Anda di halaman 1dari 12

Pemerintahan di Era Dewasa ini yang

Cenderung ke Bentuk Pemerintahan Otoriter


dan Timocracy

RETNO AYU W

NIM : 32318425

UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA


MANDALA MADIUN

Jl. Manggis no 15 -17 Madiun - Jawa Timur

Program Studi : Farmasi


Tahun Pelajaran 2018/2019

ABSTRAK

Pemerintahan di Era Dewasa ini yang Cenderung ke Bentuk


Pemerintahan Otoriter dan Timocracy

Negara Indonesia merupakan negara yang memiliki sistem politik yang berbentuk
demokrasi. Dimana sistem politik demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan yang
setiap warga negaranya memiliki hak yang setara dalam pengambilan suatu keputusan
yang akan memberikan efek dalam kehidupan mereka. Demokrasi juga bisa diartikan
sebagai bentuk kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, atau secara singkat yaitu
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Tetapi faktanya di era dewasa
ini, pengambilan keputusan lebih cenderung di latar belakangi oleh adanya
pemerintahan dan pihak-pihak yang bersifat otoriter dan timocracy. Terutama
PILPRES di tahun 2019 ini dimana terdapat banyak pihak yang bersifat demikian
sehingga menimbulkan gerakan #2019GantiPresiden. Gerakan ini secara tidak
langsung menimbulkan SARA dan memecah belah persatuan warga Indonesia.

Kata Kunci : Demokrasi, Timocracy, Pemerintahan


2019 Ganti Presiden?

Tagar #2019GantiPresiden sedang viral dilakukan, ada sebagian masyarakat


Indonesia yang mendukung tagar tersebut dan ada yang menolak. Gerakan 2019 Ganti
Presiden dilakukan untuk mencegah kemungkinan Jokowi menjadi Presiden RI
kembali. Gerakan ini muncul atas sikap sejumlah pihak yang ingin agar Presiden Joko
Widodo tidak memperpanjang masa jabatannya hingga 2024.

Dalam sebuah acara di televisi, politikus PKS itu sengaja mengenakan gelang
berlogo #2019GantiPresiden. Beberapa hari kemudian gerakan ini resmi
dideklarasikan tak cuma dalam bentuk tulisan, gerakan ini secara kreatif juga
membuat lagu dengan tema yang sama.

Munculnya gerakan ‘2019 Ganti Presiden’ menimbulkan pro dan kontra di


masyarakat, ada sebagian masyarakat yang menyayangkan dan menilai aksi itu
kurang elok, sehingga banyak bermunculan kritik aksi penolakan. Sayangnya, aksi
penolakan antara lain dilakukan dengan cara-cara yang menjurus ke kekerasan. Di sisi
lain, ada pihak yang menganggap gerakan ini sebagai aksi politik yang wajar.
Kita semua tahu ada beberapa di antara sekian banyak program yang Jokowi-JK
kampanyekan saat pemilihan pilpres 2014 yang sudah terealisasikan mendapatkan
respon yang bagus dari masyarakat.

Seperti apa program kongkret Jokowi-JK? Berikut paparannya:


1. Mewujudkan perlindungan keamanan bagi warga negara melalui politik luar
negeri bebas aktif, keamanan nasional yang terpercaya, pembangunan pertahanan,
dan memperkuat negara maritim.
(program ini memperoleh tingkat kepuasan sebesar 53,8%)
2. Upaya membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis dan
terpercaya.
(program ini memeroleh tingkat kepuasan sebesar 34,4%)
3. Membangun indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan
pedesaan.
(program ini sudah berjalan dengan baik, bahkan tingkat kepuasan publik
terhadap program ini mencapai 60,4%)
4. Upaya reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat
dan terpercaya.
(program ini memeroleh tingkat kepuasan sebesar 46,8%)
5. Upaya peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan berkenaan dengan program
Indonesia pintar serta peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui program
Indonesia kerja dan Indonesia sejahtera.
(program ini memeroleh tingkat kepuasan sebesar 53,4%)
6. Upaya meningkatakan produktivitas rakyat, dan meningkatkan daya saing di
pasar internasional.
(program ini memeroleh tingkat kepuasan sebesar 43%)
7. Upaya mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor
strategis ekonomi domestik.
(program ini memeroleh tingkat kepuasan sebesar 41%)
8. Upaya melakukan revoluasi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali
kurikulum pendidikan nasional.
(program ini memeroleh tingkat kepuasan sebesar 46,5%)
9. Upaya memperteguh kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia
melalui pendidikan kebhinekaan dan ruang-ruang dialog antar warga.
(program ini memeroleh tingkat kepuasan sebesar 44%)
Jika program Jokowi-JK memperoleh respon yang bagus dari masyarakat. Lalu
kenapa muncul gerakan #2019GantiPresiden? bukan tidak dengan tiba-tiba
#2019GantiPresiden itu muncul, berawal dari gerakan tersebut, banyak masyarakat
yang bertanya-tanya tentang alasan mengapa Presiden Joko Widodo harus diganti?
Alasan 2019 Ganti Presiden:

 Permasalahan Ekonomi (seperti : Harga sembako mahal, Lapangan pekerjaan


yang sulit didapatkan. Tarif listrik yang naik dll).

 Permasalahan sosial (kesenjangan sosial seperti yang kaya semakin kaya dan
yang miskin semakin miskin, banyak munculnya SARA).

 Pembangunan infrastruktur meningkat tetapi hutang negara juga meningkat.

Selain beberapa alasan tersebut, mari kita meninjau pemerintahan yang dilakukan
oleh Presiden Jokowi di Periode ini. Apakah sudah sesuai dengan sistem politik di
Indonesia? Indonesia merupakan negara dengan sistem politik berbentuk demokrasi.
Pelaksanaan demokrasi di Indonesia dari masa ke masa tidaklah sama, mengingat
undang-undang dasar yang berlaku pun berganti-ganti. Pergantian undang-undang
dasar menyebabkan pergantian sistem pemerintahan. Indonesia telah menganut sistem
demokrasi sejak merdeka sampai saat ini. Dimulai dari demokrasi terpimpin pada
masa jabatan Soekarno, demokrasi pancasila yang digunakan Soeharto selama
puluhan tahun menjabat menjadi presiden, hingga demokrasi sesungguhnya yang
mulai berjalan setelah masa jabatan Soeharto berakhir pada tahun 1998 yang ditandai
oleh adanya pemilu daerah maupun presiden yang dapat diikuti oleh rakyat secara
serentak dan adil.

Pelaksanaan demokrasi di Indonesia pada masa orde baru dan masa reformasi
mengklaim memakai sistem demokrasi pancasila. Demokrasi pancasila bukanlah
demokrasi yang berdasarkan kekuasaan mayoritas. Dalam demokrasi pancasila, tidak
ada satu pun golongan yang boleh semaunya mempertahankan atau memaksakan
pendiriannya sendiri. Demokrasi pancasila berbeda dengan demokrasi liberal yang
mengutamakan suara mayoritas dalam mengambil suatu keputusan ataupun demokrasi
terpimpin yang mengutamakan pemimpin dalam mengambil keputusan.
Perjalanan demokrasi di Indonesia yang begitu panjang tentu mengalami banyak
cobaan. Namun kegigihan bangsa mampu melewati masalah-masalah demokrasi yang
ada. Tak salah jika salah satu lembaga penelitian di Amerika bernama Freedom House
mengumumkan bahwa Indonesia merupakan negara berkembang paling sukses dalam
menjalankan sistem demokrasi.

Namun, faktanya pemerintahan yang terjadi di era Presiden Jokowi berbeda


dengan sistem politik Indonesia yang berbentuk demokrasi. Selama masa
pemerintahannya Presiden Jokowi mengambil tindakan yang cenderung otoriter dan
timocracy. Seperti, ketika beliau menjabat menjadi Walikota Kota Solo, beliau
melanjutkan mengikuti PEMILU Gubernur di DKI Jakarta, dan akhirnya terpilih
menjadi Gubernur DKI Jakarta, namun belum sampai habis masa jabatannya beliau
sudah berani maju menuju PILPRES 2014. Contoh lainnya, Penindasan terhadap
gerakan #2019GantiPresiden misalnya, merupakan pertama kalinya sejak jatuhnya
mantan Presiden Soeharto, di mana pemerintah telah menggunakan aparat keamanan
negara untuk penindasan skala besar yang terbuka terhadap gerakan oposisi
demokratis.

Menurut beberapa analis, seperti Jacqui Baker menggambarkan Presiden Jokowi


sebagai presiden developmentalist, yang menunjukkan “ketidaksabaran terhadap
kompleksitas hukum” dan “kecenderungan tidak liberal” yang konsisten dengan latar
belakang kelas borjuis menengahnya.

Eve Warburton mengembangkan gambaran ini, menyebut bahwa “orientasi


ideologis-nasionalis” pemerintahan Jokowi “yang menghasilkan pemeliharaan sebuah
negara yang kuat dan lanskap politik yang stabil”penting untuk pencapaian tujuan
ekonomi, yang menggemakan penilaian Burhanuddin Muhtadi bahwa “Jokowi
tampaknya berpikir tentang sektor non-ekonomi sebagai hal sekunder, atau hanya
sebagai instrumen untuk meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.”

Analisis-analisis ini menunjukkan bahwa ketika Jokowi bertindak dengan cara


yang tidak liberal atau anti-demokrasi, ini adalah hasil dari kepekaan politik yang
sempit dan pemikiran jangka pendek.

Tetapi ketika Presiden Jokowi memasuki akhir dari masa jabatan pertamanya,
sangat tepat untuk merefleksikan lebih jauh tentang dampak pendekatan kepresidenan
ini terhadap demokrasi Indonesia. Pendekatan serampangan Presiden Jokowi untuk
menghadapi tantangan politik “yang mungkin terinspirasi oleh prospek kampanye
sektarian bergaya Pemilihan Gubernur Jakarta pada Pilpres 2019” telah menciptakan
beberapa presiden yang sangat berbahaya bagi demokrasi Indonesia.

Pada tahun 2018, terlihat semakin banyak bukti dari pemerintahan Presiden
Jokowi mengambil tindakan yang cenderung otoriter dan timocracy. Seperti yang
pada tahun-tahun sebelumnya beliau kurang perduli dengan PNS, tetapi mendekati
PILPRES 2019 beliau mulai perduli terhadap PNS dengan cara mencairkan dana Gaji
ke-14 dan membuka lowongan PNS secara besar-besaran. Proses ini digunakan dalam
upaya konsisten untuk memperoleh manfaat partisan yang sempit dari
instrumentalisasi politik lembaga-lembaga utama negara.

Koalisi oposisi pro-Prabowo 2014–2015 “yang berusaha mengembalikan


pemilihan langsung dan memonopoli situs-situs patronase di dalam badan legislatif”
memiliki karakter yang jelas tidak liberal dan tujuan-tujuan anti-demokrasi. Demikian
pula, kampanye anti-Ahok didasarkan pada agenda yang sangat tidak toleran dan
mayoritas mengancam fondasi demokrasi Indonesia yang pluralis, di mana
kelompok-kelompok seperti Hizbut Tahrir secara terbuka menuntut agar negara
demokratis digantikan dengan negara teokratis.

Meskipun Presiden Jokowi menggunakan strategi otoriter dalam menanggapi


lawan-lawan politik ini, namun pendekatannya dapat secara kredibel digambarkan
sebagai “memerangi illiberalisme dengan illiberalisme.”

Menjelang pemilu 2019, pemerintah telah mengubah strategi represif dalam


melawan kekuatan oposisi. Dengan mengubah institusi keamanan dan penegakan
hukum menjadi melawan oposisi demokratis, Presiden Jokowi telah menyebabkan
kaburnya batas antara kepentingan negara dan kepentingan pemerintahan.

Selain itu, kebijakan-kebijakan ini harus dipahami sebagai bagian dari upaya
yang disengaja dan semakin sistematis untuk menghambat dan melemahkan oposisi
yang sah dan esensial bagi rezim demokratis.

Di akhir tahun pemerintahan Presiden Jokowi, kantor Kejaksaan Agung


digunakan sebagai “senjata politik” yang “sekarang secara rutin digunakan oleh
pemerintah untuk mengendalikan politisi oposisi, dan oleh Nasdem untuk memaksa
eksekutif subnasional bergabung (dengan mereka).”. Sebagai contoh, ketika Ketua
Nasdem Surya Paloh ke Sulawesi Tenggara pada bulan Maret, tiga bupati setempat
mengalihkan kesetiaan kepada partainya. Kampanye Jokowi sekarang mengklaim
mendapat dukungan 31 dari 34 gubernur, dan 359 dari 514 wali kota dan bupati.

Penggunaan kasus-kasus korupsi untuk pengaruh politik bukanlah satu-satunya


cara di mana aparat negara digunakan oleh pemerintah Jokowi untuk keuntungan
partisan menjelang pemilu. Selama tahun 2018, polisi telah meningkatkan upaya
untuk menekan gerakan #2019GantiPresiden (#2019GP).

Pada tahun 2018, #2019GantiPresiden bermetamorfosis dari sebuah hashtag


Twitter yang diunggah oleh politisi PKS Mardani Ali Sera, menjadi suatu politik yang
kuat di media sosial, tercetak di berbagai jenis pakaian dan aksesoris yang dijual, dan
struktur organisasi formal.

Walau #2019GantiPresiden tidak memiliki karakter Islamis yang jelas seperti


Gerakan 212, namun kelompok-kelompok tersebut menarik dukungan dari konstituen
yang sama, dan memiliki landasan yang sama dalam melawan pertahana alih-alih
dukungan untuk penantang tertentu.

Tentu saja, pesan simplistik gerakan #2019GantiPresiden yang bermuara pada


“siapa pun asal jangan Jokowi” menempatkannya sebagai suatu hal yang dapat
menguntungkan calon oposisi.

Fleksibilitas ini—yang mencerminkan ketidakpastian di antara para pemimpin


oposisi atas keinginan Prabowo untuk kembali mencalonkan diri—tampak jelas
bahkan empat hari sebelum pencalonan presiden ditutup, ketika penggagas
#2019GantiPresiden dan politisi PKS Mardani Ali Sera mengatakan bahwa “Anies
Baswedan adalah orang yang akan mengalahkan Jokowi.”

Melalui pertengahan 2018, para penggagas 2019GP sering menerima laporan


bahwa polisi menyita barang dagangan dari penjual dan mengintimidasi orang yang
menampilkan hashtag #2019GantiPresiden. Pada bulan Juni hingga September,
jadwal acara 2019GP di Serang, Bandung, Pekanbaru, Surabaya, Pontianak, Bangka
Belitung, Palembang, Aceh, dan bagian lain negara dilarang atau dibubarkan oleh
polisi, seringkali dengan bantuan gerombolan “demonstran pesaing” yang
pro-pemerintah.
Partai Solidaritas Indonesia (PSI)—yang berusaha menampilkan diri sebagai
kekuatan baru untuk politik yang progresif dan demokratis—juga mendukung
penindasan gerakan tersebut, dengan alasan “mengarahkan kebencian kepada
presiden.”

Banyak justifikasi hukum telah diatur untuk mendukung tindakan keras tersebut.
Pada bulan Maret, polisi mengumumkan bahwa mereka sedang menyelidiki penyanyi
yang beralih menjadi aktivis Neno Warisman, dengan kecurigaan bahwa pembuatan
grup WhatsApp menggunakan tagar #2019GantiPresiden dapat melanggar
Undang-undang Transaksi Elektronik (UU ITE), atau bahkan merupakan makar.

Upaya sistematis pemerintah untuk menekan dan mendelegitimasi kegiatan


2019GP, merupakan tantangan baru bagi status quo demokratis Indonesia. Penindasan
2019GP secara kualitatif berbeda dari taktik koersif yang digunakan terhadap koalisi
partai Prabowo pada tahun 2015–2016, atau pelarangan pada tahun 2017 terhadap
organisasi Hizbut Tahrir Indonesia.

Walau koalisi Prabowo telah mencoba untuk menghadirkan kembali


elemen-elemen demokrasi Indonesia, dan Hizbut Tahrir terbuka dalam
mengekspresikan ambisi khalifahnya, namun 2019GP belum mendukung tujuan
anti-sistem, tetapi berusaha mewujudkan kekalahan elektoral Jokowi. Tentu saja, para
pemimpin 2019GP telah berusaha keras untuk menetapkan gerakan mereka sebagai
ekspresi konstitusional oposisi demokratis.

Legitimasi kegiatan kelompok ini telah didukung Komisi Pemilihan Umum


(KPU), Badan Pengawas Pemilihan (Bawaslu), dan bahkan beberapa LSM dan tokoh
masyarakat pluralis, sementara upaya pemerintah untuk menggambarkan 2019GP
sebagai ancaman terhadap keselarasan sosial dan persatuan nasional telah terbukti
sepenuhnya tidak meyakinkan.

Penindasan terhadap gerakan #2019GantiPresiden merupakan pertama kalinya


sejak jatuhnya mantan Presiden Soeharto, di mana pemerintah telah menggunakan
aparat keamanan negara untuk penindasan skala besar yang terbuka terhadap gerakan
oposisi demokratis.

Sulit untuk membingkai Pilpres 2019 dengan istilah yang sama. Yang pasti,
Prabowo memberikan setiap indikasi pada tahun 2014 bahwa ia berniat secara sengaja
dan gigih memutar balik demokrasi Indonesia; jika dibandingkan, konsesi Presiden
Jokowi untuk otoritarianisme dan timocracy telah meningkat dan
serampangan—seperti yang dikatakan Eve Warburton tentang kepresidenan Jokowi
secara lebih luas, pemerintahan yang telah “ditentukan oleh ad hocery” (penggunaan
kebijakan ad hoc atau improvisasi).

Yang paling mengkhawatirkan untuk kualitas demokrasi di Indonesia, Jokowi,


dan pemerintahannya adalah dalam memperlakukan penegakan hukum dan layanan
keamanan sebagai alat untuk penindasan oposisi, entah itu tidak liberal dan
anti-sistem, atau demokratis dan konstitusional.

Tentu saja, semakin strategi-strategi ini dinormalkan, semakin siap mereka akan
gaya kepresidenan Prabowo yang menyimpan kebencian ideologis terhadap
demokrasi. Tentu saja, pendukung Prabowo menanggapi tuduhan tentang tujuan
otoriter dan timocracy pemimpin mereka dengan menunjuk pada regresi demokratis
yang diawasi oleh Jokowi.

Demokrasi Indonesia telah terbukti tangguh selama 20 tahun. Seiring makin


dekatnya pemilu tahun depan, ketahanan itu akan diuji lagi. Layak untuk
merefleksikan apa yang telah berubah sejak siklus pemilihan sebelumnya. Seperti
pada tahun 2014, pemilihan 2019 akan menjadi arena persaingan yang sengit bagi
kedua kandidat.

Seperti pada tahun 2014, kita akan memiliki satu kandidat yang menata dirinya
sebagai sangat nasionalistis; anti-sayap-kiri; pro-militer; dan terbuka untuk
perambahan lebih lanjut terhadap agenda-agenda Islam konservatif ke dalam arena
politik nasional. Catatannya tentang pelestarian hak asasi manusia, perhatiannya
terhadap prinsip-prinsip inti demokrasi, komitmennya pada pemerintahan yang
transparan dan akuntabel, dan dukungannya untuk agenda antikorupsi, membuat
semuanya sangat meragukan.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.matamatapolitik.com/analisis-mengungkap-otoritarianisme-pemerintahan
-jokowi/

https://www.kompasiana.com/josephineirene/59f348a5b3f5callad025003/demokrasi-d
i-indonesia-dulu-hingga-kini?page=all

https://www.alinea.id/nasional/indo-barometer-janji-politik-jokowi-sudahkah-terealisa
si-blUzo9b8

https://nasional.kompas.com/read/2018/08/28/08065821/pro-kontra-gerakan-2019gant
ipresiden-dan-bagaimana-menyikapinya

https://nasional.tempo.co/read/1080288/alasan-masyarakat-ingin-jokowi-diganti-medi
an-faktor-ekonomi

https://citrahttps://nasional.tempo.co/read/1080288/alasan-masyarakat-ingin-jokowi-d
iganti-median-faktor-ekonomiindonesia.com/ini-positif-dan-negatif-pemerintahan-jok
owi/

Dewantara, A. (2017). Diskursus Filsafat Pancasila Dewasa Ini.


Dewantara, A. INTERNALISASI NILAI-NILAI DALAM PANCASILA PADA
KALANGAN PELAJAR.

Dewantara, A. (2017). Alangkah Hebatnya Negara Gotong Royong (Indonesia dalam


Kacamata Soekarno).

Anda mungkin juga menyukai