Anda di halaman 1dari 5

Lawang Sewu Yang Penuh Mistis

Saat berkunjung ke Semarang tempat yang tidak boleh dilewatkan untuk dikunjungi
adalah sebuah gedung tua yang terletak di Simpang Lima Tugu Muda yaitu Lawang Sewu.
Saat ke Semarang kemaren itu saya juga menyempatkan diri untuk kesana meskipun saya
sudah pernah kesana sebelumnya, tapi itu dulu sekitar dua atau tiga tahun yang lalu.
Kebetulan siang hari saat itu saya tidak pergi kemana-mana, hanya tiduran di kost teman
saja karena bertepatan dengan hari Jum'at yang waktunya cukup sempit. Lagi pula cuaca
Kota Semarang saat itu sedang tidak bagus, mendung di siang hari dan akhirnya turun hujan
juga.
Pada malam harinya saya baru bisa keluar untuk jalan-jalan keliling kota. Ditemani oleh
teman-teman saya yang kuliah di Semarang yaitu Frandy, Roby, Tity, dan Andi dari Jogja.
Kami memutuskan untuk pergi ke Lawang Sewu. Sebenernya yang ngotot ke Lawang Sewu
adalah Andi karena dia yang belum pernah masuk ke Lawang Sewu.
Jam 10 malam kami sudah tiba di Lawang Sewu, lalu kami menemui seorang pemandu
bernama Pak Toto' yang menjadi pemandu langganan kami jika mengunjungi Lawang Sewu.
Sayang sekali Pak Toto' tidak bisa menemani kami malam itu karena beliau sedang ada tamu.
Salah saya juga sih tidak menelpon Pak Toto' terlebih dahulu. Akhirnya Pak Toto'
mencarikan temannya untuk menjadi pemandu kami.
Setelah mendapatkan pemandu kami segera masuk ke pintu gerbang Lawang Sewu. Pak
Aji yang menemani kami malam itu. Pada pintu masuk kita diharuskan untuk membayar tiket
sebesar 10 ribu, padahal dulu itu masih 5 ribu saja. Pak Toto' sudah berpesan sebelumya, jika
membeli tiket kami harus meminta kertas tiketnya karena jika kami tidak memintanya uang
tersebut bakal masuk ke kantong yang jaga tiket, bukan masuk ke kas negara. So buat teman-
teman yang mau ke Lawang Sewu jika masuk selalu minta kertas tiketnya, karena kalo nggak
minta biasanya nggak dikasih.
Tiket sudah dibeli, kami masuk melalui pintu utama Lawang Sewu. Pak Aji mulai
menjelaskan tentang sejarah Lawang Sewu ini. Dulunya tempat ini adalah kantor Nederlands-
Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) yang dibangun pada tahun 1903 dan selesai pada
tahun 1907. Tapi setelah kemerdekaan Indonesia gedung kuno ini digunakang sebagai kantor
PT Kereta Api Indonesia. Ketika berlangsung pertemputan lima hari di Semarang, gedung ini
dijadikan lokasi pertempuran melawan Jepang. Kenapa dinamai Lawang Sewu? Karena
jumlah pintunya yang sangat banyak, tapi nggak ada yang tau berapa jumlah pintu yang
sebenarnya.
Dari lantai satu kami naik menuju lantai berikutnya sambil mendengarkan penjelasan dari
pemandu kami. Tidak lupa foto-foto dulu di atas. Dari atas gedung Lawang Sewu kita bisa
melihat Simpang Lima Tugu Muda yang sudah mulai sepi karena memang hari sudah malam.
Kami lalu melanjutkan menuju ruang pembantaian, ya ruang pembantaian. Dulu ruangan
tersebut digunakan oleh penjajah untuk membunuh para tawanan-tawanan dari Indonesia.
Tempatnya cukup membuat merinding. Dulu sewaktu kunjungan saya ke Lawang Sewu yang
pertama, tidak setiap orang bisa masuk ke ruang pembantaian ini. Biasanya si pemandu akan
meminta ijin apakah kita diperbolehkan masuk atau tidak. Tapi untuk kali ini yang saya lihat
semua orang bebas keluar masuk ruang pembantaian, tentu saja dengan ditemani oleh
pemandu.
Dari gedung yang terletak di depan kami bergeser menuju gedung yang ada di belakang
dengan yang dihubungkan dengan sebuah jembatan. Saat berada di jembatan, Pak Aji
mempersilahkan kami jika ingin foto-foto terlebih dahulu. Tentu saja tawaran tersebut tidak
kami sia-siakan. Saya yang memegang kamera mulai mengambil foto teman-teman saya.
Anehnya saat saya menekan shuter pada kamera, pada layar LCD kamera terlihat seperti ada
air yang mengalir yang menghalangi kamera saya. Saya lanjutkan menekan shuter kamera
tersebut dan hasilnya gambar tidak fokus, padahal saat itu masih ada cahaya meskipun sangat
sedikit dan juga flash kamera pada posisi ON. Berulang kali saya mengambil foto teman-
teman saya tapi berkali-kali juga gagal, hasilnya tidak fokus.
Saya sudah menyerah untuk mengambil foto, kemudian Pak Aji menawarkan agar dia saja
yang mengambil foto biar saya ikut terfoto. Berkali-kali juga Pak Aji menekan shuter kamera
dan hasilnya sama saja dengan saya sebelumnya, gagal dan tidak fokus!! Karena mungkin
merasa ada hal yang aneh, Pak Aji dengan segera mengajak kami untuk pergi dari tempat itu.
Kami berjalan menuju ruangan berikutnya yang disebut lorong kereta, unik juga menurut
saya. Dinamai lorong kereta karena saat kita di depan pintu tersebut pandangan akan lurus
terus berupa pintu-pintu yang membentuk sebuah lorong yang sangat panjang. Dan disini
kamera saya berfungsi dengan normal padahal kondisi ruangan sangat gelap hampir tidak ada
cahaya. Cahaya hanya dari lampu senter Pak Aji saja.
Dari lorong kereta kemudian kami ke ruang bawah tanah yang dulu biasa digunakan untuk
uji nyali di sebuah televisi swasta. Sayang sekali sekarang kita tidak bisa lagi masuk ke ruang
bawah tanah tersebut. Nggak tau kapan lagi ruang bawah tanah bisa dimasuki kembali,
mungkin setelah pemugaran Lawang Sewu ini selesai karena saat ini memang sedang dalam
proses pemugaran.
Tapi sebagai gambaran akan saya ceritakan pengalaman saya masuk ke ruang bawah tanah
saat ke Lawang Sewu beberapa tahun yang lalu. Untuk masuk ke ruang bawah tanah kita
harus menggunakan sepatu bot karena kondisi ruang bawah tanah itu terdapat genangan air
sedalam kira-kira 30cm. Ruangannya cukup pengap karena ventilasinya sangat kecil, hampir
nggak ada yang tau kalo itu ventilasi. Jika kita melihat ke arah luar dari ventilasi tersebut,
mata kita sejajar dengan dataran tanah yang ada di luar.
Sebenarnya ruang bawah tanah ini digunakan sebagai penjara. Terdapat dua macam
penjara yang ada di ruang bawah tanah, yaitu penjara duduk dan penjara berdiri. Untuk
penjara duduk tingginya mungkin hanya 1 meter lalu ada tutupnya di atasnya. orang yang
dipenjara disitu akan berjongkok selama dipenjara dan berjubel dengan banyak orang.
Sementara itu untuk penjara bediri tingginya sangat cukup untuk saya dengan tinggi badan
177cm, hanya saja lebarnya sangat sempit. Sewaktu saya coba dengan teman saya masuk
bersamaan berdua saja sudah sangat sempit, tapi katanya untuk penjara berdiri ini bisa diisi 4
sampai 6 orang. Bisa dibayangkan sendiri bertapa tersiksanya orang-orang yang dipenjara
saat itu.
Selain itu di ruang bawah tanah juga terdapat tempat untuk pemenggalan kepala. Yah,
pemenggalan kepala para tahanan yang ada disini. Kemudian kepala yang sudah dipenggal
tersebut dibuang ke dalam sungai yang ada di belakang Lawang Sewu melalui ventilasi-
ventilasi yang ada. Karena itulah ruang bawah tanah ini dianggap sebagai tempat yang paling
mengerikan di Lawang Sewu.
Karena kami tidak bisa masuk ke dalam ruang bawah tanah dan hanya bisa melihatnya
dari luar, kami melanjutkan keliling gedung tua ini. Kami sudah sampai pada halaman
belakang yang terdapat pohon mangga yang besar, menambah kesan angker tempat ini. Kami
duduk-duduk terlebih dahulu untuk bersantai di halaman belakang ini karena berkali-kali
Frandy terjatuh, mulai jatuh dari tangga saat turun tadi, tersandung sebuah plat besi sampai
berdarah kakinya, dan juga tersandung batu saat di bawah pohon mangga. Nggak tau kenapa,
lagi apes atau lagi apa sampe-sampe bisa kesandung berkali-kali.
Setelah cukup berisitirahat kami keluar dari halaman belakang tersebut menuju ke depan,
berakhirnlah petualangan kami di Lawang Sewu malam itu. Sebelum keluar Pak Aji bercerita
kalau selama perjalanan di dalam tadi hanya ada satu makhluk gaib yang mengganggu kami,
ya sewaktu kami berfoto di jembatan itu tadi. Yah percaya nggak percaya sih. Kami pun
berpamitan dengan Pak Aji sambil memberikan tips seikhlasnya. Tapi sebelum keluar dari
area Lawang Sewu kami foto-foto dulu karena di depan pintu masuk tadi terdapat sebuah
kereta tua yang cukup antik, sayang kalo dilewatkan untuk berfoto ria. Hehe..
Yah ini lah Lawang Sewu bangunan yang cukup unik, cantik, misterius, menyeramkan,
dan penuh daya magis yang membuat banyak orang terpikat untuk datang kesini. Terlepas
dari itu semua apakah benar ada atau tidaknya makhluk gaib disana, bagi saya gedung tua ini
memang luar biasa karena nilai sejarahnya. Dan sudah sepantasnya Lawang Sewu menjadi
bangunan bersejarah yang patut dilindungi, tidak hanya oleh Pemerintah Kota Semarang tapi
kita semua.
Valentine
Ami heboh membongkar-bongkar almari. Dia mencari baju yang berwarna pink. Setidak-
tidaknya yang bernuansa pink. Ada pesta Valentine di kampus. Warna itu menjadi tiket
masuk. Warna lain akan ditolak. Kecuali mau beli kaus oblong dari panitia yang berwarna
pink. Tapi harganya selangit.

“Buat apa beli kaus oblong 200 ribu, kan pakainya juga hanya sekali,”kata Ami terus
membongkar.Bu Amat ikut membantu Ami mencari-cari, sampai-sampai terlambat
menyiapkan makan malam. Amat langsung protes. “Kenapa sih pakai ikut-ikutan valentin-
valentinan. Itu kan bukan budaya kita!” Ami dan ibunya tidak peduli. “Mana makannya?
Nanti maag-ku kumat!”

Bu Amat tak mendwengar. Ia terus membantu Ami mencari. Amat jadi kesal. Tapi makin
dia kesal, makin Ami dan Bu Amat lebih tidak peduli. Amat jadi marah. Dia salin pakaian,
lalu keluar rumah. “Ke mana Pak?” “Mau ikut valentine!” kata Amat tanpa menoleh.

Amat ke tukang sate di tikungan. Dia mau makan enak. Tapi ternyata tidak jualan.
Orangnya kelihatan mau berangkat kundangan. Dia tersenyum melihat Amat datang. “Mau
ke situ juga Pak Amat?” “Ke situ ke mana? Mau cari makan ini. Kenapa tutup?”

“Kan hari besar pak Amat.” “Ah sejak kapan tukang sate ikut-ikutan valentine?” “Bukan.
Saya mau ke tempat Yuk Lee, kan ada makan-makan. Pak Amat mau ke situ juga
kan?”“Lee?” “Ya” “Sejak kapan di situ diundang Yuk Lee?” “Ya namanya juga silaturahmi
Pak Amat. Tidak perlu undangan. Kalau kita tahu ya harus datang. Saya kan langganan tetap
dia dulu waktu masih jualan kue. Ayo ikutan.” “Ah, mau cari makan ni!”

“Makan di situ saja, pasti enak semua! Yuk Lee pasti seneng kalau Pak Amat datang. Ayo
Pak!” Tukang sate itu menstater motornya. “Ya sudah, ikut sampai di alun-alun, nanti turun
di situ, makan ketupat!” Amat naik ke boncengan. Tapi kemudian tidak turun di alun-alun,
sebab asyik ngobrol. Tahu-tahu sudah sampai ke rumah Lee.

“Lho kok jadi ke sini?” kata Amat kaget. Tukang sate hanya nyengir. Amat hampir saja
mau kabur, tapi Lee muncul. Dia berteriak menyapa tukang sate. Waktu melihat Amat dia
langsung datang dan mengguncang tangan Amat. “Terimakasih pak Amat, terimakasih
sudah datang. Tumben ini. Mimpi apa saya Pak Amat mau datang? Kebetulan semua pada
sedang makan ini. Ayo cepetan masuk, Pak Amat. Jangan di luar, ke dalam saja!”

Amat dan tukang sate dibawa masuk ke dalam rumah. Ternyata dalam rumah lebar dan
mewah. Padahal darii luar kelihatan sederhana. Lee memang kaya-raya, tapi tidak pernah
pamer menunjukkan kekayaannya. Dia mulai dari jualan kue. Tiap hari istri dan anak-
anaknya keliling. Lama-lama meningkat. Dasar ulet, sekarang tokonya ada lima. Mobilnya
banyak. Tapi hubungannya dengan orang-orang yang dulu menjadi langganan kuenya tetap
baik. “Terimakasih Pak Amat, sudah mau datang ke rumah kami,”kata istri Lee menyambut.

Amat kemudian diperkenalkan kepada ketujuh putra-putri Lee. Ada yanhg sekolah di
Amerika. Ada yang di Australia. Ada yang di Singapura. Ada juga yang di Hong Kong. Yang
paling besar di rumah membantu Lee.
Amat malu sekali, seakan-akan Lee tahu dia datang untuk cari makan. Mula-mula Amat
hanya sekedar nyicip. Tapi setelah melihat tukang sate dan tamu-tamu lain makan dengan
rakus, Amat jadi lupa daratan. Ia makan sekenyang-kenyangnya.

Banyak sekali tamu datang silih berganti. Lee tak sempat lagi ngobrol dengan Amat. Dan
ketika pulang, tak sempat lagi pamitan, sebab tamu semakin malam semakin melimpah.
Diam-diam Amat dan tukang sate itu meninggalkan rumah Lee. “Heran sudah kaya raya
begitu, tamu-tamunya semua kok kelas naik motor seperti kita. Nggak ada mobil-mobil
mewah ya,”kata Amat. Tukang sate ketawa. “Yang naik mobil nggak akan mau datang Pak
Amat.” “Kenapa?” “Pasti malu,” “Lho kenapa? Kan silaturahmi?” “Nanti dikira cari Ang
Pao.”

“Ang Pao?” “Ya. Kalau buat kita sih rezeki. Orang-orang pakai mobil itu mana mau dapat
amplop begini,:kata tukang sate merogoh dari sakunya dan menyerahkan pada Amat, ”ini
untuk Pak Amat!” Amat terkejut menerima amplop itu. “Untuk saya ini?” “Ya untuk pak
Amat.” “Bukannya untu di situ saja.”“Saya sudah dapat Pak Amat. Tadi istri Lee sengaja
ngasih lewat saya, dia tahu pak Amat pasti tidak akan mau kalau dikasih langsung.”

Amat tertegun. “Gimana? Apa untuk saya saja?” Sekarang jelas. Banyak yang datang ke
rumah Lee, karena mengejar ang pao. Amat jadi malu. Ia ingin sekali mengembalikan amplop
itu. Tapi tak mungkin. Itu bisa jadi salah paham.

“Gimana pak Amat? Untuk saya saja?” Hampuir saja Amat mau menyerahkan amplop
itu. Tapi jari tangannya merasakan amplop itu tebal. Ia jadi merasa saying. “Ini tradisi mereka
ya?” “Betul pak Amat. Setiap tahun saya selalu ke situ. Tahun lalu juga. Isinya lumayan.
Bagaimana itu untuk saya saja?”“Tapi ini tradisi mereka kan?”

“Betul pak Amat.” “Bukan soal uangnya, tapi soal tradisi kan? Kita menghormati tradisi
kan?” “Betul.” “Ya sudah. Demi silahturahmi, saya terima ini. Terimakasih sudah ngajak ke
situ tadi.” “Tapi amplopnya untuk saya kan?” Amat menggeleng. “Meskipun Lee tidak
melihat, kalau amplop ini saya berikan situ, berarti saya tidak menghargai Lee. Itu tidak baik.
Jadi saya terima saja untuk silahturahmi.” Amat lalu mengulurkan tangan. Mereka
bersalaman. Tukang sate nampak gembira. “Yuk Lee pasti senang sekali Pak Amat
menerima amplop itu. Tadinya istrinya sudah berpesan, kalau pak Amat tidak mau, ya buat
saya saja. Apa buat saya saja Pak Amat?”

Amat ketawa. Tanpa menjawab lagi dia pulang. Rasanya tubuhnya berisi. Di kantungnya
ada amplop yang menurut ketebalannya tidak akan kurang dari satu juta. Sambil bersiul-siul,
Amat masuk ke dalam rumah.Ami kelihatan nongkrong di depan televisi bersama Bu
Amat.“Lho tidak ikut valentine?”“Nggak ada baju pink.”“Beli saja!”“Duitnya dari
mana?”Amat ketawa. Dia merogoh amplop dan menyerahkan pada Ami.“Nih. Lebihnya
untuk Ibu.”Ami dan Bu Amat melirik amplop itu dengan heran. Amat langsung saja
menembak.“Kita ini masyarakat plural, jadi harus bisa hidup saling menghargai. Itu namanya
silahturahmi,”kata Amat.Ami diam saja.“Coba kalau tadi ngomong begitu, Ami sudah
berangkat,”kata Bu Amat, “Bapak ini selalu terlambat!”

Anda mungkin juga menyukai