Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Farmakologi Veteriner
oleh
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadapan Ide Sang Hyang Widi Wasa atas berkat
dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan paper berjudul “Farmakokinetik
(Bioavailabilitas & Bioekuivalensi)” ini dengan tepat waktu. Paper ini disusun
memenuhi tugas mata kuliah Farmakologi Veteriner.
Adapun paper saya tentang “Farmakokinetik ( Bioavailabilitas &
Bioekuivalensi)” ini telah saya usahakan sebaik mungkin dan tentunya dengan
bantuan dari berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar proses pembuatan paper
ini. Oleh sebab itu, saya juga ingin menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang telah membantu saya dalam pembuatan paper ini.
Saya juga berharap paper ini dapat menambah wawasan dan berguna bagi para
pembacanya.
Saya sepenuhnya sadar, bahwa dalam penulisan paper ini masih banyak
kesalahan dan jauh dari kata sempurna. Maka dari itu, saran dan kritik yang
membangun sangat saya harapkan umtuk perbaikan dalam penulisan paper diwaktu
yang akan datang.
ii
DAFTAR ISI
Cover……………………………………………………………………………….i
Kata Pengantar……………………………………………………………………..ii
Daftar Isi…………………………………………………………………………...iii
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………..1
1.1 Latar Belakang……………………………………..…………………………...1
1.2 Rumusan Masalah…………………………………..…………………………..2
1.3 Tujuan Penulisan……………………………………..…………………………3
1.4 Manfaat Penulisan……………………………………..………………………..3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………….…..3
3.1Definisi bioavailabilitas dan bioekuivalensi……………………………….........3
3.2 Tipe bioavailabilitas dan bioekuivalensi ……………........................................5
3.3 Faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas dan bioekuivalensi………………8
3.4 Metode dan criteria bioavailabilitas dan bioekuivalensi …….….......................9
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Obat setelah dilepas dari bentuk sediaannya (injeksi, tablet, suspense, dll)
akan mengalami proses absorpsi, distribusi ke dalam jaringan dan organ tubuh,
kemudian dimetabolisme serta terakhir dieliminasi ke luar tubuh. Keempat
proses diatas biasanya berbeda untuk setiap individu, namun demikian dapat
dikarakteristik dengan bantuan Model Matematika dan Statistika. Konsep
bioavailabilitas pertama kali diperkenalkan oleh Osser pada tahun 1945, yaitu
pada waktu Osser mempelajari absorpsi relatif sediaan vitamin. Istilah yang
dipakai pertamakali adalah availabilitas fisiologik, yang kemudian diperluas
pengertiannya dengan istilah bioavailabilitas. Dimulai dinegara Amerika Serikat,
barulah pada tahun 1960 istilah bioavailabilitas masuk ke dalam arena promosi
obat. Hal ini disebabkan oleh semakin banyaknya produk obat yang sama yang
diproduksi oleh berbagai industri obat, adanya keluhan dari pasien dan dokter di
man obat yang sama memberikan efek terapeutik yang berbeda, kemudian
dengan adanya ketentuan tidak diperbolehkannya Apotek mengganti obat yang
tertulis dalam resep dengan obatmerek lainnya.
Beberapa obat dibuat dan dipasarkan oleh lebih dari satu pabrik farmasi. Dari
studi biofarmasetik member fakta yang kuat bahwa metode fabrikasi dan formulasi
dengan nyata mempengaruhi bioavaibilitas obat tersebut. Karena kebanyakan
produk-produk obat mengandung jumlah bahan obat aktif yang sama, maka dokter,
farmasis dan orang lain yang menulis resep, menyalurkan atau membeli obat harus
memilih produk yang memberikan efek terapeutik yang ekuivalen. Untuk
memudahkan mengambil keputusan tersebut, suatu pedoman telah dikembangkan
oleh US Food and Drug Administration (FDA). Boiavaibilitas menunjukkan ssuatu
pengukuran laju dan jumlah obat yang aktif terapetik yan mencapai sirkulasi umum.
Adapun persyaratan bioekivalensi,suatu persyaratan yang ddibuat oleh Food and
Drug Administration (FDA) untuk uji in vitro dan atau in vivo produk-produk obat
1
tertentu yang persyaratan tersebut harus dipenuhi sebagai kondisi untuk pemasaran.
Bioekivalensi produk obat merupakan ekivalensi farmasetik atau alternative adalah
suatu sediaan yang laju dan jumlah absorpsinya tidak berbeda secara bermakna
apabila diberikan pada dosis dan kondisi percobaan yang sama. Beberapa obat yang
mempunyai jumlah absorpsi sama tetapi berbeda dalam laju absorpsi dapat dianggap
ekivalen farmasetik apabila perbedaan laju absorpsi tidak menyebabkan perbedaan
efek klinik yang bermakna. Kenapa bioekivalensi obat ini sangat penting? Apabila
obat orisinil dan obat generic diberikan ke pasien dalam bentuk zat berkhasiat murni
tanpa bahan tambahan lain, bioekivalensi tidak akan menjadi masalah karena dapat
dipastikan kedua obat tersebut akan memberikan efek yang sama. Dalam prakteknya
tidaklah seperti itu, karena obat tidak hanya terdiri dari zat berkhasiat saja, melainkan
dicampur dengan bahan-bahan lain. Di samping perbedaan terhadap zat tambahan,
perbedaan dalam proses pembuatan juga akan mempengaruhi suatu obat. Maka
mungkin kita pernah mendengar atau mengalami ada dokter yang hanya mau
memakai obat merek tertentu yang mungkin salah satu alasannya masalah keyakinan
ini.
2
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Untuk mengetahui definisi bioavailabilitas dan bioekuivalensi
1.3.2 Untuk mengetahui tipe bioavailabilitas
1.3.3 Untuk mengetahui factor yang mempengaruhi bioavailabilitas dan
bioekuivalensi
1.3.4 Untuk mengetahui metode,kinerja dan kriteria uji bioavailabilitas dan
bioekuivalensi
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
dapat diperkirakan tercapai atau tidaknya efek terapi yang dikehendaki menurut
formulasinya. (ardiarini, 2010)
5
sehingga ekskresi urin hanya mewakili sebagian kecil dari fraksi kecil ketersediaan
hayati obat. Ada beberapa metode langsung dan tidak langsung untuk penilaian
ketersediaan hayati pada manusia. Pemilihan metode bergantung pada tujuan studi,
metode analisis untuk penetapan kadar obat dan sifat produk obat.
Parameter-parameter yang berguna dalam penentuan ketersediaan hayati suatu obat
meliputi :
1. Data plasma
Waktu untuk mencapai konsentrasi plasma maksimal (t maks).satuannya
adalah satuan waktu. Misalnya menit dan jam
Konsentrasi plasma maksimal dalam darah (Cmaks). Satuannya adalah
satuan konsentrasi misal mg/ml
Luas daerah dibawah kurva kadar obat dalam plasma-waktu dari t=0
samapai= -(AUC<0-) menunjukan suatu ukuran dari jumlah total obat
aktif yang mencapai sirkulasi sistematik
2. Data urin
Jumlah kumutatif obat yang diekskresikan dalam urin (DU). Data ini
secara langsung berhubungan dengan jumlah total obat terabsorpsi
Laju ekskresi obat dalam urin (dDu/dt)
Waktu untuk terjadi ekskresi obat maksimum dalam urin (t-)
3. Efek farmakologi akut
Merupakan pengukuran kuantitatif yang dilakukan dengan melihat efek farmakologi
akut yang ditimbulkan, misalnya efek pada diameter pupil, kecepatan denyut jantung
atau tekanan darah. Penggunaan efek farmakologi obat untuk menentukan
ketersediaan hayati memerlukan adanya kaitan dosis-respon. Dengan demikian
ketersediaan hayati dapat ditentukan dengan memeriksa kurva dosis-respon maupun
total area dari kurva efek farmakologi akut-waktu.
4. Respon klinik
Perbedaan dari respon klinik mungkin disebabkan oleh perbedaan farmakokinetika
atau farmakodinamika obat antar individu produk-produk obat, obat yang bioekivalen
6
harus mempunyai ketersediaan hayati yang sama,sehingga respon obat yang sama
dapat diperkirakan. Oleh sebab itu, perubahan respon klinik antar individu
yang tidak dikaitkan dengan ketersediaan hayati mungkin disebabkan adanya
perbedaan dalam farmakodinamika obat diantaranya adalah umur, toleransi obat,
interaksi obat dan faktor-faktor patofisiologik yang tidak diketahui.
Berbagai penelitian membuktikan adanya resiko yang berkaitan dengan
pemahaman yang terlalu sederhana tentang kesetaraan obat. Kesetaraan obat (BE)
dapat dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu :
Farmakoklinik
kesetaraan 2 obat dengan 2 molekul berbeda tapi memiliki aktivitas intrinsik yang
sama dan yang secara In vivo bekerja pada substrat molekular yang sama.
Kesetaraan Kimia
ksetaraan 2 obat yang masing-masing dengan caradan dosis zat aktif yang sama.
Kesetaraan Farmastek
kesetaraan anatara 2 bentuk yang sama dengan zat aktif dan dosis yang sama
Kesetaraan Biologic atau Biokuivalen
obat yang mempunyai kesetaraan kimia atau kesetaraanfarmasetik, yang bila
diberikan dengan posologi yang sama dengan mengacu pada kadar obat dalam darah,
menunjukan criteria ketersediaan hayati yang sama pada setiap individu.
Ketersediaan Klinik/ Terapelik
obat dengan kesetaraan farmakologik kimia atau farmasetik, yang bila diberikan
dengan posologi yang sama akan memberikan efektivitas terapetik yang sama dan
terkendali serta mempunyai toksitas yang sama.
Kesetaraan jumlah obat dalam sediaan belum tentu menghasilkan
kadar obat yang sama dalam darah dan jaringan,yaitu yang disebut ekuivalensi
biologik atau bioekuivalensi. Dua sediaan obat yang berekuivalensi kimia tetapi tidak
berekuivalensi biologik dikatakan memperlihatkan bioinekuivalensi. Ini terutama
terjadi pada obat obat yang bioekuivalensinya lambat karena sukar larut dalam cairan
saluran cerna, misalnya digoksin dan difenilhidantoin, dan pada obat obat yang
7
mengalami metabolisme selama absorpsinya misalnya eritromisin dan levodopa.
Perbedaan bioavaibilitas sampai dengan 10% umumnya tidak menimbulkan
perbedaan yang berarti terutama dalam efek kliniknya , artinya memperlihatkan
ekuivalensi terapi. Bioinekuivalensi lebih dari 10 % dapat menimbulkan
inekuivalensi terapi, terutama untuk obat-obat yang memiliki indeks terapinya
sempit, misalnya pada obat jantung digoksin,difenilhidantoin dan juga teofilin.
(karima, hedri, & kheder, 2014)
8
Absorpsi atau permeasi obat melintasi membaran sel
9
e. Interval waktu pemberian
f. Modalitas pengmbilan sampel: tunggal, berulang, jumlah dosis, dll
g. Senyawa yang akan dianalisis dan metodenya
h. Frekuensi dan waktu pengambilan sampel
i. Jenis sampel yang akan dikumpulkan: darah/urin
Uji bioavailabilitas terbagi atas 2 yaitu in vitro dan uji disolusi in vitro
In vitro
Penggunaan in vivo menjadi sangat terbatas, karena : lamanya waktu yang diperlukan
untuk merencanakan, melakukan, dan menginterpretasi, tingginya keterampilan yang
diperlukan, ketepatan yang rendah serta besarnya penyimpangan pengukuran,
besarnya biaya yang diperlukan, dan keharusan menganggap adanya hubungan yang
sempurna. Uji laju disolusi dan uji difraksi sinar X merupakan 2 contoh prosedur
laboratoris yang dapat merefleksikan perilaku obat in-vivo. Uji ini telah
dimasukkan dalam USP dan NF dan telah diterapkan pada sejumlah obat. Uji laju
disolusi mengukur laju disolusi sejumlah obat dalam medium tertentu dan pada
kondisi tertentu. Uji difraksi sinar X melengkapi beberapa indikasi dari laju dan
jumlah obat yang melarut, dengan demikian akan bermanfaat dalam memperkirakan
absorpsi obat. Sementara kedua uji ini bukan merupakan uji bioavailabilitas
yangsebenarnya,maka kedua uji ini hanya merupakan indikator yang dapat
digunakan untuk memperkirakan bioavailabilitas obat. Suatu industri obat yang
mempunyai data klinikatau informasi yang menunjukkan bahwa produk obatnya
secara klinik efektif, dan bila data ini dikorelasikan dengan uji in vitro dengan tepat,
dan bila formulasi serta prosedur produksi tidak berubah, maka konsistensi dari
batch ke batch dapat dijamin dengan melakukan uji laju disolusi, uji difraksi sinar
X atau uji in vitro lainnya yang relevan.
10
Uji disolusi InVitro
Akibatnya uji disolusi secara in vitro dipakai dan dikembangkan secara luas, dan
secara tidak langsung dipakai sebagai pengukur availabilitas obat, terutama pada
penentuan pendahuluan dari faktor-faktor formulasi dan berbagai metode pembuatan
yang tampaknya akan mempengaruhi bioavailabilitas. Sasaran uji disolusi in
vitro adalah pelepasan obat dari tablet kalau dapat mendekati 100 % dan laju
pelepasan seragam pada setiap batch dan harus sama dengan laju pelepasan dari batch
yang telah dibuktikan berbioavailabilitas dan efektif secara klinis. (Gambini, Ingles,
Lopez-Gruezo, & Borras, 2015)
Pengukuran Bioavailabilitas
Jumlah obat yang diabsorpsi biasanya ditentukan dengan mengukur luas area di
bawah kurva (AUC) dari kurva kadar obat dalam darah versus waktu, atau dari
jumlah obat kumulatif yang diekskresikan melalui urin. Jika suatu obat diberikan per
oral dan beberapa jam sesudahnya diambil satu seri dari sampel darah dan dianalisis
kadar obat dalarn darah, kemudian hasilnya di plot pada kertas grafik, akan
diperoleh kurva kadar darah-waktu seperti pada gambar 1.
11
Obat diberikan per oral pada waktu nol; pada saat ini kadar obat dalam darah adalah
nol. Setelah obat melalui lambung dan/atau usus, akan berdisintegrasi dan
segera melarut dan absorpsi pun berlangsung. Peningkatan kadar obat dalam darah
akan terlihat pada sampel darah berikutnya sampai tercapai kadar puncak. Titik ini
disebut puncak kurva kadar serum — waktu.
Pada titik ini kecepatan absorpsi sebanding dengan kecepatan eliminasi. Disebelah
kiri titik puncak kurva merupakan fase absorpsi, di mana kecepatan absorpsi lebih
besar daripada kecepatan-eliminasi. Di sebelah kanan titik puncak kurva
disebut fase eliminasi, di man kecepatan absorpsi lebih kecil dari pada kecepatan
eliminasi. Hubungan antara bioavailabilitas dan efektivitas klinik obat didasarkan
pada asumsi bahwa intensitas dan durasi respon
farmakologik obat berkaitan erat dengan kadar dan durasi obat aktif dalam darah atau
sirkulasi sistemik. Profil kadar obat dalam darah memungkinkan perhitungan
kecepatan dan jumlah obat yang diabsorpsi dari suatu produk obat, dengan demikian
data ini sangat membantu dalam mengevaluasi besarnya pengaruh formulasi pada
perilaku obat dalam tubuh. Bila suatu industri obat telah memiliki data efektifitas
obat melalui uji klinik dari suatu formulasi obat, maka industry obat lainnya yang
ingin memasarkan obat yang sejenis haruslah melakukan suatu penetapan
bioavailabilitas yang dapat menunjukkan bahwa formulasinya memberikan kadar
puncak yang sama, kecepatan absorpsi yang sama, dan jumlah obat yang
diabsorpsi yang sama dengan formulasi dari industri obat yang pertama. Jika
ke tiga kriteria di atas dipenuhi, adalah beralasan untuk mengharapkan bahwa
formulasi yang dikembangkan industry obat ke dua akan memberikan efek terapeutik
yang sama dengan produk obat pertama. Aplikasi konsep bioavailabilitas yang
semacam ini disebut bioekivalensi. (Ariefiani, 2010)
12
Kriteria Uji Bioekivalensi
Metode uji bioekivalensi antara lain uji bioavaibilitas komparatif, uji
farmakodinamik komparatif, dan uji disolusi invitro komparatif. Kriteria penetapan
persyaratan bioekivalensi antara lain :
Adannya fakta dari percobaan klinikyang terkendali dengan baik atau
pengamatan terkendali pada penderita yang menyatakan bahwa berbagai
produk obat tidak member efek terapeutik sebanding.
Adannya fakta dari studi biokivalensi yang terkendali dengan baik
menyatakan bahwa produk-produk tersebut bukan merupakan produk-produk
yang ekivalen.
Adannya fakta bahwa produk obat yang memperlihatkan rasioterapeutik yang
sempit dan konsentrasi efektif minimum dalam darah, serta penggunannya
secara aman dan efektif memerlukan dosis yang sesuai
Penempatan secara medic oleh yang berwenang menyatakan bahwa suatu
kekurangan bikivalensi akan menyebabkan suatu efek yang tidak dikehendaki
yang membahayaan pada pengobatan
Sifat fisikokimia yang meliputi bahan obat aktif memiliki kelarutan rendah
dalam air
Sifat-siffat farmakokinetik antara lain: diserapnya bahan aktif dalam jumlah
yang besar pada bagian tertentu saluran cerna, derajat absorpsinyakecil baik
dalam bentuk murninya, terjadi proses metabolisme yang terlalu cepat pada
bagian terapeutik pada dingding usus/hati, bahan obat aktif tidak stabil pada
sisi target.
Sedangkan bioekivalensi berdasarkan data kadar obat dalam darah. Ada 3 parameter
penting dalam mengevaluasi bioekivalensiantara2 formulasi obat, yaitu
Kadar maksimal/kadar puncak
Waktu pencapaian kadar maksimal
Luas area kurva
13
Bioekivalensi berdasarkan data ekskresi obat dalam urin.bila yang diukur adalah
ekskresi obat dalam urin kumulatif, parameter-parameter yang penting adalah :
Jumlah kumulatif obat yang diekskresikan dalam urin
Kecepatan ekskresi obat dalam urin
Jika kecepatan dan jumlah obat yang diekskresikan melalaui urin setelah pemberian
2 macam obat yang mengandung obat aktif yang sama (identik), dapat disimpulkan
bahwa kedua produk obat tersebut adalah biokivalen. Ini didasarkan pada konsep
bahwa obat yang diekskresikan ke dalam urin berasal dari darah. Jika kedua profit
kadar obat dalam darah dan pengukuran ekskresi obat dalam urin diperoleh dari
subjek yang sama maka ke dua data tersebut merupakan komponen satu sama lain.
14
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Saran
Sebagai mahasiswa kedokteran hewan kita harus mengetahui dan dapat memahami
farmakokinetik yang merupakan nasib obat di dalam tubuh, khususnya pada paper
saya kali ini yang membahas bioavailabilitas dan bioekuivalensi.
15
DAFTAR PUSTAKA
Gambini,J.,Ingles,M.,Olaso,G.,Lopez-Grueso,R.,Bonet-Costa,V.,…….Borras.C.
2015.Properties of Resveratrol: In Vitro and In Vivo Studies about Metabolism,
Bioavailability, and Biological Effects in Animal Models and Humans. Jornal of
pharmacology. 1Department of Physiology, Faculty of Medicine, University of
Valencia. Spain
16
Priyanto, Drs. 2010. Farmakologi Dasar Edisi II. Leskonfi. Jakarta.Rowland, M. and
Tozer., T. M. 1980. Clinical Pharmacokinetics : Concept andApplication. Lea and
Febiger. Philadelphia.
17