Anda di halaman 1dari 7

Hikayat Singkat Hang Tuah

Alkisah, pasangan Hang Mahmud dan Dang Merdu mempunyai seorang anak laki-laki
bernama Hang Tuah. Keluarga tersebut tinggal di sebuah desa bernama Sungai Duyung.
Di daerah itu, semua orang tahu bahwa Raja Bintan yang memimpin wilayah tersebut
terkenal baik dan disegani oleh rakyatnya.

Mahmud pun berkeluh kesah kepada istrinya untuk mengadu nasib ke Bintan, siapa tahu
nasibnya akan lebih baik. Setelah berkata tersebut kepada sang istri, malamnya Hang
Mahmud bermimpi ada bulan turun dari langit dan bersinar di atas kepala Hang Tuah.
Laki-laki tua tersebut kemudian terbangun menemui anaknya dan mendapati pemuda itu
memancarkan bau wangi. Pagi harinya, keluarga tersebut mengadakan acara selamatan.

Hari berikutnya, Hang Tuah membantu sang ayah untuk membelah kayu sebagai
persediaan. Di saat yang bersamaan, datanglah para pemberontak yang akan membunuh
orang-orang desa. Banyak orang panik menyelamatkan diri, tapi si pemuda masih tetap
sibuk membelah kayu. Dari jauh, sang ibu berteriak panik dan menyuruh Hang Tuah
untuk pergi menyelamatkan diri. Namun, sudah terlambat karena para pemberontak sudah
berada di depannya.

Para pemberontak kemudian mencoba untuk menusuk Hang Tuah menggunakan


keris tapi dia berhasil menghindar. Lalu ketika ada kesempatan, dia mengayunkan kapak
tepat ke kepala pemberontak dan akhirnya pemberontak tersebut mati.

Berita Hang Tuah berhasil mengalahkan pemberontak sudah tersebar ke seluruh penjuru
negeri. Dia pun kemudian diundang ke istana oleh sang raja. Sebagai bentuk terima kasih,
dia sering diundang untuk datang ke istana dan menjadi orang kepercayaan raja.

Hal tersebut tentu saja membuat para Tumenggung dan pegawai-pegawai yang lain
menjadi iri. Orang-orang iri tersebut kemudian bekerjasama untuk memfitnah Hang Tuah.
Tumenggung kemudian berkata pada raja bahwa Hang Tuah merencanakan
pengkhianatan terhadap kerajaan dan sedang mendekati perempuan di istana bernama
Dang Setia.

Setelah mendengar hal tersebut, Raja Bintan menjadi murka lalu menyuruh para
pengawal untuk membunuh Hang Tuah. Namun, Allah melindungi pemuda yang tidak
bersalah tersebut sehingga para pengawal tidak bisa membunuhnya. Karena tidak mau
menimbulkan masalah lagi, akhirnya Hang Tuah memilih untuk mengasingkan diri ke
hutan.
Hikayat Malim Deman
Pada zaman dahulu, hiduplah seorang pemuda yatim piatu bernama Malim Deman. Untuk
bertahan hidup, dia bekerja di ladang milik pamannya yang terletak di pinggir hutan. Tak
jauh dari situ, ada sebuah rumah yang dihuni oleh seorang janda tua bernama Mandeh
Rubiah.

Mandeh Rubiah adalah wanita yang baik hati dan akrab dengan Malim. Dia sering mengirimi
pemuda itu makanan saat menjaga ladangnya pada malam hari. Bahkan, dia sudah dianggap
anak sendiri oleh janda itu.

Pada suatu malam, Malim Deman merasa haus saat menjaga ladang. Dia berniat untuk
meminta air minum ke rumah Mandeh Rubiah. Sesampainya di pekarangan, dia mendengar
suara beberapa perempuan yang berasal tak jauh dari kolam yang terletak di belakang pondok
wanita tua itu.

Malim mengendap-endap menuju tempat tersebut dan terkejut saat melihat tujuh bidadari
sedang mandi di sana. Pemuda tersebut begitu terpesona saat melihat kecantikan para
bidadari.

Tak jauh dari tempatnya berdiri, tergeletak tujuh selendang milik para bidadari. Tidak ingin
menyia-nyiakan kesempatan, dia mengambil salah satu selendang itu dan disembunyikan di
rumah ibu angkatnya. Ternyata, selendang yang diambil adalah milik bidadari bungsu.

Bidadari bungsu menangis karena tidak bisa kembali ke kayangan. Melihat hal itu, Malim
Deman kemudian mendekati dan mengajaknya untuk tinggal di rumah Mandeh Rubiah.
Bidadari itu pun kemudian diangkat anak oleh Rubiah dan dipanggil Putri Bungsu.

Sejak saat itu, Malim Deman semakin sering pergi ke tempat Mandeh Rubiah dan menjadi
akrab dengan Putri Bungsu. Akibat sering bertemu, kedua muda-mudi tersebut saling jatuh
cinta dan memutuskan untuk menikah tidak lama kemudian. Kebahagiaan pasangan semakin
bertambah setelah dikaruniai seorang putra tampan yang diberi nama Sutan Duano.

Namun, kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama karena Malim Deman mulai gemar
berjudi. Dia bahkan sering berhari-hari tidak pulang. Nasihat sang istri untuk tidak berjudi
lagi pun tidak diindahkannya. Melihat kelakuan suaminya, Putri Bungsu yang sudah tidak
tahan lagi hanya bisa menangis dan menjadi rindu dengan rumahnya di kayangan.

Hingga pada suatu hari saat sedang mencari barang, perempuan cantik itu tidak sengaja
menemukan selendangnya. Dia kemudian menyuruh seseorang untuk menyuruh Malim
pulang kalau masih ingin melihat anak dan istrinya di rumah. Namun, setelah ditunggu
beberapa lama, laki-laki itu tidak juga kunjung pulang.

Akhirnya, Putri Bungsu memutuskan untuk pulang ke kayangan dengan membawa serta anak
lelakinya tanpa menunggu sang suami. Sementara itu, Malim kembali ke rumah dengan
perasaan sangat menyesal karena sudah tidak mendapati anak istrinya di rumah.
Hikayat Singkat Tentang Ibu Sejati
Pada suatu hari, hakim pengadilan dibuat bingung oleh dua orang ibu yang merebutkan
seorang bayi. Karena sama-sama mempunyai bukti yang kuat, hakim tidak tahu
bagaimana caranya untuk menentukan siapa ibu kandung dari bayi itu. Akhirnya, dia
pergi menghadap Raja Harun Al Rasyid untuk meminta bantuan supaya kasus tersebut
tidak berlarut-larut.

Raja kemudian turun tangan sendiri untuk menyelesaikan masalah tersebut. Namun,
beliau malah dibuat putus asa karenanya. Kedua wanita itu sama-sama keras kepala dan
tetap menginginkan bayi itu.

Kemudian, raja memanggil Abu Nawas, pria yang dikenal begitu cerdik, ke istana.
Setelah mengetahui duduk permasalahannya, dia mencari cara agar nasib bayi itu tidak
terlunta-lunta dan bisa bersama lagi dengan ibu kandungnya.

Keesokan harinya, Abu Nawas pergi ke pengadilan dengan membawa serta seorang
algojo. Abu menyuruh meletakkan bayi yang diperebutkan itu di atas sebuah meja. “Apa
yang akan kalau lakukan pada bayi, itu?” tanya kedua ibu yang saling berebut itu
bersamaan.

“Sebelum menjawab pertanyaan kalian, saya akan bertanya sekali lagi. Adakah di antara
kalian berdua yang bersedia menyerahkan bayi itu kepada ibunya yang asli?” kata Abu
Nawas.

“Tapi, bayi ini adalah anakku,” jawab kedua ibu itu serempak. “Baiklah kalau begitu.
Karena kalian berdua sama-sama menginginkan bayi ini, dengan terpaksa saya akan
membelah bayi ini menjadi dua,” jawab laki-laki itu.

Mendengar jawaban tersebut, perempuan pertama sangat bahagia dan langsung


menyetujui usulan tersebut. Sementara itu, perempuan yang kedua menangis histeris dan
memohon agar Abu Nawas tidak melakukan hal tersebut. “Tolong jangan belah bayi itu,
serahkan saja dia pada wanita itu. Aku rela asalkan dia tetap hidup,” isaknya.

Puaslah Abu Nawas ketika mendengar jawaban itu. Akhirnya, dia tahu siapa ibu dari bayi
itu yang sebenarnya. Lalu, dia menyerahkan sang bayi pada perempuan kedua yang
merupakan ibu kandungnya.

Setelah itu, Abu meminta agar pengadilan menghukum wanita yang pertama sesuai
dengan kejahatannya. Hal ini dikarenakan tidak ada seorang ibu yang tega melihat
anaknya dibunuh, apalagi di hadapannya sendiri. Akhirnya, masalah pun selesai dan si
bayi akhirnya dapat bersatu kembali dengan ibu kandungnya.
Hikayat Singkat Putri Kemuning
Alkisah, hiduplah seorang raja yang terkenal adil dan bijaksana. Raja tersebut mempunyai
sepuluh orang putri yang cantik. Anak-anak raja mempunyai nama berdasarkan warna,
yang sulung bernama Putri Jambon, kemudian Putri Jingga, Nila, Hijau, Ungu, Kelabu,
Biru, Oranye, Merah Merona, dan yang terakhir bernama Putri Kuning. Sayangnya,
kebahagian itu kurang lengkap karena istrinya meninggal saat melahirkan si bungsu.

Karena sibuk mengurusi kerajaan, raja menjadi jarang bertemu dengan anak-anaknya.
Kesepuluh putrinya itu hanya dirawat oleh inang pengasuh dan mereka tumbuh menjadi
anak-anak yang sangat manja dan selalu bertengkar. Dari anak-anak itu, hanya si bungsu
yang tidak pernah terlibat pertengkaran kakak-kakaknya dan lebih senang bermain
sendirian.

Pada suatu hari, raja hendak bepergian. “Ayah akan pergi sebentar lagi, apakah kalian
menginginkan sesuatu?” tanya sang raja. Kesembilan anak-anaknya mulai menyebutkan
barang-barang mahal, seperti perhiasan atau kain sutra.

Namun berbeda dengan saudara-saudaranya, Putri Kuning pun menjawab, “Aku tak ingin
apa-apa. Aku hanya ingin ayah kembali dengan selamat.” Raja pun tersenyum mendengar
penuturan putri bungsunya itu.

Selama sang raja pergi, kelakuan kesembilan putrinya semakin menjadi-jadi. Mereka
kerjanya hanya bersenang-senang dan menyuruh para pelayan dengan seenaknya.
Sementara itu, Putri Kuning merasa sedih saat melihat taman tempat kesayangan ayahnya
kotor karena para pelayan sibuk mengurus kakak-kakaknya.

Dia lalu membersihkan taman itu sendiri. Melihat hal tersebut, kakak-kakaknya bukannya
membantu, tapi malah mengejeknya seorang pelayan baru. Bahkan, mereka tidak segan
untuk melempar sampah ke taman itu sehingga Kuning harus membersihkannya lagi.

Keesokan harinya, sang raja pulang dan memberikan hadiah untuk putri-putrinya. Meski
tidak meminta apapun, Putri Kuning tetap mendapatkan hadiah, yaitu berupa kalung
berwarna hijau yang sangat cantik. Melihat hal tersebut Putri Hijau merasa iri, dia
kemudian menghasut saudaranya yang lain dan mengatakan bahwa Kuning mencurinya
dari saku sang ayah.

Mereka berniat memberi pelajaran kepada Putri Kuning dengan merampas kalung itu.
Saat merebutnya dengan paksa, mereka tidak sengaja memukul kepalanya dan
menyebabkan si bungsu itu meninggal. Karena panik, mereka kemudian menguburkannya
di taman dan tidak ada satu pun yang buka mulut mengenai kejadian ini.

Berbulan-bulan Raja mencari putri bungsunya, tapi tidak ketemu. Hingga pada suatu hari
dia tas pusara Putri Kuning tumbuh sebuah tanaman berwarna kuning dan baunya harum.
Raja merawat tumbuhan tersebut dan menamainya Kemuning.
Hikayat Singkat Antu Ayek
Pada zaman dahulu kala di wilayah Sumatra Selatan, ada sebuah keluarga petani
sederhana yang tinggal di sekitar aliran sungai. Keluarga tersebut mempunyai seorang
anak perempuan yang sangat cantik parasnya bernama Juani. Tak hanya mempunyai
wajah cantik, badannya pun langsing sehingga banyak gadis-gadis lain yang iri
melihatnya.

Karena kecantikannya, banyak pemuda tampan yang menaruh hati dan berkeinginan
untuk meminangnya. Sayangnya, tak ada satu pun pinangan yang Juani terima karena
memang belum berniat untuk menikah. Orangtuanya pun sempat khawatir kalau anak
semata wayangnya akan menjadi perawan tua. Namun, gadis itu mampu meyakinkan
orang tuanya bahwa pria baik sesuai kriterianya akan segera datang.

Hingga pada suatu hari, wilayah tersebut dilanda kekeringan sehingga kebun kopi yang
dijadikan tumpuan keluarga Juani mengalami gagal panen. Akibatnya, ayah Juani pun
berhutang kepada seorang rentenir kaya untuk memenuhi biaya hidup sehari-hari sampai
musim panen selanjutnya tiba. Lama kelamaan, hutang tersebut kian menumpuk, sang
ayah pun tidak mampu untuk membayar saat ditagih.

Rentenir itu kemudian berkata bahwa hutang keluarga tersebut akan dianggap lunas kalau
ayah Juani mau menikahkan anak gadisnya dengan putranya. Juani terpaksa setuju untuk
menikah dengan anak rentenir yang bernama Bujang Juandan demi membantu
orangtuanya. Meskipun akan menikah dengan anak orang kaya, tapi hal itu tidak
membuatnya bahagia. Pasalnya, lelaki itu menderita penyakit kulit yang tidak bisa
disembuhkan di sekujur tubuhnya.

Di hari pernikahan, Juani merasa tidak sanggup jika harus meneruskannya. Apalagi,
sudah terbayang di kepalanya akan dicemooh banyak orang karena menolak lelaki
tampan dan akhirnya malah menikah dengan pria yang berpenyakitan. Dia merasa sangat
putus asa dan memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan terjun ke sungai yang dalam.

Setelah beberapa saat, barulah keluarganya menyadari apa yang terjadi pada Juani.
Sayang, semuanya sudah terlambat. Selang beberapa hari, gadis itu ditemukan dalam
keadaan sudah tidak bernyawa. Konon, sejak kematian Juani, di sungai tersebut akan
terdengar suara seorang gadis yang menangis dan sering meminta korban, terutama anak
laki-laki.
Hikayat Singkat Pengembara yang Lapar
Pada zaman dahulu kala, ada tiga orang sahabat yang pergi mengembara, yaitu Kendi,
Buyung, dan Awang. Selama perjalanan, ketiga orang tersebut membawa perbekalan
makanan seperti beras, susu, daging, dan buah-buahan. Ketika merasa lelah, mereka
berhenti sejenak untuk mengisi perut dengan bahan-bahan yang dibawanya tadi.

Hingga pada suatu hari, tibalah mereka di sebuah hutan yang lebat. Mereka merasa lapar,
tapi tidak bisa makan karena bekal yang dibawa telah habis, dan di sini mereka tidak
menjumpai seorang pun yang bisa dimintai tolong. Sembari memikirkan sebuah solusi,
mereka beristirahat di bawah pohon ara yang rindang.

Kendi kemudian berkata, “Seandainya ada nasi sekawah, aku akan habiskan seorang.”
Buyung yang merasa tidak kalah lapar kemudian menyeletuk, “Kalau lapar begini, ayam
panggang sepuluh ekor pun sanggup aku habiskan.” Berbeda dengan kedua temannya,
Awang hanya berharap ada nasi sepinggan dan lauk yang cukup untuk mengobati rasa
laparnya.

Tidak disangka, harapan pengembara-pengembara itu didengarkan oleh pohon ara ajaib.
Pohon tersebut kemudian menggugurkan tiga daunnya yang masing-masing berubah
menjadi makanan yang diinginkan tiga sekawan itu. Kendi dan Buyung merasa senang
sekali menemukan makanan tersebut lalu bergegas menyantapnya.

Awang juga merasa bersyukur bisa mendapatkan makanan meski tidak sebanyak kedua
temannya, yang penting cukup untuk mengisi perutnya. Selesai makan, laki-laki ini
memperhatikan kedua sahabatnya yang masih asyik dengan makanan masing-masing.

Meski sudah makan banyak dan kekenyangan, ternyata Kendi tidak sanggup
menghabiskan jatah makanannya. Nasi yang berada di dalam kawah tersebut ternyata bisa
berbicara dan meminta untuk dihabiskan. Tapi karena merasa tidak sanggup lagi, dia
tidak mau menghabiskan. Akhirnya, nasi-nasi tersebut marah lalu menggigiti tubuhnya.

Hal serupa juga terjadi pada Buyung yang hanya mampu menghabiskan satu ekor ayam
saja, lalu membuang sembilan lainnya ke semak-semak. Tak berapa lama kemudian dari
semak tersebut muncul sembilan ayam jantan yang menyerangnya.

Ketika melihat kejadian yang menimpa temannya, Awang tertegun dan rasanya seperti
dalam mimpi saja. Sayangnya, ketika sudah sadar, dia sudah mendapati kedua temannya
meninggal. Kemudian, dia melanjutkan perjalanan seorang diri.
Hikayat Perjalanan Sri Rama Mencari Sita Dewi
Sudah berhari-hari Sita Dewi menghilang tidak tahu ke mana. Sebagai seorang suami, Sri
Rama tentu saja kebingungan. Dia kemudian memutuskan untuk berkelana mencari sang
istri dengan dibantu oleh seorang pengawalnya. Keduanya mencari keberadaan Sita
hingga ke hutan.

Di sana, keduanya bertemu dengan seekor burung jantan sombong yang mempunyai
empat istri. Dia berseloroh mampu menjaga empat orang istri, sedangkan Sri Rama
menjaga seorang saja tidak mampu. Rama tersinggung ketika mendengarnya, lalu berdoa
kepada Dewata supaya burung itu tidak bisa melihat istri-istrinya. Tidak lama kemudian,
burung tersebut menjadi buta.

Setelah itu, Sri Rama dan pengawalnya melanjutkan perjalanan dan bertemu dengan
seekor bangau yang sedang minum di tepi danau. Laki-laki itu kemudian bertanya kepada
bangau apakah dia melihat istrinya. Burung itu menjawab bahwa dia melihat bayang-
bayang seorang wanita yang dibawa terbang oleh Maharaja Rawana. Rama merasa
senang karena mendapatkan petunjuk sehingga dia mengabulkan permintaan bangau yang
meminta leher lebih panjang agar memudahkannya untuk minum.

Di tengah perjalanan, Sri Rama merasa haus. Dia kemudian melepaskan sebuah anak
panah yang bisa memandu si pengawal untuk menemukan sumber mata air.Pengawal
tersebut membawa air yang setelah diminum ternyata rasanya tidak enak dan berbau
busuk. Mereka lalu menyusuri aliran sumber air itu dan bertemu dengan seekor burung
besar yang sedang sekarat bernama Jentayu.

Sri Rama bertanya apa yang terjadi padanya. Jentayu pun menceritakan tentang
pertarungannya dengan Rawana, lalu memberikan cincin Sita Dewi yang dilemparkan
padanya sebelum jatuh ke bumi. Karena keadaannya yang sudah sangat lemah, Jentayu
pun berpesan kepada Rama untuk membakar mayatnya di tempat yang tidak dihuni
manusia. Tak lama kemudian, burung besar itu mati.

Laki-laki itu kemudian menyuruh pengawalnya untuk mencari tempat yang tidak dihuni
manusia. Sayangnya, setelah mencari ke sana ke mari, pengawal itu tidak dapat
menemukannya. Akhirnya, dia memutuskan untuk membakarnya di tempat itu dan nyala
api yang muncul ternyata begitu besar. Berkat kesaktiannya, Rama tidak terluka
sedikitpun. Sesaat setelah api padam, Rama dan pengawalnya kembali melanjutkan
perjalanan mencari Sita.

Anda mungkin juga menyukai