Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Psikosis adalah suatu gangguan jiwa dengan kehilangan rasa kenyataan (sense of reality).

Kelainan ini dapat diketahui berdasarkan gangguan-gangguan pada perasaan, pikiran, kemauan

dan motorik, sehingga perilaku penderita tidak sesuai lagi dengan kenyataan.1

Obat-obat antipsikotik dahulu sering disebut dengan neuroleptik karena memiliki beberapa

efek samping yang memberi gambaran seperti gangguan neurologis yang disebut

pseudoneurologis, atau dikenal juga istilah major transquilizer karena adanya efek sedasi atau

mengantuk yang berat.2

Indikasi penggunaan antipsikotik adalah sindrom psikosis. Yaitu hendaya berat dalam

kemampuan menilai realitas (reality testing ability), bermanifestasi dalam gejala: kesadaran diri

(awareness) yang terganggu, daya nilai norma sosial (judgement) terganggu, dan daya tilikan diri

(insight) terganggu. Juga pada hendaya berat dalam fungsi-fungsi mental, bermanifestasi dalam

gejala positif: gangguan asosiasi pikiran (inkoherensi), isi pikiran yang tidak wajar (waham),

gangguan persepsi (halusinasi), gangguan perasaan (tidak sesuai dengan situasi), perilaku yang

aneh atau tidak terkendali (disorganized) dan gejala negatif: gangguan perasaan (afek tumpul,

respon emosi minimal), gangguan hubungan sosial (menarik diri, pasif, apatis), gangguan proses

pikir (lambat, terhambat), isi pikiran yang stereotip dan tidak ada inisiatif, perilaku yang sangat

terbatas dan cenderung menyendiri (abulia). Serta pada hendaya berat dalam fungsi kehidupan

sehari-hari, bermanifestasi dalam gejala: tidak mampu bekerja, menjalin hubungan sosial, dan

melakukan kegiatan rutin.3


Antipsikotik bermanfaat pada terapi psikotik akut maupun kronik, termasuk skizofrenia,

gangguan skizo-afektif, demensia dengan gejala psikotik, psikotik akibat obat, maupun gangguan

bipolar. Ciri terpenting obat anti-psikotik ialah: (1) berefek anti psikotik, terhadap gejala positif

(halusinasi, delusi, bicara kacau dan agitasi) dan secara terbatas juga memperbaiki gejala negatif

[apatis, miskin ide/motivasi dan miskin kata-kata (alogia)], serta gangguan kognitif; (2) batas

keamanannya besar, dosis besar tidak menyebabkan koma yang dalam ataupun anastesia; (3) dapat

menimbulkan gejala ekstrapiramidal yang reversibel atau ireversibel. Pada anti psikotik yang lebih

baru, efek samping ini minimal sehingga anti psikotik menurut efek samping ekstra piramidal yang

ditimbulkan digolongkan menjadi anti psikotik tipikal (efek samping ekstrapiramidal yang nyata)

dan anti psikotik yang atipikal (efek samping ekstrapiramidal yang minimal); (4) tidak ada

kecenderungan untuk menimbulkan ketergantungan fisik dan psikis.4

Penanganan efek samping dari obat antipsikotik perlu kita ketahui untuk menimilasir

kejadian-kejadian yang tidak diinginkan. Maka dari itu pada refarat ini akan membahas dari

penangan efek samping obat antipsikotik itu sendiri.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Antipsikotik atau neuroleptik merupakan obat-obatan yang digunakan untuk psikosis, yang

bekerja sebagai antagonis reseptor dopamin dan serotonin di otak, dengan target untuk

menurunkan gejala-gejala psikotik seperti halusinasi, waham dan lain-lain.5

B. KLASIFIKASI

Berdasarkan rumus kimianya, obat-obat antipsikotik dibagi menjadi 2 golongan yaitu

fenotiazine misalnya chlorpromazine dan golongan nonfenotiazin contohnya haloperidol.

Sedangkan menurut cara kerjanya terhadap reseptor dopamin dibagi menjadi Dopamin receptor

Antagonist (DA) dan Serotonin Dopamin Antagonist (SDA). Obat-obat DA juga sering disebut

sebagai antipsikotik tipikal, dan obat-obat SDA disebut sebagai antipsikotik atipikal. Klasifikasi

kemudian dibuat lebih sederhana dengan membaginya menjadi antipsikotik generasi I (APG-I)

untuk obat-obat golongan antagonis dopamin (DA) dan antipsikotik generasi II (APG-II) untuk

obat-obat golongan serotonin dopamin antagonis (SDA).2

Obat-obat antipsikotik, terbagi dalam 2 golongan besar:3

I. Obat antipsikotik tipikal

1. Phenotiazine

 Rantai aliphatic: chlorpromazine

 Rantai piperazine: perphenazine, trifluoperazine, fluphenazine.

 Rantai piperidine: thioridazine

2. Butyrophenone: haloperidol

3. Diphenyl-butyl-piperidine: pimozide

II. Obat antipsikotik atipikal

1. Benzamide: supiride

2. Dibenzodiazepine: clozapine, olanzapine, quetiapine, zotepine.


3. Benzisoxazole: risperidon, aripiprazole.

a. Antipsikotik Generasi-I (APG-I)

Antagonis reseptor dopamin yang didiskusikan disini dinamakan demikian karena obat ini

merupakan antagonis reseptor dopamine dengan afinitas tinggi. Istilah lain yang digunakan untuk

menyebut obat ini adalah antipsikotik tipikal, tradisional, atau konvensional. Obat ini digunakan

di dalam terapi skizofrenia dan gangguan psikotik lain. Antagonis reseptor dopamine mencakup

chlorpromazine (Thorazine), thioridazine (Mellaril), fluphenazine (Prolixin), dan haloperidol

(Haldol), diantara banyak lainnya.6

1. Farmakokinetik dan farmakodinamik

Mekanisme kerja yang pasti dari antipsikotik belum diketahui. Berdasarkan teori

dopamin pada skizofrenia, gejala positif merupakan hasil dari overaktivitas pada jalur dopamin

mesolimbik. Generasi pertama antipsikotik atau antipsikotik tipikal merupakan D2 antagonis,

sehingga gologan ini mengurangi neurotransmisi dopaminergik pada empat jalut dopamine yaitu

tidak hanya memblok reseptor D2 di mesolimbik tetapi juga di 3 jalur dopamin lainnya seperti di

jalur mesokortikal, nigrostriatal dan tuberoinfundibular. Jalur dopamin mesokortikal.7

1. Jalur dopamin mesokortikal7

 Anatomi: proyeksi dari ventral tegmental area (VTA) ke area cortex prefrontal.

 Fisiologi: mesocortical pathway diperkirakan relevan dengan fungsi kognitif dan

eksekutif (dorsolateral prefrontal cortex), emosi dan afek (ventromedial prefrontal

cortex)

 Implikasi: hipofungsi pada mesocortical pathway berhubungan dengan gejala kognitif

dan gejala negatif pada skizofrenia


2. Jalur dopamin mesolimbik7,8

 Anatomi: proyeksi dari ventral tegmental area (VTA) ke nucleus accumbens (NA)

 Fisiologi: motivasi, emosi, reward, hiperaktifitas dopamin pada jalur ini menyebabkan

gejala positif seperti delusi dan halusinasi sehingga blokade pada jalur ini mengurangi

gejala positif skizofrenia

 Implikasi: D2 antagonist mengurangi gejala positif dari skizofrenia, blokade D2

reseptor pada jalur ini diperkirakan sebagai mekanisme kerja antipsikotik generasi

pertama yang utama

3. Jalur dopamin nigrostriatal7,8

 Anatomi: proyeksi dari substantia nigra (pars compacta) ke striatum (caudate dan

putamen) dan merupakan bagian dari sistem saraf ekstrapiramidal

 Fisiologi: Fungsi jalur nigrostriatal adalah untuk mengontrol pergerakan.

 Implikasi: Blokade reseptor D2 pada jalur ini menyebabkan gangguan pergerakan

seperti pada Parkinson yang disebut extrapyramidal reaction (EPR) dan tardive

dyskinesia. Gejala yang terjadi antara lain akhatisia, dystonia (terutama pada wajah

dan leher), rigiditas dan akinesia atau bradikinesia.

4. Jalur dopamin tuberoinfundibular7,8

 Anatomi: proyeksi dari hipotalamus (more specifically the arcuate and preventricular

nuclei) ke regio infundibular, juga di hypothalamus (for median eminence).

 Fisiologi: dopamin dikeluarkan ke sirkulasi portal yang menghubungkan median

eminence dengan bagian anterior kelenjar pituitary. Fungsi dopamin pada jalur ini

adalah untuk menghambat pelepasan prolaktin.


 Implikasi: blokade pada jalur ini menyebabkan hiperprolaktinemia dengan efek

samping galactorrhea, amenorrhea dan disfungsi seksual.

Pada umumnya, obat-obat antipsikotik diabsorbsi bila ia diberikan peroral atau

parenteral. Absorbsi pemberian oral kurang dapat diprediksi jumlahnya bila dibandingkan

dengan pemberian parenteral. Obat dalam bentuk cairan diabsorbsi lebih cepat daripada tablet.

Puncak konsentrasi plasma obat-obat antipsikotik dicapai 1-4 jam setelah pemberian oral dan

30-60 menit setelah pemberian intramuskular (IM). Obat-obat IM mencapai konsentrasi puncak

lebih cepat daripada obat-obat oral. Onset kerjanya juga lebih cepat. Konsentrasi puncak

sebagian besar antipsikotik IM dapat dicapai dalam waktu ± 30 menit dan efek klinik terlihat

dalam 15-30 menit. Konsentrasi puncak plasma pada pemberian oral dicapai dalam 1-4 jam

setelah pemberian. Obat-obat antasid, kopi, rokok dan makanan dapat mempengaruhi absorbsi.

Pada intinya, semua antipsikotik generasi pertama atau tipikal bekerja antagonis

terhadap reseptor dopamin. Di jalur mesolimbik, blok obat antipsikotik generasi pertama

terutama komponen D2. Dengan itu akan terjadi perbaikan gejala positif (delusi, halusinasi,

perilaku tidak terorganisir, ucapan yang tidak terorganisir, dan catatonia). Penurunan transmisi

dopaminergik di jalur mesokorteks mungkin menginduksi gejala negatif (misalnya perataan

afektif, avolition dan alogia). Antipsikotik generasi pertama memblokir reseptor D2, ini akan

semakin berkurang hal ini juga menekan aktivitas dopaminergik dan memperburuk ‘gejala

negatif’. Selain itu, antipsikotik generasi pertama menurunkan transmisi dopaminergik di

nigrostriatal. Oleh karena itu, APD biasa sering menyebabkan efek samping ekstrapiramidal.9

2. Efek pada organ dan sistem spesifik

Sebagian besar antagonis reseptor dopamine memiliki efek yang signifikan pada

reseptor lain, termasuk reseptor adrenergik, kolinergik dan histaminergik. Efek reseptor lain
mempengaruhi organ dan sistem dengan berbagai cara di samping otak. Mungkin efek yang

paling signifikan melibatkan jantung dan sistem vaskular. Banyak obat antagonis reseptor

dopamine, terutama obat potensi rendah, menurunkan kontraktilitas jantung, meningkatkan

waktu konduksi atrium dan ventrikel, dan meningkatkan lama periode refrakter. Aktivitas

antagonis α1-adrenergik dapat mengakibatkan vasodilatasi dan hipotensi ortostatik (postural).

Efek utama pada sistem gastrointestinal diperantarai oleh blokade obat pada reseptor kolinergik

muskarinik, yang mengakibatkan mulut kering serta konstipasi, terutama pada clozapine

(Clozaril) dan obat potensi rendah. Obat antagonis reseptor dopamine sebagai suatu golongan

obat dapat memiliki berbagai efek pada kulit (cth., ruam, fotosensitif, dan perubahan warna)

meskipun efek ini tidak lazim. Penurunan sementara leukopoiesis lazim terjadi akibat terapi

dengan antagonis reseptor dopamine.6

3. Indikasi terapeutik6

Gangguan Psikotik Primer. Antagonis reseptor dopamine efektif untuk

penatalaksanaan skizofrenia jangka panjang maupun jangka pendek, gangguan skizofreniform,

gangguan skizoafektif, gangguan waham, gangguan psikotik singkat, episode manik, dan

gangguan depresif berat dengan ciri psikotik. Obat ini mengurangi gejala akut dan mencegah

perburukan di masa mendatang

Skizofrenia. Umumnya, antagonis reseptor dopamine dianggap lebih efektif pada terapi

gejala positif skizofrenia (cth., halusinasi, waham dan agitasi) dibandingkan terapi gejala negatif

(cth., penarikan diri secara emosional dan ambivalensi) atau disosiasi kognitif. Antagonis reseptor

dopamine itu sendiri juga dapat menimbulkan gejala negatif. Pada umumnya juga diyakini bahwa

gejala paranoid lebih efektif diterapi dibandingkan gejala nonparanoid, dan bahwa perempuan

lebih responsif dibandingkan laki-laki. Beberapa orang tidak berespons terhadap antagonis
reseptor dopamine apapun tetapi dapat menunjukkan perbaikan dengan SDA, yang juga

menunjukkan perbaikan gejala negatif dan kognitif demikian juga gejala positif.

Gangguan bipolar. Antipsikotik sering digunakan dalam kombinasi dengan obat

antimanik untuk menerapi psikosis atau manik pada gangguan bipolar I. Obat standar untuk terapi

gangguan bipolar, lithium (Eskalith), carbamazepine (Tegretol), dan valproat (Depakene),

umumnya memiliki onset kerja yang lebih lambat dibandingkan dengan antipsikotik di dalam

terapi gejala akut. Praktik yang umum adalah dengan menggunakan terapi kombinasi pada awal

terapi dan kemudian secara bertahap menghentikan antipsikotik.

Orang dengan gangguan skizoafektif dan gangguan waham sering berespons baik

terhadap terapi dengan antagonis reseptor dopamine. Beberapa orang dengan gangguan

kepribadian ambang yang memiliki gejala psikotik yang nyata sebagai bagian dari gangguannya

berespons sedikitnya sebagian terhadap obat antipsikotik, meskipun orang-orang ini khususnya

juga memerlukan terapi psikoterapeutik.

Psikosis sekunder. Antagonis reseptor dopamine umumnya memiliki efektif di dalam

terapi gejala psikotik akibat penyebab organik (yi., tumor). Agitasi dan psikosis akibat keadaan

neurologis seperti demensia tipe Alzheimer juga berespons terhadap terapi antipsikotik. Agitasi

berat dan perilaku kekerasan. Antagonis reseptor dopamine digunakan untuk menerapi orang

yang sangat teragitasi dan melakukan kekerasan, meskipun obat lain seperti benzodiazepine juga

efektif untuk pengendalian perilaku seperti itu dengan segera. Gejala-gejala seperti iritabilitas

berat, tidak adanya pengendalian impuls, permusuhan berat, hiperaktivitas menyeluruh, dan agitasi

berespons terhadap terapi jangka pendek dengan antagonis reseptor dopamine.

b) Antipsikotik Generasi-II
Antagonis serotonin-dopamin (SDA) juga disebut sebagai generasi kedua, obat antipsikotik

atipikal atau baru dan mencakup risperidone (Risperdal), olanzapine (Zyprexa), quetiapine

(Seroquel), clozapine (Clozaril), dan ziprasidone (Zeldox). Antipsikotik atipikal yang baru,

aripiprazole (Abilify), dengan mekanisme kerja yang berbeda, yaitu agonis dopamin parsial,

memiliki efektivitas dan profil keamanan yang sangat menyerupai SDA. Obat ini memperbaiki

dua jenis hendaya yang menjadi ciri khas skizofrenia: (1) gejala positif seperti halusinasi, waham,

pikiran terganggu, dan agitasi serta (2) gejala negatif seperti menarik diri, afek datar, anhedonia,

miskin pembicaraan, katatonia, dan hendaya kognitif. SDA mempunyai risiko gejala

ekstrapiramidal yang lebih kecil dibandingkan antagonis reseptor dopamin, yang menghilangkan

kebutuhan penggunaan antikolinergik dan efek simpangnya yang mengganggu.6

SDA juga efektif untuk terapi gangguan mood dengan ciri psikotik atau manik dan untuk

gangguan perilaku yang terkait dengan demensia. Olanzapine diindikasikan untuk terapi jangka

pendek episode manik akut pada gangguan bipolar I. Semua agen ini dianggap obat lini pertama

kecuali olanzapine, yang menimbulkan efekk simpang hematologis yang memerlukan

pemeriksaan darah mingguan.6

1. Kerja farmakologi6

Risperidone. Antara 70 dan 85 persen risperidone diabsorpsi dari saluran gastrointestinal,

dan menjalani metabolisme hepatik lintas pertama yang ekstensif menjadi 9-

hydroxyrisperidone, suatu metabolit dengan aktivitas biologik yang serupa. Gabungan

waktu paruh risperidone dan 9-hydroxyrisperidone rata-rata 20 jam, sehingga efektif

dengan dosis sekali sehari. Risperidone adalah antagonis reseptor serotonin dan dopamin.

Meskipun antagonis reseptor dopamin ini sama potennya dengan haloperidol (Haldol),
risperidone jauh lebih kecil kemungkinannya untuk mengakibatkan gejala ekstrapiramidal

dibandingkan haloperidol.

Olanzapine. Kira-kira 85 persen olanzapine diabsorpsi dari saluran gastrointestinal, dan

kira-kira 40 persen dari dosis dinonaktifkan oleh metabolisme hepatik lintas pertama.

Konsentrasi puncak dicapai dalam 6 jam, dan waktu paruh rata-rata 30 jam. Oleh karena

itu, obat ini efektif dengan dosis sekali sehari.

Quetiapine7. Quetiapine cepat diabsorpsi dari saluran gastrointestinal, dan kadar plasme

puncak dicapai dalam 1 hingga 4 jam. Waktu paruh stabil kira-kira 6 jam, dan dosis

optimal adalah dua atau tiga kali per hari. Quetiapine adalah antagonis serotonin dan

dopamin.

Clozapine. Clozapine cepat diabsorpsi dari saluran gastrointestinal, dan kadar plasma

puncak dicapai dalam 1 hingga 4 jam. Waktu paruh stabil selama 10 hingga 16 jam

biasanya dicapai dalam 3 sampai 4 hari jika digunakan dosis dua kali sehari. Kedua

metabolit utama memiliki aktivitas farmakologis minimal. Clozapine adalah antagonis

serotonin dan dopamin.

Ziprasidone. Konsentrasi plasma puncak ziprasidone dicapai dalam 2 hingga 6 jam.

Waktu paruh stabil selama 5 hingga 10 jam dicapai pada hari ketiga, dan diperlukan dosis

dua kali sehari. Ziprasidone adalah antagonis serotonin dan dopamin. Ziprasidone juga

memiliki aktivitas agonis pada reseptor serotonin 5-HT1A dan merupakan inhibitor

ambilan kembali norepinefrin. Hal ini mengesankan bahwa obat ini memiliki efek

antidepresan.

Aripiprazole. Aripiprazole bukanlah SDA: tetapi merupakan agonis parsial reseptor

Dopamin D2. Konsentrasi plasma puncak dicapai dalam 3 hingga 5 jam.


2. Indikasi terapeutik6

Gangguan Psikotik. SDA efektif untuk menerapi psikosis akut dan kronis seperti

skizofrenia dan gangguan skizoafektif pada orang dewasa dan remaja. SDA juga efektif untuk

menerapi depresi psikotik serta untuk psikosis akibat trauma kepala, demensia, atau obat terapi.

SDA sama baiknya, atau lebih baik dibandingkan dengan, antipsikotik tipikal (antagonis reseptor

dopamin) untuk terapi gejala positif pada skizofrenia dan jelas mengungguli antagonis reseptor

dopamin untuk terapi gejala negatif. Dibandingkan orang yang diterapi dengan antagonis reseptor

dopamin, mereka yang diterapi dengan SDA lebih jarang kambuh dan memerlukan lebih sedikit

kontak telepon dengan profesional kesehatan jiwa, dan lebih sedikit terapi di dalam program

harian.

Karena clozapine memiliki efek simpang yang berpotensi mengancam nyawa, obat ini

sekarang hanya digunakan untuk pasien dengan skizofrenia yang resisten terhadap semua

antipsikotik lain, dan tetap memiliki sifat terapeutik untuk pasien yang resisten terhadap terapi.

Indikasi lain clozapine mencakup terapi orang dengan diskinesia tardive berat dan mereka dengan

ambang gejala ekstrapiramidal yang randah. Orang yang menoleransi clozapine berespon baik

pada terapi jangka panjang.

Studi yang dilakukan untuk persetujuan aripiprazole telah dilakukan pada pasien dengan

skizofrenia dan gangguan skizofrenia. Studi yang menggunakan aripiprazole pada gangguan lain

sedang dilakukan.

Gangguan Mood. SDA berguna untuk pengendalian awal agitasi selama episode manik,

tetapi kurang efektif untuk pengendalian jangka panjang gangguan bipolar dibandingkan penstabil

mood tradisional. Olanzapine disetujui oleh Food and Drug Administration untuk terapi mania

akut pada dosis sebesar 10 atau 15 mg per hari. Olanzapine dan risperidone dapat digunakan untuk
memperkuat antidepressan dalaam penatalaksanaan jangka pendek depresi berat dengan ciri

psikotik. SDA efektif di dalam terapi gangguan skizoafektif, meskipun risperidone dilaporkan

mencetuskan mania pada orang dengan gangguan skizoafektif. Penambahan olanzapine dan

clozapine dapat memperbaiki hingga dua pertiga orang dengan gangguan bipolar refrakter, serta

risperidone telah digunakan untuk mengurangi ayunan mood pada orang dengan gangguan bipolar

siklus cepat.

Indikasi lain. SDA efektif untuk terapi demensia, gangguan spektrum autistik, psikosis yang

terkait demensia, gangguan Tourette, penyakit Huntington, dan sindrom Lesch-Nyhan.

Risperidone dan olanzapine telah digunakan untuk mengendalikan agresi dan mencederai diri

sendiri pada anak. Obat ini telah digunakan bersama dengan simpatomimetik, seperti

methylphenidate (Ritalin) atau dextroamphetamine (Dexedrine, Dextrostat), pada anak dengan

gangguan defisit-atensi/ hiperaktivitas (ADHD) yang komorbid untuk gangguan menentang

oposisional atau gangguan tingkah laku. SDA terutama olanzapine, quetiapine dan clozapine,

berguna pada orang yang mengalami diskinesia tardive berat. Terapi SDA menekan gerakan

abnormal pada diskinesia tardive tetapi tidak tampak memperburuk gangguan gerakan.6

Terapi dengan olanzapine dan ziprasidone mengurangi gejala depresif pada orang dengan

skizofrenia hingga tingkat yang lebih tinggi dibandingkan yang dilakukan oleh haloperidol. Pada

pasien depresi tanpa ciri psikotik yang hanya berespons sebagian terhadap antidepresan,

penambahan dengan olanzapine dapat meningkatkan efektivitas terapi.6

Terapi dengan SDA, terutama clozapine, mengurangi risiko bunuh diri pada pasien dengan

skizofrenia. Pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif yang resisten terapi berespons terhadap

penambahan SDA pada SSRI: meskipun demikian, sejumlah kecil orang yang diterapi dengan
SDA telah mencatat adanya gejala OCD yang segera memerlukan terapi. Beberapa pasien dengan

gangguan kepribadian ambang dapat membaik dengan SDA.7

C. CARA PENANGANAN EFEK SAMPING OBAT ANTIPSIKOTIK

 Strategi Untuk Mengatasi Efek Samping Yang Umum

Tidur

Hal ini cenderung umum pada penggunaan awal obat atau ketika dosis obat dinaikkan

secara cepat. Mulailah dari dosis yang kecil lalu ditingkatkan dosisnya secara perlahan

lahan sehingga dampaknya tidak terlalu besar. Pemberian dosis pada malam hari dapat

membantu, atau perubahan dosis mungkin diperlukan. Jika efek tidur masih merupakan

masalah, pertimbangkanlah untuk melakukan perubahan kepada obat yang rasa kantuknya

kurang.

Pertambahan Berat Badan

Dapat merupakan masalah pada obat-obat tertentu. Mempertahankan diet yang sehat dan

banyak berolahraga sangat disarankan. Dokter Anda dapat menyediakan dukungan yang

sesuai untuk pengelolaan berat badan Anda.

Mulut Kering

Minumlah air yang dibubuhi jus jeruk limau, basahi dengan jeruk limau

dan gliserin, sesaplah es, atau makan permen karet tanpa gula, dsb.Jika cara-cara di atas

tidak berhasil, tanyalah pada apoteker Anda tentang air ludah (saliva) buatan.

Sembelit

Dapat menjadi masalah yang terus berlanjut. Memakan banyak makana

berserat dan meminum banyak air juga melakukan olahraga yang ringan sangat disarankan.
Penggunaan obat pelancar buang air besar atau pencahar (obat yang

mengencerkan tinja) dalam waktu singkat dapat membantu.

Kepala Terasa Ringan

Pening atau pusing pada saat berdiri dapat merupakan masalah. Jika Anda merasa pusing

pada saat berdiri, duduklah, tunggu sejenak, lalu perlahan‐lahan bangun kembali.

Mual

Dapat terjadi pada minggu pertama pengobatan. Meminum obat dengan makanan dapa

t membantu. Obat anti‐mual mungkin diperlukan.

Buang Air Kecil yang Tidak Terkendali

Cegahlah diri Anda dari minum pada malam hari; tuntaskan buang air kecil sebelum

tidur Jika kondisi ini mengganggu, dokter Anda dapat meninjau ulang dan meresepkan obat‐

obatan tertentu untuk mengatasi hal ini.

 Efek Samping Yang Mungkin Dari Penggunaan Antipsikotik

Efek Samping Pengobatan


Ketegangan otot, kekakuan yang Gejala-gejala ini dapat
berlebihan, gemetar, rasa gelisah dikendalikan dengan: Obat
dalam diri antikolinergik: benztropine,
benzhexol. Penghambat Beta:
propanolol.
Benzodiazepine: diazepam,
clonazepam, lorazepam.
Rasa Lelah/Mengantuk Masalah ini biasanya hilang seiring
berjalannya waktu. Penggunaan obat-
obatan yang lain yang juga
menyebabkan rasa kantuk akan
memperparah masalah. Hindari
menyetir mobil atau mengoperasikan
mesin jika rasa kantuk tetap ada.
Pusing Bangkit dari posisi tidur atau duduk
secara perlahan-lahan; Angkat kaki
Anda ke atas sisi tempat tidur
selama beberapa menit sebelu bangkit.
Jika rasa pusing tetap ada atau
Anda serasa akan pingsan, hubungilah
dokter Anda.
Mulut kering Permen yang rasanya asam, bongkahan
es, es loli, dan
permen karet tanpa gula dapat
membantu meningkatkan kadar
air liur dalam mulut Anda; coba
hindari yang manis-manis atau
minuman yang sarat kalori. Minum air
dan sikat gigilah secara teratur.
Pandangan yang Kabur Ini biasanya terjadi pada permulaan
pengobatan dan dapat berlangsung
selama 1-2 minggu. Membaca di bawah
cahaya yang terang atau dari kejauhan
dapat membantu; kaca pembesar
dapat menjadi alat bantu untuk
sementara waktu. Jika masalah
berlanjut, diskusikanlah
bersama dokter Anda.
Sembelit Tingkatkan makan makanan
yang berserat dalam diet Anda, minum
air banyak-banyak dan berolahragalah
secara teratur. Obat pencahar (obat
yang mengencerkan tinja) atau
pelancar buang air besar dapat
membantu buang air besar Anda
menjadi teratur.
Perubahan Berat Badan Batasi makan Anda.Mempertahankan
diet yang sehat dan cobalah hindari
makanan dengan kandungan lemak
yang tinggi. Mulailah berolahraga
secara teratur. Biarkan dokter Anda
tahu jika Anda memperhatikan ada
pertambahan drastis pada berat badan
atau pada lingkar pinggang Anda.

Mual atau Mulas Jika hal ini terjadi, minumlah obat


tersebutbersama dengan makanan.
Perubahan dalam Kemampuan/Hasrat Diskusikan dengan dokter Anda
Seksual tentang obat lain yang tidak punya efek
samping ini yang menjadi alternatif
yang cocok bagi Anda.

Peringatan umum

 Hindari paparan panas dan kelembaban yang berlebihan karena antipsikotik dapat
mempengaruhi kemampuan tubuh anda untuk mengatur perubahan suhu dan tekanan
darah.
 Antipsikotik dapat meningkatkan efek dari alkohol, membuat anda jadi lebih mengantuk,
pusing, dan kepala terasa jadi ringan.
 Antipsikotik dapat melumpuhkan kemampuan fisik dan mental yang dibutuhkan untuk
menyetir mobil atau mengoperasikan mesin. Hindari aktivitas-aktivitas ini jika anda
merasa mengantuk atau melambat.
 Jangan membelah atau menghancurkan obat kecuali jika anda disarankan untuk berbuat
demikian oleh dokter atau apoteker anda.
 Antasid yang bercampur dengan penyerapan obat-obatan ini dalam lambung anda akan
mengurangi efek obat antipsikotik tersebut. Untuk menghindari hal ini, minumlah antasid
setidaknya 2 jam sebelum atau 1 jam setelah meminum antipsikotik anda. (antasid adalah
obat yang menetralkan asam lambung - penerjemah)
 Minum minuman yang berkafein secara berlebihan (kopi teh, kola, dsb)
dapat menyebabkan kecemasan, pergolakan emosi, dan kegelisahan.
Minuman-minuman tersebut punya efek yang berlawanan dengan manfaat
dari antipsikotik anda.
 Merokok dapat mengubah kadar antipsikotik yang tersisa dalam aliran darah
anda, khususnya clozapine, olanzapine, dan haloperidol. Beritahukan dokter
anda jika anda melakukan perubahan terhadap kebiasaan merokok anda.
 Jangan menghentikan antipsikotik secara tiba-tiba karena hal ini dapat
berakibat munculnya gejala-gejala penghentian obat (withdrawal
symptoms) seperti mual, pusing, berkeringat, sakit kepala, gangguan tidur,
pergolakan emosi, dan gemetar, serta dapat juga berakibat kepada
kembalinya gejala- gejala psikotik.
 Ada perbedaan dalam keefektifan dan efek samping pada berbagai macam
antipsikotik; jika memungkinkan, sebaiknya pilihlah antipsikotik dengan
resiko efek samping yang paling rendah.
 Merupakan hal yang penting untuk meminum kapsul ziprasidone dan
lurasidone bersama-sama dengan makanan atau segera setelah makan untuk
meningkatkan ketersediaan obat-obat ini dalam darah anda.
 Asenapine: jika anda meminum obat lain, asenapine harus diminum paling
terakhir. Obat ini mesti ditempatkan di bawah lidah dan biarkan ia luluh
seluruhnya. Jangan makan atau minum selama 10 menit karena makan atau
minum selama waktu ini akan mempengaruhi cara asenapine bekerja.
BAB III

KESIMPULAN

Secara garis besar, Efek samping antipsikosis yaitu Sedasi dan inhibisi

psikomotor (mengantuk, psikomotor dan kognitif menurun); gangguan otonom:

hipotensi, antikolinergik/parasimpatolitik, mulut kering, susah miksi dan defek,

hidung tersumbat, tekanan intraokuler meningkat, mata kabur, gangguan irama

jantung; gangguan ekstrapiramidal: dystonia akut (tonus kaku, krisis okuligirikm

totricollis (leher terputar)) akatisia (tidak tenang, selalu mau jalan) restless leg

syndrom, sindrom parkinson (rigiditas, bradikinesia, tremor); gangguan endokrin:

amenore, ginekomastia; efek samping irreversible (tardive dyskinesia): gerakan

berulang involunter pada lidah, wajah, mulut dan anggota gerak. Tapi jika pasien

tidur, gejala menghilang; efek samping yang mematikan (syndrom neuropletic

maligna): hiperpireksia >38°C, Rigiditas, inkontinensia urin, perubahan status

mental dan kesadaran.

Adapun beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penanganan maupun

pengobatan dari efek samping antipsikosis adalah yaitu berkonsultasi terlebih

dahulu ke dokter akan hal-hal apa yang mungkin bisa saja terjadi jika

mengkonsumsi obat antipsikosis. Karena banyaknya efek samping yang mungkin

terjadi, dan pasti setiap obat memiliki efek samping jika dikonsumsi secara

berlebihan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Maramis, Willy F, Albert A. Maramis. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa
Edisi 2. Surabaya: Airlangga University Press.

2. Kusumawardhani A. 2015. Buku Ajar Psikiatri Edisi Kedua. Jakarta: Badan


Penerbit FKUI.

3. Maslim, Rusdi. 2014. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat


Psikotropik.

4. Ganiswarna G.Sulistia, et al. 2012. Farmakologi dan Terapi Edisi 6 Cetak


ulang dengan tambahan, 2016. Jakarta: Departemen Farmakologi dan
Terapeutik FKUI. 164p

5. Buku ajar psikiatri. 2010. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia; p 352–54.
6. A. Sadock, Virginia, Benjamin J. Sadock. 2010. Kaplan & Sadock Buku
Ajar Psikiatri Klinis Ed. 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

7. Psychopharmacology Institute. The Four Dopamine Pathways Relevant to


Antipsychotics Pharmacology. 2016. Available at:
https://psychopharmacologyinstitute.com/antipsychotics-videos/dopamine-
pathways-antipsychotics-pharmacology/

8. Psychopharmacology Institute. First Generation of Antipsychotics. 2016.


Available at: http://psychopharmacologyinstitute.com/antipsychotics/first-
generation-antipsychotics/

9. Rony Shiloh, MD, et al. Atlas of Psychiatric Pharmacotherapy. 2nd. UK:


Taylor and Francis, an imprint or the Taylor and Francis group, 2000.

10. Black, Donald W, Nancy C. Andreasen. 2013. Introductory Textbook of


Psychiatry DSM-5 Edition. American Psychiatric Publishing.

Anda mungkin juga menyukai