Anda di halaman 1dari 9

NAMA : AGRINIA ILZA ISHLAHIYAH

NIM : 04011381823212
KELAS: BETA 2018

LIMFADENITIS TB
A. DEFINISI
Limfadenitis merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah bening. Jadi,
limfadenitis tuberkulosis (TB) merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah
bening yang disebabkan oleh basil tuberkulosis (Ioachim, 2009).
Apabila peradangan terjadi pada kelenjar limfe di leher disebut dengan scrofula
(Dorland, 1998). Limfadenitis pada kelenjar limfe di leher inilah yang biasanya paling
sering terjadi (Kumar, 2004). Istilah scrofula diambil dari bahasa latin yang berarti
pembengkakan kelenjar. Hippocrates (460-377 S.M.) menyebutkan istilah tumor skrofula
pada sebuah tulisannya (Mohaputra, 2009). Penyakit ini juga sudah dikenal sejak zaman
raja-raja Eropa pada zaman pertengahan dengan nama “King’s evil”, dimana dipercaya
bahwa sentuhan tangan raja dapat menyembuhkannya (McClay, 2008). Infeksi
M.tuberculosis pada kulit disebabkan oleh perluasan langsung tuberkulosis ke kulit dari
struktur dasar atau terpajan melalui kontak dengan tuberkulosis disebut dengan
scrofuloderma (Dorland, 1998).

B. EPIDEMIOLOGI
Selama beberapa abad tuberkulosis merupakan salah satu penyakit terparah pada
manusia. Dari semua penyakit infeksi, tuberkulosis masih merupakan penyebab kematian
tersering. WHO memprediksikan insidensi penyakit tuberkulosis ini akan terus
meningkat, dimana akan terdapat 12 juta kasus baru dan 3 juta kematian akibat penyakit
tuberkulosis setiap tahun. Sepertiga dari peningkatan jumlah kasus baru disebabkan oleh
epidemi HIV, dimana tuberkulosis menyebabkan kematian pada satu orang dari tujuh
orang yang menderita AIDS (Ioachim, 2009).
Indonesia pada tahun 2009 menempati peringkat kelima negara dengan insidensi
TB tertinggi di dunia sebanyak 0,35-0,52 juta setelah India (1,6-2,4 juta), Cina (1,1-1,5
juta), Afrika Selatan (0,40-0,59 juta), dan Nigeria (0,37-0,55 juta) (WHO, 2010). Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 menempatkan TB sebagai penyebab
kematian terbesar ketiga setelah penyakit kardiovaskular dan penyakit saluran
pernapasan, dan merupakan nomor satu terbesar dalam kelompok penyakit infeksi
(Depkes, 2007).
Tuberkulosis dapat melibatkan berbagai sistem organ di tubuh. Meskipun TB
pulmoner adalah yang paling banyak, TB ekstrapulmoner juga merupakan salah satu
masalah klinis yang penting. Istilah TB ekstrapulmoner digunakan pada tuberkulosis
yang terjadi selain pada paru-paru. Berdasarkan epidemiologi TB ekstrapulmoner
merupakan 15-20% dari semua kasus TB pada pasien HIV-negatif, dimana limfadenitis
TB merupakan bentuk terbanyak (35% dari semua TB ekstrapulmoner). Sedangkan pada
pasien dengan HIV-positif TB ekstrapulmoner adalah lebih dari 50% kasus TB, dimana
limfadenitis tetap yang terbanyak yaitu 35% dari TB ekstrapulmoner (Sharma, 2004).
Limfadenitis TB lebih sering terjadi pada wanita daripada pria dengan
perbandingan 1,2:1 (Dandapat, 1990). Berdasarkan penelitian terhadap data demografik
60 pasien limfadenitis TB didapat 41 orang wanita dan 19 orang pria dengan rentang
umur 40,9 ± 16,9 (13 – 88) (Geldmacher, 2002). Penelitian lainnya terhadap 69 pasien
limfadenitis TB didapat 48 orang wanita dan 21 orang pria dengan rentang umur 31,4 ±
13,1 (14 – 60) (Jniene, 2010).

C. ETIOLOGI
Limfadenitis tuberkulosis disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis.
Mycobacteria tergolong dalam famili Mycobactericeae dan ordo Actinomyceales. Spesies
patogen yang termasuk dalam Mycobacterium kompleks, yang merupakan agen
penyebab penyakit yang tersering dan terpenting adalah Mycobacterium tuberculosis.
Yang tergolong dalam Mycobacterium tuberculosae complex adalah : 1. M. tuberculosae,
2. M. bovis, 3. M. caprae, 4. M. africanum, 5. M. Microti, 6. M. Pinnipedii, 7. M.canettii
Pembagian tersebut berdasarkan perbedaan epidemiologi (Raviglione, 2010).
Basil TB adalah bakteri aerobik obligat berbentuk batang tipis lurus berukuran
sekitar 0,4 x 3 µm dan tidak berspora. Pada media buatan berbentuk kokoid dan
filamentous tampak bervariasi dari satu spesies ke spesies lain. Mycobacteria termasuk
M.tuberculosis tidak dapat diwarnai dengan pewarnaan Gram dan hanya dapat diwarnai
dengan pewarnaan khusus serta sangat kuat mengikat zat warna tersebut sehingga tidak
dapat dilunturkan walaupun menggunakan asam alkohol, sehingga dijuluki bakteri tahan
asam (Raviglione, 2010; Jawetz, 2004). M.tuberculosis mudah mengikat pewarna
ZiehlNeelsen atau karbol fuksin (Kumar, 2004).
Dinding bakteri Mikobakterium kaya akan lipid yang terdiri dari asam mikolat,
lilin, dan fosfat. Muramil dipeptida yang membuat kompleks dengan asam mikolat dapat
menyebabkan pembentukan granuloma. Lipid inilah yang bertanggung jawab pada sifat
tahan asam bakteri Mikobakterium. Penghilangan lipid dengan menggunakan asam yang
panas menghancurkan sifat tahan asam bakteri ini (Brooks, 2004).
Bakteri ini mendapatkan energi dari oksidasi banyak komponen karbon
sederhana. Penambahan CO2 meningkatkan pertumbuhan. Aktivitas biokimia tidak khas
dan laju pertumbuhannya lebih lambat daripada kebanyakan bakteri. Waktu replikasi
basil tuberkulosis sekitar 18 jam. Bentuk saprofit cenderung tumbuh lebih cepat,
berproliferasi dengan baik pada temperatur 22-23°C, dan tidak terlalu bersifat tahan asam
bila dibandingkan dengan bentuk patogennya (Brooks, 2004).

D. PATOGENESIS
Secara umum penyakit tuberkulosis dapat diklasifikasikan menjadi TB pulmoner
dan TB ekstrapulmoner. TB pulmoner dapat diklasifikasikan menjadi TB pulmoner
primer dan TB pulmoner post-primer (sekunder). TB primer sering terjadi pada anakanak
sehingga sering disebut child-type tuberculosis, sedangkan TB post-primer (sekunder)
disebut juga adult-type tuberculosis karena sering terjadi pada orang dewasa, walaupun
faktanya TB primer dapat juga terjadi pada orang dewasa (Raviglione, 2010).
Basil tuberkulosis juga dapat menginfeksi organ lain selain paru, yang disebut
sebagai TB ekstrapulmoner. Menurut Raviglione (2010), organ ekstrapulmoner yang
sering diinfeksi oleh basil tuberkulosis adalah kelenjar getah bening, pleura, saluran
kemih, tulang, meningens, peritoneum, dan perikardium.
TB primer terjadi pada saat seseorang pertama kali terpapar terhadap basil
tuberkulosis (Raviglione, 2010). Basil TB ini masuk ke paru dengan cara inhalasi droplet.
Sampai di paru, basil TB ini akan difagosit oleh makrofag dan akan mengalami dua
kemungkinan. Pertama, basil TB akan mati difagosit oleh makrofag. Kedua, basil TB
akan dapat bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag sehingga basil TB akan
dapat menyebar secara limfogen, perkontinuitatum, bronkogen, bahkan hematogen.
Penyebaran basil TB ini pertama sekali secara limfogen menuju kelenjar limfe regional di
hilus, dimana penyebaran basil TB tersebut akan menimbulkan reaksi inflamasi di
sepanjang saluran limfe (limfangitis) dan kelenjar limfe regional (limfadenitis). Pada
orang yang mempunyai imunitas baik, 3 – 4 minggu setelah infeksi akan terbentuk
imunitas seluler. Imunitas seluler ini akan membatasi penyebaran basil TB dengan cara
menginaktivasi basil TB dalam makrofag membentuk suatu fokus primer yang disebut
fokus Ghon. Fokus Ghon bersama-sama dengan limfangitis dan limfadenitis regional
disebut dengan kompleks Ghon. Terbentuknya fokus Ghon mengimplikasikan dua hal
penting. Pertama, fokus Ghon berarti dalam tubuh seseorang sudah terdapat imunitas
seluler yang spesifik terhadap basil TB. Kedua, fokus Ghon merupakan suatu lesi
penyembuhan yang didalamnya berisi basil TB dalam keadaan laten yang dapat bertahan
hidup dalam beberapa tahun dan bisa tereaktivasi kembali menimbulkan penyakit (Datta,
2004).
Jika terjadi reaktivasi atau reinfeksi basil TB pada orang yang sudah memiliki
imunitas seluler, hal ini disebut dengan TB post-primer. Adanya imunitas seluler akan
membatasi penyebaran basil TB lebih cepat daripada TB primer disertai dengan
pembentukan jaringan keju (kaseosa). Sama seperti pada TB primer, basil TB pada TB
post-primer dapat menyebar terutama melalui aliran limfe menuju kelenjar limfe lalu ke
semua organ (Datta, 2004). Kelenjar limfe hilus, mediastinal, dan paratrakeal merupakan
tempat penyebaran pertama dari infeksi TB pada parenkim paru (Mohapatra, 2009).
Basil TB juga dapat menginfeksi kelenjar limfe tanpa terlebih dahulu menginfeksi
paru. Basil TB ini akan berdiam di mukosa orofaring setelah basil TB masuk melalui
inhalasi droplet. Di mukosa orofaring basil TB akan difagosit oleh makrofag dan dibawa
ke tonsil, selanjutnya akan dibawa ke kelenjar limfe di leher (Datta, 2004).

E. MANIFESTASI KLINIS
Limfadenitis adalah presentasi klinis paling sering dari TB ekstrapulmoner.
Limfadenitis TB juga dapat merupakan manifestasi lokal dari penyakit sistemik. Pasien
biasanya datang dengan keluhan pembesaran kelenjar getah bening yang lambat. Pada
pasien limfadenitis TB dengan HIV-negatif, limfadenopati leher terisolasi adalah
manifestasi yang paling sering dijumpai yaitu sekitar dua pertiga pasien. Oleh karena itu,
infeksi mikobakterium harus menjadi salah satu diagnosis banding dari pembengkakan
kelenjar getah bening, terutama pada daerah yang endemis. Durasi gejala sebelum
diagnosis berkisar dari beberapa minggu sampai beberapa bulan (Mohapatra, 2004).
Limfadenitis TB paling sering melibatkan kelenjar getah bening servikalis,
kemudian diikuti berdasarkan frekuensinya oleh kelenjar mediastinal, aksilaris,
mesentrikus, portal hepatikus, perihepatik dan kelenjar inguinalis (Mohapatra, 2004).
Berdasarkan penelitian oleh Geldmacher (2002) didapatkan kelenjar limfe yang terlibat
yaitu: 63,3% pada kelenjar limfe servikalis, 26,7% kelenjar mediastinal, dan 8,3% pada
kelenjar aksila, dan didapatkan pula pada 35% pasien pembengkakan terjadi pada lebih
dari satu tempat. Menurut Sharma (2004), pada pasien dengan HIV-negatif maupun HIV-
positif, kelenjar limfe servikalis adalah yang paling sering terkena, diikuti oleh kelenjar
limfe aksilaris dan inguinalis.
Pembengkakan kelenjar limfe dapat terjadi secara unilateral atau bilateral, tunggal
maupun multipel, dimana benjolan ini biasanya tidak nyeri dan berkembang secara
lambat dalam hitungan minggu sampai bulan, dan paling sering berlokasi di regio
servikalis posterior dan yang lebih jarang di regio supraklavikular (Mohapatra, 2004).
Keterlibatan multifokal ditemukan pada 39% pasien HIV-negatif dan pada 90% pasien
HIV-positif. Pada pasien HIV-positif, keterlibatan multifokal, limfadenopati intratorakalis
dan intraabdominal serta TB paru adalah sering ditemukan (Sharma, 2004). Beberapa
pasien dengan limfadenitis TB dapat menunjukkan gejala sistemik yaitu seperti demam,
penurunan berat badan, fatigue dan keringat malam. Lebih dari 57% pasien tidak
menunjukkan gejala sistemik (Mohapatra, 2004). Terdapat riwayat kontak terhadap
penderita TB pada 21,8% pasien, dan terdapat TB paru pada 16,1% pasien (Mohapatra,
2004).
Menurut Jones dan Campbell (1962) dalam Mohapatra (2004) limfadenopati
tuberkulosis perifer dapat diklasifikasikan ke dalam lima stadium yaitu:
1. Stadium 1, pembesaran kelenjar yang berbatas tegas, mobile dan diskret.
2. Stadium 2, pembesaran kelenjar yang kenyal serta terfiksasi ke jaringan sekitar oleh
karena adanya periadenitis.
3. Stadium 3, perlunakan di bagian tengah kelenjar (central softening) akibat
pembentukan abses.
4. Stadium 4, pembentukan collar-stud abscess.
5. Stadium 5, pembentukan traktus sinus. Gambaran klinis limfadenitis TB bergantung
pada stadium penyakit. Kelenjar limfe yang terkena biasanya tidak nyeri kecuali (i)
terjadi infeksi sekunder bakteri, (ii) pembesaran kelenjar yang cepat atau (iii)
koinsidensi dengan infeksi HIV.
Abses kelenjar limfe dapat pecah, dan kemudian kadang-kadang dapat terjadi
sinus yang tidak menyembuh secara kronis dan pembentukan ulkus. Pembentukan fistula
terjadi pada 10% dari limfadenitis TB servikalis (Mohapatra, 2004). Berdasarkan
penelitian oleh Jniene (2010) dari 69 pasien limfadenitis TB didapat 11 orang dengan
pembengkakan kelenjar yang nyeri dan 6 orang dengan adanya pembentukan fistula.
Terdapat juga 10 orang dengan pembengkakan kelenjar yang disertai adanya tanda-tanda
inflamasi tetapi tidak disertai oleh adanya fistula. Secara klasik, sinus tuberkulosis
mempunyai pinggir yang tipis, kebiru-biruan, dan rapuh dengan pus cair yang sedikit.
Skrofuloderma adalah infeksi mikobakterial pada kulit disebabkan oleh perluasan
langsung infeksi TB ke kulit dari struktur dibawahnya atau oleh paparan langsung
terhadap basil TB (Mohapatra, 2004).
Limfadenitis TB mediastinal lebih sering terjadi pada anak-anak. Pada dewasa
limfadenitis mediastinal jarang menunjukkan gejala. Manifestasi yang jarang terjadi pada
pasien dengan keterlibatan kelenjar limfe mediastinal termasuk disfagia, fistula
oesophagomediastinal, dan fistula tracheo-oesophageal. Pembengkakan kelenjar limfe
mediastinal dan abdomen atas juga dapat menyebabkan obstruksi duktus toraksikus dan
chylothorax, chylous ascites ataupun chyluria. Pada keadaan tertentu, obstruksi biliaris
akibat pembesaran kelenjar limfe dapat menyebabkan obstructive jaundice. Tamponade
jantung juga pernah dilaporkan terjadi akibat limfadenitis mediastinal (Mohapatra, 2004).
Pembengkakan kelenjar getah bening yang berukuran ≥ 2 cm biasanya disebabkan
oleh M.tuberculosis. Pembengkakan yang berukuran < 2 cm biasanya disebabkan oleh
mikobakterium atipik, tetapi tidak menutup kemungkinan pembengkakan tersebut
disebabkan oleh M.tuberculosis (Narang, 2005).
F. DIAGNOSIS
Untuk mendiagnosa limfadenitis TB diperlukan tingkat kecurigaan yang tinggi,
dimana hal ini masih merupakan suatu tantangan diagnostik untuk banyak klinisi
meskipun dengan kemajuan teknik laboratorium. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
lengkap, pewarnaan BTA, pemeriksaan radiologis, dan biopsi aspirasi jarum halus dapat
membantu dalam membuat diagnosis awal yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam
memberikan pengobatan sebelum diagnosis akhir dapat dibuat berdasarkan biopsi dan
kultur (Bayazit, 2004). Juga penting untuk membedakan infeksi mikobakterium
tuberkulosis dengan non-tuberkulosis. Beberapa pemeriksaan yang dilakukan untuk
menegakkan diagnosa limfadenitis TB :
a. Pemeriksaan mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi yang meliputi pemeriksaan mikroskopis dan kultur.
Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen. Spesimen
untuk pewarnaan dapat diperoleh dari sinus atau biopsi aspirasi. Dengan pemeriksaan
ini kita dapat memastikan adanya basil mikobakterium pada spesimen, diperlukan
minimal 10.000 basil TB agar perwarnaan dapat positif (Mohapatra, 2009; Bayazit,
2004).
Kultur juga dapat dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis limfadenitis
TB. Adanya 10-100 basil/mm3 cukup untuk membuat hasil kultur positif. Hasil kultur
positif hanya pada 10-69% kasus (Mohapatra, 2009). Berbagai media dapat
digunakan seperti Petregnani, Trudeau, Middle-brook, dan Bactec TB. Diperlukan
waktu beberapa minggu untuk mendapatkan hasil kultur. Pada adenitis tuberkulosa,
M.tuberculosis adalah penyebab tersering, diikuti oleh M.bovis (Bayazit, 2004).
b. Tes Tuberkulin
Pemeriksaan intradermal ini (Mantoux Test) dilakukan untuk menunjukkan
adanya reaksi imun tipe lambat yang spesifik untuk antigen mikobakterium pada
seseorang. Reagen yang digunakan adalah protein purified derivative (PPD).
Pengukuran indurasi dilakukan 2-10 minggu setelah infeksi. Dikatakan positif apabila
terbentuk indurasi lebih dari 10 mm, intermediat apabila indurasi 5-9 mm, negatif
apabila indurasi kurang dari 4 mm (Mohapatra, 2009).
c. Pemeriksaan Sitologi
Spesimen untuk pemeriksaan sitologi diambil dengan menggunakan biopsi
aspirasi kelenjar limfe. Sensitivitas dan spesifitas pemeriksaan sitologi dengan biopsi
aspirasi untuk menegakkan diagnosis limfadenitis TB adalah 78% dan 99% (Kocjan,
2001). CT scan dapat digunakan untuk membantu pelaksanaan biopsi aspirasi
kelenjar limfe intratoraks dan intraabdominal (Sharma, 2004). Pada pemeriksaan
sitologi akan terlihat Langhans giant cell, granuloma epiteloid, nekrosis kaseosa.
Muncul kesulitan dalam pendiagnosaan apabila gambaran konvensional seperti sel
epiteloid atau Langhans giant cell tidak ditemukan pada aspirat. Pada penelitian yang
dilakukan oleh Lubis (2008), bahwa gambaran sitologi bercak gelap dengan materi
eusinofilik dapat digunakan sebagai tambahan karakteristik tuberkulosis selain
gambaran epiteloid dan Langhans giant cell. Didapati bahwa aspirat dengan
gambaran sitologi bercak gelap dengan materi eusinofilik, dapat memberikan hasil
positif tuberkulosis apabila dikultur.
d. Pemeriksaan Radiologis
Foto toraks, USG, CT scan dan MRI leher dapat dilakukan untuk membantu
diagnosis limfadenitis TB. Foto toraks dapat menunjukkan kelainan yang konsisten
dengan TB paru pada 14-20% kasus. Lesi TB pada foto toraks lebih sering terjadi
pada anak-anak dibandingkan dewasa, yaitu sekitar 15% kasus (Bayazit, 2004).
USG kelenjar dapat menunjukkan adanya lesi kistik multilokular singular atau
multipel hipoekhoik yang dikelilingi oleh kapsul tebal (Bayazit, 2004). Pemeriksaan
dengan USG juga dapat dilakukan untuk membedakan penyebab pembesaran kelenjar
(infeksi TB, metastatik, lymphoma, atau reaktif hiperplasia). Pada pembesaran kelenjar
yang disebabkan oleh infeksi TB biasanya ditandai dengan fusion tendency, peripheral
halo, dan internal echoes (Khanna, 2011).
Pada CT scan, adanya massa nodus konglumerasi dengan lusensi sentral, adanya
cincin irregular pada contrast enhancement serta nodularitas didalamnya, derajat
homogenitas yang bervariasi, adanya manifestasi inflamasi pada lapisan dermal dan
subkutan mengarahkan pada limfadenitis TB (Bayazit, 2004).
Pada MRI didapatkan adanya massa yang diskret, konglumerasi, dan konfluens.
Fokus nekrotik, jika ada, lebih sering terjadi pada daerah perifer dibandingkan sentral,
dan hal ini bersama-sama dengan edema jaringan lunak membedakannya dengan kelenjar
metastatik (Bayazit, 2004).

Anda mungkin juga menyukai