Anda di halaman 1dari 2

THE POWER OF NOW: JIKA SEKARANG BISA BERIBADAH, KENAPA MENUNGGU

NANTI?

Sering kita dengar ungkapan, “Masa muda foya-foya, senang-senang. Masa tua taubat dan
masuk surga.” Atau ungkapan semisal, “Nantilah setelah pension untuk fokus ibadah itu.
Sekarang sibuk kerja” Sekilas tidak ada yang salah dengan pernyataan-pernyataan di atas. Di
usia produktif, seluruh potensi tubuh kita, dihabiskan untuk bekerja. Pergi pagi pulang petang.
Rapat di sana dan di sini. Belum lagi, disela-sela itu, training pengembangan diri. Seluruhnya
untuk menunjang karir, pangkat, jabatan dan dunia. Seluruhnya disederhanakan dengan alasan
penghidupan (maisyah). Syukur bila terbersit ditujukan untuk ibadah. Maka seluruh aktivitasnya
tidak sia-sia. Namun sayang bila niat ibadah ini terlupakan. Hilang ditengah-tengah gegap
gempita semangat produktivitas kerja.
Namun, ungkapan di atas seolah-olah menjadi pembenar bahwa porsi ibadah yang khusu’, fokus
dengan kuantitas yang banyak nanti dilakukan saat usia tidak produktif. Setelah pensiun. Usia 60
tahun. Ini yang harus menjadi renungan.
Ada yang perlu dibenahi dari cara berpikir kita bahwa ibadah itu untuk kalangan tua, bukan
muda. Seharusnya dibalik. Usia muda, disaat emosi meledak-ledak. Syahwat lebih berat untuk
dikendalikan, maka seharusnya kuantitas dan kualitas ibadah lebih diperhatikan. Apalagi
menyangkut prinsip hidup di dunia. Bila ia memiliki prinsip hidup, “Hidup untuk Yang Maha
Hidup”, maka porsi amal untuk akhirat harusnya lebih besar. Seluruh aktivitas dan kreativitas di
dunia seharusnya diorientasikan untuk akhirat.
Bisa dibayangkan bila saat produktif, kita minus amal ibadah. Lalu, ajal kita ternyata tidak
sampai hingga pensiun. Maka betapa meruginya kita. Atau bisa juga, usia kita sampai pada batas
pensiun, namun kondisi kesehatan kita ringkih, terserang penyakit berat yang membuat fisik
tidak berdaya. Betapa ibadah yang tuma’ninah sulit untuk dilakukan. Semuanya dilakukan penuh
keterbatasan. Tentunya, kita akan lebih memilih beribadah saat fisik kita sehat. Bukankah ibadah
itu tidak hanya ibadah mahdah ke hadapan Allah. Ada ibadah ghair mahdah yang barangkali
sulit dilakukan bila kita terserang stroke, lumpuh, dan penyakit yang menyerang fisik secara
nyata.
Oleh karenanya, saat kita malas beribadah. Baik ibadah ritual maupun sosial, maka ingatlah dan
lihatlah mereka yang sudah tua, sakit parah yang tidak mampu melakukan amal. Karena itulah
yang akan menguatkan kita untuk bersegera beribadah. Itu pula yang dimimpikan oleh manusia
yang telah wafat. Mereka meminta kepada Allah Swt untuk dihidupkan kembali agar mereka
dapat diberi kesempatan untuk beribadah. Penyesalan hanya tinggal penyesalan.
Manusia yang cerdas oleh Rasulullah saw digambarkan sebagai manusia yang mampu berhitung
dengan ajalnya. Ia mengkalkulasikan amal ibadah saat ia hidup. Tidak ingin kehidupannya hanya
berakhir sia-sia. Karenanya, ia senantiasa memperbanyak ibadah sunnah dan wajib.
Meminimalkan aktivitas mubah, menjauhi yang makruh dan meninggalkan yang haram. Para
shahabat adalah gambaran dari sosok manusia yang cerdas. Mereka menangis bila tertinggal
melaksanakan ibadah sunnah. Sangat menyesal bila tidak shalat berjamaah. Bersemangat saat
panggilan jihad dikumandangkan. Bersegera saat berdakwah dan menuntut ilmu. Semuanya
dilakukan dalam bingkai ibadah. Mencari penghidupan bagi keluarganya pun tidak luput dari
orientasi akhirat. Mereka berjuang untuk kehidupan dunia, tetapi tidak mencintai dunia.
Perjuangan mereka di dunia untuk bekal kehidupan akhirat. Itu semua mereka lakukan saat usia-
usia produktif.
Barangkali Q.S Al-Ahqaf ayat 15 mengingatkan kepada kita bahwa usia 40 tahun harus diberi
perhatian khusus untuk bertaubat. Allah Swt berfirman,
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya,
ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula).
Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah
dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk
mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan
supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku
dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau
dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri".
Maka, bagi kita yang sudah berusia 40 tahun atau lebih, maka segeralah bertaubat. Hentikan
aktivitas yang penuh dengan sia-sia. Perbanyak aktivitas ibadah mumpung Allah memberikan
kesehatan fisik. Bagi yang belum berusia 40 tahun, maka lakukanlah hal yang sama. Tingkatkan
aktivitas ibadah. Tidak perlu menunggu hingga usia 40 tahun atau bahkan menunggu usia
pensiun. Karena ajal tidak menunggu kesiapan kita. Ia bisa datang setiap saat. Wallahu’alam
bishshawab

Anda mungkin juga menyukai