Anda di halaman 1dari 17

PEMBAHASAN

BIOGRAFI SUNAN KALIJAGA

Banyak perbedaan mengenai nama Sunan Kalijaga. Ada pendapat berasal dari Arab,
Cina atau dari kata Jawa asli. Sebagian orang mengatakan bahwa nama Kalijaga itu berasal
dari kata-kata bahasa Arab yang telah disesuaikan menurut lidah orang Jawa, yaitu dari kata
“Qodli Zaka”, yang berarti hakim suci atau penghulu suci. Sebagai alasan, mereka
mengatakan bahwa di dalam hidupnya Sunan Kalijaga terkenal sebagai tokoh yang banyak
menghakimi segala pertentangan di antara raja-raja Demak yang berselisih dan bertengkar,
bahkan peristiwa Siti Jenar pun Sunan Kalijaga yang menjadi hakimnya.

Ada pula yang mengatakan bahwa nama Kalijaga ini berasal dari bahasa cina, yaitu
nama Mas Said (nama kecilnya) berasal dari kata “Oei Sam Ik”, kemudian diucapkan
menurut lidah Jawa menjadi Said, atau R.M Syahid yang kemudian bergelar dengan
sebutan Sunan Kalijaga.

Menurut cerita, dinamakan Kalijaga juga karena dia bertapa di sungai sampai semak
belukar tumbuh merambati badannya. Kalijaga artinya menjaga kali, berasal dari kata-kata
kali yang berarti air yang mengalir, dan kata jaga yang berarti menjaga. Jadi berarti orang
yang menjaga semua aliran atau kepercayaan yang hidup di dalam masyarakat. Selain Mas
Said (R.M. Syahid) dan Kalijaga, ia juga mempunyai nama Brandal Lokajaya, Syeikh
Malaya, pangeran Tuban, dan Raden Abdurrahman.

Tentang silsilah Sunan Kalijaga inipun ada perbedaan, karena memang tidak ada
catatan resmi dan bahan sejarah berupa naskah yang dapat dijadikan pegangan. Ada yang
mengatakan bahwa Sunan Kalijaga itu dari keturunan bangsa Cina, Arab atau dari
keturunan Jawa asli.

Pendapat Sunan Kalijaga dari Keturunan Cina

Menurut buku Kumpulan Ceritera Lama dari Kota Wali (Demak), yang ditulis oleh
S. Wardi dan diterbitkan oleh Wahyu, menuturkan bahwa Sunan Kalijaga sewaktu kecil
bernama Said. Beliau anak seorang cina yang bernama Oei Tik Too. Oei Tik Too ini
mempunyai putera yang kemudian menjadi bupati Tuban, namanya Wirotikto (bukan
Wilotikto). Bupati Wirotikto ini mempunyai anak laki-laki bernama Oei Sam Ik, dan
terakhir di panggil Said.

Catatan-catatan yang diketemukan oleh Residen Poortman pada tahun 1928 dari
klenteng Sam Poo Kong Semarang mengatakan bahwa banyak sekali tokoh-tokoh raja-raja
Jawa pada jaman Demak dan Para Wali adalah dari keturunan Cina. Disebutkan bahwa
orang yang bernama Gang Si Cang (Sunan Kalijaga) ikut membuat atau mendirikan Masjid
Demak. Jadi ini menunjukkan bahwa Sunan Kalijaga dari keturunan bangsa Cina.
Pendapat Sunan Kalijaga dari Keturunan Arab

Menurut buku De Hadramaut et ies Colonies Arabes Dans ’I Archipel Indien, karya
Mr. C. L. N. Van De Berg, Sunan Kalijaga adalah keturunan Arab asli. Dan di dalam buku
tersebut diceritakan pula bahwa tidak hanya Sunan Kalijaga saja, tetapi semua Wali di Jawa
adalah dari keturunan Arab.

Menurut buku tersebut, silsilah Sunan Kalijaga sebagai berikut; Abdul Muthalib
(Kakek Nabi Muhammad), berputra Abbas, berputra Abdul Wakhid, berputra Mudzakkir,
berputra Adullah, berputra Khasmia, berputra Abdullah, berputra Madro’uf, berputra
‘Arifin, berputra Hasanuddin, berputra Jamal, berputra Akhmad, berputra Abdullah,
berputra Abbas, berputra Kourames, berputra Abdurrakhim (Ario Tejo, bupati Tuban),
berputra Tejo Laku (Bupati Majapahit), berputra Lembu Kusuma (Bupati Tuban), berputra
Tumenggung Wilotikto (Bupati Tuban), berputra Raden Mas Said (Sunan Kalijaga).

Pendapat Sunan Kalijaga dari Silsilah Jawa

Menurut keterangan salah seorang pembantu majalah penyebar semangat Surabaya


dari Yogyakarta (Sdr. Tj M: Tjantrik Mataram) yang mendapat keterangan dari Sdr.
Darmosugito (Wartawan Merdeka) yang juga trah Kalinjangan, mengatakan bahwa Sunan
Kalijaga adalah asli orang Jawa atau keturunan Jawa. Silsilahnya adalah sebagai berikut.

Adipati Ranggalawe (Bupati Tuban), berputra Ario Tejo I (Bupati Tuban), berputra
Ario Tejo II (Bupati Tuban), berputra Ario Tejo III (Bupati Tuban), berputra Raden
Tumenggung Wilotikto (Bupati Tuban), berputra Raden Mas Said (Sunan Kalijaga).

Menurut keterangan, Ario Tejo I dan II ini masih memeluk agama Syiwa. Hal ini
bisa saksikan dari bukti makamya yang berada di Tuban, yang memakai tanda Syiwa.
Tetapi Ario Tejo III sudah memeluk agama Islam, hal ini juga terlihat dari tanda yang ada
dimakamnya.

Sebagaimana tersurat dalam sejarah Indonesia Walisongo (termasuk Sunan


Kliajaga), adalah pelopor dan pemimipin dakwah Islam yang berhasil merekrut murid-
murid untuk menjalankan dakwah di setiap penjuru negeri. Dan orang-orang Indonesia
mengenal dai dari Alawiyyin (tokoh-tokoh asyraf, keturunan Ali dan Fatimah binti
Rosulullah Saw) tersebut dengan sebutan ”wali-wali”, sedangkan di Jawa khususnya
mereka dikenal dengan nama sunan.

Mengenai kapan tepatnya kelahiran Sunan Kalijaga pun menyimpan misteri. Ia


diperkirakan lahir pada tahun 1430-an, dihitung dari tahun pernikahan Sunan Kalijaga
dengan putri Sunan Ampel. Ketika itu ia berusia 20-an tahun. Sunan ampel yang diyakini
lahir pada 1401, ketika menikahkan putrinya dengan Sunan Kalijaga, ia berusia 50-an
tahun. Tetapi ada juga yang mengatakan ia lahir ada tahun 1450 dan 1455. ayahnya
bernama Tumenggung Wilotikto (Wiwatikta atau Raden sahur), dan ibunya bernama Dewi
Retno Dumilah.

Dikisahkan bahwa Sunan Kalijaga mempunyai tiga orang isteri. Nama istri dan
anak-anaknya adalah sebagai berikut. Pertama, Dewi Saroh binti Maulana Ishak, yang
dikarunia 3 orang anak, yaitu; Raden Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rukayah, dan Dewi
Sofiah. Kedua, Siti Zaenab binti Sunan Gunung Jati, yang dikarunia 5 orang anak, yaitu;
ratu Pambuyan, Nyai Ageng Panegak,, Sunan Hadi, Raden Abdurrahman, dan Nyai Ageng
Ngerang. Ketiga; dengan Siti Khafsah binti Sunan Ampel (tidak ada keterangan
selengkapnya).

Sunan Kalijaga dikenal sebagai muballigh, ia sangat populer dan pandai bergaul
dengan semua lapisan masayarakat. Dari kalangan bawah sampai kalangan atas. Hal ini
dapat dimengerti, karena Sunan Kalijaga adalah sebagai muballigh keliling yang
mendatangi daerah-daerah sampai jauh ke pelosok dan kota-kota, dan memang dalam hal
ini ada wali yang hanya berdakwah di daerahnya saja, mendirikan padepokan atau
pesantren di tempat domisilinya.

Sunan Kalijaga merupakan ulama termuda yang diangkat menjadi wali, tetapi
memiliki ilmu paling tinggi dan paling lama pula menjalankan tugas dakwahnya. Pola
dakwah yang dikembangkan mirip dengan guru sekaligus sahabatnya, Sunan Bonang.
Kedua wali ini cenderung menganut faham sufistik berbasis salaf, bukan sufi-panteistik
(pemujaan semata). Sunan Kalijaga juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana
yang efektif untuk berdakwah.

MASA MUDA SUNAN KALIJAGA

Kisah masa muda Raden Sa’id ada dua versi. Menurut versi pertama, pada waktu
masih kecil Raden Sa’id sudah disuruh mempelajari agama Islam oleh ayahnya di Tuban.
Akan tetapi, karena ia melihat kondisi lingkungan yang kontradiksi dengan ajaran agama
itu, maka jiwa Raden Sa’id memberontak. Ia melihat rakyat jelata yang hidupnya sengsara,
sementara bangsawan Tuban hidup berfoya-foya. Pejabat kadipaten menarik upeti kepada
rakyat miskin dengan semena-mena dan para prajurit kadipaten menghardik rakyat kecil
dengan sewenang-wenang. Ketika ia tidak tahan lagi melihat penderitaan orang-orang
miskin pedesaan, maka pada waktu malam, ia sering mengambil sumber bahan makanan
dari gudang kadipaten dan memberikannya kepada rakyat miskin (Rahimsah, 2002: 74).

Lama kelamaan tindakan Raden Sa’id itu diketahui oleh ayahnya, sehingga ia
mendapat hukuman yang keras, yakni diusir dari istana. Ia akhirnya mengembara tanpa
tujuan yang pasti. Ia kemudian menetap di hutan Jatiwangi. Di hutan itu, ia menjadi
seorang yang berandal. Ia merampok orang-orang kaya yang pelit kepada rakyat kecil dan
hasil rampokannya diberikannya kepada rakyat miskin (Rahimsah, 2002:78).
Versi kedua menyatakan bahwa Raden Sa’id benar-benar seorang yang nakal sejak
kecil dan kemudian berkembang menjadi penjahat yang sadis. Ia suka merampok dan
membunuh tanpa segan. Ia berjudi ke mana-mana. Setiap habis botoh-nya ia merampok
kepada penduduk. Selain itu digambarkan Raden Sahid adalah seorang yang sangat sakti.
Karena kesaktianya beliau mendapat julukan berandal Lokajaya (Marsono, 1996).

Pada suatu ketika, Lokajaya merampok Sunan Bonang di hutan. Namun, ia bertekuk
lutut sebab Sunan Bonang sangat sakti. Dia lalu berguru kepada Sunan Bonang. Setelah
mendapat ilmu dari Sunan Bonang, beliau pulang ke Tuban, akan tetapi ayahnya menolak
kehadirannya.

Raden Sa’id kemudian kembali kepada Sunan Bonang, dan Sunan Bonang menyuruh
Raden Sa’id untuk bertapa. Setelah bertapa, dia diberi pelajaran ilmu agama oleh Sunan
Bonang. Pelajaran itu diberikan di tengah laut di dalam sebuah perahu berwarna putih.
Perahu itu dikatakan sebagai pemberian Nabi Khidir. Setamat Sunan Bonang memberi
pelajaran pada Raden Sa’id, beliau memberi Raden Sa’id gelar Sunan Kalijaga.

Jalan hidup sunan ini tercantum dalam berbagai naskah kuna dengan versi yang
berbeda-beda pula. Begitu pula halnya dengan asal-usul Sunan Kalijaga. Ada yang
menyatakan asalnya dari kata jaga dan kali. Versi ini didasarkan pada penantian Lokajaya
akan kedatangan Sunan Bonang selama tiga tahun di tepi sungai. Pengertian ini umumnya
disebut di dalam babad, misalnya Babad Banten, Babad Tanah Jawi, Babad Tanah Djawi
jilid II, dan Babad Demak.

Ada juga yang menulis, kata Kalijaga berasal dari nama sebuah desa di Cirebon,
tempat Sunan Kalijaga pernah berdakwah. Di dalam Babad Cirebon diceritakan, Sunan
Kalijaga menetap beberapa tahun di Cirebon, persisnya di Desa Kalijaga, sekitar 2,5 km
arah selatan kota. Pada awal kedatangannya, Kalijaga menyamar dan bekerja sebagai
pembersih Masjid Keraton Kasepuhan. Di sinilah Sunan Kalijaga bertemu dengan Sunan
Gunung Jati.
Dalam pertemuan itu dikisahkan bahwa Sunan Gunung Jati sengaja menguji Sunan
Kalijaga dengan sebongkah emas. Emas itu ditaruh di padasan, tempat orang mengambil
wudhu. Sunan Kalijaga sendiri tidak kaget mengingat ajaran Sunan Ampel, ‘’ojo gumunan
lan kagetan ‘’ yang artinya jangan mudah heran dan terkejut. Selanjutnya, Sunan Kalijaga
menyulap emas tersebut menjadi batu bata, dan menjadikannya tempat menaruh bakiak
bagi orang yang berwudlu. Giliran Sunan Gunung Jati yang takjub. Beliau pun kemudian
menganugerahkan adiknya, Siti Zaenab, untuk diperisteri Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga
dikisahkan menetap di Cirebon selama beberapa tahun.

Dalam perjalanan hidupnya selanjutnya, Sunan Kalijaga diceritakan mengembara


sampai ke Bintoro, Demak. Beliau sangat gigih membantu perjuangan Sultan Fatah dalam
menyebarkan Islam di Pulau Jawa, khususnya di daerah Pantai Utara Jawa. Raden Fatah
adalah pendiri kerajaan Islam di Demak pasca keruntuhan Majapahit di bawah kekuasaan
Prabu Brawijaya V. Sebagai imbalan atas bantuan yang diberikan oleh Sunan Kalijaga,
Sultan Fatah memberikan bumi Kadilangu sebagai tanah perdikan kepada Sunan Kalijaga.

Di Kadilangu, daerah Demak, Sunan Kalijaga menetap lama hingga akhir hayatnya.
Kadilangu merupakan tempat Sunan Kalijaga membina kehidupan rumah tangga. Isteri
Sunan Kalijaga yang disebut-sebut hanyalah Dewi Sarah, puteri Maulana Ishaq. Sunan
Kalijaga dengan Dewi Sarah mempunyai tiga orang putera yaitu Raden Umar Said (Sunan
Muria), Dewi Ruqayah dan Dewi Sofiah.

Sunan Kalijaga adalah salah satu wali yang sangat terkenal karena kesaktian dan
kecerdasannya. Ia juga seorang politikus yang “mengasuh” para raja beberapa kerajaan
Islam. Selain itu Sunan Kalijaga juga dikenal sebagai budayawan yang santun dan seniman
wayang yang hebat. Cara beliau berdakwah dianggap berbeda dengan metode para wali
yang lain. Ia dengan berani memadukan dakwah dengan seni budaya yang mengakar di
masyarakat. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila dalam mempraktikkan pengajaran
syariat Islam banyak dicampuri dengan unsur-unsur adat lama dan cenderung berkompromi
dengan kepercayaan pra Islam, misalnya melalui wayang, gamelan, tembang, ukir, dan
batik.

Sunan Kalijaga terkenal pandai mendalang. Sebagai dalang, Sunan Kalijaga dikenal
dengan nama Ki Dalang Sida Brangti. Sunan Kalijaga mengarang lakon-lakon wayang dan
menyelenggarakan pagelaran-pagelaran wayang kulit dengan upah berupa Jimat
Kalimasada atau ucapan Kalimat Syahadat. Beliau mau memainkan lakon wayang yang
biasanya untuk meramaikan suatu pesta peringatan-peringatan asal yang memanggil itu
mau bersyahadat sebagai kesaksian bahwa ia rela masuk Islam. (Siswoharsoyo, 1957).

Ketika mendalang itulah Sunan Kalijaga menyisipkan ajaran-ajaran Islam. Lakon


yang dimainkan tak lagi bersumber dari kisah Ramayana dan Mahabarata yang bernuansa
Hindu, melainkan menggubah beberapa lakon wayang untuk keperluan dakwah Islam.
Kisah-kisah ciptaan Sunan Kalijaga ini di antaranya adalah lakon Jimat Kalimasada, Dewa
Ruci, dan Petruk Dadi Ratu. Jimat Kalimasada tak lain perlambang dari Kalimat Syahadat.
Lakon Jimat Kalimasada inilah yang paling sering dia pentaskan. Dengan lakon ini Sunan
Kalijaga mengajak orang-orang untuk mengucapkan syahadat, dengan kata lain untuk
masuk agama Islam. Lakon Dewa Ruci ditafsirkan sebagai kisah Nabi Khidir
(Siswoharsoyo, 1957).

Ahli sejarah mencatat, wayang yang digemari masyarakat sebelum kehadiran Sunan
Kalijaga adalah wayang beber. Wayang beber berupa kain bergambar kisah pewayangan.
Sunan Kalijaga mengubah wayang kulit dari bentuk beber menjadi terpisah. Tiap tokoh
dipisah satu persatu dan diberi tangan yang bisa digerakkan. Tiap tokoh wayang dibuat
gambarnya dan disungging di atas kulit kerbau. Bentuknya dikembangkan dan
disempurnakan pada era kejayaan Kerajaan Demak.

Pada mulanya penggambaran tokoh wayang yang mirip manusia dinilai bertentangan
dengan syara’ oleh sebagian ulama. Para wali, terutama Sunan Kalijaga kemudian
menyiasatinya dengan mengubah menjadi lukisan yang menghadap ke samping. Dahulu
sebelum memakai pahatan pada bagian mata, telinga, perhiasan, dan lain-lainnya, wayang
hanya digambar saja. Dengan mengubah bentuk dan lukisan wayang berbeda dengan
bentuk manusia sesungguhnya, maka tidak ada alasan lagi untuk menuduh bahwa wujud
wayang melanggar hukum Islam. Selain itu, atas saran para wali, Sunan Kalijaga juga
membuat tokoh Semar, Petruk, Gareng dan Bagong sebagai tokoh Punakawan yang lucu.
Kadangkala, ia menggunakan tokoh Bancak dan Doyok (Efendy Zarkasi, 1977: 28-29).

Ada peneliti yang mengatakan bahwa Semar dari kata Arab simaar atau ismarun
artinya paku. Paku itu alat untuk menancapkan suatu barang, agar tegak, kuat, tidak goyah.
Semar juga memiliki nama lain yakni Ismaya, yang berasal dari kata asma-ku atau simbol
kemantapan dan keteguhan. Adapun maksudnya adalah ibadah harus didasari keyakinan
kuat agar ajarannya tertancap sampai mengakar. Tokoh Panakawan lain yakni anak Semar,
Nala Gareng. Kata nâla qarîn artinya memperoleh banyak kawan. Hal ini serupa dengan
tujuan dakwah yaitu memperbanyak kawan, memperluas sahabat dan mengajak mereka
menyembah Allah swt (Endraswara, 2003: 105).

Di samping terus menyebarkan kebaikan, umat Islam juga harus mampu seperti tokoh
Petruk dan Bagong. Petruk berasal dari kata fatruk yang artinya tinggalkan yang jelek atau
nahi munkar. Bagong berasal dari kata baghâ yang berarti pertimbangan makna dan rasa,
antara rasa yang baik dan buruk, benar dan salah. Harus berani melawan siapa pun yang
zalim (Endraswara, 2003: 105).

Selanjutnya disebutkan bahwa bentuk wayang dilengkapi dengan hiasanhiasan seperti


kelat bahu (hiasan pangkal lengan), gelang keroncong (gelang kaki), anting telinga, badong
(hiasan pada pinggang), dan jamang (hiasan pada kepala). Penyempurnaan bentuk ini
dilakukan oleh Sunan Giri, sedangkan yang mengarang lakon wayang dan suluknya adalah
Ratu Tunggal di Giri tatkala mewakili Istana Demak tahun 1478 Çaka. Dimulainya wayang
pahat bergaris-garis gambir (garis-garis lembut pada rambut misalnya) itu adalah atas
perintah Raden Trenggana Kemudian pada zaman Jaka Tingkir, Sultan Hadiwijaya Raja
Pajang, wayang dipahat gayaman, tetapi tangan masih sambung dengan badan. Wayang
ditatah halus benar sejak jaman Panembahan Senapati ing Ngalaga Sayidin Panatagama
Mataram tahun 1541 Çaka (Zarkasi, 1977: 29-30).

Sunan Kalijaga juga melakukan dakwah melalui kidung. Kidung Rumeksa ing Wengi
merupakan sarana dakwah dalam bentuk tembang yang populer dan menjadi semacam
“kidung wingit” karena dipercaya membawa tuah seperti mantra sakti. Dakwah itu
dirangkai menjadi sebuah tembang bermetrum Dhandhanggula dan seolah-olah abadi
sampai saat ini. Hingga saat ini, orang-orang pedesaan masih banyak yang hapal dan
mengamalkan syair kidung ini. Sebagai warisan kepada anak cucu, nasihat dalam bentuk
tembang lebih langgeng dan awet dalam ingatan. Sepeninggal penggubahnya, kidung ini
telah menjadi milik rakyat.

Fungsi kidung Rumeksa ing Wengi ini bagi rakyat Jawa adalah : (a) penolak bala di
malam hari, seperti teluh, tenung, duduk, ngama, maling, penggawe ala dan bilahi; (b)
pembebas semua denda; (c) penyembuh penyakit, termasuk gila; (d) pembebas bencana; (e)
mempercepat jodoh; (f) doa menang perang; (g) penolak hama tanaman; (h) memperlancar
mencapai cita-cita luhur. Nafas dakwah yang tersurat dalam kidung tersebut adalah (a)
disebutnya nama Allah, malaikat, rasul dan nabi-nabi, serta keluarga dan para sahabat Nabi
Muhammad seperti Baginda Ali, Usman, Abu Bakar, Umar, Aminah dan Fatimah; (b)
disebutnya istilah-istilah seperti puasa, subuh, sabar, subur, syukur, insya Allah, dzat,
malaikat, nabi, rasul, dan syara’. Jadi secara maknawi kidung ini merupakan dakwah Islam
yang sangat kental yang membuktikan bahwa Sunan Kalijaga adalah guru spiritual rakyat
Jawa. Sunan Kalijaga juga dikenal sebagai pencipta tembang Ilir-ilir yang masih populer
hingga saat ini. Adapun syairnya sebagai berikut :

Ilir-ilir

Ilir-ilir tandure wis sumilir

tak ijo royo-royo tak sengguh temanten anyar

bocah angon penekna blimbing kuwi

lunyu-lunyu ya penekna kanggo masuh dodotira

dodotira kumitir bedhah ing pinggir

dondomana jrumatana kanggo seba mengko sore

mumpung padhang rembulane mumpung jembar kalangane

Terjemahan :

Ilir-ilir

Ilir-ilir tanaman sudah bersemi

tampak menghijau ibarat penganten baru

wahai penggembala panjatlah blimbing itu

meski licin panjatlah untuk mencuci kain

kain yang sedang robek pinggirnya

Jahitlah dan tamballah untuk

menghadap nanti sore

mumpung bulan terang dan lebar tempatnya.

Lagu Ilir-ilir di atas, memberi rasa optimis kepada seseorang yang sedang melakukan
amal kebaikan, amal itu berguna untuk bekal di hari akhir. Kesempatan hidup di dunia ini
harus dimanfaatkan untuk berbuat kebaikan. Jangan hendak membunuh nanti akan berganti
dibunuh. Pada intinya semua yang dilakukan manusia itu ada balasannya.

Cara dakwah Sunan Kalijaga yang lain adalah melalui bidang karawitan. Hal ini
diketahui dari gamelan yang diduga sebagai peninggalan Sunan Kalijaga. Gamelan-
gamelan ini diberi nama Kanjeng Kyai Nagawilaga dan Kanjeng Kyai Madu. Kini,
gamelan-gamelan, yang dikenal sebagai gamelan Sekaten, itu disimpan di Keraton
Yogyakarta dan Keraton Kasunanan Surakarta, seiring dengan berpindahnya Islam ke
Mataram (Handoko, 2001).

Sunan Kalijaga juga mengganti puja-puji dalam sesaji yang biasa dilakukan umat
Hindu pada waktu itu dengan doa dan bacaan dari kitab suci al-Quran. Di awal syiarnya,
Sunan Kalijaga selalu berkeliling ke pelosok desa. Menurut catatan Husein Jayadiningrat,
Sunan Kalijaga berdakwah hingga ke Palembang dan Sumatera Selatan, setelah dibaiat
sebagai murid Sunan Bonang. Di Palembang, ia sempat berguru pada Syekh Sutabaris.
Cuma, keberadaan Sunan Kalijaga di Palembang itu tidak meninggalkan catatan tertulis.
Setelah beberapa lama di Palembang, Sunan Kalijaga diperintahkan balik ke Jawa oleh
Syeh Maulana Maghribi. Babad Cirebon menceritakan, Sunan Kalijaga tiba di kawasan
Cirebon setelah berdakwah dari Palembang.

Sunan Kalijaga adalah seorang sufi yang ajaran-ajarannya diikuti oleh para penguasa
waktu itu. Sunan Kalijaga mengajarkan sikap narima ing pandum yang diurainya menjadi
lima sikap yakni rela, narima, temen, sabar dan budi luhur . Kelima sifat itu sebenarnya
bersumber dari ajaran agama Islam yakni : rela dari ridha atau ikhlas, narima dari qana’ah,
temen dari sifat amanah, sabar dari kata shabar, dan budi luhur adalah al-akhlak al-
karimah. Tentang budi luhur, kata budi berasal dari bahasa Sansekerta dan mempunyai arti kemampuan,
atau kecerdasan otak (Gonda, 1925: 56). Salah satu ciri satria utama adalah alus ing budi. Demikian pula
budi pekerti luhur syarat untuk dikatakan sebagai manusia yang baik. Orang yang luhur ing pambudi,
adalah orang yang bijaksana. Sedangkan orang yang asor bebudene tidak hanya orang yang
bodoh belaka, akan tetapi juga berbahaya. Budi mempunyai arti yang luas yang meliputi
seluruh pribadi manusia, yang menggambarkan individualitasnya, yang menjiwai segala
aktifitasnya, sehingga menjadikan ia orang yang berbudi atau tidak berbudi (Supadjar,
1993: 37).

Sunan Kalijaga juga mengajarkan jalan menuntut ilmu menuju kesempurnaan hidup.
Ajaran yang terdapat dalam Serat Wali Sanga ini pada intinya mengajarkan manusia agar
dapat mencapai kedamaian dan ketenteraman. Adapun caranya adalah dengan
mengendalikan nafsu manusia seperti nafsu amarah, nafsu birahi, nafsu lawwamah
(mementingkan diri sendiri), dan nafsu muthma-innah (cenderung dekat kepada Tuhan).
Menurut Sunan Kalijaga, ketika seseorang sudah bisa menyingkirkan tiga nafsu amarah,
birahidan lawwamah, maka ia akan sampai kepada muthma-innah.

Dalam mengajarkan agama Islam tersebut, Sunan Kalijaga menggunakan sarana


masjid sebagai tempat penyampaian dakwah. Salah satu bukti arkeologisnya adalah Masjid
Demak. Menurut cerita, beliau berperan aktif dalam pendirian masjid pertama di tanah
Jawa itu. Sunan Kalijaga dikisahkan membuat tiang tatal. Kisah tatal untuk sokoguru
dalam pendirian Masjid Agung Demak sendiri banyak bercampur dengan dongeng. Sunan
Kalijaga dikisahkan mempertemukan puncak Masjid Demak dengan Ka’bah setelah Masjid
Demak berdiri. Selain itu, masih belum jelas benar apakah kesembilan wali berada di
tempat ini dalam satu waktu pada waktu pembangunan Masjid Demak tersebut atau tidak.

Masjid Demak ini sampai kini masih dikunjungi muslim dari seluruh Nusantara.
Berdasarkan candra sengkala lawang trus gunaning janma yang bermakna angka 1399
tahun Çaka ini diketahui bahwa masjid ini didirikan pada tahun 1477 TU. Dalam
perkembangannya, masjid ini menjadi pusat agama terpenting di Jawa dan memainkan
peran besar dalam upaya menuntaskan Islamisasi di seluruh Jawa, termasuk daerah-daerah
pedalaman.

Nancy Florida dari Michigan University, USA, menulis tentang pendirian Masjid
Demak sebagai berikut.

“The establishment of the Demak Mosque by the Walis as an heirloom, meant to embody in it
their enduring legacy for Islamic kingship in Java. It was also a monument that would
stand permanently as a concrete material site both for pilgrimage and of supernatural
power. It was to be the sacred post of power of the realism of Java and, at the same time, a
talisman, a pusaka, for the rulers of that realism (Djamil, 2000)”.

Masjid Demak bukan saja sebagai pusat ibadah, tetapi juga sebagai ajang pendidikan
mengingat lembaga pendidikan pesantren pada masa awal ini belum menemukan bentuknya
yang final.

Sunan Kalijaga tidak hanya berperan dalam bidang agama, melainkan juga dalam
politik pemerintahan. Sebagaimana dikemukakan di depan, kiprah beliau di bidang politik
dimulai sejak awal berdirinya Kasultanan Demak sampai akhir dari Kasultanan tersebut.
Sunan Kalijaga nampaknya menjadi orang penting di Kerajaan Demak. Pada masa
pemerintahan Raja Trenggana ia cukup mendapat tempat, terutama karena ia adalah
seorang keturunan bangsawan tinggi. Keadaan tersebut menyebabkan imam besar Masjid
Demak (kelak bernama Sunan Kudus) menyingkir dan mendirikan masjid sendiri di Kudus.
Sunan Kalijaga kemudian diangkat sebagai imam besar Masjid Demak menggantikan
Sunan Kudus.

Kapan Sunan Kalijaga wafat, sampai hari ini belum jelas. Keterangan yang ada adalah
bahwa Sunan Kalijaga hidup diperkirakan hidup selama sekitar 150 tahun. Demikian pula
halnya dengan letak makam Sunan Kalijaga. Namun, sebagian besar masyarakat percaya
bahwa makam Sunan Kalijaga berada di Desa Kadilangu, Kecamatan Kota, Kabupaten
Demak, tepatnya sebelah timur laut alun-alun kota Demak.

Sunan Kalijaga : dari Brandalan menjadi Begawan


Raden Sahid atau kelak lebih dikenal sebagai Sunan Kalijaga merupakan sosok
yang sangat masyhur dan dikenal di tanah Jawa. Sampai detik ini kharismanya tidak pudar.
Mengapa bisa demikian? Bagi masyarakat Jawa, ada pepatah, “wong mati ninggali jeneng”.
Orang meninggal mewariskan nama. Nama dikenang, sebab laku amal perbuatannya
kepada manusia lain. Sehingga bagi mereka yang merasa tersentuh laku amal tersebut, akan
mengenangnya sebagai bentuk rasa terima kasih dan syukurnya.

Menjadi Brandal Lokajaya : Pembebasan Duniawi

Raden Sahid adalah putra bupati, pewaris “tahta” pemerintahan kabupaten Tuban.
Secara genealogis dan tradisi, dialah kelak yang akan mewarisi itu. Sungguh Allah sedari
awal sudah membuat skenario buat Raden Sahid. Dalam usia muda, yang memang
digadang menjadi pewaris pemerintahan, telah dibukakan kesadarannya untuk mencari
bekal yang hakiki dalam memimpin masyarakat. Kondisi masyarakat yang kebanyakan
hidup dalam kekurangan menyadarkan Raden Sahid, bahwa ada sesuatu yang salam dalam
sistem pemerintahan. Apa yang akan diperbuat? Jika saat itu harus langsung bertindak
kepada rakyat, maka tak pantas seorang putra kepala daerah melangkahi sistem yang sudah
ada. Dengan begitu dia akan berhadapan dengan ayahnya sendiri, Raden Wilwatikta.
Sungguh sebuah pilihan yang sulit. Maka, pilihan yang paling bisa dijalankan adalah keluar
dari sistem, dan bertindak bukan atas nama sistem. Ya, Raden Sahid menjalani dirinya
sebagai seorang Brandalan (kamus : orang yang tidak patuh pada aturan/sistem), yaitu
Brandal Lokajaya. Dia mengambil harta orang-orang kaya untuk dibagikan kepada fakir
miskin. Dalam pandangannya, sistem yang berjalan tidak memungkinkan terjadinya
pengambilan hak tersebut secara legal dan terdistribusi dengan rapi dan adil. Pengambilan
dan pendistribusian model “brandal lokajaya” telah melawan sistem yang ada, tanpa
melalui pemerintah yang sah.

Kesejahteraan merupakan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup orang banyak. Itu


adalah model kesejahteraan yang palng sederhana dan dasar. Harta, emas dari orang-orang
kaya sebagai simbol kesejahteraan dipaksa untuk terdistribusikan. Maka, nama brandal
Lokajaya adalah nama yang tepat untuk menggambarkan itu. Namun, usaha seperti itu
ternyata tidak lantas merubah masyarakat dengan baik. Ya sekedar memberi rasa kenyang
masyarakat miskin, tetapi tetap saja tidak merubah perilaku mereka untuk terbebas dari
kemiskinan dan problem kehidupan lainnya. Di sisi lain, perlawanan terhadap sistem,
memaksanya harus menghadapi pemerintahan yang kuat. Meski anak sendiri, ketika
melawan sistem yang sudah tertata rapi, maka dia adalah tetap pemberontak. Dus layak
untuk diberi hukuman seperti pemberontak lain. Maka diusirlah Raden Sahid dari kadipaten
dan tidak layak menjadi pewaris.

Kala Bertemu Sunan Bonang : Pencerahan


Jika, dalam peran sebagai Brandal Lokajaya, lebih bersifat “memberi ikan” kepada
masyarakat, maka Raden Sahid sudah mencapai titik klimaks, dimana upaya pengentasan
kemiskinan dengan model seperti itu tidak efektif dan cenderung distruktiv bagi sistem
sosial itu sendiri. Dalam kondisi seperti itu, maka Allah menakdirkan Raden Sahid bertemu
dengan Sunan Bonang. Pertemuan pertama, Raden Sahid digoda dengan pohon emasnya.
Bahwa jika hanya sekedar membagi kekayaan, itu urusan gampang, asal saja seseorang itu
kaya harta. Tapi apakah itu semua akan menyelesaikan persoalan? Pengalaman sebagai
Brandal Lokajaya telah mengajarkan bahwa upaya-upaya model seperti tidak akan berhasil
dalam jangka panjang.

Disinilah, peran Sunan Bonang dalam membantu Raden Sahid menemukan apa yang
seharusnya diperbuat untuk membantu masyarakat. Sunan Bonang mengenalkan kepada
ajaran-ajaran keluhuran, ajaran Islam, keteledanan Rasulullah SAW dan para nabi-nabi
terdahulu. Waktu yang dilalui Raden Sahid kemudian adalah perjalanan dalam berguru,
mencari kesejatian hidup dan kehidupan. Mengapa itu dilakukan? Untuk membantu
manusia lain, maka seseorang harus mampu membantu dirinya sendiri. Untuk mencerahkan
orang lain, maka dia harus tercerahkan. Untuk mensejahterakan orang lain, maka dia juga
harus sejahtera.

Kisah ini telah menegaskan apa yang sudah didapat Raden Sahid pada awalnya, yaitu
kesadaran untuk membantu masyarakatnya. Konsistensi untuk mencari bekal dalam
memperjuangkan rakyatnya terus berlanjut. Pencarian ilmu Raden Sahd dan kemudian
mendapat Gelar Sunan Kalijaga adalah proses pematangan atas kesadaran yang sudah
didapat di usia mudanya.

Menjadi Begawan : Menjadikan Lainnya Lebih Berguna

Setelah proses perjalanan panjang dalam menempuh Ilmu, baik melalui para wali
(ulama-ulama) lain, bertemu nabi khidzir, dan sebagainya telah memberikan bekal sangat
cukup bagi Sunan Kalijaga untuk mempejuangkan apa yang dahulu diperjuangkannya,
yaitu membantu masyarakat dalam hidup dan kehidupannya. Maka Raden Sahid sekarang
sudah menjadi begawan, orang yang mumpuni dalam keilmuwan, lelaku, dan keteladanan.
Pilihan untuk membantu masyarakat sudah bukan urusan harta lagi, tetapi lebih pada
pencerahan kepada masyarakat. Meski, membantu dalam bidang ekonomi tetap dilakukan.
Dalam tahap ini, Sunan Kalijaga sudah menjalankan prinsip “menjadikan dirinya dan yang
lain bermanfaat”. Penerapan prinsip tersebut tidak sebatas pada manusia saja.
Wayang kulit yang semula hanya hiburan dan tontonan, dialihfungsikan menjadi sumber
inspirasi tuntunan dan ajaran, dijadikan media dakwah ajaran Islam. Tembang mocopat
yang awalnya sebagai tembang, dijadikan lebih berbobot dan sarat makna dakwah Islam.
Tembang-tembang dolanan sebagai hiburan dijadikan wahana menyampaikan pesan
keluhuran dan Islam. Dan masih banyak lagi.

Demikian pula, para penjahat takluk dalam adu kekuatan, sehingga tunduk pada ajaran
Islam. Para pejabat yang lupa rakyat, disadarkan dengan berbagai cara dan metode agar
lebih memperhatikan kesejahteraanya. Ajaran-ajaran yang sebelumnya menyesatkan,
dialihkan untuk kembali kepada kebenaran.

Sungguh tidak gampang melakukan itu semua. Sungguh besar pula jasa yang sudah
ditanamkan. Sehingga layaklah, beliau dikenang sepanjang masa, karena apa yang sudah
diperbuat dan ditanamkan kepada masyarakatnya. Jelas sekali bahwa ada konsistensi dalam
diri Sunan Kalijaga, baik tatkala masih muda, kemudian menjadi Brandal Lokajaya, dan
akhirnya menjadi Sunan Kalijaga, Guru Tanah Jawa, yaitu konsistensi pengabdian kepada
masyarakatnya.

Sunan Kalijaga; Politikus Empat Zaman

Sunan Kalijaga hidup dalam empat dekade pemerintahan. Yakni masa Majapahit
(sebelum 1478), Kesultanan Demak (1481 – 1546), Kesultanan Pajang (1546-1568), dan
awal pemerintahan Mataram (1580-an).

Di antara anggota Dewan Wali, Sunan Kalijaga merupakan wali yang paling populer di
mata orang Jawa. Ketenaran wali ini adalah karena ia seorang ulama yang cerdas. Ia juga
seorang politikus yang “mengasuh” para raja beberapa kerajaan Islam. Selain itu Sunan
Kalijaga jiga dikenal sebagai budayawan yang santun dan seniman wayang yang hebat.

Bila para wali lain seperti Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajat mendapat
pendidikan dan pengkaderan Islam sejak kecil oleh Sunan Ampel. Maka Sunan Kalijaga
tergolong berbeda karena masa mudanya tergolong “anak kolong” anak pejabat yang
“brandal”. Konon Raden Sahid ini suka mencuri dan merampok meskipun hasilnya suka
dibagikan kepada rakyat jelata, solidaritas yang tinggi sehingga ia tak segan-segan masuk
dan bergaul ke dalam lingkungan rakyat jelata. Raden Sahid adalah seorang yang sangat
sakti. Karena saktinya beliau mendapat julukan Berandal Lokajaya.

Raden Sahid selanjutnya menjadi kaderan Sunan Bonang, konon pernah menjadi da’i di
desa Kalijaga di wilayah Cirebon sehingga dikenal dengan Sunan Kalijaga. Menurut
catatan Husein Jayadiningrat, Kalijaga berdakwah hingga ke Palembang, Sumatera Selatan.
Kalijaga tiba di kawasan Cirebon setelah berdakwah dari Palembang.
Dalam Babad Cirebon dikisahkan Sunan Kalijaga menetap beberapa tahun di Cirebon,
persisnya di Desa Kalijaga, sekitar 2,5 kilometer arah selatan kota. Pada awal
kedatangannya, Kalijaga menyamar dan bekerja sebagai pembersih Masjid Kraton
Kasepuhan. Disinilah Sunan Kalijaga bertemu dengan Sunan Gunung Jati.

Setelah beberapa tahun menetap di Cirebon, Kalijaga kembali ke Demak di wilayah


Kadilangu dan melanjutkan misi dakwahnya di daerah pesisir Demak hingga daerah-daerah
pedalaman. Peran dakwah Sunan Kalijaga bersama-sama Raden Fatah adalah menjadikan
Demak sebagai wilayah kondusif sebagai basis Negara Islam. Selanjutnya Sunan Kalijaga
dikenal dengan guru spiritul rakyat Jawa

SUNAN KALIJAGA DAN KESENIAN

MUNGKIN anda sering mendengar lagu “Gundul-Gundul Pacul” atau “lir-lir” (ada
yang menduga ini karya Sunan Bonang dan sudah dicantumkan diatas) yang dulu sering
dinyanyikan oleh anak-anak dalam suatu acara daerah di tv. lagu itu merupakan salah satu
warisan berharga dari Sunan Kalijaga. Menurut Babad Tanah Jawi, Sunan kalijaga adalah
anak Wilwatikta, Adipati Tuban. Nama asalnya, Raden Said, atau Raden Sahid. Menurut
sejarah, Sunan Kalijaga juga disebut Lokajaya, Syeikh Malaya Raden Abdurrahman dan
Pangeran Tuban. Gelaran “Kalijaga” sendiri ada beberapa tafsir. Ada yang menyatakan
asalnya dari kata jaga (menjaga) dan kali (sungai) - maksudnya ‘Penjaga Sungai’. Versi ini
didasarkan pada penantian Lokajaya akan kedatangan Sunan Bonang selama tiga tahun di
tepi sungai. Ada juga yang menulis kata itu berasal dari nama sebuah kampung di Cirebon,
tempat Sunan Kalijaga pernah berdakwah. Kelahiran Sunan Kalijaga pun menyimpan
misteri. Ia dikatakan lahir pada 1430 an, dikira dari tahun pernikahan Kalijaga dengan
puteri Sunan Ampel. Ketika itu Sunan Kalijaga diperkirakan berusia 20an tahun. Sunan
Ampel yang diyakini lahir pada 1401, ketika mengahwinkan puterinya dengan Sunan
Kalijaga, berusia 50an tahun. Sunan Kalijaga dilukiskan hidup dalam beberapa era
pemerintahan, yakni masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak
(1481-1546), Kesultanan Cirebon dan Banten, Kerajaan Pajang (1546-1568), dan awal
pemerintahan Mataram (1580an) di bawah pimpinan Panembahan Senopati. Tidak lama
setelah itu, Sunan Kalijaga meninggal dunia dalam usia yang agak panjang, dikatakan
sekitar usianya 150an tahun. Ia dimakamkan di kampung Kadilangu, dekat kota Demak
(Bintara). Makam ini hingga sekarang masih ramai di ziarahi orang baik dari dalam atau
luar negeri. Selama hidupnya, Sunan Kalijaga dikenal dengan pendekatan dakwah
budayanya. Ia sangat toleran pada seni dan budaya tempatan. Ia berpendapat bahawa
masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara
bertahap, mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan bahawa jika
Islam sudah difahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Tidak menghairankan
ajaran Sunan Kalijaga terkesan dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir,
wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana atau cara dakwah. Ternyata dakwah
seperti ini terbukti efektif. Sebagian besar Adipati (Ketua Daerah) di Jawa memeluk Islam
melalui Sunan Kalijaga; di antaranya adalah Adipati Pandaran, Kartasura, Kebumen,
Banyumas dan Panjang. Sejarah mencatat Sunan Kalijaga sebagai penggubah beberapa
syair, di antaranya Dandanggula Semarangan - paduan irama atau melodi Arab dan Jawa.
Peninggalan Sunan Kalijaga lainnya adalah gamelan, yang di beri nama Kanjeng Kyai
Nagawilaga dan Kanjeng Kyai Guntur Madu. Gamelan itu kini di simpan di Keraton
Yogyakarta dan Keraton Sukarta, seiring dengan berpindahnya kekuasaan Islam ke
Mataram. Pasangan gamelan itu kini dikenal sebagai gamelan Sekatan. Karya Sunan
kalijaga yang juga menonjol adalah wayang kulit. Ahli sejarah mencatat, wayang yang
digemari masyarakat sebelum kehadiran Sunan Kalijaga adalah ‘wayang beber’. Wayang
jenis ini berupa kertas yang bergambar kisah pewayangan Sunan Kalijaga diyakini sebagai
penggubah wayang kulit. Tiap tokoh wayang dibuat gambarnya dan diabadikan di atas kulit
lembu. Bentuknya berkembang dan disempurnakan pada era kejayaan Kerajaan Demak,
1480an. Cerita dari mulut ke mulut menyebutkan bahawa Sunan Kalijaga juga mahir
sebagai ‘dalang’ wayang kulit. Di wilayah Pajajaran, Sunan Kalijaga lebih dikenal sebagai
Ki Dalang Sida Brangti. Bila sedang mendalang di kawasan Tegal, Sunan Kalijaga berganti
nama menjadi Ki Dalang Bengkok. Ketika mendalang itulah Sunan Kalijaga menyisipkan
dakwahnya. Lakon yang dimainkan tak lagi bersumber dari kisah Ramayana dan
Mahabarata. Sunan Kalijaga mengangkat kisah-kisah karangan. Beberapa di antara yang
terkenal adalah lakon Dewa Ruci, Jimat Kalimasada, dan Petruk Dadi Ratu. Dewa Ruci di
tafsirkan sebagai kisah Nabi Khidir. Sedangkan Jimat Kalimasada tak lain perlambang dari
kalimat syahadat. Bahkan kebiasaan mengadakan majlis kenduri pun jadi sarana syiarnya.
Sunan Kalijaga mengganti puji-puji dalam persembahan itu dengan doa-doa dan bacaan
dari kitab suci al-Quran. Diawal syiarnya, Sunan Kalijaga selalu mengembara ke pelosok
kampung-kampung. Menurut catatan Profesor Husein Jayadiningarat, Sunan Kalijaga
berdakwah hingga ke Palembang, Sumatera Selatan, setelah di baiah sebagai murid Sunan
Bonang. Di Palembang, ia sempat berguru pada Syeikh Sutabaris..

Lagu Gundul-gundul Pacul


Salah satu diantara beberapa karya sastra Sunan Kalijaga yang terkenal adalah tembang
dolanan (mainan) lagu “gundul-gundul pacul" yang ternyata mempunyai filosofi yang
sangat dalam. Lagu Gundul gundul pacul ini konon diciptakan tahun 1400-an oleh Sunan
Kalijaga dan teman-temannya yang masih remaja.

Berikut petikan lirik lagu gundul-gundul pacul:

gundul-gundul pacul-cul
gembelengan
nyunggi-nyunggi wakul-kul
gembelengan
wakul ngglimpang segane dadi sak latar
wakul ngglimpang segane dadi sak latar

‘Gundul’ adalah kepala plonthos tanpa rambut. Kepala adalah lambang kehormatan,
kemuliaan seseorang. Rambut adalah mahkota lambang keindahan kepala. jadi ‘gundul’
adalah kehormatan tanpa mahkota.

‘Pacul’ adalah cangkul (red, Jawa) yaitu alat petani yang terbuat dari lempeng besi segi
empat. jadi pacul adalah lambang kawula rendah, kebanyakan petani.

‘Gundul pacul’ artinya adalah bahwa seorang pemimpin sesungguhnya bukan orang yang
diberi mahkota tetapi dia adalah pembawa pacul untuk mencangkul, mengupayakan
kesejahteraan bagi rakyatnya.

Orang Jawa mengatakan pacul adalah ‘Papat Kang Ucul’ (empat yg lepas). Kemuliaan
seseorang tergantung 4 hal, yaitu bagaimana menggunakan mata, hidung, telinga dan
mulutnya.

1. Mata digunakan untuk melihat kesulitan rakyat/masyarakat.


2. Telinga digunakan untuk mendengar nasehat.
3. Hidung digunakan untuk mencium wewangian kebaikan.
4. Mulut digunakan untuk berkata adil.

Jika empat hal itu lepas, maka lepaslah kehormatannya. ‘Gembelengan’ artinya besar
kepala, sombong dan bermain-main dalam menggunakan kehormatannya.

Arti harafiahnya jika orang yg kepalanya sudah kehilangan 4 indera itu mengakibatkan:

GEMBELENGAN (congkak/sombong).
NYUNGGI-NYUNGGI WAKUL (menjunjung amanah rakyat/orang banyAk)
GEMBELENGAN ( sombong hati), akhirnya
WAKUL NGGLIMPANG (amanah jatuh tidak bisa dipertahankan)
SEGANE DADI SAK LATAR (berantakan sia2, dan tidak bermanfaat bagi kesejahteraan
orang banyak)

Subhanallah..

Satu hal yang bisa kita petik hikmahnya dari penciptaan karya sastra tokoh walisanga
tersebut ialah, hal sekecil apapun dalam sebuah penciptaan karya sastra itu haruslah
memberikan pembelajaran yang bermanfaat bagi para pembacanya. Karena sastra selain
sebagai sebuah karya seni atau pengekspresian perasaan pengarangnya, juga diharapkan
mampu memberi kontribusi positif bagi kemaslahatan umat.

Anda mungkin juga menyukai