DISUSUN OLEH :
NIM : L011191144
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atasa ridhonya sehingga saya
bisa menyelesaikan makalah ini sebagaimana mestinya. Adapun makala yang saya
buat tentang budaya maritim yang berasal dari daerah saya sendiri yaitu Sumatera
Utara. Adapun pembuatan makalh ini bertujuan untuk melengkapi tugas pada
mata kuliah wawasan sosial budaya maritim.
Dalam pembuatan makalah ini mungkin masih banyak kesalahan yang ada
di dalamny untuk itu saya sangat membutuhkan kritik dan saran dari orang-orang
yang membaca makalah ini. Namun, pada umumnya semua manusia tidak akan
pernah luput dari kekurangan dan kesalahan. Jadi, berikanlah saran dan kritik
yang membangun supaya pembuatan makalah selanjutnya lebih terarah dan saya
bisa meminimalisir kesalahan yang ada. Demikian saya sampaikan terima kasih
dan selamat membaca.
Penulis.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………..
DAFTAR ISI…………………………………………………………………
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………
A. Latar Belakang………………………………………………………..
B. Rumusan Masalah……………………………………………………..
C. Tujuan Makalah……………………………………………………….
1. Kesimpulan ……………………………………………………………
2. Saran …………………………………………………………………
REFERENSI…………………………………………………………………..
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
C. TUJUAN MAKALAH
Sumatera Utara juga menjadi pusat budaya maritim era klasik. Negeri
atau daerah yang pertama dan yang paling penting perannya pada awal
millennium kedua adalah Barus. Kota ini, tidak hanya penting artinya aktivitas
politik, tetapi juga ekonomi dan hubungan antarkelompok masyarakat
(penduduknya). Negeri ini juga punya peran yang penting dalam unsur
kepercayaan dan agama. Sebagaimana layaknya negeri atau kota-kota di pesisir
barat Sumatera, Baru juga terletak di tepi pantai. Di samping Barus, kota atau
daerah lain di Sumatera Utara yang menjadi pusat budaya maritim pada era klasik
adalah sejumlah terras dan reinos di pantai timur. Merujuk karya Pires, setidaknya
ada tiga pusat budaya maritim di bagian timur Sumatera Utara, yakni Bata (Batar),
Aru (Daruu) dan Arqat. Namun berbeda dari Barus, ketiga budaya maritim itu
berlokasi di pedalaman, di bagian pedalaman sungai yang bermuara ke pantai
timur, dan berada dalam jarak beberapa league dari bibir pantai.8 Sayang sekali,
Pires tidak menyebut nama-nama sungai di mana tepatnya ketiga reinos itu
berlokasi. Pires hanya menyebut bahwa raja atau penduduk ketiga reinos
berkedudukan di daerah pedalaman dan berperahu menuju pusat pemerintahannya
dari pinggir pantai atau berperahu dari pusat pemerintahannya kalau ingin
beraktivitas di laut. Sebagai pusat budaya maritim ketiga reinos tadi disebut
memiliki/ mengembangkan berbagai unsur kebudayaan. Dan unsur-unsur yang
paling banyak disebut atau mendapat perhatian Pires adalah unsur adalah sistem
pengetahuan, kemasyarakatan atau organisasi sosial, peralatan hidup dan
teknologi, mata pencarian hidup dan reliji. Aspek-aspek budaya mereka, apalagi
Kerajaan Aru dikatakan sangat maju dan kuat, bahkan terkuat di seluruh Pulau
Sumatra (Pires 1944).
Pulau Sumatera terletak di bagian paling barat Indonesia. Posisi pulau ini
membujur dari arah barat laut ke tenggara. Tampilan geografis pulau ini
memperlihatkan bagian utara yang lebih sempit dibandingkan dengan bagian
tengah dan selatan. Pulau ini “dibagi” dua secara tidak seimbang oleh barisan
Pegunungan Bukit Barisan yang membujur dari titik paling utara ke titik paling
selatan pulau. Tidak seimbang maksudnya, kawasan barat lebih sempit
dibandingkan dengan timur. Barisan pegunungan itu juga menyebabkan bagian
barat memiliki karakter berbukit-bukit dan bagian timur landai serta datar.
Karakter seperti ini menyebakan sungai-sungai bagian barat umumnya pendek
kecil, dangkal dan berair deras, sedangkan sungai di bagian timut umumnya
panjang, lebar, dalam dan serair tenang. Sumatera terletak di sebuah kawasan laut
(perairan) utama dalam dunia pelayaran yang menghubungkan dunia bagian barat
dengan timur. Di kawaan laut ini terdapat sejumlah pulau sehingga bisa dikatakan
bahwa Sumatera adalah bagian dari sebuah archipelago.2 Mungkin agak
berlebihan, mengacu kepada penamaan yang diberikan oleh Amerika Serikat
untuk sebuah gugus tempurnya, kawasan laut di sekitar Pulau Sumatera ini layak
disebut dengan kawasan Indo-Pacific. Sebuah kawasan laut yang terdiri dua
samudera utama.3 Pulau Sumatera memang berada dalam kawasan laut yang
sangat luas dan strategis.
Menyangkut jiwa dan roh, suku Batak Toba mengenal tiga konsep, yaitu:
Tendi / Tondi : adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan,
oleh karena itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi di dapat
sejak seseorang di dalam kandungan. Bila tondi meninggalkan badan
seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka diadakan
upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya.
Sahala : adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua
orang memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala
sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau
hula-hula.
Begu : adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama
dengan tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam.
Tiap puak Batak memiliki salam khasnya masing masing. Meskipun suku Batak
terkenal dengan salam Horasnya, namun masih ada dua salam lagi yang kurang
populer di masyarakat yakni Mejuah juah dan Njuah juah. Horas sendiri masih
memiliki penyebutan masing masing berdasarkan puak yang menggunakannya
Budaya Batak sebagai salah satu identitas bangsa Indonesia telah mengalami
perubahan dan penyesuaian dari masa ke masa. Suku bangsa Batak yang semula
tertutup terhadap pengaruh budaya luar, kini perlahan-lahan mulai terbuka dalam
menyambut perubahan zaman. Keterbelakangan budaya Batak pada awalnya
disebabkan karena pengisolasian diri beberapa abad masa lampau,yakni sejak
abad ke-16. Pengisolasian ini bertujuan untuk mempertahankan kebudayaan/
kepribadiannya dari pengaruh-pengaruh kebudayaan dan peradaban yang dibawa
penjajahan Belanda. Pengisolasian suku Batak ini mulai terbuka karena kemajuan
zaman sejak akhir abad ke-19. Budaya Batak akhirnya terbuka akan masuknya
kemajuan teknologi, informasi dan globalisasi. Setelah meninggalnya Raja Si
Singa Mangaraja XII oleh penjajahan Belanda pada akhir abad ke-19 , budaya
Batak mulai banyak mendapat pengaruh dari luar. Sejak saat itu suku bangsa
Batak mulai mengalami penyesuain akan kondisi yang dihadapi. Identitas budaya
asli warisan nenek moyang tersebut ada yang tetap dipertahankan sampai
sekarang tetapi ada juga yang disesuaikan dengan kondisi zaman dan era
emansipasi Identitas budaya Batak, satu yang paling terkenal dan masih terus
bertahan saat ini adalah budaya “Dalihan Na Tolu” (jika diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia Dalihan Na Tolu artinya tungku api berkaki tiga). Falsafah
hidup Dalihan Na Tolu di lingkungan Suku Batak dikenal dengan adanya sistem
marga, yaitu identitas orang-
Sedangkan untuk luas areal perkebunan di Sumut sejumlah 1.999.403 hektar atau
27,89 persen dari luas Provinsi Sumut, dengan total produksi sebesar lebih kurang
4.411.536,55 ton. Diantaranya sawit, karet, kopi, kakao, tembakau, kelapa dan
komoditi lainnya.
Begitu juga dengan produksi perikanan laut Selat Malaka atau Pantai Timur
sebesar 239.000 ton per tahun. Potensi Samudera Hindia atau pantai Barat sebesar
917.000 ton per tahun. “
Itulah uraian singkat mengenai potensi yang dimiliki oleh provinsi Sumatra utara,
jadi selain hasil darat sumtra utara juga bergerak dalam hasil laut yaitu berupa
ikan.dan untuk daerah saya sendiri potensi sumber daya alam yang dihasilkan
sebagian besar hasil pertanian berupa sayur-sayuran,beras, umbi-umbian, jagung,
kopi,dan hasil perkebunan.
Berhubung karna daerahku adalah daerah gunung jadi tidak menghasilkan ikan,
hanya saja budidaya ikan air tawar sedang dalam pengembangan.,
BAB III PENUTUP
Haley, James L., Captive Paradse, A History o Hawai’i. New York: St.
Martin;s Press, 2014.
Jensen, J. O., Mather, R., and Gray, J., „Viewing the Future Through the
Lens of Maritime Cultural Landscapes“, dalam Sanctuary Watch, 2011,
Vol. Fall: 23.
Lekkerkerker, C., Land en Volk van Sumatra. Leiden: E.J. Brill, 1916.
Loeb, Edwind M., Sumatra, Its People and History. Wien: Verlag des
Institues fuer Volkerkunde Universiteit Wien, 1935.