Anda di halaman 1dari 7

LATAR BELAKANG

Setiap daerah di Indonesia memiliki adat dan kepercayaan sendiri terkait dengan proses
penangkapan ikan. Biasanya memang unik dan memiliki ciri khas sendiri. Keunikan dan
kekhasan tersebut yang menjadi identitas dari masing-masing daerah, terutama karena
perbedaannya. Perbedaan ciri khas tersebut muncul karena beberapa sebab di antaranya latar
belakang agama, adat istiadat, dan warisan turun-temurun dari nenek moyang.

Pembangunan yang dilakukan secara berkelanjutan, menampatkan laut apa yang


dipahami masyarakat nelayan tradisional sebagai “way of life” yang mewadahi seluruh tata
sosial kemasyarakatan dan moral masyarakat, bukan hanya ruang untuk mencari nafkah,
termasuk di dalamnya pengetahuan tradisional. Sistem pengetahuan tradisional berevolusi
selama ratusan tahun sehingga terbentuk kebiasaan masyarakat dalam menjaga sumberdaya
alam (Hakim, 2009).

Konsep kearifan lingkungan lokal sesungguhnya berakar dari sistem pengetahuan


tradisional tersebut.(Safa’at, 2008).

Pemaknaan lingkungan dalam konteks ini sebagai kepunyaan bersama yang harus
diperlakuan secara sangat hati-hati (Rosalina, 2010).

Gambaran tersebut memperlihatkan bahwa kearifan lokal merupakan produk budaya


masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal
tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal (Sartini, 2004).

Namun eksistensi kearifan lokal belum mendapat pengakuan pengakuan seutuhanya,


salah satu indikatornya adalah tidak kuatnya dalam instrumen hukum nasional (Hatta, 2010).

Masyarakat adat sebagai salah satu pemilik pengetahuan lokal, meyakini bahwa tata
hukum adat dan pengetahuan tradisional, dalam corak magis cosmis, memberi kontribusi amat
sangat besar terhadap keberlangsungan ekosistem laut dan pesisir, keberlanjutan sumber daya
laut dan perikanan yang dikandungnya, serta kelestarian lingkungan hidup (Nurjaya, 2009).
Mereka telah membuktikan bahwa tata hukum adat dan pengetahuan tradisional telah
memberi sumbangsih besar dalam pengelolaan sumberdaya perikanan yang adil dan
berkelanjutan sejak abad XVI. Mereka juga mempercayai bahwa dengan memperkuat modal
sosial dan budaya, akses, dan kontrol masyarakat hukum adat, nelayan tradisional, dan
masyarakat pesisir dalam mengelola sumber daya kelautan dan perikanan merupakan titik
temu yang mampu memulihkan krisis multidimensi yang berlangsung hingga saat ini.

Keberadaan masayarakat hukum adat selama ini sudah mendapat pengakuan yang
sangat kuat melalui Undang-undang dasar 1945 Pasal 18 B Bab IV Perubahan ke-2 yang
menjelaskan bahwa, "Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masayarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
PEMBAHASAN

Kearifan Lokal Masyarakat di Kawasan Pesisir Kabupaten Situbondo

Ada beberapa kearifan lokal Kabupaten Situbondo yang merupakan warisan leluhur dan
masih tetap dilaksanakan hingga saat ini oleh masyarakat nelayan disana yakni, Petik Laut,
Nyabis, Tellasan, dan Ojung.

a. Petik Laut
Dilaksanakan setiap tahun sekali melalui proses musyawarah warga setempat.
Dengan berbagai rangkaian susunan acara dimulai dengan upacara selametan yang
dipimpin oleh ketua adat kemudian dilanjutkan dengan melarung sesaji ke laut lepas.
Semua sesajen ditaruh dalam replika kapal atau wadah tertentu. Kemudian diakhiri
dengan pertunjukan kesenian lokal di malam harinya. Sumber dananya berasal murni
dari masyarakat nelayan. Ritual ini diyakini dapat membawa keselamatan bagi nelayan,
selain itu bertujuan sebagai tanda rasa syukur nelayan atas hasil laut dan sebagai acara
kumpul serta doa bersama agar keberlanjutan perikanan dilaut tetap terjaga.
b. Nyabis
Dilakukan oleh hampir semua masyarakat lokal sebagai proses agar
mendapatkan barokah yaitu, dengan doa dari para kyai, karena anggapan luas
masyarakat lokal dengan adanya barokah ini, semua kegiatan mulai dari penangkapan,
perdagangan dan semua permasalahan bisa lebih mudah dan lancar. Pelaksanaannya
dilakukan pada hari jumat karena pada hari itu kyai libur mengajar dipondok dan
nelayan juga berhenti melaut.
c. Tellasan (hari raya)
Dilakukan pada hari ke 27 atau H-3 tiga hari raya aktivitas melaut sudah mulai
dihentikan. Tiga hari H+3 setelah hari raya, aktifitas baru dilanjutkan kembali. Aktivitas
ini berdampak pada lingkungan, waktu dan konsekuensi serta kontinyu. Berdampak
terhadap adanya pemberian waktu terhadap biota laut yang dieksploitasi dalam
penangkapan untuk berkembang biak dan melakukan regenarasi, sehingga kualitas dan
kuantitasnya bisa terjaga dengan baik dan berlanjut.
d. Ojung
Berupa atraksi saling memukul dengan rotan yang dipotong pendek menyerupai
pedang yang dilakukan oleh dua orang. Tradisi dipercaya dapat menghindarkan bencana
dan terhindar dari carok. Selain itu bermanfaat bagi para nelayan untuk meningkatkan
kerukunan diantara mereka.

KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT PESISIR PULAU GILI KECAMATAN SUMBERASIH KABUPATEN


PROBOLINGGO JAWA TIMUR

a. Nyabis
Tradisi nyabis ini hampir dilakukan oleh semua masyarakat pulau Gili, nyabis
dilakukan dengan berkunjung ke kyai yang dipercaya dan diyaikini sebagai guru spiritual.
Nyabis dilakukan oleh masyarakat Pulau Gili sebagai proses agar mendapatkan barokah
yaitu dengan doa dari para kyai, karena anggapan luas masyarakat pulau Gili dengan
adanya barokah ini, semua kegiatan mulai dari penangkapan, perdagangan dan semua
permasalahan bisa lebih mudah dan lancar.
Pelaksanaan nyabis umumnya dilakukan pada hari jumat, karena menurut
asumsi beberapa informan bahwa pada hari jumat, adalah hari libur didalam pondok
pesantren dan kyai akan bisa ditemui Karena tidak mengajar santrinya. Hari jumat dipilih
karena pada umumnya hari jum’at ini para nelayan di Pulau Gili tidak melakukan
penangkapan atau melaut dan kapal akan dibenahi dan dicat dengan kapur dibagian
lambung kapalnya Budaya nyabis ini hampir dilakukan oleh semua masyarakat Pulau
Gili. Meskipun tidak ada kaitan antara hasil tangkapan atau penghasilan yang didapat
setelah nyabis, masyarakat pulau Gili tetap melakukan budaya nyabis sebagai bentuk
usaha selain usaha nyata.
b. Onjem atau Rumpon
Onjem merupakan salah satu cara masyarakat pulau Gili Ketapang untuk
meningkatkan hasil tangkapan ikan. Cara ini merupakan tradisi yang diturunkan dan
diwariskan oleh masyarakat pulau Gili Ketapang dan hingga kini tetap dilakukan. Onjem
yang dalam bahasa yang kita kenal adalah rumpon ini dipilih diletakkan diatas spot
pilihan yaitu yang dianggap banyak terdapat karang disekitaran Pulau Gili. Hal ini
diasumsikan karena diatas karang tempat berkumpulnya ikan-ikan. Rumpon yang ada di
pulau Gili ini masih terbuat dengan cara tradisional. Bahan-bahan dari rumpon ini terdiri
dari daun kelapa kering, ranting-ranting kecil, ban bekas, tali “tampar” dan batu besar
yang berfungsi sebagai pemberat.
Sifat dari onjem yang turun temurun meskipun berada tepat ditengah laut,
membuat onjem merupakan suatu gambaran bentuk adaptasi manusia terhadap
lingkungan sekitarnya yang dianggap masih ada sampai sekarang meskipun dalam ilmu
modern sudah berbeda bentuk dan teknik pembuatannya sangat simpel. Masyarakat
nelayan Pulau Gili ketika akan melakukan penangkapan dilokasi onjem yang mereka
miliki, hanya “menggunakan” acuan kondisi alam yang ada disekitarnya tanpa bantuan
alat-alat modern seperti saat ini tanpa ada kesulitan. Biasanya menggunakan alat bantu
seperti pohon yang terlihat di Pulau Gili dan gunung-gunung yang ada dipulau jawa.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.wwf.or.id/?26284/Tradisi-adat-dan-kearifan-lokal-dalam-dunia-perikanan-di-
Indonesia. Diakses pada 17 Februari 2019 (Pukul 06:16 WIB).

https://www.kompasiana.com/rizkiarum/5a0141c09b1e670b4679ec52/kearifan-lokal-
masyarakat-di-kawasan-pesisir-kabupaten-situbondo. Diakses pada 17 Februari 2019 (Pukul
06:57 WIB).

Hagi Primadasa Juniarta , Edi Susilo serta Mimit Primyastanto. 2013. Kajian Profil Kearifan Lokal
Masyarakat Pesisir Pulau Gili Kecamatan Sumberasih Kabupaten Probolinggo Jawa Timur.
Jurnal ECSOFiM. Vol. 1 No. 1.

Abdullah M. Adli, Ahmad Kamaruzzaman Bustamam, dkk. 2014. Aceh, Kebudayaan Tepi Laut,
dan Pembangunan. Banda Aceh : Pusat Studi Hukum Adat Laut dan Kebijakan Perikanan
Universitas Syiah Kuala

Anda mungkin juga menyukai