Anda di halaman 1dari 6

Positivisme

Kelompok 3
Astrid M Lutfi 153140037
Affan Fazlur Rahman 159180005
M. Farisa Faza 153180024
Aviv Nuzula Malik 153180111
Setyawan Nugroho 153180113
Janendra Favian Maulana 153180136
Ghandi Ilham Pamungkas 153180141

Mata Kuliah Filsafat Komunikasi


Kelas F
Prodi Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta
2019
A. Positivisme
Positivisme merupakan awal dan sumber dari munculnya ilmu pengetahuan.
Positivism menjadi ilmu yang digunakan untuk memastikan dan menentukan bukti
dari suatu fenomena yang dianggap benar sesuai dengan metodologi yang ada.
Positivisme berbeda dengan metafisika yang tidak dapat diamati dan diukur dalam
pencarian kebenarannya, karena kebenaran dalam metafisika berdasarkan akal budi
manusia. Positivisme mengkaji fenomena natural dan hubungan dan unsurnya.
Secara etimologi positivisme berasal dari kata ‘positif’ yang berarti suatu peristiwa
yang benar-benar terjadi atau realita.

B. Sejarah Positivisme
Istilah positivisme pertama kali digunakan oleh Saint Simon (1825). Prinsip
yang berlaku pada positivisme dikembangkan oleh Francis Bacon pada abad-17.
Menurutnya, pra-asumsi dan komprehensi-komprehensi dibutuhkan untuk menarik
kesimpulan dalam melakukan observasi atas hukum alam. Setelah Francis Bacon,
paham positivisme dilanjutkan oleh August Comte
Comte merupakan filsuf sosioal yang terlahir dari keluarga bangsawan pada
tanggal 19 Januari 1798. Comte merupakan sekretaris dan anak angkat dari Saint
Simon, namun memisahkan diri darinya pada tahun 1824 karena masalah hak cipta.
Filsafat Positivisme diperkenalkan oleh Comte melalui karyanya “Cours de
Philosophie Positive” dan terus menggunakannya dalam seluruh karyanya.
Positivisme digunakannya sebagai teori yang bertujuan untuk menyusun fakta-
fakta yang teramati. Comte menyatakan bahwa ilmu pengetahuan tidak bisa
melampaui fakta, sehingga positivisme menolak metafisika dan menerima adanya
“das Ding an Sich” (Objek yang tidak bisa diselidiki oleh pengetahuan ilmiah).
Berdasarkan Comte, terdapat tiga tahapan dalam perkembangan positivisme,
yaitu:

1
1) Tahap Teologis atau Fiktif, menjelaskan bagaimana manusia berada pada
tahap selalu mempertanyakan hal-hal sukar atas jawaban yang sukar didapat
pula. Secara garis besar, manusia percaya akan adanya fenomena-fenomena
yang terjadi diluar kuasa manusia. Fenomena-fenomena ini dipercayai berasal
dari wujud atau makhluk (entity) yang bertingkatan lebih tinggi dari manusia.
Tahapan ini terbagi menjadi tiga, yaitu: (1) Fetisysme, dimana manusia
beranggapan segala sesuatu yang terjadi di sekitanya memiliki kehidupan
sendiri yang berbeda dari kehidupan manusia. Anggapan ini memercayai
adanya fenomena diluar kehendak manusia berpengaruh terhadap kehidupan
manusia, sehingga perlu menyesuaikan diri dengan keadaan; (2) Politeisme,
memercayai adanya kekuatan yang mengatur fenomena yang terjadi di sekitar
manusia. Hal ini menciptakan adanya aturan yang harus dipatuhi oleh
manusia terhadap kuasa yang mengatur fenomena yang terjadi. Adanya
fenomena dipercayai datang dari dewa-dewa yang mengatur setiap aspek
kehidupan, sehingga manusia perlu takluk dan tunduk padanya; (3)
Monotheisme, pemahaman manusia yang menyatakan segala sesuatu tidak
lagi diatur oleh dewa-dewa yang mengatur masing-masing aspek kehidupan.
Tahapan ini percaya adanya kekuatan dari Tuhan Yang Maha Esa. Hubungan
antara sesame manusia didasarkan hubungan terhadap Tuhan yang kemudian
menjadi ajaran-ajaran agama.
2) Tahap Metafisis, merupakan tahap peralihan dari Monotheisme yang
memercayai keberadaan kuasa adikodrati menuju pemikiran yang
menggunakan akal budi sebagai sumber pencari kebenaran yang hanya
abstrak. Tahap ini dipicu oleh pemikiran filosofis sosial.
3) Tahap Positif, manusia mencari sumber kebenaran yang riil dan tidak abstrak.
Kebenaran didapat melalui metodologi-metodologi yang sebelumnya telah
didapatkan melalui pengetahuan. Tahap ini adalah tahap industrialis yang
terjadi setelah tahun 1800.

2
Selain itu, terdapat John Stuart Mill yang memberikan landasan psikologis ke
dalam filsafat positivisme. Mill mengakui satu-satunya cara dalam menentukan
kebenaran adalah pengalaman. Karena itu, induksi merupakan metode yang paling
dipercaya dalam ilmu pengetahuan. Mill menyatakan psiokologi perlu
memperhatikan asosiasi penginderaan satu dengan lainnya sesuai hukum yang ada.
Menurutnya psikologi merupakan bagian logika dari positivisme.

C. Gagasan Positivisme
Doktrin pertama positivisme adalah kesatuan ilmu. Doktrin ini menyatakan
bahwa keabsahan ilmu harus disandarkan pada kesatuan bahasa dan metode.
Doktrin ini mengajukan kriteria batas-batas ilmu pengetahuan. Suatu pengetahuan
dapat disebut bila a) bebas nilai, b) dihasilkan dari metode verifikasi empiris, c)
menggunakan bahasa logis-empiris, dan d) eksplanatoris. Atau dapat
disederhanakan dalam menganut tiga prinsip positivisme: bersifat empiris-objektif,
deduktif-nomologis, instrumental-bebas nilai. Ketiga asumsi ini oleh Antony
Gidden (F. Budi Hardiman, 2003:57) dijelaskan sebagai berikut:
1. Prosedur-prosedur metodolgis ilmu-ilmu alam dapat langsung diterapkan
pada ilmu-ilmu sosial. Gejala-gejala subjektivitas manusia, kepentingan
maupun kehendak, tidak mengganggu objek observasi, yaitu tindakan sosial,
dengan cara ini, objek ilmu-ilmu sosial disejajarkan dengan dunia ilmiah;
2. Hasil-hasil riset dapat dirumuskan dalam bentuk “hukum-hukum” seperti
dalam ilmu-ilmu alam;
3. Ilmu-ilmu sosial itu harus bersifat teknis, yaitu menyediakan pengetahuan
yang bersifat instrumental murni. Pengetahuan itu harus dapat dipakai untuk
keperluan apa saja sehingga tidak bersifat etis dan juga tidak terkait pada
dimensi politis. Ilmu-ilmu sosial, seperti ilmu-ilmu alam, bersifat bebas nilai

3
Setelah pengenalan prinsip positivisme, berikut ini akan dikemukakan
beberapa ciri positivisme (Gahral Adian, 2002: 68), yaitu bebas nilai,
fenomenalisme, nominalisme, reduksionisme, naturalisme, dan mekanisme. Bebas
nilai berarti bahwa ketika si pengamat mengamati sesuatu maka nilai-nilai
(keyakinan,gagasan, emosi, dll) yang dimiliki si pengamat dilibatkan sehingga
menghasilkan kesimpulan apa adanya (objektif). Fenomenalisme berarti apa yang
kita amati merupakan fenomena (sebagaimana di yakini metafisik) tidak dilihatkan.
Nominalisme adalah kebenaran berdasarkan nama atau ukuran,dalam hal ini
kebenaran kenyataan terletak pada penamaan (teori-teori) bukan kenyataan itu
sendiri. Nominalisme merupakan konsekuensi dari cara penelitian yang
menyederhanakan atau mereduksi kenyataan menjadi fakta-fakta yang dapat
dipersepsi (reduksionisme). Semua itu (dari bebas nilai sampai reduksionisme) di
jalankan berdasarkan keyakinan naturalisme (semua gejala berjalan secara alamiah
tanpa campur tangan hal-hal metafisis) dan mekanisme (gejala dapat di jelaskan
secara mekanis-determinis layaknya sebuah mesin).
Semua ciri-ciri positivisme ini dapat dipahami karena Auguste Comte
mengembangkan penerapan metode ilmu alam pada ilmu-ilmu sosial dengan tujuan
praksis. Praksis berarti demi pengaturan. Tujuan praksis ilmu sosial berarti yaitu
mengadakan susunan masyarakat yang lebih sempurna berdasar pengetahuan
tentang hukum-hukum pengaturan masyarakat. Positivisme memiliki semboyan
savoir pour prevoir, prevoir pour pouvoir (dari ilmu muncul prediksi, dan dari
prediksi muncul aksi). Jadi melalui kepastian ilmu pengetahuan kita dapat
menciptakan rekayasa masyarakat.
Norma-norma metodologi positivisme adalah sebagai berikut:
1. Semua pengetahuan harus terbukti lewat rasa kepastian (sense of certainty)
pengamatan sistematis yang terjamin secara intersubjektif;
2. Kepastian metodis sama pentingnya dengan rasa kepastian. Kesahihan
pengetahuan ilmiah dijamin oleh kesatuan metode;

4
3. Ketepatan pengetahuan kita dijamin hanya oleh bangunan teori-teori yang
secara formal kokoh yang mengikuti deduksi hipotesis-hipotesis yang
menyerupai hukum;
4. Pengetahuan ilmiah harus dapat dipergunakan secara teknis. Ilmu
pengetahuan memungkinkan kontrol teknik atas proses-proses alam maupun
sosial.kekuatan kontrol atas alam dan masyarakat dapat dilipatgandakan
hanya dengan mengakui asas-asas rasional, bukan melalui perluasan buta dari
riset empiris, melainkan melalui perkembangan dan penyatuan teori-teori;
5. Pengetahuan kita pada prinsipnya tak pernah selesai dan relatif, sesuai dengan
sifat relatif dan semangat positif. (F. Budi Hardiman, 2003:55)

Secara epistemologis, positivisme dapat dikategorikan sebagai realisme dan


fondasionisme epistemologis. Realisme epistemologis adalah pandangan yang
meyakini bahwa ilmu pengetahuan dapat menggambarkan kenyataan secara apa
adanya. Fondalisme epistemologis adalah padangan yang meyakini adanya satu
metode yang menjamin pencapaian kebenaran ilmiah yang objektif. Kedua
pandangan ini akan menjadi titik kritik post positivisme.

Sumber:
https://www.academia.edu/38324728/FILSAFAT_POSITIVISME.docx
https://www.academia.edu/22993481/FILSAFAT_POSITIVISME_AUGUSTE_COMTE_1
http://farihinoceans.blogspot.com/2012/04/positivisme-tokoh-tokoh-positivisme.html
https://www.academia.edu/10030381/MAKALAH_POSITIVISME_FILSAFAT_ILMU_

Anda mungkin juga menyukai