Keraguan Dalam Filsafat
Keraguan Dalam Filsafat
I. Pendahuluan.
Bagi kebanyakan orang seperti juga penulis, maka belajar filsafat merupakan sesuatu hal
yang menantang, di dalamnya penuh liku-liku persoalan kehidupan umat manusia. Namun
semakin banyak membaca buku filsafat maka semakin mengkerucutlah pengetahuan kita,
bahkan sampai tidak mengerti sudah sampai di mana posisi pengetahuan kita saat ini dalam
filsufnya, sudah dapat difahami atau malah sebaliknya tidak ada akumulasi penambahan
pengetahuan apapun diperoleh dari bahan literatur yang telah dibaca. Apalagi menulis
tentang buah pikiran seorang filsuf besar, penuh kontraversi, dan pemikirannya sangat
idealis, tentu memerlukan refrensi yang berkualitas dan relevan. Mungkin dalam hal
memperoleh literature yang relevan dan bersumber dari penulis buku terkenal tentang Rene
Descartes tidak penulis dapatkan, sehingga mungkin inilah letak kelemahan dari tulisan ini.
Apabila dilihat dari periode perjalanan sejarah filsafat Barat, maka jaman modern juga
Dalam refleksi filosofisnya, filsuf berdialog dengan teman sejamannya, tetapi juga dengan
seluruh tradisi filsafat sebelumnya. Inilah yang istimewa dari filsafat, yang tentu berbeda dari
ilmu fisika, misalnya ahli fisika tidak perlu melihat ke belakang bagaimana pendapat ahli
lain. Periode jaman modern para filsuf tidak lagi berbicara tentang substansi di luar manusia,
namun beralih kepada manusia sebagai subyek. Seperti yang dikatakan pada ahli sejarah
1
filsafat bahwa di jaman modern dan kontemporer, yang diselidiki adalah yang terletak di
bawah, seluruh kenyataan kita, yang memikul kenyataan bukan prinsip di luar kita,
Akhirnya penulis berharap agar karya tulis, yang dibuat oleh seorang karya siswa ini
dapat bermanfaat bagi peminat filsafat Rene Descartes, tentu apabila tulisan ini dangkal
Kesukaran itu timbul dini hari semenjak pertama filsafat lahir. Begitu orang hendak
mendifinisikan filsafat maka segera pulalah ia terperangkap pada hal-hal yang bersifat definitif.
Pada hal filsafat tidak terbatas, dalam arti tidak berhenti pada satu persoalan saja tetapi filsafat
mencakup pada seluruh persoalan tanpa ada batasan yang konkrit. We repeat the best way to
discover what philosophy is, by studying it, and by philosophyzing ( jalan terbaik untuk
memahami apakah filsafat itu, dengan mempelajarinya, dan dengan berfilsafat ( Richard, H
Popkin and Avrum Stroll Ph,D: 1975,p.28). Bahwa sesungguhnya perkataan filsafat bukan kata
benda akan tetapi kata kerja. Hal ini berarti makna yang dikandungnya membutuhkan perlakuan
yang tercermin dari perilaku berfikir manusia. Tanpa hal tersebut, filsafat akan terapung di langit
persoalan, tentang mikrokosmos (badan dan jiwa) manusia, makrokosmos (jagad raya) yang
nyata maupun dibaliknya (metafisika), dan bahkan eksistensi Tuhan. Manusia harus mengajukan
pertanyaan, karena ia bukan binatang dan apalagi Tuhan. Semuanya dapat ditanyakan dan
bertanya tidak ada limitnya. Kesemuanya ini adalah sifat-sifat yang memungkinkan munculnya
2
filsafat kepermukaan bumi ini. Salah seorang tokok filsafat abad modern J.P. Sartre mengatakan
bahwa kesadaran pada manusia adalah bersifat bertanya yang sebenar-benarnya. Pertanyaan
harus berpusat pada tiga hal pokok yaitu: 1. Yang menanyakan subyek, 2. Sesuatu yang
ditanyakan, dan 3. Sesuatu yang menjadi pokok pertanyaan (R.F. Berling: 1951,p.9.). Maka dari
itu, hanya manusialah yang dapat bertanya, atau dengan kata lain filsafat adalah otoritas manusia.
Ada sementara pendapat yang mengatakan bahwa filsafat bermula dari takjub
manusia takjub dengan keteraturan sistem astronogi. Bilamana ia mulai berfikir secara
sistematis, reflektif, radikal, dan universal, maka tersusunlah suatu pandangan dunia (world
view). Adapun persoalan yang hendak diteliti haruslah secara intelektual bersifat sehat, yaitu
mengemukakan pengertian baru dan jalur baru guna penyelidikan lebih lanjut. Sampai saat ini
1. Persoalan metafisis
2. Persoalan epistemologis
3. Persoalan metodologis
4. Persoalan logis
5. Persoalan etis
6. Persoalan estetis
Semua persoalan tersebut di atas sampai sekarang masih relevan dalam wawasan filsafat, dan
persoalan tersebut tidak termasuk ke dalam ilmu khusus (The Liang Gie:1976, hal..9-10).
Dengan demikian terasa sangatlah sukar untuk memberi definisi filsafat secara tuntas apalagi
memuaskan semua ahli. Namun dari seluruh uraian di atas dapat dikatakan bahwa filsafat adalah
3
kreasi akal fikir manusia. Landasan utamanya adalah akal fikir manusia. Manusia yang selalu
Perjalanan sejarah filsafat tidak pernah berhenti karena kehabisan buah pemikiran, hal ini
karena pelbagai macam persoalan misteri kehidupan manusia sejak awal munculnya di Yunani
sampai periode modern dan kontemporer, bahkan fikiran filsuf post modern. Namun apabila kita
bertanya kapan periodesasi itu muncul dan di mana batasnya, maka sangat sulit memberikan
jawaban yang memuaskan, bahkan para ahli sejarah filsafat masih berdebat tidak kunjung
selesai.
Menurut (Bertens 1990, hal. 2.), bahwa lazimnya para akhli membagi sejarah filsafat menjadi 4
periode, yaitu:
1) Filsafat Yunani dan Romawi di jaman purba yang mulai dengan pemikiran filsafat
yang pertama abad ke-6 Sebelum Masehi (SM), dan berakhir secara definitif pada
tahun 529 Masehi, ketika kaisar Yustianus dari Byzantium, terdorong oleh
dengan Nicolaus Cusanus (abad ke- 15), dengan puncaknya abad ke- 13 dan
4
Masih dalam pendapat (Bertens 1990, hal. 1.), jika hendak membahas pemikiran
filsafat dari masa silam, tidak cukup kita membatasi diri pada penguraian pikiran-pikiran
beberapa filsuf tetapi kita harus melihat juga kaitan antara satu pemikiran dengan pemikiran
yang lain. Sebab, menurut hakekatnya filsafat adalah dialog, dan dalam refleksi fiolosofisnya
para filsuf berdialog dengan teman-teman sejaman tetapi juga dengan seluruh tradisi filsafat
sebelumnya.
Jembatan antara abad pertengahan dan jaman modern disebut jaman renesance (
kelahiran kembali), dalam bahasa Prancis, yang terjemahannya dalam bahsa Italia
rinascimento. Dalam jaman renesance, periode antara sekitar 1400 – 1600,manusia Barat
seakan-akan lahir kembali dari tidur abad pertengahan. Seluruh kebudayaan Barat
dibangunkan dari suatu keadaan statis yang berlangsung seribu tahun.Pertama-tama di Italia
kemudian menjalar ke seluruh Eropa, ilmu-ilmu, sastra, seni dan kehidupan social tiba-tiba
memperlihatkan suatu perkembangan baru. Manusia mulai berfikir baru, antara lain
mengenai eksistensi dirinya. Manusia tidak lagi menganggap dirinya sebagai orang berziarah
di dunia ini, malainkan sebagai orang yang menciptakan dunianya. Manusia sendiri mulai
dianggap sebagai pusat kenyataan, hal itu terlihat dari indahnya karya-karya seniman jaman
Ada tiga faktor yang mempercepat perkembangan baru jaman renesanse, yaitu
adanya tiga penemuan baru: pertama, pemakaian mesiu; kedua, seni cetak; dan terakhir
penemuan kompas. Penemuan mesiu berarti titik akhir kekuasan feudal yang dipusatkan
dalam benteng-benteng feodalisme, yang mulai saat itu tidak aman lagi. Penemuan seni cetak
berarti bahwa pengetahuan tidak lagi milik ekskusif suatu elite intelektual kecil dan terbatas,
5
melainkan sekarang terbuka untk banyak orang. Penemuan kompas berarti bahwa navigasi
mulai aman, sehingga dimungkinkan perjalanan jauh, yang membuka suatu hubungan dunia
baru. Dapat ditambahkan bahwa diantara perkembangan ilmiah baru yang ada ialah teori gas
Boyle, hukum listrik dan magnet, hukum optik (diciptakan oleh Descartes dan Snell), teori
sirkulasi darah oleh Harvey, penemuan geometric analitik Descartes. Pertanyaannya ialah apa
Dua elemen dalam metode ilmiah diindentifikasikan sebagai berikut: (1) elemen
empiris, menggunakan pengamatan dan percobaan indra; (2) elemen rasional, menggunakan
metematika dan pemikiran deduktif, seperti halnya Copernicus dan Galileo menjelaskan
pergerakan benda-benda di langit. Tidak kalah pentingnya, pertentangan teori metode ilmiah
yang muncul, bergantung pada elemen yang sama, empiris atau rasional. Francis Bacon di
keberhasilan metode pengamatan dan penelitian melebihi pemikiran, teori, dan system.
Meskipun demikian, Descartes memandang metode ilmiah dan menganggap termasuk dalam
deduksi, dengan ini bisa menjadikan ilmu alam sebagai pengetahuan yang pasti.
Era baru abad XVII, ketika semua keyakinan berada pada masa transisi dan
metode ilmiah dan penelitian ilmiah yang baru maju dengan pesatnya, merupakan
kemuraman senja filsafat skolastik. Filsafat abad pertengahan ini tidak disulai, dan filsafat
baru dan memberikan arah baru lebih disenangi. Rene Descartes adalah filsif modern
pertama dan mengemikakan teori metafisika pertama dalam merspon pandangan ilmiah yang
baru mengenai semesta, serta hubungannya dengan pembalikan tuntutan gereja (T.Z. Lavine,
hal. 32-33).
6
Sebagai ahli waris jaman renesanse, filsafat jaman modern bercorak
antroposentrisme, artinya manusia menjadi titik pusat perhatian. Dalam jaman Yunani dan
abad pertengahan filsafat selalu mencari substansi, prinsip utama yang ada di bawah seluruh
induk, dan bagi filsuf abad pertengahan Tuhan sendirilah prinsip itu. Berbeda dengan abad
modern, maka peranan substansi diambil alih oleh manusia sebagai subyek, yang terletak di
bawah seluruh kenyataan manusia, yang memikul kenyataan itu bukan sesuatu prinsip di luar
Demikianlah spirit jaman filsafat Barat modern sering juga disebut jaman
manusia sebagai subyek yang otonom tidak terikat pada kehendak institusi di luar manusia (
Periode antara sekitar tahun 1660- 1700, pemikiran filsafat yang menyelidiki
tentang subyektivitas manusia lebih banyak menekankan pada rasio atau akal budi. Di jaman
ini hampir sebagian besar pemikir besar (filsuf) merupakan ahli metematika, seperti
Descartes, Spinoza dan Leibniz, di mana mereka mencoba menyusun suatu system filsafat
yang berpusat pada manusia, yang mengutamakan akal budi atau rasio, yang kini terbebas
Bapa filsafat modern adalah julukan yang tepat diberikan kepada Rene Descartes atau nama
lain Cartesius (1596 – 1650). Descartes adalah seorang putra pengacara di Brittany, juga
anggota salah satu keluarga tertua dan terhormat di daerah itu. Sebagai keluarga terhormat
maka ini hidup dalam eksklusifisme, serba mewah dan istimewa kehidupan sehari-harinya. Dia
7
bersekolah di kolese Yesuit di Anjou (La Fleche). Di universitas ia belajar hukum dan
kedokteran dan ilmu fisika. Baru pada thun 1619 ia memperoleh jurusan yang pasti dalam
studinya. Menurut pendapatnya pada waktu itu ia mendapat wahyu ilahi, yang isinya
memberitakan kepadanya bahwa ilmu pengetahuan haruslah satu, tanpa bandingnya, dan harus
disusun oleh satu oatng sebagai satu bangunan yang seluruhnya berdiri sendiri menurut satu
metode yang umum. Adapun yang harus dipandang sebagai yang benar adalah apa yang jelas
Antara tahun 1629 dan 1649 Descartes hidup di negeri Belanda, di mana semua
tulisannya diterbitkan. Pada tahun 1622, dia menyelesaikan buku astronomi yang berjudul
Treatise of the World, yang menerapkan metode metematisnya dan mendukung hipotesis
Copernicus. Tiga tuhun setelah ketakutan Descartes atas terhukumnya Galileo, dia
on Method, yang tetap menjadi karya klasik dalam bidang filsafat sampai saat ini. Sepuluh
tahun kemudian pada tahun 1647 dia mempublikasikan Meditation on Frist Philosophy, dua
puluh dua tahun kemudian, tahun 1669, Meditation dijadikan salah satu buku yang dilarang
oleh institusi gereja untuk dibaca. Ia meninggal pada tanggal 1 November 1965 terkena
penyakit Pneumonia. Seorang filsuf Prancis abad ke. XX mengatakan: dia hidup dengan
pemikiran sendiri, untuk pemikiran sendiri.., tak satu pun keberadaan yang lebih mulia dari
ini. Ada tiga tulisannya yang terpenting dan harus diketahui oleh orang yang hendak
mendalami pemikiran Descartes, yaitu: Discours de la method (Uraian tentang metode) tahun
1641; dan terakhir yaitu Principia philosophiae (Prinsip-prinsip filsafat) tahun 1644 (T.Z.
8
III. Metode Keraguan-raguan
universal dalam semua manusia, dan bahwa pemikiran merupakan elemen terpenting
dalam sifat alami manusia, dan juga bahwa pemikiran merupakan alat satu-satunya jalan
untuk menentukan apa yang secara moral benar dan baik serta yang membentuk
masyarakat baik.
Descartes menyatakan : barang siapa yang telah melakukan pencarian akan kebenaran
dalam ilmu pengetahuan, hanya ahli metematika yang mampu menghasilkan pemikiran
yang terbukti dan pasti. Hal ini dikatakannya untuk menjawab pertanyaan bagaimana
biasa aku menggunakan akalku sendiri untuk menetapkan kebenaran hakiki. Hanya
Ilmu pengetahuan harus mengikuti jejak metematika, dan menjadi contoh bagi cara
mengenal atau mengetahui yang lebih maju. Metematika dapat dipandang sebagai
penerapan paling umum dari metode ilmiah, sementara metode ilmiah itu sendiri sifatnya
lebih umum. Kebenaran memang ada, demikian pendapat Descartes, namun itu dapat
dikenal apabila jiwa kita bebas dari pemikiran masa lalu, dan baru bernilai apabila secara
metodis diperkembangkan seperti dalam metematika (Harun Hadiwijono, 1980, hal. 19).
Pengertian intuisi yaitu pemahaman kita atas prinsip bukti diri. Misalnya, aksioma
geometri bahwa garis lurus merupakan jarak terdekat antara dua titik, atau sesuatu yang
9
sama dengan benda yang sama pastilah juga sama antara satu dengan yang lainnya, atau
misalnya persamaan aritmatika (3 + 2 = 5). Pernyataan ini merupakan bukti diri bahwa
bahwa itu semua benar secara absolut, dan tidak ada pikiran rasional yang meragukannya.
kesimpulan logis dari dalil bukti diri, seperti halnya semua geometri dipikirkan dalam
urutan pasti dengan menggunakan deduksi dari aksioma dan kesimpulan bukti dirinya.
Menurut Descartes, rahasia metode yang utama adalah menyusun semua fakta menjadi
sebuah sistem deduktif dan logis. Descartes mengatakan ada tiga syarat untuk
membuktikan prinsip bukti diri, yang akan menjadi aksioma atau prinsip awal, dan akan
dibuktikan sendiri melalui akal, jelas dan berbeda dari keyakinan lain.
Skeptisisme
Pertanyan selanjutnya atas pendapat tersebut di atas yaitu bagaimana dapat menemukan
keyakinan semacam itu? Descartes menjawab dengan metode keraguan. Latar belakang
pendapat ini tidak terlepas dari situasi sejarah pada masa hidupnya. Pemikiran skolatik,
seperti yang telah ia terima, ternyata tidak tahu bagaimana menangani hasil-hasil ilmu
10
yang terdapat pada skolastik itu menghambat kemajuan ilmu pengetahuan. Ditambah
bentuk yang bermacam-macam dari filsafat Renesanse, yang acapkali bertentangan, tidak
berhasil memberi tempat kepada ilmu pengetahuan. Pada masa itu pikiran masih
dipengaruhi oleh khayalan-khayalan, maka dari itu Descartes merasa terdorong untuk
membebaskan diri dari segala pola pemikiran tradisional dan sistem pemikiran filsafat
masa lalu. Agar dapat memulai era pemikiran baru, maka kita harus mempunyai landasan
pemikiran yang pasti, yang menurut Descartes tidak lain yaitu keraguan (Harun
yang artinya menggunakan keraguan secara metodologis untuk mencapai pengetahuan sejati.
Metode ini dilakukan untuk melempar jauh-jauh segala keyakinannya. Meditation I diberi
judul: Dari Benda yang Bisa Kita Ragukan. Namun untuk meragukan segala keyakinannya
maka pasti tidak berujung, tidak habis-habisnya. Aku akan menguji semua itu, kata
mengelompokkannya untuk mengetahui apakah ada satu keyekinan yang tidak bias
diragukan dengan memenuhi tiga kreteria yaitu: pertama, bahwa dalilnya mustahil
diragukan, kedua, keyakinan itu merupakan kebenaran akhir; dan terakhir keyakinan itu
merupakan sesuatu yang ada, dan juga, kelas demi kelas, kelompok demi kelompok, ia tidak
1) Pertama kali yang harus diuji ialah keyakinan dari persepsi panca indra.
Ini yang paling mudah diyakini dari pada semuanya, nemun sering kali
11
Sebagai contoh, saat ini berbeda dengan yang ditampilkan teleskop
kecil sekali menurut mata telanjang kini tampak berbeda dengan yang
air, dan halusinasi yang mempengaruhi indra kita? Maka jelaslah panca
indra tidak bisa dipercaya sebagai sumber kepastian. Katanya, apa yang
telah menipuku sekali, kini menipuku lagi, tetapi menurutnya, aku tidak
bias meragukan apa yang dikatakan indraku bahwa: aku di sini, duduk di
memang seorang yang senang tidur). Apa yang persepsikan indraku bias
keyakinan atas benda material atau keyakinan bahwa alam fisik itu ada?
Hal ini pasti diragukan karena keyakinan ini didasarkan atas persepsi
3) Selanjutnya ia bertanya: apa yang ada di dalam keyakinan dari ilmu alam?
Keyakinan ini juga pasti meragukan karena didasarkan pada obyek yang
dikenali oleh persep indra, yang kemudian ditetapkan sebagai hal yang
12
4) Descartes melanjutkan pada keyakinan metematis. Bagaimana dengan
dari persepsi indra. Katanya, aku baru bangun dari tidur, namun dua
ditambah tiga pasti sama dengan lima dan persegi empat pasti tidak
memiliki lebih dari empat sisi, dan kelihatannya tidak mungkin bahwa
kebenaran yang begitu jelas dianggap keliru. Keyakinan ini diketahui oleh
kesalahan.
Dalam usahanya memaksakan skeptisisme metodologisnya atas ketegasan itu, dan karena
tidak ada alasan untuk meragukan metematika, maka Descartes menemukan suatu hal, di mana
ada kejahatan dan godaan iblis sangat kuat dan menipuku. Pada saat itu, katanya, aku tertipu,
berbuat kesalahan, bahkan metematika sekalipun dan salah pada saat seperti itu. Descartes
mengatakan sebagai sesuatu yang dilebih-lebihkan (hiperbola). Katanya lebih lanjut, dapatkah
suatu keyakinan mempertahankan keraguan-raguanku ini, karena ada godaan iblis dalam semua
Kemudian dia sampai pada jawaban keberhasilannya yang terkenal yaitu: bahkan jika aku
tertipu oleh semua keyakinanku, aku harus tetap ada untuk ditipu. Jika aku meragukan segala hal
yang aku yakini, termasuk metematika, ada suatu keyakinan yang tidak bias diragukan : tiap kali
aku ragu, aku harus tetap ragu. Dalam meragukan kebenaran semua keyakinan lainnya, aku tidak
bisa meragukan keyakinan bahwa aku ragu. Dalam meragukan kebenaran semua keyakinan yang
13
lainnya, aku tidak bisa meragukan keyakinan bahwa aku ragu, karenanya aku ada. Bahkan jika
segala keyakinan yang kuketahui keliru, satu keyakinan tetap benar, pada saat apa pun, di mana
aku melakukan aktivitas pemikiran, atau tindakan mental apa pun seperti melakukan merasa ragu
pertama yang benar-benar pasti, di rumuskannya dengan bahasa Latin: Cogito ergo sum (Aku
berfikir, maka aku ada). Bagi Descartes, pemikiran meliputi berbagai tindakan kesadaran yang
segera membuat kita jadi faham, dapat dikatakan pemikiran aku memahami segala sesuatu yang
kita sadari berlaku dalam diri kita. Pemikiran meliputi peraguan, pemahaman, pembenaran,
negasi, kemauan, penolakan, perasaan. Sebagai tindakan kesadaran, semua hal tersebut di atas
membutuhkan keberadaanku. Karenanya, aku rasa aku ada. Aku ragu bahwa aku berfikir, hal ini
hanya menegaskan bahwa aku harus ada untuk menyangkal dan ragu (T.Z. Lavine, hal. 53).
Inilah suatu pengetahuan langsung yang disebut kebenaran filsafat yang pertama (primum
philosophicum). Dapat dijelaskan lebih lanjut maksud dari Cogito ergo sum, Aku berada karena
aku berfikir, jadi aku adalah sesuatu yang berfikir, suatu substansi yang seluruh tabiat dan
hakekatnya terdiri dari pikiran dan yang untuk berada tidak memerlukan suatu tempat atau
sesuatu yang bersifat bendawi. Cogito atau aku berfikir adalah pasti, sebab Cogito adalah jelas
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana aku tahu akan keyakinan ini (Cogito ergo sum).
Melalui pemahaman sebagai bukti diri bahwa berfikir (ragu atau menyangkal atau berkemauan)
aku harus ada dan bahwa pemikiranku tanpa adanya aku merupakan hal yang mustahil. Cogito
ergo sum selalu benar setiap kali aku memikirkannya, selalu benar tiap kali aku menyangkalnya.
14
Cogito hanya membuktikan bahwa aku ada sebagai benda yang berfikir, dan hanya bila aku
sadar berfikir. Cogito hanya membuktikan bahwa aku adalah hanya benda pemikir, substansi
yang ada, dan merupakan sifat alamiku untuk memiliki pemikiran, ide dan keyakinan. Namun
tidak ada yang dapat dibuktikan oleh Cogito mengenai tubuhku atau gerakannya, caraku makan
atau caraku berjalan. Aku tidak dapat menyatakan kebenaran bukti diri atas: aku bergerak maka
aku ada. Gerakanku hanya dapat keketahui melalui persepsi indra, dengan mengamati diriku
yang bergerak. Cogito hanya membuktikan bahwa ketika aku sadar berfikir, aku ada sebagai
benda pemikir.
Tetapi apakah Cogito memenuhi tiga persyaratan yang dikemukakan Descartes untuk
prinsip pertama landasan filsafatnya? Menurutnya, Cogito dapat terbukti dengan pemikiran yang
pasti, dan tiap kali aku meragukannya maka aku membenarkannya. Cogito juga terikat dengan
kebenaran akhir lainnya, namun ia tidak disimpulkan dari kebenaran yang lebih akhir, artinya
semua yang berfikir ada, aku berfikir maka aku ada. Sebaliknya, aku sendiri merasa sebagai
kebenaran bukti diri di mana aku berada saat aku berfikir. Ia juga merujuk pada dunia yang ada,
yang ada sebagai benda berfikir. Sum, aku. Aku ada. Cogito bergantung pada dua kebenaran,
yaitu: pertama, bahwa benda atau substansi itu ada dan kedua, bahwa pemikiran atau tindakan
atau keadaan lain bias ada hanya sebagai tindakan atau keadaan suatu substansi. Dua kebenaran
ini diperlukan untk pembuktian Cogito, yakni tiap kali aku sadar aku berfikir bahwa aku ada, dan
berfikir adalah suatu tindakan yang bias ada hanya sebagai tindakan atau keadaan atau substansi.
Descartes mengatakan bahwa seluruh filsafatnya atas kebenaran absolut, yakni ketika aku sadar
bahwa berfikir, maka aku tahu aku ada (T.Z. Lavine, hal. 54).
Bila ditinjau dari sudut teori pengetahuan maka Descartes memiliki suatu kebenaran yang
tidak tergoyahkan, aman dan terlindung dari keraguan, yakni kebenaran dari keberadaan diriku
15
sebagai subyek yang sadar. Dengan demikian Cogito Cartesian memperkenalkan subyektivisme
kepada filsafat modern. Seperti yang yang disinggung pada awal penulisan ini bahwa corak
filsafat modern menunjukkan ciri-ciri yang khas yaitu antroposentrisme, yang lazim juga disebut
subyektivisme, di mana manusia sebagai pusat dari semua bentuk pemikiran. Pada jaman modern
manusia dianggap sebagai substansi yang berdiri sendiri, keberadaannya sangat mutlak
dibandingkan dengan peng-ada lainnya. Pada jaman ini yang dipandang sebagai sumber
pengetahuan hanya apa yang secara alamiah dapat dipakai manusia, yaitu akal (rasio) dan empiri
(pengalaman), padahal ada kecenderungan orang memakai salah satu dari keduanya, maka dari
IV. Kesimpulan
Secara umum pemikiran Descartes dapat dipandang sebagai titik awal mulainya filsafat
modern, atau dapat dikatakan sebagai Bapa filsafat modern, yang mencoba mengetengahkan
corak filsafat baru untuk mendapatkan kebenaran. Ia mulai dari metode skeptisisme, metode
Pengaruh pikirannya bukan hanya dalam bidang filsafat, tetapi juga metematika, fisika,
kedokteran. Ia telah memberi suatu epistemologi baru dan membuat filsafat sebagai ilmu
Daftar Pustaka
1. Bertens, K., 1990, Filsafat Barat Komtemporer; Inggris-Jerman, P.T. Gramedia, Jakarta.
2. Gie, The Liang., 1986, Garis Besar Estetika ( Filsafat Keindahan), Penerbit Karya, Yogyakarta.
16
3. Delfgaauw, Bernard (Transleted: Soejono Soemargono).,2001, Filsafat Abad 20, Penerbit Tiara
Wacana, Yogyakarta
. 4. Hadiwijono, Harun., 1980, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Penerbit Yayasan Kanisius,
Yogyakarta.
5. Hamersma, Harry., 1983, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, P.T. Gramedia, Jakarta.
6. Lavine, T.Z., 1984, From Socrates to Sartre: the Philosophic Quest, New York: Bantam
book,Inc.
7. Leksono, Karlina S., 1994, Aku Dalam Semesta: Suatu Kajian Filsafat Atas Hubungan Subyek-
Obyek Di Dalam Kosmologi, Tesis Studi Ilmu Filsafat, Program Pascasarjana Universitas
Indonesia, Jakarta.
8. Popkin Richard H and Avrum Stroll., 1975, Philosophy Made Simple, W.H. Allen and Company
Ltd, London.
17