Anda di halaman 1dari 8

PENGANTAR TEKNOLOGI MINERAL

PERKEMBANGAN TAMBANG DIINDONESIA

Disusun oleh :

Nama : 1. Zulian Fariz


Npm : 10070117115
Kelas :C

PROGRAM PEMBINAAN MAHASISWA BARU


PROGRAM STUDI TEKNIK PERTAMBANGAN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
1438 H / 2017 M
PERKEMBANGAN TAMBANG DI INDONESIA

Pertambangan merupakan suatu proses untuk mendapatkan material


yang terkandung di dalam Bumi. Di Indonesia sendiri, kegiatan pertambangan
telah berlangsung sejak dulu kala. Berdasarkan catatan sejarah, kegiatan
pertambangan dan energi di Indonesia dimulai dengan kegiatan pertambangan
yang dilakukan secara tradisional oleh penduduk dengan seizin penguasa
setempat, seperti Raja atau Sultan.

A. SEJARAH PERKEMBANGAN PERTAMBANGAN DI INDONESIA


1. PRA KEMERDEKAAN RI
a. Tahun 1602 Pemerintah Belanda membentuk VOC yang selain menjual
rempah-rempah, VOC juga mulai melakukan perdagangan hasil
pertambangan.
b. Tahun 1652 mulailah dilakukan penyelidikan berbagai aspek ilmu alam
oleh para ilmuwan dari Eropa.
c. Tahun 1850 Pemerintah Hindia Belanda membentuk Dienst van het
Mijnwezen atau Dinas Pertambangan yang berkedudukan di Batavia
untuk lebih mengoptimalkan penyelidikan geologi dan pertambangan
menjadi lebih terarah.
d. Menjelang tahun 1920, sesuai dengan rencana Pemerintah Hindia
Belanda, Bandung dijadikan sebagai ibukota Hindia Belanda. Karena itu
pula dilakukanlah persiapan untuk memindahkan kantor Mijnwezen ke
Bandung. Lalu Departement Burgerlijke Openbare Werken atau
Departemen Pekerjaan Umum yang membawahi Mijnwezen mulai
menempati Gedung Sate di Bandung.
e. Tahun 1922, lembaga Mijnwezen ini berganti nama menjadi Dienst van
den Mijnbouw.
f. Tahun 1928 Pemerintah Hindia Belanda mulai membangun gedung
Geologisch Laboratorium yang terletak di jalan Wilhelmina Boulevard
untuk kantor Dienst van den Mijnbouw dan diresmikan pada tanggal 16
Mei 1929. Selanjutnya gedung ini digunakan untuk penyelenggaraan
sebagian dari acara Pacific Science Congress ke IV. Gedung ini sekarang
bernama Museum Geologi, yang beralamat di Jalan Diponegoro No. 57
Bandung.
g. Pada masa penjajahan Jepang (1942-1945), Mijnbouw dengan segala
sarana dan dokumennya diambil alih oleh Jepang dan namanya diganti
menjadi Chisitsu Chosasho.

2. PASCA KEMERDEKAAN RI
a. Tahun 1945 : Lembaga pertama yang menangani Pertambangan di
Indonesia adalah Jawatan Tambang dan Geologi yang dibentuk pada
tanggal 11 September 1945. Jawatan ini, semula bernama Chisitsu
Chosajo, bernaung di Kementerian Kemakmuran.
b. Tahun 1952 :Jawatan dan Geologi yang pada saat itu berada di
Kementerian Perindustrian, berdasarkan SK Menteri Perekonomian no.
2360a/M Tahun 1952, di ubah menjadi Direktorat Pertambangan yang
terdiri atas Pusat Jawatan Pertambangan dan Pusat Jawatan Geologi.
c. Tahun 1957 : Berdasarkan Keppres no.131 Tahun 1957 Kementerian
Perekonomian dipecah menjadi Kementerian Perdagangan dan
Kementerian Perindustrian. Berdasarkan SK Menteri Perindustrian no.
4247 a/M tahun 1957, Pusat-pusat dibawah Direktorat Pertambangan
berubah menjadi Jawatan Pertambangan dan Jawatan Geologi.
d. Tahun 1959 : Kementerian Perindustrian dipecah menjadi Departemen
Perindustrian Dasar/Pertambangan dan Departemen Perindustrian
Rakyat dimana bidang pertambangan minyak dan gas bumi berada
dibawah Departemen Perindustrian Dasar dan Pertambangan.
e. Tahun 1961 : Pemerintah membentuk Biro Minyak dan Gas Bumi yang
berada dibawah Departemen Perindustrian Dasar dan Pertambangan.
f. Tahun 1962 ; Jawatan Geologi dan Jawatan Pertambangan diubah
menjadi Direktorat Geologi dan Direktorat Pertambangan.
g. Tahun 1963 : Biro Minyak dan Gas Bumi diubah menjadi Direktorat
Minyak dan Gas Bumi yang berada dibawah kewenangan Pembantu
Menteri Urusan Pertambangan dan Perusahaan-perusahaan Tambang
Negara.
h. Tahun 1965 : Departemen Perindustrian Dasar/Pertambangan dipecah
menjadi 3 departemen, yaitu: Departemen Perindustrian Dasar,
Departemen Pertambangan dan Departemen Urusan Minyak dan Gas
Bumi. Pada tanggal 11 Juni 1965 Menteri Urusan Minyak dan Gas Bumi
menetapkan berdirinya Lembaga Minyak dan Gas Bumi (Lemigas).
i. Tahun 1966 : Departemen Urusan Minyak dan Gas Bumi dilebur menjadi
Kementerian Pertambangan dan Migas yang membawahi Departemen
Minyak dan Gas Bumi.
j. Tahun 1966 : dalam Kabinet Ampera, Departemen Minyak dan Gas Bumi
dan Departemen Pertambangan dilebur menjadi Departemen
Pertambangan.
k. Tahun 1978 : Departemen Pertambangan berubah menjadi Departemen
Pertambangan dan Energi.
l. Tahun 2000 : Departemen Pertambangan dan Energi berubah menjadi
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral.

Penyelenggaraan kegiatan pertambangan dan energi telah mengalami


perjalanan yang panjang sejak sebelum merdeka, dalam masa kemerdekaan,
dan hingga mencapai keadaan sekarang ini. Pada awal kemerdekaan, kegiatan
pengelolaan pertambangan dan energi menghadapi berbagai kesulitan dan tidak
banyak yang dapat diperbuat di bidang usaha ini. Di beberapa tempat, fasilitas
pertambangan dan energi dibumihanguskan agar tidak dapat dipakai oleh
kekuatan kolonial. Walaupun demikian, kegiatan di bidang ini tidak dapat
dikatakan lumpuh sama sekali. Pada masa itu bangsa Indonesia telah mampu
memproduksi minyak bumi sebanyak 6.000 barel per hari, batubara 37.000 ton
per tahun, timah 1.050 ton per tahun, serta memproduksi tenaga listrik yang
berasal dari pembangkit tenaga listrik perusahaan swasta yang dinasionalisasi
dan milik pemerintah sebesar 504.000 MWh. Penyediaan listrik ini dilakukan oleh
perusahaan listrik dan gas yang diambil alih dari pemerintah pendudukan Jepang
dan selanjutnya diberi nama Jawatan Listrik dan Gas. Kemudian dengan
Penetapan Pemerintah Nomor 1/S.D. Tahun 1945, jawatan ini dimasukkan ke
dalam struktur Departemen Pekerjaan Umum. Penting untuk dicatat pula adalah
berhasilnya upaya penyelamatan dokumen dan peta kekayaan tambang dan
mineral Indonesia, yang kemudian menjadi modal utama dalam pencarian
kekayaan mineral serta membangun sektor pertambangan dan energi.
Setelah pengakuan kedaulatan pada bulan Desember 1949, semua
saham perusahaan minyak milik pemerintah kolonial Belanda dialihkan ke
Pemerintah Indonesia. Kegiatan di sektor pertambangan dan energi mulai
dilakukan kembali dengan merehabilitasi dan mengelola instalasi-instalasi yang
dibangun di jaman penjajahan. Namun kegiatan eksplorasi dan produksi masih
sangat terbatas. Kegiatan penyelidikan geologi, eksplorasi dan hasil
pertambangan dalam periode ini belum menunjukkan perkembangan yang
berarti. Sementara itu kapasitas penyediaan tenaga listrik menunjukkan
peningkatan dengan dilakukannya perbaikan dan pembangunan beberapa
pembangkit tenaga listrik. Sesuai dengan perkembangan pada saat itu, Jawatan
Listrik dan Gas diganti namanya menjadi Jawatan Tenaga pada tahun 1950
dengan tugas mengelola perusahaan listrik dan gas bekas milik pemerintah
Belanda; sedangkan perusahaan listrik dan gas swasta dikembalikan kepada
pemiliknya semula, sesuai
hasil persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB). Selanjutnya
dikeluarkan Keputusan Presiden RI Nomor 163 Tahun 1953 tentang
nasionalisasi perusahaan listrik milik bangsa asing di Indonesia jika waktu
konsesinya habis. Beberapa perusahaan listrik dan gas swasta Belanda yang
dinasionalisasikan pada saat itu dimasukkan ke dalam Jawatan Tenaga.
Di bidang pertambangan umum, dikeluarkannya Undang-Undang Nomor
86 Tahun 1958 tentang nasionalisasi perusahaan pertambangan milik Belanda
merupakan peristiwa penting bagi pembangunan pertambangan selanjutnya.
Pada tahun 1959 semua perusahaan Belanda antara lain perusahaan tambang
batubara, timah, emas, dan bauksit ditetapkan pengelolaannya oleh Biro Urusan
Perusahaan-perusahaan Tambang Negara (BUPTAN). Konsesi-konsesi
pertambangan sejak perang kemerdekaan yang tidak diusahakan lagi atau baru
diusahakan dalam tahap permulaan dikenakan pembatalan hak-hak
pertambangan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1959. Daerah-daerah bekas konsesi yang dibatalkan hanya dapat diusahakan
oleh perusahaan negara atau perusahaan milik daerah Swatantra.
B. ISU-ISU TENTANG TAMBANG INDONESIA
1. Isu Lingkungan di Sekitar Tambang
Isu lingkungan hidup di sekitar pertambangan merupakan sebuah isu
serius yang perlu mendapat perhatian, baik dari para pengambil kebijakan
maupun mereka yang peduli kepada pelestarian lingkungan.
Lingkungan di sekitar daerah tambang merupakan salah satu isu yang
tidak bisa dilepaskan dari satu hal, yakni dampak kerugian yang mungkin muncul
akibat aktivitas penambangan. Sudah terlalu banyak berita yang
menginformasikan kepada kita perihal rusaknya lingkungan di area sekitar
penambangan.
Ambillah contoh di wilayah Indonesia, yang memiliki penambangan emas
berskala kecil yang terus bertambah terutama dalam sepuluh tahun terakhir.
Secara statistik, ada 250.000 sampai 1 juta orang petambang di setiap pulau di
Indonesia. Mereka ini bisa menambang emas sebanyak 60 ton dalam setahun.
Sebuah angka yang sungguh luar biasa.
Betapapun luar biasanya angka yang ditunjukkan kepada kita,
penambangan emas di Indonesia membawa konsekuensi lingkungan yang
serius. Ambilah contoh mengenai penggunaan merkuri untuk penambangan
emas, misalnya.
Karena tambang emas ilegal marak di beberapa wilayah, seperti Aceh,
tanah menjadi terkontaminasi merkuri yang konon mencapai 1000 miligram/kilo
tanah. Ini adalah ukuran yang sebetulnya mencerminkan kontaminasi merkuri
paling tinggi di dunia.
Masalah semacam ini menjadi bertambah serius mengingat harga emas
yang cenderung naik di pasar dunia. Orang berbondong-bondong menggali
tanah untuk mendulang emas, namun tidak memikirkan konsekuensi dan
ancaman yang diakibatkan oleh penambangan emas.
Meski demikian, agaknya kebanyakan lokasi penambangan merupakan
ruang yang memang dibiarkan untuk dirusak, terlepas dari ilegal atau tidaknya
aktivitas penambangan. Bahan kimia seperti merkuri merupakan bom waktu bagi
lingkungan, penyebab rusaknya ekosistem, dan ini barulah yang ancaman
pertama.
Memang, mereka para pendulang emas itu memperoleh hasil sepadan,
berupa kemakmuran material, namun di tengah kemakmuran ada yang tersakiti,
yakni lingkungan. Selain isu lingkungan, banyak juga perusahaan tambang legal
yang mengambil wilayah hidup warga sekitar, mulai dari hutan adat, kebun,
sampai lahan pertanian.
Jadi, perlahan-lahan bisa dilihat bahwa isu pernambangan adalah isu
yang kompleks. Banyak segi dari lingkungan yang hancur karena pertambangan,
dan jelas ini bukanlah sebuah isu yang mudah untuk ditangani karena harus
melibatkan banyak pihak, termasuk pengambil kebijakan (pemerintah),
masyarakat sekitar, dan LSM.
2. Holding Tambang Bakal Efektif Mulai 29 November
Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) segera menuntaskan
rencana pembentukan holding BUMN tambang. PT Indonesia Asahan
Alumunium (Inalum) akan menjadi induk perusahaan (holding) BUMN Industri
Pertambangan, sementara PT Aneka Tambang (Antam) Tbk, PT Bukit Asam
Tbk, dan PT Timah Tbk, akan menjadi anak perusahaan (anggota holding).
Pemerintah saat ini memegang saham mayoritas di ketiga BUMN
Tambang yang juga sudah go public tersebut, yaitu PT Aneka Tambang Tbk
(ANTM) 65 persen, PT Bukit Asam Tbk (PTBA) 65,02 persen, dan PT Timah Tbk
(TINS) 65 persen. Saham mayoritas milik pemerintah di ketiga BUMN tersebut
dialihkan ke PT Inalum (Persero) yang 100 persen sahamnya dimiliki negara.
Meski berubah statusnya, ketiga anggota holding BUMN tambang itu
tetap diperlakukan sama dengan BUMN untuk hal-hal yang sifatnya strategis
sehingga negara tetap memiliki kontrol terhadap ketiga perusahaan itu, baik
secara langsung melalui saham dwi warna, maupun tidak langsung melalui PT
Inalum. Hal itu diatur pada PP 72 Tahun 2016.
Dengan demikian, Harry menuturkan, segala hal strategis yang dilakukan
oleh perusahaan anggota holding, semua tetap dalam kontrol negara sama
dengan sebelum menjadi anggota holding, termasuk yang terkait hubungan
dengan DPR apabila akan diprivatisasi.

C. Analisa Dunia tambang kedepannya


Untuk kedepannya tambang batubara agak sedikit suram karena
kekuatan ekonomi, kekhawatiran akan polusi, dan persaingan dengan bahan
bakar yang lebih bersih membuat negara-negara di dunia perlahan-lahan
menyingkir dari batubara yang dulu sukses menggerakkan revolusi industri.
Amerika Serikat (AS) hanya akan mengonsumsi 943 juta ton batubara
tahun ini, sebanyak yang dikonsumsi pada 1993. Saat ini, negara tersebut siap
mengadopsi aturan polusi yang mungkin melarang pembangunan pembangkit
listrik listrik berbahan batubara. Dan China, yang mengonsumsi 4 miliar ton
batubara per tahun – setara dengan konsumsi dunia jika digabungkan – tengah
mengambil langkah-langkah untuk memperlambat pertumbuhan konsumsi
batubaranya.
Seperti dilansir AP, Minggu (22/9), Michael Parker, analis komoditas di
Bernstein Research , menyebut pergeseran di China itu sebagai ‘awal dari akhir
batubara’. Meski penggunaan batubara secara global hampir pasti tumbuh dalam
beberapa tahun ke depan - dan tetap menjadi bahan bakar penting dalam
beberapa dekade setelah itu – bahan bakar itu segera memulai era penurunan
konsumsi.
Di AS, produksi batu bara akan jatuh ke level terendah dalam 20 tahun,
hanya lebih dari 1 miliar ton tahun ini. Menurut penelitian yang dilakukan oleh
SNL Energy, perusahaan analisis dan penyedia data pasar energi, pada
semester pertama tahun ini, sebanyak 151 tambang batubara AS yang
mempekerjakan 2.658 pekerja tekah menghentikan produksi.
Di Jambi, sebanyak 331 produsen batubara telah menghentikan produksi
mereka akibat penurunan harga yang drastis. Kondisi itu menyebabkan
penurunan produksi sementara pasokan menumpuk di pelabuhan. Di provinsi
tersebut, sebanyak 347 produsen batubara memiliki izin operasi pertambangan,
terdiri atas 206 perusahan dengan izin operasi dan 141 perusahaan dengan izin
produksi.
Saat ini, hanya 12-14 perusahaan yang masih memproduksi dan menjual
batubara, dengan produksi mencapai 50 juta ton. Tahun ini, penjualan batubara
di Jambi hanya mencapai 3,5 juta ton, jauh lebih rendah dibandingkan 6,8 juta
ton pada 2012.

Anda mungkin juga menyukai