Anda di halaman 1dari 4

Perang Proxy antara Iran dan Arab Saudi di Suriah

I. Pendahuluan

Perang antara dua sumbu kekuatan negara bukan hal yang baru terjadi. Perang proxy
adalah perang yang terjadi disebabkan konflik yang disulut oleh lawan namun tidak saling
bertarung secara langsung. Perpecahan antara Iran dan Arab Saudi dapat digambarkan
sebagai perang dingin atau dapat juga dikatakan perang proksi yang terjadi dalam kawasan
Timur Tengah yang keduanya bertujuan untuk mendominasi negara-negara lain di kawasan
sesuai dengan kepentingannya. Perang proksi ini terjadi dalam medium konflik Suriah, di
mana Iran dan Arab Saudi memiliki kepentingan masing-masing yang mendorong mereka
untuk membantu pihak yang mereka dukung, yaitu Iran yang mendukung pemerintah Bashar
al-Assad dan juga Arab Saudi yang medukung kelompok oposisi atau Free Syrian Army
(FSA)

II. Pembahasan

Perang proxy adalah perang yang terjadi disebabkan konflik yang disulut oleh lawan yang
tidak saling bertarung secara langsung. Sebagai gantinya, mereka menggunakan pihak ketiga
untuk melakukan pertarungan tersebut. Kekuatan yang terlibat dalam proxy war biasanya adalah
negara-negara yang memiliki ideologi dan kepentingan yang saling bertentangan satu sama lain.

Perselisihan Iran dan Arab Saudi telah berlangsung lama, ini dimulai sejak Revolusi Iran
tahun 1979 yang dipimpin oleh Ayatullah Khomeini. Bentuk negara berubah dari monarki
absolut, menjadi sebuah Republik Islam yang berdasarkan pada ajaran agama Islam mazhab
Syiah, ini adalah bentuk pemerintahan dengan oposisi kuat terhadap imperialisme Barat. Ini juga
dianggap sebagai ancaman oleh keluarga kerajaan Saudi yang melihat diri mereka sebagai
pemimpin di Timur Tengah dan memiliki ikatan militer dan keuangan yang kuat dengan AS.

Persaingan antara Arab Saudi dan Iran pun kian hebat karena dari kedua negara tersebut
memiliki dua pandangan yang berbeda, yaitu Sunni dan Syiah. Persaingan antara kedua
pandangan ini sudah mengakar sejak perdebatan pasca Nabi Muhammad SAW meninggal.
Masing-masing dari Iran dan Arab Saudi saling berusaha untuk mendominasi pandangannya di
tanah Timur Tengah. Dua pandangan yang berbeda ini semakin meruncing dengan klaim Arab
Saudi yang menyatakan diri sebagai “pemimpin Sunni dunia.”, dan disisi lain Iran memiliki
penduduk Syiah terbesar dunia dan sejak revolusi Iran pada tahun 1979 menjadi “pemimpin
Syiah dunia.”. 0

Status Iran dan Arab Saudi sebagai eksponen utama Islam Syiah dan Sunni membuat
keduanya kemudian membangun aliansi dengan negara-negara yang memiliki teologi yang sama
dengan mereka. Tujuannya tentu untuk memperluas pengaruh dan kekuasaan di kawasan. Arab
Saudi pun memperkuat hubungan dengan pemerintah Sunni lainnya termasuk pembentukan
Dewan Kerja sama Teluk atau The Gulf Cooperation Council.

Sejak akhir tahun 2010, gelombang Arab Spring yang terjadi di Tunisia dan Mesir telah
menginspirasi negara-negara Timur Tengah untuk melakukan revolusi, termasuk Suriah.
Presiden Suriah, Bashar al-Assad sudah memimpin Suriah selama hampir 17 tahun dan masa
pemerintahannya dinilai sangat otoriter. Demonstrasi dimulai pada bulan Maret tahun 2011 di
Kota Deraa. Alasan demonstran turun ke jalan adalah karena pemerintah menangkap dan
menyiksa 15 orang anak sekolah yang membuat tulisan anti-pemerintah di sebuah dinding.
Masyarakat menyuarakan pembebasan anak-anak dan menuntut martabat serta kebebasan rakyat.
Mulanya, tidak ada satupun demonstrasi yang menginginkan rezim al-Assad untuk mundur.
Masyarakat justru berharap banyak pada sang Presiden muda agar dapat merespon tuntutan
tersebut. Namun berubah dari demonstrasi damai menjadi medan perang sipil antara pihak
pemerintah melawan masyarakat. Pemicunya adalah tragedi penembakan oleh tentara yang
menyebabkan 4 orang demonstran meninggal pada tanggal 18 Maret 2011. Masyarakat terkejut
akan tragedi ini, mereka kemudian menuntut lebih dari martabat dan kebebasan, masyarakat
ingin Presiden ashar al-Assad mundur dari jabatannya.

Konflik di Suriah merupakan konflik internal yang di-internasionalisasikan sebab banyak


negara berperan dibelakang konflik ini. Suriah adalah aktor penting di kawasan Timur Tengah,
tidak terkecuali bagi Arab Saudi. 75% penduduknya merupakan Sunni, namun kelompok elit
Suriah, termasuk keluarga Bashar al-Assad justru berhaluan Syiah sehingga keluarga Bashar al-
Assad mempunyai hubungan baik dengan Iran. Iran memandang perang Suriah sebagai bagian
dari perlawanan terhadap Dunia Barat yang sedang memperluas pengaruhnya ke negara-negara
Arab. Iran bahkan menyebut Arab Saudi ‘budak Barat’
Iran menjadi negara yang konsisten dalam mendukung al-Assad, menjadikan Suriah basis
kekuatannya di Timur Tengah. Iran aktif dalam memberikan bantuan kepada Presiden al-Assad
melalui pasukan militer radikal yang berafiliasi Syiah yang berdomisili dan dilegalkan di
Lebanon yaitu Hizbullah. Iran dan Suriah menjalin kerjasama ekonomi pada tanggal 25 Juli 2011
mengenai pembangunan pipa gas alam dari Iran ke Suriah senilai 10 milliar dollar, Iran juga
menyetujui untuk memberikan bantuan sebesar 23 miliar dollar kepada Suriah untuk
membangun pangkalan militer di Latakia untuk memfasilitasi pengiriman senjata dari Iran dan
Suriah agar mempermudah pengiriman senjata. Iran membantu Suriah dalam bentuk penasihat
militer, Brigadir Jenderal Hosssein Salami menyampaikan bahwa pemerintah Iran meningkatkan
kualitas dan jumlah pasukan di Suriah. Mereka bertugas memberikan arahan atau nasihat untuk
membantu angkatan bersenjata Suriah.

Di lain sisi, Arab Saudi mengirimkan bantuan senjata dan alat-alat berat untuk kelompok
oposisi. Kiriman kendaraan lapis baja dan senapan mesin secara resmi diterima oleh kelompok
pemberontak Free Syrian Army (FSA). Selain bantuan senjata, Arab Saudi juga mengirim
bantuan dana. Para pejuang FSA diberitakan menerima pembayaran gaji dalam mata uang dollar
atau euro. Gaji tentara pemberontak lebih tinggi dari gaji rata-rata pegawai pemerintah. Dengan
pembayaran itu, Arab Saudi berharap akan lebih banyak pegawai negeri Suriah yang beralih
mendukung kelompok pemberontak.

Intervensi militer yang dilakukan Arab Saudi berhasil mencegah pemberontakan


berkembang menjadi konflik yang lebih besar. Arab Saudi kemudian paham betul bahwa mereka
tidak punya pilihan lain selain harus menahan ekspansi kekuatan Iran apabila ingin tetap
bersaing i kawasan. Untuk melaksanakannya, Arab Saudi memastikan kembali negara-negara
ekutu/aliansinya benar-benar mempertahankan perjanjian sampai dengan akhir. Arab Saudi
meningkatkan partisipasi aktifnya di forum Gulf Cooperation Council (GCC). Upaya tersebut
imaksudkan agar negara-negara GCC mulai berani mengambil tindakan kolektif dalam menindak
Konflik Suriah. Di luar GCC, Arab Saudi juga melakukan penyeimbangan hubungan dengan
Mesir serta Lebanon yang selama bertahun-tahun menerima checkbook diplomacy Arab Saudi.

Ketika pada tahun 2015 Rusia mulai melakukan intervensi ke dalam Konflik Suriah demi
menyelamatkan posisi Assad, Arab Saudi meningkatkan bantuan ke pihak oposisi dan menyuplai
pihak oposisi dengan Rudal Anti-Tank Tube-launched, Optically-tracked, Wire-guided (TOW).
Pada bulan Mei 2015, Arab Saudi dan Turki dikabarkan sepakat untuk memfokuskan dukungan
mereka kepada Jaish al-Fatah, atau Tentara Penaklukan yang merupakan bagian dari Jabhat al-
Nusra. Akibatnya, Presiden Rusia, Vladimir Putin bersama Presiden Suriah, Bashar al-Assad
satu suara menuduh Arab Saudi sebagai pendukung utama terorisme di kawasan Timur Tengah.

Turki bersama dengan Arab Saudi telah menjalin hubungan yang kuat demi melawan
kediktatoran Assad. Turki sampai mengizinkan koalisi pimpinan Amerika Serikat menggunakan
pangkalan militernya untuk menyerang Suriah pada serangan bom bulan Juli 2015 (BBC, 2015).
Belum lagi, negara-negara Barat yang tergabung dalam koalisi yang dipimpin Amerika Serikat
juga sepakat bahwa Bashar al-Assad harus dijatuhkan karena pelanggarannya terhadap hak asasi
manusia sudah tidak dapat ditoleransi. Amerika Serikat diketahui memberikan bantuan militer
terbatas kepada pihak oposisi moderat. Sekretaris Pers Pentagon, Laksamana Muda John Kirby
menegaskan Amerika Serikat dan negara-negara lainnya akan terus berkomitmen mengawal
Konflik Suriah.Amerika Serikat masih terus memimpin intervensi militer ke Suriah hingga
sekarang. Pada Februari 2018, Amerika Serikat bertanggung jawab atas peluncuran serangan
udara dan tembakan rtileri terhadap pasukan Suriah di sebelah Timur provinsi Deir al-Zor.
Sehubungan dengan pengingkaran Iran terhadap perjanjian nuklir dibawah kepemimpinan obama
di Konflik Suriah, Presiden Trum bersumpah tidak akan segan dan akan mengambil tindakan
keras untuk memberikan sanksi kepada Iran.

Anda mungkin juga menyukai