Anda di halaman 1dari 6

Biografi Mohammad Hatta

Mohammad Hatta, biasa dikenal dengan nama Bung Hatta, lahir pada tanggal 12 Agustus
1902 di Bukittinggi. Di kota kecil yang indah inilah Bung Hatta dibesarkan di lingkungan
keluarga ibunya. Ayahnya, Haji Mohammad Djamil, meninggal ketika Hatta berusia delapan
bulan. Dari ibunya, Hatta memiliki enam saudara perempuan. Ia adalah anak laki-laki satu-
satunya. Sejak duduk di MULO di kota Padang, ia telah tertarik pada pergerakan. Sejak tahun
1916, timbul perkumpulan-perkumpulan pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong
Minahasa. dan Jong Ambon. Hatta masuk ke perkumpulan Jong Sumatranen Bond.

Sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond, ia menyadari pentingnya arti keuangan bagi
hidupnya perkumpulan. Tetapi sumber keuangan baik dari iuran anggota maupun dari
sumbangan luar hanya mungkin lancar kalau para anggotanya mempunyai rasa tanggung jawab
dan disiplin. Rasa tanggung jawab dan disiplin selanjutnya menjadi ciri khas sifat-sifat
Mohammad Hatta.

Kembali ke Tanah Air


Pada bulan Juli 1932, Hatta berhasil menyelesaikan studinya di Negeri Belanda dan sebulan
kemudian ia tiba di Jakarta. Antara akhir tahun 1932 dan 1933, kesibukan utama Hatta adalah
menulis berbagai artikel politik dan ekonomi untuk Daulat Ra’jat dan melakukan berbagai
kegiatan politik, terutama pendidikan kader-kader politik pada Partai Pendidikan Nasional
Indonesia. Prinsip non-kooperasi selalu ditekankan kepada kader-kadernya.

Reaksi Hatta yang keras terhadap sikap Soekarno sehubungan dengan penahannya oleh
Pemerintah Kolonial Belanda, yang berakhir dengan pembuangan Soekarno ke Ende, Flores,
terlihat pada tulisan-tulisannya di Daulat Ra’jat, yang berjudul “Soekarno Ditahan” (10 Agustus
1933), “Tragedi Soekarno” (30 Nopember 1933), dan “Sikap Pemimpin” (10 Desember 1933).

Pada bulan Pebruari 1934, setelah Soekarno dibuang ke Ende, Pemerintah Kolonial Belanda
mengalihkan perhatiannya kepada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Para pimpinan Partai
Pendidikan Nasional Indonesia ditahan dan kemudian dibuang ke Boven Digoel. Seluruhnya
berjumlah tujuh orang. Dari kantor Jakarta adalah Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Bondan.
Dari kantor Bandung: Maskun Sumadiredja, Burhanuddin, Soeka, dan Murwoto. Sebelum ke
Digoel, mereka dipenjara selama hampir setahun di penjara Glodok dan Cipinang, Jakarta. Di
penjara Glodok, Hatta menulis buku berjudul “Krisis Ekonomi dan Kapitalisme”.

Masa Pembuangan Mohammad Hatta


Pada bulan Januari 1935, Hatta dan kawan-kawannya tiba di Tanah Merah, Boven Digoel
(Papua). Kepala pemerintahan di sana, Kapten van Langen, menawarkan dua pilihan: bekerja
untuk pemerintahan kolonial dengan upah 40 sen sehari dengan harapan nanti akan dikirim
pulang ke daerah asal, atau menjadi buangan dengan menerima bahan makanan in natura, dengan
tiada harapan akan dipulangkan ke daerah asal. Hatta menjawab, bila dia mau bekerja untuk
pemerintah kolonial waktu dia masih di Jakarta, pasti telah menjadi orang besar dengan gaji
besar pula. Maka tak perlulah dia ke Tanah Merah untuk menjadi kuli dengan gaji 40 sen sehari.

Dalam pembuangan, Hatta secara teratur menulis artikel-artikel untuk surat kabar Pemandangan.
Honorariumnya cukup untuk biaya hidup di Tanah Merah dan dia dapat pula membantu kawan-
kawannya. Rumahnya di Digoel dipenuhi oleh buku-bukunya yang khusus dibawa dari Jakarta
sebanyak 16 peti. Dengan demikian, Hatta mempunyai cukup banyak bahan untuk memberikan
pelajaran kepada kawan-kawannya di pembuangan mengenai ilmu ekonomi, sejarah, dan filsafat.
Kumpulan bahan-bahan pelajaran itu di kemudian hari dibukukan dengan judul-judul antara lain,
“Pengantar ke Jalan llmu dan Pengetahuan” dan “Alam Pikiran Yunani.” (empat jilid).

Pada bulan Desember 1935, Kapten Wiarda, pengganti van Langen, memberitahukan bahwa
tempat pembuangan Hatta dan Sjahrir dipindah ke Bandaneira. Pada Januari 1936 keduanya
berangkat ke Bandaneira. Mereka bertemu Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Mr. Iwa
Kusumasumantri. Di Bandaneira, Hatta dan Sjahrir dapat bergaul bebas dengan penduduk
setempat dan memberi pelajaran kepada anak-anak setempat dalam bidang sejarah, tatabuku,
politik, dan lain-Iain.

Kembali Ke Jawa: Masa Pendudukan Jepang


Pada tanggal 3 Pebruari 1942, Hatta dan Sjahrir dibawa ke Sukabumi. Pada tanggal 9 Maret
1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang, dan pada tanggal 22 Maret 1942
Hatta dan Sjahrir dibawa ke Jakarta.

Pada masa pendudukan Jepang, Hatta diminta untuk bekerja sama sebagai penasehat. Hatta
mengatakan tentang cita-cita bangsa Indonesia untuk merdeka, dan dia bertanya, apakah Jepang
akan menjajah Indonesia? Kepala pemerintahan harian sementara, Mayor Jenderal Harada.
menjawab bahwa Jepang tidak akan menjajah. Namun Hatta mengetahui, bahwa Kemerdekaan
Indonesia dalam pemahaman Jepang berbeda dengan pengertiannya sendiri. Pengakuan
Indonesia Merdeka oleh Jepang perlu bagi Hatta sebagai senjata terhadap Sekutu kelak. Bila
Jepang yang fasis itu mau mengakui, apakah sekutu yang demokratis tidak akan mau? Karena
itulah maka Jepang selalu didesaknya untuk memberi pengakuan tersebut, yang baru diperoleh
pada bulan September 1944.
Teuku Umar

Nama : Teuku Umar


Lahir : 1854, Meulaboh, Kesultanan Aceh
Meninggal : 1899, Meulaboh, Kesultanan Aceh
Makam : Mesjid Kampung Mugo di Hulu Sungai Meulaboh
Agama : Islam

Pahlawan nasional Teuku Umar merupakan seseorang yang lahir pada tahun 1854 dan berasal
dari meulaboh, aceh barat. Beliau merupakan pahlawan yang mencetuskan adanya perang aceh
melawan pemerintahan Belanda pada masa situ. Perang gerliya aceh tersebut terjadi pada tahun
1873 sampai 1899. Bapak dari teuku umar adalah teuku Mahmud yang merupakan seorang
pejuang juga di tanah aceh. Dalam biografi Teuku umar diceritakan sejak berumur 19 tahun
beliau sudah menjabat sebagai kepala desa atau keuchik di daerah meulaboh.

Perang aceh terjadi pada tahun 1873, pada perang tersebut teuku umar muda sudah ikut berjuang
bersama pejuang lainnya untuk mengusir Belanda. Teuku umar tidak pernah mendapatkan
pendidikan formal, tetapi beliau merupakan seorang pemimpin yang bijaksana, pintar dan juga
tegas dalam merumuskan berbagai macam strategi perang. Selain itu beliau juga memiliki
pribadi yang kuat, tidak mudah patah menyerah dan juga pemberani. Inilah yang membuat
banyak orang yang percaya dengan kepemimpinan beliau. Jika membaca buku tentang biografi
Teuku umar, anda akan mengetahui seperti apa perjalanan hidup teuku umar.

Teuku umar menikah pada saat beliau berumur 20 tahun dengan seorang wanita yang bernama
Nyak sofiah. Nyak sofiah merupakan anak dari uleebalang glumpah. Selanjutnya beliau juga
pernah menikah dengan Nyak malighai. Nyak malighai merupakan putri dari panglima sagi
XXVI mukim. Sejak pernikahan keduanya tersebut, beliau memiliki gelar teuku. Terakhir beliau
menikah dengan seorang janda yang bernama Cut Nyak Dien, yang merupakan putri dari paman
Teuku umar. Mereka menikah pada tahun 1880. Suami pertama dari Cut Nyak Dien adalah
Teuku Ibrahim lamnga, tetapi suami dari Cut Nyak Dien sudah meninggal pada tahun 1878.
Dalam biografi teuku umar, teuku umar dan Cut Nyak Dien berjuang bersama untuk mengusir
Belanda dari aceh.

Pada tahun 1883 pasukan pemerintahan Belanda menyerah pada pasukan dari teuku umar. Tetapi
pada tahun 1884, terjadi peperangan kembali antara Belanda dan rakyat aceh. Teuku umar
akhirnya bergabung dengan Belanda. Awalnya rakyat aceh berpikir bahwa teuku umar
merupakan penghianat. Tetapi hal itu dilakukan teuku umar untuk mendapatkan tambahan
senjata dan juga mencari tahu tentang strategi perang dari Belanda. Pada saat itu teuku umar
masuk ke dinas politik dan sempat dianugerahi gelar johan pahlawan. Hal ini banyak diceritakan
diberbagai buku biografi teuku umar.

Setelah berhasil memasukkan banyak orang aceh dipecah Belanda. Pada tanggal 30 maret tahun
1896, teuku umar bisa melepaskan diri dan berhasil membawa senjata, amunisi, butir peluru dan
juga uang dari pemerintahan Belanda. Pemerintahan Belanda sangat marah dan melakukan
penyerbuan pada rakyat aceh. Pada tanggal 11 februari tahun 1899, Belanda akhirnya bisa
menemukan teuku umar dan beliau wafat pada saat penyeragaman tersebut. Itulah beberapa
cerita tentang biografi teuku umar. Semoga menjadi pengetahuan tentang pahlawan nasional
Indonesia.
BIOGRAFI TUANKU IMAM BONJOL

Lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatra Barat 1772 – wafat dalam pengasingan dan dimakamkan di Lotak, Pineleng,
Minahasa, 6 November 1864, adalah salah seorang ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang melawan
Belanda, peperangan itu dikenal dengan nama Perang Padri di tahun 1803-1837. Tuanku Imam Bonjol diangkat
sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November
1973.

Riwayat perjuangan : Perang Padri


Tak dapat dimungkiri, Perang Padri meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatis dalam memori bangsa.
Selama sekitar 20 tahun pertama perang itu (1803-1821) praktis yang berbunuhan adalah sesama orang Minang dan
Mandailing atau Batak umumnya.

Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari keinginan dikalangan pemimpin ulama di Kerajaan Pagaruyung
untuk menerapkan dan menjalan syariat Islam sesuai dengan Mazhab Wahabi yang waktu itu berkembang di tanah
Arab (Arab Saudi sekarang). Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam Harimau nan Salapan meminta
Tuanku Lintau untuk mengajak Raja Pagaruyung Sultan Muning Alamsyah beserta Kaum Adat untuk meninggalkan
beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam.

Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri (penamaan bagi kaum ulama) dengan
Kaum Adat. Seiring itu dibeberapa nagari dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan sampai akhirnya Kaum Padri
dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815, dan pecah pertempuran di Koto
Tangah dekat Batu Sangkar. Sultan Muning Alamsyah terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan.

Pada 21 Februari 1821, kaum Adat resmi menyerahkan wilayah darek (pedalaman Minangkabau) kepada Belanda
dalam perjanjian yang diteken di Padang, sebagai kompensasi kepada Belanda yang bersedia membantu melawan
kaum Padri. Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga Dinasti Kerajaan Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan
Tangkal Alam Bagagar yang selamat dari pembunuhan oleh pasukan Padri.
Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan
Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang. Dalam hal ini
Kompeni melibatkan diri dalam perang karena “diundang” oleh kaum Adat.

Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan paderi cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk
menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui Gubernur Jendral Johannes van den Bosch mengajak pemimpin
Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat “Perjanjian
Masang” pada tahun 1824. Hal ini dimaklumi karena disaat bersamaan Batavia juga kehabisan dana dalam
menghadapi peperangan lain di Eropah dan Jawa seperti Perang Diponegoro. Tetapi kemudian perjanjian ini
dilanggar sendiri oleh Belanda dengan menyerang Nagari Pandai Sikek.

Penangkapan dan Pengasingan


Setelah datang bantuan dari Batavia, maka Belanda mulai melanjutkan kembali pengepungan, dan pada masa-masa
selanjutnya, kedudukan Tuanku Imam Bonjol bertambah sulit, namun ia masih tak sudi untuk menyerah kepada
Belanda. Sehingga sampai untuk ketiga kali Belanda mengganti komandan perangnya untuk merebut Bonjol, yaitu
sebuah negeri kecil dengan benteng dari tanah liat yang di sekitarnya dikelilingi oleh parit-parit. Barulah pada tanggal
16 Agustus 1837, Bonjol dapat dikuasai setelah sekian lama dikepung.

Dalam bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang ke Palupuh untuk berunding. Tiba di tempat itu langsung
ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa,
dekat Manado. Di tempat terakhir itu ia meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol
dimakamkan di tempat pengasingannya tersebut.

Anda mungkin juga menyukai