Anda di halaman 1dari 29

Pemerintah Provinsi Jambi

Kajian Reklamasi Bekas Galian Tambang Batubara


Sebagai Lokasi Wisata di Kabupaten Bungo

Tim Peneliti:
Dr. Asnelly Ridha Daulay
Septu Haswindy, S.S., M.Si
Abdul Salam S.T

Tahun Anggaran 2017


BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
DAERAH PROVINSI JAMBI
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................i

DAFTAR TABEL..................................................................................................iii

DAFTAR GAMBAR.............................................................................................iv

I. PENDAHULUAN...............................................................................................1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Pertanyaan Penelitian 3

1.3 Kerangka Pikir Penelitian 4

1.4 Tujuan Penelitian 5

1.5 Manfaat Penelitian 5

1.6 Batasan Penelitian 6

II. TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................7

2.1 Kondisi bekas tambang di dunia dan Indonesia 7

2.2 Kondisi bekas tambang di Provinsi Jambi11

2.3 Aturan Terkait Reklamasi Tambang 12

2.4 Model Reklamasi Bekas Tambang untuk Menunjang Pariwisata 14

2.5 Konsep Desain Lanskap Pasca Tambang 18

2.6 Strategic Assumption Surfacing and Testing 21

III. METODE PENELITIAN.............................................................................23

3.1 Pemilihan Lokasi Penelitian 23

3.2 Teknik Penentuan Sampel 23

3.3 Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data 23

3.4 Metode Analisis Data 24

3.5 Waktu Dan Jadwal Penelitian 27


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN......................................................................29

4.1 Gambaran Umum Lokasi 29

4.2 Persepsi Masyarakat Sekitar 33

4.3 Kondisi Sosial, Ekonomi dan Lingkungan Desa Rantau Pandan 38

4.4 Hasil analisis terhadap Asumsi Strategis 43

4.5 Identifikasi Karakter Lanskap 49

4.6 Identifikasi Landform 51

4.7 Analisis Karakter Lanskap Untuk Ekowisata 53

4.8 Protbekasi dan Modifikasi Karakter Lanskap 53

4.9 Model Konsep Desain Lanskap Ekowisata Pada Area Pasca tambang Batubara 54

4.10 Pembahasan 68

V. KESIMPULAN DAN SARAN........................................................................78

5.1 Kesimpulan 78

5.2 Saran 78

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................81

LAMPIRAN 1: Data Deskriptif Yang Dibutuhkan..........................................86

LAMPIRAN 2: Kuisioner SAST........................................................................96

LAMPIRAN 3: Daftar Narasumber/Pakar SAST..........................................101

LAMPIRAN 4: Data Umum Responden.........................................................102

LAMPIRAN 5: Tabulasi Data SAST...................................................................106

ii
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Dampak positif dan negatif tambang................................................10

Tabel 2 Data Perusahaan dan Jumlah Produksi Batubara di Provinsi Jambi


Tahun 2016.......................................................................................11

Tabel 3 Data Tahapan Keluarga Sejahtera Kecamatan Rantau Pandan Tahun


2016..................................................................................................40

Tabel 4 Nama sungai yang melintasi desa/dusun di Kecamatan Rantau


Pandan..............................................................................................41

Tabel 5 Asumsi-asumsi keberhasilan pengembangan kolam bekas tambang


sebagai objek wisata.........................................................................44

Tabel 6 Protbekasi dan modifikasi karakter lanskap lokasi bekas tambang


batubara............................................................................................54

Tabel 7 Analisis tapak...................................................................................58

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Kerangka Pikir Penelitian..................................................................4

Gambar 2 Konsep ruang pasca tambang...........................................................20

Gambar 3 Grafik peringkat asumsi (assumption rating)...................................25

Gambar 4 Wilayah administrasi Desa Rantau Pandan......................................29

Gambar 5 Pemandangan di lokasi bekas tambang batubara: (a) Hamparan


rumput ; (b) semak dan belukar; (c) tebing batu; (d) kolam bekas
tambang batubara; (e) vegetasi; (f) lumpur berpasir........................32

Gambar 6 Aksesibilitas ke area bekas tambang batubara: (a) Jalan kendaraan


bermotor; (b) Jalan setapak..............................................................33

Gambar 7 Kolam bekas tambang milik PT. Daya Bara Nusantara di Desa
Rantau Pandan..................................................................................34

Gambar 8 Akses jalan tanah menuju kolam bekas tambang.............................35

Gambar 9 Faktor yang mendorong kunjungan ke lokasi kolam bekas tambang


..........................................................................................................35

Gambar 10 Kondisi kolam bekas tambang yang curam, licin dan dikelilingi
vegetasi liar.......................................................................................37

Gambar 11 Tingkat keramahan penduduk..........................................................37

Gambar 12 Kincir air tua di pinggir sungai.........................................................42

Gambar 13 Air terjun Tegan Kiri di Desa Rantau Pandan..................................43

Gambar 14 Krinok asal Rantau Pandan..............................................................47

Gambar 15 Peringkat grafik sumsi pengembangan kolam bekas tambang sebagai


objek wisata......................................................................................49

iv
Gambar 16 Karakter lanskap lingkungan alami (a) area vegetasi; (b) tebing; (c)
lahan berbukit; (d) semak; (e) belukar; (f) padang rumput; (g)
sungai; (h) permukaan datar............................................................50

Gambar 17 Karakter lanskap lingkungan buatan (a) kolam bekas tambang dan
(b) jalur kendaraan............................................................................51

Gambar 18 Tipe-tipe landform pada area bekas tambang batubara (a) landform
datar; (b) landform cekung; (c) landform cembung; (d) ridge.........52

Gambar 19 Aksesibilitas ke area eks tambang batubara: (a) Jalan kendaraan


bermotor; (b) Jalan setapak..............................................................55

Gambar 20 Peta topografi lokasi kegiatan..........................................................56

Gambar 21 Konsep ruang kolam bekas tambang................................................64

Gambar 22 Konsep sirkulasi...............................................................................66

Gambar 23 Konsep vegetasi...............................................................................67

Gambar 24 Rencana tapak kawasan ekowisata Desa Rantau Pandan.................68

v
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Saat ini banyak bekas galian tambang yang dibiarkan terbuka dan tidak
direklamasi meskipun menurut peraturan yang berlaku, perusahaan pertambangan
wajib melakukan reklamasi tersebut. Hal ini antara lain karena ketidakpatuhan
perusahaan pertambangan serta adanya paradigma bahwa isu lingkungan tidak
begitu penting atau dikalahkan karena tambang dianggap kegiatan ekonomi
strategis bagi suatu negara/wilayah. Menurut Conesa et al. (2008), berakhirnya era
tambang menyebabkan tingginya angka pengangguran dan berkurangnya populasi
penduduk di bekas daerah tambang tersebut karena emigrasi ke wilayah lain.
Secara umum kegiatan pertambangan menimbulkan dampak negatif berupa
konsentrasi logam berat yang tinggi seperti tembaga, seng, kadmium, timbal, dan
air asam tambang yang secara luas memiliki efek negatif pada lingkungan dan
kesehatan manusia. Hasil penelitian di Spanyol juga ditemukan limbah yang
menutupi dasar sungai hingga ketebalan 3 meter. Debu dari limbah pertambangan
dapat mempengaruhi populasi dan flora dan fauna setempat. Tanah pertanian yang
terkena dampak limbah tambang menunjukkan tinggi kandungan seng (empat
kali) dan timbal (sepuluh kali) dibandingkan dengan tanaman pada lahan non-
tercemar.

World Energy Council (WEC, 2013) menyebutkan Indonesia menduduki


peringkat kelima produsen batubara dunia, posisinya berada di bawah China,
Amerika Serikat, India dan Australia, namun Indonesia merupakan eksporter
kedua dunia setelah Australia. Kebutuhan domestik Indonesia masih rendah yaitu
sekitar 20-25% dari produksi batubaranya dan cadangan batubara Indonesia
sebesar 3,1% dari cadangan batubara dunia.

Pada umumnya kendala teknis dalam melakukan reklamasi tambang


terbuka adalah: (1) bentuk lahan yang ekstrim dengan ciri rentan longsor, laju
erosi tinggi, tidak terdapat media tanam dan iklim/curah hujan; (2) Kondisi media
tanam, kualitas bibit tanaman, perencanaan perawatan tanaman, dan iklim/curah
hujan kurang baik; dan (3) Kondisi kesuburan tanah (kandungan unsur makro dan
mikro dalam tanah yang diperlukan oleh tanaman) tidak seimbang (Saleh, 2016).

Provinsi Jambi termasuk salah satu wilayah yang menghadapi masalah


reklamasi tambang. Di beberapa daerah seperti Kabupaten Bungo dan Sarolangun
banyak ditemui bekas galian tambang batubara yang ditelantarkan. Pemegang Izin
Usaha Pertambangan (IUP) wajib melaksanakan reklamasi sebagaimana
disebutkan pada Pasal 99 dan100 UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara dan pada pasal 2 PP No. 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi
dan Pasca tambang, namun dalam kenyataannya aturan tersebut tidak
dilaksanakan. Dari ratusan perusahaan pertambangan yang beroperasi di Provinsi
Jambi, menurut data ESDM Provinsi Jambi tahun 2014, baru 52 perusahaan yang
memiliki dokumen rencana reklamasi.

Kerugian yang diakibatkan bekas galian tambang antara lain merusak


struktur tanah, tidak indah, dan membahayakan manusia karena kemungkinan
terjadinya kecelakaan serta ancaman logam berbahaya dan penyakit. Penyakit
seperti gatal-gatal, muntah, kanker, serta dalam jangka panjang keberadaan logam
berat pada bekas galian tambang tersebut bisa merusak organ tubuh yang berujung
kematian. Resiko pertambangan yang berada di dekat/sekitar badan air lebih besar
lagi karena merusak badan air yang menjadi sumber air konsumsi masyarakat.
Didasari pada kondisi tersebut dan guna menjadikan lokasi bekas-tambang
memiliki nilai produktif untuk menggerakkan ekonomi masyarakat, kolam bekas-
tambang tersebut perlu dikelola dengan memenuhi kaidah pembangunan yang
berkelanjutan, yaitu yang memperhatikan dimensi ekonomi, sosial dan ekologi.
Menurut Kurniawan dan Surono (2013), reklamasi lahan bekas galian tambang
sebaiknya dilakukan secara holistik, tidak hanya mencakup perbaikan fisik
lingkungan, tapi juga memperhatikan aspek pengembangan masyarakat.

Menjadikan kolam bekas galian tambang sebagai objek wisata air


merupakan salah satu alternatif. Selain karena luasnya wilayah bekas galian
tambang tersebut sehingga memungkinkan untuk menjadi objek wisata jika
dikelola dengan baik, ekonomi masyarakat diharapkan akan menggeliat

2
disebabkan oleh kunjungan wisatawan ke lokasi tersebut. Peningkatan nilai
ekonomi dari reklamasi bekas tambang tersebut telah diungkap dalam penelitian
di Iran (Limaei et al., 2014), Spanyol (Conesa et al., 2008), dan Indonesia
(Kurniawan dan Surono, 2013, prasodjo, 2015, Subowo, 2011).

Reklamasi tambang membutuhkan biaya besar (Rande, 2016, Zulkarnaen


et al., 2004) karena terdapat beberapa tahap yang harus dilakukan seperti
persiapan lahan berupa pengamanan lahan bekas galian tambang, pengaturan
bentuk tambang (landscaping), pengaturan/penempatan bahan tambang kadar
rendah (low Grade) yang belum dimanfaatkan, pengendalian erosi dan
sedimentasi, pengelolaan tanah pucuk (top soil) dan revegatasi (penanaman
kembali) dan/atau pemanfaatan lahan bekas galian tambang untuk tujuan lainnya.
Selain biaya, kendala reklamasi lainnya adalah diperlukannya teknologi modern
sehingga hanya perusahaan besar saja yang bisa melakukannya dan luasan yang
direklamasi pun tidak besar.

Potensi bekas galian tambang batubara yang terdapat di Provinsi Jambi


khususnya Kabupaten Bungo untuk direklamasi menjadi objek wisata air (danau
atau kolam pemancingan) terbuka lebar karena saat ini terdapat kolam bekas
galian tambang yang telah menjadi perhatian warga serta sering dikunjungi seperti
danau biru di Kecamatan Pelepat, Rantau Pandan, Bathin III Ulu dan Jujuhan.
Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan pengkajian terhadap pengembangan
kolam bekas galian tambang menjadi objek wisata di Provinsi Jambi dengan
melibatkan masyarakat yang ada di sekitar wilayah tersebut. Penelitian ini selain
menyajikan persepsi masyarakat terhadap rencana tersebut serta analisis terhadap
asumsi strategis untuk pengembangannya, juga akan menawarkan model
arsitektur lanskap yang dapat dikembangkan lebih lanjut di salah satu lokasi
terpilih.

1.2 Pertanyaan Penelitian


1. Bagaimanakah kondisi sekarang bekas galian tambang batubara di Kabupaten
Bungo dari sisi ekonomi, sosial dan ekologi?

3
1.3 Bagaimanakah persepsi masyarakat dan pemerintah daerah tentang prospek
pengelolaan bekas galian tambang batubara sebagai lokasi wisata di
Kabupaten Bungo serta alternatif kebijakan yang diambil berdasarkan
perspektif pakar?
2. Bagaimanakah konsep desain kolam bekas galian tambang batubara sebagai
Daerah Tujuan Wisata (DTW) di Kabupaten Bungo?

1.3 Kerangka Pikir Penelitian

Gambar 1 Kerangka Pikir Penelitian

Reklamasi bekas galian tambang batubara saat ini banyak yang


mengalami penundaan karena beragam alasan. Sebagian perusahaan/pengelolaan
tambang beralasan bahwa reklamasi belum dilakukan karena penghentian
kegiatan pertambangan sementara waktu hingga harga batubara membaik
kembali. Di dalam regulasi jelas disebutkan (pada Pasal 21 PP 78 Tahun 2010)
bahwa pelaksanaan reklamasi wajib dilakukan namun tidak terdapat aturan tegas
yang menyatakan kapan reklamasi itu harus dilakukan. Penundaan reklamasi

4
tersebut secara langsung maupun tidak langsung akan merugikan masyarakat
sekitarnya terutama yang berbatasan langsung dengan lokasi tambang tersebut.
Penggalian informasi tentang dampak lokasi bekas galian tambang batubara yang
terlantar/belum direklamasi perlu dilakukan untuk melihat pengaruh negatifnya
terhadap masyarakat sekitar. Penelitian ini kemudian akan diarahkan untuk
melihat peluang pengembangan reklamasi bekas galian tambang batubara untuk
objek wisata dengan bersandar pada pendapat/persepsi masyarakat yang terkena
dampak langsung serta pemerintah daerah setempat dan diperkuat dengan analisis
asumsi strategis yang mendukung terbentuknya/berkembangnya Daerah Tujuan
Wisata (DTW). Terakhir penelitian ini akan menyajikan konsep desain kolam
bekas galian tambang batubara sebagai lokasi wisata.

1.4 Tujuan Penelitian


Penelitian Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam Berkelanjutan
di Provinsi Jambi bertujuan menghasilkan suatu rekomendasi kebijakan yang
dapat digunakan untuk mengelola kolam bekas galian tambang batubara
khususnya di Kabupaten Bungo sebagai objek wisata alternatif. Guna mencapai
tujuan tersebut, kajian akan difokuskan pada:

1. Menggambarkan kondisi sekarang bekas galian tambang batubara di


Kabupaten Bungo dari sisi ekonomi, sosial dan ekologi.
2. Menganalisis persepsi masyarakat dan pemerintah daerah tentang prospek
pengelolaan bekas galian tambang batubara sebagai lokasi wisata di
Kabupaten Bungo serta alternatif kebijakan yang diambil berdasarkan
perspektif pakar terhadap rencana ini.
3. Membuat konsep desain kolam bekas galian tambang batubara sebagai lokasi
wisata di Kabupaten Bungo.

1.5 Manfaat Penelitian


1. Sebagai masukan kepada Pemerintah Daerah dalam menentukan kebijakan
untuk menciptakan pertambangan yang baik dan benar sehingga reklamasi
pertambangan dapat memenuhi prinsip: 1) Perlindungan dan Pengelolaan

5
Lingkungan Hidup Pertambangan; 2) Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3);
dan 3) Konservasi minerba.
2. Untuk memberikan masukan bagi perusahaan tambang dalam melaksanakan
reklamasi sesuai dengan peruntukannya.
3. Memberi sumbangan pengetahuan bagi peneliti/akademisi dan memperkaya
khasanah ilmu pengetahuan khususnya terkait reklamasi tambang dan
pengelolaan dampak lingkungannya.

1.6 Batasan Penelitian


Penelitian ini dibatasi pada satu lokasi kolam bekas-tambang tertentu yang
dipilih berdasarkan pertimbangan ahli arsitektur lanskap dan ahli pertambangan
untuk menjadi percontohan desain arsitektur lanskap. Asumsi strategis yang
dibangun melalui FGD hanya berlaku untuk objek terpilih. Penelitian tidak
menganalisis air, tanah maupun besaran dana yang dibutuhkan untuk reklamasi
tambang menjadi objek wisata.

6
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kondisi bekas tambang di dunia dan Indonesia


Berdasarkan hasil penelitian pada lokasi bekas tambang di Spanyol,
Conesa et al. (2008) menyimpulkan terdapat tiga pertimbangan penting terkait
restorasi lingkungan pertambangan adalah: (1) Pemulihan lingkungan dipandang
oleh otoritas lokal atau asosiasi budaya lokal sebagai penghalang yang dapat
menghambat pembangunan ekonomi karena berbiaya mahal dan pemerintah lokal
tidak mampu menutupi biaya ini. Oleh karena itu, dibutuhkan dukungan dana dari
pemerintah pusat atau pihak lain. Biaya remediasi selalu menjadi kendala penting.
Masyarakat harus diajak melihat manfaat dari perbaikan lokasi tersebut; (2)
Menurut hukum Spanyol terdapat kewajiban pengelola tambang untuk melakukan
dekontaminasi tanah yang sebelumnya telah diklasifikasikan sebagai
"terkontaminasi". Namun terdapat kelemahan pada aturan tersebut dimana tidak
mencantumkan secara jelas tingkat referensi untuk logam berat yang merupakan
polutan utama di lokasi tambang tersebut. Meskipun demikian, dengan
mengandalkan kriteria objektif pada regulasi tersebut telah cukup untuk
memutuskan bahwa situs lokal tambang tersebut berbahaya untuk lingkungan dan
harus dilakukan perbaikan. Undang-undang juga menyatakan bahwa teknologi
yang digunakan untuk perbaikan tanah harus mempertimbangkan penggunaan
masa depan dari tanah tersebut. Pertanyaan yang masih menggantung adalah akan
digunakan untuk apa (perkotaan, pertanian, kehutanan, pariwisata, tidak
digunakan untuk apapun, dan lain-lain) tanah tersebut serta sejauh mana
perbaikan harus dilakukan; (3) Pada sisi lain ada kemungkinan munculnya
inisiatif swasta (yang mungkin lebih efisien dari segi waktu dibanding inisiatif
publik) tetapi "pariwisata budaya" semacam ini tidak menjadi pilihan yang
menarik karena tingkat pengembaliannya yang rendah. Warisan pertambangan
tidak akan menghasilkan manfaat ekonomi tinggi karena sulit menjadi daya tarik
pariwisata massal, melainkan hanya sebagai pelengkap. Dengan
mempertimbangkan pertambangan Cartagena-La Unión berdekatan dengan pusat
wisata massal La Manga del Mar Menor yang banyak menarik investasi swasta,
pengembangan wisata sejarah tambang ini memiliki prospek yang baik.

Batubara merupakan bahan bakar fosil yang berperan vital dalam


perindustrian. Walaupun batubara memiliki sisi negatif sebagai sumber energi
sekaligus penghasil polusi, batubara lebih banyak dipilih ketimbang gas alam. Gas
alam lebih rentan terhadap fluktuasi harga pasar di dunia. Selain itu, batubara
berperan strategis terhadap ekonomi nasional dan daerah karena batubara dapat
memberikan pengaruh efek ganda, seperti penyerapan tenaga kerja,
pengembangan wilayah dan masyarakat, penumbuhan pusat kegiatan ekonomi di
daerah terpencil serta peningkatan pendapatan kepada pemerintah pusat maupun
daerah dari pajak, royalti, dan devisa.

Pada umumnya, kegiatan penambangan batubara di Indonesia dilakukan


dengan cara terbuka atau open pit mining. Kegiatan ini dilakukan dengan terlebih
dahulu membersihkan area tambang dari vegetasi (land clearing) diikuti dengan
mengupas lapisan-lapisan tanah hingga sampai pada deposit biji tambang
(Maharani et al., 2010). Penambangan sistem terbuka konvensional banyak
mengubah bentang lahan dan keseimbangan ekosistem permukaan tanah,
menurunkan produktivitas tanah dan mutu lingkungan. Pertambangan batubara
menyebabkan kerusakan besar pada flora, fauna, hidrologi dan sifat biologi tanah
(Kumar dan Pandey, 2013).

Areal bekas tambang yang terbuka dan tergenang air di Bangka disebut
kolong (Himawan et al., 2015). Pengelolaan sumberdaya kolong ditujukan sebagai
upaya perbaikan lingkungan dan peningkatan investasi daerah melalui
peningkatan nilai kolong sebagai sumberdaya ekonomi masyarakat. Hal ini
diperkuat dengan dikeluarkanya Peraturan Daerah No 26 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan dan Pemanfaatan Kolong. Caranya dengan menggunakannya sebagai
sumber air baku.

Dari berbagai literatur disebutkan kegiatan pertambangan membuat


kerusakan sifat fisik dan kimia tanah. Penggalian top soil yang bertujuan untuk
mencapai lapisan tambang membuat perubahan pada struktur tanah yang

8
berdampak pada kerusakan sifat fisik dan kimia tanah. Kegiatan penambangan
dapat menyebabkan perubahan pada struktur tanah akibat penggalian top soil
untuk mencapai lapisan bahan tambang yang lebih dalam (Herjuna, 2011).

Lebih lanjut, pembuatan dam mengakibatkan perubahan topografi dan


komposisi tanah permukaan, akibat digunakannya tanah overburden sebagai
sarana penimbun. Top soil hilang karena tertimbun tailing atau terendam
genangan air. Pada lahan bekas tambang tampak berupa kolong (yang berbentuk
semacam danau kecil dengan kedalaman mencapai 40 m), timbunan liat hasil
galian (overburden), dan hamparan taling (sisa pencucian bahan galian) yang
berupa rawa atau lahan kering. Latifah (2003) mengindikasikan bahwa sejalan
dengan waktu, timbunan tailing akan membentuk hamparan tailing yang semakin
luas. Hasil penelitian Sitorus et al. (2007) menunjukkan bahwa sifat fisik tailing
tidak mudah berubah dengan bertambahnya waktu. Tailing berusia 25 tahun
belum menyamai tanah asli.

Menurut Zulkarnaen et al. (2004), kerusakan lahan akibat pertambangan


meliputi: (1) perubahan vegetasi penutup saat proses land clearing yang secara
signifikan mengakibatkan hilangnya vegetasi alami. Kehilangan vegetasi alami
berdampak pada iklim mikro, keanekaragaman hayati dan berkurangnya habitat
satwa hutan; (2) Perubahan tanah penutup saat pengupasan tanah pucuk didaerah
operasi penambangan. Perubahan topografi ini akibat bukaan lahan untuk lubang
tambang, tumpukan overburden dan infrastruktur. Permasalahan sering muncul
pada tambang kecil dimana hilangnya vegetasi, bentukan topografi yang tidak
teratur atau membentuk lereng memperbesar laju permukaan dan potensi erosi
tanah; (3) Perubahan pola hidrologi akibat hilangnya vegetasi yang mengganggu
siklus hidrologi. Pemompaan air tanah yang dilakukan selama operasi
penambangan akan mengganggu pola dan muka air tanah serta potensi
tercemarnya badan air oleh unsur sulfida yang terjadi dari singkapan batuan; dan
(4) Kerusakan tubuh tanah akibat pengupasan dan penimbunan tanah kembali
untuk reklamasi, dalam hal ini topsoil dan subsoil dapat tercampur secara tidak
merata sehingga mengganggu kesuburan fisika, kimia dan biologi tanah. Selain itu

9
pembongkaran dan pemindahan batuan yang mengandung sulfida mengakibatkan
terbukanya mineral sulfida terhadap udara bebas yang memicu oksidasi. Bila
mineral sulfida ini terlarut dalam air permukaan bisa membentuk aliran Air Asam
Tambang (AAT) yang berpotensi mengandung bahan beracun dan berbahaya (B3)
serta dapat menurunkan kualitas lingkungan. Sedangkan menurut Kurniawan dan
Surono (2013), perubahan lingkungan akibat aktivitas pertambangan seperti
permukaan lahan menjadi tidak teratur, kesuburan tanah rendah dan rawan erosi,
sehingga daya dukung tanah untuk tanaman menjadi rendah. Keterbatasan air juga
menjadi masalah dimana kurang berhasilnya kegiatan reklamasi melalui
revegetasi disebabkan oleh kurangnya pasokan air untuk tanaman.

Tabel 1 Dampak positif dan negatif tambang

10
2.2 Kondisi bekas tambang di Provinsi Jambi
Permen ESDM No.7 Tahun 2014 menjelaskan reklamasi adalah kegiatan
yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata,
memulihkan dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat
berfungsi kembali sesuai peruntukannya. Sedangkan batubara didefenisikan
sebagai endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari
sisa tumbuh-tumbuhan.

Kegiatan penambangan batubara di Provinsi Jambi tersebar di beberapa


kabupaten seperti Muaro Bungo, Batanghari, Muaro Jambi, Tebo dan Sarolangun.
Berdasarkan Tabel 2.2 dapat dilihat bahwa dari 160 perusahaan yang
terdaftar/memiliki izin hanya 23 perusahaan yang melakukan proses produksi
pada tahun 2016. Dari 23 perusahaan tersebut telah memproduksi 5.928.263,49
metrik/ton batubara.

Tabel 2 Data Perusahaan dan Jumlah Produksi Batubara di Provinsi Jambi


Tahun 2016
Jumlah Jumlah
Total Produksi
Nama Kabupaten Perusahaan Perusahaan Aktif
(metric/ton)
Terdaftar Berproduksi
Bungo 34 9 1.955.839,69
Batanghari 24 4 909.230,800
Muaro Jambi 16 2 117.028,79
Tebo 33 8 163.289,05
Sarolangun 33 0 0
Merangin 7
Tanjabbar 6
Jumlah 150 23 5.928.263,49
Sumber: ESDM Provinsi Jambi, 2016

2.3 Aturan Terkait Reklamasi Tambang


Kewajiban perusahan tambang untuk melakukan reklamsi tercantum pada
UU Nomor 4/2009 pasal 4 dimana disebutkan pemegang IUP dan IUPK wajib

11
melaksanakan reklamasi dan pasca tambang. Selain itu pada Pasal 79 disebutkan
pada IUP Operasi Produksi wajib memuat keterangan tentang lingkungan hidup
termasuk reklamasi dan pasca tambang serta dana jaminan reklamasi dan pasca
tambang. Setiap pemegang IUP dan IUPK wajib menyerahkan rencana reklamasi
dan rencana pasca tambang pada saat mengajukan permohonan IUP Operasi
Produksi atau IUPK Operasi Produksi serta ditekankan harus sesuai dengan
peruntukan lahan pasca tambang (Pasal 99 ayat (1) dan (2)). Sedangkan pada
Pasal 100 disebutkan kewajiban perusahaan menyediakan dana jaminan reklamasi
dan pasca tambang.

Peluang pemerintah untuk terlibat dalam kegiatan reklamasi ataupun pasca


tambang terbuka dimana baik Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota dapat
menunjuk pihak ketiga melakukan kegiatan reklamasi dan pasca tambang dengan
dana jaminan tersebut. Hal ini bisa dilakukan jika pemegang IUP atau IUPK tidak
melaksanakan reklamasi dan pascatambang sesuai dengan rencana yang telah
disetujui (Pasal 100 ayat (2) dan (3)).

Dalam melakukan reklamasi, satu hal yang perlu diperhatikan adalah


kesesuaian lahan. Menurut Rande (2016), analisis kesesuaian lahan perlu
dilakukan dalam tahapan reklamasi guna mengetahui kondisi lahan yang aman
dan stabil dan berdaya dukung terhadap peruntukan lahan pascatambang serta
lahan tersebut menjadi produktif dan bermanfaat bagi masyarakat setempat.
Selain itu juga dilakukan evaluasi kesesuaian lahan yang bertujuan
membandingkan antara karakteristik/kualitas lahan dengan persyaratan
penggunaan lahan.

Penentuan tataguna lahan pascatambang sangat tergantung pada berbagai


faktor, antara lain: potensi ekologis lokasi tambang dan keinginan masyarakat
serta pemerintah setempat (Rande, 2016). Berdasarkan PP No. 78 Tahun 2010
tentang Reklamasi dan Pascatambang, tata guna lahan sesudah ditambang
disesuaikan dengan peruntukan lahan pascatambang berdasarkan kesepakatan
dengan pemilik lahan dan tata ruang yang ada. Selain kegiatan reklamasi,
terdapat juga kegiatan pasca tambang yang meliputi: (1) reklamasi pada lahan

12
bekas tambang dan lahan di luar bekas tambang; (2) pemeliharaan hasil reklamasi;
(3) pengembangan dan pemberdayaan masyarakat; dan (4) pemantauan (Pasal 10).

Perubahan rencana reklamasi juga dimungkinkan berdasarkan Pasal 14 PP


Nomor 78/2010 ayat (2) dimana perubahan tersebut diajukan dalam jangka waktu
paling lambat 180 (seratus delapan puluh) hari kalender sebelum pelaksanaan
reklamasi tahun berikutnya kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya. Jika perubahan rencana reklamasi dilakukan maka
pemegang IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi wajib melakukan
perubahan rencana pasca tambang (Pasal 17).

Program reklamasi pada tahap operasi produksi menurut Permen ESDM


Nomor 7/2014 tentang Pelaksanaan Reklamasi dan Pascatambang pada Kegiatan
Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara dilaksanakan dalam bentuk revegetasi
dan/atau peruntukan lainnya (Pasal 12). Subowo (2011) mengatakan dalam
penentuan jenis tanaman untuk revegetasi lahan, hal yang harus diperhatikan
antara lain spesies alami yang tumbuh di lokasi setempat, spesies yang dapat
menyesuaikan dengan kondisi pasca tambang, tanaman tersebut mudah
berkembang biak serta bernilai ekonomis dan sesuai dengan RTRW daerah
setempat, tanaman dapat memancing fauna, serta berkoordinasi dengan instansi
terkait dan masyarakat setempat. Sedangkan Rande (2016) mengatakan untuk
lahan revegetasi, maka harus diketahui lebih dahulu sifat dan kondisi tanah serta
jenis tanaman yang cocok/sesuai yang akan digunakan pada lahan tersebut.

Reklamasi tambang peruntukan lainnya seperti dimaksud pada Permen


ESDM Nomor 7/2014 Pasal 12 dapat berupa area pemukiman, pariwisata, sumber
air dan area pembudidayaan. Sedangkan pada Pasal 12 ayat (7) dijelaskan rencana
biaya reklamasi tahap operasi produksi dihitung berdasarkan biaya langsung, yang
terdiri atas biaya penatagunaan lahan, revegetasi, pencegahan dan
penanggulangan air asam tambang, pekerjaan sipil sesua peruntukan lahan
pascatambang atau pemanfaatan lubang bekas tambang (void) serta biaya tidak
langsung, yang terdiri atas biaya mobilisasi dan demobilisasi alat, perencanaan

13
reklamasi, administrasi dan keuntungan pihak ketiga sebagai pelaksana reklamasi
tahap operasi produksi, dan supervisi.

2.4 Model Reklamasi Bekas Tambang untuk Menunjang Pariwisata


Baik pertambangan maupun pariwisata dapat digolongkan sebagai
industri yang ekstraktif namun penilaian terhadap kedua industri ini berbeda.
Menurut Erb (2016), pertambangan sering diasumsikan dengan pengelolaannya
yang buruk, korupsi dan kurangnya transparansi dan kadangkala menjurus kepada
ketegangan di tengah masyarakat. Sebagai sebuah industri eksploitasi tambang
dilihat merusak lingkungan dan merupakan contoh pembangunan yang tidak
berkelanjutan. Meskipun pariwisata juga dianggap sebagian orang sebagai industri
ekstraktif namun tidak dilihat senegatif pertambangan dan lebih baik dalam nilai-
nilai keberlanjutan, perlindungan lingkungan, budaya dan tradisi. Pandangan kritis
terhadap wisata dilemahkan oleh banyaknya nilai-nilai positifnya (jika
dibandingkan dengan industri pertambangan).

Aktivitas pertambangan yang memanfaatkan sumber daya alam, banyak


mengakibatkan perubahan lanskap sehingga terjadi kerusakan dan kehancuran
ekosistem (Waterman, 2009, Zonneveld dan Forman, 1989) Salah satu upaya
alternatif untuk melindungi sumberdaya dari kerusakan lanskap alami dan
mempertahankan kualitas estetikanya adalah melalui ekowisata. Ekowisata
merupakan salah satu kegiatan wisata terbatas yang dapat dilakukan di lingkungan
yang memiliki karakter lanskap alami (nature landscape character), dimana
sumberdayanya juga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi.

Reklamasi bekas tambang batubara dimungkinkan untuk pariwisata sesuai


dengan Pasal 12 ayat (4) dan (5) Permen ESDM Nomor 7/2014 yang
menyebutkan program reklamasi tahap operasi produksi dapat berupa revegetasi
atau peruntukan lain seperti area pemukiman, pariwisata, sumber air, atau area
pembudidayaan. Adapun kriteria keberhasilan reklamasi tahap eksplorasi meliputi
standar keberhasilan penatagunaan lahan, revegetasi, dan penyelesaian akhir.

Pada Pasal 2 dijelaskan prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan


hidup pertambangan meliputi: (a) perlindungan terhadap kualitas air permukaan,

14
air tanah, air laut, dan tanah serta udara berdasarkan standar baku mutu atau
kriteria baku kerusakan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; (b) perlindungan dan pemulihan keanekaragaman hayati;
(c) penjaminan terhadap stabilitas dan keamanan timbunan batuan samping dan/
atau tanah/batuan penutup, kolam tailing, lahan bekas tambang, dan struktur
buatan lainnya; (d) pemanfaatan lahan bekas tambang sesuai dengan
peruntukannya; (e) memperhatikan nilai sosial dan budaya setempat; dan (f)
perlindungan terhadap kuantitas air tanah sesuaidengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Hal penting untuk restorasi bekas tambang adalah pemilihan tanaman


penghijauan yang tidak menumpuk logam di tunas, hal ini guna menghindari
akumulasi logam dalam rantai makanan. Pemulihan lingkungan lokasi tambang
biasanya mahal karena luasnya wilayah yang terkena dampak dan besarnya bahan
tercemar yang harus ditangani. Restorasi ini memerlukan investasi ekonomi
tinggi. Agar hasilnya menguntungkan maka haruslah berupa pariwisata massal
(hotel, resor golf,dll). Upaya dari otoritas publik harus dibuat untuk menampung
kepentingan pemilik pertambangan tua perusahaan, pengembangan ekonomi lokal
dan pengamanan identitas bersejarah pertambangan. Pemilik tambang tertarik
pada kegiatan transformasi dari daerah pertambangan menjadi pusat wisata
massal. Namun, aspek bersejarah dan sosial harus dipertimbangkan serta tidak
semata-mata menilai manfaat ekonomi karena ini dapat mengakibatkan
pembangunan yang berlebihan dan hilangnya identitas lokal. Tujuannya haruslah
pembangunan sistem yang berkelanjutan, daripada hanya memaksimalkan
keuntungan finansial jangka pendek. Konservasi budaya lokal ini harus
dikompromikan dengan pemeliharaan risiko lingkungan yang rendah bagi
penduduk dan wisatawan. Kehadiran tailing tambang di dekat kota-kota,
penyebaran bahan tercemar melalui dasar sungai, atau bangunan yang dalam
keadaan hancur harus diperhitungkan sebelum melaksanakan proyek wisata
(Conesa et al., 2008).

15
Menurut Conesa et al. (2008), kendala yang dihadapi dalam
mengembangkan bekas tambang sebagai objek wisata antara lain : i) daya tarik
rendah untuk sebagian orang karena terdapatnya perbedaan standar tentang
keindahan, ii) lokasi eksploitasi pertambangan sangat luas sehingga berbiaya
mahal untuk merestorasinya, iii) degradasi lingkungan, dan iv) dalam
kebanyakan kasus lokasi bekas tambang tersebut jauh dari lingkaran wisata
tradisional. Beberapa lanskap pertambangan dan unsur terkait dianggap sebagai
bagian dari warisan manusia karena adanya nilai-nilai sejarah. Beberapa situs
pertambangan tua telah termasuk dalam daftar warisan dunia. Ada dua komponen
utama pada wisata tambang : 1) adanya nilai pendidikan untuk membangkitkan
kesadaran publik tentang sumberdaya budaya, alam dan sejarah dan 2) adanya
nilai sosial ekonomi terkait dengan daya tarik wisata yang dimilikinya (terutama
untuk lokasi bekas-tambang yang bernilai sejarah).

Kementrian Pariwisata RI telah mengarahkan pembangunan pariwisata


berkelanjutan mempunyai empat strategi yaitu: Strategi Kunci 1: Perubahan Pola
Pikir semua pemangku kepentingan; Strategi Kunci 2: Pengembangan Indikator
Pariwisata Berkelanjutan, penyesuaian dan pemberlakuan; Strategi Kunci 3:
Pembiasaan diri terhadap pola pikir baru tentang pekerjaan layak yang ramah
lingkungan dan pariwisata berkelanjutan; dan Strategi Kunci 4: Memperkenalkan
berbagai mekanisme pengelolaan strategis dan penegakannya. Setelah itu
diusulkan 10 strategi implementasinya, yaitu: (1) Mengarusutamakan dan
memromosikan pekerjaan layak yang ramah lingkungan melalui pariwisata
berkelanjutan; (2) Memprioritaskan pengurangan kemiskinan dalam
kepariwisataan; (3) Memperkuat peluang lapangan kerja bagi pemuda dalam
sektor kepariwisataan dan pariwisata (untuk) anak muda; (4) Mendukung
kementerian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak dalam
memberantas isu-isu terkait jender dan perlindungan terhadap anak; (5)
Menerapkan sistem dengan berbagai aturan/standar sukarela untuk pariwisata
berkelanjutan; (6) Menetapkan pendidikan, pelatihan dan penelitian terkait
pariwisata sebagai prioritas dalam agenda pendidikan dan peneltian nasional; (7)
Identifikasi mitra lokal (daerah) yang potensial dan mempunyai komitmen; (8)

16
Melakukan pemasaran yang selektif dan kreatif; (9) Menerapkan pendekatan
berkelanjutan dalam perencanaan kepariwisataan; dan (10) Membentuk satu badan
koordinasi tunggal untuk pembangunan kepariwisataan yang berkelanjutan
(Kemenpar.RI, 2012).

Pengelolaan pariwisata dapat diserahkan ke masyarakat dalam bentuk


konsep wisata Community Based Tourism (CBT). Menurut Purbasari dan Asnawi
(2014), Community Based Tourism merupakan pariwisata yang konsern terhadap
kelangsungan budaya, sosial dan lingkungan. Bentuk pariwisata ini dikelola dan
dimiliki oleh masyarakat guna membantu wisatawan meningkatkan kesadaran
mereka dan belajar tentang tata cara hidup masyarakat lokal. Konsep Community
Based Tourism berbeda dengan pariwisata massa. CBT berasumsi bahwa
pariwisata harus berangkat dari kesadaran nilai-nilai kebutuhan masyarakat dan
memberikan manfaat lebih bagi kebutuhan, inisiatif dan peluang masyarakat
lokal. Kriteria ukuran kesuksesan CBT berdasarkan penelitian evaluasi di
beberapa negara di Asia adalah: (a) Melibatkan Masyarakat Luas; (b). Manfaat
dapat terdistribusikan secara merata pada semua masyarakat; (c) Manajemen
pariwisata yang baik; (d) Kemitraan yang kuat baik ke dalam maupun ke luar; (e)
Keunikan atraksi; dan (f) Konservasi lingkungan tidak terabaikan.

Mathew dan Sreejesh (2017) mendefinisikan Perceived Responsible


Tourism sebagai evaluasi terhadap masyarakat lokal yang bertempat tinggal di
destinasi wisata tentang sejauh mana mereka merasakan pihak-pihak yang terlibat
dalam inisiatif pariwisata ikut terlibat dalam perlindungan lingkungan dan
memiliki tanggung jawab etis dalam manajemen dan operasional bisnis
pariwisata. Singkatnya, perceived responsible tourism berfokus pada keterlibatan
individu dalam mengambil tanggung jawab untuk mengambil tindakan, ketika
banyak pihak terlibat, seperti konsumen, pemasok, penyedia layanan pariwisata,
pemerintah, dll.

Penting juga untuk mengembangkan persepsi yang baik di kalangan


masyarakat lokal mengenai kualitas pekerjaan yang diberikan sebagai bagian dari
prakarsa pariwisata berkelanjutan. Selain itu, persepsi positif mengenai

17
keberlanjutan dapat dikembangkan melalui pembentukan sekolah teknik dan
kejuruan di destinasi pariwisata untuk memperbaiki standar dan jangkauan
program pengembangan ketrampilan. Ini harus diikuti dengan penilaian
kebutuhan yang komprehensif. Juga, strategi yang memastikan bahwa total
pengeluaran perjalanan wisatawan secara proporsional dapat diterima atau
mengalir kembali ke masyarakat dan mendorong pengunjung untuk
memanfaatkan produk dan layanan dari tempat tujuan sebanyak mungkin
sehingga dapat membuat suatu perubahan. Pembuat kebijakan perlu
mengingatkan bahwa bukan hanya pekerjaan dan pendapatan yang kecil, namun
persepsi mengenai kualitas kerja individu lokal dan pendapatan/rezeki yang
konsisten juga sangat penting (Mathew dan Sreejesh, 2017).

2.5 Konsep Desain Lanskap Pasca Tambang


Pada kawasan pasca tambang, kegiatan yang utama dalam merehabilitisai
lahan yaitu mengupayakan agar menjadi ekosistem yang berfungsi optimal atau
menjadi ekosistem yang lebih baik. Reklamasi lahan dilakukan dengan menimbun
kembali lubang tambang serta melapisinya dengan tanah pucuk, dan revegetasi
lahan serta diikuti dengan pengaturan drainase dan penanganan/pencegahan air
asam tambang. Reklamasi dengan spesies-spesies pohon dan tumbuhan bawah
yang terpilih dapat memberikan peranan penting dalam mereklamasi hutan
tropika. Dalam studi ini kawasan reklamasi yang memiliki skala besar atau yang
mengalami perubahan bentang alam secara signifikan perlu disusun rencana detail
tata ruang (RDTR) kawasan. Penyusunan RDTR kawasan reklamasi ini dapat
dilakukan bila sudah memenuhi persyaratan administratif berikut :

1. Memiliki RTRW yang sudah ditetapkan dengan Perda sehingga peruntukan


lahan pada suatu wilayah menjadi jelas;
2. Memiliki dokumen lingkungan Amdal/UKL/UPL;

3. Memiliki rencana reklamasi dan pasca tambang.

Tata ruang kawasan reklamasi memperhatikan beberapa aspek seperti


aspek sosial, aspek ekonomi, aspek pergerakan, aspek aksesibilitas, dan aspek

18
transportasi. Penataan lahan bekas tambang disesuaikan dengan penetapan tata
ruang wilayah bekas tambang. Lahan bekas tambang dapat difungsikan menjadi
kawasan lindung ataupun budidaya. Istilah tata guna tanah biasa juga dikenal
dengan istilah asingnya sebagai land use planning. Apabila istilah tata guna tanah
dikaitkan dengan obyek hukum agraria nasional (UUPA), maka penggunaan
istilah tersebut kurang tepat. Hal ini dikarenakan obyek hukum agraria meliputi:
bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Sedangkan tata guna tanah hanya berobyek tanah yang merupakan salah satu
bagian dari obyek hukum agraria

Konsep dasar rencana desain lanskap pasca tambang meliputi tiga hal
yaitu :

1. Need : merupakan suatu proses untuk mengidentifikasi jenis kegiatan yang ada
dan yang akan dikembangkan serta menelaah sampai sejauh mana kegiatan
tersebut mempengaruhi karakter ruang yang akan terbentuk.
2. Context : Segala hal yang berhubungan dengan site dan lingkungan sekitarnya
3. Form (bentuk lanskap) : Apa yang telah diterapkan pada lahan.

Dalam mengembangkan lebih lanjut rencana konseptual, hal yang perlu


menjadi perhatian adalah menterjemahkan fungsi area kepada fungsi volume.
Setiap volume atau ruang dipahami dalam ukuran, bentuk, bahan, warna, tekstur,
dan kualitas lain untuk mengakomodasi fungsi terbaik dan sesuai dengan tujuan
yang ingin dicapai dan konsep dasar pengembangan. Dalam hal ini dapat
dikatakan bahwa perencanaan adalah dua dimensi; berpikir tiga dimensi
membawa kita ke dalam dunia desain (Starke dan Simonds, 2013). Selanjutnya
konsep ruang dapat dibagi menjadi tiga yaitu :

1. Area Penyangga: Area ini berfungsi sebagai area konservasi pada sekeliling
lahan pasca tambang. Jenis kegiatan yang dapat dilakukan di area ini terbatas.
Selain itu kendaraan tidak dapat memasuki area ini. Jenis tanaman yang
digunakan sebagai tanaman konservasi adalah tanaman dari famili leguminosa
atau fabaceae yang salah satunya adalah lamtoro (Leucaena leucocephala).

19
Selain itu juga dapat digunakan tanaman kehutanan dengan jenis yang
beragam.

2. Area Edukasi: Area ini berfungsi sebagai pendidikan dan pengembangan


masyarakat. Area ini dapat dikelola bersama dengan masyarakat. Jenis
kegiatan yang dapat dikembangkan misalnya area rekreasi edukasi, area yang
memperlihatkan bekas proses penambangan dan area pengembangan kuliner
masyarakat.

3. Area Wisata: Area ini berfungsi sebagai area wisata. Kegiatan wisata yang
dihadirkan berupa menikmati perjalanan (tour) keliling kawasan dan
dilanjutkan menikmati obyek-obyek wisata, wisata pada obyek seperti kolam
tailing, bangunan-bangunan tambang, dan obyek wisata lainnnya.

Konsep desain ruang ekowisata yang akan dibuat mengacu kepada tahapan
proses desain (Booth, 1983). Tahapan proses yang dilakukan hingga konsep
desain yakni : 1) persiapan denah ruang; 2) inventarisasi detil ruang; 3)
wawancara; 4) program pengembangan ruang; 5) pembuatan diagram fungsi; 6)
pembuatan diagram fungsi yang dihubungkan dengan ruang aktivitas; 7) konsep
perencanaan; 8) komposisi bentuk ruang; dan 9) konsep desain (preliminary
design).

Gambar 2 Konsep ruang pasca tambang

20
Konsep desain kawasan pasca tambang lebih banyak ditekankan kepada
bentuk sirkulasi (circulation form) dan bentuk-bentuk ruang (spatial form).
Selanjutnya dapat diuraikan konsep desain pada sub area (subarea design). Pada
Gambar 2 di atas diperlihatkan contoh konsep ruang pasca tambang.

2.6 Strategic Assumption Surfacing and Testing


Salah satu cara untuk merumuskan asumsi strategi guna pengembangan
objek wisata dilakukan dengan metode Strategic Assumption Surfacing and
Testing (SAST). Menurut Himawan et al. (2015), metode SAST dapat digunakan
untuk membentuk model kebijakan berdasarkan perspektif masyarakat yang
didahului dengan memunculkan beberapa asumsi dasar. Pengambilan sampel
dilakukan dengan seleksi pakar secara sengaja (purposive).

Menurut Eriyatno dan Larasati (2013), teknik SAST dibangun karena


organisasi terbiasa untuk meniru model pemecahan masalahan berdasarkan model
yang sebelumnya pernah sukses dipakai. Melalui SAST, akan dimunculkan
kebijakan dan prosedur alternatif yang harus selalu dipertimbangkan dalam proses
koordinasi lintas pelaku sehingga organisasi akan selalu belajar sebab asumsi
yang digunakan akan terus berkembang seiring dengan dinamika baru.

Bloncard dan Fabrycky (1981) mengungkapkan beberapa sifat falsafah


SAST seperti: (1) Berlawanan; upaya penilaian masalah yang tidak terstruktur
dengan baik dapat dibuat dengan sebaik-baiknya setelah mempertimbangkan
perspektif yang bertentangan; (2) Partisipatif; pelibatan berbagai individu atau
kelompok yang terkait atau organisasi yang berbeda untuk memecahkan masalah
yang kompleks dan kemudian mendistribusikan pelaksanaan hasil pemecahan
masalah pada berbagai pihak; (3) Integratif; melakukan sintesis asumsi dari
berbagai sudut pandang agar dihasilkan rencana tindak yang dapat
diimplementasikan; (4) Mendukung gagasan manajerial; dengan melibatkan para
manajer yang selalu dihadapkan pada berbagai asumsi lebih paham tentang
organisasi, kebijakan maupun masalah-masalah yang dihadapinya.

21
Menurut Eriyatno dan Fadjar (2007), SAST adalah suatu metode yang
digunakan dalam menyusun alternatif kebijakan berdasarkan asumsi-asumsi.
Tahapan dari metode ini adalah:

1) Pembentukan kelompok: yaitu mengumpulkan pihak-pihak yang terlibat dan


dipengaruhi situasi, kemudian membaginya menjadi kelompok-kelompok
kecil. Setiap kelompok harus berbeda pengetahuan dan sudut pandang
mengenai masalah yang dihadapi untuk memaksimalkan perbedaan. Setiap
kelompok harus memiliki orientasi, perspektif atau kebijakan pilihan yang
berbeda untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Setiap kelompok diwakili
oleh satu orang pakar yang dipilih berdasarkan pertimbangan dan kriteria
tertentu.

2) Spesifikasi asumsi; hasil FGD yang mengungkapkan asumsi-asumsi yang


dinilai penting untuk mengembangkan wilayah/lokus penelitian sebagai objek
wisata dijadikan bahan pertimbangan untuk mendapatkan asumsi strategi.
Setiap kelompok mengidentifikasi asumsi yang melekat dalam masalah yang
dihadapi kemudian mendaftar semua asumsi sesuai sudut pandang masing-
masing kelompok.

3) Fase dialektika; Fase ini dilakukan untuk menghilangkan asumsi yang tidak
relevan. Hasil sintesis asumsi dilist untuk diberi bobot tingkat kepentingan
dan kepastian asumsi menurut masing-masing pakar. Pembobotan dilakukan
dengan mengisi kuesioner SAST.

Penggunaan skala kepentingan dan kepastian pada penelitian Novani et al.


(2017) dengan interval rangking 1 sampai 9, sedangkan untuk kepastian,
digunakan skala ordinal 1-5. Sedangkan menurut Marimin (2004), kriteria
pemilihan pakar sebagai berikut: (a) Keberadaan responden, keterjangkauan dan
kesediaan untuk diwawancarai; (b) reputasi, kedudukan, dan kredibilitasnya
sebagai pakar; dan (c) pengalaman pribadi yang menunjukkan seseorang mampu
memberikaan saran dan membantu memecahkan masalah.

22
29

Anda mungkin juga menyukai