Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Memasuki abad ke-20 bangsa Indonesia memulai fase baru dalam perjungan
untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan Belanda. Dalam masa baru itu,
pemimpin-pemimpin rakyat memilih strategi perjuangan melawan penjajahan yang
berbeda dengan yang dilakukan oleh nenek moyang yang melakukan perlawanan
bersenjata. Perjuangan yang dilaukan pada abad ke-20 tersebut adalah perjuangan
politik dengan organisasi modern yang kemudian dikenal sebagai zaman kebangkitan
nasional atau zaman pergerakan nasional.
Lahirnya strategi perjuangan pergerakan nasional ini tidak terlepas dari kondisi
yang muncul akibat politik etis yang dicetuskan oleh van deventer. Pelaksanaan
Politik etis pada dasarnya memberikan kesempatan yang lebih luas kepada penduduk
pribumi untuk menikmati pendidikan modern. Akibatnya, dalam waktu yang tidak
begitu lama muncul golongan elite baru berpendidikan Barat. Para elite baru ini
menuntut penghapusan diskriminasi sosial, ekonomi dan politik.
Salah satu cara yang dilakukan banga Indonesia menghadapi pemerintah
kolonial adalah mendirikan organisasi. Melalui organisasi itu dilakukan perjuangan,
baik berupa tuntutan kepada pemerintah maupun perbaikan di bangsa sendiri. Ada
organisasi yang secara tegas menyatakan diri sebagai organisasi politik, ada pula
yang menitikberatkan kegiatannya di bidang tertentu seperti agama, ekonomi dan
pendidikan. Adapun salah satu bentuk organisasi pergerakan nasional ini adalah
taman siswa.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana Berdirinya taman siswa ?


2. Bagaiman reaksi pemerintah terhadap taman siswa ?
3. Bagaimana sikap Taman Siswa pada revolusi ?
4. Bagaimana taman siswa setelah kemerdekaan?

1
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui dan memahami tentang bentuk organisasi pergerakan nasional
yakni taman siswa secara keseluruhan baik dari mulai latar belakang bahkan
sampai pada sikap taman siswa pada masa revolusi.
2. Untuk mengetahui kendala dalam perjalanan siswa yang dikembangkan di
Indonesia.

1.4 Manfaat
1. Dapat mengetahui dan memahami tentang bentuk organisasi pergerakan nasional
yakni taman siswa secara keseluruhan baik dari mulai latar belakang bahkan
sampai pada sikap taman siswa pada masa revolusi.
2. Dapat mengetahui kendala dalam perjalanan siswa yang dikembangkan di
Indonesia.

1.5 Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................


1.1.Latar Belakang .……………………………...…………….
1.2 Rumusan Masalah .………………………………………...
1.3 Tujuan Penulisan……………..………………………….....
1.4 Manfaat Penulisan…………...……………………………..
1.5 Sistematika Penulisan ..........................................................
BAB II PEMBAHASAN …………………………………….……….
A. Buah ………………………………………………………
B. Nyamuk……………………………………………………
C. Kerangka Berfikir………………………………………….
BAB III PENUTUP ................................................................................
A. Kesimpulan………….……………………………………
B. Saran ………………………………………………...……

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Latar Belakang Berdirinya Taman Siswa

Taman siswa berdiri pada 3 Juli 1922, pendirinya adalah Raden Mas Soewardi
Soeryaningrat atau yang biasa dikenal dengan Ki Hajar Dewantara. Awalnya, Taman
Siswa bernama Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa (Institut Pendidikan
Nasional Taman Siswa). Saat itu Taman Siswa hanya memiliki 20 murid kelas Taman
Indria. Namun, kemudian Taman Siswa berkembang pesat dengan memiliki 52 cabang
dengan murid kurang lebih 65.000 siswa. Azas Taman Siswa adalah “Ing Ngarsa Sung
Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”. Artinya “guru didepan
harus memberi contoh atau teladan, di tengah harus bisa menjalin kerjasama, dan
dibelakang harus memberi motivasi atau dorongan kepada para siswanya.” Azas ini
masih relevan dan penting dalam dunia pendidikan.
Awal pendirian Taman Siswa diawali ketidakpuasan dengan pola pendidikan yang
dilakukan oleh pemerintah kolonial, karena jarang sekali negara kolonial yang
memberikan fasilitas pendidikan yang baik kepada negara jajahannya. Seperti yang
dikatakan oleh ahli sosiolog Amerika “pengajaran merupakan dinamit bagi sistem
kasta yang dipertahankan dengan keras di dalam daerah jajahan”.
Oleh sebab itu, maka didirikanlah Taman Siswa, berdirinya Taman Siswa
merupakan tantangan terhadap politik pengajaran kolonial dengan mendirikan pranata
tandingan. Taman Siswa adalah badan perjuangan kebudayaan dan pembangunan
masyarakat yang menggunakan pendidikan dalam arti luas untuk mencapai cita-
citanya. Bagi Taman Siswa, pendidikan bukanlah tujuan tetapi media untuk mencapai
tujuan perjuangan, yaitu mewujudkan manusia Indonesia yang merdeka lahir dan
batinnya. Merdeka lahiriah artinya tidak dijajah secara fisik, ekonomi, politik, dsb,
sedangkan merdeka secara batiniah adalah mampu mengendalikan keadaan.
Dengan proses berdirinya Taman Siswa Ki Hajar Dewantara telah
mengesampingkan pendapat revolusioner pada masa itu, tetapi dengan seperti itu
secara langsung usaha Ki Hajar merupakan lawan dari politik pengajaran kolonial.
Lain dari pada itu kebangkitan bangsa-bangsa yang dijajah dan perlawanan terhadap
kekuasaan kolonial umumnya disebut dengan istilah nasionalisme atau paham
kebangsaan menuju kemerdekaan. Taman Siswa mencita-citakan terciptanya
pendidikan nasional, yaitu pendidikan yang berlaras kebudayaan sendiri. Dalam

3
pelaksanaanya pendidikan Taman Siswa akan mengikuti garis kebudayaan nasional
dan berusaha mendidik angkatan muda di dalam jiwa kebangsaan.
Pendidikan Taman Siswa dilaksanakan berdasar Sistem Among, yaitu suatu
sistem pendidikan yang berjiwa kekeluargaan dan bersendikan kodrat alam dan
kemerdekaan. Dalam sistem ini setiap pendidik harus meluangkan waktu sebanyak 24
jam setiap harinya untuk memberikan pelayanan kepada anak didik sebagaimana
orang tua yang memberikan pelayanan kepada anaknya. Sistem Among tersebut
berdasarkan cara berlakunya disebut Sistem Tut Wuri Handayani.
Dalam sistem ini orientasi pendidikan adalah pada anak didik, yang dalam
terminologi baru disebut Student Centered. Di dalam sistem ini pelaksanaan
pendidikan lebih didasarkan pada minat dan potensi apa yang perlu dikembangkan
pada anak didik, bukan pada minat dan kemampuan apa yang dimiliki oleh pendidik.
Apabila minat anak didik ternyata akan ke luar “rel” atau pengembangan potensi anak
didik di jalan yang salah maka pendidik berhak untuk meluruskannya.
Untuk mencapai tujuan pendidikannya, Taman Siswa menyelanggarakan kerja sama
yang selaras antar tiga pusat pendidikan yaitu lingkungan keluarga, lingkungan
perguruan, dan lingkungan masyarakat.
Pusat pendidikan yang satu dengan yang lain hendaknya saling berkoordinasi dan
saling mengisi kekurangan yang ada. Penerapan sistem pendidikan seperti ini yang
dinamakan Sistem Trisentra Pendidikan atau Sistem Tripusat Pendidikan.
Pendidikan Taman siswa berciri khas Pancadarma, yaitu Kodrat Alam
(memperhatikan sunatullah), Kebudayaan (menerapkan teori Trikon), Kemerdekaan
(memperhatikan potensi dan minat masing-masing individu dan kelompok),
Kebangsaan (berorientasi pada keutuhan bangsa dengan berbagai ragam suku), dan
Kemanusiaan (menjunjung harkat dan martabat setiap orang).
Selain itu, Taman Siswa mendobrak sistem pendidikan barat dan pondok
pesantren, dengan mengajukan sistem pendidikan nasional. Pendidikan nasional yang
ditawarkan adalah pendidikan bercirikan kebudayaan asli indonesia. Taman siswa
mengalami banyak kendala dari pihak-pihak yang tidak mendukung. Pemerintah
kolonial Hindia Belanda mengeluarkan berbagai aturan untuk membatasi pergerakan
Taman Siswa, seperti dikenai pajak rumah tangga dan undang-undang Ordonasi
Sekolah Liar Tahun 1932 yakni larangan mengajar bagi guru-guru yang terlibat partai
politik. Taman Siswa mampu menyediakan pendidikan untuk rakyat yang tidak

4
mampu disediakan oleh pemerintah kolonial. Saat ini sekolah Taman Siswa masih
berdiri dan tetap berperan bagi kemajuan pendidikan di Indonesia.

2.2 Reaksi Pemerintah Kolonial Terhadap Taman Siswa

Taman Siswa bisa dianggap sebagai tempat pemupukan kader masyarakat


Indonesia dimasa mendatang dan yang sudah pasti akan berusaha pula untuk
menumbangkan kekuasaan kolonial. Oleh karena itu pemerintah kolonial berusaha
untuk menghalang-halangi perkembangan Taman Siswa khususnya, dan sekolah-
sekolah partikelir umumnya. Sejak itu, Taman Siswa menghadapi perjuangan asasi,
melawan politik pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1931 timbul pendapat
dikalangan orang Belanda yang memperingatkan pemerintah, bahwa apabila tidak
diadakan peninjauan kembali, Taman Siswa akan menguasai keadaan dalam tempo
sepuluh tahun.
Pemerintah konservatif Gubernur Jenderal de jonge menyambut kegelisahan
orang Belanda dengan mengeluarkan “ordonansi pengawasan” yang dimuat dalam
Staatsblad no. 494 tanggal 17 September 1932. Isi dan tujuan dari ordonansi itu ialah
memberi kuasa kepada alat-alat pemerintah untuk mengurus wujud dan isi sekolah-
sekolah partikelir yang tidak dibiayai oleh negeri. Sekolah partikelir harus meminta
izin lebih dahulu sebelum dibuka dan guru-gurunya harus mempunyai izin mengajar.
Rencana pengajaran harus pula sesuai dengan sekolah-sekolah negeri, demikian juga
peraturan-peraturannya. Ordonansi itu menimbulkan perlawanan umum dikalangan
masyarakat Indonesia dan dimulai oleh prakarsa Ki Hajar Dewantara yang
mengirimkan protes lewat telegram kepada Gubernur Jenderal di Bogor pada tanggal 1
Oktober 1932.
Pada tanggal 3 Oktober 1932 Ki Hajar Dewantara mengirimkan maklumat kepada
segenap pimpinan pergerakan rakyat, dan menjelaskan lebih lanjut sikap yang diambil
Taman Siswa. Aksi melawan ordonansi ini disokong sepenuhnya oleh 27 organisasi,
antara lain Istri sedar, PSII, Dewan Guru Perguruan Kebangsaan di Jakarta, Budi
Utomo, Paguyuban Pasundan, Persatuan Mahasiswa, PPPI, Partindo, Muhammadiyah,
dan lain-lainnya. Golongan peranakan Arab dan Tionghoa juga menyokong aksi ini.
Pers nasional tidak kurang menghantam ordonansi itu melalui tajuk rencananya.
Mohammad Hatta sebagai pemimpin Pendidikan Nasional Indonesia, menganjurkan
supaya mengorganisasi aksi yang kuat. Pada bulan Desember 1932, Wiranatakusumah,

5
anggota Volksraad mengajukan pertanyaan pada pemerintah dan disusul pada bulan
Januari 1933 dengan sebuah usul inisiatif.
Usul inisiatif yang disokong oleh kawan-kawannya di Volksraad, berisi: menarik
kembali ordonansi yang lama serta mengangkat komisi untuk merencanakan
perubahan yang tetap. Budi Utomo dan Paguyuban Pasundan mengancam akan
menarik wakil-wakilnya dari dewan-dewan, apabila ordonansi ini tidak dicabut pada
tanggal 31 Maret 1933. Juga dikalangan para ulama aksi melawan ordonansi sekolah
liar ini mendapat sambutan, terbukti dengan adanya rapat-rapat Persyarikatan Ulama
di Majalengka dan Ulama-ulama Besar di Minangkabau. Pemerintah terkejut akan
tekad perlawanan akan masyarakat Indonesia dan setelah mengeluarkan beberapa
penjelasan dan mengadakan pertemuan dengan Ki Hajar Dewantara, akhirnya dengan
keputusan Gubernur Jenderal tanggal 13 Februari 1933 ordonansi Sekolah liar diganti
dengan ordonansi baru.
Perlawanan Taman Siswa terhadap ordonansi sekolah liar merupakan masa
gemilang bagi sejarahnya, yang juga berarti mempertahankan hak menentukan diri
sendiri bagi bangsa Indonesia. Sesudah itu Taman Siswa akan mengadakan lagi
perlawanan terhadap peraturan pemerintah kolonial yang dapat dianggap merugikan
rakyat. Pada tahun 1935 Taman Siswa mempunyai 175 cabang yang tersebar di
sekolahnnya ada 200 buah, dari mulai sekolah rendah hingga sekolah menengah.

2.3 Sikap Taman Siswa Pada Revolusi dan Indonesia Merdeka


Pada saat setelah Indonesia merdeka Taman Siswa mengadakan Rapat Besar
(Konferensi) yang ke-9 di Yogyakarta. Tapi pada masa kemerdekaan ini tidak semua
guru Taman Siswa menyadari akan datang juga masa baru untuk Perguruan nasional
mereka. Dalam Rapat besar itu terdapat tiga pendapat dikalangan Taman Siswa dalam
menghadapi kemerdekaan. Pertama, pendapat bahwa tugas Taman Siswa telah selesai
dengan tercapainya Indonesia merdeka. Karena menurut pendukung pendapat ini,
peran taman siswa sebagai penggugah keinsafan nasional sudah habis, dan faktor
melawan pemerintah jajahan tidak ada lagi. Kedua, Taman Siswa masih perlu ada,
sebelum pemerintah Republik dapat mengadakan sekolah-sekolah yang mencukupi
keperluan rakyat. Lagi pula isi sekolah-sekolah negeri pun belum dapat diubah
sekaligus sebagai warisan sistem pengajaran yang lampau. Ketiga, sekolah-sekolah
partikelir yang memang mempunyai dasar sendiri tetap diperlukan, walaupun nantinya
jumlah sekolah sudah cukup dan isinya juga sudah nasional.

6
Perbedaan pendapat dikalang Taman Siswa membawa dampak yang tidak bisa
dielakan, para pendukung pendapat pertama banyak yang meninggalkan Taman Siswa.
Taman Siswa banyak ditinggalkan oleh pendukung akatif yang tahan uji. Namun hal
ini tidak mengherankan karena sebenarnya orang-orang Taman Siswa hanya berpindah
tempat mengisi kemerdekaan. Misal saja bapak Taman Siswa sendiri, Ki Hajar
Dewantara, pada awal kemerdekaan menjadi Mentri Pendidikan, Pengajaran dan
Kebudayaan yang pertama didalam pemerintahan. Bagi Taman Siswa sendiri yang
terpenting ialah pembentukan panitia yang berkewajiban meninjau kembalinya
peraturan Taman Siswa dengan segala isinya. Panitia ini diketuai oleh S.
Manggoensarkoro dan kesimpiulan panitia ini diterima dalam Rapat Besar Umum
(Kongres) V di Yogyakarta pada bulan Desember 1947.
Pada masa itu, Belanda sudah memulai aksi militernya yang pertama pada 21 Juli
1947, sehingga Rapat Besar Umum, membahas tentang kedudukan cabang-cabang di
daerah pendudukan. Di daerah pendudukan Belanda muncul sebutan “sekolah liar”
tapi tidak hanya sekolah partikelir saja tapi sekolah republik pun dinyatakan “sekolah
liar” ketika sekolah di Jakarta ditutup, maka gedung Taman Siswa di jalan Garuda 25
dibanjiri oleh murid-murid. Semangat yang luar biasa ditunjukan oleh sekolah Taman
Siswa yang berada di daerah pendudukan, mereka berusaha mempertahankan sekolah
mereka meski Majelis Luhur di Yogyakarta tidak menyetujui diteruskanya sekolah di
daerah pendudukan. Tapi akhirnya majelis Luhur mengizinkan untuk membuka terus
cabang-cabang Taman Siswa di daerah pendudukan.

2.4 Taman Siswa Setelah Kemerdekaan

Salah satu masalah yang dihadapi Taman Siswa setelah kemerdekaan ialah
meninjau kembali hubungan dengan pemerintah kita sendiri, terutama dalam hal
penerimaan subsidi. Di kalang perguruan tinggi, banyak perbedaan dalam menghadapi
masalah ini, yaitu mereka yang dapat menerima subsidi itu dan digunakan untuk
pengelolaan sekolah tapi tetap melihat berapa besar pengaruhnya agar tidak
menggangu prinsip “merdeka mengurus diri sendiri” dan mereka yang beranggapan
agar melepas sikap oposisi seperti pada masa kolonial karena dianggap tidak cocok
saat Indonesia merdea. Pada tahun 1946, sempat ada keterbukaan untuk menghadapi
masa kemerdekaan untuk merumuskan kembali sas dan dasar , namun dalam
pelaksanaanya mengenai subsidi ini masih banyak yang ingin memelihara keadaan
seperti yang lalu.

7
` Di kalangan para pemimpin sedikitnya tedapat dua aliran. Yang pertama aliran
yang memnginginkan Taman Siswa terlepas dari sistem pendidikan pemerintah,
merupakan lembaga pendidikan yang independen, hidup dalam cita-citanya sendiri
dan terus berusaha agar sebagian masyarakat menerima konsep pendidikan nasional.
Caranya ialah dengan tetap mempertahankan sistem pondok yang relatif terasing dari
masyarakat sekitarnya. Aliran pemikiran yang kedua ialah mereka yang berpendapat
bahwa perkembangan masyarakat Indonesia baru sangat berbeda dengan keadaan
zaman kolonial, oleh karena perubahan perlu dihadapi dengan pemikiran baru. Taman
Siswa dapat menyumbangkan pengalaman dan keahlian untuk Menteri Pendidikan
dalam usahanya mengembangkan kebijaksanaan politik pendidikan nasional.

8
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Taman siswa merupakan lembaga pendidikan nasional yang pertama kali berdiri
di Indonesia, perguruan ini berdiri pada tanggal 3 juli 1922 dan didirikan oleh
seorang keturunan kraton Yogyakarta yang bernama Raden Mas Soewardi
Soeryaningrat yang kemudian saat genap berumur 40 tahun beliau mengganti
namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara, pergantian nama ini dimaksudkan agar
beliau lebih dekat dengan rakyatnya. Sementara Perguruan Taman Siswa Sawit
Seberang berdiri pada tanggal 22 Juni 1988. Perguruan Taman Siswa Sawit Seberang
mempunyai empat jurusan yaitu Taman Dewasa (SMP), Taman Madya (SMA),
Taman Madya Bisnis Manajemen (SMK-BM) dan Taman Madya Teknik Industri
(SMK-TI).
Lembaga ini bertujuan menyesuaikan sistem pendidikan dengan kebudayaan
Indonesia. Tujuan tersebut dapat tercapai dengan pancadarma taman siswa yang
meliputi dasar kodrat alam, dasar kemerdekaan, dasar kebudayaan, dasar kebangsaan
atau kerakyatan dan dasar kemanusiaan. Dalam pendidikan, Taman Siswa hendak
mewujudkan sistem among untuk mengadakan pola belajar asah, asih, asuh dan
diterapkan pola kepemimpinan “ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karsa,
tut wuri handayani” yang artinya seorang pemimpin haru dapat menjadi contoh,
memberi motivasi, dan mendorong untuk maju.

3.2 Saran

1. Pendidikan bukanlah tujuan tetapi media untuk mencapai tujuan perjuangan, yaitu
mewujudkan manusia yang merdeka lahir dan batinnya. Merdeka lahiriah artinya
tidak dijajah secara fisik, ekonomi, politik, dsb, sedangkan merdeka secara
batiniah adalah mampu mengendalikan keadaan. Jadi, belajarlah akan tidak
terjajah kembali oleh kebodohan.

9
DAFTAR PUSTAKA

http://rafisociality.blogspot.com/2013/06/sejarah-taman-siswa-makalah.html

10

Anda mungkin juga menyukai