Anda di halaman 1dari 113

1

ES KRIM
2

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Es krim merupakan salah satu produk olahan susu yang memiliki bentuk

semi padat dan bertekstur halus hingga kasar. Es krim terkenal dengan rasa yang

manis dan enak, tidak ada orang yang tidak menyukai es krim. Peminat es krim

datang dari kalangan atas, menengah, ataupun ekonomi selain itu berbagi umur

dan social.

Es krim banyak digunakan dalam pelengkap makanan maupun makanan

utama sebagai camilan. Seiring majunya teknologi, banyak produsen yang

mengembangkan produk eskrim dari es krim jenis water ice hingga dessert ice

dan es krim dengan perpaduan rasa yang banyak macamnya. Es krim yang enak,

dihasilkan dari bahan bahan yang memiliki fungsi tertentu sehingga tekstur es

krim sempurna, yang dimana es krim merupakan busa atau gas yang terdispersi

cairan yang diawetkan dengan pendinginan. Oleh karena itu, perlu diketahui

proses pembuatan es krim yang benar dan baik untuk menghasilkan akseptabilitas

tinggi.

1.2 Maksud dan Tujuan

1) Mengetahui proses pembuatan es krim yang baik dan benar.

2) Mengetahui nilai overrun pada es krim.


3

II

MATERI DAN METODE

2.1 Materi

Es krim merupakan produk olahan susu yang dibuat dengan cara

membekukan dan mencampur bahan baku secara bersama-sama. Bahan yang

digunakan adalah kombinasi susu dengan bahan tambahan seperti gula dan madu atau

tanpa bahan perasa dan warna , dan stabilizer, bahan campuran es krim disebut ice

cream mix (ICM), dengan pencampuran bahan yang tepat dan pengolahan yang benar

maka dapat dihasilkan es krim dengan kualitas baik (Susilorini dan Sawitri, 2007).

Lemak susu adalah unsur penting yang mempengaruhi tekstur es krim dengan

mekanis menghalangi pertumbuhan kristal es (Marshall dan Arbuckle, 1996). Full

cream adalah bagian yang paling banyak mengandung lemak pada susu. Fungsi full

cream adalah memberikan aroma susu dan mencegah pembentukan kristal yang

terlalu besar (Berger, 1997).

Bahan penstabil (stabilizer) merupakan bahan aditif yang ditambahkan dalam

jumlah kecil untuk mempertahankan emulsi sekaligus memperbaiki kelembutan

produk es krim, mencegah pembentukan kristal es yang besar pada es krim,

memberikan keseragaman produk, memberikan ketahanan agar tidak meleleh atau

mencair dan memperbaiki sifat produk. Tekstur lembut es krim juga dapat diperoleh

melalui proses pembekuan cepat yang akan menghasilkan kristal es berukuran kecil

dan halus serta tekstur es krim lembut (Douglas, 2000).

Homogenisasi dalam kondisi yang sama berulang kali (homogenisasi

multipass) lebih lanjut mengurangi ukuran globul lemak, dan untuk mempersempit

distribusi ukuran pada es krim. Ukuran kristal es memainkan peran besar dalam
4

mempengaruhi tekstures krim. Kristal es akan tumbuh sebagai akibat dari faktor-

faktor titik pembekuan rendah, lambat pengerasan, waktu penyimpanan lama, dan

tinggi dan variabel penyimpanan suhu (Chan, 2008).

Penambahan bahan pengembang membuat tekstur menjadi berpori, hal ini

disebabkan jika bahan pengembang dicampur dengan susu akan mengeluarkan

kabondioksida yang menyebabkan adonan es krim menjadi mengembang, hal ini

menghasilkan tekstur yang berpori kecil menyebabkan pengkristalan es krim

(Hendriani, 2005).

Kecepatan meleleh es krim berkaitan dengan karakteristik tekstur es krim.

Tekstur es krim ditentukan oleh padatan yang terkandung dalam adonan. Padatan

tersebut berasal dari padatan susu tanpa lemak, gula, lemak, dan protein. Semakin

tinggi padatan di dalam es krim maka kecepatan melelehnya pun akan semakin tinggi

(Menurut Andriyanto, 2005).

Bahan pangan umumnya tidak terdiri dari satu rasa tetapi merupakan

gabungan dari berbagai cita rasa yang utuh. Palatabilitas sangat erat hubungannya

dengan cita rasa bahan pangan. (McBride dan Mac Fie, 1990). Gula adalah pemanis

yang umum digunakan, sehingga dipakai secara standart bila penggunaan pemanis

lebih dari 16 % dari bobot es krim (Marshall dan Arbuckle, 1996). Uji terhadap

aroma dianggap penting karena dengan cepat dapat memberikan penilaian minat

konsumen terhadap hasil produksinya (Soekarto, 1995).

2.2 Alat, Bahan, dan Metode

2.2.1 Alat

1) Ice Cream Maker, sebagai alat pembuat es krim

2) Alat Pengaduk, untuk mengaduk dan meratakan es krim


5

3) Thermometer, untuk mengetahui suhu es krim

4) Timbangan, untuk menimbang bahan yang digunakan

5) Beaker Glass, untuk mengukur volume es krim

6) Gelas Cup, untuk menyimpan eskrim di dalam refrigator

2.2.2 Bahan

1) Susu segar 100gr

2) Gula 80gr

3) BKTL 60gr

4) Stabilizer 2,5gr

5) Telur 10gr

6) Flavour 0,5gr

7) Air susu 250gr

2.2.3 Metode Praktikum

1) Susu segar yang telah disiapkan ditambahkan dengan susu skim dan cream

sambil dipanaskan hingga mencapai suhu 45ºC sambil dilakukan

pengadukan.

2) Masukkan gula pasir, stabilizer, kuning telur, dan garam halus yang telah

diencerkan lalu dilakukan pengadukan hingga merata.

3) Pasteurisasi campuran tersebut pada suhu 65ºC selama 30 menit, lalu

dinginkan hingga mencapai suhu 10ºC,

4) Bekukan dengan menggunakan ice cream maker

5) Es krim siap dikonsumsi.


6

III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil Pengamatan

Tabel 1. Hasil Pengamatan Sifat Organoleptik Eskrim


Panelis Warna Rasa
TS N AgS S SS AmS TS N AgS S SS AmS
Aliva
Esther
Maria
Nisa L
Noufan
Resti
Sitka
Syahid
Yaumil
Zahwa
Tabel 2. Hasil Pengamatan Bau dan Kekentalan Es Krim
Panelis Aroma Kekentalan
TS N AgS S SS AmS K S E SK SE
Aliva
Esther
Maria
Nisa L
Noufan
Resti
Sitka
Syahid
Yaumil
Zahwa
Keterangan :
TS = Tidak Suka K = Kental
N = Netral S = Sedang
AS = Agak Suka E = Encer
S = Suka SK = Sangat Kental
SS = Sangat Suka SE = Sangat Encer
AS =Amat Suka
7

3.2 Pembahasan

Pembuatan es krim mempunyai prinsip yaitu dapat membentuk rongga udara

pada ice cream mix (ICM), sehingga diperoleh pengembangan volume es krim agar

menjadikan es krim lebih ringan dan tidak padat serta mempunyai tekstur yang

lembut, oleh karena itu es krim merupakan produk olahan susu yang disukai

masyarakat. Berdasarkan hasil pengamatan, over run yang diperoleh oleh kelompok 4

memiliki angka yang cukup rendah yaitu 11.1%. Over run merupakan tingkat

pengembangan es krim dari adonan. Tingkat pengembangan ini dipengaruhi oleh

bahan pengemulsi, dalam pembuatan es krim ini telur juga membantu proses emulsi

pada suatu produk. Menurut Hendriani (2005), penambahan bahan pengembang

membuat tekstur es krim menjadi berpori, hal ini disebabkan jika bahan pengembang

dicampur dengan susu akan mengeluarkan kabondioksida yang menyebabkan adonan

es krim mengembang.

Warna yang timbul sebagian besar berasal dari susu skim bubuk dan susu full

cream, karena penggunaannya yang mendominasi dibanding dengan bahan ICM

lainnya, sehingga warna es krim berwarna kuning. Berdasarkan hasil panelis, warna

putih kekuningan disukai oleh panelis. Untuk warna es krim yang dibuat secara

sederhana dan es krim instan memiliki warna putih kebiruan dan coklat. Warna es

krim tidak bisa sampai mencapai nilai yang tertinggi tetapi sudah mendekati, yaitu

berwarna putih kekuningan namun demikian warna es krim instan tidak sampai pada

kisaran nilai yang terendah, yaitu berwarna coklat, namun tidak termasuk es krim

instan rasa coklat, karena warna coklatnya sendiri didapat dari penambahan flavor

dan warna coklat pada kemasan produk. Hal ini sesuai dengan warna es krim menurut

SNI (1995), yaitu normal sesuai bahan penyusun yakni putih kekuningan.
8

Aroma merupakan salah satu parameter yang mempengaruhi terhadap persepsi

rasa enak dari suatu makanan. Uji aroma pada suatu produk pangan penting dalam

melihat tingkat penerimaan konsumen suatu produk, hal ini sesuai dengan pernyataan

Soekarto (1995) bahwa dalam industri pangan, uji terhadap aroma dianggap penting

karena dengan cepat dapat memberikan penilaian minat konsumen terhadap hasil

produksinya. Hasil nilai aroma dari panelis yakni berkisar dari suka hingga amat suka.

Aroma es krim dengan pengolahan menggunakan ice cream maker, alat pengaduk

sederhana, dan es krim instantidak berbeda. Karena aroma es krim yang mendominasi

adalah bahan-bahan dalam ICM (ice Cream Mix) berupa susu dan skim. Oleh sebab itu

tidak boleh terdapat penyimpangan aroma dari bahan-bahan penyusun ICM tersebut,

misalnya tengik, pahit, sangit (cooked flavor) dan sebagainya.

Penilaian panelis terhadap aroma es krim berkisar antara aroma susu sampai

aroma gula. Susu mengandung lemak susu yang memberi aroma pada produk, gula

juga sebagai pemanis produk yang memeberi aroma dan rasa dari suatu produk. Hal ini

sesuai dengan pernyataan Marshall dan Arbuckle (1996), bahwa gula adalah pemanis

yang umum digunakan, sehingga dipakai secara standart bila penggunaan pemanis

lebih dari 16 % dari bobot es krim. Selanjutnya, Berger (1997) menyatakan bahwa Full

cream adalah bagian yang paling banyak mengandung lemak pada susu. Fungsi full

cream adalah memberikan aroma susu dan mencegah pembentukan kristal yang terlalu

besar. Aroma es krim sesuai dengan SNI (1995) memiliki aroma yang normal sesuai

dengan bahan yang digunakan dalam pembuatan es krim.

Nilai rasa es krim tidak sampai pada nilai yang tertinggi, yaitu sangat enak,

namun demikian rasa es krim tidak sampai pada kisaran nilai yang terendah, yaitu

berasa tidak enak. Hasil yang diperoleh dari panelis memiliki nilai suka hingga

amat suka. Es krim ini memiliki rasa yang merupakan satu kesatuan dari berbagai
9

bahan penyusunnya dan palatabilitas sangat erat hubungannya dengan cita rasa

bahan pangan. Hal ini sesuai dengan pernyataan McBride dan Mac Fie (1990),

bahwa bahan pangan umumnya tidak terdiri dari satu rasa tetapi merupakan

gabungan dari berbagai cita rasa yang utuh. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan

Winarno (1997) bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi penerimaan panelis

terhadap rasa, antara lain senyawa kimia, suhu, konsentrasi, dan interaksi dengan

komponen rasa yang lain. Atas pernyataan tersebut, dapat diartikan bahwa produk

yang memiliki rasa tidak enak, tidak akan diterima oleh konsumen walaupun

warna, aroma, dan teksturnya baik. Oleh sebab itu, rasa menjadi faktor penting

dalam keputusan konsumen untuk menerima atau menolak produk.

Berdasarkan penilaian panelis, kekentalan es krim yang didapat sangat kental.

Hal ini dipengaruhi oleh stabilizer yang dapat memepertahankan emulsi yang

dihasilkan. Meskipun es krim sangat kental, namun tekstur yang diperoleh sangat

lembut atau halus. Hal ini dipengaruhi oleh adanya lemak susu dan protein yang dapat

membantu proses emulsifikasi, selain itu bahan penstabil membantu mencegah

pembentukan kristal es yang kasar. Hal ini sesuai dengan pernyataan Douglas (2000),

bahwa bahan penstabil (stabilizer) merupakan bahan aditif yang ditambahkan dalam

jumlah kecil untuk mempertahankan emulsi sekaligus memperbaiki kelembutan produk

es krim, mencegah pembentukan kristal es yang besar pada es krim, memberikan

keseragaman produk, memberikan ketahanan agar tidak meleleh atau mencair dan

memperbaiki sifat produk.

Pernyataan lain dari Douglas (2000), adalah tekstur lembut es krim juga dapat

diperoleh melalui proses pembekuan cepat yang akan menghasilkan kristal es

berukuran kecil dan halus serta tekstur es krim lembut. Selain stabilizer, gula juga

berperan aktif dalam pembentukan kristal es selama pembekuan produk, dimana gula
10

akan menghalagi atau mengganggu pembentukan kristal es dengan cara molekul gula

menarik molekul air, dengan demikian membantu mencegah pembentukan kristal es

yang besar, akibatnya tekstur yang dihasilkan lebih lembut.

Lemak susu dapat digunakan sebagai bahan utama dalam pembuatan es

krim, karena lemak susu dapat melembutkan tekstur, dimana lemak yang ada

tersebar merata dengan ukuran yang homogen dan relatif kecil hal ini sesua

dengan pernyataan Marshall dan Arbuckle (1996), bahwa lemak susu adalah unsur

penting yang mempengaruhi tekstur es krim dengan mekanis menghalangi

pertumbuhan kristal es. Selain itu menurut Chan (2008), homogenisasi dalam

kondisi yang sama berulang kali (homogenisasi multipass) lebih lanjut

mengurangi ukuran globul lemak, dan untuk mempersempit distribusi ukuran

pada es krim. Ukuran kristal es memainkan peran besar dalam mempengaruhi

tekstures krim. Kristal es akan tumbuh sebagai akibat dari faktor faktor titik

pembekuan rendah, lambat pengerasan, waktu penyimpanan lama, dan tinggi dan

variabel penyimpanan suhu.


11

IV

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan praktikum diatas dapat

ditarik kesimpulan, bahwa:

1) Es krim yang dibuat pada saat praktikum disukai oleh para panelis dengan

kekentalan yang sangat padat namun bertekstur halus, warna putih

kekuningan pada es krim disukai oleh kosumen, aroma sesuai dengan

bahan pembuatan es krim merupakan aroma normal es krim dan disukai

konsumen, nilai rasa yang diperoleh tidak menunjukkan rasa tidak enak

sehingga es krim layak untuk didistribusikan pada konsumen.

2) Overrun yang diperoleh cukup rendah yaitu 11,1%. Menandakan es krim

yang dibuat tidak mengembang begitu baik.


12

DAFTAR PUSTAKA

Badan Standarisasi Nasional. Standar Nasional Indonesia. 01 – 3713 – 1995.

Berger, K. G. 1997. Food Emulsions. 3rd ed. S. E. Friberg and K. Larsson, ed.
Marcel Dekker, Inc., New York.

Chan, L.A. 2008. Membuat Es Krim. Agromedia. Jakarta.

Douglas, G. 2000. Structure of Ice Cream. http://www.foodsci.uoguelph.ca/


dairyedu/ icstructure. Diakses 05 Desember 2018.

Hendriani, Y. 2005. Stabilitas Es Krim yang Diberi Khitosan sebagai Bahan


Penstabil pada Konsentrasi yang Berbeda. http:/ repository. ipb.ac.id/
bitstream/ handle/ 123456789 /11557 /2005yhe. pdf. Diakses 05 Desember
2018.

Marshall, R. T., and W. S. Arbuckle. 1996. Pages 59, 151–185, 263–267, 319 in
Ice Cream. 5th ed. International Thomson Publ., New York.

McBride, R.L and H.J.H. McFe. 1990. Psychological Basis of Sensory


Evaluation. Elsiver Science Publisher Ltd. New York

Susilorini, T.E. dan M.E. Sawitri. 2007. Produk Olahan Susu. Penebar Swadaya.
Yogyakarta.

Soekarto, T. 1995. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil


Pertanian. Bharata,Yogyakarta.

Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi.Gramedia. Jakarta.


13

YOGURT
14

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Yogurt merupakan salah satu produk hasil fermentasi susu. Yogurt banyak

dikonsumsi masyarakat karena rasanya yang lezat dan memiliki banyak manfaat

bagi tubuh. Tingginya minat konsumsi masyarakat membuat banyak produk yogur

bermunculan. Berbagai macam jenis yogurt telah banyak dijual, baik hasil olahan

pabrik maupun hasil olahan industri rumahan.

Sebagai mahasiswa fakultas peternakan praktikan harus mampu membuat

yogurt dengan baikdan benar. Kemampuan membuat yogurt ini dapat menjadi

ilmu yang bermanfaat dan menjadi bekal setelah lulus nanti. Laporan praktikum

ini juga ditujugan untuk memenuhi tugas akhir praktikum matakuliah Teknologi

Pengolahan Susu dan Telur.

1.2 Maksud dan Tujuan

1) Mengetahui cara pembuatan yogurt yang baik dan benar.

2) Mengetahui mutu fisik yogurt dengan uji organoleptik


15

II

MATERI DAN METODE

2.1 Materi

Yogurt merupakan salaha satu produk fermentasi susu yang banyak

beredar dipasaran. Yogurt dihasilkan dari susu yang telah terfermentasi oleh

bakteri. Secara tradisional, pada pembuatan yogurt digunakan kultur starter

campuran Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophiles (Nurhidayat,

2006). Yoghurt merupakan produk yang diperoleh dari fermentasi susu dan atau

susu rekonstitusi dengan menggunakan bakteri Lactobacillus bulgaricus dan

Streptococcus thermophillus dan atau bakteri asam laktat lain yang sesuai, dengan

atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang

diizinkan (BSN, 2009). Hasil fermentasi oleh bakteri asam laktat tersebut

menjadikan cita rasa susu menjadi asam (Harjiyanti dkk., 2013).

Yoghurt mempunyai tekstur yang agak kental sampai kental atau semi

padat dengan kekentalan yang homogen akibat dari penggumpalan protein karena

asam 4 organik yang dihasilkan oleh kultur starter (Surono, 2004). Pembuatan

yoghurt terdiri persiapan bahan, persiapan starter, pasteurisasi susu, inokulasi susu

dengan starter, diinkubasi (fermentasi) (Jannah dkk., 2014). Yoghurt berdasarkan

citarasanya dibedakan menjadi yoghurt alami atau sederhana dan yoghurt buah.

Yoghurt alami adalah yoghurt yang tidak dilakukan penambahan cita rasa atau

flavor yang lain sehingga asamnya tajam. Penambahan sari buah atau ekstrak

buah atau jus buah dilakukan untuk meningkatkan kualitas yoghurt, sehingga

menjadi salah satu cara diversifikasi yoghurt (Harjiyanti dkk., 2013).


16

Yoghurt yang baik mengandung kadar asam 0,5%-2,0% dan mengandung BAL

minimal sebanyak 107 CFU/ml (BSN, 2009). Menurut SNI (1995) persyratan

yogur adalah dengan penampakan kental-semi padat, bau, dan rasa yang normal

serta memiliki kandungan lemak maks 3,8%, BKTL min. 8,2%, protein min 3,5%,

abu min 1,0%, dan jumlah asam laktat 0,5-2,0%.

2.2 Alat, Bahan, dan Metode

2.2.1 Alat

1) Susu segar

2) Susu skim

3) Starter I plan yoghurt

4) Sirup

2.2.2 Bahan

1) Alat pemanas, berupa kompor

2) Wajan/katel

3) Thermometer

4) Incubator

5) Beaker glass

6) Aluminium foil

7) Batang pengaduk

2.2.3 Metode Praktikum

1) Susu segar yang telah dipanaskan ditambahkan susu skim sebanyak 3-4%

lalu dipanaskan hingga suhu 60-80℃ selama 30 menit, sambi dilakukan

pengadukan.

2) Setelah dipanaskan, susu didinginkan hingga mencapai suhu 45℃.


17

3) Tambahkan starter (plain yoghurt) sebanyak 3-5% dari jumlah susu.

4) Lakukan pengadukan hingga merata.

5) Simpan pada incubator dengan suhu 45℃ selama 2-5 jam, atau simpan di

suhu ruang (±27,5℃) selama 20-24 jam.

6) Setelah terjadi koagulasi, lakukan pengadukan, lalu simpan pada suhu 2-5℃

(refrigerator).

7) Yogurt siap dikonsumsi, untuk menambah rasa dapat ditambahkan flavor

sesuai dengan selera.


18

III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil Pengamatan

Stirred yoghurt : susu 800 ml


Skim =

Starter =

Set yoghurt : 100 ml bahan set yogurt

Starter =

Tabel 3. Uji orgnoleptik Stirred Yoghurt


Organoleptik Skala
Warna 5
Rasa 3
Bau 4
Kekentalan 5
Tabel 4. Uji orgnoleptik Set yoghurt
Organoleptik Skala
Warna 5
Rasa 3
Bau 3
Kekentalan 3

Keterangan:
Skala Hedonik Skala Numerik
Sangat suka 5
Suka 4
Agak suka 3
Netral 2
Tidak suka 1
19

3.2 Pembahasan

Yogurt yang dibuat dalam praktikum kali ini adalah set dan stirred

yoghurt. Perbedaan dari kedua jenis yogurt tersebut hanya pada cara inkubasi, set

yoghurt di inkubasi pada kemasan siap makan/jual, sedangkan stirred yoghurt

diinkubasi dalam tangka atau wadah besar kemudian setelah jadi baru

dipindahkan ke dalam kemasa. Bakteri yang diunakan adalah Lactobacillus

bulgaricus dan Streptococcus thermophiles. Bakteri tersebut optimal tumbuh pada

suhu 42-45℃ dan pada akhir fermentasi akan dihasilkan ph sekitar 4,4. Menurut

Desai dkkl. (1994), bakteri jenis Streptococi bertanggung jawab atas penurunan

pH awal yogurt menjadi sekitar 5,0. Kemudian jenis Lactobacili bertanggung

jawab atas penurunan lebih lanjut sampai pH mencapai 4,5.

Hal penting dalam pembuatan yogurt adalah kesesuaian suhu selama masa

inkubasi dan saat pemsukan starter. Bila suhu tidak sesuai makan bakteri tidak

akan memfermentasi susu dengan maksimal atau bahkan terjadi kematian pada

bakteri dan susu gagal terfermentasi. Pada praktikum kali ini fufu berhasil

terfermentasi dengan baik dilihat dari ph yang sesuai, tekstur yang kental dan rasa

yang masam. Uji organoleptik stirred yoghurt menunjukan hasil untuk warna 5,

rasa 3, bau 4, dan kekentalan 5 yang menunjukan yogurt sangat kental, sedangkan

untuk set yoghurt didapatkan hasil untuk warna 5 dan rasa,bau, serta kekentalan

masing masing mendapatkan skala 3.


20

IV

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengamatan serta pembahasan diatas maka dapat

disimpulkan, bahwa:

1) Pembuatan yoghurt terdiri persiapan bahan, persiapan starter, pasteurisasi

susu, inokulasi susu dengan starter, diinkubasi (fermentasi).

2) Kedua yoghurt memiliki penampakan yang baik namun karena masih plain

sehingga harus ditambahkan rasa agar rasanya lebih enak dan bervariasi.
21

DAFTAR PUSTAKA

Badan Standarisasi Nasional. 2009. Yoghurt (SNI 2981:2009). Jakarta: Badan


Standarisasi Nasional.

Desai, S.R., V.A. Toro and V. Joshi. 1994. Utilization of different fruit in the
manufacture of yoghurt. Indian J. of Dairy Sci. 47 : 870-874.

Harjiyati, M. D., Y.B. Pramono., S. Mulyani. 2013. Total Asam, Viskositas, dan
Kesukaan Pada Yoghurt Drink dengan Sari Buah Mangga (Mangifera
indica) Sebagai Perisa Alami. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan. Vol.2.
No. 2.

Jannah, A.M., Legowo, A.M., Pramono, Y.B., Al- Barri, A.N., Abduh,
S.B.M.A., 2014. Total Bakteri Asam Laktat, pH, Keasaman, Citarasa
dan Kesukaan Yogurt Drink dengan Penambahan Ekstrak Buah
Belimbing. Jurnal Aplikasi Teknologi 3 (2) 2014.

Nurhidayat dkk. 2006. Mikrobiologi Industri. Andi offset. Yogyakarta.

Surono, I.S. 2004. Probiotik Susu Fermentasi dan Kesehatan. Yayasan Pengusaha
Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (YAPMMI). TRICK. Jakarta. p
31-32.
22

KEJU
(FRESH CHEESE)
23

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Konsumsi keju di Indonesia pada tahun 2013 mencapai sekitar 19.000 ton per

tahun, dimana kebutuhan tersebut sebagian dipenuhi dengan cara di impor. Impor keju

berasal dari Amerika Serikat yaitu sebesar 2.726 ton, dimana angka tersebut terus

meningkat sebesar 5,96% per tahun (BPS, 2014). Keju merupakan suatu produk

olahan susu yang dihasilkan dari penggumpalan (koagulasi) protein susu. Proses

penggumpalan ini dilakukan dengan bantuan bakteri atau enzim. Keju memiliki hampir

semua kandungan nutrisi pada susu, seperti protein, vitamin, mineral, kalsium, dan

fosfor namun juga lemak dan kolesterol yang dapat menyebabkan masalah kesehatan

apabila dikonsumsi secara berlebihan.

Keju sangat bermanfaat karena kaya akan protein, terutama bagi anak kecil

karena mereka membutuhkan protein yang lebih banyak dibandingkan orang dewasa.

Pembuatan keju melibatkan sejumlah tahapan yang umum untuk kebanyakan tipe keju.

Susu diberi perlakuan pendahuluan, bisa berupa pematangan awal setelah penambahan

kultur bakteri yang tepat untuk setiap tipe keju, dan dicampur dengan rennet. Aktivitas

enzim rennet menyebabkan susu melalui proses pengentalan atau koagulasi. Hasil dari

proses tersebut nantinya akan dikeringkan, diproses, dan diawetkan dengan berbagai

macam cara, sehingga dapat diproduksi menjadi berbagai variasi produk keju.

1.2 Maksud dan Tujuan

1) Mengetahui proses pembuatan fresh cheese yang baik dan benar

2) Mengetahui jumlah rendemen fresh cheese yang dihasilkan


24

II

MATERI DAN METODE

2.1 Materi Praktikum

Keju merupakan salah satu produk olahan susu yang mengandung nilai gizi tinggi.

Berdasarkan teksturnya keju bisa dibedakan menjadi tiga yaitu keju keras, keju semi keras

dan keju lunak. Beragam jenis keju dapat ditemukan di pasaran. Salah satunya yaitu keju

segar, yang merupakan jenis keju dengan tekstur lunak. Keju segar adalah keju yang tidak

membutuhkan proses pematangan atau fermentasi dalam proses pembuatanya, sehingga

biasa disebut dengan keju segar (Sari el al., 2014). Keju memiliki hampir semua zat gizi

pada susu, seperti protein 12-16%, lemak 0-12%, kalsium 0,8%, vitamin A 0-1% riboflavin

2,8%, yang bermanfaat bagi kesehatan (Winarno dan Fernandez, 2007).

Terdapat berbagai jenis keju berdasarkan asal pembuatan keju, jenis susu yang

digunakan, metode pembuatannya dan perlakuan yang digunakan dalam pematangan keju.

Keju berdasarkan teksturnya dibedakan menjadi 4 yaitu keju lunak, keju setengah lunak,

keju keras dan keju sangat keras. Keju dianggap lunak dengan kadar air lebih besar dari

40%, keju setengah lunak yaitu dengan kadar air 36-40%, keju keras yaitu dengan kadar air

25-36% dan keju sangat keras dengan kadar air kurang dari 25% (Buckle et al., 2007).

Prinsip pembuatan keju yaitu penggumpalan atau pembentukan curd. Untuk

menciptakan kondisi curd atau menggumpal ada dua cara yaitu dengan penambahan

biakan bakteri starter dari kelompok bakteri asam laktat ataupun dengan cara pengasaman

langsung (Purwadi, 2010). Kelebihan pembuatan keju segar dengan cara pengasaman

langsung, dapat mempersingkat terbentuknya curd. Kelebihan lain proses pengasaman

langsung dalam pembuatan keju yaitu lebih terkontrol dibandingkan pengasaman secara

biologis (Fox, dkk., 2000).


25

2.2 Metode Praktikum

2.2.1 Alat

1) Panci stainless, berfungsi sebagai wadah proses pembuatan keju.

2) pH meter, berfungsi untuk mengukur pH susu dan whey.

3) Timbangan analitik berfungsi untuk menimbang bahan yang digunakan.

4) Pisau, berfungsi untuk membagi curd menjadi potongan kecil.

5) Gelas ukur, berfungsi untuk mengukur volume whey.

6) Kain saring, berfungsi untuk memisahkan curd dari whey.

7) Mikropipet 1 ml, berfungsi untuk menambahkan rennet ke bahan.

8) Thermometer, berfungsi untuk mengukur suhu bahan.

9) Alat pengaduk, berfungsi untuk mengaduk bahan.

10) Alumunium foil, berfungsi untuk membungkus fresh cheese.

2.2.2 Bahan

1) Susu, berfungsi sebagai bahan baku pembuatan keju.

2) CaCl₂, berfungsi sebagai campuran untuk mempercepat waktu koagolasi

dan meningkatkan ketegaran curd.

3) Rennet, berfungsi sebagai koagulator pada proses pembuatan keju.

4) Asam sitrat, berfungsi untuk menurunkan pH susu agar mempercepat

koagulasi.

2.3 Prosedur Praktikum

1) Susu segar sebanyak 2 liter dipasteurisasi pada suhu 70-73⁰C selama 30

menit.

2) Susu didinginkan sampai suhu mencapai 37-43⁰C.


26

3) Kemudian ditambahkan 20 ml CaCl₂ sambil diaduk, lalu didiamkan

selama 30 menit.

4) Asam sitrat ditambahkan hingga pHnya 6,7.

5) Enzim rennet ditambahkan kedalam susu sebanyak 3 ml dengan

menggunakan mikropipet.

6) Susu dibiarkan selama 30 menit sampai terjadi penggumpalan kasein

(curding).

7) Curd dipotong beberapa bagian dan cairan whey yang terpisah diambil

perlahan tanpa merusak curd. Tunggu hingga 10 – 15 menit kemudian

diulang hingga whey tidak dapat diambil lagi.

8) Curd dimasukan ke dalam kain saring dan diperas perlahan hingga cairan

whey tidak menetes.

9) Curd ditimbang kemudian dicatat


27

III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil Pengamatan

Tabel 5. Hasil Pengamatan fresh cheese


Pengamatan Hasil
pH Awal 6,7
pH Akhir 6,7
pH Whey 6,4
Volume Whey 2550 ml
Berat fresh cheese 410 gram
Rendemen 13,29 %

3.2 Pembahasan

Pembuatan fresh cheese pada praktikum diawali dengan pemanasan susu

untuk menghilangkan bakteri patogen yang ada pada susu. Pemanasan dilakukan

pada suhu 80 – 90oC, kemudian susu didinginkan hingga suhunya sekitar 37 – 40oC

sebelum kemudian ditambahkan CaCl sebanyak 20 ml lalu didiamkan selama kurang

lebih 30 menit. Penambahan CaCl memiliki peran penting, hal tersebut didukung oleh

pernyataan Lucey dan Fox (1993); Johnson dan Lucey (2006) bahwa, ion Ca++
berpengaruh besar terhadap proses koagulasi kasein susu oleh rennet, khususnya pada

tahap agregasi. Terbentuknya gumpalan kasein (yaitu dadih atau curd) tergantung

pada ketersediaan kalsium terlarut dan juga level koloid kalsium. Setelah selesai

tahap proses hidrolisis kasein oleh enzim chimosin yang merupakan tahap pertama

proses koagulasi kasein oleh rennet, kalsium berperan dalam menetralkan muatan
28

negatif misel kasein dan juga menjadi jembatan penghubung antar gugus fosfat yang

bermuatan negatif. Penambahan CaCl2 pada proses pembuatan keju memperpendek

waktu koagulasi dan meningkatkan ketegaran curd.

Tahap berikutnya susu ditambahkan asam sitrat sebagai penurun pH yang

berfungsi untuk mengendapkan protein yang ada pada susu. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Daulay (1991) bahwa, keju dapat dibuat dengan mengendapkan

protein menggunakan asam. Asam tersebut dapat dihasilkan oleh bakteri atau

asam yang ditambahkan. Penambahan asam dilakukan dengan cara ditetes sambil

dilakukan pengadukan sampai membentuk curd.

Berikutnya rennet ditambahkan sebanyak 3 ml dan didiamkan selama 30 menit.

Menurut pernyataan Daulay (1991) rennet memiliki daya kerja yang kuat, dapat

digunakan dalam konsentrasi yang kecil. Perbandingan antara rennet dan susu adalah

1:5.000. Kurang lebih 30 menit setelah penambahan rennet ke dalam susu yang asam,

maka terbentuklah curd, selanjutnya dilakukan pemisahan curd dari whey.

Curd yang telah terbentuk kemudian dipotong setiap 15 menit sekali

sambil dikeluarkan cairan whey yang terpisah dari curd. Kemudian curd disaring

menggunakan kain saringan agar tidak ada whey yang tersisa. Curd yang telah

disaring adalah produk fresh cheese yang sudah jadi. Fresh cheese kemudian

ditimbang menggunakan timbangan, setelah itu rendemennya dihitung. Menurut

Daulay (1991), rendemen merupakan rasio antara keju yang terbentuk dengan

susu yang digunakan sebagai bahan dasar, berfungsi untuk mengetahui efisiensi

keju yang dihasilkan. Rendemen yang didapat adalah sebesar 13,29%. Skovmose

(2006) menyatakan bahwa rendemen keju yang dihasilkan umumnya sebesar

10%. Artinya dari 10 kg susu segar dapat dihasilkan sebesar 1 kg keju segar.
29

Faktor yang mempengaruhi nilai rendemen keju adalah kandungan protein

dan lemak susu. Skovmose (2006) menyebutkan bahwa fluktuasi kandungan

protein dan lemak susu berpengaruh besar terhadap rendemen keju yang

dihasilkan pada tingkat kadar air yang tetap, semakin tinggi kandungan lemak dan

protein susu, maka semakin tinggi rendemen. Pernyataan tersebut diperkuat oleh

González dan Zárate (2012) bahwa, protein dan lemak merupakan salah satu

komponen total solid yang ada di dalam susu, tampak bahwa semakin tinggi total

solid dalam susu, akan menghasilkan rendemen yang semakin tinggi.


30

IV

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengamatan serta pembahasan diatas maka dapat

disimpulkan, bahwa:

1) Proses pembuatan keju diawali dengan penambahan CaCl2, kemudian

asam sitrat dan rennet. Setelah terjadi penggumpalan (curding), carian

whey dikeluarkan sebanyak mungkin setelah itu curd dapat diolah

menjadi berbagai macam keju

2) Rendemen yang didapat dari 3 liter susu cair adalah 13,29%.

Menandakan bahwa pembuatan keju saat praktikum lebih efisien

dibanding pembuatan keju pada umumnya.


31

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. 2014. Keju. Available at:


https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1698 (diakses pada 1
Desember 2018)

Buckle, K.A., R.A. Edward, G.H. Fleet dan Wootton. 2007. Ilmu Pangan. Edisi
ke-4. Terjemahan: Hari Purnomo dan Adiono. UI-Press. Jakarta

Daulay, D. 1991. Fermentasi Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan
Gizi. Institut Pertanian Bogor.

Fox, P.F., T.P. Guinee, T.M. Cogan, and P.L. McSweeney. 2000. Fundamentals
of Cheese Science. Aspen Publishers, Inc. Maryland.

González, L. and V. Zárate. 2012. Influence of an autochthonous starter culture


and a commercial starter on the characteristics of Tenerife pasteurised
goats' milk cheese. Int. J. Dairy Technol. 65: 542-547.

Johnson M.E., dan J.L. Lucey. 2006. Calcium: a key factor in controlling cheese
functionality. Australian Journal of Dairy Technology: 61:147-53

Lucey J.A., dan P.F Fox. 1993. Importance of calcium and phosphate in cheese
manufacture: A review. Journal of Dairy Science: 76(6):1714. 2.

Purwadi. 2010. Kualitas fisik keju mozarella dengan bahan pengasam jus jeruk
nipis. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak. 5(2): 33-40.

Sari, N. A., A. Sustiyah dan A.M. Legowo. 2014. Total bahan padat, kadar
protein, dan nilai kesukaan keju mozarella dari kombinasi susu kerbau dan
susu sapi. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan. 3(4): 152-156.

Skovmose, E. 2006. Cheese yield. facts.http://www.danlac.com/news/cheese-


yield-facts. (Diakses pada tanggal 2 Desember 2018 pukul 5.47 WIB)

Winarno, F. G dan I. E. Fernandez. 2007. Susu dan Produk Fermentasinya. Bogor:


M-Brio Press
32

SUSU KENTAL
MANIS
33

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Susu adalah salah satu produk peternakan yang memiliki manfaat dan

kandungan gizi yang sangat baik untuk dikonsumsi. Kandungan gizi yang ada dalam

susu diperlukan oleh tubuh terutama kandungan protein dan asam amino ensensial

yang terkandung di dalamnya, oleh karena itu sangat penting untuk mengonsumsi

susu untuk memenuhi kebutuhan nutrisi yang diperlukan oleh tubuh.

Produk peternakan pada umumnya memiliki daya simpan yang relatif

singkat karena mudah rusak akibat adanya kontaminasi bakteri. Kontaminasi

tersebut mudah terjadi karena kandungan protein pada produk – produk

peternakan yang cukup tinggi termasuk juga susu. Salah satu hal yang bisa

dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan melakukan pengolahan

sehingga dapat memperpanjang daya simpan susu tersebut.

Ada berbagai macam produk yang bisa dihasilkan dari susu, salah satu produk

yang cukup populer di kalangan masyarakat adalah susu kental manis (SKM). Susu

kental manis ini cukup digemari oleh masyarakat karena harganya yang relatif murah dan

memiliki daya simpan yang cukup panjang serta tidak mudah rusak. Proses pembuatan

SKM sebenarnya tidak terlalu sulit, prinsipnya hanyalah dengan menguapkan sebagian

kandungan air susu kemudian menambahkan gula kedalamnya, oleh karena itu akan

dijelaskan bagaimana cara pembuatan SKM secara sederhana dalam laporan ini.

1.2 Maksud dan Tujuan

1) Mengetahui cara pembuatan susu kental manis yang baik dan benar.

2) Mengetahui rendemen susu kental manis pada praktikum.


34

II

MATERI DAN METODE

2.1 Materi

Susu adalah cairan yang berasal dari ambing sapi sehat dan bersih yang

diperoleh dengan cara pemerahan yang benar, yang kandungan alaminya tidak

dikurangi atau ditambahkan sesuatu apapun dan belum mendapat perlakuan

apapun kecuali pendinginan (SNI, 2011). Syarat mutu susu segar yang layak

dikonsumsi sudah ditetapkan oleh badan standarisasi nasional yaitu :

Tabel 6. Syarat Mutu Susu Segar


Karakteristik Satuan Syarat
Berat Jenis g/ml 1,0270
Kadar Lemak Minimun % 3,0
Kadar Bahan Kering Tanpa Lemak Minimum % 7,8
Kadar Protein Minimum % 2,8
Warna,Bau,Rasa, Kekentalan - Tidak ada perubahan
o
Derajat Asam SH 6,0 – 7,5
pH - 6,3 – 6,8
Uji Alkohol - Negatif
(Sumber : Standar Nasional Indonesia, 2011)
Susu sangat disukai oleh makhluk hidup karena kandungan gizinya yang baik
dan lengkap serta memiliki pH yang mendekati normal sehingga sangat disukai oleh

mikroorganisme yang menyebabkan susu mudah sekali rusak (Smith, 2011). Susu

perlu diberikan perlakuan tertentu agar tidak cepat rusak, seperti penyimpanan dalam

suhu rendah, pasteurisasi, atau dengan cara pengolahan menjadi susu bubuk dan kental

manis (Winarno, 1993).

Salah satu produk olahan yang berasal dari susu adalah susu kental manis,

susu kental manis adalah produk susu berbentuk cairan kental yang diperoleh dari

campuran susu dan gula dengan menghilangkan sebagian airnya hingga mencapai
35

tingkat kepekatan tertentu atau hasil rekonstitusi susu bubuk dengan penambahan

gula dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain yang diizinkan (SNI, 2011).

Tujuan dari pengolahan susu menjadi susu kental manis adalah untuk meningkatkan

daya simpan susu, susu kental manis memiliki kadar air yang lebih rendah sehingga

tidak mudah terkontaminasi mikroorganisme karena semakin tinggi nilai aw suatu

bahan pangan maka semakin mudah bahan pangan tersebut mengalami kerusakan

oleh mikroorganisme selain itu penambahan gula juga meningkatkan daya simpan

susu karena sukrosa memiliki sifat higroskopis atau kemampuan untuk mengikat air

sehingga apabila ditambahkan dalam suatu bahan pangan dalam konsentrasi yang

tinggi maka akan mengurangi ketersediaan air yang diperlukan untuk pertumbuhan

mikroorganisme dan aw dari bahan tersebut juga menurun (Fajarwati, 2017).

Adapun standar mutu susu kental manis yang layak dikonsumsi telah

ditetapkan oleh badan standarisasi nasional yaitu sebagai berikut :

Tabel 7. Syarat Mutu Susu Kental Manis


Karakteristik Satuan Syarat
Bau - Normal (sesuai label)
Rasa - Normal (sesuai label)
Kadar Air % 20 – 30
Lemak % Min 8
Protein % Min 6,5 / 6,0
%
Total Gula 43 – 48
Padatan Susu % Min 28
(Sumber : Standar Nasional Indonesia, 2011)
Selain memenuhi mutu fisik yang baik, susu kental manis juga harus

memiliki sifat organoleptik yang baik supaya dapat diterima oleh konsumen, sifat

organoleptik merupakan hasil reaksi fisikopsikologik berupa tanggapan atau kesan

pribadi seorang penguji mutu dan hanya dapat diukur secara langsung dengan

penilaian organoleptik, beberapa sifat yang bisa diuji secara organoleptik diantaranya

yaitu sifat visual, bau, rasa dan tekstural (Soekarto, 1990).


36

2.2 Alat, Bahan, dan Metode

2.2.1 Alat dan Bahan

1) Kompor untuk memanaskan susu

2) Wajan sebagai wadah susu ketika dipanaskan

3) Batang kayu pengaduk untuk mengaduk susu selama dipanaskan

4) Susu Segar sebagai bahan utama pembuatan susu kental manis

5) Gula sebagai bahan pembuatan susu kental manis

2.2.2 Prosedur Pembuatan

1) Buatlah susu kental manis dengan perbandingan susu segar dengan

produknya sekitar 2,8 : 1 atau satu liter susu segar menjadi 1/3 liter susu

kental manis. Gula yang ditambahkan sekitar 200 gram.

2) Susu segar yang telah disiapkan dipanaskan hingga suhu 60 – 65 oC

(tidak mendidih) sambil dilakukan pengadukan.

3) Tambahkan gula pasir ke dalam susu yang sedang dipanaskan.

4) Pemanasan dilanjutkan sambil dilakukan pengadukan.

5) Pengadukan terus dilakukan untuk mencegah susu berubah warnanya.

6) Setelah didapatkan perbandingan yang tepat, masukkan susu kental manis

ke dalam wadah kemudian didinginkan hingga mencapai suhu 15 – 18 oC.


37

III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil Pengamatan

Rendemen SKM =

Tabel 8. Hasil Pengamatan Organoleptik Susu Kental Manis


Sifat Skala
Organoleptik Praktikum Industri
Warna 4 5
Cita Rasa 5 5
Aroma 5 4
Kekentalan 4 5
Keterangan :
Skala Hedonik Skala Numerik
Sangat suka 5
Suka 4
Agak suka 3
Netral 2
Tidak suka 1

3.2 Pembahasan

Proses pembuatan susu kental manis (SKM) yang dilakukan adalah

dengan menguapkan sebagian air yang ada dalam susu dengan cara dipanaskan

dengan api yang kecil, dalam SNI (2011) dijelaskan bahwa susu kental manis

adalah produk susu berbentuk cairan kental yang diperoleh dari campuran susu

dan gula dengan menghilangkan sebagian airnya hingga mencapai tingkat

kepekatan tertentu atau hasil rekonstitusi susu bubuk dengan penambahan gula

dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain yang diizinkan. Tujuan
38

pembuatan susu kental manis ini adalah untuk meningkatkan daya simpan dari

susu karena susu memiliki sifat yang mudah rusak dan terkontaminasi oleh

bakteri. Susu mudah terkontaminasi oleh bakteri karena memiliki kandungan air

yang cukup besar, dalam SNI (2011) menjelaskan bahwa syarat mutu dari susu

segar adalah memiliki kandungan bahan kering sebesar 10,8 % sehingga

kandungan airnya kurang lebih mencapai 89,2 % sehingga water activity aw nya

juga relatif tinggi dimana menurut Fajarwati (2017) menyebutkan bahwa semakin

tinggi nilai aw suatu bahan pangan maka semakin mudah bahan pangan tersebut

mengalami kerusakan oleh mikroorganisme.

Susu dipanaskan dalam wajan di atas kompor kemudian ditambahkan gula

ke dalam wajan berisi susu tersebut. Tujuan penambahan gula ini pada dasarnya

adalah untuk memberikan rasa manis dan juga berperan sebagai bahan pengawet

sehingga produk yang dihasilkan memiliki daya simpan yang lebih lama. Gula

yang digunakan pada umumnya adalah sukrosa, menurut Fajarwati (2017) sukrosa

memiliki sifat higroskopis atau kemampuan untuk mengikat air sehingga apabila

ditambahkan dalam suatu bahan pangan dalam konsentrasi yang tinggi maka akan

mengurangi ketersediaan air yang diperlukan untuk pertumbuhan mikroorganisme

dan aw dari bahan tersebut juga menurun. Penambahan gula dalam konsentrasi

yang tinggi juga dapat mempengaruhi tekanan osmotik dalam susu dimana

menurut Shimoda dkk. (2001) menjelaskan bahwa tekanan osmotik yang tinggi

dari susu kental manis dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme

pembusuk sehingga dapat meningkatkan daya simpannya.

Selama proses pembuatan susu kental manis hal yang perlu diperhatikan

adalah api yang digunakan jangan terlalu besar yaitu berkisar antara suhu 60 – 65
o
C serta harus selalu diaduk supaya tidak terjadi perubahan warna akibat adanya
39

reaksi maillard yang nantinya akan menyebabkan perubahan warna dari susu

kental manis yang dihasilkan. Menurut Palupi dkk. (2007) menjelaskan bahwa

reaksi maillard adalah reaksi yang terjadi antara gugus aldehid dari gula pereduksi

dengan gugus amina dari asam amino akibat pemanasan yang membentuk pigmen

berwarna coklat yang disebut malanoidin.

Susu terus dipanaskan hingga volumenya menyusut menjadi sekitar 1/3 bagian

dan menjadi lebih kental kemudian dihitung rendemennya. Susu kental manis yang

dihasilkan pada praktikum yang dilakukan memiliki rendemen 33,89 %, artinya

sebagian besar kandungan air dari susu tersebut sudah dihilangkan dengan cara

diuapkan dan kandungan air yang diuapkan sudah lebih dari 60%. Menurut Xu dkk.

(2014) menyebutkan bahwa susu kental manis merupakan produk olahan susu yang

diperoleh dengan menghilangkan kurang lebih 60% air dalam susu serta mengandung

gula hingga 40 – 50 %, dalam SNI (2011) juga disebutkan bahwa kandungan air dalam

produk susu kental manis yang memenuhi mutu adalah sebesar 20 – 30 % sehingga

susu kental manis yang dihasilkan sudah memenuhi syarat mutu yang ditentukan.

Susu kental manis yang telah dibuat selanjutkan diuji secara organoleptik, yaitu

meliputi warna, rasa, aroma, dan kekentalan kemudian dibandingkan dengan produk

skm komersial. Pengujian organoleptik adalah pengujian yang dilakukan untuk

mengetahui atau menilai sifat – sifat organoleptik dari suatu bahan pangan, menurut

Soekarto (1990) menjelaskan bahwa sifat organoleptik merupakan hasil reaksi

fisikopsikologik berupa tanggapan atau kesan pribadi seorang penguji mutu dan hanya

dapat diukur secara langsung dengan penilaian organoleptik, beberapa sifat yang bisa

diuji secara organoleptik diantaranya yaitu sifat visual, bau, rasa dan tekstural.

Sifat organoleptik yang pertama kali diuji adalah warna, pada susu kental manis

yang dihasilkan memiliki warna putih agak kekuningan akibat adanya kandungan
40

lemak dalam susu. Meskipun memiliki warna yang cukup baik namun dibandingkan

dengan produk komersial warna dari susu yang dihasilkan lebih pucat dibandingkan

produk komersial karena dalam produk komersial biasanya ditambahkan bahan – bahan

lain terutama yang dapat meningkatkan kandungan lemak sehingga mempengaruhi

penampilan atau warna dari susu kental manis yang dihasilkan.

Selanjutnya diuji cita rasa yang dihasilkan, dan dari susu kental manis yang

dibuat pada saat praktikum memiliki cita rasa yang sangat disukai oleh panelis, rasa

manisnya pas dan rasa susu yang diharapkan masih sangat terasa karena dalam

pembuatannya tidak menggunakan bahan tambahan lain hanya susu segar dan gula

sedangkan dalam produk SKM komersial diberikan tambahan lemak nabati yang akan

menyebabkan perubahan dari cita rasa yang dihasilkan.

Aroma yang dimiliki oleh susu kental manis yang dibuat lebih baik

dibandingkan dengan produk komersial, yaitu beraroma susu dan juga ada aroma

seperti karamel akibat pemanasan gula dan susu karena dalam pembuatannya

menggunakan susu dan gula tanpa tambahan bahan pangan lain yang dapat merubah

aroma dari susu kental manis yang dihasilkan.

Kekentalan dari susu yang dibuat pada praktikum sebenarnya sudah cukup

kental namun tidak sekental produk SKM komersial. Menurut Fajarwati (2017)

menjelaskan bahwa tingkat viskositas dari susu kental manis sangat dipengaruhi oleh

bahan baku yang digunakan, bahan tambahan yang digunakan, serta cara pengolahan

yang digunakan. Produk SKM komersial pada umumnya diberikan berbagai bahan

tambahan lain yang meningkatkan zat padatnya sehingga meningkatkan kekentalan

SKM, selain itu salah satu bahan yang digunakan pada produk SKM komersial adalah

maltodekstrin yang memiliki sifat sebagai pengental sehingga susu yang dihasilkan

memiliki viskositas yang lebih tinggi.


41

IV

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengamatan serta pembahasan diatas maka dapat

disimpulkan, bahwa:

1) Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan daya simpan

dari susu adalah dengan mengolahnya menjadi susu kental manis yaitu

dengan cara menguapkan sebagian besar kandungan air dalam susu

kemudian ditambahkan gula.

2) Susu kental manis yang dibuat selama praktikum memiliki rendemen

sebesar 33,89 % sedangkan untuk hasil pengujian organoleptiknya sudah

cukup baik dalam segi rasa dan aroma namun dalam kekentalan dan warna

masih kurang dibandingkan dengan produk SKM komersial.


42

DAFTAR PUSTAKA

Badan Standarisasi Nasional Indonesia. 2011. Syarat Mutu Susu Kental Manis.
SNI 2971 : 2011.

Badan Standarisasi Nasional Indonesia. 2011. Syarat Mutu Susu Sapi Segar. SNI
3141.1 : 2011.

Fajarwati, Dede S. 2017. Pengaruh Kombinasi Sukrosa dan Maltodekstrin


terhadap Sifat Fisiko Kimia dan Organoleptik Susu Kedelai Kental Manis.
Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol.5 No.3 : 72 – 82.

Palupi, N.S., F.R. Zakaria, dan E. Prangdimurti. 2007. Pengaruh Pengolahan


terhadap Nilai Gizi Pangan. Modul e-Learning ENBP Departemen Ilmu
& Teknologi Pangan IPB, Bogor.

Shimoda, M., Y. Yoshimura, T. Yoshimura, K. Noda, and Y. Osajima. 2001.


Volatile Flavor Compounds of Sweetened Condensed Milk. Journals Food
Chemistry and Toxicology Vol. 66 No. 6 : 804 – 807.

Smith, Alwi. 2011. Analisis Perbandingan Total Bakteri (Streptococcus) pada


Jenis Susu Kental Manis dan Susu Bubuk pada Berbagai Lama
Penyimpanan. Jurnal Bimafika Vol. 3 : 259 – 263.

Soekarto, Soewarno T. 1990. Dasar-dasar Pengawasan dan Standarisasi Mutu


Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Pusat Universitas Pangan dan Gizi IPB, Bogor.

Winarno. 1993. Pangan Gizi, Teknologi dan Konsumen. Jakarta : Gramedia


Pustaka Utama.

Xu, Xi-Lin, Guang-Li F., Hong-Wei L., Xiao-Feng L., Guang-lel Z., and Xing-
Long X. 2014. Isolation, Identification and Control of Osmophilic
Spoilage Yeast in Sweetened Condensed Milk. African Journal of
Microbiology Research Vol 8 No. 10 : 1032 – 1039.
43

KARAMEL
44

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Susu adalah cairan berwarna putih yang disekresikan oleh kelenjar mamae

(ambing) pada semua binatang mamalia. Susu merupakan produk yang di hasilkan

oleh sapi perah yang mempunyai kandungan nutrisi lengkap. Namun susu adalah

produk yang kurang tahan lama. Seiring dengan perkembangan zaman dan

teknologi, susu tidak hanya dikonsumsi secara langsung dalam keadaan segar.

Masyarakat menuntut agar tidak hanya dapat mengonsumsi susu dalam keadaan

cair namun dapat diolah dengan menambahkan bahan lain agar bentuknya

menjadi padat atau semi padat.

Salah satu produk olahan susu yaitu karamel susu. Karamel susu

merupakan salah satu produk olahan susu yang dibuat dengan menggumpalkan

susu dengan gula yang telah terkaramelisasi sehingga berwarna kecoklat-coklatan

dan beraroma serta berasa khas. Karamel adalah gula bakar yang tidak bertekstur,

berwarna coklat dan diperoleh dari pemanasan karbohidrat. Proses pengolahan

karamel pada prinsipnya yaitu penguapan air yang ada di dalam susu segar dengan

memerlukan glukosa agar hasilnya tidak terlalu keras.

Pemanasan yang tinggi dapat berpengaruh terhadap flavor, odor,

viskositas, dan lemak dari karamel. Selain itu pengaruh lain dari pemanasan tinggi

adalah tebentuknya warna coklat karena terjadi reaksi antara protein dan gula.

Pada praktikum ini, dilakukan pengolahan susu menjadi karamel untuk dapat

mengaplikasikan ilmu yang telah didapat dan proses yang berlangsunga dalam

pengolahannya.
45

1.2 Maksud dan Tujuan

1) Mengetahui proses pengolahan karamel susu dengan mengamati sifat

organoleptik (warna, cita rasa, aroma, konsistensi) karamel yang telah

dibuat.

2) Mengetahui mutu fisik karamel susu dengan uji organoleptik


46

II

MATERI DAN METODE

2.1 Materi

Susu merupakan bahan makanan yang bergizi tinggi karena mengandung

zat-zat makanan yang lengkap dan seimbang seperti protein, lemak, karbohidrat,

mineral, dan vitamin yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Sebagai bahan pangan

susu dapat digunakan baik dalam bentuk aslinya sebagai satu kesatuan, maupun

dari bagian-bagiannya. Banyak jenis bahan makanan yang dapat dibuat dari bahan

baku susu. Salah satu produk diversifikasi dari susu adalah pembuatan karamel,

yang merupakan hasil dari karamelisasi yaitu reaksi antara gula dengan gula

(Muchtadi, 1992).

Karamel adalah produk bahan pangan yang dibuat dari susu cari dengan

bahan tambahan makanan yang diizinkan atau tanpa penambahan bahan tambahan

makanan lain dan berbentuk semi padat. Karamel merupakan sejenis permen yang

dibuat menggunakan bahan dasar susu. Susu yang digunakan untuk pembuatan

karamel susu tidak memerlukan persyaratan mutu tinggi. Pembuatan karamel

merupakan suatu alternatif pengolahan untuk memanfaatkan susu yang berkualitas

rendah (Buckle dkk., 1987). Adapun syarat mutu daru karamel itu sendiri, sebagai

berikut :
47

Tabel 9. Syarat Kembang Gula Lunak (SNI 3547.2-2008)


Kriteria Uji Satuan Persyaratan Mutu
Keadaan :
Rasa Normal
Bau Normal
Air % b/b Maks. 7,5
Abu % b/b Maks. 2,0
Gula reduksi (dihitung sebagai % b/b Maks. 20
gula inversi)
Sakarosa % b/b Min. 35,0
Cemaran logam :
Timbal (Pb) mg/kg Maks. 2,0
Tembaga (Cu) mg/kg Maks. 2,0
Timah (Sn) mg/kg Maks. 40,0
Raksa (Hg) mg/kg Maks. 0,03
Cemaran Arsen (As) mg/kg Maks. 1
Cemaran mikroba :
Angka lempeng total Koloni/gr Maks. 5x102
Bakteri coliform APM/gr Maks. 20
E.coli APM/gr <3
Salmonella Negative/25 gram
Staphylococcus aureus Koloni/gr Maks. 1x102
Kapang dan khamir Koloni/gr Maks. 1x102
Sumber : Badan Standarisasi Nasional (2008)

2.2 Metode

2.2.1 Alat

1) Alat pemanas, berupa kompor

2) Wajan

3) Alat pengaduk dari kayu

4) Pisau, talenan, dan penggiling dari kayu

5) Plastik bening yang cukup tebal untuk alas

6) Kertas minyak untuk membungkus karamel


48

2.2.2 Bahan

1) 1 Liter susu segar

2) 200 gram gula pasir

3) 20 gram glukosa

2.2.3 Prosedur Kerja

1) Susu segar yang telah disiapkan dipanaskan hingga mendidih sambal

dilakukan pengadukan. Sesudah mencapai suhu yang diinginkan, susu

tetap dipertahankan selama penguapan.

2) Ditambahkan gula pasir sambil terus dilakukan pengadukan.

3) Ditambahkan glukosa sambil terus dilakukan pengadukan.

4) Setelah mengental, adonan dituangkan ke atas talenan lalu diratakan

dengan penggiling kayu.

5) Selanjutnya adonan dipotong-potong dan dikemas dengan kertas minyak,

karamel siap dikonsumsi.


49

III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil Pengamatan

Tabel 10. Sifat Organoleptik Pengamatan Karamel


Pengamatan Keterangan
Warna Cokelat muda
Cita Rasa Manis
Aroma Khas Karamel
Konsistensi Lembut, lunak
Berat 347 gram
Rendemen 2,88 %

3.2 Pembahasan

Praktikum kali ini mengenai pembuatan karamel susu. Karamel susu

merupakan sejenis yang dibuat dengan menggunakan bahan dasar susu. Karamel

termasuk kelompok chewy confections, yang non-grained (tidak mengkristal)

dengan citarasa susu dan merupakan kembang gula yang terdiri dari gula amorf,

dengan kadar air 8 - 15 % (Muchtadidan Ayustaningwarno, 2010).

Prinsip pembuatan karamel susu didasarkan pada reaksi karamelisasi yaitu

reaksi kompleks yang menyebabkan terjadinya perubahan bentuk dari gula

menjadi bentuk amorf yang berwarna cokelat. Larutan gula dalam susu

dipanaskan sampai seluruh air menguap sehingga cairan yang ada pada akhirnya

adalah cairan gula yang lebur. Titik lebur sukrosa adalah 160°C. Apabila keadaan

ini telah tercapai dan terus dipanaskan sampai suhunya melampaui titik leburnya,

maka mulailah terjadi bentuk amorf yang berwarna cokelat dan terbentuklah

pigmen karamel (Winarno, 1997).


50

Proses pembuatan karamel diawali dengan memanaskan terlebih dahulu

susu sapi hingga menguap. Selanjutnya masukkan gula pasir sebanyak 200 gram

dan 20 gram glukosa lalu aduk hingga mengental. Setelah mengental, adonan

dituangkan ke atas talenan lalu diratakan dengan penggiling kayu. Adonan

dilakukan pendinginan, dipotong-potong dan dikemas dengan kertas minyak.

Penggunaan gula dan glukosa bertujuan untuk memberikan rasa manis

(sweetener), mengawetkan, menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan

sebagai bahan pengisi (bulking properties). Pada tahap awal pemasakan gula yang

dicampurkan dengan susu menggunakan suhu pemasakan tinggi akan berubah

menjadi padat dan cokelat karena reaksi karamelisasi sehingga permukaan

karamel menjadi kasar.

Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh warna dari karamel yaitu

kecoklatan. Warna tersebut terbentuk karena adanya pemanasan gula pasir dan

susu sehingga terjadi proses karamelisasi. Pemanasan susu dan gula juga

menyebabkan air menguap sehingga cairan yang ada pada akhirnya adalah cairan

gula yang lebur. Hal ini sesuai dengan pernyataan Winarno (1997), bahwa apabila

susu terus dipanaskan sampai suhunya melampaui titik leburnya, maka mulailah

terjadi bentuk amorf yang berwarna kecoklatan (Winarno, 1997).

Aroma yang dihasilkan pada karamel yaitu aroma susu khas karamel serta

rasa manis karamel susu. Rasa dan aroma yang khas timbul karena terjadinya

reaksi antara protein susu dan gula pada waktu proses pemanasan. Aroma dan rasa

karamel yang khas juga akibat dari sejumlah hasil fragmentasi dan dehidrasi gula,

termasuk diasetil, asam asetat, asam format. Selain itu, aroma yang khas dan enak

dari karamel susu tersebut juga timbul sebagai hasil dekomposisi lemak susu pada

saat pemanasan dalam lingkungan gula (deMan, 1997).


51

Karamel yang dihasilkan memiliki tekstur yang lembut dan lunak (chewy).

Hal ini disebabkan karena adanya peranan gula yang dapat memberikan tekstur

yang diharapkan. Selain itu juga, tekstur karamel tersebut juga dipengaruhi oleh

jenis susu yang digunakan yaitu susu cair, konsistensi karamel yang dipengaruhi

oleh jumlah gula pasir yang digunakan dan mengalami proses karamelisasi

(Charley dan Weaver, 1998). Adapun menurut Buckle dkk. (1987), menyatakan

bahwa semakin tinggi konsentrasi gula yang ditambahkan maka akan

menghasilkan tekstur yang lebih lunak atau chewy dibandingkan dengan

penggunaan konsentrasi gula yang rendah. Artinya penambahan gula sebanyak

200 gram dalam 1 Liter susu segar untuk pembuatan karamel susu pada praktikum

kali ini merupakan konsentrasi gula yang tinggi karena diperoleh tekstur yang

lunak.

Jika dilihat dari rendemen yang dihasilkan setiap kelompoknya berbeda-

beda. Rendemenyang didapat dapat diketahui dari berat karamel yang diperoleh.

Kelompok kami membuat karamel susu dengan berat sebesar 347 gram. Hal ini

dapat dipengaruhi oleh banyaknya bahan yang terbuang pada saat proses

pengolahan. Pada pembuatan karamel susu ini kemungkinan rendemen memiliki

nilai yang kecil disebabkan oleh lamanya proses pengentalan susu sehingga susu

menjadi lebih sedikit dari setengah volume awal atau disebabkan oleh banyaknya

adonan yang menempel pada wajan sehingga adonan mengeras dan tidak dapat

dilakukan penimbangan berat karamel.


52

IV

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengamatan serta pembahasan diatas maka dapat

disimpulkan, bahwa:

1) Karamel susu yang dihasilkan memiliki warna kecoklatan, rasanya manis

susu, aroma seperti khas karamel dengan tekstur yang chewy.

2) Waktu karamelisasi dan kekerasan permen karamel sangat dipengaruhi

oleh konsentrasi gula yang digunakan untuk menghasilkan permen

karamel yang diinginkan. Besar atau kecilnya nilai rendemen yang

dihasilkan permen karamel dikarenakan adanya bahan yang terbuang saat

proses pengolahan dan lamanya proses pengentalan susu.


53

DAFTAR PUSTAKA

Buckle, K.A., R. A. Edwards, G. H. Fleet and M. Wootton, 1987. Ilmu Pangan.


Universitas Indonesia Press.Jakarta.

Charley, H. dan C. Weaver. 1998. Foods (A Scientific Approach). Prentice Hall.

deMan, John M. 1997. Kimia Makanan. Institut Teknologi Bandung,


Bandung.

Muchtadi, T. R., dan Ayustaningwarno, F. 2010.Teknologi Proses Pengolahan


Pangan. Alfabeta. Bandung.

Muchtadi. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. IPB. Bogor.

Standar Nasional Indonesia (SNI). 2008. Syarat Kembang Gula Lunak (SNI
3547.2-2008). Badan Standarisasi Nasional. Jakarta.

Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
54

MENTEGA
55

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mentega (butter) yaitu suatu massa dari lemak susu yang dihasilkan

penumbukkan (churning) kepala susu (cream) atau susu penuh (whole milk).

Komposisi utama mentega adalah minimal 80% lemak susu, sehingga

mentega merupakan sumber energy. Agar lebih efisien, pembuatan mentega

sebaiknya menggunakan bahan baku cream walaupun pada dasarnya mentega

dapat dibuat dengan bahan baku susu penuh. Cream untuk pembuatan

mentega sebaiknya mengandung 30 – 35% lemak. Jika kurang dari 30%

penumbukannya akan sukar dilakukan, sehingga hasilnya sedikit.

Nama-nama produk sesuai dengan proses pembuatannya, yaitu:

1) Sweet Cream Butter, yaitu mentega yang dibuat dari cream yang tidak

dimatangkan dengan pemberian starter.

2) Ripened Crean Butter, yaitu mentega yang dibuat dari cream yang

dimatangkan dengan pemberian starter.

Fungsi pematangan pada Ripened Cream Butter, yaitu:

1) Memfermentasi laktosa supaya terjadi asam laktat yang

mengakibatkan susu menggumpal sehingga lemak dapat terpisah

dengan baik.

2) Mengubah asam sitrat yang ada di dalam susu menjadi asam-asam

terbang, seperti asam cuka dan produk-produk lainnya yaitu diasetil

dan asetilmetil karbinol yang beraroma dan berflavour baik/enak.

Untuk starter ini biasanya digunakan Streptococcus citrovorus dan


56

Streptococcus paracitrovorus. Banyaknya starter yang dipergunakan

5-10% ditambahkan ke dalam susu yang telah dipanaskan pada suhu

85-90°C selama 20 menit, kemudian aduk dan disimpan pada suhu

ruang selama 12-18 jam.

1.2 Maksud dan Tujuan

1) Mengetahui proses pembuatan mentega yang baik dan benar.

2) Mengetahui nilai rendemen mentega yang dihasilkan


57

II

MATERI DAN METODE

2.1 Materi

Definisi susu segar mengacu pada SNI 01-3141-2011 (BSN, 2011) adalah cairan

yang berasal dari ambing sapi sehat dan bersih, yang diperoleh dengan cara pemerahan

yang benar, yang kandungan alaminya tidak dikurangi atau ditambahkan sesuatu apapun

dan belum mendapat perlakuan apapun kecuali pendinginan. Susu yang digunakan untuk

pembuatan mentega harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu pertama berasal dari

ternak yang sehat, kedua susu yang ditangani dan disimpan pada kondisi yang bersih dan

suhu rendah, dan bau tidak enak yang berkembang saat susu dihasilkan dapat pindah ke

mentega.

Krim adalah bagian dari susu yang kaya akan lemak, yang timbul ke bagian atas

dari susu pada waktu didiamkan atau dipisahkan dengan alat pemisah sentrifugal

(centrifugal separator). Kandungan lemak dalam krim dapat bervariasi tergantung pada

penggunaan selanjutnya.

Definisi mentega mengacu pada SNI 01-3744-1995 (BSN, 1995) adalah produk

berbentuk padat lunak yang dibuat dari lemak atau krim susu atau campurannya, dengan

atau tanpa penambahan garam (NaCl) atau bahan makanan yang diizinkan. Mentega

umumnya dibuat dari lemak hewani. Jenis bahan pangan ini merupakan emulsi fase air

yang berada dalam fase minyak (water in oil). Air dan minyak merupakan cairan yang

tidak saling berbaur karena memiliki berat jenis yang berbeda. Untuk menjaga agar

butiran minyak tetap tersuspensi di dalam air pada mentega diperlukan suatu zat

pengemulsi atau emulsifier. Zat gizi yang terdapat pada mentega selain vitamin A , D, E

dan K, juga terdapat zat besi, fosfor, natrium, kalium serta omega-3 dan omega-6.
58

2.2 Metode

2.2.1 Alat dan Bahan

1) Cream pasteurisasi dengan suhu 10°C

2) Garam meja

3) Es batu

4) Churn atau toples/botol bermulut lebar

5) Gelas ukur

6) Alat pengulian

7) Alumunium foil

8) Timbangan

2.2.2 Prosedur Praktikum

1) Masukkan cream ke dalam churn atau botol sebanyak 1/3 atau 5

volume (suhu cream 10°C) lalu dikocok-kocok, hingga butir-butir

lemak berkumpul membentuk bakal mentega.

2) Lakukan pencucian, bila “butter milk” atau serum susu telah terpisah

ukur volumenya lalu buang dan ganti dengan menggunakan air es

(suhu 10°C) dengan volume yang sama lalu goyang-goyangkan untuk

mencuci bakal mentega. Pencucian dapat dilakukan 2 kali.

3) Pengulian; untuk membuar bakal mentega menjadi massa yang

kompak maka dilakukan pengulian dan pada saat ini ditambahkan

garam meja sebanyak 0,52%.

4) Pembungkusan; bahan pembungkus yang digunakan sebaiknya bersifat

kedap air maupun kelembaban, misalnya plastic polyethylene atau

aluminium foil.
59

III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil Pengamatan

∑ Penambahan es batu = 729 gram

∑ cream = 250 gram

∑ Butter milk = 1 liter

Rendemen mentega = ⁄

= ⁄

= 2,78 %
No. Analisis Hasil
1. Rasa Agak asin
2. Warna Putih pucat agak kekuningan
3. Tekstur Lembut, tidak terlalu lembek
4. Aroma Khas mentega
5. Penampakan Agak menarik

3.2 Pembahasan

Pembuatan mentega dengan 250 gram cream dan penambahan es batu

secara simultan dengan total 729 gram dapat menghasilkan 90 gram mentega dan

1 liter butter milk, sehingga didapat rendemen mentega sebanyak 2,78%. Dari

analisis tekstur, mentega yang dibuat sudah cukup kompak namun tetap lembut.

Hal tersebut diakibatkan dari proses churning atau pengocokkan yang kuat dan

cepat, sehingga mentega cepat terbentuk, kemudian globula lemak yang terjadi

pada mentega akan lebih besar dan menyebabkan perubahan fasa mentega lebih

cepat menjadi padat. Proses churning secara mekanik film protein di sekeliling
60

globula lemak retak dan pecah, sehingga memungkinkan globula lemak

menggumpal dan menyusup ke permukaan. Cara ini merupakan proses

pemecahan emulsi minyak dalam air (o/w) dengan pengocokan (Winarno, 1997).

Setelah melakukan proses churning dilakukan proses pencucian dengan air

dingin, hal ini ditujukan untuk menghilangkan rasa asam dan protein sebanyak

mungkin. Kemudian dilakukan pengulian dengan penambahan garam sebagai

rasa, dan pemberian aluminium foil. Tujuan pengulian adalah untuk

menghilangkan sisa air, membuat gumpalan lemak, agar garam terbagi rata dan

mengeluarkan sisa susu tumbuk. Bakal mentega ini dibungkus dengan aluminium

foil agar tidak terkena panas, cahaya, oksigen, yang dapat mempengaruhi proses

ketengikan pada lemak juga agar bentuknya tidak berubah. Ketengikan terjadi

diakibatkan oleh adanya proses oksidasi oleh oksigen terhadap asam lemak tidak

jenuh dalam lemak yang terjadi pada suhu kamar atau saat proses pengolahan

produk. Cahaya merupakan akselator terhadap timbulnya ketengikan, dan

kombinasi antara cahaya dan udara dapat mempercepat proses oksidasi.

Ketengikan terjadi karena adanya dekomposisi peroksida dalam lemak (Ketaren,

1986).
61

IV

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengamatan serta pembahasan diatas maka dapat

disimpulkan, bahwa:

1) Dalam pembuatan mentega terdapat proses churning secara mekanik film

protein di sekeliling globula lemak retak dan pecah, sehingga

memungkinkan globula lemak menggumpal dan menyusup ke permukaan.

2) Didapat mentega dengan volume 90 gram dan butter milk 1 liter dari 250

gram cream dan penambahan es batu sebanyak 729 gram.


62

DAFTAR PUSTAKA

Ketaren S. 1986. Minyak dan Lemak Pangan. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.

Standar Nasional Indonesia. 1995. Mentega. BPOM. Bandung

Standar Nasional Indonesia. 2011. Susu. BPOM. Bandung

Winarno. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
63

TAHU SUSU
DAN
KERUPUK SUSU
64

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Susu merupakan salah satu bahan pangan sumber protein yang

bernilai gizi tinggi. Kandungan gizi yang tinggi ini menjadi media yang

baik bagi pertumbuhan mikroba, sehingga susu bersifat mudah rusak dan

tidak tahan lama sehingga dalam pemasarannya dibutuhkan proses

pengolahan terlebih dahulu agar lebih tahan lama.

Permasalahan susu di Indonesia adalah rendahnya kualitas susu

murni, yang disebabkan kurangnya penerapan manajemen pemeliharaan dan

pemerahan yang baik dipeternak. Rendahnya kualitas susu dipeternak

rakyat berdampak pada rendahnya harga jual, untuk mengatasi hal itu

dibutuhkan suatu usaha untuk meningkatkan nilai jual susu. Pengolahan

susu, selain dapat memperpanjang masa simpan juga dapat menambah nilai

jual dari susu.

Susu dapat diolah menjadi beberapa produk seperti tahu susu dan

kerupuk susu. Tahu susu merupakan suatu massa atau gumpalan yang

diperoleh dari penggumpalan protein susu dimana sebagian dari kandungan

airnya dikeluarkan, sedangkan kerupuk susu merupakan produk lanjutan

dari pembuatan tahu susu.

Pembuatan tahu susu dan kerupuk susu cukuplah mudah dan tidak

terlalu membutuhkan bahan yang sulit untuk dicari sehingga dapat dengan

mudah diterapkan oleh peternak atau industri rumah tangga skala kecil,
65

dalam laporan praktikum ini akan dijelaskan bagaimana cara pembuatan

tahu susu dan kerupuk susu dengan cara yang baik dan benar.

1.2 Maksud dan Tujuan

1) Mengetahui cara membuat tahu susu dan kerupuk susu yang baik dan benar.

2) Mengetahui mutu fisik tahu susu dan kerupuk susu dengan uji organoleptik
66

II

MATERI DAN METODE

2.1 Materi

Susu dikenal sebagai bahan pangan yang sangat dibutuhkan oleh manusia,

karena susu mengandung air di dalamnya, protein, karbohidrat, lemak, mineral, enzim–

enzim, gas serta vitamin A, C, D, dalam jumlah yang memadai. Produk susu diolah

menjadi beraneka ragam pangan, seperti diolah menjadi tahu susu dan kerupuk susu

(Almatsier, 2002). Kerupuk dan tahu susu dibuat dengan memanfaatkan susu

berkualitas rendah dan susu pecah. Umumnya, susu yang sudah tidak segar telah

memiliki rasa yang asam dan aroma menyimpang karena adanya kontaminasi mikroba

(tidak patogen) yang biasanya akan segera dibuang. Namun, pada fase ini sebenarnya

susu masih dapat diolah menjadi tahu susu dengan menambahkan rennet atau asam

sebagai penggumpal (Usmiati, 2014).

Tahu merupakan pangan olahan yang sangat digemari masyarakat Indonesia dan

menjadi konsumsi masyarakat luas, baik sebagai lauk maupun makanan ringan, pada

umumnya tahu terbuat dari ekstrak protein kedelai yang telah digumpalkan dengan asam,

ion kalsium, atau bahan penggumpal lainnya. Seiring perkembangan teknologi pangan,

tahu diolah dengan memanfaatkan bahan dasar Susu sapi sehingga menghasilkan produk

olahan tahu susu. Tahu Susu merupakan produk olahan susu sapi yang memungkinkan

dikembangkan dengan diversifikasi sumber bahan dan hasil olahan tahu susu seperti

kerupuk tahu susu dan keju muda (Nurhidajah dan Suyanto, 2012).

Prinsip pembuatan tahu susu adalah penggumpalan protein susu dengan bahan

pengumpal alami ataupun buatan. Salah satu sifat susu adalah dapat digumpalkan,

penggumpalan dapat disebabkan oleh kegiatan enzim atau dengan penambahan asam.
67

Penggumpalan dengan asam dikendalikan oleh pH, penggumpalan partikel kasein

berada pada titik isoelektrik yaitu pada pH 4,6. Aktifitas partikel pada air mengalami

penurunan pada titik isoelektrik tersebut oleh karena itu akan terjadi penggumpalan

(Buckle, dkk., 1987). Penambahan asam akan mengkoagulasikan protein susu,

terutama kasein dan sedikit albumin (Soeparno, 1992).

Jenis penggumpal yang sering digunakan dalam pembuatan tahu di Indonesia

adalah asam yang berasal dari whey yang telah mengalami fermentasi alami (Rahayu,

2013). Tahu yang menggunakan koagulan asam asetat mempunyai kekompakan yang

lebih bagus dan rasanya asam (Lampert, 1975).

Kerupuk merupakan produk makanan kering yang populer yang telah lama

dikenal masyarakat Indonesia. Kerupuk yang biasanya beredar di pasaran hanya dibuat

dari tepung terigu dan tepung tapioka yang diberi bumbu-bumbu dan digoreng.

Komponen terbesar kerupuk adalah pati sehingga kerupuk mempunyai kandungan

protein yang rendah. Protein sangat dibutuhkan oleh tubuh berkaitan dengan fungsinya

sebagai zat pembangun dan Fe sangat diperlukan untuk pembentukan sel-sel darah

merah sehingga tubuh terhindar dari penyakit anemia. Karna kandungan protein yang

rendah pada kerupuk maka perlu adanya penambahan protein yang tinggi. Sumber

protein hewani yang tinggi diantaranya yaitu susu. Penggunaan susu sebagai bahan

tambahan pada pembuatan kerupuk diharapkan dapat meningkatkan kandungan nutrisi

yang berimbas pada peningkatan nilai ekonomi produk kerupuk (Saputro, 2012).

Kerupuk susu dibuat dengan mendidihkan susu, ditambahkan secara bertahap

ke dalam campuran tapioka bersama bumbu dan garam sampai adonan kalis. Adonan

dibentuk bulat lonjong, direbus atau dikukus hingga matang. Setelah dingin, gumpalan

diiris tipis dan dijemur. Setelah kering dikemas plastik atau digoreng kemudian

dikemas plastik.
68

2.2 Metode

2.2.1 Alat dan Bahan

1) Alat pemanas, berupa kompor

2) Wajan/katel

3) Alat pengaduk dari kayu

4) Thermometer

5) Saringan dari kain saring

6) Cetakan

7) Pisau

8) Susu

9) Asam asetat

10) Tepung tapioka

11) Bumbu

2.2.2 Prosedur Praktikum

1) Susu dipanaskan hingga suhu 60-80°C selama 30 menit, sambil

dilakukan pengadukan.

2) Tambahkan bahan penggumpal berupa asam asetat 3 ml (asetat 25%)

dalam 1 liter susu.

3) Tunggu hingga terjadi penggumpalan.

4) Lakukan penyaringan hingga didapat gumpalan dadih dan whey.

5) Setelah disaring, dadih dicetak hingga terbentuk tahu susu.

6) Lakukan pengamatan rendemen dan uji organoleptik.

7) Untuk membuat kerupuk susu, buatlah pulut dengan cara mencampurkan

susu segar dengan sebagian tapioka sambil dipanaskan hingga didapat

adonan yang kental. Tahu susu yang dihasilkan, dicampurkan dengan


69

adonan yang sudah mengental, lalu tambahkan sisa tepung tapioka dan

bumbu hingga didapat adonan (pulut) yang sudah tidak lengket.

8) Adonan dibungkus dan dibiarkan mengembang.

9) Kukus adonan hingga matang lalu lakukan pengirisan.

10) Setelah dilakukan pengirisan, lakukan penjemuran.

11) Kerupuk susu siap untuk digoreng.


70

III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil Pengamatan

Tahu susu = 1 liter susu + 6 ml asam asetat

= 1006 ml
Pengamatan Hasil
Waktu Pengumpalan 30”.00’.20
Cairan whey (ml) 850 ml
Curd (gram) 68 gram
Berat adonan kerupuk susu (gram) 800 gram
Rendemen tahu susu =

= 84,49 %

Organoleptik Skala
Warna 4
Aroma 4
Rasa 3
Keterangan
Sangat suka : 5
Suka :4
Agak suka :3
Netral :2
Tidak suka :1

3.2 Pembahasan
Salah satu sifat susu adalah dapat menggumpal, hal inilah yang menjadi

prinsip pembuatan tahu susu. Buckle (1987) menyatakan bahwa penggumpalan

dapat disebabkan oleh penambahan asam, yang dalam praktikum ini adalah

penambahan asam asetat sebanyak 6 ml, menurut Larassati (2017), jumlah asam
71

asetat yang terlalu banyak akan menyebabkan pH semakin rendah sehingga

gumpalan menjadi tidak kompak dan apabila kurang tidak akan menggumpal.

Penggumpalan dengan asam dikendalikan oleh kegiatan pH, penggumpalan

partikel kasein berada pada titik isoelektrik yaitu pada pH 4,6. Aktifitas partikel

pada air mengalami penurunan pada titik isoelektrik dan terjadi proses

penggumpalan (Nurhidajah dan Suyanto, 2012).

Waktu yang dibutuhkan agar terjadi penggumpalan pada proses

pembuatan tahu susu ini memakan waktu selama 30 menit, lamanya waktu yan

dibutuhkan untuk terjadinya penggumpalan dapat dipengaruhi oleh faktor suhu.

Menurut Nurhidajah dan Suyanto (2012) suhu yang digunakan pada proses

penggumpalan tahu susu ini adalah antara 65-72°C, maksud dari suhu yang

digunakan tersebut adalah karena pada suhu seperti itu adalah tepat yaitu pada

saat titik isoelektrik dari susu tersebut dan jika suhu yang digunakan lebih dari

72°C maka titik isoelektrik akan lambat dan akibatnya penggumpalan akan tidak

sempurna hal ini disebabkan terjadinya kerusakan protein apabila suhu yang

digunakan terlalu tinggi.

Rendemen dari produk tahu susu ini adalah bernilai 84,49%, menurut

Nurhidajah dan Suyanto (2012) nilai rendemen pada tahu susu dipengaruhi oleh

kemampuan bahan penggumpal dalam menggumpalkan protein dan kondisi pH

saat penggumpalan, tahu susu yang menggumpal pada pH mendekati pH optimal

akan menghasilkan rendemen yang tinggi.

Kerupuk susu merupakan hasil pengolahan lanjutan dari produk tahu susu.

Warna, aroma, dan rasa merupakan faktor-faktor yang perlu mendapat perhatian

dalam pembuatan kerupuk. Rasa merupakan kriteria penting dalam menilai suatu

produk pangan yang banyak melibatkan indera pengecap yaitu lidah. Menurut
72

Winarno (1997), rasa sangat dipengaruhi oleh senyawa kimia, suhu, konsistensi,

dan interaksi dengan komponen penyusun makanan seperti protein, lemak,

vitamin, dan banyak komponen lainnya. Bau yang berasal dari susu dapat terbawa

sampai pada produk olahannya. Uji organoleptik merupakan hasil reaksi fisiologis

berupa tanggapan atau kesan mutu oleh panelis.

Warna kerupuk yang dihasilkan dipengaruhi oleh bahan baku yang

digunakan. Perubahan warna terjadi pada adonan kerupuk setelah mengalami

proses pengukusan. Kandungan protein pada susu dan karbohidrat pada tepung

terigu memiliki sifat akan berubah menjadi kecoklatan atau bersifat browning jika

terkena panas, hal ini sesuai dengan warna kerupuk hasil penggorengan pada

praktikum pembuatan kerupuk susu ini. Kerupuk susu yang telah digoreng

berwarna kecoklatan dengan nilai uji hedonik empat atau disukai oleh panelis.

Aroma dari kerupuk susu ini masih sedikit beraroma susu yang berasal

dari bahan dasar kerupuk itu sendiri yaitu susu dan memiliki nilai hedonik empat

atau disukai oleh panelis, sedangkan untuk rasa nilai hedonik yang diperoleh

adalah tiga, yang berarti bahwa rasa dari kerupuk susu ini adalah agak disukai

oleh panelis.
73

IV

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengamatan serta pembahasan diatas maka dapat

disimpulkan, bahwa:

1) Susu dapat diolah menjadi berbagai produk seperti tahu susu dan kerupuk

susu. Proses pembuatan tahu susu dan kerupuk yang dilakukan sesuai

dengan prosedur akan menghasilkan produk yang baik dan dapat diterima

oleh panelis.

2) Nilai pengujian organoleptik untuk kerupuk susu adala warna 4 (suka),

aroma 4 (suka) dan rasa 3 (agak suka) dan nilai rendemen untuk tahu susu

adalah 84,49%.
74

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, S. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.

Buckle, K. A, R.A. Edward, G.H. Fleek dan W. Wotten. 1987. Ilmu Pangan. UI
Press: Jakarta.

Lampert, M. L. 1975. Modern Dairy Product. 3rd Edition. Chemical Publication.


Co.Inc: New York.

Larassati, D. P. 2017. Pengaruh Substitusi Susu Kambing pada Susu Kedelai dan
Konsentrasi Asam Asetat terhadap Sifat Kimia dan Sensori Tahu Susu.
Universitas Lampung: Bandar Lampung.

Nurhidajah dan A. Suyanto. 2012. Kadar Kalsium dan Sifat Organoleptik Tahu Susu
dengan Variasi Jenis Bahan Penggumpal. Universitas Muhammadiyah:
Semarang.

Rahayu, E. S. 2013. Teknologi Proses Produksi Tahu. Kanisius: Yogyakarta.

Saputro, E. 2012. Membuat Kerupuk. Kementrian Pertanian: Batu.

Soeparno, 1992. Prinsip Kimia dan Teknologi Susu. Gadjah Mada University
Press: Yogyakarta.

Usmiati, S. 2014. Pengembangan Teknologi Penanganan dan Pengolahan Susu.


Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian: Bogor.

Winarno, F, G. 1997. Kimia Pangan. Pusat Pengembangan Teknologi Pangan.


IPB: Bogor.
75

MAYONAISE
76

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Telur merupakan salah satu produk peternakan yang sudah menjadi

sumber protein hewani yang umum dikonsumsi bagi masyarakat. Selain rasanya

yang lezat dan gurih, telur mengandung kandungan nutrisi yang baik bagi

kesehatan manusia seperti protein dengan asam amino yang lengkap, lemak, dan

juga mineral yang dibutuhkan oleh tubuh.

Seiring berkembangnya tekonologi, maka keragaman olahan makanan

yang terbuat dari telur semakin beragam. Salah satu olahan makanan yang terbuat

dari telur adalah mayones. Mayones banyak digunakan dalam pelengkap

makanan seperti salad, burger, sosis bakar, dll. Mayones juga sudah banyak

diminati dari berbagai kalangan masyarakat dari berbagai tingkatan kelas

ekonomi, umur, dan sosial. Proses pembuatan mayones sangat mempengaruhi

rasa, tekstur, dan kualitas dari mayoes yang dihasilkan. Oleh karena itu, perlu

diketahui proses pembuatan mayones yang baik dan benar agar menghasilkan

mayones dengan tingkat akseptabilitas yang tinggi.

1.2 Maksud dan Tujuan

1) Mengetahui proses pembuatan mayones dengan baik dan benar.

2) Mengetahui faktor yang menentukan keberhasilan mayonaise


77

II

MATERI DAN METODE

2.1 Materi

Mayonnaise merupakan hasil emulsi minyak nabati dalam asam yang

distabilkan oleh lesitin (semacam lemak) dari kuning telur rasa minyak nabati dalam

mayonnaise tidak terasa meskipun mayonnaise terbuat dari sebagian besar minyak

nabati. Hal ini dikarenakan setiap molekul minyak dikelilingi oleh mikromolekul dari

larutan asam. Prinsipnya bukan mengemulsikan sejumlah larutan asam ke dalam

minyak yang banyak melainkan mengemulsikan sejumlah besar minyak dalam

sebagian kecil larutan asam. Pada produk mayonnaise bagian yang terdispersi adalah

minyak nabati, bagian yang mendispersi (media pendispersi) asam cuka atau perasan

jeruk nipis dan bagian pengemulsinya adalah kuning telur. Kuning telur merupakan

emulsifier yang sangat kuat (terdapat sejenis bahan yang memiliki tingkat kesukaan

terhadap air dan minyak sekaligus). Satu ujung molekul tersebut suka air dan ujung

yang lainnya suka minyak. Oleh karenanya bahan itu dapat dijadikan jembatan untuk

mencampurkan antara bahan lemak dan bahan air (Rusalim, M.M., dkk, 2017).

Terdapat tiga komponen utama pembentukan mayonnaise daintaranya terdiri

dari larutan asam sebagai medium pendispersi, kuning telur sebagai emulsifier, dan

minyak nabati sebagai medium terdispersi. Ketiga komponen utama dalam pembuatan

mayonnaise harus dalam keadaan seimbang. Hal ini perlu diperhatikan untuk

menghasilkan mayonnaise dengan kualitas yang baik dari segi organoleptik, tekstur,

viskositas, dan kestabilan emulsi. Salah satu indikator kualitas sifat fisik mayonnaise

adalah viskositas dan kestabilan emulsi. Viskositas suatu emulsi tidak hanya
78

mempengaruhi sifat organoleptik, terutama kenampakan keseluruhan, tetapi juga

mempengaruhi proses pengolahan dan daya simpan produk (Heganbert, 2006)

Prinsip dari pembuatan mayonnaise adalah mencampurkan minyak nabati

dengan cuka, gula, garam, lada, mustard, dan kuning telur sebagai pengemulsi yang akan

membentuk sistem emulsi. Bahan pengemulsi sangat diperlukan untuk mempertahankan

stabilitas sistem emulsi setelah pencampuran, sehingga antara minyak nabati dan bahan

yang lain tidak terpisah. Pengemulsi yang tidak baik dan tidak seimbang dapat

menyebabkan emulsi yang diperoleh menjadi tidak stabil (Jaya, dkk., 2013).

Sistem emulsi yang membentuk mayonnaise merupakan sistem heterogen yang

terdiri atas dua fase yang tidak tercampur, tetapi cairan yang satu terdispersi dengan

baik dalam cairan yang lain dalam bentuk butiran (droplet/globula) dengan diameter

antara 0,01-50 μm. Fase yang berbentuk butiran disebut fase terdispersi atau fase

internal, sedangkan fase tempat cairan terdispersi disebut fase pendispersi (Nawar,

1985). Menurut Paul dan Palmer (1972), tipe emulsi yang terbentuk dapat dibedakan

menjadi dua, yaitu emulsi minyak dalam air dimana minyak menjadi fase terdispersi

dan air menjadi fase pendispersi, serta emulsi air dalam minyak dimana minyak

menjadi fase pendispersi dan air sebagai fase terdispersi.

Pada pembentukan suatu sistem emulsi, cairan fase internal harus terdispersi

dengan sempurna dalam fase pendispersi, sehingga dibutuhkan suatu energi untuk

memperkecil partikel-partikel fase terdispersi dan memisahkan antara satu dengan yang

lainnya dalam sistem emulsi. Energi tersebut diperoleh dari alat pengadukan mekanis

seperti mixer, dan energi ini dinamakan emulsator. Besarnya energi yang diperlukan

tergantung dari tegangan permukaan antara kedua cairan tersebut. Semakin tinggi

tegangan permukaan, maka semakin sulit terbentuknya suatu emulsi sehingga

dibutuhkan energi yang besar dan begitu pula sebaliknya (Paul dan Palmer, 1972).
79

Emulsi merupakan sistem yang tidak stabil, sehingga dibutuhkan dua hal untuk

membentuk emulsi yang stabil, yaitu penggunaan alat mekanis untuk mendispersikan

sistem dan penggunaan bahan pengemulsi atau penstabil untuk mempertahankan sistem

tetap terdispersi (Bergenstahl dan Claesson, 1990). Penambahan bahan pengemulsi

bertujuan menurunkan tegangan permukaan antara kedua fase (tegangan interfasial)

sehingga mempermudah terbentuknya emulsi, sedangkan penambahan bahan penstabil

bertujuan meningkatkan viskositas fase kontinu agar emulsi yang terbentuk menjadi stabil

(Muchtadi, 1990). Penggunaan bahan pengemulsi pada mayonaise yaitu berupa kuning

telur, putih telur, dan telur utuh berpengaruh nyata terhadap uji organoleptik warna dan

kekentalan sedangkan untuk aroma dan rasa berpengaruh tidak nyata berbeda dengan kadar

lemak, viskositas, dan kestabilan emulsi hasilnya berpengaruh sangat nyata. Bahan

pengemulsi terbaik diperoleh pada perlakuan T2 yaitu kuning telur 25 ml (Rusalim, M.M.,

dkk, 2017). Berikut ini syarat mutu mayonnaise berdasarkan SNI 01-4473-1998:

Tabel 11. Syarat Mutu Mayones (SNI 01-4473-1998)


No Jenis Uji Satuan Persatuan
1. Keadaan :
- Bau - Normal
- Rasa - Normal
- Warna Rasa - Normal
- Tekstur - Normal
2. Air % b/b Maks 30
3. Protein % b/b Min 0,9
4. Lemak % b/b Min 65
5. Karbohidrat % b/b Maks 4
6. Kalori Kkal/100 g Min 600
7. Cemaran Arsen (As) Mg/kg Maks 0,1
8. Cemaran Mikroba :
- ALT Koloni/ g Maks 104
- Bakteri bentuk Coli APM/g Maks 10
- E. Colli Koloni/10 g Negatif
- Salmonella
Sumber : SNI (1998)
80

2.2 Alat, Bahan, dan Metode


2.2.1 Alat
1) Gelas ukur, untuk menghitung volume sampel
2) Blander, untuk mencampurkan bahan-bahan hingga homogen
3) Timbangan analitik, untuk menimbang bahan-bahan yang akan digunakan
2.2.2 Bahan
1) Putih telur ayam ras 2 butir
2) Minyak nabati 200 ml
3) Mustard 0,5 sendok teh
4) Garam Secukupnya
5) Gula 1 sendok makan
6) Lada 0,5 sendok teh
7) Jeruk nipis Secukupnya
2.2.3 Metode
1) Memisahkan kuning telur dari cangkang dan putih telur.
2) Mengaduk putih telur dengan blander hingga mengembang
3) Lalu memasukkan gula, garam, lada, jeruk nipis, dan mustard ke dalam
putih telur secara perlahan
4) Sambil terus diaduk, minyak nabati dimasukkan secara perlahan
5) Tunggu hingga adonan homogen dan teksturnya lembut
81

III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil Pengamatan


Tabel 12. Hasil Pengamatan Karakteristik Sifat Fisik Mayonaise
Karakteristik Keterangan
Warna Putih
Aroma Khas mayones
Rasa Sedikit asam
Tekstur Lembut
Volume 220 ml
Tabel 13. Hasil Uji Organoleptik Mayonaise

Sifat Keterangan
Mayonaise
Organoleptik Skala Hedonik Skala Numerik

Rasa 3 Sangat Suka 5


Aroma 3 Suka 4
Warna 4 Netral 3
Konsistensi 5 Tidak suka 2
Sangat Tidak suka 1

3.2 Pembahasan

Pembutan mayonaise pada umumnya menggunakan kuning telur sebagai

pengemulsi. Akan tetapi pada raktikum kali ini digunakan putih telur sebagai

pengemulsi dari mayonaise yang hendak dibuat. Perbedaan kandungan lemak

pada kuning telur dan putih telur berpengaruh nyata terhadap kualitas mayonaise

yang dihasilkan, hal ini sejalan dengan pendapat Rusalim, M.M., dkk (2017) yang

menyatakan pengemulsi pada pembuatan mayonaise berpengaruh nyata terhadap


82

uji organoleptik warna dan kekentalan sedangkan untuk aroma dan rasa

berpengaruh tidak nyata berbeda dengan kadar lemak, viskositas, dan kestabilan

emulsi hasilnya berpengaruh sangat nyata. Selain itu, proses pencampuran bahan-

bahan harus berurutan agar emulsi terbentuk secara sempurna. Pembuatan

mayonaise pada praktikum ini menggunakan alat Pertama, kuning telur diaduk

hingga benar-benar mengembang hal ini dilakukan agar mayones yang dihasilkan

memiliki tekstur yang lembut dan daya kembang yang baik. Setelah itu baru

dimasukkan bumbu-bumbu yang berfungsi sebagai pencipta cita rasa khas

mayones dan menambah daya awet dari mayones itu sendiri. Setelah itu, minyak

nabati dimasukkan secara perlahan karena apabila dimasukkan secara langsung

keseluruhannya emulsi yang terbentuk tidak akan sempurna karena antara minyak

dan air tidak dapat disatukan oleh protein pada putih telur secara sempurna.

Pembuatan mayonaise pada praktikum kali ini digunakan blender sebagai

alat mekasnis untuk mendispersikan sistem karena menurut Bergenstahl dan

Claesson (1990) sebenarnya emulsi merupakan sistem yang tidak stabil, sehingga

dibutuhkan dua hal untuk membentuk emulsi yang stabil, yaitu penggunaan alat

mekanis untuk mendispersikan sistem dan penggunaan bahan pengemulsi atau

penstabil untuk mempertahankan sistem tetap terdispersi dalam praktikum ini

pengemulsi yang digunakan adalah putih telur. Berdasarkan hasil pengamatan

viskositas yang terbentuk pada mayoniase cukup baik sehingga mendapatkan

skala numerik 5, yang berarti sangant disukai oleh panelis, pada pengujian

organoleptik dengan sifat kekentalam atau viskositas.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa warna mayones putih hal ini

disebabkan karena bagian telur yang digunakan adalah putih telurnya sehingga

warna dari mayonaise yang dihasilkan putih bukan kuning karena putih telur tidak
83

memiliki pigmen berwarna kuning seperti kuning telur. Hal ini sesuai dengan

peneliatian yang dilakukan Rusalim, M.M., dkk (2017) yang menyatakaan bahwa

penggungaan bahan pengemulsi akan berpengaruh nyata terhadap uji organoleptik

warna diantaranya pada kuning telur dan putih telur. Berdasarkan uji organoleptik

warna pada mayonaise hasil praktikum ini, mendapatkan skala 4 yang berarti

panelis cukup menyukai warna dari mayonaise yang dibuat.

Uji organoleptik rasa dari mayonaise tersebut berada di skala numerik 3

yang berarti pnelis bersika0p netral terhadap rasa dari mayonaise tersebut. Rasa

yang cukup asam disebabkan karena penggunaanperasan air jeruk nipis. Tekstur

yang lembut disebabkan karena emulsi terbentuk secara sempurna dan adonan

benar-benar homogen dan mengembang dengan sangat baik.


84

IV

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengamatan serta pembahasan diatas maka dapat

disimpulkan, bahwa:

1) Mayones merupakan sistem emulsi o/w yang tidak stabil dimana

memerlukan bahan pengemulsi berupa putih telur dan alat mekanik untuk

menstabilkannya berupa blender yang digunakan pada praktikum kali ini.

2) Hal yang sangat mempengaruhi kualitas mayones adalah bahan

pengemulsi, bahan-bahan yang harus segar dan proses pembuatannya

harus dilakukan secara baik dan benar.


85

DAFTAR PUSTAKA

Badan Standar Nasional. 1998. Mutu Mayonnaise. Jakarta. (SNI 01-4473- 1998)

Bergenstahl, B. A., dan P. M. Claesson. 1990. Surface Forces In Emulsions. In:


Food Emulsions, 2 ed. K .Larsson, dan S.E. Friberg (ed). pp. 41-95.
Marcel Dekker, Inc., New York.

Depree, J.A.,and G.P. Savage. 2001. Physical and flavour stability of mayonnaise.
J.Trends in Food Sci and Tech.12 (5/6): 157 – 163.

Harrison L.J., and F.E. Cunningham. 1985. Factors influencing the quality of
mayonnaise. J.Food Quality. 8: 1 – 20.

Jaya, F., Amertaningtyas, D., dan Tistiana, H. 2013. Evaluasi mutu organoleptik
mayonnaise dengan bahan dasar minyak nabati dan kuning telur ayam
buras. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak. 8 (1) : 30-34.

Muchtadi, T. R. 1990. Emulsi Bahan Pangan. Jurusan Teknologi Pangan dan


Gizi. Fateta IPB, Bogor.

Nawar, W. W. 1985. Lipids. In : Food Chemistry. O. R. Fennema (ed.). pp.139


244. Marcel Dekker, Inc., New York.

Paul, P. C., dan H. H. Palmer. 1972. Colloidal System and Emulsions. In: Paul, P.
C., dan H. H. Palmer (ed). Food Theory and Applications. John Wiley
and Sons, Inc., New York.

Rusalim. M.M., dkk. 2017. Analisis sifat fisik mayonnaise berbahan dasar putih
telur dan kuning telur dengan penambahan berbagai jenis minyak
nabati.J. Sains dan Teknologi Pangan no. 5(2). http://ojs.uho.ac.id diakses
pada tanggal 4 Desember pukul 5.30.
86

BROWNIES
KUKUS
87

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Telur adalah bahan pangan hasil ternak yang yang mudah rusak karena

mengandung zat gizi yang dapat dimanfaatkan oleh mikroorganisme lain seperti

bakteri, yang dapat mengurangi daya simpannya. Ada banyak cara yang dapat

dilakukan untuk memperpanjang masa simpan telur, diantaranya yaitu

pengolahan. Selain dapat memperpanjang masa simpan, proses pengolahan

dilakukan untuk meningkatkan cita rasa dan menambah variasi produk pangan.

Salah satu hasil pengolahan telur adalah brownies kukus. Brownies adalah

makanan yang dibuat dari campuran telur, tepung, mentega, gula, coklat dan

bahan lainnya. Brownies merupakan makanan penutup (dessert) yang bercitarasa

manis dan merupakan produk kue. Brownies yang berkualitas baik dibuat dengan

cara yang benar. Untuk mengetahui proses pembuatan brownies dan apa saja

bahan yang dibutuhkan untuk membuatnya, maka dilakukan praktikum mengenai

pembuatan brownies ini.

1.2 Maksud dan Tujuan

1) Mengetahui proses pembuatan brownies yang baik dan benar

2) Mengetahui komposisi bahan dan bumbu yang digunakan.


88

II

MATERI DAN METODE

2.1 Materi

Brownies merupakan kue bertekstur lembut dan padat, berwarna

cokelat kehitaman dan memiliki rasa khas cokelat. Olahan makanan yang

satu ini banyak digemari oleh masyarakat, baik dari kalangan anak-anak,

remaja, maupun orang tua dikarenakan dominan rasa cokelatnya yang lezat

dan teksturnya yang lembut. Brownies merupakan olahan kue yang berbahan

dasar tepung terigu. Tepung terigu merupakan tepung atau bubuk yang

berasal dari biji gandum. Keunggulan dari tepung terigu dibandingkan

dengan tepung yang lain yaitu kemampuannya untuk membentuk gluten pada

saat diberi air (Suhardjito, 2006).

Produk brownies memiliki kandungan lemak mencapai 60% total adonan

bahkan lebih, karena pada pembuatannya, lemak (shortening) ditambahkan untuk

meningkatkan kualitas sensoris produk. Lemak yang ditambahkan pada brownies

umumnya berupa margarin yang memiliki kandungan asam lemak jenuh berantai

panjang (Bennion, 1997). Berdasarkan cara pengolahan, brownies terdapat dua

macam yaitu brownies kukus dan brownies oven. Struktur dari brownies adalah

memiliki keseragaman pori remah ketika dipotong dan saat dikonsumsikarena

tekstur yang lembut, lembab dan menghasilkan flavor yang baik. Brownies

mempunyai tekstur lebih keras dari cake karena tidak membutuhkan

pengembangan yang tinggi (Sulistiyo, 1999)

Bahan penyusun utamanya antara lain telur, lemak, gula, dan terigu.

Sebagai bahan tambahan dapat ditambahkan emulsifier dan bahan


89

pengembang. Terdapat dua proses inti dalam pembuatan brownies, yakni

pembuatan adonan dan pengukusan. Pembuatan adonan dapat dilakukan

dengan tiga metode pencampuran yaitu sugar-batter, flour-batter, dan single

step. Pengukusan steaming merupakan salah satu teknik pengolahan produk

cake yang menggunakan uap air panas bersuhu 100 oC (Sulistiyo, 1999).

2.2 Alat, Bahan dan Prosedur Kerja

2.2.1 Alat

1) Mixer untuk mencampur adonan brownies

2) Gelas untuk melelehkan mentega

3) Sendok untuk mengaduk bahan

4) Loyang untuk menempatkan adonan brownies

5) Timbangan untuk menimbang bahan

6) Jangka sorong untuk mengukur ketinggian adonan brownies

7) Pengukus unruk mengukus brownies

8) Kompor untuk memanaskan

2.2.2 Bahan

1) 5 butir telur ayam

2) 100 gram tepung terigu

3) 100 gram gula pasir

4) 1 sdm ovalet

5) 5 gram coklat

6) 2 bungkus SKM rasa coklat

7) 200 gram mentega


90

2.2.3 Prosedur

1) Putih telur dikocok 10 menit kemudian ditambah gula putih dan kuning

telur, selanjutnya dikocok 5 menit.

2) Tambahkan susu kental, coklat bubuk dan terigu dan dikocok dengan

kecepatan rendah sampai rata.

3) Tambahkan mentega dan ovalet.

4) Adonan kemudian dimasukan kedalam Loyang yang sudah dilumuri

mentega dan dikukud selama 30 menit.


91

III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil Pengamatan


Tabel 14. Hasil Pengamatan Brownies Kukus
Kriteria Hasil
Tinggi adonan brownies 2,27 cm
sebelum dikukus
Tinggi aadonan brownies 3,31 cm
setelah dikukus
Selisih 0,83 cm
Sifat Organoleptik:
1. Warna Coklat
2. Aroma Khas brownies
3. Rasa Cukup manis
4. Tekstur Lembut

3.2 Pembahasan

Adonan brownies sebelum dan sesudah dikukus memiliki tinggi yang

berbeda, brownies yang sudah dikukus memiliki tinggi 3,31 cm, ukuran tersebut

lebih tinggi 0.83 cm dibandingkan brownies yang belum dikukus. Hal tersebut

dapat terjadi akibat penambahan telur, ovalet, dan pengukusan. Pembuatan

brownies digunakan bagian putih dan kuning telur yang berfungsi sebagai

pengempuk dan sekaligus sebagai pengeras produk. Telur juga berfungsi sebagai

pengemulsi disebabkan oleh gugus polar yang bersifat hidrofilik dapat berikatan

dengan air sedangkan gugus non polarnya dapat berikatan dengan lemak. Selain
92

itu, telur berperan dalam aerasi yaitu kemampuan menangkap udara saat adonan

dikocok sehingga udara menyebar secara rata dalam adonan.

Bahan pengembang adalah bahan yang ditambahkan dalam

pembuatan brownies yang berfungsi untuk mengembangkan adonan supaya

adonan lebih mengembang saat dipanggang. Bahan pengembang dicampurkan

ke dalam adonan akan membentuk gas CO2 yang terperangkap di dalam gluten

sehingga adonan menjadi mengembang. Penggunaan Ovalet pada praktikum

merupakan penambahan cake emulsifier yang merupakan bahan yang untuk

menstabilkan dan melembutkan adonan cake dan juga dapat menghemat

penggunaan telur dalam pembuatan brownies. Perubahan yang terjadi selama

proses pengukusan antara lain gelatinisasi pati membentuk struktur jaringan yang

kokoh, koagulasi protein membentuk struktur yang lebih keras, penguapan zat

volatil, serta reaksi maillard dan hidrolisis yang menyebabkan perubahan flavor

dan warna pada brownies (Matz, 1992).

Proses pengukusan dapat menarik sebagian udara dalam jaringan sehingga

tekanan turgor sel berkurang. Hal ini menyebabkan jaringan menjadi lunak.

Penarikan udara akan mendegradasi sebagian dinding sel sehingga jaringan lebih

poros. Proses pemberian panas dengan pengukusan akan menyebabkan

berkurangnya komponen yang mudah menguap, terjadinya oksidasi dan hidrolisis

yang menyebabkan perubahan flavor dan warna (Fennema, 1996).


93

IV

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengamatan serta pembahasan diatas maka dapat

disimpulkan, bahwa:

1) Proses pembuatan brownies yang dilakukan dalam praktikum prinsipnya

terdiri atas pencampuran bahan kemudian dilanjutkan dengan proses

pengukusan.

2) Komposisi bahan pembuatan brownies sudah ditentukan dan penguusan

dilakukan selama 30 menit. Brownies kukus yang sudah matang kemudian

dinilai organoleptiknya berupa warna, rasa, bau, dan tekstur. Secara

keseluruhan brownies yang dibuat kelompok kami bernilai cukup baik

dikarenakan rasanya yang enak namun teksturnya kurang padat akibat

pengukusan yang terlalu sebentar.


94

DAFTAR PUSTAKA

Bennion, E. B., dan G.S.T.Bamford. (1997). The Technology of Cake Making


(6th ed.). London: Int. Textbook Comp. Lmt

Fennema, Owen R. 1996. Food Chemistry Third Edition. Marcel Dekker Inc.
New York.

Matz, S.A. (1992). Bakery Technology and Engineering, 3th Edition. Van
Nostrand Reinhold. Texas.

Suhardjito. 2006. Pastry dalam Perhotelan. CV. Andi Offset. Yogyakarta.

Sulistyo, J., 1999. Pengolahan Roti. PAU Pangan Gizi UGM, Yogyakarta.
95

TELUR
PINDANG
96

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Telur merupakan salah satu bahan makanan yang mudah dicerna dan

banyak diminati masyarakat. Telur adalah bahan pangan yang memiliki nilai gizi

yang tinggi yaitu mengandung protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral.

Telur memiliki kekurangan yaitu mudah rusak yang dipengaruhi oleh keadaan

lingkungan, suhu, kelembapan dan panas sehingga diperlukan adanya proses

pengolahan telur seperti mayones, tepung telur, telur asin, abon telur, dan telur

pindang. Pengolahan telur yang paling mudah dan tidak membutuhkan waktu

yang lama adalah telur pindang.

Telur pindang merupakan salah satu bentuk pengolahan dengan kombinasi

penggaraman dan perebusan. Pembuatan telur pindang pada umumnya terdiri dari

daun salam, daun jambu biji, bawang merah dan garam. Bumbu-bumbu yang

ditambahkan pada proses pemindangan menghasilkan aroma, rasa, tekstur dan

warna yang menarik.

Pemindangan merupakan salah satu bentuk pengolahan dengan kombinasi

penggaraman dan perebusan. Telur pindang merupakan produk olahan tradisional

yang menggunakan bahan pengawet protein yang akan terdenaturasi jika kontak

dengan bahan yang mengandung tanin antara lain kulit bawang merah, jambu biji,

dan air teh. Dengan tambahan bahan ini akan diperoleh warna telur kecoklatan

dan cita rasa yang khas. Pemindangan dapat membuat telur rebus lebih awet

daripada perebusan dengan air biasa. Daya simpan telur dengan cara atau metode

ini akan lebiih lama. Daya simpanannya bisa mencapai 30 hari atau lebih. Telur
97

pindang sebagai produk pangan hasil ternak menggunakan konsentrasi tanin

sebagai bahan pengawet yang bersumber dari daun jambu biji. Telur pindang

merupakan produk pengolahan sekaligus pengawetan yang bertujuan untuk

menganekaragamkan produk olahan telur, memperpanjang daya simpan dan

meningkatkan nilai tambah.

2.1 Maksud dan Tujuan

1) Mengetahui cara pembuatan telur pindang yang baik dan benar.

2) Mengetahui mutu fisik telur pindang dengan uji organoleptik.


98

II

MATERI DAN METODE

2.1 Materi

Telur pindang adalah salah satu produk olahan yang prinsip proses

pembuatannya adalah pemindangan. Diantara putih telur dan kuning telur dibatasi

oleh suatu lapisan yang tipis yang disebut kalaza kuning telur tersimpan di bagian

pusat telur, berbentuk hampir seperti bola. Komposisi daging yang mendapat

proses curing sangat berbeda dari daging segar (Suprapti, 2002).

Telur Pindang adalah sejenis masakan Tionghoa, yaitu olahan telur yang

direbus menggunakan herba-herba tertentu sehingga memiliki rasa, aroma, dan

kenampakan yang khas. Di daerah asalnya, telur pindang dijual sebagai makanan

ringan, telur yang masih setengah matang diretakkan kemudian direbus kembali

dalam teh dan bumbu-bumbu. Masakan ini biasanya dijual oleh pedagang kaki

lima atau pasar malam di kota-kota yang dihuni komunitas China di seluruh

dunia. Meskipun berasal dari China dan secara tradisional dihubungkan dengan

masakan Tionghoa, resep-resep lain yang mirip serta variasinya telah

dikembangkan di seluruh Asia (Suprapti, 2002).

Telur pindang dikenal dengan nama Telur Teh di China dan sebagai

Marble Egg dalam bahasa Inggris. Penamaan tersebut disebabkan telur pindang

memiliki pola kecoklatan mirip marmer. Jenis telur yang digunakan biasanya

adalah telur ayam.

Cara lain untuk membuat telur pindang adalah dengan merebus telur

hingga benar-benar matang, kemudian mengupas kulitnya dan merendam dalam

campuran teh berbumbu sambil terus direbus dengan api kecil selama beberapa
99

saat. Telur dan larutan dimasukkan ke dalam wadah kaca atau keramik untuk

direndam lebih lanjut. Cara ini membutuhkan waktu perendaman yang lebih

singkat dibandingkan cara tradisional. Namun, penampakan telur menjadi kurang

menarik karena tidak adanya efek marmer yang tampak di permukaannya

sebagaimana di cara tradisional (Sahroni, 2003).

2.2 Alat, Bahan, dan Metode Praktikum

2.2.1 Bahan

1) Telur ras

2) Garam, kulit bawang merah, daun jambu batu, salam

2.2.2 Prosedur

1) Telur dicuci,

2) Bumbu masukkan kepanci yang sudah ada airnya

3) Baru masukkan telur yang sudah dicuci

4) Masak sampai matang sambil telurnya dipecahkan sampai retak godok lagi
100

III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil Pengamatan

Tabel 15. Hasil Organoleptik Telur Pindang


Sifat Organoleptik Penilaian
Warna Kuning
Citarasa Cukup asinnya
Aroma Daun sereh
3.2 Pembahasan

Telur pindang merupakan telur yang dimasak dengan bumbu-bumbu,

yang meliputi bawang merah, bawang putih, sereh, daun salam, dan garam

secukupnya. Warna merah pada kulit luar telur pindang dapat diperoleh

dengan mencampurkan kulit bawang merah ataupun daun jambu biji dalam

proses perebusannya sehingga telur pindang memiliki daya tarik khas

(Suprapti, 2002).

Menurut penelitian Citra (2014), telur pindang dilakukan dengan

cara perebusan dengan bumbu-bumbu. Perebusan telur pindang dibagi

menjadi tiga perlakuan yaitu perebusan tanpa daun jambu biji dengan

peretakan kerabang telur, perebusan dengan daun jambu biji dengan

peretakan kerabang dan perebusan dengan daun jambu biji tanpa peretakan

kerabang. Hasil perebusan terbaik diperoleh dari perlakuan perebusan

dengan daun jambu biji yang kerabang telurnya diretak.

Semakin tinggi pemberian level daun jambu biji maka warna putih

telur bagian luar pada telur pindang akan semakin coklat. Hal ini

disebabkan adanya penetrasi daun jambu biji ke dalam telur melalui pori-

pori kulit telur secara difusi pada saat perebusan. Hal ini sesuai dengan
101

pendapat Maryati, dkk., (2008) bahwa tanin yang terkandung dalam daun

jambu biji akan bereaksi dengan protein yang terdapat kulit telur yang

mempunyai 21 sifat menyerupai kolagen kulit hewan sehingga terjadi

proses penyamakan kulit berupa endapan berwarna coklat yang dapat

menutup pori-pori kulit telur.


102

IV

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengamatan serta pembahasan diatas maka dapat

disimpulkan, bahwa:

1) Telur dimasak dengan bumbu-bumbu, yang meliputi bawang merah,

bawang putih, sereh, daun salam, dan garam secukupnya

2) Berdasarkan uji organoleptik, telur pindang yang diolah memiliki citarasa

yang cukup serta memiliki aroma daun sereh walaupun warna telur tidak

kemerah-merahan.
103

DAFTAR PUSTAKA

Citra. 2014. Pengaruh Perebusan Telur dengan Daun Jambu Biji (Psidium
Guajava) terhadap Komposisi Kimia dan Mikrobia Telur Pindang.
Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Maryati, J. dan Karmila. 2008. Pemanfaatan Daun Jambu Biji (Psidium Guajava
L) sebagai Alternatif Pengawetan Telur Ayam Ras. Program Studi FMIPA
UNM. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Suprapti, L. M. 2002. Pengawetan Telur, Telur Asin Tepung Telur dan Telur
Beku. Kanisius.Yogyakarta.
104

TELUR ASIN
105

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Telur adalah salah satu sumber protein hewani yang memiliki rasa yang

lezat, mudah dicerna, dan bergizi tinggi. Selain itu telur mudah diperoleh dan

harganya relatif murah. Telur dapat dimanfaatkan sebagai lauk, bahan pencampur

berbagai makanan, tepung telur, obat, dan lain sebagainya. Telur terdiri dari 13 %

protein, 12 % lemak, serta vitamin, dan mineral. Nilai tertinggi telur terdapat pada

bagian kuning telur. Kuning telur mengandung asam amino esensial yang

dibutuhkan serta mineral seperti: besi, fosfor, sedikit kalsium, dan vitamin B

kompleks. Sebagian protein dan semua lemak terdapat pada kuning telur. Putih

telur yang jumlahnya sekitar 60 % dari seluruh bulatan telur mengandung 5 jenis

protein dan sedikit karbohidrat. Kelemahan telur yaitu memiliki sifat mudah

rusak, baik kerusakan alami, kimiawi maupun kerusakan akibat serangan

mikroorganisme melalui pori-pori telur.

Telur akan lebih bermanfaat bila direbus setengah matang dari pada

direbus matang atau dimakan mentah. Telur yang digoreng kering juga kurang

baik, karena protein telur mengalami denaturasi/rusak, berarti mutu protein akan

menurun. Macam-macam telur adalah : telur ayam (kampung dan ras), telur

bebek, puyuh dan lain-lain. Kualitas telur ditentukan oleh: 1) kualitas bagian

dalam (kekentalan putih dan kuning telur, posisi kuning telur, dan ada tidaknya

noda atau bintik darah pada putih atau kuning telur) dan 2) kualitas bagian luar

(bentuk dan warna kulit, permukaan telur, keutuhan, dan kebersihan kulit telur).
106

Umumnya telur akan mengalami kerusakan setelah disimpan lebih dari 2

minggu di ruang terbuka. Kerusakan tersebut meliputi kerusakan yang tampak

dari luar dan kerusakan yang baru dapat diketahui setelah telur pecah. Kerusakan

pertama berupa kerusakan alami (pecah, retak). Kerusakan lain adalah akibat

udara dalam isi telur keluar sehingga derajat keasaman naik. Sebab lain adalah

karena keluarnya uap air dari dalam telur yang membuat berat telur turun serta

putih telur encer sehingga kesegaran telur merosot. Kerusakan telur dapat pula

disebabkan oleh masuknya mikroba ke dalam telur, yang terjadi ketika telur masih

berada dalam tubuh induknya. Kerusakan telur terutama disebabkan oleh kotoran

yang menempel pada kulit telur. Cara mengatasi dengan pencucian telur

sebenarnya hanya akan mempercepat kerusakan. Umumnya telur yang kotor akan

lebih awet daripada yang telah dicuci. Penurunan mutu telur sangat dipengaruhi

oleh suhu penyimpanan dan kelembaban ruang penyimpanan.

1.2 Maksud dan Tujuan

1) Mengetahui cara pembuatan telur asin yang baik dan benar.

2) Mengetahui mutu telur asin dengan uji organoleptik.


107

II
MATERI DAN METODE

2.1 Materi

Telur merupakan sumber protein hewani yang biasa dikonsumsi

oleh masyarakat. Dalam slogan empat sehat lima sempurna, antara lain

dikatakan bahwa telur merupakan lauk yang bergizi tinggi. Juga beberapa tahun

yang lalu, Departemen Pertanian mengeluarkan slogan semangkuk sayur sebutir

telur dalam usaha menggiatkan pemanfaatkan pekarangan rumah di pedesaan.

Dengan slogan ini dimaksudkan agar setiap keluarga memanfaatkan pekarangannya

untuk bertanam sayur dan memelihara ayam sebagai sumber pangan di dalam

keluarga (Winarno 2002).

Sejak zaman dulu masyarakat kita telah mengenal pengasinan sebagai

salah satu upaya untuk mengawetkan telur (memperpanjang masa simpan),

membuang rasa amis (terutama telur itik), dan menciptakan rasa yang khas.

Berdasarkan proses pengolahannya, telur asin dapat dibuat dengan cara merendam

dalam larutan garam jenuh atau menggunakan adonannya. Adonan garam

merupakan campuran antara garam, abu gosok, serbuk bata merah, dan kadang-

kadang sedikit kapur (Marssy, 2010).

Pola konsumsi pangan masyarakat Indonesia umumnya masih berat

pada karbohidrat dan rendah protein, khususnya protein hewani. Dominasi kalori

dari karbohidrat masih sekitar 62 %, sedangkan konsumsi protein hewani hanya

2,3%, demikian juga buah dan sayur hanya 2,3%. Pola demikian dalam jangka

panjang tidak menguntungkan baik dari segi kesehatan dan daya tahan tubuh.

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa umumnya masyarakat masih beranggapan


108

bahwa makan asal kenyang tanpa memperhatikan kebutuhan zat gizi yang

memang diperlukan oleh tubuh. Rendahnya konsumsi protein hewani, buah, dan

sayur antara lain disebabkan oleh pendapatan yang terbatas, dan harga ikan, daging,

telur atau buah yang relatif lebih mahal daripada beras. Di antara sumber protein

hewani yang banyak tersedia adalah telur (Hintono, A. 2003).

Telur asin matang tahan selama 2-3 minggu, sedangkan

pembubuhan larutan teh dalam adonan pengasin dapat meningkatkan ketahanan

telur asin sampai 6 minggu. Penggunaan ekstrak daun teh bertujuan agar zat tanin

yang terkandung dalam daun teh dapat menutupi pori-pori kulit telur serta

memberikan warna coklat muda yang menarik dan bau telur asin yang dihasilkan

lebih disukai (Faskel, 2001).

Telur asin merupakan produk pangan yang memiliki karakteristik

sebagaimana bahan pangan lain, yaitu mudah rusak dan busuk. Oleh karena itu

bahan pangan ini memerlukan penanganan yang cermat sejak dari pengambilan

dari kandang hingga penyimpanan di konsumen. Salah satu cara untuk

mempertahankan kualitas telur adalah dengan pengawetan. Pengawetan yang

paling mudah dan sering dilakukan oleh masyarakat adalah dengan cara

pengasinan atau pembuatan telur asin. Namun demikian, ada sebuah fakta yang

tidak banyak diketahui oleh masyarakat pada umumnya, bahwasanya pada proses

pengasinan ini hendaknya dilakukan dengan memperhatikan aspek kualitatif dan

kuantitatif dari komponenen zat-zat gizi yang terkandung dalam telur

sebagaimana kondisi awal telur sebelum diolah. Sebagai contoh, jika sampai

terjadi kerusakan lemak atau minyak saat proses pengawetan, maka telur tersebut

dapat menganggu kesehatan jika dikonsumsi, seperti menyebabkan penyakit

jantung dan kolesterol (Suprapti, 2002).


109

2.2 Alat, Bahan, dan Metode

2.2.1 Alat

1) Panci

2) Baskom

2.2.2 Bahan

1) Telur 10 butir

2) Abu gosok

3) Garam

2.2.3 Prosedur

1) Telur ayam dibersihkan

2) Membuat adonan abu gosok : garam (1:1) dengan pemberian air sampai

adonan bisa dicetak/menempel pada telur

3) Telur masing-masing dibungkus dengan adonan

4) Simpan dalam suhu kamar selama 14 hari


110

III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil Pengamatan

Tabel 16. Hasil Organoleptik Telur Asin Setelah Pengeraman 7 Hari


Pengeraman 7 Sifat Organoleptik
hari Warna Aroma Rasa
1 4 4 5
2 4 5 5
3 4 3 5
4 4 4 5
5 4 4 5
6 4 3 5
7 4 3 5
8 4 4 4
9 4 4 5
10 4 4 4
Tabel 17. Hasil Organoleptik Telur Asin Setelah Pengeraman 14 Hari
Pengeraman 14 Sifat Organoleptik
hari Warna Aroma Rasa
1 5 4 5
2 5 5 4
3 5 4 5
4 5 4 4
5 5 4 4
6 4 4 5
7 5 4 5
8 5 4 4
9 5 4 5
10 4 4 4

Keterangan:
Skala Hedonik Skala Numerik
Sangat suka 5
Suka 4
Agak suka 3
Netral 2
Tidak suka 1
111

3.2 Pembahasan

Praktikum pembuatan telur asin mengggunakan sepuluh telur bebek dan

adonan abu gosok. Proses pemeraman dilakukan selama 7 dan 14 hari, hal ini

sesuai dengan pernyataan Sukendra (1976), untuk menghasilkan telur asin yang

memiliki karakteristik disukai diperlukan waktu 12 hari pengasinan.

Menurut Kautsar (2005), proses pengasinan telur memerlukan waktu selama 15 –

30 hari. Sedangkan proses pengasinan dengan larutan garam jenuh memerlukan

waktu sekitar 7 – 10 hari. Lama waktu proses tersebut masih menjadi

permasalahan yang harus dipecahkan, karena selain lama perendaman erat

kaitannya dengan efisiensi waktu proses pengasinan telur, juga erat

kaitannyadengan karakteristik organoleptik telur asin yangdihasilkan. Kulit telur

ayam yang lebih tipis jika dibandingkan kulit telur bebek membuat garam lebih

mudah masuk ke dalam telur ayam jika dibandingkan ke dalam telur bebek,

sehingga untuk telur ayam seharusnya perlu menggunakan waktu selama yang

waktu yang digunakan untuk pengeraman telur bebek.

Hasil organoleptik menyatakan pengeraman 14 hari lebih disukai dari

warna, aroma dan rasa. Rasa yang di dapat dari telur asin hasil praktikum tidak

kalah bila dibandingkan dengan komersil. Rasa asin hasil praktikum belum

sepenuhnya merata pada bagian kuning telur.


112

IV
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengamatan serta pembahasan diatas maka dapat

disimpulkan, bahwa:

1) Telur ditutupi dengan campuran abu gosok dan garam kemudian proses

pemeraman dilakukan selama 7 dan 14 hari, karena untuk menghasilkan

telur asin yang memiliki karakteristik disukai diperlukan waktu 12 hari

pengasinan.

2) Hasil organoleptik menyatakan pengeraman 14 hari lebih disukai dari

warna, aroma dan rasa. Rasa yang di dapat dari telur asin hasil praktikum

tidak kalah bila dibandingkan dengan komersil. Rasa asin hasil praktikum

belum sepenuhnya merata pada bagian kuning telur


113

DAFTAR PUSTAKA

Hintono, A. 2003. Dasar-Dasar Ilmu Telur. Fakultas Peternakan, Universitas


Diponegoro, Semarang.

Kautsar I. 2005. Pengaruh Lama Perendaman dalam Larutan Asam Asetat 7% dan
Lama Perendaman Terhadap Beberapa Karakteristik Telur Asin.[Skripsi].
Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Jatinangor.

Sahroni. 2003. Sifat Telur. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sampurno, A., Haslina, dan R. Murtanti. 2002. Peningkatan Nilai Nutrisi dan
Citarasa Pindang Telur melalui teknik Inkubasi. Universitas Semarang,
Semarang. Dalam Sainteks IX (2) : 142-154.

Sarwono, B. 2005. Pengawetan dan Pemanfaatan Telur. PT. Penebar Swadaya,


Jakarta.

Sukendra L. 1976. Pengaruh cara pengasinan telur bebek (Muscovy sp) dengan
Menggunakan Adonan Campuran Garam dan Bata Terhadap Mutu Telur
Asin Selama Penyimpanan. [Skripsi]. Fakultas Mekanisasi
dan Teknologi Hasil Pertanian-IPB, Bogor.

Suprapti, L. M. 2002. Pengawetan Telur. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Winarno, F. G. dan S. Koswara, 2002. Telur : Komposisi, Penanganan dan


Pengolahannya. M-Brio Press, Bogor.

Anda mungkin juga menyukai