai karya ini. Lewis Coser sebagaimana diuraikan Jhonson,
melihatkan bahwa suatu perubahan besar sudah terjadi dalam emosi Comte, yang sangat
merugikan mutu karya intelektualnya. Dalam menggambarkan System of Positive Politics,
Coser menulis, "Pada halaman-halamannya, Comte sekarang mengagungkan emosi lebih
daripada intelek, perasaan melebihi akal budi; terus menerus mengemukakan kekuasaan yang
menyembuhkan dari kehangatan wanita untuk humanitas yang terlalu lama didominasi oleh
kekasaran intelek pria". Sedangkan Manuel terang-terangan mempertentangkan kedua
bukunya.
Tentu saja perubahan penekanan dan nadanya tidak dapat disangkal. Perubahan itu
sangat merugikan Comte sehubungan dengan rasa hormat pengagum-pengagum cendikiawan
serta pengikut-pengikutnya. Comte berusaha untuk membela dirinya dengan mempertahankan
bahwa karyanya yang terakhir ini tidak bertentangan dengan yang terdahulu. Meskipun ada
usaha Comte untuk membeli dirinya, pekerjaan pada tahap kedua dan karyanya ini umumnya
ditolak, baik oleh rekan-rekan semasanya maupun oleh banyak kaum intelektual sejak itu,
sebagai karya orang gila. Disini Becker membelanya sebagai satu usaha yang serius untuk
mengembangkan satu sistem moral atas suatu dasar ilmiah.
Becker, menurut Jhonson, terus memperlihatkan bahwa posisi Comte secara
keseluruhan, termasuk tekanan yang harus ada pada perasaan dan moralitas, sudah tampak
pada awal karir Comte. Namun maksud Becker bukan untuk membela agama Humanitas
Comte yang sangat terperinci itu. Sebaliknya, dia tertarik pada tunduknya ilmu pada moral.
Gagasan Comte mengenai satu masyarakat positivis dibawah bimbingan moral agama
Humanitas makin lama makin terperinci. Misalnya, dia menyusun satu kalender baru dengan
hari-hari tertentu untuk menghormati ilmuwan-ilmuwan besar dan lain-lain, yang sudah
bekerja demi kemanusiaan dan kemajuan manusia. Hal-hal yang terperinci ini
memperlihatkan kepribadian Comte yang suka memaksa dan otoriter. Akan tetapi, ingatlah
bahwa dia melihat suasana sosial dan intelektual pada masa hidupnya sebagai terancam anarki,
dan seperti banyak kaum intelektual lainnya dengan perspektif organik, dia benci dan takut
akan anarki.
Apapun kekurangan dan akses gagasan Comte yang terperinci mereorganisasi
masyarakat dan mendirikan agama baru, masalah yang dihadapi sungguh penting. Masalah ini
adalah dilema antara akal budi dan emosi, pemahaman intelektual dan tanggung jawab moral,
keteraturan dan kemajuan. Di kalangan ahli filsafat ilmu pengetahuan sekarang ini sangat
populer untuk mempertahankan bahwa pernyataan "seharusnya" tidak dapat ditarik dan
pernyataan "adanya". Banyak ahli ilmu sosial terlibat dalam mendorong pelaksanaan praksis
dan implikasi kebijaksanaan yang mereka tarik dari analisis ilmiahnya. Moralitas dan nilai
sosial yang muncul dalam bagian kedua karir Comte, tidak dapat dijawab dari suatu perspektif
ilmiah saja. Ahli ilmu sosial sekarang berpegang pada cita cita ilmu sosial yang bersifat
objektif, analitis, didasarkan pada data empiris, ditunjuk dan diilhami nilai nilai moral
Soerjono Soekanto mengatakan bahwa Auguste Comte yang pertama memakai
istilah sosiologi adalah orang pertama yang membedakan ruang lingkup dengan isi sosiologi
dari ruang lingkup dengan isi lainnya. Menurut Comte, ada tiga tahap perkembangan
intelektual. Tahap pertama yaitu, tahap teologis atau vektif dimana manusia menafsirkan
gejala di sekelilingnya secara teologis untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dan
melindungi dirinya. Tahap kedua yaitu tahap metafisik. Pada tahap ini manusia menganggap
terdapat kekuatan dalam setiap gejala. Manusia masih terikat oleh cita cita tanpa verifikasi
karena cita cita terkait pada realitas tertentu dan tidak ada usaha menemukan hukum alam
yang seragam. Inilah tugas ilmu pengetahuan positif dan merupakan tahap ketiga dari
perkembangan manusia.
Gagasan ketiga tahap tersebut memberi penerangan terhadap pikiran manusia. Tahap
tersebut memenuhi pikiran manusia yang kadang menimbulkan pertentangan sehingga timbul
ketidakserasian. Mengaitkan industrialisasi dengan tahap ketiga, disimpulkan pada industri
tersebut akan terjadi perdamaian yang kekal karena menurut Comte pada tahap sebelumnya
ditandai banyak pertikaian.
Menurut Comte, ilmu pengetahuan bersifat positif jika memusatkan perhatian pada
gejala yang nyata dan konkret. Dengan demikian, ada kemungkinan untuk memberikan
penilaian terhadap berbagai cabang ilmu pengetahuan dengan mengukur isinya yang positif.
Hirarki ilmu pengetahuan menurut tingkat pengurangan generalisasi dan penambahan
kompleksitasnya adalah sebagai berikut:
1. Matematika
2.Astronomi
3.Fisika
4.Ilmu Kimia
5.Biologi
6. Sosiologi
Hal yang menonjol dari sistematika Comte adalah penilaiannya terhadap sosiologi,
yang merupakan ilmu pengetahuan paling kompleks dan akan berkembang dengan pesat.
Comte membedakan sosiologi statis dengan sosiologi dinamis. Sosiologi statis memusatkan
perhatian pada hukum statis, yang menjadi dasar adanya masyarakat. Studi ini mempelajari
aksi dan reaksi sistem sistem sosial. Cita cita dasar sosiologi statis adalah bahwa semua gejala
sosial saling berkaitan. Unit sosial yang penting bukan individu, tetapi keluarga yang bagian
bagiannya terikat simpati. Sosiologi dinamis merupakan teori tentang perkembangan dalam
arti pembangunan. Ilmu ini menggambarkan cara cara pokok dalam hal terjadinya
perkembangan manusia, dari tingkat intelegensia yang rendah ke tingkat yang tinggi. Comte
yakin bahwa masyarakat akan berkembang menuju kesempurnaan. Walaupun demikian ia
lebih mementingkan perkembangan cita cita daripada bentuk.
Gagasan Comte tentang masyarakat dan keteraturan sosial dipicu oleh kehidupan
sosial politik pada saat itu. Comte menghasilkan positivisme sebagai bagian dari berfikir
filsafatinya yang mendalam, kemudian dikaitkan dengan kehidupan masyarakat dengan
situasi politik saat itu. Secara sistematis, filsafatinya menuai banyak pujian, meskipun pada
karya berikutnya telah mengundang pandangan miring sehingga ada yang menganggap bahwa
Comte gila. Gagasan positivisme Comte diuraikan oleh Juhaya Tradja dalam beberapa jaman
berikut ini.
2. Zaman Metafisis
Pada zaman ini kuasa-kuasa adikodrati diganti dengan konsep dan prinsip yang
abstrak.
3. Zaman Positif
Pada zaman ini tidak ada lagi usaha manusia unruk mencari penyebab-penyebab yang
terdapat dibelakang fakta-fakta. Hukum tiga zaman tidak saja berlaku pada manusia sebagai
anak manusia berada pada zaman teologis, pada masa remaja memasuki zaman metafisis, dan
saat dewasa memasukizaman positif. Demikian juga ilmu pengetahuan berkembang
mengikuti tiga zaman tersebut yang akhirnya mencapai puncak kematangannya pada zaman
positif.
4. Altruisme
Merupakan ajaran Comte sebagai kelanjutan dari ajarannya tentang tiga zaman.
Altruisme diartikan sebagai “menyerahkan diri kepada keseluruhan masyarakat”. Bahkan,
bukan “salah satu masyarakat”, melainkan I’humanite –“suku bangsa manusia” – pada
umumnya.
Altruisme Comte merupakan paradoksal dari hukum tiga zamannya karena ia
meninggakkan agama. Bila paham altruisme dibandingkan dengan filsafat Islam, akan tampak
dalam pemikiran yang dikembangkan oelh parafilosof hukum Islam yang membagi
duamacam hak.
1. Hak Haqqullah (Hak Allah), digunakan untuk menjelaskan kepentngan bersama, baik
masyarakat maupun negara yang merupakan simbol kehendak Allah.
2. Hak Adamyy (Hak Manusia), melambangkan kebebasan individu untuk
menggunakan hak pribadinya.
Ujung pencarian kebenaran Comte adalah falsafahnya tentang hidup manusia yang
membutuhkan hubungan dengan zat yang sempurna, yang diwujudkan dalam bingkai teori
sosiologinya.
PRAGMATISME
A. Terminologi Pragmatisme
Pragmatisme berasal dari kata "progma" (bahasa Yunani) yang berarti tindakan,
perbuatan. Pragmatisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa kriteria
kebenaran sesuatu ialah apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata.
Pragmatisme berpandangan bahwa substansi kebenaran adalah jika segala sesuatu memiliki
fungsi dan manfaat bagi kehidupan.
Filosof yang terkenal sebagai tokoh filsafat pragmatisme adalah Wiliam James dan
John Dewey.
James lahir di New York City pada tahun 1842 M, putra dari Henry James, Sr.
Pendidikan formalnya mula-mula tidak teratur lalu ia mendapatkan tutor berkebangsaan
Inggris, Prancis, Swiss, Jerman, dan Amerika. Pada tahun 1864 ia memasuki Harvard Medical
School dan memperoleh gelar M.D-nya pada tahun 1869. Namun, ia kurang tertarik pada
praktik pengobatan dan lebih menyenangi fungsi alat-alat tubuh. Oleh karena itu, ia
mengajarkan anatomi dan fisiologi di Harvard. Pada tahun 1875 ia mulai tertarik pada
psikologi dan fungsi pikiran manusia. Ia bergabung dalam Metaphysical Club bersama Peirce,
Chauncy Wright, Oliver Wendel Holmes, Jr., dan lainnya untuk berdiskusi masalah-masalah
filsafat dengan topik-topik metode ilmiah agama dan revolusi. Di sinilah, ia mulai
mendapatkan pengaruh Peirce dalam metode pragmatisme.
Menurut James, dunia tidak dapat diterangkan dengan berpangkal pada satu asas saja.
Dunia adalah dunia yang terdiri dari banyak hal yang saling bertentangan. James
membawakan pragmatisme. Isme ini diturunkan kepada Dewey yang mempraktikkannya
dalam pendidikan.
John Dewey menyatakan bahwa tugas filsafat adalah memberikan pengarahan bagi
perbuatan nyata. Filsafay tidak boleh larut dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang kurang
praktis. Oleh karena itu, filsafat harus berpijak pada pengalaman dan mengolahnya secara
kritis.
Menurutnya, tak ada sesuatu yang tetap. Jika mengalami kesulitan harus segera
berpikir untuk mengatasinya, sehingga berpikir merupakan alat untuk bertindak. Kebenaran
dari pengertian ditinjau dari berhasil tidaknya memengaruhi kenyataan dengan metode
induktif. Metode ini tidak hanya berlaku bagi ilmu fisika namun juga sosial dan moral. Secara
umum, pragmatisme berarti hanya idea yang dipraktikkan yang benar dan berguna. Idea-idea
yang hanya ada di dalam idea, juga kebimbangan terhadap realitas objek indra, semua itu
nonsense bagi pragmatisme.
BAB XII
FENOMENOLOGISME
Seorang ahli berpendapat bahwa fenomenologi hanya suatu gaya berpikir, bukan
mazhab filsafat. Ahli lain lebih mengartikan fenomenologi sebagai metode dalam mengamati,
memahami, mengartikan, dan memaknai sesuatu sebagai pendirian atau suatu aliran filsafat.
Dalam pengertian aliran filsafat, beberapa ahli berpendapat bahwa fenomenologi sebagai
mazhab filsafat telah terjadi inkonsistensi. Sebagai mazhab filsafat, fenomenologi memiliki
asumsi-asumsi sebagai dasarnya
Selain fenomenologi Edmund Husserl, ahli filsafat yang dapat diajukan sebagai
eksponennya yaitu Max Scheler dan Edith Stein.
Pascamodernisme merupakan aliran filsafat yang lahir pada awal abad ke-20 atau
pertengahan abad ke-20. Menurut Hergenhahn, pascamodernisme mengacu pada keyakinan
yang prevalen, seperti semua hal, termasuk pendapat sepanjang abad pertengahan. Orang-
orang seperti Newton, Bacon, dan Descartes memperlihatkan keterangan tentang kekuatan
bernalar yang tidak terbebani oleh kekuasaan dan bias. Istilah modern sering disamakan
artinya dengan pencerahan. Gagasan-gagasan pencerahan mulai ditantang oleh filosof-filosof,
seperti Hume dan Kant yang memperlihatkan keterbatasan rasionalitas manusia. Romantisme
dan Eksistensialisme dapat dipandang sebagai reaksi terhadap keyakinan pencerahan bahwa
perilaku manusia dapat diterangkan dengan pengertian-pengertian hukum yang abstrak.
Kierkkegaard mengklaim bahwa kebenaran adalah subjektivitas. Pendapat Nietsche mengenai
perfektivisme merupakan dua contoh nyata oposisi. Selanjutnya, konsep William James
mengenai empirisme dan pragmatisme radikal memperlihatkan peremehan serupa untuk
universalisme. Pada kenyataannya, James mengacu pada absolutisme sebagai “penyakit besar
pemikiran filosofis”.
Kaum Sofis berpendapat tidak hanya terdapat satu kebenaran. Kebenaran ini terkait
pengalaman individual. Protagoras mengatakan bahwa manusia merupakan alat ukur segala
hal. Sofis kontemporer disebut pascamodernisme. Kaum skeptis mempertanyakan semua
dogmatisisme, yakni ajuan mengenai kebenaran yang tidak dapat disangkal. Eksistensi
kebenaran universal dilahirkan kembali dalam filsafat romantis dan eksistensial yang telah
diabadikan dalam psikologi kontemporer dengan “third force” psychology atau psikologi
humanistik. Sumbangan pascamodernisme terhadap sofis, skeptis, romantis, eksistensialis,
dan psikolog humanistik adalah keyakinan bahwa “kebenaran” selalu bersifat relatif secara
kultura, kelompok, atau perspektif personal. Kenyataannya, pascamodernisme telah menjadi
acuan bagi relativisme radikal.
Mengacu pada pendapat Wittgenstein, diskusi antara filosofis dan psikologis dapat
diputuskan dengan cara memahami paradigma filosofis dan psikologis yang berbeda. Debat
filosofis yang hebat selama berabad-abad tidak menyangkut masalah konflik realitas, namun
permainan bahasa. Sebaliknya, debat-debat tradisional memperbincangkan materialisme vs
idealisme, kemauan bebas vs determinisme, rasionalisme vs empirisme, dan lain-lain
menyangkut masalah hubungan jiwa-badan. Hal tersebut merupakan debat mengenai praksis
linguistik. Apa peranan filsafat? Filsafat adalah perang melawan pesona inteligensi kita
dengan alat bahasa.
Pemahaman teoretis mengenai dunia, bukan sebagai cemin refleksi dunia melainkan
tindakan diskursif dalam suatu komunitas. Filsafat ilmu dari Kuhn memiliki banyak kesamaan
dengan Wittgenstein. Khun membuat kesimpulan revolusi struktur ilmu yang sangat
berpengaruh. Pada 1996, Wittgenstein mengemukakan bahwa pengetahuan ilmiah merupakan
perlengkapan biasa suatu kelompok atau apapun. Dalam memahaminya, orang perlu
mengetahui karakteristik khusus kelompok yang menciptakan dan menggunakannya.
Beberapa kasus sekarang ini, terutama masalah dikotomi dalam sejarah psikologi,
beberapa kata sepakat telah banyak dilakukan antara modernisme dan pascamodernisme.
Usulan mengenai unsur isi terlihatb pada Fishman yang menampilkan pragmatisisme dalam
kata sepakatnya, dan Schmaide yang menampilkan romantisme. Begitu juga pendekatan untuk
menyatukan psikologi didiskusikan terlebih dahulu, juga studi psikologi yang disarankan
pascamodernisme. Keduanya mengajukan bahwa masalah-masalah psikologi paling baik
diselesaikan dengan pendekatan perspektif multiple.